Professional Documents
Culture Documents
BUat Ngumpulin Lembaga Negara
BUat Ngumpulin Lembaga Negara
HUKUM KELEMBAGANEGARAAN
Dosen pengampu : Dr. Riris Ardhanariswari, S.H.,M.H
Disusun Oleh :
A. LATAR BELAKANG..................................................................................3
B. ISI BUKU......................................................................................................4
1.1 BAB I : INDONESIA SEBUAH REPUBLIK......................................4
1.2 BAB II : LEMBAGA KEPRESIDENAN DAN SISTEM
PEMERINTAHAN..........................................................................................5
1.3 BAB III : PERSYARATAN PRESIDEN.............................................6
1.4 BAB IV : PENGISIAN JABATAN PRESIDEN, MASA JABATAN
PRESIDEN, PRESIDEN BERHALANGAN, DAN PERTANGGUNG
JAWABAN PRESIDEN..................................................................................7
1.5 BAB V : KEKUASAAN PRESIDEN....................................................9
C. ANALISIS...................................................................................................10
I. INDONESIA SEBAGAI NEGARA REPUBLIK.................................10
II. LEMBAGA KEPRESIDENAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN. 13
III. PERSYARATAN PRESIDEN............................................................17
IV. PENGISIAN JABATAN PRESIDEN, MASA JABATAN
PRESIDEN, PRESIDEN BERHALANGAN, DAN PERTANGGUNG
JAWABAN PRESIDEN................................................................................20
V. KEKUASAAN PRESIDEN....................................................................21
D. KESIMPULAN...........................................................................................26
E. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................27
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah Negara dengan sistem Republik1. Maka sudah seyogyanya
roda pemerintahannya harus berangkat dari rakyat bukan berdasarkan keturunan bangsawan
dan pemegang kekuasaanya tidak diserahkan secara turun-temurun. Konsep Negara Republik
tidak selalu bersanding dengan konsep demokrasi. Di Afrika Selatan, meski sudah berbentuk
republik sejak tahun 1961, mereka sempat mengalami krisis demokrasi ketika sistem
apartheid diterapkan menyebabkan sekitar 80 persen penduduk kulit hitamnya dilarang untuk
mengikuti pemilu sebelum Nelson Mandela berhasil menghapus politik diskriminasi tersebut.
1
UUD 1945, Pasal 1 Ayat (1)
2
UUD 1945, Pasal 1 Ayat (2). Setelah amandemen ketiga terjadi pergeseran kedaulatan dari sebelumnya oleh MPR setelah
amandemen ketiga ditangan rakyat
3
C.F Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2011
4
Lihat Maklumat Pemerintah 14 November 1945.
fungsinya masing-masing. Montesquieu dengan konsep trias politicanya membagi kekuasaan
negara menjadi tiga bagian yaitu Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif. Di Indonesia kekuasaan
legislatif dipegang oleh MPR, DPR, dan DPD yang memiliki wewenang dan fungsi legislatif
yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan sebagai representasi aspirasi rakyat (kecuali
MPR yang anggotanya ialah anggota DPR dan DPD). Kekuasaan yudikatif yang fungsinya
mengawasi penerapan Undang-Undang Dasar atau UUD dan hukum yang berlaku dipegang
oleh lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi.
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, sesuai dengan cita-cita bersama yang terdapat pada
pembukaan UUD 1945.
B. ISI BUKU
Negara kesatuan pula dipilih oleh para founding father kita sebagai bentuk semangat
persatuan bangsa Indonesia yang tidak dibatasi suku, ras, dan agama. Sederhananya, karena
terdiri dari banyak pulau dan suku bangsa, maka Indonesia menggunakan bentuk negara
kesatuan. Pembentukan negara kesatuan tersebut bertujuan untuk menyatukan seluruh
wilayah nusantara agar menjadi negara yang besar dan kokoh dengan kekuasaan negara yang
bersifat sentralistik.
Setelah diamandemen, pasal 6 UUD ’45 mengatur pula syarat-syarat lain. Tidak
diperkenankan seseorang yang sudah mengganti kewarganegaraannya dari Indonesia menjadi
negara lain karena kesengajaan. Bagaimana dengan seorang anak yang diadopsi dan diubah
status kewarganegaraannya oleh si pengadopsi? Anak tersebut masih bisa menjadi presiden
Indonesia bila terbukti dia bukan melepaskan kewarganegaraan Indonesianya karena
kemauan sendiri dan mau melepaskan hubungan hukum dengan orangtua/mengadopsinya.
