You are on page 1of 10

Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

BUDAYA AUSTRONESIA DI PAPUA


Hari Suroto

(Balai Arkeologi Jayapura)

Abstract
Papua has a strategic location in the western Pacific region, as a connector between
South East Asia and Pacific Region that makes it a strategic place to transit from
both west and east. On 1500 to 1000 BC there were a new wave of migration from
Austronesia. The colonist left a vivid track about their journey through ocean and
islands which can be seen form their archaeological sites. These sites were found in
Admiralty island on the north of New Guinea to the east of Samoa island on West
Polynesia. The strongest evidence on the migration of the Austronesian in Pacific
is the language. The imigrant from Austronesia who came to Pacific settled accross
the coastal area of north Papua. The influence of Austronesian culture in Papua that
is only on north coast Papua, the Cendrawasih bay and the Bird’s Head Peninsula is
particularly the Melanesian language, which actually a development of local Papua
language influenced by the Austronesian language. Other influence they made is the
tradition of the making and utilization of vessels. It is because this tradition was widely
unknown in mid Papua mountains and south-coast Papua. Then the other Austronesian
characteristics are the structured hierarchical organization, which applied hereditary
and tattoo tradition.
Keywords: Austronesian narrator, the influence of Austronesian culture, North-coast
Papua

Pendahuluan

Banyak orang Papua saat ini menganggap dirinya sebagai keturunan


Melanesia, karena merujuk pada arti ‘Melanesia’ (=penghuni pulau berkulit hitam).
Kata ‘Melanesia’ secara harafiah berarti ‘pulau-pulau hitam’. Istilah ini pertama kali
digunakan pada tahun 1827 oleh nahkoda kapal Astrolabe asal Perancis bernama
Dumont d’Urville. Kata ini sebenarnya untuk menunjuk areal geografis semata.
Walaupun begitu, para ahli yang telah menyelidiki bahasa dan prasejarah Papua
dan Melanesia sepakat untuk membedakannya. Bahasa-bahasa Papua sebagai Non-
Austronesia dan bahasa-bahasa Melanesia termasuk dalam filum Austronesia.

Selama kurun bertahun-tahun, sebelum adanya kajian yang komprehensif


tentang bahasa di Pasifik, baik orang Papua maupun orang Melanesia yang tinggal

Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009 59


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

di Pulau Solomon, Vanuatu, Kaledonia baru, dan Fiji sama-sama digolongkan


dalam kategori penutur bahasa Melanesia (Muller, 2008: 58). Moeliono (1963:28)
berpendapat yang tergolong dalam penutur bahasa Melanesia, daerahnya antara
lain New Britain, New Ireland, New Hebrides dan Pulau Fiji. Sementara itu Peter
Bellwood (2005:266) berpendapat yang termasuk dalam penutur bahasa Melanesia
adalah Fiji, Biak, Vanuatu, New Britain, New Ireland, Sepik, dan Admiralty.

Pada 1500 hingga 1000 SM di Pasifik Barat datang gelombang penduduk


baru. Pendatang baru ini adalah migran yang berbahasa Austronesia. Para kolonis
Austronesia meninggalkan jejak-jejak yang amat jelas akan keperintisan mereka
melintasi lautan dan pulau-pulau pada situs-situs arkeologi yang ditemukan mulai
dari Kepulauan Admiralty di utara New Guinea sampai ke timur sejauh Samoa, di
Polinesia barat (Bellwood, 2000:341).

Bukti paling kuat migrasi Austronesia di Pasifik adalah bahasa (Bellwood,


1978:244). Diperkirakan kelompok ini juga menetap di Pulau Biak dan Yapen.
Perkiraan ini didukung oleh bukti linguistik meskipun secara arkeologis belum
ditemukan (Muller, 2008: 52).

