You are on page 1of 16

ESAI IDE GAGASAN

“Gagasan Baru Transplantasi Mikrobiota Tinja Untuk

Pengobatan Diare Clostridioides Difficile”


PAKTA INTEGRITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Frida Dwi Lestari

NPM : 130110220274

Kelompok tutorial 4

Dengan ini menyatakan:

1. Sesuai dengan pedoman pelaksanaan ujian di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran,


dengan ini saya tidak akan melakukan praktik plagiarisme dalam proses assessment ini.

2. Saya memahami bahwa pelanggaran aturan pelaksanaan ujian ini dapat mengakibatkan
saya dinyatakan gagal dalam ujian ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sungguh sungguh dan sebenar-benarnya.
Diare Clostridioides Difficile

A. Latar Belakang

Infeksi Clostridium Difficile (ICD) adalah penyebab penting kejadian diare di rumah sakit
dan sentra kesehatan lainnya. ICD terjadi ketika bakteri Clostridium difficile berkembang
biak di usus besar, terutama setelah penggunaan antibiotik yang merusak flora usus normal.
Hal ini memungkinkan C. difficile untuk tumbuh dan menghasilkan toksin yang
menyebabkan inflamasi pada usus dan gejala diare yang berat. Beberapa faktor risiko untuk
ICD meliputi penggunaan antibiotik, perawatan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan
lainnya, usia lanjut, dan kelemahan sistem kekebalan tubuh. Bakteri C. difficile juga dapat
menyebar melalui kontak dengan kotoran orang yang terinfeksi atau benda yang
terkontaminasi.

Untuk mendiagnosis ICD, dokter dapat melakukan tes tinja untuk mendeteksi toksin yang
dihasilkan oleh C. difficile. Pengobatan ICD melibatkan penghentian antibiotik yang merusak
flora usus normal dan memberikan antibiotik yang lebih spesifik untuk C. difficile, seperti
metronidazole atau vancomycin. Dalam beberapa kasus yang lebih parah, mungkin
diperlukan terapi tambahan seperti transplantasi feses untuk mengembalikan flora usus yang
sehat.

Probiotik belum terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan ICD dan saat ini belum ada
imunoterapi. Transfer mikrobiota tinja (TMF) telah muncul sebagai pilihan pengobatan lain
untuk pasien dengan tingkat kekambuhan ICD yang tinggi. Telah dilaporkan bahwa
efektivitas antibiotik menurun hingga 30% pada kasus ICD dengan lebih dari dua
kekambuhan. Dalam hal ini, studi acak double-blind menunjukkan bahwa TMF secara efektif
mengendalikan 81% ICD berulang. Namun, saat ini belum ada metode yang ditetapkan untuk
TMF dan tidak jelas bagaimana pengaruhnya terhadap flora usus dalam jangka panjang. 

Transplantasi mikrobiota tinja (TMT) adalah sebuah terapi inovatif yang melibatkan
transplantasi feses dari donor sehat ke pasien dengan gangguan kesehatan usus tertentu,
termasuk infeksi C. difficile. TMT bertujuan untuk memulihkan flora usus normal pasien dan
mencegah pertumbuhan C. difficile yang berlebihan. Meskipun TMT masih tergolong
sebagai terapi eksperimental, namun banyak penelitian yang menunjukkan bahwa TMT
efektif dalam mengobati infeksi C. difficile yang sulit diobati.

Penelitian mengenai TMT untuk pengobatan infeksi C. difficile telah dilakukan sejak tahun
2010-an dan terus berkembang hingga saat ini. Penelitian ini mengevaluasi keefektifan,
keamanan, dan mekanisme kerja TMT dalam mengobati infeksi C. difficile, serta potensi
penggunaannya sebagai terapi di masa depan. Selain itu, penelitian ini juga membahas
masalah-masalah yang terkait dengan TMT, seperti regulasi, etika, dan perspektif pasien dan
dokter. Penelitian mengenai TMT menjadi semakin penting seiring meningkatnya kasus
infeksi C. difficile yang sulit diobati dan kebutuhan akan pengobatan yang lebih efektif dan
aman. Dengan hasil penelitian yang positif, TMT diharapkan dapat menjadi alternatif
pengobatan yang lebih efektif dan aman bagi pasien dengan infeksi C. difficile dan gangguan
kesehatan usus lainnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan intervensi terbaru dan praktis yang dapat
digunakan bagi para pasien Diare Clostridioides Difficile yang membutuhkan perawatan:

 Perawatan saat ini bagi penderita Diare Clostridioides Difficile

Infeksi Clostridioides difficile (C. difficile) biasanya diobati dengan antibiotik yang lebih
sempit spektrumnya, seperti metronidazole atau vancomycin. Penghentian antibiotik yang
mungkin menjadi penyebab infeksi juga dilakukan. Pengobatan ini bertujuan untuk
membasmi bakteri C. difficile yang berlebihan di dalam usus dan mengembalikan
keseimbangan mikrobiota usus normal.

