You are on page 1of 70

Daring bikin Darting

Napasku terembus makin berat. “Ayo dijawab


dong, Bang Agung... itu waktunya jalan terus,”
ucapku masih berusaha bersabar duduk di
sebelah Agung.

“Abang bisa baca soalnya, kan...” keluhku lagi,


melihat anakku yang masih terdiam di depan
layar komputer.

“Bisa, Ma...” balasnya yang ikut terdengar kesal.

Bumi—anakku nomor tiga, sudah kabur dari


ruang kelas setelah selesai menggambar. Ruang
kerja Mas Abram kami ubah jadi ruang kelas
Agung dan Bumi. Bumi sendiri masih TK, jadi
tugas-tugasnya masih hal-hal yang
menyenangkan. Sementara Agung, anakku yang
kelas satu SD ini... Ah, memang tugasnya nggak
sulit, tapi tetap aja, aku harus tahan-tahan diri
biar bukan aku yang mengisi semua jawaban.

Anak-anak harus menjawab soal-soalnya


sendiri, sementara aku dan Mas Abram hanya
bertugas mengarahkan.
Aku bertanggung jawab mengajari Agung dan
Bumi, sementara Mas Abram bertanggung
jawab mengawasi Aca yang sudah menduduki
kelas dua SMP. Aku sering ngeluh sebab
ngurusin daring dua anak superaktif itu lebih
menguras tenaga pastinya daripada mengawasi
Aca. Mas Abram pasti rela-rela saja bertukar
peran. Masalahnya, aku nggak begitu ngerti
dengan pelajaran anak SMP yang sekarang kok
kayaknya makin susah ya? Duh ya, ngawasin
Aca bukan nguras tenaga tapi nguras otak.

Jadi aku kembali ke nasibku, dengan dua bocah


gundul—Mas Abram sengaja pangkas mereka
botak katanya biar nggak sering-sering ke
tukang pangkas di masa pandemi gini, aku?
Begitu pulang-pulang anakku sudah plontos, ya
tentu saja ngamuk! Tapi bapaknya anak-anak ya
tetap santai aja mau aku ngomel jungkir balik
juga nggak ngaruh sama dia tuh! Dia juga botak
sih, meski nggak licin.

Napasku kembali terhela. “Coba baca lagi,


Bang.”
Wajah Agung ikut tertekuk. Dan membaca
begitu pelan. “Ibu pergi belanja ke... A. Rumah
Sakit. B. Pasar. C. Sekolah. D. Semua benar.”

“Ya terus... jawabannya...” desisku saat tangan


Agung tak kunjung menggerakkan mouse.

“Harusnya ada pilihan semuanya salah, Ma.”

“Hah??” gerutuku lagi nggak habis pikir.

“Ya kan, nggak ada pilihan tokped, Shopi?”

Astaga... aku langsung menepuk jidatku. “Ya


karena bukan itu jawabannya... kalau itu
jawabannya udah pasti ada di pilihan. Jadi...”
Aku mengembuskan napasku. “Tugas Abang
hanya pilih yang ada di pilihan.”

“Tapi kan Mama belanja di tokped?”

Aku langsung istigfar. “Iya... tapi bukan itu


jawabannya.”

“Mal juga nggak ada, Ma... biasa kan kita


belanja di mal.”

Ampuuun! Kalau anak-anakku udah mode kritis


banget begini pasti turunan gen Bapaknya!
“Mungkin Ibu Guru salah kasih pilihan?”

“Enggak mungkin!” jawabku dengan suara naik


satu oktaf.

“Coba Mama tanya Papa.”

“Ngapain tanya Papa??” Kok jadi aku yang


disuruh-suruh tanya Mas Abram??

“Kan, biasa kalau ada yang susah Mama tanya


Papa.”

“Ini soal mudah, nggak susah, Agung... nggak


ada yang susah soal anak kelas satu SD bagi
Mama. Yang biasa Mama tanya itu soal Kak
Aca.”

Agung masih merengut, sedikit tak terima


dengan penjabaranku.

“Ayo dijawab dong, Bang...” ucapku lagi,


berusaha membujuk.

“Kalau salah, Mama tanggung jawab ya?”

Aku langsung mendelik. “Kok Mama??”

“Kan, Mama nggak mau tanya Papa.”


Bola mataku kontan berputar. “Nggak mesti
tanya Papa, Abang Agung... itu jawabannya
udah jelas,” tekanku, nyaris saja
memberitahukan jawabannya.

“Kan, Abang ragu Ma...”

“Udah deh, jawab aja,” seruku lost control.

Mau tak mau Agung menggerakkan kursor.


Gerakannya halus banget, bikin emaknya ini
deg-degan setengah mampus. Dan... fiuhh...
untung saja dia memilih jawaban yang benar.

“Ayo baca lagi soal selanjutnya, dijawab


langsung ya, jangan buat Mama darting.”

“Darting itu apa Ma?”

“Darah tinggi.”

“Darah Mama tinggi??” tanya Agung dengan


mata membola histeris.

Bola mataku sontak memutar, dia pasti sedang


membayangkan darahku memuncrat tinggi-
tinggi seperti air mancur. Kapan sih ada hari
dimana daring ini nggak menimbulkan drama!
“Udah ini dijawab dulu.”

“Darah Mama setinggi apa?”

“Agung!” Tuh kan, bentakanku keluar.

Aku sedikit celingukan, sepertinya tidak ada


tanda-tanda pintu terbuka—kalau ada Mas
Abram aku pasti sudah kena tegur. Agung
langsung ciut, dan mulai membaca soal
selanjutnya.

Setelah berjibaku adu urat, dua puluh soal


berhasil di jawab juga. Rasanya urat di leherku
pada tegang ketika keluar dari ruang belajar.

Tapi, kok sepi amat ya? Biasanya ruangan udah


recok dengan suara Ayu dan Bumi.

“Mas—“ panggilanku langsung tertahan begitu


melihat pintu kamar kami yang terbuka lebar.

Tanpa menunggu Mas Abram muncul aku


segera berlari ke kamar. Kamar sudah kayak
kapal pecah, dengan Bumi mencampakkan
bantal. Sementara putri kecilku yang masih
berusia tiga tahun tampak santai duduk di
kasur, aku langsung mendekat dengan
cepat. Membuka satu bantal dan... tada... ada
hasil karya Ayu di sana, menulis di seprai
dengan... pensil cat-nya Bumi.

“Ya ampun...!”

Aku udah mau meledak aja, tapi mengingat Mas


Abram pasti marah kalau aku meledak di depan
Ayu yang masih nggak tahu apa-apa itu—kontan
membuat wajahku semakin memerah karena
menahan emosi. Ya, karena aku nggak bolehin
marah anak-anak, udah pasti kulampiaskan ke
Bapaknya lah!

“Bumi, udah Mama bilang bolak-balik, pensil cat


digunainnya di ruang belajar aja... nggak boleh
di luar. Berapa kali Mama harus ngomong
sih??”

“Adek minta Ma... Bumi nggak kasih, nangis.


Papa yang kasih.”

“Hah??” Ini seperti ada cerobong asap yang


menyembul di atas kepalaku.

“Kenapa?” suara itu sangat kukenali, segera


kubalikkan badan.
“Kenapa. Kenapa??” sindirku. “Nggak kunci
pintu kamar. Kasih cat ke Ayu. Gini Mas bilang
aku harus sabaaar... Sabaaar... makanya jangan
kasih pemantik kalau nggak mau kebakar. Dan
nggak mau aku meledak-ledak!”

Mas Abram tetap berdiam di tempat.

“Stres deh!” gerutuku lagi. “Mas urus tuh.


Jangan ganggu aku. Aku mau masak!”

Setelah ngomel panjang lebar, dan hanya


ditanggapi diam saja oleh Mas Abram, aku
makin senewen. Mengentakkan kaki, aku
langsung ke dapur.

Entah apa yang mau kumasak. Entah rasanya


enak atau enggak. Entah!

Tapi kemudian aku tetap mengeluarkan bahan-


bahan dari dalam kulkas. Ada udang dan cumi.
Aku ambil udang saja, mau kugoreng tepung
untuk anak-anak, dan kutumis dengan sayuran
sisanya.