Orang Austronesia ini meninggalkan Taiwan 5000 tahun yang lalu dan
menyebar ke arah selatan. Mereka mengadakan perjalanan laut menggunakan perahu
sampan maupun perahu layar, pertama-tama mencapai Filipina bagian utara. Mereka
kemudian mengadakan perjalanan ke arah selatan. Dari selatan Filipina mereka
memisahkan diri dalam 2 kelompok: kelompok pertama berlayar ke arah barat daya,
sedangkan kelompok kedua berlayar ke arah tenggara. Kelompok pertama kemudian
mencapai Pulau Kalimantan, Malaysia, Sumatera dan Jawa. Bisa dikatakan kelompok
pertama inilah yang menjadi nenek moyang orang Malaysia serta orang Indonesia Barat.
Kelompok kedua-yang bergerak ke arah tenggara- akhirnya mencapai Halmahera dan
Kepulauan Bismarck. Dari Bismarck, mereka melanjutkan perjalanannya ke Pulau
Solomon, Vanuatu, New Kaledonia, Fiji, dan terus ke arah timur sampai akhirnya
mereka menetap di wilayah Polinesia (Muller, 2008:48-49).

Kebudayaan dan teknologi orang Austronesia ini sudah sangat maju. Mereka
telah menjinakkan berbagai jenis hewan (ayam, anjing dan babi) serta membiakkan
tanaman impor yang bermanfaat. Perkakas yang mereka pergunakan sudah lebih baik.
Organisasi kemasyarakatannya pun sudah terstruktur dengan sistem hirarki dimana

60 Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

para pemimpinnya dijabat secara turun-temurun. Dengan keahliannya, mereka juga


mampu menghasilkan karya berupa ornamen-ornamen dan perkakas dengan bahan
kulit kerang. Ornamen atau alat-alat berbahan kerang yang mereka buat termasuk
beliung, manik-manik, mata kail, gelang tangan, dan terompet (Muller, 2008:53).

Imigran Austronesia yang datang ke Pasifik bermukim di sepanjang


tepi pantai. Penghunian wilayah pesisir yang dapat dilakukan dengan mudah dan
cepat rupanya lebih diminati daripada penghunian wilayah pedalaman yang lebih
membutuhkan tenaga, dan lagi di beberapa tempat sudah dihuni oleh penduduk lain
yang mungkin tidak bisa menerima mereka. Pertanian biji-bijian menjadi kurang
penting, para pemukim Austronesia di Pasifik mendasarkan ekonomi mereka
semata-mata pada umbi-umbian, pohon buah, dan tanaman pangan bertunas lainnya
(Bellwood, 2000:354).

Interaksi penutur Austronesia dengan Papua kemudian menciptakan suatu


budaya yang sangat kompleks, yang dikenal sebagai budaya Lapita. Kata ‘Lapita’
berasal dari sebuah tempat di New Kaledonia yang terkenal sebagai tempat penghasil
kerajinan tembikar yang sangat indah. Tembikar ini umumnya berwarna kemerah-
merahan dan dihiasi dengan gambar gigi-gigi kecil yang berbeda diantaranya diberikan
warna putih kontras menggunakan tanah liat atau kapur (Muller, 2008:62).

Hubungan Asia Tenggara dengan Pasifik dapat diketahui dari perdagangan


jarak jauh orang-orang Lapita. Komoditi utama yang diperdagangkan adalah obsidian
yang banyak didapatkan di Pulau New Britania serta tembikar dengan ciri khas warna
kemerah-merahan dengan gambar gigi-gigi kecil di bagian atas.

Temuan serpihan obsidian di Situs Bukit Tengkorak (Sabah) yang berasal


dari Talasea, New Britain di Melanesia, menambah luas penyebaran obsidian pada
sekitar 1000 SM, berdasarkan hal ini luas penyebarannya mencapai 6.500 km, dari
Kalimantan hingga Fiji (Bellwood, 2000:330).

Bukti arkeologis lainnya, berupa fragmen perunggu yang ditemukan di


Kepulauan Admiralty sebelah utara Papua New Guinea, ada kemungkinan benda-
benda itu didatangkan dari Indonesia (Ambrose, 1988). Kendi bercerat ganda dari
Lobang Jeragan, Niah, bentuk serupa juga terdapat di Kepulauan Admiralty, utara
Papua New Guinea dan mungkin bertarikh sekitar 2000 tahun yang lalu (Bellwood,
2000: 347).

Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009 61


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

Letak geografis Papua yang sangat strategis, bagian dari wilayah Pasifik
paling ujung barat, sebagai daratan penghubung kawasan Asia Tenggara dengan
kawasan Pasifik dan merupakan tempat yang strategis untuk persinggahan lalu lintas
dari barat ke timur. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang bukti-bukti arkeologis
dan hasil budaya lainnya yang membuktikan keberadaan budaya Austronesia di Papua.