Namun, pengobatan dengan metronidazole atau vancomycin tidak selalu efektif, terutama
pada kasus infeksi yang sulit diobati dan pada pasien dengan faktor risiko yang lebih tinggi,
seperti lanjut usia, gangguan kekebalan tubuh, atau riwayat penggunaan antibiotik yang
berulang. Selain itu, pengobatan dengan antibiotik ini dapat menimbulkan efek samping
seperti mual, muntah, dan diare. Pada kasus infeksi yang parah atau berulang, terapi
tambahan mungkin diperlukan. Terapi tambahan dapat meliputi pengobatan dengan
fidaxomicin atau kombinasi vancomycin dan rifampin. Fidaxomicin adalah antibiotik yang
memiliki spektrum sempit dan lebih efektif daripada vancomycin dalam mencegah
kambuhnya infeksi C. difficile. Kombinasi vancomycin dan rifampin juga dapat digunakan
pada kasus yang sulit diobati atau berulang.

Selain efek samping, masalah utama dari pengobatan antibiotik adalah risiko terjadinya
resistensi antibiotik pada bakteri C. difficile atau bakteri patogen lainnya.

 Intervensi terbaru

Intervensi terbaru yang sedang dikembangkan untuk pengobatan infeksi C. difficile adalah
transplantasi mikrobiota tinja (TMT). TMT dilakukan dengan mentransfer feses dari donor
sehat ke dalam usus pasien dengan infeksi C. difficile untuk memulihkan flora usus normal
pasien dan mencegah pertumbuhan C. difficile yang berlebihan. TMT telah terbukti efektif
dalam mengobati infeksi C. difficile yang sulit diobati dan memiliki efek samping yang
relatif sedikit.

Selain TMT, terdapat juga beberapa intervensi terbaru lainnya yang sedang dikembangkan
untuk pengobatan infeksi C. difficile, seperti penggunaan bakteriofag dan antibodi
monoklonal. Bakteriofag adalah virus yang dapat menyerang dan membunuh bakteri tertentu,
termasuk C. difficile, sedangkan antibodi monoklonal dapat menghambat pertumbuhan C.
difficile. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan efektivitas dan
keamanan intervensi ini dalam pengobatan infeksi C. difficile.

B. Teori Dasar

Clostridioides difficile (C. difficile) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1935 oleh seorang
ilmuwan bernama Hall dan O'Toole. Namun, penyakit yang disebabkan oleh C. difficile baru
mulai dikenal secara luas pada tahun 1978, ketika sebuah wabah di rumah sakit di Swiss
terjadi. Pada awalnya, C. difficile dianggap sebagai penyebab yang jarang terjadi dari diare
dan kolitis pseudomembranous pada pasien yang menerima antibiotik. Namun, pada akhir
1990-an dan awal 2000-an, terjadi peningkatan insiden dan keparahan infeksi C. difficile di
seluruh dunia.

Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan ini terkait dengan penggunaan antibiotik yang
lebih luas dan lebih lama, serta kemampuan C. difficile untuk memproduksi spora yang
sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk dan dapat bertahan dalam lingkungan
selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Pada tahun 2016, genus Clostridium direvisi dan diubah namanya menjadi Clostridioides,
sehingga nama bakteri ini juga diubah menjadi Clostridioides difficile.
Clostridioides difficile (C. difficile) adalah bakteri anaerob gram positif yang dapat
menyebabkan infeksi usus yang disebut Clostridioides difficile infection (CDI). Berdasarkan
karakteristik fenotipik dan genetik, C. difficile telah diklasifikasikan menjadi beberapa tipe
dan sub-tipe, termasuk tipe 1 hingga 17.

