You are on page 1of 29

TUGAS TERSTRUKTUR

HUKUM KELEMBAGANEGARAAN
Dosen pengampu : Dr. Riris Ardhanariswari, S.H.,M.H

REVIEW DAN ANALISIS BUKU

“Lembaga Kepresidenan, Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.”

Disusun Oleh :

AZZAHRA NUR FAJRINA E1A021007

RAFIDA RAHMAYANTI E1A021019

RHAKA FAJAR ALAMSYAH E1A021033

WAHYU RAFI ADITIAWAN E1A021085

RAFIF ZUFAR A.A.R. E1A021119

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
2022
DAFTAR ISI

A. LATAR BELAKANG..................................................................................3
B. ISI BUKU......................................................................................................4
1.1 BAB I : INDONESIA SEBUAH REPUBLIK......................................4
1.2 BAB II : LEMBAGA KEPRESIDENAN DAN SISTEM
PEMERINTAHAN..........................................................................................5
1.3 BAB III : PERSYARATAN PRESIDEN.............................................6
1.4 BAB IV : PENGISIAN JABATAN PRESIDEN, MASA JABATAN
PRESIDEN, PRESIDEN BERHALANGAN, DAN PERTANGGUNG
JAWABAN PRESIDEN..................................................................................7
1.5 BAB V : KEKUASAAN PRESIDEN....................................................9
C. ANALISIS...................................................................................................10
I. INDONESIA SEBAGAI NEGARA REPUBLIK.................................10
II. LEMBAGA KEPRESIDENAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN. 13
III. PERSYARATAN PRESIDEN............................................................17
IV. PENGISIAN JABATAN PRESIDEN, MASA JABATAN
PRESIDEN, PRESIDEN BERHALANGAN, DAN PERTANGGUNG
JAWABAN PRESIDEN................................................................................20
V. KEKUASAAN PRESIDEN....................................................................21
D. KESIMPULAN...........................................................................................26
E. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................27
A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah Negara dengan sistem Republik1. Maka sudah seyogyanya
roda pemerintahannya harus berangkat dari rakyat bukan berdasarkan keturunan bangsawan
dan pemegang kekuasaanya tidak diserahkan secara turun-temurun. Konsep Negara Republik
tidak selalu bersanding dengan konsep demokrasi. Di Afrika Selatan, meski sudah berbentuk
republik sejak tahun 1961, mereka sempat mengalami krisis demokrasi ketika sistem
apartheid diterapkan menyebabkan sekitar 80 persen penduduk kulit hitamnya dilarang untuk
mengikuti pemilu sebelum Nelson Mandela berhasil menghapus politik diskriminasi tersebut.

Di Indonesia sendiri kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut


Undang-Undang Dasar2. Ini berarti bahwa sistem demokrasi menjadi bentuk sebuah
kepemerintahan dimana rakyat berusia dewasa turut serta dalam pengambilan keputusan
yang penting secara langsung maupun sistem perwakilan, yang menjamin pemerintahan dapat
mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya kepada rakyat.3Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Indonesia ialah negara dengan sistem Republik dengan corak demokrasi
dalam upaya menjalankan roda pemerintahnnya.

Sistem pemerintahan di Indonesia sendiri sesuai dengan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia 1945 setelah amandemen adalah presidensil. Indonesia sempat
berkali-kali merubah sistem pemerintahan. Sesaat setelah merdeka pada 17 Agustus 1945,
dengan dasar hukum UUD 1945 menetapkan sistem pemerintahan presidensial. Soekarno dan
Mohammad Hatta ditunjuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pertama dan
KNIP seusai disahkannya Maklumat Wakil Presiden No. X menjalankan fungsi legislatif,
sedangkan kekuasaan lainnya dipegang oleh presiden. Tak berjalan lama, sistem
pemerintahan Indonesia berubah menjadi parlementer pada 14 November 1945 yang
menyebabkan pelimpahan kekuasaan eksekutif ke tangan kabinet yang dipimpin seorang
perdana Menteri.4Sempat pula menjadi sistem parlementer quasi pada masa RIS dan berubah
kembali menjadi presidensial sejak orde lama, orde baru, dan era reformasi hingga saat ini
dengan dinamika perpolitikan yang dinamis disetiap periodenya.

Dengan sistem pemerintahan bercorak demokrasi, pembagian kekuasaan di Indonesia


dibagi menjadi tiga bagian dengan tiga lembaga tersebut yang memiliki wewenang dan

1
UUD 1945, Pasal 1 Ayat (1)
2
UUD 1945, Pasal 1 Ayat (2). Setelah amandemen ketiga terjadi pergeseran kedaulatan dari sebelumnya oleh MPR setelah
amandemen ketiga ditangan rakyat
3
C.F Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2011
4
Lihat Maklumat Pemerintah 14 November 1945.
fungsinya masing-masing. Montesquieu dengan konsep trias politicanya membagi kekuasaan
negara menjadi tiga bagian yaitu Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif. Di Indonesia kekuasaan
legislatif dipegang oleh MPR, DPR, dan DPD yang memiliki wewenang dan fungsi legislatif
yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan sebagai representasi aspirasi rakyat (kecuali
MPR yang anggotanya ialah anggota DPR dan DPD). Kekuasaan yudikatif yang fungsinya
mengawasi penerapan Undang-Undang Dasar atau UUD dan hukum yang berlaku dipegang
oleh lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi.

Sementara kekuasaan eksekutif di Indonesia dipegang oleh presiden dan wakil


presiden dibantu oleh menteri sebagai pembantunya dalam menjalankan tugasnya. Dengan
dinamika yang terjadi dalam sistem pemerintahan maupun perpolitikan di Indonesia,
kekuasaan eksekutif di Indonesia mengalami berbagai macam pergeseran. Dalam hal
wewenang, fungsi, maupun dalam tata cara pengisian jabatan presiden sebagai pemegang
kekusaan eksekutif.

Banyaknya perubahan maupun pergeseran ini ialah sebagai bentuk penyempurnaan


sistem pemerintahan melalui proses yang sah secara konstitusi dalam rangka mewujudkan
tujuan bersama yaitu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, sesuai dengan cita-cita bersama yang terdapat pada
pembukaan UUD 1945.

B. ISI BUKU

1.1 BAB I : INDONESIA SEBUAH REPUBLIK


Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai dengan yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang
selanjutnya kami gunakan istilah UUD 1945). Sebagai negara kesatuan berbentuk republik,
Indonesia menerapkan corak demokrasi yang berlandaskan asas pancasila. Konsep
Demokrasi Pancasila ialah bentuk dari penyerapan sari-sari kehidupan masyarakat Indonesia
tradisional yang disarikan oleh para sebagai asas berbangsa dan bernegara setelah indonesia
merdeka.

Negara kesatuan pula dipilih oleh para founding father kita sebagai bentuk semangat
persatuan bangsa Indonesia yang tidak dibatasi suku, ras, dan agama. Sederhananya, karena
terdiri dari banyak pulau dan suku bangsa, maka Indonesia menggunakan bentuk negara
kesatuan. Pembentukan negara kesatuan tersebut bertujuan untuk menyatukan seluruh
wilayah nusantara agar menjadi negara yang besar dan kokoh dengan kekuasaan negara yang
bersifat sentralistik.

Sejarah panjang bangsa Indonesia dalam menentukan bentuk negara dan


pemerintahan dibahas tuntas dalam bab ini. Upaya negara mengakomodir setiap perubahan
dan dinamika politik dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang adil dan demokratis
banyak dilakukan. Perubahan yang bersifat progresif telah banyak dilakukan oleh negara.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang tercatat sudah empat kali ialah salah satu
bentuk komitmen negara dalam mencari formula menjalankan roda pemerintahan yang ideal
dalam mencapai cita-cita bangsa.