Pembahasan

Secara genetis dan linguistik perpaduan penutur Austronesia dengan


Papua masih bisa ditelusuri sampai hari ini. Di sebagian wilayah barat Papua, bisa
dijumpai di pulau-pulau di wilayah Biak, Yapen, Raja Ampat, serta di sepanjang
pesisir utara. Namun, mereka tak bisa ditemukan di wilayah dataran tinggi dan
sepanjang pesisir selatan (Muller, 2008:59). Lain halnya J. C. Anceaux (1953:293)
berpendapat bahwa di bagian baratlaut Papua, yaitu Pulau Biak, sebagian dari Pulau
Yapen, Teluk Saireri, Teluk Berau hingga Teluk Etna terdapat sejumlah bahasa yang
tergolong dalam bahasa Melanesia. Anceaux menduga bahwa bahasa Melanesia
merupakan hasil perkembangan bahasa-bahasa Papua yang mendapat pengaruh dari
bahasa Austronesia, hal ini terlihat pada strukturnya (tata bahasa) dan sedikit dalam
perbendaharaan kata-katanya. Sementara itu menurut A.M. Moeliono (1963:32)
wilayah Papua yang termasuk ke dalam golongan bahasa Melanesia adalah bahasa di
Pulau Yapen, Raja Ampat, Biak, Waropen, daerah Teluk Wandamen, sepanjang pantai
Teluk Cenderawasih, ujung barat Pulau Papua dari Sorong ke arah selatan sepanjang
pantai Selat Sele, daerah sekitar Teluk Bintuni, Teluk Arguni hingga daerah pesisir
Teluk Etna. Ciri budaya Austronesia lainnya adalah organisasi kemasyarakatannya
terstruktur dengan sistem hirarki dimana para pemimpinnya dijabat secara turun-
temurun. Hal ini terlihat pada masyarakat yang tinggal di Fak-Fak, Raja Ampat,
Teluk Youtefa (Tobati, Enggros, Nafri, Kayu Batu), Waena dan Sentani.

Secara tradisional penduduk kampung di Waena dan Sentani dibagi


dalam dua lapisan sosial, yaitu lapisan sosial atas dan lapisan sosial bawah. Lapisan
sosial atas mempunyai status terpandang karena memegang hak turun temurun atas
kepemimpinan di dalam kampung atau disebut ondoafi dan yang kedua adalah lapisan
sosial bawah yang terdiri dari masyarakat biasa.

62 Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

Stefanus Ngadimin (1994:70) dalam tulisannya mengenai Suku Baliem


di Pegunungan Tengah menyatakan Orang Baliem cenderung menganggap sesama
mereka memiliki derajat dan martabat yang sama. Orang Baliem tidak membuat
klasifikasi ataupun stratifikasi sosial ataupun menjadikan stratifikasi pemimpin
mereka.

Merajah (tato) adalah ciri budaya Austronesia (Bellwood, 2000:225). Ciri


budaya Austronesia yang terdapat di pesisir utara Papua, Teluk Cenderawasih dan
Kepala Burung selain bahasa, adalah tato. Suku-suku bangsa yang menerapkan
tato ditubuhnya, diantaranya Suku Meybrat di Kepala Burung (Wanane, 2007:64),
Suku Waropen (Held, 2006:38; Sujatni, 1963:146), Suku Biak-Numfor (Budjang,
1963:121), dan orang Sentani (Flassy, 2007:95-96).

Gerabah ditemukan di sepanjang pesisir utara Papua, Teluk Cenderawasih


dan pesisir Kepala Burung. Motif hias pada gerabah di Yenbekaki (Raja Ampat)
menunjukkan dibuat dengan teknik tera dan gores, dengan motif geometrik, spiral
dan topeng. Di Warweri Urang (Sentani), ditemukan pecahan tempayan dengan
hiasan geometrik. Diantara pecahan-pecahan ini ditemukan beberapa tulang manusia
yang menunjukkan berlangsungnya tradisi penguburan dengan tempayan (Soejono,
1963:48). Diperkirakan teknologi pembuatan gerabah di New Guinea dibawa oleh
orang-orang Austronesia. Menurut Kal Muller (2008:59) sebelum kedatangan orang-
orang Austronesia, kerajinan gerabah tidak dikenal di New Guinea. Secara etnografis
daerah pembuat gerabah di Papua adalah Kayu Batu (Jayapura), Saberi (Sarmi), dan
Abar (Sentani), dan Kurudu (Teluk Cenderawasih).