Walaupun telah ada syarat tambahan, tetapi syarat tersebut belum memadai. Maka dari itu
ditetapkan UU no.23 tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
4. mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
7. tidak sedang memiliki tunggakan utang secara perorangan dan/atau badan hukum
yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.
9. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
12. memiliki NPWP dan telah melaksanakan kewajiban pajak selama lima tahun terakhir.
14. belum pernah menjabat Presiden dan Wakil Presiden dalam dua kali masa jabatan
dalam jabatan yang sama.
15. setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
Hal yang dapat penulis tangkap dari bab IV ini yang pertama adalah ketentuan serta
perubahan-perubahan pengisian presiden dan wakil presiden baik dari era orde lama hingga
masa sekarang. Di zaman orde lama, pengisian jabatan kepala negara dipilih langsung oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah diperbarui bukan lagi menurut jumlah
anggota ppki yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang. Anggota PPKI pada saat itu
menyetujui Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden pertama
Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh
MPR, yang mana berdasar pada Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen).
Walaupun ketentuan UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut, bukan berarti kedaulatan
rakyat berada ditangan MPR dan rakyat kehilangan haknya dalam memilih calon kepala
negara. Di Indonesia sendiri pada masa peralihan orde baru ke masa reformasi, dengan
turunnya presiden Soeharto yang digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie.
Yang kedua, penulis dapat simpulkan bahwa masa jabatan presiden dan wakil
presiden yang diatur dalam pasal 7 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden dan
wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali.”arti dari ‘dipilih kembali’ sebenarnya merujuk pada dapat dipilih satu kali lagi
untuk menjabat. Karena secara praktis pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang dengan
masa jabatan yang terlalu lama dapat mendorong ke pemerintahan yang anti perubahan dan
berpeluang cukup besar untuk attend to corrupt. sehingga dikeluarkannya Ketetapan MPR
no. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden Indonesia.
Ketiga, yang penulis dapatkan perihal presiden berhalangan yakni apabila presiden
berhalangan, maka akan ada pejabat yang mengisi kekosongan kekuasaan tersebut. namun,
tidak dapat dipastikan bahwa akan selalu ada wakil presiden yang setiap saat siap untuk
menggantikan presiden apabila jabatan tersebut lowong, bisa jadi akan digantikan oleh
Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama
yang disebut sebagai triumvirat dan akan menjadi pelaksana tugas kepresidenan.
Yang Keempat, penulis dapat sampaikan bahwa pertanggung jawaban presiden tidak
hanya sekedar pengawasan, namun termasuk pemberhentian presiden apabila presiden
melakukan suatu pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap bangsa dan negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat dan tercela. Diakhir masa jabatannya MPR maupun
DPR akan menanyakan pertanggungjawaban Presiden, namun apabila hingga akhir masa
jawabannya dua lembaga tersebut tidak menanyakan hal terkait, maka Presiden dianggap
telah menjalankan pemerintahan dengan baik. Pengawasan dilakukan secara terus menerus
dan pertanggungjawaban tersebut sewaktu waktu dapat diminta.
1.5 BAB V : KEKUASAAN PRESIDEN
Setelah membaca Bab ini yang telah ditanggap yang pertama ialah Kekuasaan
Penyelenggaraan pemerintah, Kekuasaan penyelenggarakan pemerintahan bersifat umum.
Presiden ialah penyelenggara tertinggi administrasi negara. Kemudian dimaksud dengan
kekuasaan pemerintahan ialah kekuasaan eksekutif. Penyelenggaraan pemerintahan yang
dilaksanakan Presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan
yang bersifat umum dan bersifat khusus. Lingkup tugas dan wewenang administrasi negara
ini sejalan meluasnya tugas dan wewenang negara atau pemerintah.
Tugas dan wewenang dapat dikelompokkan kedalam beberapa golongan, yaitu Tugas
dan wewenang administrasi dibidang keamanan dan ketertiban ialah memelihara, menjaga,
dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum tujuannya tidak lain adalah membentuk
pemerintahan Indonesia yang merdeka. Kemudian Tugas dan wewenang menyelenggarakan
tata usaha pemerintahan mulai dari surat menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain.
Selanjutnya Tugas dan wewenang administrasi negara dibidang pelayanan umum, Tugas dan
wewenang administrasi negara dibidang penyelenggaraan kesejahteraan umum. Kemudian
tugas penyelenggara pemerintahan yang bersifat khusus adalah penyelenggara tugas dan
wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada presiden yang mmeiliki
prerogative dibidang pemerintahan.