Perubahan-perubahan yang telah dialami oleh bangsa indonesia dalam praktik


ketatanegaraan tentu dibatasi dalam koridor-koridor tertentu yang dapat dibenarkan maupun
tidak dibenarkan secara konstitusi. Mekanisme perubahan secara konstitusi inilah yang
menyebabkan banyaknya pergeseran, perubahan, bahkan penghapusan terhadap wewenang,
fungsi dan tugas sebuah lembaga negara, tak terkecuali lembaga kepresidenan

1.2 BAB II : LEMBAGA KEPRESIDENAN DAN SISTEM


PEMERINTAHAN
Lembaga kepresidenan ialah salah satu lembaga negara yang diberikan kekuasaan
oleh negara dalam bidang eksekutif. Dalam konstitusi di Indonesia, lembaga kepresidenan
diatur sebanyak 19 pasal dari 72 pasal dalam UUD 45 sebagai dasar konstitusi di Indonesia.
Lembaga kepresidenan diberikan kedudukan yang kuat oleh UUD 45.

Di Indonesia, sebagai penganut sistem presidensial, presiden memegang kekuasaan


sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden sebagai kepala negara adalah
salah satu simbol resmi dan identitas nasional Indonesia di mata dunia. Sementara Presiden
sebagai kepala pemerintahan memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan rumah
tangga pemerintahan sehari-hari.

Presiden diberi wewenang menyelenggarakan pemerintahan sesuai UUD 1945 Pasal 4


ayat (1), selain menjalankan kekuasaan eksekutif, Presiden pula memiliki kekuasaan yang
“beririsan” dengan kekuasaan lain. Seperti Presiden dapat membentuk peraturan perundang-
undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi), dan lain sebagainya. Wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh presiden ini
ialah hasil dari berbagai perubahan atas wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh
presiden melalui berbagai macam upaya dalam koridor konstitusi dalam menjamin kekuasaan
yang ideal.

1.3 BAB III : PERSYARATAN PRESIDEN


Sebelum diamandemen, pasal 6 UUD ’45 menyebutkan bahwa ; “presiden ialah orang
Indonesia asli”. Berbagai pendapat merujukkan orang Indonesia asli seperti pembagian
colonial yaitu Eropah, Timur Asing, dan BumiPutera yang mana penggolongan ini adalah
bentuk diskriminasi terhadap warga negara Indonesia keturunan. Dalam pasal 26 UUD ’45
menyebutkan bahwa presiden Indonesia harus merupakan bangsa Indonesia asli bukan orang
Indonesia asli yang mana kebangsaan adalah kewargaan dimana presiden Indonesia haruslah
warga negara Indonesia dalam artian orang yang tidak lain lahir di Indonesia. Lalu bagaimana
nasib seorang istri yang ikut kewarganegaraan suaminya yang bukan Indonesia atau seorang
pekerja yang menyadari bahwa pekerjaannya suatu saat akan mengambil status
kewarganegaraannya? Maka jawabannya mereka tidak bisa menjadi Presiden Indonesia.

Setelah diamandemen, pasal 6 UUD ’45 mengatur pula syarat-syarat lain. Tidak
diperkenankan seseorang yang sudah mengganti kewarganegaraannya dari Indonesia menjadi
negara lain karena kesengajaan. Bagaimana dengan seorang anak yang diadopsi dan diubah
status kewarganegaraannya oleh si pengadopsi? Anak tersebut masih bisa menjadi presiden
Indonesia bila terbukti dia bukan melepaskan kewarganegaraan Indonesianya karena
kemauan sendiri dan mau melepaskan hubungan hukum dengan orangtua/mengadopsinya.
Walaupun telah ada syarat tambahan, tetapi syarat tersebut belum memadai. Maka dari itu
ditetapkan UU no.23 tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

1. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


2. warga negara sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas
kehendak sendiri.

3. tidak pernah mengkhianati negara.

4. mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.

5. bertempat tinggal di Indonesia

6. melaporkan kekayaan kepada instansi berwenang.

7. tidak sedang memiliki tunggakan utang secara perorangan dan/atau badan hukum
yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.

8. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.

9. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.

10. tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

11. terdaftar sebagai pemilih.

12. memiliki NPWP dan telah melaksanakan kewajiban pajak selama lima tahun terakhir.

13. memiliki daftar riwayat hidup.

14. belum pernah menjabat Presiden dan Wakil Presiden dalam dua kali masa jabatan
dalam jabatan yang sama.

15. setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.

1.4 BAB IV : PENGISIAN JABATAN PRESIDEN, MASA


JABATAN PRESIDEN, PRESIDEN BERHALANGAN, DAN
PERTANGGUNG JAWABAN PRESIDEN

Hal yang dapat penulis tangkap dari bab IV ini yang pertama adalah ketentuan serta
perubahan-perubahan pengisian presiden dan wakil presiden baik dari era orde lama hingga
masa sekarang. Di zaman orde lama, pengisian jabatan kepala negara dipilih langsung oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang telah diperbarui bukan lagi menurut jumlah
anggota ppki yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang. Anggota PPKI pada saat itu
menyetujui Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden pertama
Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh
MPR, yang mana berdasar pada Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum amandemen).
Walaupun ketentuan UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut, bukan berarti kedaulatan
rakyat berada ditangan MPR dan rakyat kehilangan haknya dalam memilih calon kepala
negara. Di Indonesia sendiri pada masa peralihan orde baru ke masa reformasi, dengan
turunnya presiden Soeharto yang digantikan oleh wakilnya B.J. Habibie.

Yang kedua, penulis dapat simpulkan bahwa masa jabatan presiden dan wakil
presiden yang diatur dalam pasal 7 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden dan
wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali.”arti dari ‘dipilih kembali’ sebenarnya merujuk pada dapat dipilih satu kali lagi
untuk menjabat. Karena secara praktis pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang dengan
masa jabatan yang terlalu lama dapat mendorong ke pemerintahan yang anti perubahan dan
berpeluang cukup besar untuk attend to corrupt. sehingga dikeluarkannya Ketetapan MPR
no. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden Indonesia.

Ketiga, yang penulis dapatkan perihal presiden berhalangan yakni apabila presiden
berhalangan, maka akan ada pejabat yang mengisi kekosongan kekuasaan tersebut. namun,
tidak dapat dipastikan bahwa akan selalu ada wakil presiden yang setiap saat siap untuk
menggantikan presiden apabila jabatan tersebut lowong, bisa jadi akan digantikan oleh
Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama
yang disebut sebagai triumvirat dan akan menjadi pelaksana tugas kepresidenan.

Yang Keempat, penulis dapat sampaikan bahwa pertanggung jawaban presiden tidak
hanya sekedar pengawasan, namun termasuk pemberhentian presiden apabila presiden
melakukan suatu pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap bangsa dan negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat dan tercela. Diakhir masa jabatannya MPR maupun
DPR akan menanyakan pertanggungjawaban Presiden, namun apabila hingga akhir masa
jawabannya dua lembaga tersebut tidak menanyakan hal terkait, maka Presiden dianggap
telah menjalankan pemerintahan dengan baik. Pengawasan dilakukan secara terus menerus
dan pertanggungjawaban tersebut sewaktu waktu dapat diminta.
1.5 BAB V : KEKUASAAN PRESIDEN
Setelah membaca Bab ini yang telah ditanggap yang pertama ialah Kekuasaan
Penyelenggaraan pemerintah, Kekuasaan penyelenggarakan pemerintahan bersifat umum.
Presiden ialah penyelenggara tertinggi administrasi negara. Kemudian dimaksud dengan
kekuasaan pemerintahan ialah kekuasaan eksekutif. Penyelenggaraan pemerintahan yang
dilaksanakan Presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan
yang bersifat umum dan bersifat khusus. Lingkup tugas dan wewenang administrasi negara
ini sejalan meluasnya tugas dan wewenang negara atau pemerintah.