Sudah seminggu lebih kami nggak ada ART.


Mbak Susi sedang pulang kampung karena
Ibunya meninggal, dan PPKM membatasi Mbak
Susi pulang karena belum divaksin. Dan Mas
Abram juga bilang, sebaiknya Mbak Susi jangan
balik sebelum PPKM usai, sebaiknya sama-sama
saling menjaga, begitu katanya. Tapi ya, jadinya
tugasku bertambah, untung Aca sudah bisa
bantu-bantu sekarang.

Dan, mau rumah kami berantakan kayak kapal


pecah, bodo amat. Kalau sanggup aku bersih-
bersih, kalau nggak, ya kutinggal tidur.

Aku baru selesai membersihkan udang saat Mas


Abram datang menggendong Ayu. Alisku sudah
naik saja, mengantisipasi apa yang akan
dilakukannya biar aku nggak marah lagi, tapi
kayaknya aku beneran kepedean, suamiku itu
kan nggak peka mana ada istilah bujuk rayu.

Dan Anak Bapak itu malah asyik membuka


kulkas, mengambil sesuatu yang diinginkan
Ayu—udah pasti eskrim tuh. Satu kali ya. Kalau
nanti malam minta eskrim lagi udah pasti bakal
kusemprot dua-duanya.

Lalu... yeah... Mas Abram balik gitu aja.


Berusaha curi pandang pun tidak!! Ih... manusia
lempeng satu ini! Aku meletakkan wadah berisi
udang dengan kesal.

Setengah jam berjibaku, akhirnya makan siang


ala kadarnya tersaji juga di meja makan. Kalau
ada yang protes soal rasa, awas aja.

Aku menoleh kepada Aca yang datang


membawa plastik dari toko kue terkenal yang
kukenali. Siapa yang beli kue?

“Mama pesan kue?” Aca justru bertanya


padaku.

Kontan saja aku menggeleng. “Enggak.”

“Jadi siapa—ah, pasti Papa. Mau ngebujuk


Mama kayaknya nih,” sahut Aca dengan wajah
usil. Aca semakin remaja sepertinya semakin
menebak tingkah polah kami, terutama aku sih,
yang suka merajuk terus dipancing dikit
langsung deh luluh.

Aku semakin cemberut, meski ujungnya


penasaran dan melepas pisau dari tanganku.
Beneran nih, langsung ada aksi dari Mas
Abram? Aku menahan senyum sekuat tenaga.
Dan begitu kubuka kotak kuenya. Kuenya sih
cantik banget, dan pasti sesuai seleraku. Tapi...

“Ish! Papamu mulai pikun!” sentakku langsung.

“Kenapa, Ma?” tanya Aca heran dan ikut


melongokkan kepala ke dalam isi kotak kue
yang bertuliskan.

Happy birthday, My Lovely Wife.

Melihat tulisan ‘lovely’ itu sebenarnya aku ingin


tertawa, tapi berhubung aku sedang sangat
jengkel, yang ada malah makin jengkel.

Aku melirik Aca semakin sebal. “Jangan bilang


Kakak juga lupa?”

Aca tertawa begitu tahu maksud ucapanku,


lama-lama tawanya berderai semakin kencang.

Sejak pandemi kami memang nggak pernah


rayakan ultah macem-macem, tiap ada yang
ulang tahun, paling cuma beli bolu, makan
bareng, kasih hadiah kalau buat anak-anak. Tapi
ya nggak salah tanggal juga kali, Mas! Ini masih
tanggal 17 sementara ulang tahunku tanggal 19!
Tawa Aca mengundang perhatian seluruh
penghuni rumah. Agung yang lebih dulu terlihat
berlari disusul Bumi, sedang Mas Abram yang
menggendong Ayu menyusul sambil berjalan
tenang.

“Mama ulang tahun?” tanya Agung penuh


histeria.

“Tanya aja ke Papa,” jawabku sewot.

Mas Abram menatapku dan Aca bergantian, aku


tahu sinar matanya penuh tanya, meski nggak
terlalu kentara.

“Papa salah tanggal!” seru Aca dengan tawa


masih berderai-derai.

Alis Mas Abram sedikit terangkat. “Masa?”

“Masa,” ulangku mencibir tanpa suara.

“Ma, Abang mau kue ulang tahunnya?” minta


Agung.

“Yey! Ulang tahun!” Seru Bumi yang malah


bernyanyi. “Happy birthday to you! Happy
birthday to you!”
“Mas! Urus ini anak-anak kamu...” ucapku yang
benar-benar meledak.

Namun, dengan santainya, Mas Abram


menurunkan Ayu, mengambil kotak kue. “Ayo,
kita makan kue.”

Dan para kurcaci itu senantiasa mengikuti


langkah BAPAKNYA!

***

Aku menuju lantai atas rumah kami, tangganya


berada di luar, selesai makan siang, setelah
kubilang ke Mas Abram aku butuh me time.
Masuk ke ruang kerja Mas Abram, mengambil
asal salah satu deretan novelku lalu mulai
membacanya di sofa malas-malasan.

Yap, ini adalah bangunan renovasi, karena lantai


bawah nggak cukup lagi untuk menampung
ruang kerja Mas Abram. Lagipula, Mas Abram
juga butuh privasi saat sedang bekerja, anak
empat pasti membuatnya terganggu jika tetap
memiliki ruang kerja di bawah.
Dan di atas sini, ada satu kamar lagi, yang biasa
kami gunakan untuk—ehem.. sial, aku jadi
mikirin yang iya-iya.

Di ruang kerja Mas Abram novelku, berjejeran


dengan bukunya. Ini tempat We Time kami, dan
anak-anak dilarang untuk naik.

Meski Mama mertuaku menyarankan kami


membeli atau membangun rumah yang lebih
besar, tapi aku dan Mas Abram sepakat tetap
tinggal di sini. Gimana ya? Rumah ini seperti
sudah melekat pada kami. Sebelum dengan Mas
Abram aku adalah orang yang sangat peduli
bagaimana orang lain melihatku. Mobil apa
yang kupakai, rumah sebesar apa yang kuhuni.
Tapi rasa-rasanya itu nggak penting lagi
sekarang, aku benar-benar nggak berpikir ke
arah situ lagi, meski Mas Abram nggak pernah
melarangku membeli barang branded.

Apalagi di masa begini, yang penting keluargaku


sehat walafiat sudah merupakan kebahagiaan
terbesar.
Ugh... melamun membuatku nggak bisa
membaca sepatah kalimat pun. Dan malah jadi
kangen mereka.

Satu jam lebih berselang, suasana tetap sepi. Ini


beneran nggak ada yang mau ngebujukin aku?
Dengan wajah cemberut, tidur siang pun nggak
bisa, akhirnya aku turun. Menapaki pelan-pelan
anak tangga. Makan kue yang dibeli tadi
kayaknya enak. Seingatku masih ada tersisa,
disimpan di kulkas.

Aku menuju kamar dengan langkah hati-hati,


kuintip anak-anak pada tidur, Ayu berada
dipangkuan Bapaknya yang masih terjaga
mengecek sesuatu di tabletnya. Kalau sedang
serius begitu kharisma Mas Abram langsung
memancar berkali-kali lipat.

Aku langsung menjauh menuju kulkas, kali ini


aku nggak boleh dikalahkan dengan
kebucinanku!

“La.”

Astaga! Aku menoleh dengan tampang sekaget-


kagetnya. Bertahun-tahun bersama aku tetap
nggak imun dari pergerakan Mas Abram yang
kayak hantu. Timbangan kami padahal beda
jauh, tapi kenapa sih dia nggak pernah
kedengaran langkah kakinya.

Ya, ya... suamiku ini nggak grasak-grusuk seperti


diriku sih.

“Ngapain?” tanyanya.

Aku melengos. “Nyari yang bisa dimakan,”


kataku masih cemberut.

Aku tahu Mas Abram mendekat, dan dia malah


mengikutiku membungkuk di depan kulkas. Aku
langsung melirik curiga. “Mas mau ngapain??”

“Mau ngejus,” sahutnya singkat.