Pada sub bab ini, menjelaskan tentang kewenangan presiden di bidang Yustisial,
yaitu memberi grasi & rehabilitasi dengan pertimbangan MA dan amnesti & abolisi dengan
pertimbangan DPR. Grasi adalah pengampunan dengan cara meniadakan, mengubah atau
mengurangi pidana yang berkekuatan hukum tetap. Amnesti adalah meniadakan sifat pidana
atas perbuatan narapidana dan Abolisi adalah meniadakan penuntutan. Sedangkan rehabilitasi
adalah pengembalian pada kedudukan atau keadaan semula sebelum atau sesudah seseorang
dijatuhi pidana.
Kemudian, kewenangan yang terakhir yaitu Kekuasaan dalam Hubungan Luar Negeri.
Kewenangan ini termasuk kewenangan yang bersifat diplomatik dan administratif.
Kewenangan tersebut diantaranya adalah Presiden dapat mengadakan perjanjian dengan
negara lain, menyatakan perang dan perdamaian dengan negara lain, kewenangan untuk
mengangkat duta dan konsul, serta menerima duta dan konsul dari negara asing.
C. ANALISIS
Selain berangkat dari asas-asas tadi, bentuk kesatuan dan pemerintahan berbentuk
republik dipilih karena dianggap dapat meminimalisir potensi perpecahan yang disebabkan
politik devide it impera, juga didorong oleh kekhawatiran jika memilih bentuk negara
monarki akan menimbulkan kesewang-wenangan dan tidak memberikan aspirasi secara
merata bagi rakyat Indonesia kelak. Maka pada siding BPUPI dikehendaki bentuk
pemerintahan republik (55 suara repbulik, 6 suara kerajaan, 1 suara blanko, dan 2 suara lain-
lain).6
5
Lihat, Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1992 , hlm 18
6
Ibid., hlm 17 dan 34.
konstitusi RIS.7 Namun RIS bertahan lama karena ada tuntutan dari rakyat Indonesia untuk
mengembalikan bentuk negara persatuan dan Mosi Integral yang diajukan Moh. Natsir di
DPR dan Konstitusi RIS dirubah menjadi UUDS 1950 dan bentuk negara kesatuan
dikembalikan.
Tak berselang lama, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 konstitusi UUDS 1950
dirubah dan dikembalikan menjadi UUD 1945. Masa ini sering disebut sebagai Orde Lama,
pada periode ini peran presiden sangat besar bahkan dijuluki sebagai periode demokrasi
terpimpin. Dalam pratiknya, banyak penyimpangan-penyimpangan ketatanageraan yang
dilakukan presiden pada masa ini yang bertentangan dengan prinsip negara berkedaulatan
rakyat,8negara berdasarkan hukum,9negara berpaham prinsip konstitusi,10 dan lain-lain.
Penyimpangan tersebut menimbulkan sifat-sifat kediktaktoran yang jauh dari prinsip-prinsip
dan nilai-nilai demokrasi. Hal serupa juga terjadi pada masa orde baru pada medio 1966-
1998.
Setelah masa reformasi hingga sekarang, telah dilakukan berbagai upaya untuk
mewujudkan pemerintahaan yang “rechtsied” ,aupun “stattsidee: sesuai dengan amanah yang
terkandung dalam UUD 1945. Dengan adanya momentum reformasi, keterbukaan akan
kebebasan akan segala hal tak terkecuali dalam hal politik dan praktik ketatanegaraan yang
sebelumnya cenderung kaku dan represif. Amandemen terhadap dasar konstitusi yaitu UUD
1945 dilakukan untuk menciptakan negara yang lebih ideal bagi rakyat. Setelah serangkaian
amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia cenderung menganut sistem
presidensial konvensional. Sistem presidensial yang konvesional memiliki karakteristik
seperti yang dirumuskan oleh Arendt Lipjhart dan Giovanni Sartori. Mereka menyatakan tiga
karakteristik utama dari sistem tersebut ialah (i) terdiri dari seorang pimpinan eksekutif
tunggal; (ii) pimpinan eksekutif tersebut dipilih langsung oleh rakyat; dan (iii) masa tugasnya
dibatasi dan tidak dapat diberhentikan melalui pemungutan suara oleh lembaga legislatif.
Sedangkan Sartori mengemukakan bahwa suatu negara dinyatakan menganut sistem
presidensial apabila presidennya (i) dipilih langsung melalui popular election, (ii) tidak dapat
diberhentikan oleh lembaga legislatif pada kurun waktu masa tugasnya, dan (iii) memimpin
pemerintahan oleh orang-orang yang dia tunjuk.11
7
Bab I, Konstitusi RIS berjudul : “ Negara Republik Indonesia Serikat.