Tugas dan wewenang dapat dikelompokkan kedalam beberapa golongan, yaitu Tugas
dan wewenang administrasi dibidang keamanan dan ketertiban ialah memelihara, menjaga,
dan menegakkan keamanan dan ketertiban umum tujuannya tidak lain adalah membentuk
pemerintahan Indonesia yang merdeka. Kemudian Tugas dan wewenang menyelenggarakan
tata usaha pemerintahan mulai dari surat menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain.
Selanjutnya Tugas dan wewenang administrasi negara dibidang pelayanan umum, Tugas dan
wewenang administrasi negara dibidang penyelenggaraan kesejahteraan umum. Kemudian
tugas penyelenggara pemerintahan yang bersifat khusus adalah penyelenggara tugas dan
wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada presiden yang mmeiliki
prerogative dibidang pemerintahan.

Kedua ialah kekuasaan di bidang perundang-undangan. Presiden turut berbagi


kekuasan dengan badan legislated dalam membuat perbuatan undang-undang. Untuk
kekuasaan membentuk undang-undang terdapat ajaran Montesquieu atau biasa disebut
pemisahan kekuasaan. Kekuasaan membentuk undang-undang itu legislative, karena itu
hanya ada pada badan legislative kemudian eksekutif tidak mempunyai kekuasaan
membentuk undang-undang. untuk ini membahas terkait peranan presiden dengan legislatif
untuk membuat sebuah undang-undang, aturan yang ada sebelum dan sesudah amandemen.

Kemudian ketiga ini, membahas terkait kekuasaan membentuk peraturan pemerintah


yaitu dengan presiden menetapkan peraturan pemerintah (PP) hanya untuk melaksanakan
undang-undang. Jadi, PP ini harus memiliki dasar pada undang-undang tertentu. Kemudian
untuk yang ke empat, Kewenangan menetapkan keputusan presiden. Keputusan presiden
dapat dibedakan menjadi keputusan presiden yang mengatur yang berisi (Beschikking).
Kemudian untuk yang ke lima terkait tentang kewenangan menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang (Perpu). Wewenang Presiden menetapkan Perpu
merupakan wewenang yang luar biasa dibidang perundang-undangan, sedangkan wewenang
ikut membentuk undang-undang sedangkan wewenang membentuk undang-undang peraturan
pemerintah dan keputusan Presiden merupakan wewenang yang biasa.

Pada sub bab ini, menjelaskan tentang kewenangan presiden di bidang Yustisial,
yaitu memberi grasi & rehabilitasi dengan pertimbangan MA dan amnesti & abolisi dengan
pertimbangan DPR. Grasi adalah pengampunan dengan cara meniadakan, mengubah atau
mengurangi pidana yang berkekuatan hukum tetap. Amnesti adalah meniadakan sifat pidana
atas perbuatan narapidana dan Abolisi adalah meniadakan penuntutan. Sedangkan rehabilitasi
adalah pengembalian pada kedudukan atau keadaan semula sebelum atau sesudah seseorang
dijatuhi pidana.

Kemudian, kewenangan yang terakhir yaitu Kekuasaan dalam Hubungan Luar Negeri.
Kewenangan ini termasuk kewenangan yang bersifat diplomatik dan administratif.
Kewenangan tersebut diantaranya adalah Presiden dapat mengadakan perjanjian dengan
negara lain, menyatakan perang dan perdamaian dengan negara lain, kewenangan untuk
mengangkat duta dan konsul, serta menerima duta dan konsul dari negara asing.

C. ANALISIS

I. INDONESIA SEBAGAI NEGARA REPUBLIK

Bentuk pemerintahan republik sering dibandingkan dengan bentuk pemerintahan


kerajaan atau monarki. Karena ada perbedaan mendasar dalam hal menjalankan roda
pemerintahan dan wewenang, tugas, maupun pengisian jabatan pimpinan. Dalam sistem
pemerintah demokrasi, pimpinan pemerintah diisi dengan cara pergantian (dengan cara
pemilihan maupun tidak dipilih atau coup d’etat). Bentuk pemerintahan republik sekarang
sudah tidak bisa lagi disandingkan secara prinsipil dengan bentuk pemerintahaan kerajaan
atau monarki karena perkembangan dokrin dan praktik ketatanegaraan yang berkembang dan
menyesuaikan dengan kebutuhan di negara tersebut. Seperti contoh Singapura, Singapura
tidak bisa dikategorikan sebagai negara dengan bentuk monarki karena mereka mendapat
kemerdekaan serta dalam penyelenggaraan pemerintahnya menganut corak demokrasi,
mereka mengenal sistem pemilu. Namun, mereka mengenal “kepala negara” sebagai wakil
dari Ratu Inggris.

Bentuk pemerintahaan republik berakar dari pemerintahan Yunani klasik dan


Romawi. Di Yunani, Plato setidaknya menilite 27 UUD republik-republik kota Yunani
sebagai satuan-satuan kecil yang memiliki seorang pemimpin yang berangkat dari pilihan
mayoritas dari kelompok satuan tersebut dan bukan turun-temurun. Sama seperti di
Indonesia, satuan pemerintahan kecil di desa dipimpin oleh seorang ketua atau pemimpin
ialah pilihan bersama dan bahkan dalam menjalankan pemerintahannya didasarkan dengan
musyawarah oleh seluruh warga desa maupun secara perwakilan melalui tetua desa yang
dipercaya. Ke-khas-an inilah yang coba diadopsi oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia
ke dalam tata pemerintahan Indonesia, seperti prinsip gotong royong, kekeluargaan, maupun
musyawarah, dan lain-lain.

Berangkat dari prinsip gotong royong, kekeluargaan (kolektivisme), dan musyawarah


itulah menjadi asas dalam memilih bentuk pemerintahan Indonesia yang merdeka yang
berbentuk republik dengan corak demokrasi didalamnya. Sebagaimana bunyi UUD 1945
pasal 1 ayat (1) bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Pasal tersebut dapat ditasirkan bahwa Negara Indonesia berbentuk negara kestaun dan negara
dengan bentuk pemerintahan republik.5

Selain berangkat dari asas-asas tadi, bentuk kesatuan dan pemerintahan berbentuk
republik dipilih karena dianggap dapat meminimalisir potensi perpecahan yang disebabkan
politik devide it impera, juga didorong oleh kekhawatiran jika memilih bentuk negara
monarki akan menimbulkan kesewang-wenangan dan tidak memberikan aspirasi secara
merata bagi rakyat Indonesia kelak. Maka pada siding BPUPI dikehendaki bentuk
pemerintahan republik (55 suara repbulik, 6 suara kerajaan, 1 suara blanko, dan 2 suara lain-
lain).6

Meskipun dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia merdeka, walau terjadi


beberapa kali kali pergantian maupun perubahan UUD, bentuk pemerintahan republik
Indonesia tetap dipertahankan. Namun, bentuk negara kesatuan sempat diubah menjadi
negara serikat atau negara federal berdasarkan perjanjian KMB dengan dasar hukumnya ialah

5
Lihat, Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1992 , hlm 18
6
Ibid., hlm 17 dan 34.
konstitusi RIS.7 Namun RIS bertahan lama karena ada tuntutan dari rakyat Indonesia untuk
mengembalikan bentuk negara persatuan dan Mosi Integral yang diajukan Moh. Natsir di
DPR dan Konstitusi RIS dirubah menjadi UUDS 1950 dan bentuk negara kesatuan
dikembalikan.

Tak berselang lama, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 konstitusi UUDS 1950
dirubah dan dikembalikan menjadi UUD 1945. Masa ini sering disebut sebagai Orde Lama,
pada periode ini peran presiden sangat besar bahkan dijuluki sebagai periode demokrasi
terpimpin. Dalam pratiknya, banyak penyimpangan-penyimpangan ketatanageraan yang
dilakukan presiden pada masa ini yang bertentangan dengan prinsip negara berkedaulatan
rakyat,8negara berdasarkan hukum,9negara berpaham prinsip konstitusi,10 dan lain-lain.
Penyimpangan tersebut menimbulkan sifat-sifat kediktaktoran yang jauh dari prinsip-prinsip
dan nilai-nilai demokrasi. Hal serupa juga terjadi pada masa orde baru pada medio 1966-
1998.

Setelah masa reformasi hingga sekarang, telah dilakukan berbagai upaya untuk
mewujudkan pemerintahaan yang “rechtsied” ,aupun “stattsidee: sesuai dengan amanah yang
terkandung dalam UUD 1945. Dengan adanya momentum reformasi, keterbukaan akan
kebebasan akan segala hal tak terkecuali dalam hal politik dan praktik ketatanegaraan yang
sebelumnya cenderung kaku dan represif. Amandemen terhadap dasar konstitusi yaitu UUD
1945 dilakukan untuk menciptakan negara yang lebih ideal bagi rakyat. Setelah serangkaian
amandemen UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia cenderung menganut sistem
presidensial konvensional. Sistem presidensial yang konvesional memiliki karakteristik
seperti yang dirumuskan oleh Arendt Lipjhart dan Giovanni Sartori. Mereka menyatakan tiga
karakteristik utama dari sistem tersebut ialah (i) terdiri dari seorang pimpinan eksekutif
tunggal; (ii) pimpinan eksekutif tersebut dipilih langsung oleh rakyat; dan (iii) masa tugasnya
dibatasi dan tidak dapat diberhentikan melalui pemungutan suara oleh lembaga legislatif.
Sedangkan Sartori mengemukakan bahwa suatu negara dinyatakan menganut sistem
presidensial apabila presidennya (i) dipilih langsung melalui popular election, (ii) tidak dapat
diberhentikan oleh lembaga legislatif pada kurun waktu masa tugasnya, dan (iii) memimpin
pemerintahan oleh orang-orang yang dia tunjuk.11

7
Bab I, Konstitusi RIS berjudul : “ Negara Republik Indonesia Serikat.
8
UUD 1945, Pasal 1 ayat (2)
9
UUD 1945, Pasal 1 ayat (3)
10
Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945
11
Pendapat Andrew Ellis sebagaimana dikutip oleh Denny Indrayana, op cit, hlm. 278-279
Upaya dalam rangka meraih tujuan tersebut dilakukan dalam bentuk perubahan,
pengurangan, maupun penambahan terhadap konstitusi sudah dilakukan. Namun, masih
ditemui kendala yang menghambat proses pertumbuhan demokrasi yang kondusif dan sehat
yang disebabkan berbagai faktor, entah itu yang bersifat objektif maupun subjektif.

Faktor objektif yang menjadi penghambat proses demokrasi antara lain ialah kualitas
sumber daya manusia yang kurang, sarana politik dan hukum yang belum memadai, dan lain
hal sebagainya. Sementara faktor subjektifnya ialah berbagai conflict of interest yang masih
menjadi persoalan ketika seseorang memiliki jabatan di pemerintah maupun “feudalistic
attitude”. Demokrasi menurut Plato, adalah yang paling fair dan paling menawan dari segala
bentuk pemerintahann berdasarkan konstitusi. Namun akan hancur apabila terjadi persaingan
yang tidak sehat dan pengambilan keputusan yang tidak tepat oleh public yang tidak dididik.
Dari keadaan itulah maka akan timbul kekacauan dan menjadi momentum yang tepat bagi
despotism yang hadir sebagai solusi bagi permasalah tersebut.12

II. LEMBAGA KEPRESIDENAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN

Sistem presidensial ialah sistem pemerintahan yang meletakan presiden sebagai


jabatan yang kedudukannya sangat kuat. Presiden berperan sebagai kepala pemerintahan
(head of government) dan kepala negara (head of state). Sementara dalam sistem
pemerintahan parlementer jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dibedakan satu
sama lain yang pada hakikatnya kedua jabatan tersebut ialah bagian dalam cabang kekuasaan
eksekutif. Oleh C. F. Strong, kedua jabatan eksekutif ini dibedakan antara pengertian real
executive dan nominal executive. Kepala negara disebut oleh C.F. Strong sebagai nominal
executive, sedangkan kepala pemerintahan disebutnya real executive.13 Dalam sistem
pemerintahan presidensial yang menempatkan eksekutif tunggal pada jabatan seorang
presiden tidak bertanggungjawab kepada Badan Perwakilan Rakyat, tetapi langsung kepada
rakyat karena dipilih langsung atau dipilih melalui badan pemilih (electoral college).
Kedudukan antara eksekutif (presiden) dan legislative (DPR) dalam sistem presidensial
tersebut sama kuat.14

12
Lawrence M. Sakibfer, encyclopedia of White Collar & Corpoorate Crime< Vol I,, Sage Publications, Ca, 2005, hlm. 216
13
CF Strong, Modern Political Constitutions (London: Sidgwick, 1960).
14
Moh, Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 1993),
hlm. 83.
Kedudukan Presiden yang diatur dalam UUD 1945 sangat kuat. Kemungkinan yang
mendasari pemberian kedudukan yang tinggi bagi lembaga kepresidenan di Indonesia karena
berkiblat kepada stuktur dan rumusan kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden di Amerika
Serikat melalui pranata ketatanegaraan yang diatur dalam UUD Amerika Serikat. Meskipun
ada beberapa perbedaan detail kecil dalam kekuasaan yang dimiliki lembaga kepresidenan,
Presiden Amerika Serikat tidak dibekali kekuasaan untuk ikut merumuskan dan merancang
Undang-Undang yang kekuasaan tersebut dimiliki oleh congress15. Kekuasaan Presiden
Amerika Serikat hanya terbatas pada persetujuan dan hak veto terhadap rancangan undang-
undang tersebut.16 Berbeda dengan di Indonesia dimana Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undangan17 yang kemudian dibahas dan disahkan bersama dengan DPR.
Meskipun tidak sepenuhnya pula alasan mengapa Presiden memiliki kedudukan yang kuat
dalam UUD 1945 ialah karena mencontoh praktik ketatanegaraan di Amerika Serikat. Karena
pada dasarnya, di Indonesia sendiri sebelum mengenal politik modern pranata ketatanegaraan
bentuk kerajaan yang menasbihkan seorang pemimpin yaitu Kepala Desa atau Raja
mempunyai kedudukan yang kuat dalam menjalankan pemerintahan sekaligus kekuasaan
peradilan dan membuat hukum. Kurang tergambar jelas latar belakang mengapa dalam UUD
1945 dirumuskan kedudukan, struktur, dan rumusan kekuasaan Presiden semacam ini.
Namun dapat diasumsikan bahwa pilihan ini sebagai upaya menjamin suatu kekuasaan
pemerintahan (eksekutif) yang kuat dan stabil18

Alasan lain sistem presidensial yang dipilih, ialah karena Indonesia pada masanya
sistem parlementer gagal dipratekkan. Sistem presidensial lebih cocok dipraktekkan melihat
kondisi sosiologi masyarakat Indonesia yang heterogen dan sangat kompleks yang
diimplementasikan dalam kekuatan politik terpolarisasi dalam berbagai macam partai yang
menyebabkan munculnya sistem multi partai.19 Dengan sistem inilah maka lembaga
kepresidenan memiliki kedudukan yang kuat dan roda pemerintahan diharapkan stabil dan
tidak menimbulkan berbagai macam goncangan politik selama masa jabatannya.

Karena menganut sistem presidensial konvesional dan corak demokrasi Pancasila,


maka mekanisme pengisian jabatan pemegang kekuasaan eksekutif ( dalam hal ini presiden

15
UUD AS, Pasal 1 ayat (1).
16
UUD AS, Pasal 1 ayat (7).
17
UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) setelah amandemen pertama
18
Bagir Manan, Kembaga Kepresidenan (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 32.
19
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945 makalah
disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Pembangunan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM pada tanggal 14-18 Juli 2003, hlm. 8.
dan wakil presiden) diselenggarakan secara langsung melalui Pemilihan Umum.20 Mekanisme
pemilihan langsung tersebut pula mengindikasikan bahwa presiden bertanggung jawab
langsung terhadap rakyat. Berbeda dengan praktik ketatanegaraan sebelum amandemen UUD
1945 ketiga dimana presiden Pasca amandemen ketiga atas UUD 1945 berakibat MPR bukan
lagi merupakan Lembaga Tertinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang
membawa konsekuensi MPR tidak Iagi memilih Presiden sebagai penyelenggara negara
tetapi Presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat. Selain sebagai bentuk dari
implementasi demokrasi yaitu rakyat berusia dewasa turut serta dalam pengambilan
keputusan yang penting secara langsung maupun sistem perwakilan, yang menjamin
pemerintahan dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya kepada
rakyat,21 juga sebagai upaya menjamin pemerintahan yang stabil. Karena Presiden ialah
representasi rakyat secara langsung, bukan sebagai mandataris MPR yang sewaktu-waktu
mandat tersebut bisa dicabut seperti yang pernah dialami oleh Soekarno dan Gusdur.

Tetapi bukan berarti kedudukan presiden yang sangat kuat tersebut bertujuan semata-
mata untuk melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan presiden. Pranata impeachment tetap
bisa dilakukan bila presiden maupun wakil presiden terbukti secara sah dan meyankinkan
telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.22

Upaya impeachment terhadap presiden setelah amandemen UUD 1945 memang


mekanismenya tidak sesederhana ketika presiden masih sebagai mandataris MPR. Setelah
Amandemen mekanisme impeachment harus diawali DPR yang menggunakan hak bertanya
sebagai fungsi pengawasan23. Lalu usul pemberhentian dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi
untuk diproses dan diputuskan apakah Presiden/Wakil Presiden bersalah atau tidak 24. Putusan
MK tersebut diteruskan ke DPR dan diusulkan kepada MPR untuk disidangkan kemudian
dalam rapat paripurna dinyatakan presiden atau wakil presiden berhenti atau tidak berhenti
dari jabatannya. Dengan proses yang melibatkan kedua lembaga pemegang kekuasaan
legislatf dan yudikatif ini diharapkan akan timbul pertimbangan dari sudut pandang masing-

20
UUD 1945, Pasal 6A ayat (1), setelah amandemen ketiga.
21
C.F Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2011
22
UUD 1945, Pasal 7A, setelah amandemen ketiga.
23
ibid, Pasal 20A, ayat (1), setelah amandemen kedua
24
ibid 1945, Pasal 7B, ayat (4) dan (5), setelah amandemen ketiga
masing lembaga mengenai pemberhentian presiden atau wakil presiden sehingga keputusan
tersebut tidak hanya bermuatan politis semata namun dapat ditinjau dari aspek yuridis.25

Alasan impeachment lebih diperjelas kategori apa perbuatan presiden yang dapat
dijadikan alasan pemberhentian dari jabatannya. Dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. “tindak pidana berat lainnya”
ditafirkan sebagai tindak pidana dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Menurut Sri
Soemantri, alasan pidana yang dijadikan alasan pemberhentian presiden ialah tindakan
hukum pdana yang mengakibatkan pertanggung jawaban politik. Sedangkan “perbuatan
tercela” sendiri belum ada definisi pasti dari alasan tersebut. Perlu penafsiran lebih lanjut lagi
karena masih memancing perdebatan secara akademis dan perlu digali lebih dalam lagi.

Kekuasaan Presiden pun dibatasi oleh konstitusi. Dengan pembatasan ini, diharapkan
presiden tidak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan maupun kebijakan. Selain
memiliki kekuasaan yang “beririsan” dengan kekuasaan yang dimiliki lembaga lain seperti
hak memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA, Presiden pula memiliki
kekuasaan yang dibatasi yaitu kekuasaan eksekutif presiden dalam mengangkat duta dan
konsul tidaklah mutlak karena harus memperhatikan pertimbangan dari DPR sebagai
pemegang kekuasaan legislatif.26 Atau pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI harus
melalui pertimbangan DPR dengan dasar hukum Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang
tentang Kepolisian RI dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Republik Indonesia.
Undang-Undang tersebut membatasi kekuasaan presiden untuk mengangkat dan
memberhentikan Kapolri dan Panglima TNI.

Pembatasan kekuasaan ini menimbulkan permasalahan baru. Pembatasan kekuasaan


tersebut dimaknai sebagai intervensi cabang kekuasaan negara. Hal ini dianggap
mencederau prinsip separation of powers karena DPR menggunakan kekuasaanya untuk
membatasi kewenangan eksekutif presiden.27 Prinsip separation of power pada dasarnya
pemisahan kekuasaan memang tidak ditemukan secara tersurat dalam konstitusi, namun
disepakati bahwa kedudukannya mendasar dalam negara demokrasi dan menjadi fondasi
konstitusi itu sendiri.28

25
Eko Noer Krisyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Rechtsvinding,
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013, hlm 341
26
UUD 1945, Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2). Setelah amandemen kedua
27
Hendra Wahanu Prabandani, Batas Konstitusional Kekuasaan Eksekutif Presiden, Jakarta 2015, hlm 8.
28
Peter L. Straus, Formal and functional approaches to separation-of-powers questions—a foolish inconsistency?, 72 Cornell
L. Rev. 488, 1987, hlm. 1.
Negara Indonesia, pada akhirnya telah memilih sistemnya sendiri dengan dasar
konstitusi UUD 1945. Apapun sistemnya, asas-asas yang terkandung dalam paham republik
harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Dibarengi dengan asa demokrasi, konstitusi, negara
hukum, dan prinsip negara welfare state atau negara kesejahteraan rakyat.29Segala hal
mengenai pembagian kekuasaan negara dalam bentuk wewenang, tugas, maupun fungsi harus
dilaksanakan sebaik-baiknya tak terkecuali lembaga kepresidenan sebagaimana diatur dalam
konstitusi.

III. PERSYARATAN PRESIDEN

Menurut pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa :”Presiden adalah harus orang
Indonesia asli”. Ditafsirkan Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia dalam artian
BumiPutera. Dalam amandemen UUD NRI 1945, persyaratan presiden menjadi “Calon
Presiden dan Calon Wakil Presiden adalah seorang Warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima Kewarganegaraan lain karena Kehendaknya
Sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara Rohani dan Jasmani
untuk melaksanakan Tugas dan Kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Partai Persatuan Pembangunan baru-baru ini merekomendasikan agar


frasa “orang Indonesia asli” kembali dimasukkan dalam Pasal tersebut seperti sebelum
diamandemen. Adapun mengenai definisi “orang Indonesia asli” yang dimaksud PPP
adalah perorangan WNI yang berasal-usul dari suku atau ras yang berasal atau asli
dari wilayah Indonesia. WNI yang memiliki darah atau keturunan asing
dianggap PPP tidak bisa menjadi presiden atau wakil presiden. 30

Dalam penyusunan UUD 1945 digunakan beberapa referensi yang salah satunya
adalah UUD Amerika Serikat yang menggunakan istilah natural born citizen. BPUPKI yang
Menyusun UUD 1945 merupakan badan yang beranggotakan berbagai macam latar belakang
etnik yang sama sama berjuang untuk Indonesia yang merdeka, sungguh tidak mungkin akan

29
Bagir Manan, Kembaga Kepresidenan (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm 60.
30
Dikutip dari MediaGeotimes.co.id, Miftakhul Huda, Tafsir Konsitusi Harus “Orang Indonesia Asli”, diakses Tgl 04
September 2022.
dibiarkannya konstitusi yang diskriminatif. Sebagaimana tujuan dari UUD 1945 adalah
menjamin persamaan setiap warga di mata hukum.

Dasar dari penafsiran natural born citizen ialah UUD 1945 Pasal 26 yang berbunyi
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Sehingga
ditafsirkan bahwa redaksi bangsa Indonesia tersebut diartikan dengan kewarganegaraan
bukan secara kesukuan sebagaimana arti kata bumiputra yang saat penetapan UUD 1945
sebagai warga negara dan orang-orang yang lahir sebagai warga negara Indonesia31

Wacana untuk mengembalikan syarat Presiden Indonesia harus bangsa Indonesia asli
tersebut menimbulkan pro kontra. Pihak yang mendukung wacana tersebut beranggapan
bahwa seorang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus warga
Indonesia asli dengan asumsi akan lebih berpihak pada rakyat Indonesia. Meskipun ditentang
oleh beberapa pihak karena dianggap sebagai suatu tindakan diskriminasi dan sudah tidak
relevan dengan kondisi saat ini dimana setiap warga negara tidak sepatutnya mengalami
perlakuan diskriminasi dengan dasar persoalan apakah ia asli ataupun memiliki garis
keturunan lain yang lazimnya disebut keturunan.

Jika wacana mengembalikan persyaratan Presiden harus bangsa Indonesia asli, maka
tak lain berarti kita masih termakan akan politik hukum Indisce Staatsregeling (IS) khususnya
Pasal 163, yang membagi golongan penduduk saat itu menjadi tiga yaitu nederlanders
(Eropa), vreemde oosterlingen (Timur Asing) dan inlanders (Pribumi). 32 Sehingga para
penyusun UUD 1945 sangat anti terhadap penggolongan tersebut karena dianggap
diksriminatif dan tidak mencerminkan cita-cita bangsa sehingga penafsiran persyaratan
Presiden harus bangsa Indonesia asli bukan dimaksudkan hanya warga Indonesia asli secara
kebangsaan/etnik namun dimaksudkan sebagai bangsa dalam pengertian hukum ialah warga
negara suatu negara tertentu bukan latar belakang etnik tertentu.

Sehingga wacana yang diajukan oleh PPP untuk persyaratan Presiden harus bangsa
Indonesia asli, tak lain sebagai pemaknaan persis seperti tafsiran pasal 163 IS mengenai

31
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 63.
32
Penggolongan rakyat kedalam tiga golongan tersebut sebenarnya telah dimulai dari tahun 1844 berdasarkan Pasal 10 9
Regeringsreglement 1854 dan diteruskan dalam Pasal 163 IS 1925. Lihat Eman Suparman, Asal Usul Serta Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen) (makalah tanpa tahun), hlm.
3
penggolongan penduduk. Dimana politik hukum tersebut jelas bertujuan untuk memecah
belah warga negara dan mengandung politik penjajahan yang diskriminatif.

Persyaratan Presiden yang diatur dalam UUD 1945 hanya mengatur mengenai syarat
orang Indonesia asli, syarat lain diatur dalam TAP MPR No.II/MPR yaitu :

a) Warga Negara Indonesia;


b) Telah berusia 40 tahun;
c) Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam Pemilihan Umum;
d) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
e) Setia kepada Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945;
f) Bersedia menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan
oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis;
g) Berwibawa;
h) Jujur;
i) Cakap;
j) Adil;
k) Dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam Majelis;
l) Tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang
mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undangundang Dasar 1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang
lainnya;
m) Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan Keputusan Pengadilan yang tidak dapat
dirubah lagi karena tindak pidana yang di ancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun;
n) Tidak terganggu jiwa/ingatannya.

Penambahan syarat-syarat tersebut sangat wajar dan ideal, karena sebagaimana


persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 mengenai syarat Presiden harus bangsa Indonesia
asli tidak memadai sebagai persayaratan seorang calon presiden. Sebagai contoh dalam UUD
1945 tidak dibatasi mengenai usia seseorang yang dapat dipilih untuk menjadi Presiden. Bila
ditafsirkan secara mentah-mentah dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia
berapapun usianya dapat mencalonkan diri untuk dipilih sebagai Presiden. Tentu hal tersebut
akan menimbulkan polemik karena seyogyanya Presiden membutuhkan kematangan,
kearifan, dan kedewesaan dalam memimpin bangsa Indonesia. Sehingga sudah sewajarnya
dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni maka timbul pembatasan usia
minimal 40 tahun bagi calon Presiden dengan asumsi pada usia tersebut seseorang sudah
dianggap siap untuk menjadi Presiden.
Syarat-syarat yang lain seperti yang diatur dalam TAP MPR No.II/MPR dirasa sudah
cukup untuk menjamin persyaratan calon Presiden sudah kapabel untuk memimpin bangsa
Indonesia, pengecualian untuk poin (F) yang berbunyi dukungan dari Rakyat yang tercermin
dalam Majelis dimana sekarang dukungan dari rakyat dilaksanakan secara langsung melalui
mekanisme pemilu.

IV. PENGISIAN JABATAN PRESIDEN, MASA JABATAN


PRESIDEN, PRESIDEN BERHALANGAN, DAN PERTANGGUNG
JAWABAN PRESIDEN

Pengisisan jabatan presiden sebagaimana dimaksud adalah dimana presiden sedang


absen atau tidak dapat melakukan sebagaimana tugasnya sebagai kepala negara, maka wakil
presiden dapat menggantikan posisi presiden agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan.
Dimana pada tahun 1998 adanya krisis moneter di Indonesia atas desakan berbagai lapisan
masyarakat Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, untuk menghindari
kekosongan kekuasaan tersebut maka wakil presiden BJ Habibie diangkat menjadi Presiden
Indonesia ketiga. Sebelumnya, Presiden Soeharto telah menjabat sebagai Presiden selama 32
Tahun yang mana pada saat itu UUD 1945 belum membatasi masa jabatan Presiden.
Perubahan-perubahan terhadap UUD 1945 pasca reformasi salah satunya yakni Pembatasan
masa jabatan Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi : " Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Sistem pertanggung jawaban presiden didasarkan atas pelanggaran hukum yang


dilakukan dalam masa jabatan sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 7A UUD 1945
yang berbunyi :“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Sebuah adagium mengatakan “Geen macht zonder
veraantwoor-delijkheid” (tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban).33

Adagium tersebut ditafsirkan bahwa Presiden atau Wakil Presiden dapat


diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berbeda ketika sebelum
amandemen dimana pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden terhadap Majelis bukan
langsung kepada rakyat karena Majelis dianggap sebagai representasi perwakilan dari rakyat.
Dengan praktik ketatanegaraan tersebut, majelis bisa memutus untuk menarik mandat kepada
Presiden sebagai mandataris yang diartikan pula sebagai pencopotan jabatan dari
Presiden/Wakil Presiden seperti yang pernah dialami oleh Soekarno dan Gusdur ketika MPR
menarik mandat terhadap Presiden sekaligu pencopotan dari jabatannya.

Mekanisme pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dari jabatannya setelah


amandemen hanya bisa dilakukan oleh MPR setelah usulan dari DPR dan pertimbangan dari
MK bahwa Presiden/Wakil Presiden sudah sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.

Sebelum Amandemen, masa jabatan presiden lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali.34 Dimana pada masa sebelum amandemen seorang Presiden dapat dipilih berulang-
ulang setelah masa periode sebelumnya habis yang menyebabkan adanya indikasi
mengarahnya negara kearah otokrasi/oligarki karena terus-terusan dikuasai oleh segilintir
orang dan seolah-olah tidak memberikan kesempatan bagi warga negara yang lain. Maka,
amandemen pertama memberikan batasan bahwa masa jabatan Presiden dalam satu periode
ialah lima tahun dan dapat dipilih hanya satu kali setelahnya.