Memasak menggunakan gerabah tidak dikenal di daerah pegunungan.


Menurut Koentjaraningrat (1963:222), penduduk Pegunungan Tengah Papua
umumnya tidak mengenal gerabah. Wadah dibuat dari kayu. Benda cair disimpan
dalam kulit buah labu yang sudah dikeringkan. Makanan pokok adalah ubi yang
dimasak dengan batu panas. J. Tan Soe Lin (1963:273) dalam tulisannya mengenai
orang Muyu, menyatakan bahwa Orang Muyu tak mengenal cara memasak dengan
menggunakan gerabah sehingga semua bahan makanan dipanggang langsung di atas
api atau dimasukkan ke dalam abu panas. Merebus makanan tidak dikenal mereka. M.
Amir Sutaarga (1963:284) menyatakan orang Mimika di pesisir selatan Papua tidak
mengenal Gerabah. Sebagai wadah air digunakan bambu, baki dari kayu untuk tempat

Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009 63


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

makanan. Makanan dimasak dengan batu panas. Hal yang sama diungkapkan oleh
Peter Bellwood (2000:129) bahwa gerabah tidak ditemukan di Dataran Tinggi New
Guinea.

Terdapat bukti konkrit tentang transaksi antara Asia Tenggara dan Papua.
Barang-barang yang dijadikan komoditi transaksi adalah benda-benda perunggu
produksi Dongson. Kepingan-kepingan dari tiga nekara perunggu telah ditemukan
dekat Danau Aimaru di daerah Kepala Burung, dan barang-barang perunggu lain yang
berasal dari Dongson juga ditemukan jauh ke timur di wilayah Danau Sentani.

Teknologi metalurgi praktis tidak dijumpai di daerah Pasifik (Soejono,


1998:10). Diperkirakan benda-benda perunggu ini dibawa oleh penutur Austronesia
yang dari Kepulauan Indonesia bagian barat, benda perunggu ini dipertukarkan
dengan komoditi Papua. Karena hingga saat ini belum ditemukan bukti arkeologis
mengenai barang-barang yang dibarter pedagang Papua dengan pedagang Austronesia,
diperkirakan komoditi dagang dari Papua adalah hasil hutan, hasil laut, bulu burung
cenderawasih, kayu masoi dan budak.

Penutup

Pengaruh budaya Austronesia di Papua hanya terdapat di pesisir utara,


Teluk Cenderawasih dan pesisir Kepala Burung, pengaruh ini berupa bahasa
Melanesia, merupakan hasil perkembangan bahasa-bahasa Papua yang mendapat
pengaruh dari bahasa Austronesia. Ciri budaya Austronesia lainnya adalah organisasi
kemasyarakatannya terstruktur dengan sistem hirarki dimana para pemimpinnya
dijabat secara turun-temurun, selain itu adalah seni menghias tubuh dengan rajah
(tato).

Gerabah ditemukan di pesisir Kepala Burung, Teluk Cenderawasih, dan


pesisir utara Papua. Namun tradisi pembuatan gerabah dapat dijumpai di pesisir utara
Papua dan Teluk Cenderawasih. Tradisi ini tidak dikenal di pegunungan tengah Papua
dan pesisir selatan Papua. Diperkirakan tradisi pembuatan gerabah di Papua dibawa
oleh orang Austronesia.

Letak geografis Papua sangat strategis menghubungkan kawasan Asia


tenggara dengan kawasan Pasifik, bukti arkeologis berupa benda-benda perunggu

64 Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

menunjukkan Papua merupakan bagian dari suatu jaringan perdagangan dari Indonesia
bagian barat ke timur.

Ciri budaya Austronesia lainnya yang ditemukan di pesisir utara Papua,


pesisir Kepala Burung, dan Teluk Cenderawasih adalah budaya minum cairan hasil
sadapan nira pohon kelapa, atau nira pohon aren. Minuman ini di Kampung Waena
dikenal dengan nama sagero.