8
UUD 1945, Pasal 1 ayat (2)
9
UUD 1945, Pasal 1 ayat (3)
10
Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945
11
Pendapat Andrew Ellis sebagaimana dikutip oleh Denny Indrayana, op cit, hlm. 278-279
Upaya dalam rangka meraih tujuan tersebut dilakukan dalam bentuk perubahan,
pengurangan, maupun penambahan terhadap konstitusi sudah dilakukan. Namun, masih
ditemui kendala yang menghambat proses pertumbuhan demokrasi yang kondusif dan sehat
yang disebabkan berbagai faktor, entah itu yang bersifat objektif maupun subjektif.
Faktor objektif yang menjadi penghambat proses demokrasi antara lain ialah kualitas
sumber daya manusia yang kurang, sarana politik dan hukum yang belum memadai, dan lain
hal sebagainya. Sementara faktor subjektifnya ialah berbagai conflict of interest yang masih
menjadi persoalan ketika seseorang memiliki jabatan di pemerintah maupun “feudalistic
attitude”. Demokrasi menurut Plato, adalah yang paling fair dan paling menawan dari segala
bentuk pemerintahann berdasarkan konstitusi. Namun akan hancur apabila terjadi persaingan
yang tidak sehat dan pengambilan keputusan yang tidak tepat oleh public yang tidak dididik.
Dari keadaan itulah maka akan timbul kekacauan dan menjadi momentum yang tepat bagi
despotism yang hadir sebagai solusi bagi permasalah tersebut.12
12
Lawrence M. Sakibfer, encyclopedia of White Collar & Corpoorate Crime< Vol I,, Sage Publications, Ca, 2005, hlm. 216
13
CF Strong, Modern Political Constitutions (London: Sidgwick, 1960).
14
Moh, Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 1993),
hlm. 83.
Kedudukan Presiden yang diatur dalam UUD 1945 sangat kuat. Kemungkinan yang
mendasari pemberian kedudukan yang tinggi bagi lembaga kepresidenan di Indonesia karena
berkiblat kepada stuktur dan rumusan kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden di Amerika
Serikat melalui pranata ketatanegaraan yang diatur dalam UUD Amerika Serikat. Meskipun
ada beberapa perbedaan detail kecil dalam kekuasaan yang dimiliki lembaga kepresidenan,
Presiden Amerika Serikat tidak dibekali kekuasaan untuk ikut merumuskan dan merancang
Undang-Undang yang kekuasaan tersebut dimiliki oleh congress15. Kekuasaan Presiden
Amerika Serikat hanya terbatas pada persetujuan dan hak veto terhadap rancangan undang-
undang tersebut.16 Berbeda dengan di Indonesia dimana Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undangan17 yang kemudian dibahas dan disahkan bersama dengan DPR.
Meskipun tidak sepenuhnya pula alasan mengapa Presiden memiliki kedudukan yang kuat
dalam UUD 1945 ialah karena mencontoh praktik ketatanegaraan di Amerika Serikat. Karena
pada dasarnya, di Indonesia sendiri sebelum mengenal politik modern pranata ketatanegaraan
bentuk kerajaan yang menasbihkan seorang pemimpin yaitu Kepala Desa atau Raja
mempunyai kedudukan yang kuat dalam menjalankan pemerintahan sekaligus kekuasaan
peradilan dan membuat hukum. Kurang tergambar jelas latar belakang mengapa dalam UUD
1945 dirumuskan kedudukan, struktur, dan rumusan kekuasaan Presiden semacam ini.
Namun dapat diasumsikan bahwa pilihan ini sebagai upaya menjamin suatu kekuasaan
pemerintahan (eksekutif) yang kuat dan stabil18
Alasan lain sistem presidensial yang dipilih, ialah karena Indonesia pada masanya
sistem parlementer gagal dipratekkan. Sistem presidensial lebih cocok dipraktekkan melihat
kondisi sosiologi masyarakat Indonesia yang heterogen dan sangat kompleks yang
diimplementasikan dalam kekuatan politik terpolarisasi dalam berbagai macam partai yang
menyebabkan munculnya sistem multi partai.19 Dengan sistem inilah maka lembaga
kepresidenan memiliki kedudukan yang kuat dan roda pemerintahan diharapkan stabil dan
tidak menimbulkan berbagai macam goncangan politik selama masa jabatannya.
15
UUD AS, Pasal 1 ayat (1).
16
UUD AS, Pasal 1 ayat (7).