Pada klasifikasi tipe, C. difficile dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan karakteristik
biologis dan epidemiologisnya, yaitu:

Kelompok 1 (toxin A+ dan toxin B+)


Kelompok 2 (toxin A- dan toxin B+)

Kelompok 3 (toxin A+ dan toxin B-)

Kelompok 4 (toxin A- dan toxin B-)

Sedangkan pada klasifikasi sub-tipe, C. difficile dibagi menjadi berbagai jenis berdasarkan
variasi genetiknya, yang dikenal sebagai ribotype. Saat ini, terdapat lebih dari 300 ribotipe C.
difficile yang telah diidentifikasi, namun hanya beberapa yang dianggap sebagai penyebab
CDI pada manusia, seperti ribotipe 027, 078, dan 001.

Pengklasifikasian C. difficile menjadi tipe dan sub-tipe sangat penting dalam memahami
epidemiologi CDI dan membantu pengembangan strategi pengendalian infeksi. Beberapa
jenis C. difficile, terutama tipe 027, dikaitkan dengan kejadian CDI yang lebih parah dan
resisten terhadap beberapa antibiotik. Oleh karena itu, pemantauan dan karakterisasi jenis C.
difficile yang beredar di masyarakat sangat penting untuk memahami dinamika infeksi dan
mengembangkan tatalaksana yang efektif.

Gejala yang dialami oleh penderita Clostridioides difficile dapat bervariasi dari ringan hingga
berat. Beberapa gejala umum yang biasa dialami oleh penderita diare Clostridioides difficile
antara lain:

 Diare: Penderita diare Clostridioides difficile akan mengalami diare berair dengan
frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari.
 Sakit perut: Penderita juga dapat mengalami sakit perut yang terasa kram dan nyeri.
 Demam: Demam bisa terjadi pada penderita Clostridioides difficile, meski tidak
selalu.
 Mual dan muntah: Penderita bisa merasa mual dan muntah akibat infeksi ini.
 Nyeri dada dan kesulitan bernapas: Ini adalah gejala yang sangat langka pada infeksi
Clostridioides difficile, namun bisa terjadi pada kasus yang sangat parah.

Gejala biasanya muncul dalam waktu 5-10 hari setelah seseorang terpapar bakteri
Clostridioides difficile. Waktu inkubasi bisa bervariasi tergantung pada tingkat keparahan
infeksi dan kekebalan tubuh individu. Penderita yang mengalami gejala yang parah, seperti
diare berat, demam tinggi, dan dehidrasi, harus segera mencari perawatan medis untuk
menghindari komplikasi serius.

Pengobatan Clostridioides difficile (C. difficile) melibatkan penghentian antibiotik yang


merangsang pertumbuhan C. difficile dan pemberian obat untuk membunuh bakteri tersebut.
Pengobatan juga dapat melibatkan pengelolaan cairan dan elektrolit, serta tindakan
pencegahan infeksi terhadap orang lain.

Pada kasus infeksi ringan hingga sedang, dokter mungkin meresepkan antibiotik tertentu
seperti metronidazole atau vancomycin selama 10-14 hari. Sedangkan pada infeksi yang lebih
parah, antibiotik intravena seperti fidaxomicin atau bezlotoxumab dapat digunakan. Jika
pengobatan antibiotik tidak efektif, transplantasi mikrobiota tinja (FMT) dapat dilakukan
sebagai opsi pengobatan.

Selain pengobatan, tindakan pencegahan juga penting dalam mengatasi C. difficile. Hal ini
meliputi praktik kebersihan tangan yang baik, penggunaan antibiotik dengan hati-hati, serta
isolasi pasien yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran infeksi. Dalam kasus-kasus yang
parah, seperti toksik megakolon atau perforasi usus, kemungkinan besar akan memerlukan
tindakan bedah untuk menghilangkan bagian usus yang terinfeksi atau bahkan untuk
melakukan kolostomi (pembuatan lubang di dinding perut untuk mengevakuasi feses).

Transplantasi mikrobiota tinja (FMT) merupakan sebuah terapi yang sudah dikenal sejak
ratusan tahun yang lalu. Pada zaman dahulu, orang-orang China dan Korea sudah melakukan
pengobatan dengan cara mengambil tinja dari orang yang sehat dan menanamkannya ke
dalam tubuh orang yang sakit. Konsep FMT modern pertama kali dijelaskan oleh Dr. Ben
Eiseman pada tahun 1958, ketika ia mengobati empat pasien dengan kolitis
pseudomembranosa dengan cara mengirimkan tinja dari seorang donor sehat ke usus pasien.
Meskipun pasien-pasien tersebut sembuh, tetapi terapi ini masih dianggap kontroversial dan
jarang digunakan pada saat itu.