Penutur Austronesia yang datang ke Papua, melakukan perdagangan dengan


penduduk pesisir Papua, perdagangan ini menggunakan sistem barter. Bukti arkeologis
yang membuktikan hal ini adalah artefak perunggu buatan Dongson yang di temukan
di sekitar Danau Sentani dan sekitar Danau Ayamaru. Benda perunggu ini ditukar
dengan komoditi asal Papua, yang hingga saat ini secara arkeologis belum ditemukan,
diperkirakan komoditas unggulan Papua adalah bulu burung cenderawasih, hasil laut,
dan hasil hutan.

Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009 65


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

DAFTAR PUSTAKA

Ambrose, W. 1988. An Early Bronze Artifact from Papua New Guinea. Antiquity 62.
Hlm. 483-491.

Anceaux, J. C. 1953. De huidige stand van het taal-onderzoek op Nieuw Guinea’s


westhelft. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, CIX. Hlm. 231-248.

Bellwood, Peter. 1978. Man Conquest of the Pacific. The Prehistory of South East
Asia and Oceania. Auckland: William Collins Publisher Ltd.

_____________.2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

_____________.2005. First Farmers. The Origin of Agricultural Societies. Oxford:


Blackwell Publishing.

Budjang, Anis. 1963. “Orang Biak-Numfor” dalam Penduduk Irian Barat


(Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan
Universitas. Hlm. 113-135.

Elmberg, J. E. 1959. “Further Notes on the Northern Mejbrats (Vogelkop, Western


New Guinea)” dalam Ethnos XXIV. Hlm. 70-81.

Flassy, Don A.L. 2007. Etno Artistik Sentani Motif Gaya Rias. Jakarta: Balai
Pustaka.

Held, G. J. 2006. Waropen dalam Khasanah Budaya Papua. Pasuruan: Pedati.

Howel, W.W. 1943. “The Racial Elements of Melanesia” dalam Coon C. S. dan J. M.
Andrews (ed.). Hlm. 38-49.

Jacob, T. 2008. “Ras, Etnik, dan Bangsa dalam Arkeologi Indonesia” dalam PIA IX
Kediri 23-28 Juli 2002. Jakarta: IAAI.

Koentjaraningrat.1963. “Orang Timorini” dalam Penduduk Irian Barat


(Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan
Universitas. Hlm. 216-231.

66 Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

Lin, J. Tan Soe. 1963. “Orang Muyu” dalam Penduduk Irian Barat (Koentjaraningrat
dan Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Hlm. 233-
251.

Moeliono, A. M. 1963. “Ragam Bahasa di Irian Barat” dalam Penduduk Irian Barat
(Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan
Universitas. Hlm. 28-37.

Muller, Kal. 2008. Introducing Papua. Daisy World Books.

Naber, S.P.P.H. 1915. “Nieuw-Guinea, Nova Guinea, Nieuw Guinee” dalam Tijdshrift
van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijksundig Genootschap. XXXII. Hlm.
527-533.

Ngadimin, Stefanus. 1994. “Sistem Kepemimpinan Tradisional Suku Baliem


Sebagai Penunjang Pembangunan Daerah Jayawijaya” dalam Kebudayaan
Jayawijaya dalam Pembangunan Bangsa (Astrid S. Susanto-Sunario ed.).
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 70-96.

Soejono, R. P. 1963. “Prehistori Irian Barat” dalam Penduduk Irian Barat


(Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan
Universitas. Hlm.39-93.

___________.1998. “Indonesia dalam Lingkup Prasejarah Asia Tenggara dan Pasifik”


dalam Jurnal Arkeologi Indonesia No. 3. Jakarta: IAAI. Hlm. 9-12.

Sujatni. 1963. “Orang Waropen” dalam Penduduk Irian Barat (Koentjaraningrat dan
Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan Universitas.Hlm. 136-158.

Sutaarga, M. Amir. 1963. “Orang Mimika” dalam Penduduk Irian Barat


(Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar eds.). Jakarta: PT Penerbitan
Universitas. Hlm.273-300.

Wanane, Teddy K dan Trien Kambu, 2007. “Ragam Rias Orang Mey Brat Jazirah
Kepala Burung Tanah Papua” dalam Refleksi Seni Rupa di Tanah Papua (Don
A. L. Flassy ed.). Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 64-71.

Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009 67


Hari Suroto, Budaya Austronesia di Papua

Gerabah Hasil Produksi Masyarakat Kampung Abar, Sentani, Jayapura

68 Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009

You might also like