17
UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) setelah amandemen pertama
18
Bagir Manan, Kembaga Kepresidenan (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 32.
19
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 makalah
disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Pembangunan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM pada tanggal 14-18 Juli 2003, hlm. 8.
dan wakil presiden) diselenggarakan secara langsung melalui Pemilihan Umum.20 Mekanisme
pemilihan langsung tersebut pula mengindikasikan bahwa presiden bertanggung jawab
langsung terhadap rakyat. Berbeda dengan praktik ketatanegaraan sebelum amandemen UUD
1945 ketiga dimana presiden Pasca amandemen ketiga atas UUD 1945 berakibat MPR bukan
lagi merupakan Lembaga Tertinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
membawa konsekuensi MPR tidak Iagi memilih Presiden sebagai penyelenggara negara
tetapi Presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat. Selain sebagai bentuk dari
implementasi demokrasi yaitu rakyat berusia dewasa turut serta dalam pengambilan
keputusan yang penting secara langsung maupun sistem perwakilan, yang menjamin
pemerintahan dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya kepada
rakyat,21 juga sebagai upaya menjamin pemerintahan yang stabil. Karena Presiden ialah
representasi rakyat secara langsung, bukan sebagai mandataris MPR yang sewaktu-waktu
mandat tersebut bisa dicabut seperti yang pernah dialami oleh Soekarno dan Gusdur.
Tetapi bukan berarti kedudukan presiden yang sangat kuat tersebut bertujuan semata-
mata untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan presiden. Pranata impeachment tetap
bisa dilakukan bila presiden maupun wakil presiden terbukti secara sah dan meyankinkan
telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.22
20
UUD 1945, Pasal 6A ayat (1), setelah amandemen ketiga.
21
C.F Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2011
22
UUD 1945, Pasal 7A, setelah amandemen ketiga.
23
ibid, Pasal 20A, ayat (1), setelah amandemen kedua
24
ibid 1945, Pasal 7B, ayat (4) dan (5), setelah amandemen ketiga
masing lembaga mengenai pemberhentian presiden atau wakil presiden sehingga keputusan
tersebut tidak hanya bermuatan politis semata namun dapat ditinjau dari aspek yuridis.25
Alasan impeachment lebih diperjelas kategori apa perbuatan presiden yang dapat
dijadikan alasan pemberhentian dari jabatannya. Dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. “tindak pidana berat lainnya”
ditafirkan sebagai tindak pidana dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Menurut Sri
Soemantri, alasan pidana yang dijadikan alasan pemberhentian presiden ialah tindakan
hukum pdana yang mengakibatkan pertanggung jawaban politik. Sedangkan “perbuatan
tercela” sendiri belum ada definisi pasti dari alasan tersebut. Perlu penafsiran lebih lanjut lagi
karena masih memancing perdebatan secara akademis dan perlu digali lebih dalam lagi.
Kekuasaan Presiden pun dibatasi oleh konstitusi. Dengan pembatasan ini, diharapkan
presiden tidak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan maupun kebijakan. Selain
memiliki kekuasaan yang “beririsan” dengan kekuasaan yang dimiliki lembaga lain seperti
hak memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA, Presiden pula memiliki
kekuasaan yang dibatasi yaitu kekuasaan eksekutif presiden dalam mengangkat duta dan
konsul tidaklah mutlak karena harus memperhatikan pertimbangan dari DPR sebagai
pemegang kekuasaan legislatif.26 Atau pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI harus
melalui pertimbangan DPR dengan dasar hukum Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang
tentang Kepolisian RI dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Republik Indonesia.
Undang-Undang tersebut membatasi kekuasaan presiden untuk mengangkat dan
memberhentikan Kapolri dan Panglima TNI.
25
Eko Noer Krisyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Rechtsvinding,
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013, hlm 341
26
UUD 1945, Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2). Setelah amandemen kedua
27
Hendra Wahanu Prabandani, Batas Konstitusional Kekuasaan Eksekutif Presiden, Jakarta 2015, hlm 8.
28
Peter L. Straus, Formal and functional approaches to separation-of-powers questions—a foolish inconsistency?, 72 Cornell
L. Rev. 488, 1987, hlm. 1.
Negara Indonesia, pada akhirnya telah memilih sistemnya sendiri dengan dasar
konstitusi UUD 1945. Apapun sistemnya, asas-asas yang terkandung dalam paham republik
harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Dibarengi dengan asa demokrasi, konstitusi, negara
hukum, dan prinsip negara welfare state atau negara kesejahteraan rakyat.29Segala hal
mengenai pembagian kekuasaan negara dalam bentuk wewenang, tugas, maupun fungsi harus
dilaksanakan sebaik-baiknya tak terkecuali lembaga kepresidenan sebagaimana diatur dalam
konstitusi.