Oh... santai sekali ya Anda! Nggak lihat nih bini


minta dibujuk??

“Semangka untuk turunkan tensi,” gumamnya


lagi, mengambil semangka dari dalam kulkas.

Aku kontan ikut berdiri, gagal menampilkan


ekspresi merajuk, karena kini aku jadi was-was,
tekanan darahnya naik lagi?
“Mas pusing?” tanyaku khawatir.

Dia menaikkan alisnya. “Enggak.”

“Jadi kenapa mau ngejus? Tekanan darah Mas


naik lagi??”

“Kamu.”

“Hah?”

“Kamu bilang, pusing. Stres. Jangan-jangan


tekanan darah naik.” Mas Abram mengambil
pisau dan memotong bulatan besar itu. “Ini
untuk kamu.”

Ih... aku sedikit kesal sih, dengan tuduhannya.


Meski tetap mendekatinya. Sialnya, aku tahu
dengan sangat pasti dia juga selalu peduli
denganku.

Uluuuuh... kali ini sengaja bikin aku leleh ya?

Dia bergerak mengambil blender.

“Ngerayu?” tanyaku mengikuti gaya Mas Abram


yang singkat-singkat.

“Ingin sekali dirayu,” balas Mas Abram.


Aku mencebik meski menyisakan senyum,
sedikit banyak sekarang dia sudah lebih paham
tingkahku.

“Siapa coba yang nggak stres di rumah terus


begini? Ngerjain semua sendiri. Nggak ada
ART,” keluhku lagi dan lagi. “Kapan sih, pandemi
ini berakhir?”

Mas Abram diam saja. Biasanya dia sudah


membalasku dengan kalimat motivasi, dan
betapa pentingnya kebersamaan saat ini, di saat
orang lain mungkin kehilangan sanak saudara
yang disayangi, bla bla... dan sebagainya. Aku
terkadang hanya ingin memancingnya
mengeluarkan nasihat, dengan begitu dia jadi
banyak bicara, meski gaya bicara kayak orang
monolog. Tapi lucu aja gitu, apalagi kalau aku
udah mode iya-iyain aja, dia suka sebal bukan
dengan ekspresi sih, tapi lebih ke alihkan topik,
atau pergi sekalian. Haha...

“Tumben nggak ngasih nasihat?” imbuhku.

“Ya masa mau diulang-ulang terus.”


Aku merengut, memeluk suamiku dari belakang.
Dan setelah hampir sembilan tahun menikah,
aku tetap nggak bisa tahan marah lama-lama
dari Mas Abram. Dia melirik sembari membelah
buah.

“Aku pengen banget, liburan ke manaa.... gitu,


Mas.”

“Ke mana?”

“Ya, ke mana ajaa...”

“Nanti cari tayangan jalan-jalan.”

Ekspresiku ikutan datar. “Kenapa nggak sekalian


aja nontonin kehidupan singa. Seperti yang
sering Mas tontonin bareng anak-anak.”

“Ide bagus.”

Aku langsung mencubit pinggangnya, Mas


Abram hanya menyengir singkat.

Keningku berkerut saat Mas Abram terus


memotong buah. “Kok dipotongin banyak
banget, Mas...”

“Untuk anak-anak juga.”


Mataku kontan menyipit. “Tadi katanya, bikinin
untuk aku??”

“Kamu ini, sama anak-anak sendiri cemburu.”

“Nothing special, gituloh Mas... Harusnya


khusus untuk aku.”

“Yang spesial nanti malam.”

Wajahku langsung merona. “Mesum ih!”

“Bukan mesum,” katanya.

“Jadiii...?”

“Kenyataan.”

Bibirku mengerucut, meski wajahku semakin


memanas.

“Sekarang udah ingat belum, hari ulang


tahunku?” ledekku.

“Hm,” balasnya.

“Yakin nggak akan lupa lagi??”

“Mudah-mudahan.”
Aku tertawa. Kemudian, menengadahkan
tanganku. “Mana hadiahnya?”

“Kan, tadi, sudah.”

“Ih... bedalah, itu cuma kue, hadiahnya nggak


adaa...”

“Biasanya juga, kamu pakai m-bankingku.”

Aku kembali tertawa mendusel kepalaku ke


punggung Mas Abram. “Nggak. Kali ini aku mau
yang spesial. Aku mau Mas yang kasih hadiah.”

“Kamu mau apa?” balasnya.

Mataku menyipit. “Kreatif sedikit dong... jangan


maunya aku apa langsung dibeli gitu... agak-
agak mikir. Kira-kira istri Mas ini maunya apa.”

“Tahu. Tapi nggak bisa,” katanya.

Dahiku langsung berkerut. “Apa?” tanyaku


penasaran.

“Liburan. Kan kamu bilang tadi.”

Astaga... iya juga sih, mataku langsung berotasi.


“Ayo mikir lagi dong...”
“Aku nggak ada ide.”

Wajahku kembali senewen.

“Ah,” cetusnya.

“Apa?” sambarku langsung.

“Daster.”

Aku kembali memukul punggung Mas Abram.


“Itu maunya Mas! Biar gampang masuknya
kan??”

Tapi sayangnya aku bukan pecinta daster, aku


lebih suka pakai piama tidur kalau malam, dan
kaus kalau siang hari—terutama kaus Mas
Abram, hihi.

Mas Abram masih mengerling.

“Mas punya waktu 24 jam untuk


memikirkannya.”

“Selesaikan sekarang saja.”

“Maksudnya?”

“Ya terus terang saja. Kamu maunya apa?”


Ih... kan! Aku paling luluh nih, kalau sudah
dibujuk-bujuk paksa begini.

“Yakin, turutin maunya aku??”

“Kapan aku pernah nggak yakin?” tantangnya.

Oh, okeeeh. Aku melepaskan dekapanku dan


bergegas mencari ponsel Mas Abram, setelah
dapat aku kembali.

Di sebelahnya aku mengarahkan layar ponsel


yang sudah kuhapal mati passwordnya itu, lalu
membuka aplikasi belanja online. Aku istri yang
selalu jujur sama suami kalau soal belanjaan
lho... Ya jujurlah, soalnya belanjanya pakai hape
Mas Abram terus, hihi.

“Nih!” seruku begitu mendapat toko yang


kutuju. Toko penjual logam mulia.

Mas Abram hanya mengangguk santai. “Ya


sudah. Checkout.”

“Yakiiiin?” godaku lagi. Yang kulakukan adalah


memasukkan emas seberat 10gram ke
keranjang.
Lalu... melipatgandakan menjadi 10.

“Kalau segini?” Alisku terangkat tinggi-tinggi,


menikmati ekspresi Mas Abram yang sedikit
serius.

“Itu maruk namanya.”

Tawaku kontan pecah. “Harusnya Mas bangga


dong, istrinya pintar investasi.”

“Pintar juga bikin bangkrut suami.”

Aku semakin tergelak. “Jadi gimana, kalau Mas


tanya maunya aku. Ya aku maunya inii...”

Bola matanya mengarah ke atas, dengan


ekspresi malas dia menyahut. “Terserah kamu.”

“Ikhlas nggak nih?”

“Bilang nggak ikhlas kamu tambah drama.”

Aku semakin terpingkal di pundak suamiku.

“Makasih ya, Papanya, Aca, Agung, Bumi,


Ayu...” seruku panjang, seraya berjinjit
mengecup pipinya.
“Tambah satu kayaknya pas, Ma.”

Kalau dia udah panggil aku dengan sebutan


‘Mama’ aku agak-agak ngeri, dan langsung
saja...

“Ih... enggak-enggak! Aku nggak mau nambah


anak lagi!”

“Biar pas lima,” imbuhnya.

Aku langsung mundur satu langkah. “Enggak...


pandemi udah bikin pusing. Nambah anak bisa
tambah pusiiiing.”

Tapi sialnya, Mas Abram justru menangkap


pinggangku. Sorotan matanya penuh tipu daya.

“Ekspresi kamu jangan gitu ah, Mas... aku


berasa sugar baby.”

Mata Mas Abram langsung menyipitkan


teguran.

Aku tertawa. Hanya sesaat dia kembali


tersenyum, melepas pisaunya, dan memajukan
wajahnya untuk mengecupi pipiku.