Pada tahun 1980-an, FMT menjadi lebih dikenal di kalangan para dokter dan peneliti. Pada
tahun 1983, Dr. Thomas Borody menggunakan FMT untuk mengobati pasien dengan
gangguan pencernaan dan berhasil mencapai kesembuhan. Pada tahun 1990, Dr. Borody
membuka pusat FMT pertama di dunia di Sydney, Australia, dan sejak saat itu, FMT menjadi
semakin dikenal dan dipelajari di seluruh dunia.

Pada tahun 2013, FMT akhirnya mendapat pengakuan dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan Amerika Serikat (FDA) sebagai terapi alternatif untuk infeksi Clostridioides
difficile yang tidak responsif terhadap antibiotik. Saat ini, FMT terus dipelajari dan
dikembangkan sebagai terapi potensial untuk berbagai kondisi terkait gangguan mikrobiota
usus, seperti sindrom iritasi usus (IBS), penyakit Crohn, dan bahkan obesitas.
C. Ide dan Gagasan

 Defenisi

TMT adalah sebuah teknik pengobatan yang sedang berkembang pesat untuk mengatasi
masalah gangguan kesehatan yang berhubungan dengan ketidakseimbangan mikrobiota usus.
Gangguan kesehatan tersebut dapat berupa infeksi C. difficile, sindrom iritasi usus, penyakit
inflamasi usus (IBD), alergi makanan, obesitas, diabetes tipe 2, dan bahkan penyakit
Alzheimer.

TMT bekerja dengan mengembalikan keanekaragaman dan keseimbangan mikroorganisme


usus yang normal pada pasien yang menderita disbiosis usus. Disbiosis usus terjadi ketika
komposisi mikroorganisme pada usus mengalami perubahan yang signifikan, sehingga
bakteri "buruk" mulai mendominasi dan mengurangi keberadaan bakteri "baik". TMT
bertujuan untuk mengembalikan keanekaragaman dan keseimbangan mikroorganisme usus
normal pada pasien yang menderita disbiosis usus.

TMT dilakukan dengan mengambil sampel tinja dari seorang donor yang sehat dan
mengubahnya menjadi bentuk yang dapat digunakan untuk transplantasi. Bentuk tersebut
dapat berupa cairan yang disuntikkan melalui kolonoskopi atau enema, atau berupa kapsul
yang dapat ditelan pasien. Sampel tinja tersebut mengandung sejumlah besar mikroorganisme
yang sehat dan beragam, termasuk bakteri probiotik dan prebiotik yang membantu
memperbaiki keberadaan mikroorganisme usus yang sehat pada pasien yang menerima
transplantasi.

 Makanisme

Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa TMT dapat mengatasi infeksi C. difficile secara
efektif dengan mengembalikan keseimbangan mikrobiota usus pasien yang terganggu. Salah
satu mekanisme utama TMT adalah re-populasi mikrobiota. Pemberian mikrobiota sehat
dalam bentuk tinja pada pasien yang menderita infeksi C. difficile, dapat membantu
merekonstruksi mikrobiota usus yang sehat. Bakteri sehat yang ditanamkan dalam TMT
mampu menggantikan bakteri patogenik yang ada di usus pasien, dan mengembalikan
keseimbangan mikrobiota yang sehat. Sebagai contoh, kelompok bakteri Firmicutes dan
Bacteroidetes adalah kelompok bakteri yang banyak terdapat pada manusia sehat, namun
jumlahnya menurun pada pasien yang menderita infeksi C. difficile. Dalam TMT, bakteri-
bakteri ini dapat ditanamkan kembali ke usus pasien, sehingga membantu memperbaiki
kesehatan usus.

Selain itu, mekanisme lain yang mungkin terjadi dalam TMT adalah persaingan mikrobiota.
Bakteri yang ditanamkan dalam TMT bersaing dengan bakteri patogenik dan dapat
mempertahankan kondisi lingkungan yang sehat dalam usus, seperti pH, nutrisi dan
lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri sehat.

Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah stimulasi sistem kekebalan tubuh. Mikrobiota
yang sehat memainkan peran penting dalam stimulasi sistem kekebalan tubuh. Dalam TMT,
bakteri yang ditanamkan dapat memicu respons kekebalan tubuh dan menghasilkan faktor
pertumbuhan yang merangsang sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh.

Selain itu, bakteri yang ditanamkan dalam TMT dapat memproduksi metabolit yang
diperlukan oleh tubuh manusia, seperti vitamin B dan K, serta asam lemak rantai pendek
yang berguna untuk kesehatan usus dan peningkatan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Hal
ini tentu saja akan mempercepat pemulihan pasien. Terakhir, bakteri yang ditanamkan dalam
TMT juga dapat menghasilkan senyawa yang menghambat produksi racun oleh C. difficile
dan mempercepat pemulihan pasien.
Sebelum tahun 1989, material feses disuntikkan melalui enema retensi. Namun, metode
alternatif kemudian dikembangkan, termasuk infus tinja melalui tabung duodenum, tabung
rektal, kolonoskopi, dan tabung enteral transendoskopik kolonik. Saat ini, rute enteral
meliputi penggunaan endoskop, tabung naso-enterik, atau kapsul melalui penggunaan oral.

TMT untuk CDI berulang sama efektifnya baik diberikan melalui kolonoskopi, tabung
nasogastric, atau enema yang diberikan di rumah. Meta-analisis dari empat studi tentang
tingkat kesembuhan CDI yang relatif setelah kapsul FMT oral dibandingkan dengan FMT
yang diberikan melalui kolonoskopi dilakukan dan tidak menemukan perbedaan efikasi
antara kedua metode. Tidak ada laporan efek samping serius yang dapat dikaitkan dengan
kapsul FMT oral selain yang terkait dengan kegagalan pengobatan. Kapsul FMT oral
semakin mudah diakses dan harus diberikan sesuai dengan protokol produsen kapsul. Salah
satu hambatan yang mungkin terjadi adalah jumlah kapsul yang harus ditelan untuk dosis
penuh seringkali besar dan dapat menyebabkan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah,
dan kembung.
Namun, meta-analisis yang lebih besar yang melibatkan 24 studi melaporkan bahwa FMT
melalui endoskopi gastrointestinal bagian bawah lebih unggul dibandingkan dengan semua
metode pengiriman lainnya. Oleh karena itu, penggunaan metode yang sesuai harus
disesuaikan dengan kondisi pasien dan protokol yang tersedia.

 Efek /Manfaat

Transplantasi mikrobiota feses (FMT) telah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit
dan kondisi yang terkait dengan disbiosis usus, termasuk infeksi rekuren Clostridium difficile
(CDI), penyakit radang usus (IBD), sindrom usus iritabel (IBS), dan gangguan metabolik
seperti obesitas dan diabetes tipe 2. Konsekuensi biologis dari FMT terutama dimediasi
melalui restorasi mikrobiota usus yang sehat.

Salah satu konsekuensi utama dari FMT adalah restorasi komunitas mikrobiota usus yang
beragam dan stabil, yang telah terbukti mengatur metabolisme dan respons imun tubuh. Hal
ini dapat menyebabkan peningkatan fungsi metabolik dan imun, serta pengurangan
peradangan dan stres oksidatif. Pada pasien dengan CDI, FMT dapat menghilangkan infeksi
dan memulihkan mikrobiota yang sehat, sehingga menyebabkan hilangnya gejala dan risiko
rekurensi yang lebih rendah.

FMT juga menunjukkan potensi dalam pengobatan IBD, dengan studi yang menunjukkan
peningkatan tingkat remisi klinis dan pengurangan aktivitas penyakit. Pada pasien dengan
IBS, FMT telah terbukti meningkatkan gejala seperti nyeri perut dan kembung, serta
mengurangi kecemasan dan depresi. Selain itu, FMT telah diselidiki sebagai pengobatan
potensial untuk gangguan metabolik seperti obesitas dan diabetes tipe 2, dengan hasil awal
yang menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan kontrol glukosa dan
sensitivitas insulin.

Transplantasi mikrobiota feses (FMT) dapat memberikan manfaat pada berbagai penyakit dan
kondisi yang terkait dengan disbiosis usus, seperti infeksi rekuren Clostridium difficile
(CDI), penyakit radang usus (IBD), sindrom usus iritabel (IBS), dan gangguan metabolik
seperti obesitas dan diabetes tipe 2. Manfaat utama dari FMT adalah restorasi mikrobiota
usus yang sehat dan beragam, yang dapat memperbaiki metabolisme dan respons imun tubuh.
Dengan memulihkan keseimbangan mikrobiota usus, FMT dapat memperbaiki gejala yang
terkait dengan disbiosis usus, seperti diare, nyeri perut, kembung, dan gangguan pencernaan
lainnya. Beberapa manfaat spesifik dari FMT adalah sebagai berikut:
1. Pada pasien dengan CDI, FMT dapat menghilangkan infeksi dan mengurangi risiko
rekurensi yang lebih rendah dibandingkan dengan pengobatan konvensional.
2. Pada pasien dengan IBD, FMT dapat meningkatkan remisi klinis dan mengurangi
aktivitas penyakit.
3. Pada pasien dengan IBS, FMT dapat mengurangi gejala seperti nyeri perut, kembung,
dan perubahan frekuensi buang air besar.
4. Pada pasien dengan gangguan metabolik seperti obesitas dan diabetes tipe 2, FMT
dapat meningkatkan kontrol glukosa darah dan sensitivitas insulin.

Keunggulan transplantasi mikrobiota feses (FMT) adalah kemampuannya untuk mengatasi


disbiosis usus dengan cara yang lebih alami dan efektif dibandingkan dengan pengobatan
konvensional. Beberapa keunggulan spesifik dari FMT adalah sebagai berikut:

1. Efektivitas Tinggi: FMT telah terbukti sangat efektif dalam mengobati infeksi rekuren
Clostridium difficile (CDI) dengan tingkat keberhasilan mencapai lebih dari 90%,
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan konvensional.
2. Aman: FMT relatif aman, dengan risiko efek samping yang minimal dan jarang
terjadi. Efek samping yang paling umum adalah kembung dan diare ringan.
3. Biaya Rendah: FMT relatif murah dibandingkan dengan pengobatan konvensional
untuk kondisi-kondisi tertentu, seperti CDI.
4. Potensi Aplikasi yang Luas: Selain untuk mengobati CDI, FMT juga memiliki potensi
aplikasi yang luas dalam mengobati berbagai kondisi yang terkait dengan disbiosis
usus, seperti penyakit radang usus (IBD), sindrom usus iritabel (IBS), dan gangguan
metabolik seperti obesitas dan diabetes tipe 2.
5. Sumber Bahan yang Mudah Diperoleh: FMT menggunakan sampel feses sebagai
sumber mikrobiota, yang mudah diperoleh dan tersedia dalam jumlah yang cukup
besar.

Namun, perlu diingat bahwa FMT masih merupakan pengobatan eksperimental dan tidak
dianggap sebagai pengobatan utama untuk kondisi-kondisi tertentu. Keamanan dan
efektivitas jangka panjang FMT masih perlu diteliti lebih lanjut, dan penggunaannya harus
dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih dalam lingkungan klinis yang terkontrol.

 Keterbatasan
Meskipun Transplantasi mikrobiota feses (FMT) menjanjikan sebagai pengobatan untuk
berbagai kondisi terkait disbiosis usus, namun terdapat beberapa keterbatasan yang perlu
dipertimbangkan, antara lain:

1. Potensi Risiko Infeksi: FMT menggunakan sampel feses dari donor yang telah
disaring, tetapi masih terdapat potensi risiko infeksi dari penyakit menular yang tidak
terdeteksi pada donor. Beberapa kasus telah dilaporkan terkait dengan FMT, seperti
infeksi bakteri patogen, virus, parasit, dan resistensi antibiotik.
2. Masalah Etis dan Sosial: FMT melibatkan penggunaan sampel feses dari donor lain,
yang bisa menimbulkan masalah etis dan sosial. Beberapa orang mungkin merasa
tidak nyaman atau tidak mau menjadi donor, atau memiliki stigma terkait dengan
penggunaan sampel feses.
3. Kurangnya Pengetahuan tentang Mekanisme Kerja: Meskipun FMT telah terbukti
efektif dalam mengobati CDI, kurangnya pengetahuan tentang mekanisme kerjanya
membuat sulit untuk menggeneralisasi ke berbagai kondisi terkait disbiosis usus
lainnya.
4. Kurangnya Data Jangka Panjang: Efektivitas jangka panjang FMT masih belum
diketahui dengan pasti, dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengevaluasi efek jangka panjang dari pengobatan ini.
5. Keterbatasan Aksesibilitas: FMT masih merupakan pengobatan eksperimental dan
masih belum tersedia secara luas di semua negara. Sumber daya dan aksesibilitas
FMT juga masih terbatas di beberapa tempat.
6. Keberhasilan Tidak Konsisten: Keberhasilan FMT dalam mengobati berbagai kondisi
terkait disbiosis usus tidak selalu konsisten dan dapat bervariasi antara pasien. Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan FMT, seperti dosis,
frekuensi, dan jenis sampel feses yang digunakan.

Keterbatasan-keterbatasan di atas menunjukkan bahwa FMT masih perlu diteliti lebih lanjut
dan diterapkan secara hati-hati oleh tenaga medis yang terlatih dan berpengalaman dalam
pengobatan kondisi terkait disbiosis usus.

 Kolaborasi

Mewujudkan Transplantasi mikrobiota feses (FMT) sebagai pengobatan yang efektif dan
aman memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak, antara lain:
1) Dokter dan ahli gastroenterologi: Dokter dan ahli gastroenterologi memainkan peran
penting dalam menentukan kondisi yang memerlukan FMT, melakukan persiapan dan
prosedur FMT, dan melakukan tindak lanjut pasca-prosedur.
2) Peneliti: Peneliti perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih lanjut
tentang mekanisme kerja FMT dan mempelajari efektivitas jangka panjang dari
pengobatan ini. Penelitian ini perlu dilakukan dengan menggunakan desain penelitian
yang ketat dan mengikuti etika penelitian yang benar.
3) Donor dan laboratorium: Donor dan laboratorium bertanggung jawab untuk
memastikan keamanan sampel feses dan menjaga kualitas dan integritas sampel feses
selama pengolahan dan penyimpanan.
4) Regulator: Regulator perlu menetapkan pedoman dan regulasi yang ketat untuk
memastikan keamanan dan efektivitas FMT. Regulator juga perlu memantau
pelaksanaan FMT secara terus menerus untuk memastikan keselamatan dan kualitas
pengobatan.
5) Pasien dan masyarakat: Pasien dan masyarakat perlu dipersiapkan dengan informasi
yang akurat tentang FMT, termasuk manfaat, risiko, dan keterbatasan pengobatan ini.
Pasien dan masyarakat juga perlu berpartisipasi aktif dalam diskusi dan keputusan
terkait pengobatan.

Dengan kolaborasi yang tepat dari berbagai pihak, FMT dapat diwujudkan sebagai
pengobatan yang efektif dan aman untuk berbagai kondisi terkait disbiosis usus.
D. Peta Konsep

Diare

1. Kultur bakteri dari sampel Identifikasi Penyebabnya


tinja pada media selektif
untuk Clostridioides difficile.
2. Media selektif yang
digunakan biasanya adalah Terindentifikasi
cycloserine-cefoxitin Clostridioides Difficile
fructose agar (CCFA) atau Gejala Klinis
agar cefoxitin. FMT
 Diare
Kolonoskopi  Nyeri perut.
Identifikasi bakteri yang  Mual dan muntah
 Demam
Sigmoidoskopi  Penurunan nafsu makan
 Dehidrasi
 Peningkatan jumlah
Enema leukosit dalam darah

Kapsul oral

Follow Up
E. Daftar Pustaka
Lysberg Brønlund, A. B. Har probiotisk terapi effekt mot Clostridioides difficile-assosiert
diare i sykehus? En systematisk litteraturstudie.
Henriksen, M. S. (2020). Clostridioides difficile-forekomst, forløp og risikofaktorer. En
undersøkelse fra et fylke med høyt forbruk av antibiotika (Master's thesis).
Langberg, M. K., Birkeland, K. M., Kvålseth, C. L., Høiland, H. H. F., Larsen, L. W.,
Stenbeck, I., & Selliah, S. (2020). Fekal mikrobiota transplantasjon ved residiverende
Clostridiodes difficile kolitt: Et kvalitetsforbedringsprosjekt (Master's thesis).
Liwang, F., & Sinto, R. (2021). Pendekatan Klinis Terkini Infeksi Clostridium difficile
Nosokomial. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 8(2), 104-109.
Hardjo, M. (2020). TRANSPLANTASI MICROBIOTA TINJA SEBAGAI ALTERNATIF
PENGOBATAN INFEKSI BAKTERI CLOSTRIDIUM DIFFICILE BERULANG (Doctoral
dissertation, Universitas Hasanuddin).

You might also like