Menurut pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa :”Presiden adalah harus orang
Indonesia asli”. Ditafsirkan Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia dalam artian
BumiPutera. Dalam amandemen UUD NRI 1945, persyaratan presiden menjadi “Calon
Presiden dan Calon Wakil Presiden adalah seorang Warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima Kewarganegaraan lain karena Kehendaknya
Sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara Rohani dan Jasmani
untuk melaksanakan Tugas dan Kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.
Dalam penyusunan UUD 1945 digunakan beberapa referensi yang salah satunya
adalah UUD Amerika Serikat yang menggunakan istilah natural born citizen. BPUPKI yang
Menyusun UUD 1945 merupakan badan yang beranggotakan berbagai macam latar belakang
etnik yang sama sama berjuang untuk Indonesia yang merdeka, sungguh tidak mungkin akan
29
Bagir Manan, Kembaga Kepresidenan (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 60.
30
Dikutip dari MediaGeotimes.co.id, Miftakhul Huda, Tafsir Konsitusi Harus “Orang Indonesia Asli”, diakses Tgl 04
September 2022.
dibiarkannya konstitusi yang diskriminatif. Sebagaimana tujuan dari UUD 1945 adalah
menjamin persamaan setiap warga di mata hukum.
Dasar dari penafsiran natural born citizen ialah UUD 1945 Pasal 26 yang berbunyi
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Sehingga
ditafsirkan bahwa redaksi bangsa Indonesia tersebut diartikan dengan kewarganegaraan
bukan secara kesukuan sebagaimana arti kata bumiputra yang saat penetapan UUD 1945
sebagai warga negara dan orang-orang yang lahir sebagai warga negara Indonesia31
Wacana untuk mengembalikan syarat Presiden Indonesia harus bangsa Indonesia asli
tersebut menimbulkan pro kontra. Pihak yang mendukung wacana tersebut beranggapan
bahwa seorang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus warga
Indonesia asli dengan asumsi akan lebih berpihak pada rakyat Indonesia. Meskipun ditentang
oleh beberapa pihak karena dianggap sebagai suatu tindakan diskriminasi dan sudah tidak
relevan dengan kondisi saat ini dimana setiap warga negara tidak sepatutnya mengalami
perlakuan diskriminasi dengan dasar persoalan apakah ia asli ataupun memiliki garis
keturunan lain yang lazimnya disebut keturunan.
Jika wacana mengembalikan persyaratan Presiden harus bangsa Indonesia asli, maka
tak lain berarti kita masih termakan akan politik hukum Indisce Staatsregeling (IS) khususnya
Pasal 163, yang membagi golongan penduduk saat itu menjadi tiga yaitu nederlanders
(Eropa), vreemde oosterlingen (Timur Asing) dan inlanders (Pribumi). 32 Sehingga para
penyusun UUD 1945 sangat anti terhadap penggolongan tersebut karena dianggap
diksriminatif dan tidak mencerminkan cita-cita bangsa sehingga penafsiran persyaratan
Presiden harus bangsa Indonesia asli bukan dimaksudkan hanya warga Indonesia asli secara
kebangsaan/etnik namun dimaksudkan sebagai bangsa dalam pengertian hukum ialah warga
negara suatu negara tertentu bukan latar belakang etnik tertentu.
Sehingga wacana yang diajukan oleh PPP untuk persyaratan Presiden harus bangsa
Indonesia asli, tak lain sebagai pemaknaan persis seperti tafsiran pasal 163 IS mengenai
31
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 63.
32
Penggolongan rakyat kedalam tiga golongan tersebut sebenarnya telah dimulai dari tahun 1844 berdasarkan Pasal 10 9
Regeringsreglement 1854 dan diteruskan dalam Pasal 163 IS 1925. Lihat Eman Suparman, Asal Usul Serta Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen) (makalah tanpa tahun), hlm.
3
penggolongan penduduk. Dimana politik hukum tersebut jelas bertujuan untuk memecah
belah warga negara dan mengandung politik penjajahan yang diskriminatif.