Aku mengelak geli.


Senyumnya makin lebar. Sialan Bapak satu ini!
Sewaktu Mas Abram kembali memajukan
wajahnya, dengan tatapan penuh kasih, aku
nggak bisa menolak ciumannya. Biar lempeng
begini, he still a good kisser.

Ciuman kami terurai sebab ponsel Mas Abram


berdering. Kami sama-sama melihat nama yang
tertera. ‘Mama’

Mas Abram langsung mengangkatnya. Meski


aku mendekatkan telingaku, aku tetap tak
mendengar apa yang diucapkan dari seberang,
kecuali ucapan Mas Abram. “Innalillahi
wa’innailaihi roji’un.”

Siapa lagi yang meninggal?? Batinku gusar.

Mas Abram hanya diam mendengarkan,


sebelum panggilan berakhir.

“Siapa yang ninggal Mas??”

“Bulek. Adik Mama yang kemarin sempat keluar


dari ICU itu.”

“Bukannya kemarin itu kabarnya udah sehat?”


“Ya itu. Ajal nggak ada yang tahu.”

Aku memang dengar adik Mama Mas Abram


yang paling kecil sempat positif covid dan
dirawat di RS. Tapi yang terakhir udah negatif
dan dibawa pulang. Batinku kembali teremas-
remas, di saat seperti ini aku selalu kembali ke
nasihat-nasihat Mas Abram yang sepenuhnya
benar. Lebih baik ngomel-ngomel yang penting
anak-anak dan suamiku sehat walafiat.

“Jadi Mas mau ngelayat?”

“Nggak bisa. Ada anaknya yang satu rumah


sedang isoman.”

Aku mengembuskan napas berat.

Ponsel Mas Abram kembali berdering. Kali ini


dia menjauh, “Terusin, La,” gumamnya.

Aku mengangguki ucapan Mas Abram.


Memotong-motong buah dengan nggak fokus
langsung ke dalam blender.

Namun, beberapa detik kemudian aku tersadar.


Kok jadi tetap aku yang bikinin jus??
[***]

Apa Itu NCT?

“Sepertinya Aca punya pacar.”

Reaksi pertama kali saat aku mendengar


pernyataan itu adalah melotot.

“Mas tahu dari mana??” tanyaku dengan suara


meninggi, dan langsung menutup mulutku
melihat ke arah tiga anakku yang terlelap.

Aca memang sudah tidur sendiri sejak mulai


menstruasi, aku yang mencanangkan itu,
bagaimana pun dia sudah remaja, dan hal
serupa akan berlaku untuk Agung dan adik-
adiknya.

Duh, kok aku deg-degan ya. Apa begini juga


dulu perasaan Ibu tahu aku pacaran sembunyi-
sembunyi? Padahal dulu aku nakal banget, suka
ngumpet-ngumpet kalau mau ketemuan cowok.
Apa aku bakal kualat kali ini ya?

“Aku sering mendapatinya senyum-senyum.


Lihat ponsel.”
“Lagi liat acara lucu kaliik...”

“Kalau lucu tertawa. Bukan senyum.”

Ish... iya juga sih.

“Senyumnya berbeda,” imbuh Mas Abram.

Aku langsung menegapkan tubuhku, menyoroti


Mas Abram serius. “Mas ih, jangan nakut-
nakutin dong...”

“Nakut-nakutin bagaimana?” tanyanya bingung.

“Ya terus itu gimana...?”

“Besok kita tanya.”

“Kalau seandainya Aca benar punya pacar, Mas


mau larang dia?”

“Ya iya. Aca masih kecil.”

Aku mengernyit. Jangan bilang Mas Abram


anggap Aca masih anak TK seperti dulu, dan
masih unyu-unyu, sekarang udah amit-amit
nyebelinnya kalau sedang ngambek.
“Tapi Aca udah remaja loh, Mas. Udah pubertas.
Kalau Aca tetap sembunyi-sembunyi di belakang
kita gimana.”

Wajah Mas Abram langsung tampak berpikir


keras. “Dia pasti mengerti keinginan kita. Aca
anak baik.”

Ugh... ucapannya membuatku melted di dalam.


Terkadang, aku nggak sadar jika Aca hanya anak
sambung Mas Abram, dan kembali disadarkan
hanya saat Oma dan Opa kandung Aca
menghubungiku untuk berbicara dengan Aca.

“Mas nggak takut Aca memberontak?”

Mas Abram nggak menjawab, tapi wajahnya


jelas jadi terbebani.

“Soalnya... dulu aku kelas 1 SMP udah pacaran,”


akuku sambil meringis.

Bola mata Mas Abram sedikit melebar. “Ayah


izinkan?”

“Ya nggak dong... aku sembunyi-sembunyi—“


ucapanku tak selesai sebab Mas Abram sudah
menepuk keningku. Kali ini agak keras. “KDRT ini
loh, Mas...”

Namun, seakan nggak peduli mata Mas Abram


masih menyipit ke arahku.

Aku cemberut, untuk sekilas alisku terangkat.


“Ya habisnya gimana dong... Aku kan cantik. Jadi
banyak cowok-cowok yang nembak. Kasian gitu
Mas kalau nggak diterima. Jadinya, ya...”

Mas Abram bergerak, membaringkan tubuhnya


lalu memunggungiku.

“Cemburu ya??” bisikku di telinganya.

“Enggak.”

“Jadi kok balik badan??” godaku.

“Malas. Dengar ocehanmu.”

Aku terkekeh pelan, memeluk tubuh Mas


Abram dari belakang. “Bilang cemburu gitu kek.
Biar aku senang.”

“Pantas kamu takut.”

“Hm?”
“Kamu jauh lebih parah dari Aca.”

Aku mengeluskan sisi wajahku ke punggung


Mas Abram. “Ya untungnya sekarang ada Mas,
yang bisa ngarahin Aca, ngarahin aku.
Membawaku ke jalan kebenaran. Duh... betapa
beruntungnya aku memilikimu, Mas,” tutupku
dengan senyum geli, pasti saat ini wajah Mas
Abram sangat datar, dia paling sebal tuh jika
aku mulai lebay. Terus kalau aku ngedumel soal
anak-anak yang lebay, dia langsung nyeletuk,
“Kan seperti kamu.”

Mas Abram memutar tubuhnya, dan benar saja


wajahnya sekaku kanebo. Tapi aku tetap
memeluknya dengan girang. Meski menggerutu
Mas Abram tetap merangkul bahuku.

***

Keesokan harinya setelah adik-adik Aca tidur,


kami memanggil Aca. Aca duduk di sofa ruang
tengah dengan wajah tegang.

“Kenapa, Ma?” tanyanya takut-takut.

Kami selalu mencurahkan kasih sayang yang


sama kepada semua anak kami. Tapi meski
nggak diungkapkan, sedikit banyak aku bisa
membaca sikap Aca, begitu dia lebih dewasa,
dia sadar betul dia bukan anak kandung Mas
Abram. Namun, hal itu tidak membuatnya
menjauh, dia justru jadi takut jika
mengecewakan Papanya. Nilainya selalu bagus,
hal itu membuatku sangat bangga. Aku saja dulu
nggak begitu pintar.

“Mama sama Papa cuma mau bicara sama


Kakak.”

Aca mulai menggigiti bibir bawahnya.

“Cita-cita Kakak mau jadi apa?” tanyaku


membuka.

Air muka Aca langsung tersentak bingung.


Lama-lama dia sedikit relaks. “Hm. Dulu kan Aca
bilang sama Papa mau jadi dokter.”

Mas Abram mengangguki.

“Tapi kayaknya sekarang Kakak mau jadi


arsitek.”

“Kenapa?” tanyaku heran.


“Ya... um. Kakak liat video-video Youtube
bangun-bangun rumah ituloh, Ma... kayaknya
keren. Boleh kan, Aca jadi arsitek?”

Aku sedikit menoleh saat Mas Abram


mendekatkan wajahnya dan berbisik.
“Sepertinya itu akan jadi jurusan yang berbeda.
Bukan arsitek.”