Pengisian jabatan bilamana Presiden mangkat,berhenti, diberhentikan dari jabatannya


akan diangkat Wakil Presiden untuk menggantikannya. 35 Bilamana terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden, maka MPR akan menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil
Presiden dari dua usulan Presiden.36

33
UNJA : https://online-journal.unja.ac.id/jimih/article/view/2183
34
UUD 1945, Pasal 7, dimana setelah amandemen pertama hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali.
35
Ibid, Pasal 8 ayat (1), amandemen ketiga
36
Ibid, Pasal 8 ayat (2), amandemen ketiga
V. KEKUASAAN PRESIDEN

Seorang Presiden Republik Indonesia ialah memegang sebuah kekuasaan


pemerintahan hal tersebut telah tercantum pada UUD 1945 pasal 4 ayat (1). Sebagai
kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh seorang Presiden
dibedakan menjadi dua yaitu, penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan
kekuasaan penyelenggaraan bersifat khusus. Untuk kekuasaan penyelenggara pemerintah
yang bisa dikatakan bersifat umum ialah kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara
sedangkan seorang Presiden itu sendiri adalah pimpinan tertinggi penyelenggaraan
administrasi negara, kemudian untuk yang bersifat khusus ialah tugas atau wewenang
pemerintah secara konstitusional ada pada presiden pribadi yang mencerminkan memiliki
sifat prerogatif. Selain itu, perbandingan antara wewenang administrasi negara berbeda
dengan peradilan dimana administrasi negara tugas wewenang secara preventif dan represif
sedangkan peraadilan hanya pada represif saja. 37

GBHN sendiri pertama kali ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Perpres No. 1
Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Salah satu argumentasi
utama mengapa perlu menghidupakan GBHN adalah pandangan bahwa perencanaan
pembangunan di Indonesia pascareformasi mengalami kekacauan, tidak ada arah dan saling
berbenturan antara pusat dan daerah. Selain itu mereka juga menyoroti soal kesinambungan
program-program pembangunan yang bisa jadi mengalami keterputusan ketika terjadi
pergantian pemerintahan.38
Namun, GBHN yang telah ditetapkan oleh MPR yang direncakan untuk jangka waktu
lima tahun. Tapi, dalam praktiknya selama pemerintahan Presiden Soeharto, GBHN tidak
hanya isinya hanya garis-garis besar halyan negara lima tahunan, tapi juga memuat pula
bahan arahan jangka Panjang yaitu selama 25 tahunan yang biasa disebut pembangunan
jangka Panjang (PJP) didasarkan oleh pada asumsi tidak aka nada perubahan perimbangan
kekuatan politik selama kurun waktu tersebut, jadi hanya untuk kepentingan politik semata. 39
Kekuasaan dibidang perundang-undangan sesuai sistem UUD 1945 lebih dekat pada
sistem negara eropa di banding dengan Amerika Serikat. Sebelum terjadinya amandemen
UUD 1945 Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang, jadi kekuasaan yang
membentuk sebuah undang-undang ada pada Presiden lalu untuk DPR sendiri hanya sekadar

37
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 122
38
Imam Subkhan, GBHN Dan Perubahan Perencanaan Pembangunan Di Indonesia, (22,12), 2014, hlm,132.
39
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 126
menyetujui atau tidaknya. Namun, dalam sistem difusi yang ada tetap tidak menghilangkan
ciri-ciri masing-masing badan yang artinya ialah, Presiden memegang kekuasaan eksekutif
sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan legislatf. Namun, Untuk pembuatan Undang-
undang dibuat bersama. Kekuasaan Presiden yang mampu mebuat undang-undang harus
diartikan bahwa seorang Presiden memiliki sebuah hak inisiatif di samping hak inisiatif yang
ada pada DPR. Jadi, Presiden dapat turut serta untuk pembahasan rancangan undang-undang
di DPR. 40

Setelah amandemen UUD 1945, terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam


membentuk undang-undang, yang diatur dalam pasal 5, berubah menjadi Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 20). Pergeseran kewenangan membentuk
undang-undang dari sebelumnya di tangan Presiden dan dialihkan kepada DPR merupakan
langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi-fungsi lembaga negara sesuai
bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang
(kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan
eksekutif).41

Kewenangan Presiden telah dirumuskan dalam UUD 1945 tepatnya di dalam Bab III
Pasal 4 s.d Pasal 16 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Berdasarkan pasal tersebut,
Presiden memiliki kedudukan sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala
Pemerintahan. Ini merupakan peranan dari kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan
kekuasaan. Namun demikian, tidaklah memberi arti bahwa Presiden memiliki kedudukan
tertinggi, yang paling kuat, melainkan kedudukannya tersebut diawasi, diimbangi, dan
memiliki batas-batas tertentu. Untuk itu, UUD 1945 menegaskan bahwa MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang memilih Presiden
beserta wakilnya, sehingga Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR. Kemudian, MPR
berwenang untuk memberhentikan Presiden apabila sungguh-sungguh melanggar GBHN
(Garis Besar Haluan Negara) dan UUD 1945. Hal itu, dapat mencegah pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden atas kewenangan istimewa yang dimilikinya itu.

Beberapa kewenangan Presiden yang dirumuskan dalam UUD 1945 mencakup


kewenangan yang bersifat eksekutif, legislatif, yudisial, diplomatik, dan administratif. Pada
sub bab ini, penulis akan menganalisis mengenai kewenangan Presiden yang bersifat yudisial.
40
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 130
41
H. Mu’min Ma’ruf, Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen Uud 1945,Hlm,5
Kewenangan yang bersifat yudisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan
putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun
menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan 42. Kewenangan
Yudisial itu terdapat dalam Pasal 14 (1) yang berbunyi “Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung” dan Pasal 14 (2) yang
berbunyi “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat43. Dalam pandangan yang lazim berlaku, grasi, amnesti, abolisi,
dan rehabilitasi dipandang sebagai kekuasaan konstitusional (hak prerogatif) Presiden di
bidang yustisial44.

Pemberian grasi pada dasarnya dimaksudkan untuk meringankan atau menghapuskan


pidana seseorang setelah hakim menjatuhkan putusan yang bersifat final atau berkekuatan
hukum tetap. Grasi ini tidak menghapus sifat kesalahan seseorang yang terpidana itu, artinya
yang terpidana tetap bersalah karena telah melawan hukum tetapi kesalahannya itu diberi
pengampunan, keringanan, dan bisa juga dihapuskan. Permohonan grasi ini dapat diajukan
oleh setiap terpidana kepada Presiden dengan memperhatikan pertimbangan MA. Namun,
pengajuan grasi ini ada batasannya yang diatur dalam UU No. 22 tahun 2002 yaitu bahwa
permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh seseorang yang mendapatkan pidana mati,
seumur hidup, dan pidana paling rendah dua tahun. Kemudian, permohonan grasi hanya
dapat diajukan satu kali saja. Namun, ada pengecualian atas pengajuan satu kali tersebut.
Permohonan grasi dapat diajukan kembali (1) setelah lampau dua tahun sejak penolakan
permohonan grasi terdahulu; (2) bagi terpidana mati yang diberi grasi menjadi terpidana
seumur hidup, dapat mengajukan kembali permohonan grasi setelah dua tahun, apabila
jumlah permohonan grasi yang ditolak lebih banyak daripada yang dikabulkan dan jika
penolakan grasi sebelumnya dapat ditunjukkan ada kekeliruan atau kesalahan dalam
penolakan tersebut, serta untuk pengecualian angka 2, semestinya hanya dapat diajukan satu
kali yaitu dari seumur hidup ke pidana (penjara) sementara45.

Pemberian amnesti dapat dikatakan sebagai alasan pemaaf, artinya perbuatan seorang
pidana itu dianggap tidak pernah terjadi. Umumnya amnesti diberikan kepada sekelompok
orang yang melakukan tindakan pidana sebagai bagian dari kegiatan politik, seperti
pemberontakan atau perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang sah46. Untuk abolisi
42
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2004), hlm. 76
43
UUD 1945, Pasal 14 Ayat (1) dan (2)
44
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 161
45
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 159-161
46
Ibid
yaitu penghapusan proses hukum seseorang oleh Presiden atas pertimbangan tertentu yang
sedang berjalan atau yang akan berlangsung, namun abolisi juga tidak menghapus sifat
pidana seseorang. Berbeda dengan grasi, abolisi diberi sebelum dilakukannya sidang atau
sebelum hakim menjatuhkan putusan. Sedangkan rehabilitasi diberikan kepada seseorang
yang ditangkap, ditahan, dituntut, diadili tanpa alasan sebagai bentuk pemenuhan hak.
Artinya, rehabilitasi diberikan selama masa sidang dan setelah hakim menjatuhkan putusan.

Kewenangan selanjutnya yaitu kewenangan Presiden yang bersifat diplomatik dan


administratif. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan
negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri,
baik dalam keadaan perang maupun damai serta untuk menyatakan perang dan berdamai
dengan negara lain atas persetujuan parlemen 47. Kewenangan ini telah diatur dalam Pasal 11
UUD 1945. Presiden dalam mengadakan perjanjian dengan negara lain juga berdasarkan
persetujuan DPR apabila perjanjian tersebut mengenai unsur-unsur dan organisasi negara.
Selain itu, Presiden dapat juga mengadakan perjanjian dengan negara lain tanpa persetujuan
DPR. Praktik ini merupakan suatu bentuk kebiasaan ketatanegaraan 48. Perjanjian dengan luar
negeri atau perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR, berupa treaty dan
agreement. Treaty merupakan perjanjian yang penting dan formal serta memerlukan
pengesahan atau ratifikasi, contohnya seperti perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan,
perjanjian perubahan wilayah atau tapal batas, perjanjian kerja sama ekonomi dan tekhnik
atau perjanjian utang, tentang kewarganegaraan atau kehakiman, dsb. Agreement atau
persetujuan cakupannya lebih kecil daripada treaty. Suatu agreement dibatasi pada hal-hal
yang menyangkut fungsi penyelenggaraan administrasi negara. Walaupun cakupannya lebih
kecil daripada treaty, dan DPR hanya mengetahui telah diadakannya agreement ini, DPR juga
berhak meninjau kembali agreement tersebut apabila isinya telah melampaui batas-batas
wewenang Presiden. Dalam hal ini, Presiden diberi batas waktu untuk meninjau agreement
tersebut dan jika melebihi batas waktunya, agreement itu dianggap telah disetujui secara
diam-diam.

Kemudian, kewenangan menyatakan perang dengan negara lain atas persetujuan DPR
itu telah diatur dalam Pasal 11 (1) UUD 1945. Persetujuan DPR menyatakan perang akan
disertai pula dengan wewenang khusus untuk memungkinkan Presiden membuat keputusan
atau tindakan menyimpangi ketentuan – ketentuan yang berlaku, karena ada keadaan tidak

47
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2004), hlm. 76
48
Surat Presiden Nomor 2826/HK/60
normal (luar biasa)49. Presiden dapat menggunakan kewenangan ini saat perang itu terjadi dan
ketika perang itu berhenti atau dihentikan jika ada akibat perang. Selain menyatakan perang,
Presiden juga berwenang untuk menyatakan perdamaian dengan negara lain. Perjanjian
perdamaian dalam rangka mengakhiri secara de jure suatu peperangan atau permusuhan,
tidak hanya terbatas pada penghentian permusuhan, tetapi mencakup juga hal – hal lain
seperti soal tawanan, ganti rugi, akibat peperangan, dan lain sebagainya. Perjanjian
perdamaian wajib mendapatkan persetujuan DPR, tidak boleh hanya dilakukan eksekutif50.

Selanjutnya, kewenangan administratif yang dimiliki Presiden diatur dalam Pasal 13


UUD 1945. Kewenangan ini sudah menjadi hal yang tentu, karena Presiden sebagai pihak
dari kekuasaan eksekutif. Duta dan konsul yang diangkat oleh Presiden merupakan pihak –
pihak untuk melakukan perwakilan atau kebijaksanaan atas perihal politik di luar negeri yang
tidak bisa dihadiri sendiri oleh Presiden. Jadi, dapat dikatakan bahwa duta dan konsul sebagai
pembantu Presiden dalam urusan politik luar negeri. Maka dari itu, Presiden sendiri yang
berhak mengangkat duta dan konsul dengan memilih secara selektif karena tugas yang
diemban duta dan konsul menyangkut hal publik apalagi hal itu dilakukan di luar negeri.
DPR dalam hal ini, berperan sebagai pendukung dari keputusan Presiden mengenai duta dan
konsul yang Presiden pilih. Apabila dukungan dari DPR terhadap pengangkatan duta dan
penerimaan penempatan duta negara lain tidak ada, dan Presiden tetap dengan keputusannya.
Maka Presiden tidak dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden51.

Ini juga berlaku ketika Presiden menerima duta dan konsul dari negara asing.
Penerimaan duta dan konsul itu juga dilakukan apabila antara negara Indonesia dengan
negara lain telah memiliki hubungan diplomatik. Artinya, selain ada hubungan diplomatik
antara negara Indonesia dengan negara lain, keduanya dapat bersama-sama saling
mengirimkan duta dan konsulnya. Hal tersebut akan lebih mudah dipertimbangkan karena
dalam waktu yang sama antara negara Indonesia dengan negara asing juga sedang dalam
hubungan diplomatik. Sehingga adanya hubungan diplomatik tersebut, dapat mempengaruhi
besar kemungkinan diterimanya duta dan konsul dari negara asing tersebut.

D. KESIMPULAN
49
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm. 166-172
50
Ibid
51
Johansyah, J. (2018). Hak Prerogatif Presiden Menurut Uud 1945. Solusi, 16(2), 206.
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan diberi kedudukan yang
sangat tinggi oleh UUD 1945. Pemberian kedudukan tersebut tak lain karena sistem
pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial. Presiden pula dianggap sebagai
identitas dan simbol bangsa Indonesia. Dalam konstitusi UUD 1945 Presiden dan Wakil
Presiden mendominasi pasal yang mengatur lembaga tersebut. Dengan banyaknya pasal dan
peraturan dalam UUD 1945 ditujukan supaya wewenang dan fungsi yang dipegang oleh
Presiden jelas dan dapat menjamin untuk tetap berada dalam koridornya dan mencapai cita-
cita bangsa. Perkembangan situasi bangsa yang dinamis mengharuskan beberapa perubahan
maupun perkembangan konstitusi dalam konteks ini pergeseran wewenang, kedudukan, dan
tugas Presiden sebagai bentuk komitmen bahwa negara berupaya menciptakan sebuah sistem
pemerintahan yang ideal dan bertujuan untuk menuju cita-cita bangsa.

E. DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam


UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 76

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, ed. revisi. (Yogyakarta: FH UII Press, 2006),
hlm. 166-172

Hendra Wahanu Prabandani, Batas Konstitusional Kekuasaan Eksekutif Presiden,


Jakarta 2015, hlm 8.

H. Mu’min Ma’ruf, Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen Uud 1945,Hlm,5

Lawrence M. Sakibfer, encyclopedia of White Collar & Corpoorate Crime< Vol I,,
Sage Publications, Ca, 2005, hlm. 216

CF Strong, Modern Political Constitutions (London: Sidgwick, 1960).

Moh, Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta:


Universitas Islam Indonesia Press, 1993), hlm. 83.

Peter L. Straus, Formal and functional approaches to separation-of-powers questions


—a foolish inconsistency?, 72 Cornell L. Rev. 488, 1987, hlm. 1.
Imam Subkhan, GBHN Dan Perubahan Perencanaan Pembangunan Di Indonesia,
(22,12), 2014, hlm,132.

,Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1992 , hlm 18

JURNAL

UNJA : https://online-journal.unja.ac.id/jimih/article/view/2183

Penggolongan rakyat kedalam tiga golongan tersebut sebenarnya telah dimulai dari
tahun 1844 berdasarkan Pasal 109 Regeringsreglement 1854 dan diteruskan dalam Pasal 163
IS 1925. Lihat Eman Suparman, Asal Usul Serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen) (makalah tanpa tahun),
hlm. 3

Eko Noer Krisyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen


UUD 1945, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 Nomor 3, Desember 2013, hlm 341

Pendapat Andrew Ellis sebagaimana dikutip oleh Denny Indrayana, op cit, hlm. 278-
279

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat


UUD Tahun 1945 makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII
yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Pembangunan Hukum Nasional Departemen
Hukum dan HAM pada tanggal 14-18 Juli 2003, hlm. 8.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Dasar Amerika Serikat

TAP MPR No.II/MPR

Surat Presiden Nomor 2826/HK/60

Maklumat Pemerintah 14 November 1945.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat

You might also like