Persyaratan Presiden yang diatur dalam UUD 1945 hanya mengatur mengenai syarat
orang Indonesia asli, syarat lain diatur dalam TAP MPR No.II/MPR yaitu :
Sebelum Amandemen, masa jabatan presiden lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali.34 Dimana pada masa sebelum amandemen seorang Presiden dapat dipilih berulang-
ulang setelah masa periode sebelumnya habis yang menyebabkan adanya indikasi
mengarahnya negara kearah otokrasi/oligarki karena terus-terusan dikuasai oleh segilintir
orang dan seolah-olah tidak memberikan kesempatan bagi warga negara yang lain. Maka,
amandemen pertama memberikan batasan bahwa masa jabatan Presiden dalam satu periode
ialah lima tahun dan dapat dipilih hanya satu kali setelahnya.
33
UNJA : https://online-journal.unja.ac.id/jimih/article/view/2183
34
UUD 1945, Pasal 7, dimana setelah amandemen pertama hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali.
35
Ibid, Pasal 8 ayat (1), amandemen ketiga
36
Ibid, Pasal 8 ayat (2), amandemen ketiga
V. KEKUASAAN PRESIDEN
GBHN sendiri pertama kali ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Perpres No. 1
Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Salah satu argumentasi
utama mengapa perlu menghidupakan GBHN adalah pandangan bahwa perencanaan
pembangunan di Indonesia pascareformasi mengalami kekacauan, tidak ada arah dan saling
berbenturan antara pusat dan daerah. Selain itu mereka juga menyoroti soal kesinambungan
program-program pembangunan yang bisa jadi mengalami keterputusan ketika terjadi
pergantian pemerintahan.38
Namun, GBHN yang telah ditetapkan oleh MPR yang direncakan untuk jangka waktu
lima tahun. Tapi, dalam praktiknya selama pemerintahan Presiden Soeharto, GBHN tidak
hanya isinya hanya garis-garis besar halyan negara lima tahunan, tapi juga memuat pula
bahan arahan jangka Panjang yaitu selama 25 tahunan yang biasa disebut pembangunan
jangka Panjang (PJP) didasarkan oleh pada asumsi tidak aka nada perubahan perimbangan
kekuatan politik selama kurun waktu tersebut, jadi hanya untuk kepentingan politik semata. 39
Kekuasaan dibidang perundang-undangan sesuai sistem UUD 1945 lebih dekat pada
sistem negara eropa di banding dengan Amerika Serikat. Sebelum terjadinya amandemen
UUD 1945 Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang, jadi kekuasaan yang
membentuk sebuah undang-undang ada pada Presiden lalu untuk DPR sendiri hanya sekadar
37
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 122
38
Imam Subkhan, GBHN Dan Perubahan Perencanaan Pembangunan Di Indonesia, (22,12), 2014, hlm,132.
39
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 126
menyetujui atau tidaknya. Namun, dalam sistem difusi yang ada tetap tidak menghilangkan
ciri-ciri masing-masing badan yang artinya ialah, Presiden memegang kekuasaan eksekutif
sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan legislatf. Namun, Untuk pembuatan Undang-
undang dibuat bersama. Kekuasaan Presiden yang mampu mebuat undang-undang harus
diartikan bahwa seorang Presiden memiliki sebuah hak inisiatif di samping hak inisiatif yang
ada pada DPR. Jadi, Presiden dapat turut serta untuk pembahasan rancangan undang-undang
di DPR. 40
Kewenangan Presiden telah dirumuskan dalam UUD 1945 tepatnya di dalam Bab III
Pasal 4 s.d Pasal 16 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Berdasarkan pasal tersebut,
Presiden memiliki kedudukan sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala
Pemerintahan. Ini merupakan peranan dari kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan
kekuasaan. Namun demikian, tidaklah memberi arti bahwa Presiden memiliki kedudukan
tertinggi, yang paling kuat, melainkan kedudukannya tersebut diawasi, diimbangi, dan
memiliki batas-batas tertentu. Untuk itu, UUD 1945 menegaskan bahwa MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang memilih Presiden
beserta wakilnya, sehingga Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR. Kemudian, MPR
berwenang untuk memberhentikan Presiden apabila sungguh-sungguh melanggar GBHN
(Garis Besar Haluan Negara) dan UUD 1945. Hal itu, dapat mencegah pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden atas kewenangan istimewa yang dimilikinya itu.