Aku langsung mengibaskan tanganku. “Ya itu


tugas Mas jelasin pelan-pelan. Jangan sampai
Aca salah kaprah.”

“Memangnya kenapa sih, Ma?” tanya Aca


bingung.

“Apa pun cita-cita Kakak, asal itu baik, pasti


Mama Papa dukung. Tapi syaratnya satu. Kakak
nggak boleh pacar-pacaran sampai tamat
sekolah.”

Dahi Aca langsung berkerut. “Iya.”

Semakin remaja wajah Aca semakin cantik,


perpaduan wajah Ayahnya dan wajahku. Dan ini
juga yang membuatku ketar-ketir seandainya
Aca benar punya pacar. Kalau boleh egois aku
ingin Aca berpendidikan tinggi dan
menuntaskan cita-citanya, bukan sepertiku yang
hanya main-main saat sekolah.

Aku menyenggol kaki Mas Abram, kami nggak


mendapat jawaban pasti seperti yang kami
harapkan.

Dan akhirnya aku menembak langsung. “Yakin,


Kakak nggak punya pacar?”

“Ih... enggak,” sahut Aca memekik.

Kali ini aku langsung memukul paha Mas Abram.


Tuh kan! Siapa suruh sembarangan nuduh.

Aku berdeham. “Kemarin Papa cerita ke Mama.


Katanya sering lihat Kakak senyum-senyum
sendiri kalau sedang jam main hape. Kenapa?
Apa yang Kakak senyumin??”

Wajah Aca seketika gelisah. Aku menoleh ke


Mas Abram, dan sorot mata kami saling beradu,
sial, aku tambah gelisah.

“Kenapa, Kak??” tanyaku tak sabaran, tapi Mas


Abram justru menggenggam tanganku,
menyadarkanku untuk tetap tenang.
“Itu... Kakak... suka... sama...”

Duh, cepetan ngomongnya kenapa sih, Kak??


Mama khawatir ini!

“Boyband korea. Masa ngefans boyband juga


nggak boleh sih Ma??” rengek Aca.

Bahuku kontan merosot. Astagaa... Kami sudah


kalang kabut, takut setengah mati, ternyata...

“Siapa?” tanya Mas Abram sepatah.

Aku menoleh.

“Namanya,” lanjutnya lagi.

“NCT dream,” sahut Aca.

“Apa itu NCT?” tanya Mas Abram seheran-


herannya.

Aca langsung berlari mengambil ponselnya, dan


menunjukkannya di sebelah Mas Abram. “Nih!
Lagunya Aca suka. Keren. Ganteng-ganteng—
Ups.”
“Boyband apa sih ini? Kok Mama nggak pernah
tahu?” gini-gini kan aku suka kepoin IG artis.
Nonton drakor.

“Ih... Mama nggak gaul...”

Aku langsung menatap protes. “Dibanding kamu


yang sekolah di rumah aja, dulu Mama jauuuh
lebih populer ya. Siapa tuh yang nggak kenal
Yolanda Paramitha—“ ucapanku langsung
terhenti sebab Mas Abram menyenggol
dengkulku.

“Fokus sama Aca,” tegurnya.

Mataku menyipit. Aca lalu menunjukkan siapa


favoritnya di boyband tersebut.

“Apa bedanya dengan yang ini?” tanya Mas


Abram menunjukkan yang lain lagi. “Mereka
kembar?”

“Ih, Papa...” rajuk Aca. “Beda dong, Pa. Beda...”


sahut Aca memekik lalu gelendotan di sebelah
Papanya, sambil menjelaskan semua hal
kegemarannya—yang tentu saja kami nggak
ngerti!
***

“Ma, Papa nggak marah kan? Papa nggak ada


ngomong apa-apa kan??” tanya Aca saat aku
masuk ke kamarnya, karena tadi dia memanggil-
manggilku ketika aku berada di dapur. Aca
langsung menarik tanganku hingga kami berdua
duduk di pinggir ranjang.

“Memangnya kapan Papa, marah?” balasku.

Aca mendesah lega.

Namun, mataku tetap menyipit. “Kalau sama


Papa aja ya, Kakak takut. Sama Mama kenapa
nggak ada takutnya?” omelku. Ya jelaslah...
padahal kan aku yang sering ngomel, Mas
Abram juga palingan kasih nasihat sesekali, itu
pun kalau kuminta.

Aca justru menyengir. Mengulum senyum


penuh tipu daya sambil menggandeng
lenganku.

“Tapi dulu kata Nenek, Mama justru tempelin


kamar pakai stiker apa itu boyband zaman dulu.
Ah! Westlife, Meteor Garden!”
Mampus! Dulu aku udah pasti lebih badung dari
Aca.

“Ma... Aku boleh juga ya, tempel poster. Terus


aku mau beli album. Pake uang tabunganku
sendiri kok... Ya Ma??”

“Nanti—Mama tanya ke Papa. Tapi kalau Papa


nggak kasih, artinya nggak boleh ya...”

Aca semakin mendusel di lenganku. “Masa sih


Papa nggak ngasih kalo Mama yang bilang?”
tawar Aca sambil mengedip-ngedipkan
matanya.

Ini anak nurun siapa sih? Ya, udah pasti aku


dong, ya? Tapi aku sedikit mengerling, ucapan
Aca sekaligus mempertegas, jika Mas Abram
memang suka nggak tahan dengan bujuk
rayuku. Meski suamiku itu selalu bilang,
“Daripada ribet, kamu ngedrama.”

Aku kontan menepuk pelan dahinya Aca. “Tapi


enggak jadi Mama bilang deh. Yang ada nanti
kamu malah asik begadang melototin poster.”

“Ih... ya nggak lah Ma. Kalau ngantuk ya Kakak


tidur.”
“Nggak percaya Mama.”

“Karena dulu Mama juga gitu ya? Begadang


melototin poster?” balas Aca. Sialannya dia
benar. “Gantengan juga, Oppaku.”

“Opa, Opa! Opa kamu tuh! Rambutnya udah


pada putih.” Yang kumaksud adalah Ayah
almarhum Papa kandung Aca. Ya, ketika Aca
sudah lebih mengerti, dan atas dorongan Mas
Abram, beberapa kali Aca bertemu dengan Opa
dan Omanya.

“Dulu mereka ganteng banget!” seruku nggak


mau kalah.

“Itu makanya Mama kepincut sama Ayah aku?


Karena Ayah aku ganteng. Iya kan...”

Jujur saja, aku sedikit tersentak. Mengingat


kenangan dulu sebelum kejadian mengerikan
itu, memang terasa seperti apa yang dikatakan
Aca.

“Kakak salah ngomong ya, Ma?” lirih Aca yang


sepertinya sadar akan perubahan ekspresiku.
Aku mengerjap dan kembali memasang wajah
berpura cuek. “Ya jelas lah, Mama dulu mau
sama Ayah kamu karena ganteng!”

Aca tertawa. “Mama aneh deh.”

“Kok aneh?”

“Foto almarhum Ayah lebih ganteng daripada


Papa Abram. Tapi kok, Mama malah cinta
banget ke Papa Abram?”

Aku langsung mendelik dengan pipi merona.


“Eh... sok tahu kamu cinta-cinta,” balasku.

“Tuh kan, Mama senyum-senyum. Ih... geli.


Mama bucin.”

Aku menoyor pelan kepala Aca. “Bucin Mama


jelas, sama suami sendiri, udah ada buku nikah.
Dan lagi, kamu tahu sendiri kan? Papa itu baik,
penyayang, cinta banget sama Mama.” Aca
menampilkan ekspresi mau muntah dan
kembali kutepuk jidatnya. “Lha, daripada kamu,
ngarep yang nggak jelas, ketemu aja nggak
pernah udah bucin!”
“Yah.. Mama,” seru Aca lesu dengan nada
merengek. “Kalau nggak pandemi kan, aku bisa
minta Papa beli tiket konser ya.”

“Mama yang larang!”

“Yang penting Papa ngasih!” balas Aca lagi lebih


semangat.

Mataku menajam tapi dia nggak peduli. Begini


nih, kalau udah kebiasaan dimanja Mas Abram
dari kecil.

“Eh Ma. Tapi tadi aku interogasi Papa, lho!”


ucap Aca dengan mata berbinar.

Mataku masih menyipit, meski alis udah


terangkat sendiri karena penasaran. “Interogasi,
apa? Palingan Papa kamu cuma jawab singkat-
singkat.”

Aca langsung tertawa, seperti menyetujui


ucapanku. “Aku tanya, kenapa Papa mau nikah
sama Mama. Mama kan cerewet.”

Kukulum bibirku, demi menghentikan


ekspresiku yang penasaran mampus. “Terus
Papa jawab apa?”
“Kalau Mama diam, rumah seperti kuburan.”

Aku tak bisa menghentikan senyumku. Sialan,


batinku, merujuk ke jawaban Mas Abram.

“Terus aku tanya lagi, Papa lebih suka Mama


cerewet atau Mama diam.”

Aku menoleh seutuhnya. “Dia jawab apa?”

“Mama diam artinya Mama sakit. Mama sakit,


banyak permintaan. Jadi Papa pilih, lebih suka
Mama cerewet.”

Astaga... aku langsung cemberut, sementara


Aca terbahak-bahak.

“Sudah. Sudah tidur!”

Aca cemberut sekilas, dan tetap naik ke ranjang.

Tapi aku sadar dia masih memegang ponselnya.

“Eh... itu sini!” kataku menengadahkan tangan.


“Jam pegang ponsel udah berakhir ya...”

“Mama ih...”

“Sini...”
Dengan tak rela Aca menyerahkan ponselnya.
Aku menarik pipinya gemas. “Tidur ya... anak
gadisnya Mama,” seruku meledek.

Aca semakin senewen. Aku keluar dengan


senyum yang masih mengembang. Mataku
mengerling ke arah pintu kamar, dan langsung
melangkah cepat kemudian menutup pintu.

Belum sempat aku menginterupsinya soal


pertanyaan Aca, pertanyaanku langsung buyar
kedistrak dengan pemandangan di tablet Mas
Abram. Barisan foto lelaki korea terpampang di
sana.

“Apaan sih Mas, masih dicari tahu aja!” seruku


nggak habis pikir langsung duduk di sebelah
Mas Abram.

“Bukan begitu.”

“Jadiii?”

“Renjun. Yang disebut Aca. Wajahnya berubah-


ubah. Susah kenalinya.”

Aku kontan tertawa, menyurukkan wajahku ke


lengan Bapaknya anak-anak ini, berusaha
meredam suaraku, kalau nggak mau anak-anak
kebangun karena tawaku. Gimana aku nggak
gemas coba? Kalau tingkahnya selalu begini.

“Itu boyband korea Mas... punya stylist,


hairstylist, rajin perawatan. Belum lagi kalau ada
yang oplas. Tiap video atau foto udah pasti
penampilannya beda. Memangnya Mas, kalau
foto di mana pun nggak ada bedanya?
Ekspresinya sama!”

Mas Abram langsung melirikku. Oh. Oh... bisa


terganggu juga dia?

Sekalian aja kugodain. Aku membuka album di


ponselku, dan menunjukkan beberapa slide foto
ke Mas Abram. “Nih! Lihat nih. Ekspresi Mas
sama terus. Senyumnya cuma segaris.”

“Itu kamu paksa senyum.”

“Ya untung aku paksa, kalau nggak—“ aku


menoleh. Matanya menatapku lebih ekspresif.
“Ya kayak gitu tuh. Kaku!”

Aku menggeser sebuah foto lagi, dan langsung


menahan tawa, di foto itu, aku dan Aca
bergelung di lengan Mas Abram yang
memangku Ayu, sementara anak lelakiku entah
kabur ke mana. “Ini paling lucu, Mas kayak
punya tiga anak cewek.”

Langsung saja aku dihadiahi sentilan di dahi.

“Apa aku akan mendengar omelan yang sama?”

Eh?

“Seumur hidup.”

Dia mau mulai ceramah nih?

“Hmm? Maksudnya...?” kataku penuh


penekanan, kalau nggak diperjelas aku suka
salah tafsir soalnya.

“Seumur hidup. Kamu hanya akan denganku.


Jadi ya sudah, terimalah.”

Aku begitu tertarik dengan kalimat ‘kamu hanya


akan denganku’ meski aku tahu maksudnya
adalah berterus terang, tapi yang sampai ke
telingaku seperti buaian godaan.

Aku menegapkan tubuhku, melipat tangan di


atas perut. “Itu kan kata Mas. Mas nggak boleh
dahuluin Sang Pencipta lho, takdir kan di
tangan-Nya.”

Kali itu, kulihat dia menyingkirkan tabletnya.


“Tidur.”

Mataku langsung menyipit, enak saja main


tutup topik gitu aja. “Dih, Mas mau ngeles.”

“Biar tidak panjang,” sahutnya berterus terang.

“Maksudnya jadi gimana tuh? Panjang yang


gimana...? Pikiranku dan pikiran Mas kan suka
beda.”

“Kamu pikir bisa dengan lelaki lain? Tidak bisa.”


Katanya seperti ketok palu hakim.

Aku tertawa bergumul dalam pelukannya.


“Kata-kata Mas sih posesif, tapi kelakuan Mas
kok berbanding terbalik ya.”

Dia nggak menjawab, hanya senyum-senyum


tipis seperti biasa.

“Lagian, aku nggak mau sama yang lain, kan duit


Mas, banyak... yang lain belum tentu banyak
duitnya,” godaku.
Alis Mas Abram sedikit menanjak. “Kalau aku
tidak ada duit?”

“Ya nggak mau,” celetukku cepat, sengaja untuk


melihat ekspersinya.

“Jadi, aku harus cari duit terus?”

“Nah itu tahu,” balasku menyengir lebar.

“Sekalian mau kasih tahu, besok ada meeting


zoom sama developer dan orang kantor.”

Aku langsung bergidik, balasan Mas Abram


nggak main-main ih! Aku kontan menatap Mas
Abram horor. “Tapi nggak dari pagi-pagi banget
dong??”

“Dari pagi,” sahutnya singkat, padat, tepat


menancap ke hatiku!

“Serius ih?”

“Ya serius,” katanya dengan wajah jauh lebih


serius daripada ekspresi tegangku.

“Terus besok aku awasin tiga murid dong?”


tanyaku dengan wajah tertekuk, terlipat, siap
dibuang ke tong sampah nih.
“Hm,” gumamnya.

Aku langsung mendusel tubuh Mas Abram


seraya merengek. Dan aku sudah
membayangkan betapa riweuhnya, bagunin
anak-anak untuk tampil paripurna di depan
komputer dan laptop masing-masing.

Mas Abram menepuk-nepuk kepalaku. “Sabar


ya,” katanya.

Aku mendongak, dan mau nggak mau merengut


menahan senyum, humor suamiku memang
nggak banget, tapi sialnya celetukkannya selalu
sukses buat aku tertawa.

“Mas...”

“Hm?”

“Ciptain robot dong... yang bisa awasin anak-


anak daring, yang bisa kasih-kasih kode gitu,
misal jawabannya salah, atau jawabannya
bener.”

“Kita ciptain yang lain aja.”

Mataku menyipit. “Apa?”


“Anak.”

Aku spontan memekik gemas, memukul dada


suamiku.

Suara lenguhan Bumi membuatku terdiam kaku,


setelah terdengar tenang, aku kembali
menepuk dada Mas Abram, yang dibalasnya
dengan cengiran makin lebar.

Mas Abram menahan tubuhnya, hingga


membuatku semakin menampilkan wajah galak.
“Enggaaakk... pokoknya enggakk...” bisikku.

Sudah tiga bulan belakangan Mas Abram


kupaksa pakai kondom. Dan sejak pandemi aku
malas ke klinik untuk suntik KB. Mau pasang
spiral, dokter kandungan langgananku sedang
isoman. Ya daripada aku terus yang berusaha
minum pil dan sebagainya. Lebih bagus Mas
Abram yang kusuruh usaha dikit pakai kondom.

Mas Abram kembali memelukku, saat wajah


kami begitu dekat, sialnya aku yang nggak tahan
untuk mengecup bibirnya. Mungkin Aca
memang benar, aneh banget aku bisa tergila-
gila sama lelaki lempeng satu ini.
Mata Mas Abram terbuka, dia balas
menciumku, dan kali ini kami berpagutan cukup
lama.

Dan yeah... nggak perlu waktu lama bagi Mas


Abram untuk bangkit dan ikut menarikku
berdiri. Kami berjalan melintasi anak-anak dan
keluar kamar. Di sepanjang langkah kami saling
mengecup-ngecup kecil.

Di bawah anak tangga, kepala Mas Abram


kembali menunduk untuk melumat bibirku yang
kusambut dengan girang.

Mas Abram membimbingku naik perlahan.


Jangan kira ya kami naik tergesa-gesa kayak
novel erotis yang sering kubaca. Dan juga, nggak
ada tuh acara main di tangga, di dapur, di
tempat-tempat terselubung.

Mas Abram membuka pintu, aku menghidupkan


lampu di meja. Suasana jadi temaram sesuai
keinginan Mas Abram.

Kami duduk di pinggir ranjang, dan kembali


saling berciuman mesra. Aku mengelus dada
Mas Abram, sementara tangan Mas Abram
sudah meraba-raba pahaku.

Ciuman Mas Abram berpindah ke bawah


telingaku sesaat, sebelum kami saling
melepaskan pakaian pasangan.

Mas Abram—yang hanya mengenakan


boksernya—menuju ke laci tempat
tersimpannya benda yang sangat wajib untuk
dipakainya.

Aku menunggu dengan genit di atas ranjang.

“La. Habis.”

“Hah??” pekikku seperti tersambar petir. “Mas


ih! Serius??” Mati aku! Udah on begini masa
harus diredam? Bisa nggak tidur semalaman!

Mas Abram sedikit menundukkan kepalanya.

“Lampu kamarnya dihidupkan dulu, Mas...”


gerutuku.

Mas Abram mengikuti arahanku. Ruangan jadi


terang benderang, membuatku menarik selimut
menutupi tubuhku. Suamiku itu masih mencari-
cari.

Wajahku semakin suntuk.

“Ada! Satu lagi.”

Wajahku langsung senang bukan main. Napasku


mengembus dengan kelegaan membanjiri.

Mas Abram kembali mematikan lampu utama,


dan langsung naik ke ranjang. Aku tertawa kecil
sebelum menyambutnya dalam kecupan-
kecupan singkat di bibir, yang berubah menjadi
lumatan penuh gairah.

[***]

Tambah Anak? No Way!

Aku melotot pada status Whatsapp Katherine.


Tulisannya, ‘Enggak tahu ini mukjizat atau
musibah’ lengkap dengan emotikon ibu hamil.
Seriously?? Anak Catherine yang kedua baru
lima bulan kalau nggak salah.

Aku segera membalas statusnya.

[Yolanda] : Hamil lagi Cath??


[Catherine] : Huhu... iya beb.

[Yolanda] : Bikin was-was lo Cath. Gue takut


senasib efek pandemi.

[Catherine] : wkwkwkwk.

[Catherine] : Gue aja yang murahan. Dibujuk


dikit eh, guenya yang on. Sok sokan lepas di
luar, eh... keterusan.

Aku pengin ketawa, tapi malah kesindir. Sialan.


Itu juga aku banget!

[Yolanda] : -_-

[Yolanda] : Lakik gue stok kondom. Tapi


belakangan dia nggak mau beli lagi. Udah tiga
malam gue pura-pura tidur duluan! Kalau
malam ini dia godain, alamat nggak bisa nolak
gue.

[Catherine] : Bhakakakak... soon kayak gue tuh


pasti.

[Yolanda] : Kayaknya gue kudu jaga jarak sama


Mas Abram nih. Dia niat banget mau nambah
anak.
[Catherine] : Hahaha.. hati-hati lo kalau gitu.
Gue sama suami yang nggak niat aja jadi,
apalagi yang niat.

Aku menggigiti kukuku. Sialan. Aku beneran


terganggu dengan pesan terakhir Katherine.

“Ma. Ngapain tidur di situ.”

Bahuku langsung tegang. Aku memang tidur di


ujung, di sebelah Agung. Dan hei! Ma, Ma.
Nggak usah ngerayu deh!

“Jaga jarak,” balasku.

Kulihat Mas Abram langsung turun dari kasur.


“Kenapa?” tanya hati-hati saat mendekat. “Ada
gejala?”

Hah? Eh?

“Aku tadi pulang langsung mandi, di luar.”

Ih... bukan ituh!

“Um. Bukaan... maksudku. Um itu. Badanku


agak-agak nggak enak, kayaknya kecapekan.
Kalau Mas ketularan kan bahaya.” Duh
mampus, pake acara bohong lagi, semoga nggak
sakit beneran deh!

Punggung tangan Mas Abram berada di


keningku. “Enggak panas.”

“Ya enggak... Makanya, aku nggak apa-apa.”

“Dalam setahun ini kamu yang tiga kali sakit.”

Iya sih, duh... mana aku suka leleh kalau mulai


diperhatiin gini. Kalau aku sakit, anak-anak bisa
ngedrama di dekatku semua, padahal giliran aku
sehat pada nggak ada yang ngedengerin
omelanku.

Dan lebih parahnya lagi, pernah satu waktu Mas


Abram justru menyuruh Mamanya yang berada
di sini untuk awasin anak-anak karena dia ada
urusan penting di luar. Mampus, mati kutulah
aku, mana rumah lebih parah dari gado-gado.

Dan sekarang, Mas Abram pasti lebih khawatir


karena ART kami belum balik juga.

“Ke klinik?”

“Hah? Enggak-enggak,” tolakku dengan keras.


Kayaknya strategiku salah total.

“Aku buat teh?”

Duh... gimana aku nggak makin cinta coba?

“Eng... mau tidur aja. Udah sana, Mas tidur.


Besok anak-anak mesti bangun pagi lho! Stand
by.”

“Aku pijat?”

Aku semakin meringis. Dan menggeleng pelan.


“Udah, sana...”

Tapi Mas Abram nggak beranjak juga.

“Ayo. Tidur tempat biasa. Anak-anak nggak


nyaman,” katanya lagi.

Nyari mati! Tujuanku kan mau jauh-jauh.

“Oh, atau aku tidur di kamar tamu aja ya.”

Dahi Mas Abram berkerut. “Nggak ada yang cek


nanti.”

Aku masih berkeras.


“Ayo.” Mas Abram menarik pelan tanganku.

Aku menampilkan ekspresi lesu karena


rencanaku gagal. Aku jalan perlahan, dan malah
balik lagi ke ranjangku.

Niatku yang berbaring memunggungi Mas


Abram juga gagal total, sebab suamiku itu justru
mendekapku dari belakang. Tangannya
sebentar-sebentar berada di keningku. Ya
memang nggak panas dong... aku nggak sakit.

Mana dekapannya hangat banget lagi.

“Mas,” gumamku.

“Hm?”

“Katherine hamil lagi,” aduku.

“Kamu mau ikutan?”

“Enggaaak...” bisikku panjang.

“Ya nggak apa lah hamil. Ada bapaknya.”

Aku mencebik dengan wajah tertekuk. “Punya


anak di masa begini tuh, pasti bikin pusing. Mau
kontrol tiap bulan mesti prokes. Takut,
bawaannya pasti was-was. Belum lagi
lahirannya mesti atuhin prokes. Ribet!”

“Sudah sembuh?”

“Hah?” gumamku yang serta-merta menoleh ke


belakang.

“Sudah ngomel-ngomel begitu.”

Ih... aku langsung meringis. Saat aku mengerjap


senyumku kian kecut.

Mata Mas Abram seperti memindai


kebohongan di wajahku. Bertahun-tahun hidup
bersama, sepertinya dia sudah sangat paham
tabiatku.

“Bohong, kamu?”

Wajahku kian tegang. Sial. Pasti ketahuan nih.

“Kalau diingat-ingat,” gumamnya.

Aku menelan ludah.

“Dua hari lalu kamu tanya, aku beli kondom


atau tidak.”
Ya... dan Mas jawab enggak! Dan... udah deh,
bakalan ketahuan aku ini.

“Kamu tidak sakit, kan?”

Aku nggak jawab.

Mata Mas Abram menyipit, dan tak lama aku


memekik tertahan, sebab Mas Abram menyentil
dahiku.

“Mas, ih...” keluhku.

“Soal sakit, jangan bohong-bohong,” tegurnya


keras.

“Hmm...” seruku merengut.

Aku tersentak saat Mas Abram bangkit dan ikut


menarikku.

“Mau ngapain?” tanyaku kaget.

“Jangan pura-pura nggak tahu,” balasnya.


Dengan ekspresi datar seperti hendak
menghukumku.

“Kalau cabut di luar terus aku tetap hamil


gimana?? Aku nggak mau ya...” desisku berbisik,
namun tetap aja melangkah keluar kamar tanpa
mencoba ogah-ogahan. Memang dasar aku juga
pengin sih. Hihi.

“Aku ada beli.”

“Apa?”

“Stok kondom.”

Pipiku serta-merta memanas. Aku malah jadi


keinget video viral bapak-bapak borong
kondom. Pipiku langsung memanas, bukan... itu
pasti bukan suamiku kok.

“Oh... sudah berani bohong ya...”

“Kamu juga,” balasnya.

Aku mencebik.

“Ada lagi,” katanya.

“Apa??” tanyaku memelototinya.

“Ada masuk transferan. Kamu nggak ngecek


ponselku hari ini?”
Mataku mengerjap, senyumku seketika
melengkung dengan wajah secerah sinar
matahari. “Udah laku??”

Mas Abram mengangguk.

Sudah setahun, ada salah satu unit apartemen


yang berusaha kami jual belum laku, efek
pandemi, semuanya jadi lesu. Kami jual karena
biaya maintenancenya lebih tinggi sementara
apartemen tidak ditempati. Rencana memang
untuk anak-anak, tapi dipikir-pikir lagi, toh anak-
anak masih kecil-kecil, bagus untuk investasi
yang lain.

“Besok beli paket sembako. Bagi-bagi.”

“Siaaap Masku...” seruku. Kami biasa


membagikan sembako di sepanjang lorong
tempat tinggal orang tuaku. Sisanya, biasanya
kami masukkan ke yayasan amal.

Kami sampai di kamar atas. Dan aku langsung


mengecek ke laci, nggak langsung percaya
dengan suamiku begitu saja. Melihat kotak-
kotak yang kukenali di sana, senyumku
mengembang makin lebar.
“Kalau gini kan aku senang lahir batin,” seruku.

Mas Abram tersenyum, menggelengkan


kepalanya, dan sedikit kaget saat aku langsung
melompat ke pelukannya.

“Kamu berat, La.”

“Timbangan kamu jauh... lebih berat, Mas!”

“Encok. Tukang kusuk pada isoman,” balas Mas


Abram.

Aku mencebik seraya tertawa, kembali


memajukan wajahku untuk menciumnya, dan
dia tetap menyambut dengan sukacita tuh!

“Nanti aku pijetin,” tawarku.

“Pijatan kamu nggak enak.”

Aku merengut.

Dan emang nggak butuh waktu lama untuk dia


menjatuhkan tubuhku ke ranjang. Takut encok
beneran kayaknya.

“Nggak usah cepet-cepet,” seruku.


“Kamu yang tidak sabaran,” balasnya.

Iya sih, di-foreplay dikit aja aku suka langsung


nggak tahan. Dan ya... Mas Abram memang
langsung menciumi belakang telingaku,
mengubek-ubek sistem pertahananku di area
leher.

Kepalaku langsung pusing dengan rangsangan


hebat ini, dan mendekap Mas Abram lebih erat.

Apalagi kalau Mas Abram udah remas-remas


dadaku seperti sekarang. Duh... udah deh,
ukurannya, nirwana. Aku mengulum bibirku
yang sejak tadi terbuka, dan menarik lepas
kausnya.

Bibir Mas Abram berpindah ke bibirku, kami


saling memagut lama. Tangannya bergerilya
membuka kancing baju tidurku, berikut braku.
Kecupannya menyusur di sepanjang leherku dan
berhenti di puncak payudaraku.

Aku mengacak-acak rambut Mas Abram, karena


ini rambut nggak bisa dijambak. Padahal kalau
panjangan dikit kan bisa kujambak-jambak.
Mas Abram naik lagi, kembali, kami saling
melumat, aku menyusuri dadanya dan perutnya
yang sekarang sedikit buncit dengan telapak
tanganku, semakin ke bawah, oh... pasti dia
semakin senang. Tapi dia balas dengan hal yang
sama, ya kontan saja aku memekik. Bagian
bawahku udah basah kuyup ditambah lagi
dengan keahlian jemarinya itu.

Aduh, udah deh Mas, aku udah nggak tahan...

Begitu mudah memang untukku sampai ke


puncak. Dan tenaga Mas Abram diusianya yang
sudah kepala lima ini masih terjaga aja. Kadang
sedikit membuatku takut, dan bolak-balik
memeriksa ponselnya, jangan-jangan dia DM-an
sama cewek belia lain. Ah, aku memang parno-
an. Ya maklum aja, berita perselingkuhan di
mana-mana. Biar kata harta Mas Abram bisa
kukuras habis, aku tetap bakalan nangis darah
jika Mas Abram sampai melirik wanita lain.

Mas Abram terus memacu percintaan kami,


hingga dia mendapatkan kepuasannya sendiri.
Aku menarik wajahnya dengan kedua telapak
tanganku, dan menciumnya mesra, ditengah
deru napas kami yang memenuhi ruangan. Btw,
Mas Abram masih suka main di gelap-gelapan.

“Love you, too,” kataku menyindir.

Tawa kecil Mas Abram terdengar di telingaku,


sebab kepalanya memang menyuruk ke
tengkukku. Aku memeluk tubuhnya puas, dan
mengecup bahunya.

“Tuh makanya jangan bandel. Kalau Mas sedia


kondom dari kemarin-kemarin kan nggak perlu
nunggu berhari-hari kayak sekarang.”

“Tapi aku tetap ingin punya anak lima.”

Aku spontan menarik wajahnya dari bahuku dan


memelototinya seperti Suzana.

Senyum Mas Abram begitu lebar.

“Bisa kucabut ini.”

“Eh jangaaan...” seruanku membahana. Karena


aku tahu yang dimaksudkannya adalah
mencabut kondomnya.

“Kucabut,” tantangnya lagi.


Aku kontan melepaskan diri dan menarik
selimut menuju sudut ranjang, persis seperti
perawan yang hendak diperkosa. Sialan benar
ini suamiku.

“Please ya, Masku yang royal dan baik hati ini,


kita main aman aja.”

Mas Abram menyengir, senyumnya benar-benar


menggoda imanku. Tapi entah kenapa Masku
satu ini sulit sekali tertawa lepas.

Mas Abram menarik selimutku. Kami jadinya


tarik-tarikan.

“Mas...” rengekku.

“Iya sini.”

“Enggak mau.”

“Aku bercanda,” katanya tapi tidak dengan nada


bercanda sama sekali.

“Kapan Mas bercanda? Wajah Mas selalu


serius!”

“Serius.”
“Serius apanya??”

“Serius bercanda.”

Aku semakin pusing dengan kalimatnya. Mana


ada sih, orang yang serius bercandanya??

Dia menarik selimutku lebih kuat. Lalu


seenaknya malah berbaring nyaman. Aku
menggerutu, yakin Mas Abram benar-benar
bercanda, aku mendekat. Dan kembali memekik
saat Mas Abram menarik lenganku dengan
gerakan tiba-tiba, hingga aku jatuh dalam
pelukannya.

Aku menepuk kencang dadanya, dia hanya


tersenyum singkat saja, dengan mata yang tetap
memejam.

Aku menyurukkan wajahku di dekapannya,


senyumku melengkung karena kehangatan ini.
“Nggak bersih-bersih pakai baju? Artinya banyak
sesi dong?”

“Iya. Nanti lagi. Capek.”

Aku tertawa di dadanya. Jujur banget sih Mas!

You might also like