You are on page 1of 12

TANTANGAN PELANGGARAN HAM PADA DIGITALISASI PELAYANAN

KESEHATAN

Oleh: Hesti Sulistyaningsih

NIM 22.c2.0112

Hak Atas Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia


Setiap manusia tentunya ingin dan berhak atas kesehatan yang terbaik bagi dirinya,
demikian pula warga negara indonesia saat ini . Peningkatan pelayanan kesehatan dengan
standar tertinggi merupakan hak dari setiap warga negara .
Dalam meningkatkan pelayanan kesehatan di era digital saat ini perlu meninjau dari
berbagai sisi, diantaranya adalah hak asasi manusia. Tentunya hak kesehatan dan hak asasi
manusia memiliki hubungan yang erat dan saling terkait. Hubungan ini berakar pada prinsip-
prinsip fundamental bahwa setiap manusia memiliki hak-hak yang tak dapat diabaikan,
dihormati, dan dilindungi. Hak asasi manusia dianggap universal, tidak boleh diganggu
gugat, dan tidak boleh dikesampingkan oleh siapapun bahkan oleh pemerintah.
Hak kesehatan mencakup hak setiap individu untuk menikmati standar kesehatan
tertinggi yang dapat dicapai, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas,
obat-obatan, vaksin, pencegahan, dan perlindungan dari penyakit. Hak ini diakui oleh
berbagai perjanjian internasional, seperti Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Juga
tidak boleh ada diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, baik karena suku, agama, budaya,
ekonomi dan sosial.
Negara disini memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi
hak asasi manusia termasuk hak kesehatan penduduknya. Hal ini berarti pemerintah harus
menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan masyarakat, menyediakan akses ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas, dan mencegah diskriminasi
dalam layanan kesehatan. Hak kesehatan mencakup aspek kesetaraan dalam akses dan
pelayanan kesehatan. Kesehatan tidak milik orang berpendidikan saja tapi milik semua orang.
Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati standar kesehatan yang
tinggi, tanpa diskriminasi atas dasar ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial.
Hak Kesehatan dalam Konteks Global , hak kesehatan tidak hanya berlaku di tingkat
nasional, tetapi juga berlaku dalam konteks global. Negara-negara memiliki tanggung jawab
bersama untuk bekerja sama dalam mengatasi isu-isu kesehatan global dan memastikan
bahwa kesempatan hidup sehat dapat diakses oleh semua orang di seluruh dunia.
Hak kesehatan sering kali terkait erat dengan hak-hak lain, seperti hak atas air bersih,
lingkungan yang sehat, makanan yang cukup dan bergizi, dan hak atas perumahan yang
layak. Keberhasilan dalam mewujudkan hak-hak ini akan berdampak pada kesehatan dan
kesejahteraan umum individu dan masyarakat. hak kesehatan dan hak asasi manusia adalah
dua hal yang tak terpisahkan dan saling mendukung dalam upaya mencapai masyarakat yang
adil, inklusif, dan berkelanjutan. Ketika hak asasi manusia dihormati, dan hak kesehatan
diakui dan dijamin, maka kesempatan untuk hidup sehat dan bermartabat dapat dinikmati
oleh semua orang.

Pelayanan Kesehatan Di Era Revolusi Industri 4.0

Era globalisasi , digitalisasi sudah menjadi tuntutan dan gaya hidup di seluruh dunia.
Dalam kehidupan sehari hari maupun sektor layanan publik atau formal. Segala hal ada dan
bisa dimonitor melalui gadet ataupun internet. Untuk itu digitalisasi pelayanan kesehatan
menjadi suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi.
Digitalisasi pelayanan kesehatan merupakan proses penerapan teknologi informasi
dan komunikasi dalam sistem kesehatan untuk meningkatkan efisiensi, kualitas, dan
aksesibilitas pelayanan kesehatan. Mengapa digitalisasi pelayanan kesehatan sangat penting?
Pelayanan kesehatan di era Revolusi 4.0 mengacu pada perubahan dan transformasi yang
terjadi dalam sektor kesehatan sebagai respons terhadap kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Revolusi 4.0 adalah istilah yang merujuk pada perubahan mendasar dalam
berbagai sektor ekonomi dan sosial karena adopsi teknologi digital yang cepat dan luas.
Demikian pula pelayanan kesehatan Indonesia saat ini mulai ber proses menuju era digital
dengan dibeberapa kebijakan antara lain telemedicine yang menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi, dan pemberlakuan elektronik rekam medik.
Meskipun ada banyak manfaat dari Revolusi 4.0 dalam pelayanan kesehatan, ada juga
tantangan yang perlu diatasi, seperti masalah keamanan data, privasi pasien, serta
kesenjangan dalam akses dan keterampilan teknologi di kalangan masyarakat. Dengan
pengembangan teknologi yang berkelanjutan dan kesadaran tentang implikasi etika,
pelayanan kesehatan di era Revolusi 4.0 diharapkan dapat menjadi lebih efisien, tepat
sasaran, dan mudah diakses bagi semua orang.
Manfaat Digitalisasi Pelayanan Kesehatan
Digitalisasi pelayanan kesehatan merupakan proses penerapan teknologi
informasi dan komunikasi dalam sistem kesehatan untuk meningkatkan efisiensi,
kualitas, dan aksesibilitas pelayanan kesehatan. Berikut adalah beberapa alasan
mengapa digitalisasi pelayanan kesehatan sangat penting:
1.Peningkatan Efisiensi Dalam Pelayanan.
Dengan digitalisasi, proses administrasi dan dokumentasi kesehatan dapat
diotomatisasi, mengurangi birokrasi, dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya.
Rekam medis elektronik memungkinkan akses cepat dan mudah ke data pasien, yang
mempercepat diagnosa dan perawatan.
2. Pengurangan Terjadinya Kesalahan Medis.
Penggunaan sistem digital dalam diagnosa dan pengobatan membantu mengurangi
kesalahan manusia, seperti kesalahan dalam memberikan dosis obat atau interpretasi
tes medis. Hal ini dapat meningkatkan keselamatan pasien dan hasil perawatan.
3. Aksesibilitas Yang Lebih Baik.
Digitalisasi memungkinkan akses ke layanan kesehatan dari jarak jauh melalui
telemedicine atau konsultasi online. Ini sangat bermanfaat bagi mereka yang tinggal
di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan fisik untuk datang ke fasilitas
kesehatan secara fisik.
4. Koordinasi Perawatan/ Manajemen Yang Lebih Baik.
Sistem informasi kesehatan terintegrasi memungkinkan penyedia layanan kesehatan
berbagi informasi tentang pasien secara real-time. Ini meningkatkan koordinasi dan
kolaborasi antara tim medis, yang dapat mengarah pada perawatan yang lebih
terkoordinasi dan efektif.
5. Analisis Data Untuk Pengambilan Keputusan.
Data yang dihasilkan oleh sistem digital dapat dianalisis untuk mendapatkan wawasan
yang lebih dalam tentang tren kesehatan masyarakat, pola penyakit, dan efektivitas
perawatan. Informasi ini membantu penyedia layanan kesehatan membuat keputusan
yang lebih baik dalam memberikan pelayanan yang lebih baik.
6. Pengembangan Teknologi Medis.
Digitalisasi merangsang inovasi dalam teknologi medis, seperti pengembangan
aplikasi kesehatan mobile, misal Halodoc, Telemedisine, perangkat medis terhubung,
atau kecerdasan buatan untuk mendukung diagnosis dan perawatan.
7. Pencegahan dan Pemantauan Penyakit.
Teknologi digital memungkinkan pemantauan kesehatan secara real-time, misalnya
dengan perangkat kesehatan pintar atau sensor medis. Ini membantu dalam
pencegahan penyakit dan manajemen penyakit kronis dengan mendeteksi perubahan
yang mungkin terjadi pada kesehatan seseorang. Contohnya aplikasi peduli lindungi,
aplikasi laporan penyakit, Simpus dan lain lain
8. Pengurangan Biaya.
Walaupun memerlukan investasi awal, digitalisasi dapat membantu mengurangi biaya
jangka panjang karena efisiensi operasional yang lebih baik dan pengurangan
kesalahan medis.Mengurangi biaya transportasi, biaya alat tulis cetak. Misalnya
rekam medis.
Dalam keseluruhan, digitalisasi pelayanan kesehatan memberikan peluang besar
untuk meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pelayanan kesehatan, meningkatkan
keselamatan pasien, dan membawa perubahan positif dalam sistem perawatan kesehatan
secara keseluruhan.

Sisi Negatif Pelayanan Digital

Pelayanan kesehatan digital, seperti layanan telemedicine dan aplikasi kesehatan, telah
memberikan berbagai manfaat dalam meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi perawatan
kesehatan. Namun, seperti halnya dengan teknologi lainnya, ada beberapa sisi negatif yang
perlu dipertimbangkan:

1. Ketidakamanan data.
Penggunaan platform digital dalam perawatan kesehatan dapat meningkatkan risiko
kebocoran data pribadi pasien dan informasi kesehatan yang sensitif. Jika sistem tidak
memiliki keamanan yang kuat, misalnya password, user name, enkripsi data tersebut
dapat diretas atau dicuri, mengakibatkan pelanggaran privasi yang serius dan masalah
hukum. Juga adanya interoperabilitas, pengguna dengan berbagai latar belakang,
misal dokter, perawat, admin, obat, laboratorium.
2. Keterbatasan teknologi.
Beberapa orang mungkin tidak memiliki akses yang memadai ke perangkat teknologi
yang diperlukan atau tidak memahami cara menggunakannya dengan benar. Hal ini
dapat mengakibatkan kesenjangan aksesibilitas dalam pelayanan kesehatan, dengan
beberapa kelompok masyarakat yang kurang terlayani. Pada daerah perkotaan yang
lebih maju tentu ada perbedaan dengan daerah terpelosok, tingkat ekonomi dan sarana
prasarana.
3. Ketidakmampuan diagnosis jarak jauh.
Dalam beberapa kasus, diagnosis yang akurat dan tepat mungkin memerlukan
pemeriksaan fisik langsung oleh tenaga medis. Meskipun teknologi berkembang,
beberapa kondisi medis mungkin sulit didiagnosis secara online, terutama tanpa akses
langsung ke pasien. Untuk telemedisine pemeriksaan tidak bisa secara langsung
menimbulkan bias jika hanya dari analisa data laborat maupun pemeriksaan
penunjang perlu penanganan lebih komprehensif.
4. Ketergantungan berlebihan pada teknologi.
Apabila seseorang terlalu bergantung pada pelayanan kesehatan digital, risiko
kurangnya hubungan antara pasien dan tenaga medis terjadi. Ini bisa mengurangi
kualitas perawatan dan kurangnya pemahaman yang komprehensif tentang kondisi
kesehatan pasien. Pelayanan medis lebih terkonsentrasi pada data daripada
memperhatikan pasien secara langsung, karena yang lebih fokus memasukkan data.
5. Kualitas pelayanan yang tidak konsisten.
Layanan kesehatan digital bisa sangat bergantung pada kualitas jaringan internet,
stabilitas sistem, dan kemampuan teknis penyedia layanan. Jika ada masalah teknis
atau ketidakmampuan untuk mengakses layanan secara konsisten, pasien dapat
mengalami ketidaknyamanan dan risiko kesehatan.
6. Ketidakmampuan untuk menyediakan perawatan darurat.
Dalam situasi darurat, perawatan digital mungkin tidak selalu memberikan bantuan
yang tepat dan segera. Situasi darurat memerlukan intervensi medis langsung, yang
mungkin tidak mungkin dilakukan secara jarak jauh. Walaupun secara komunikasi
lebih cepat dan terstruktur, tetapi tetap tidak bisa menangani kasus darurat secara
kompleks.
7. Kualitas perawatan yang berbeda-beda.
Tidak semua layanan kesehatan digital disediakan oleh tenaga medis yang
berkompeten dan berpengalaman. Ini dapat menyebabkan variasi kualitas pelayanan
dan risiko untuk menerima saran atau rekomendasi yang tidak tepat. Untuk itu perlu
standarisasi dalam pelayanan kesehatan digital.
8. Masalah regulasi dan legalitas.
Sistem perawatan kesehatan digital sering kali beroperasi dengan cara berbeda-beda.
Kurangnya harmonisasi dalam regulasi dapat menimbulkan masalah hukum dan etika
terkait praktik pelayanan kesehatan digital perlu pengkajian lebih lanjut.

Dari hal ini kita simpulkan teknologi pelayanan kesehatan digital dapat memberikan manfaat
besar bagi banyak orang, terutama dalam hal aksesibilitas dan efisiensi. Namun, sisi negatif
ini harus diperhatikan dan diatasi agar manfaatnya dapat ditingkatkan sambil meminimalkan
risiko yang terkait.

Resiko Keamanan Pada Pelayanan Digital

Pelayanan kesehatan secara digital memberikan banyak manfaat, termasuk kemudahan akses
dan pelayanan yang lebih cepat. Namun, ada beberapa resiko terkait keamanan data dan
privasi yang perlu diperhatikan, terutama karena data kesehatan merupakan data yang sangat
sensitif dan bernilai tinggi. Beberapa resiko tersebut antara lain:

1. Kehilangan Data.
Terjadinya kegagalan sistem atau kerusakan perangkat keras dapat menyebabkan
kehilangan data medis, yang dapat mengganggu kontinuitas perawatan dan diagnostik
yang tepat. Ketidak mampuan server untuk menampung big data yang menampung
jutaan atau milyaran data, ada kemungkinan data hilang, belum tersimpan dengan
baik, dan perlunya back up data yang super canggih.
2. Pelanggaran Keamanan.
Data kesehatan yang disimpan secara digital menjadi target bagi para peretas yang
mencari akses ilegal untuk mencuri atau memanipulasi informasi pribadi dan medis.
Pelanggaran keamanan ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan data atau pencurian
identitas. Data genetik, data rahasia pribadi sesorang akan rawan untuk diketahui oleh
peretas atau oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
3. Ketidakamanan Jaringan Nasional maupun Internasional
Pelayanan kesehatan yang mengandalkan jaringan internet rentan terhadap serangan
siber, seperti serangan DDoS (Distributed Denial of Service) atau ransomware, yang
dapat menyebabkan gangguan layanan dan potensi pencurian data.
4. Ketidakamanan Perangkat.
Jika perangkat yang digunakan untuk mengakses data kesehatan tidak memiliki
perlindungan yang memadai, seperti penggunaan perangkat lunak yang tidak
diperbarui, perangkat tersebut bisa mudah menjadi pintu masuk bagi peretas untuk
mencuri data.
5. Kurangnya Kepekaan Pengguna.
Pengguna, termasuk tenaga medis, pasien, dan pihak terkait lainnya, mungkin tidak
selalu menyadari pentingnya menjaga keamanan dan privasi data. Hal ini bisa
menyebabkan tindakan yang tidak hati-hati, seperti berbagi kata sandi dengan orang
lain atau membuka email berbahaya. Disinilah adanya interoperability yang mungkin
saja tidak standar karena perbedaan kualitas pengguna.
6. Kurangnya Standar Keamanan.
Beberapa sistem pelayanan kesehatan digital mungkin tidak memiliki standar
keamanan yang memadai, sehingga meningkatkan risiko kebocoran data.
7. Kebocoran Informasi.
Saat berbagi data medis melalui platform digital, ada risiko bahwa informasi yang
seharusnya bersifat pribadi dapat bocor ke pihak yang tidak berwenang, seperti iklan,
asuransi, atau pihak ketiga lainnya. Ini memungkinkan pengguna menjadi tidak bisa
memberikan data dengan semestinya, karena takut akan terjadi kebocoran data
privacy.
8. Tantangan Hukum dan Regulasi.
Terdapat berbagai undang-undang dan regulasi yang mengatur keamanan data
kesehatan. Jika suatu layanan melanggar peraturan tersebut, pihak yang bersangkutan
dapat menghadapi konsekuensi hukum.
9. Keterbatasan Teknologi.
Sistem pelayanan kesehatan digital mungkin rentan terhadap kelemahan teknologi,
termasuk kesalahan dalam pemrosesan data atau kurangnya infrastruktur yang handal.
10. Kekhawatiran Terjadi Pelanggaramn Etika.
Penggunaan data kesehatan untuk tujuan tertentu, seperti analisis besar data atau
pembuatan profil, dapat menimbulkan kekhawatiran etika tentang privasi dan otonomi
pasien. Data yang ada pada main data, bisa saja diambil oleh pihak tertentu untuk
tujuan penelitian dan lain sebagainya, dikhawatirkan menjadi pelanggaran etik.

Untuk mengatasi risiko-risiko ini, sangat penting bagi penyedia layanan kesehatan digital
untuk mengimplementasikan langkah-langkah keamanan yang kuat, seperti enkripsi data,
penggunaan akses berbasis peran, pelatihan bagi para pengguna agar lebih sadar akan
pentingnya privasi data, dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Selain itu, pasien
juga harus berhati-hati dalam memberikan informasi pribadi dan memastikan bahwa mereka
menggunakan layanan kesehatan digital yang terpercaya.

Polarisasi Hak Pribadi Dan Hak Publik

Sebelum kita membahas tentang polarisasi antara private rights (hak pribadi) dan public
rights ( hak publik) dalam pelayanan kesehatan digital, mari kita pahami terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan kedua konsep ini.

1. Hak Pribadi
Hak pribadi adalah hak-hak yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk
melindungi privasi, kerahasiaan, dan kendali atas informasi pribadi mereka. Dalam
konteks kesehatan digital, private rights berkaitan dengan hak individu untuk menjaga
kerahasiaan dan keamanan data kesehatan mereka, serta hak untuk menentukan siapa
yang dapat mengakses dan menggunakan data tersebut.
2. Public Rights (Hak Publik).
Hak publik adalah hak-hak yang berkaitan dengan kepentingan publik secara
keseluruhan, seperti hak atas akses terhadap informasi yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam pelayanan kesehatan digital, public rights mencakup
hak masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi kesehatan yang relevan
dan penting, serta hak untuk memperoleh manfaat dari inovasi teknologi kesehatan.

Dalam pelayanan kesehatan digital, terdapat beberapa wujud polarisasi antara private rights
dan public rights, seperti:

1. Privasi dan Keamanan Data.


Hak Pribadi : Individu memiliki hak untuk menjaga kerahasiaan data kesehatan
pribadi mereka yang disimpan dan diproses oleh sistem kesehatan digital. Hal ini
mencakup perlindungan dari penyalahgunaan atau akses yang tidak sah terhadap
informasi sensitif mereka.
Hak Publik: Keamanan data juga merupakan kepentingan publik yang penting untuk
melindungi masyarakat dari risiko seperti pencurian identitas, penipuan, atau
penyebaran informasi kesehatan palsu yang dapat merugikan banyak orang.
Polarisasi: Tuntutan privasi data pribadi dapat menyebabkan kendala pada akses data
yang lebih terbuka untuk tujuan penelitian kesehatan publik atau pengembangan
solusi kesehatan yang lebih efektif. Penemuan ilmiah dan inovasi kesehatan dapat
terhambat jika data tidak dapat diakses dengan mudah untuk tujuan umum, sementara
akses terbuka ini dapat mengancam privasi individu. Disinlah terjadi tarik menarik
kepenntingan.
2. Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan:
Hak Pribadi : Pelayanan kesehatan digital dapat memberikan akses yang lebih mudah
dan cepat untuk layanan kesehatan individual, seperti konsultasi medis online dan
pengiriman obat-obatan ke rumah.
Hak Publik : Aksesibilitas pelayanan kesehatan juga harus mempertimbangkan
keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Tidak semua orang memiliki akses ke
teknologi yang diperlukan untuk menggunakan pelayanan kesehatan digital, sehingga
perlu dipastikan bahwa pelayanan konvensional tetap tersedia bagi mereka yang
membutuhkannya.
Polarisasi: Pengembangan dan penggunaan pelayanan kesehatan digital dapat
meningkatkan kesenjangan akses di masyarakat. Sementara beberapa individu dapat
dengan mudah memanfaatkan teknologi ini, orang lain dengan keterbatasan akses
teknologi mungkin terabaikan dan tidak mendapatkan manfaat yang sama.
3. Etika dan Transparansi:
Hak Pribadi : Individu berhak mengetahui bagaimana data kesehatan mereka
digunakan dan diolah dalam lingkungan digital. Transparansi tentang praktik dan
kebijakan yang berkaitan dengan data pribadi adalah hal penting dalam menjaga
kepercayaan pengguna.
Hak Publik : Transparansi juga merupakan bagian dari hak publik untuk mengetahui
bagaimana data kesehatan digunakan secara agregat untuk penelitian atau kepentingan
masyarakat lainnya.
Polarisasi: Terkadang, kepentingan komersial atau institusional dalam pelayanan
kesehatan digital dapat bertentangan dengan transparansi dan etika dalam pengelolaan
data. Kekhawatiran tentang penyalahgunaan data dan penggunaannya untuk tujuan
yang tidak bermanfaat secara publik dapat menimbulkan konflik antara private rights
dan public rights.untuk mengetahui bagaimana data kesehatan digunakan secara
agregat untuk penelitian atau kepentingan masyarakat lainnya.
Polarisasi antara hak pribadi dan hak publik dalam pelayanan kesehatan digital adalah
isu kompleks yang harus diperhatikan dengan cermat dalam mengembangkan kebijakan,
regulasi, dan solusi teknologi kesehatan yang seimbang dan adil. Keseimbangan ini harus
memastikan perlindungan hak individu atas privasi dan keamanan data, sambil tetap
memungkinkan akses yang memadai terhadap informasi kesehatan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Polarisasi ini mencerminkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi
digital dalam pelayanan kesehatan ( mewakili hak publik dan perlindungan hak-hak
individu. Regulator kesehatan perlu mempersiapkan ekosistem industri 4.0 dengan regulasi
yang memastikan keamanan dan privasi data pribadi pasien.
Penyebaran informasi melalui media sosial secara cepat menjadikan pelanggaran hak
privasi yang terjadi. Seperti halnya saat terjadi covid, data kesehatan sesorang yang
seharusnya menjadi data pribadi menjadi data publik. 1 pada saat terjadi pandemi antara hak
privasi dan hak publik terjadi polarisasi yang sebenarnya, menyangkut penularan penyakit
yang menjadi pandemi.

Cyber Crime

Kemajuan teknologi dalam pelayanan kesehatan ini dapat seperti pedang bermata
dua.sangat bermanfaat dan bisa berefek sangat fatal jika ada kesalahan. Disatu sisi sangat
meningkatkan kesejahteraan, memberikan kemudahan dan akses bagi pengguna dan
peningkatan peradaban manusia, di lain pihak memberikan kesempatan tindak kejahatan
cybercrime yang fatal apabila diretas oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Sebuah urgensi bagi pemerintah untuk membuat regulasi perlindungan data pribadi
sehingga tidak disalahgunakan oleh pihak pihak yang tidak betanggungjawab. Dalam dunia
perbankan, dan peretasan data , pornografi dan lain sebagainya bisa dijadikan contoh. Betapa
berbahanyanya cybercrime.
Pemerintah walaupun sudah mengatur dalam UU ITE pasal 26, namun belum secara
jelas mengatur tentang data kesehatan yang merupakan data pribadi yang harus dilindungi.
Demikian pula PP nomor 71 ntang peraturan penyelenggaraan Transaksi Elektronik suadah
ada secara umum untuk mengatur keamanan data pribadi. Tapi belum secara jelas mengatur
tentang rekam medik misalnya dan belum mengatur pencurian data dari media elektronik.
1
Negara perlu menjaga infrastruktur kesehatan dan sistem informasi kesehatan tetap
aman dari serangan siber. Ini bisa termasuk rumah sakit, klinik, sistem manajemen rekam
medis, dan lainnya. Kewajiban negara adalah untuk mendorong atau mengharuskan lembaga
kesehatan menggunakan langkah-langkah keamanan siber yang tepat dan mengadopsi praktik
terbaik untuk melindungi data kesehatan pasien.

Kewajiban negara ini dimaksudkan untuk melindungi privasi dan keamanan data
kesehatan individu, mencegah penyalahgunaan informasi pribadi, dan menegakkan hukum
untuk melawan kejahatan siber yang mungkin mengancam sistem kesehatan. Bagaimanapun,
peran dan kewajiban negara dapat berbeda-beda tergantung pada undang-undang dan
peraturan yang berlaku di negara masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, N. (2019). Perlindungan Hukum Kerahasiaan Data Pasien Dalam Rekam Medik
Elektronik. Seminar Nasional Paperless Healthcare System In Indonesia, 1–18.
http://repository.ubaya.ac.id/id/eprint/35220
Ide, Alexandra. (2012). Etika & Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Grasia
Book Publisher .
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Cetak Biru Strategi Transformasi
Digital Kesehatan 2024. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kuntardjo, C. (2020). Dimensions of Ethics and Telemedicine in Indonesia: Enough of
Permenkes Number 20 Year 2019 As a Frame of Telemedicine Practices in Indonesia?
Soepra, 6(1), 1–14. https://doi.org/10.24167/shk.v6i1.2606
Prananda, R. R. (2020). Batasan Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien Pengidap Covid-19.
Law, Development & Justice Review, 3(1), 142–168.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/lj/article/viewFile/8000/4157
Smith, R. K. M. S., Høstmælingen, N., Ranheim, C., Arinanto, S., Falaakh, F., Soeprapto, E.,
Kasim, I., Rizki, R. M., Marzuki, S., Agus, F., Yudhawiranata, A., Sudjatmoko, A.,
Pradjasto, A., Eddyono, S. W., & Riyadi, E. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia (HAM).
Evolusi Pemikiran Dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, 51.
Yulida, R., Lazuardi, L. and Pertiwi, A. A. P. (2021) ‘Tantangan Implementasi Rekam Medis
Elektronik Berdasarkan Dimensi Sumber Daya Manusia Di Rsgm Prof. Soedomo
Yogyakarta’, Prosiding Diskusi Ilmiah" Inovasi dan Teknologi Informasi untuk
Mendukung Kinerja PMIK dalam Masa Pandemi Covid 19", pp. 102–106

You might also like