Pemberian amnesti dapat dikatakan sebagai alasan pemaaf, artinya perbuatan seorang
pidana itu dianggap tidak pernah terjadi. Umumnya amnesti diberikan kepada sekelompok
orang yang melakukan tindakan pidana sebagai bagian dari kegiatan politik, seperti
pemberontakan atau perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang sah46. Untuk abolisi
42
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2004), hlm. 76
43
UUD 1945, Pasal 14 Ayat (1) dan (2)
44
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 161
45
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 159-161
46
Ibid
yaitu penghapusan proses hukum seseorang oleh Presiden atas pertimbangan tertentu yang
sedang berjalan atau yang akan berlangsung, namun abolisi juga tidak menghapus sifat
pidana seseorang. Berbeda dengan grasi, abolisi diberi sebelum dilakukannya sidang atau
sebelum hakim menjatuhkan putusan. Sedangkan rehabilitasi diberikan kepada seseorang
yang ditangkap, ditahan, dituntut, diadili tanpa alasan sebagai bentuk pemenuhan hak.
Artinya, rehabilitasi diberikan selama masa sidang dan setelah hakim menjatuhkan putusan.
Kemudian, kewenangan menyatakan perang dengan negara lain atas persetujuan DPR
itu telah diatur dalam Pasal 11 (1) UUD 1945. Persetujuan DPR menyatakan perang akan
disertai pula dengan wewenang khusus untuk memungkinkan Presiden membuat keputusan
atau tindakan menyimpangi ketentuan – ketentuan yang berlaku, karena ada keadaan tidak
47
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2004), hlm. 76
48
Surat Presiden Nomor 2826/HK/60
normal (luar biasa)49. Presiden dapat menggunakan kewenangan ini saat perang itu terjadi dan
ketika perang itu berhenti atau dihentikan jika ada akibat perang. Selain menyatakan perang,
Presiden juga berwenang untuk menyatakan perdamaian dengan negara lain. Perjanjian
perdamaian dalam rangka mengakhiri secara de jure suatu peperangan atau permusuhan,
tidak hanya terbatas pada penghentian permusuhan, tetapi mencakup juga hal – hal lain
seperti soal tawanan, ganti rugi, akibat peperangan, dan lain sebagainya. Perjanjian
perdamaian wajib mendapatkan persetujuan DPR, tidak boleh hanya dilakukan eksekutif50.
Ini juga berlaku ketika Presiden menerima duta dan konsul dari negara asing.
Penerimaan duta dan konsul itu juga dilakukan apabila antara negara Indonesia dengan
negara lain telah memiliki hubungan diplomatik. Artinya, selain ada hubungan diplomatik
antara negara Indonesia dengan negara lain, keduanya dapat bersama-sama saling
mengirimkan duta dan konsulnya. Hal tersebut akan lebih mudah dipertimbangkan karena
dalam waktu yang sama antara negara Indonesia dengan negara asing juga sedang dalam
hubungan diplomatik. Sehingga adanya hubungan diplomatik tersebut, dapat mempengaruhi
besar kemungkinan diterimanya duta dan konsul dari negara asing tersebut.
D. KESIMPULAN
49
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 166-172
50
Ibid
51
Johansyah, J. (2018). Hak Prerogatif Presiden Menurut Uud 1945. Solusi, 16(2), 206.
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan diberi kedudukan yang
sangat tinggi oleh UUD 1945. Pemberian kedudukan tersebut tak lain karena sistem
pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial. Presiden pula dianggap sebagai
identitas dan simbol bangsa Indonesia. Dalam konstitusi UUD 1945 Presiden dan Wakil
Presiden mendominasi pasal yang mengatur lembaga tersebut. Dengan banyaknya pasal dan
peraturan dalam UUD 1945 ditujukan supaya wewenang dan fungsi yang dipegang oleh
Presiden jelas dan dapat menjamin untuk tetap berada dalam koridornya dan mencapai cita-
cita bangsa. Perkembangan situasi bangsa yang dinamis mengharuskan beberapa perubahan
maupun perkembangan konstitusi dalam konteks ini pergeseran wewenang, kedudukan, dan
tugas Presiden sebagai bentuk komitmen bahwa negara berupaya menciptakan sebuah sistem
pemerintahan yang ideal dan bertujuan untuk menuju cita-cita bangsa.
E. DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
hlm. 166-172
Lawrence M. Sakibfer, encyclopedia of White Collar & Corpoorate Crime< Vol I,,
Sage Publications, Ca, 2005, hlm. 216
JURNAL
UNJA : https://online-journal.unja.ac.id/jimih/article/view/2183
Penggolongan rakyat kedalam tiga golongan tersebut sebenarnya telah dimulai dari
tahun 1844 berdasarkan Pasal 109 Regeringsreglement 1854 dan diteruskan dalam Pasal 163
IS 1925. Lihat Eman Suparman, Asal Usul Serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen) (makalah tanpa tahun),
hlm. 3
Pendapat Andrew Ellis sebagaimana dikutip oleh Denny Indrayana, op cit, hlm. 278-
279
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN