You are on page 1of 40

Referat

PENILAIAN NYERI AKUT DAN NYERI KRONIK

Oleh:

Selfesina Sikoway 210101010176

Lutpyah 210141010251

Estie Rahmania Ika Putri 210141010144

Tory Ilonda Ramadhana 210141010181

Triyanti Elizabeth Soelama 210141010182

Supervisor Pembimbing :

dr. Barry I. Kambey, Sp.An-TI

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2023
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

“Penilaian Nyeri Akut dan Nyeri Kronik”

Oleh:

Selfesina Sikoway 210101010176

Lutpyah 210141010251

Estie Rahmania Ika Putri 210141010144

Tory Ilonda Ramadhana 210141010181

Triyanti Elizabeth Soelama 210141010182

Telah dikoreksi, disetujui dan dibacakan pada September 2023

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Barry I. Kambey, Sp.An-TI

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................

A. Definisi Nyeri .......................................................................................................................

B. Mekanisme Nyeri..................................................................................................................

C. Klasifikasi Nyeri..................................................................................................................

D. Penilaian Nyeri secara Umum.............................................................................................

E. Penilaian Nyeri Akut...........................................................................................................

F. Penilaian Nyeri Kronik........................................................................................................

G. Tatalaksana Farmakologis Nyeri menurut WHO................................................................

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan terkait dengan kerusakan atau potensial kerusakan jaringan

aktual.1 Nyeri bersifat subjektif dan memiliki batas toleransi yang berbeda bagi

tiap orang. Sifat nyeri memiliki karakteristik yang berbeda dengan stimulus panca

indera. Mekanisme terjadinya nyeri melewati beberapa tahap yaitu dimulai dari

transduksi, transmisi, persepsi, kemudian terakhir modulasi. 1,2

Nyeri dapat dikelompokkan dalam berbagai klasifikasi, nyeri berdasarkan

etiologi yaitu nyeri nosiseptif, neuropatik, inflammatory, dan campuran,

berdasarkan intensitas nyeri, ialah nyeri ringan, sedang, dan berat. Berdasarkan

durasi terdapat nyeri akut dan kronik.3

Sehubungan dengan hal tersebut, didapatkan nyeri merupakan suatu hal

yang kompleks dan begitu beragam, dibutuhkan penilaian yang signifikan agar

dapat menggambarkan dan mendeskripsikan nyeri sehingga dapat membantu

untuk menentukan pemberian terapi yang tepat.

Maka dari itu, pentingnya kita mengetahui dan mempelajari mengenai

penilaian nyeri khususnya penilaian untuk nyeri akut dan kronik.3,4

1
BAB II
TINJAUAAN PUSTAKA

A. Definisi Nyeri

Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks, dan merupakan salah

satu alasan utama orang mencari pertolongan medis. Nyeri menurut International

Association The Study of Pain (IASP) tahun 2020 adalah pengalaman sensorik

dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual

maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.5

Nyeri menurut IASP (2020) juga didefinisikan sebagai berikut 6 :

1) Nyeri selalu merupakan pengalaman pribadi yang dipengaruhi oleh faktor

biologis, psikologi, dan sosial pada tingkat yang berbeda-beda.

2) Nyeri dan nosisepsi adalah fenomena yang berbeda. Nyeri tidak dapat

disimpulkan hanya dari aktivitas pada neuron sensorik.

3) Melalui pengalaman hidup mereka, individu mempelajari konsep rasa sakit.

4) Meskipun nyeri biasanya mempunyai peran adaptif, nyeri mungkin

mempunyai efek buruk pada fungsi dan kesejahteraan sosial.

5) Deskripsi verbal hanyalah salah satu dari beberapa perilaku untuk

mengungkapkan rasa sakit.

Nyeri merupakan masalah serius pada pasien dengan kegawatan mengancam

jiwa. Nyeri merupakan cara tubuh untuk memberitahu kita bahwa terjadi sesuatu

yang salah, nyeri bekerja sebagai suatu sistem alam yang merupakan sinyal yang

memberitahukan kita untuk berhenti melakukan sesuatu yang mungkin

menyakitkan kita, dengan cara ini melindungi kita dari keadaan yang berbahaya.

2
Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang ras, jenis kelamin, umur,

status sosial dan pekerjaan.7

Dari definisi ini dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:7

 Nyeri merupakan rasa indrawi (fisik) yang tidak menyenangkan. Keluhan

tanpa unsur tidak menyenangkan, tidak dapat dikategorikan sebagai nyeri.

 Nyeri terjadi sebagai akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata, disebut

sebagai nyeri nosiseptif atau nyeri akut.

 Nyeri juga timbul akibat adanya rangsangan yang berpotensi rusak, dan

disebut sebagai nyeri fisiologis, misalnya cubitan atau terkenal api rokok, hal

ini akan membangkitkan reflex menghindar.

Beberapa definisi yang berkaitan dengan nyeri, antara lain:7

1. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan,

lamanya terbatas ≤ 3 bulan, hilang seirama dengan penyembuhan.

2. Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung dalam waktu > 3 bulan, menetap

walaupun penyebab awalnya sudah sembuh dan seringkali tidak ditemukan

penyebab pastinya.

B. Mekanisme Nyeri

Secara umum, transmisi nyeri perifer terdiri dari produksi sinyal listrik pada

ujung saraf nyeri (transduksi) yang diikuti dengan penyebaran sinyal tersebut

melalui sistem saraf tepi (transmisi).

1) Transduksi

Struktur sensorik utama yang melakukan transduksi adalah nosiseptor.

Kebanyakan nosiseptor adalah ujung saraf bebas yang merasakan panas,

kerusakan jaringan mekanis dan kimia. Beberapa jenis dijelaskan: 1)

3
mekanoreseptor, yang merespons terhadap cubitan dan tusukan peniti, 2)

nosiseptor diam, yang hanya merespons jika ada peradangan, dan 3) nosiseptor

mekanopanas polimodal. Yang terakhir adalah yang paling umum dan bereaksi

terhadap tekanan berlebihan, suhu ekstrem (>42 oC dan <18oC), dan algogen (zat

penghasil rasa sakit). Nosiseptor polimodal lambat beradaptasi terhadap tekanan

kuat dan menunjukkan sensitisasi terhadap panas.8

Baru-baru ini, vanilloid receptor-1 (VR-1) diisolasi dari neuron sensorik.

Vanillin adalah sekelompok senyawa, termasuk capsaicin yang menyebabkan rasa

sakit. Reseptor VR1 tidak hanya merespons rasa sakit tetapi juga terhadap proton

dan suhu >43oC. Reseptor lain, VRL-1, yang merespons suhu di atas 50 oC tetapi

tidak merespons capsaicin, telah diisolasi dari serat C.8

2) Transmisi

Impuls nyeri ditransmisikan melalui dua sistem serat. Adanya dua jalur nyeri

menjelaskan adanya dua komponen nyeri: sensasi cepat, tajam, dan terlokalisasi

dengan baik (nyeri pertama) yang dihantarkan oleh serabut Aδ; dan sensasi nyeri

yang lebih lambat dan tidak terlokalisasi dengan baik (nyeri kedua) yang

dihantarkan oleh serabut C. Serabut Aδ bermielin, berdiameter 2 – 5 μm dan

menghantarkan listrik dengan kecepatan 12 – 30 m/s, sedangkan serabut C tidak

bermielin, berdiameter 0,4 – 1,2 μm dan menghantarkan listrik dengan kecepatan

0,5 hingga 2 m/s. Kedua kelompok serat berakhir di tanduk dorsal sumsum tulang

belakang. Serabut Aδ sebagian besar berakhir pada neuron di lamina I dan V,

sedangkan serabut C akar dorsal berakhir di lamina I dan II. Persimpangan

sinaptik antara neuron tingkat pertama dan sel tanduk dorsal di sumsum tulang

belakang merupakan tempat yang sangat plastis. Oleh karena itu, tanduk dorsal

4
disebut sebagai gerbang, dimana impuls nyeri dapat “dipagari” yaitu

dimodifikasi.3

Neuron tingkat kedua adalah neuron spesifik nosiseptif atau neuron rentang

dinamis lebar (WDR). Neuron spesifik nosiseptif hanya melayani rangsangan

berbahaya dan tersusun secara somatotopik di lamina I dan memiliki bidang

reseptif somatik yang terpisah; mereka biasanya diam dan hanya merespons

rangsangan berbahaya dengan ambang batas tinggi. Neuron WDR menerima

masukan aferen berbahaya dan tidak berbahaya dari serabut Aβ, Aδ, dan C.

Perbedaan antara rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya terjadi melalui

frekuensi pelepasan neuron WDR yang lebih tinggi terhadap rangsangan

berbahaya. Neuron WDR paling melimpah di lamina V.3

a) Transmisi Sentral

Transmisi sentral mencakup transmisi dan persepsi dimana sinyal listrik

ditransmisikan dari sumsum tulang belakang ke otak. Meskipun penularan

terjadi dari reseptor perifer ke otak sebagai satu proses yang

berkesinambungan, untuk memudahkan kami membaginya menjadi transmisi

perifer dan sentral.3

b) Transmisi

Akson dari sebagian besar neuron orde kedua melintasi garis tengah di

komisura anterior ke sisi kontralateral sumsum tulang belakang untuk naik

sebagai saluran spinotalamikus yang berakhir di talamus, formasio retikuler,

nukleus raphe magnus, dan periaqueductal grey. Saluran menaik ini dapat

dibagi menjadi lateral dan medial. Traktus spinotalamikus lateral

(neospinotalamikus) menonjol terutama ke nukleus posterolateral ventral

5
talamus dan membawa aspek diskriminatif nyeri, seperti lokasi, intensitas, dan

durasi. Saluran spinotalamikus medial (paleospinotalamikus) menonjol ke

thalamus medial dan bertanggung jawab untuk memediasi persepsi nyeri

otonom dan emosional yang tidak menyenangkan.8

3) Modulasi

Modulasi nyeri terjadi secara perifer di nosiseptor, di sumsum tulang

belakang, atau di struktur supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau

memfasilitasi rasa sakit.8

a) Modulasi Perifer

Nosiseptor dan neuronnya menunjukkan sensitisasi setelah rangsangan

berulang. Sensitisasi nosiseptor mengakibatkan penurunan ambang batas,

peningkatan respons frekuensi, penurunan latensi respons, dan pelepasan

spontan bahkan setelah stimulus berhenti (setelah pelepasan). Hiperalgesia

primer ini dimediasi oleh pelepasan algogen seperti histamin, bradikinin,

PGE2 dan leukotrien dari jaringan yang rusak.

Nosiseptor dan neuronnya menunjukkan sensitisasi setelah rangsangan

berulang. Sensitisasi nosiseptor mengakibatkan penurunan ambang batas,

peningkatan respon frekuensi, penurunan latensi respon, dan pelepasan

spontan bahkan setelah stimulus berhenti (setelah pelepasan). Hiperalgesia

primer ini dimediasi oleh pelepasan algogen seperti histamin, bradikinin,

PGE2 dan leukotrien dari jaringan yang rusak.3

b) Modulasi Sentral

Hal ini dapat memfasilitasi atau menghambat rasa sakit. Mekanisme

fasilitasinya adalah :

6
- Penutupan dan sensitisasi neuron tingkat kedua.

- Perluasan lapangan reseptif

- Ransangan berlebih terhadap respon fleksi.

Mediator neurokimia sensitisasi sentral termasuk sP, CGRP, VIP,

kolesistokinin, angiotensin, galanin, L-glutamat dan L-aspartat. Zat-zat ini

memicu perubahan rangsangan membran dengan berinteraksi dengan

reseptor berpasangan G-protein, mengaktifkan second messenger

intraseluler, yang pada gilirannya memfosforilasi protein substrat. Jalur

umum menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Misalnya

glutamat dan aspartat mengaktifkan reseptor NMDA. Stimulasi reseptor

NMDA ionotropik menyebabkan peningkatan Ca2+ intraneuronal, yang

merangsang Nitric Oxide Synthase (NOS) dan produksi Nitric Oxide (NO).

NO sebagai molekul gas berdifusi keluar dari neuron dan melalui aksi pada

guanylyl cyclase, NO merangsang pembentukan cGMP di neuron tetangga.

Bergantung pada ekspresi saluran ion yang dikontrol cGMP di neuron target,

NO mungkin bersifat rangsang atau penghambatan. NO telah terlibat dalam

perkembangan hipereksitabilitas, yang mengakibatkan hiperalgesia atau

allodynia, dengan meningkatkan pemancar nosiseptif di terminal pusatnya.3

4) Persepsi

Neuron tingkat ketiga terletak di talamus dan menonjol ke area somatosensori

II dan I di girus pasca-pusat dan dinding superior fisura sylvian. Persepsi dan

lokalisasi nyeri yang berbeda terjadi di area kortikal ini. Beberapa serabut

menonjol ke gyrus cingulated anterior dan cenderung memediasi komponen

penderitaan dan emosional dari nyeri.3

7
c) Mekanisme Penghambatan dapat Berupa Segmental atau Supraspinal

Penghambatan segmental terdiri dari aktivasi serabut aferen besar yang

melayani penghambatan sensasi epikritis neuron WDR dan aktivitas

spinotalamikus. Glisin dan asam γ-amino butirat (GABA) merupakan asam

amino yang berfungsi sebagai neurotransmiter penghambat. Penghambatan

segmental tampaknya dimediasi oleh aktivitas reseptor GABAb, yang

meningkatkan konduktansi K+ melintasi membran sel.8

Penghambatan supraspinal terjadi ketika beberapa struktur supraspinal

mengirimkan serat ke sumsum tulang belakang untuk menghambat nyeri pada

tingkat tanduk dorsal. Ini termasuk abu-abu periaqueductal, formasi retikuler,

dan nukleus raphe magnus (NRM). Akson dari struktur ini bekerja secara

prasinaps pada neuron aferen primer dan pascasinaps pada neuron tingkat

kedua (atau interneuron). Jalur penghambatan ini memanfaatkan monoamina,

seperti noradrenalin dan serotonin, sebagai neurotransmitter dan berakhir pada

neuron nosiseptif. di sumsum tulang belakang serta pada interneuron

penghambat tulang belakang yang menyimpan dan melepaskan opioid.

Noradrenalin memediasi tindakan ini melalui reseptor α2. Sistem opiat

endogen bekerja melalui enkephalin dan β-endorfin. Ini terutama bekerja

secara prasinaps sedangkan opiat eksogen bekerja secara pascasinaps.3

d) Respon Refleks

Serabut nyeri somatik dan viseralterintegrasi penuh dengan sistem motorik

rangka dan simpatis di sumsum tulang belakang, batang otak, dan pusat yang

lebih tinggi. Sinapsis ini bertanggung jawab atas aktivitas otot refleks yang

8
berhubungan dengan nyeri. Dengan cara yang sama, aktivasi refleks simpatis

menyebabkan pelepasan katekolamin, secara lokal dan dari medula adrenal.

Hal ini meningkatkan detak jantung dan tekanan darah yang mengakibatkan

peningkatan kerja miokard, peningkatan laju metabolisme, dan konsumsi

oksigen. Tonus gastrointestinal menurun menyebabkan pengosongan lambung

tertunda. Nyeri juga menyebabkan peningkatan sekresi harmonik katabolik

dan penurunan sekresi harmonik anabolik. Respon metabolik terhadap nyeri

antara lain hiperglikemia akibat glukoneogenesis dan penurunan sekresi

insulin atau tindakan peningkatan metabolisme protein dan peningkatan

lipolisis. Respon pernafasan dapat berupa hiperventilasi akibat rangsangan

pusat pernafasan atau hipoventilasi akibat belat dan spasme otot refleks.

Respons diencephalic dan kortikal mungkin termasuk kecemasan dan

ketakutan. Nyeri menstimulasi mekanisme psikologis dengan efek emosional

yang merugikan.8

Mekanisme nyeri ini juga dapat dibagi menjadi mekanisme nyeri nosiseptif

dan nyeri neuropatik, sebagai berikut:

1. Mekanisme yang Menyebabkan Nyeri Nosiseptif

Pertama, rangsangan lingkungan fisik atau kimia yang intensif diubah

menjadi potensial aksi yang dibawa oleh serabut Aδ tipis dan serabut C tak

bermielin dari ujung saraf bebas ke sistem saraf pusat, di mana rangsangan

tersebut dimodulasi dan diintegrasikan pada berbagai tingkat sumbu saraf

(medula, mesencephalon dan thalamus) hingga interpretasi akhir di korteks

serebral. Jika terjadi kerusakan jaringan, terjadi pelepasan beberapa zat,

seperti bradikinin, asetilkolin, glutamat, adenosin, ATP, serotonin, histamin,

9
H+, K+ dan prostaglandin. Prostaglandin penyebab peradangan adalah

dihasilkan dari asam arakidonat melalui reaksi enzimatik. Isoform

siklooksigenase 2 (COX2) adalah bertanggung jawab atas pelepasan

prostaglandin Pge2 dan Pgh, yang menyadarkan ujung saraf bebas di baik di

perifer maupun di sistem saraf pusat melalui interleukin. Ketika proses

inflamasi tetap ada, terjadi perubahan plastisitas peripheral dan sistem saraf

pusat. Perubahan-perubahan ini memfasilitasi kelanggengan rasa sakit terlepas

dari itu intensitas rangsangan. Proses ini disebut sentral sensitisasi.9

Gambar 1. Mekanisme Nyeri 4

10
2. Mekanisme yang Menghasilkan Nyeri Neuropatik

Pada sistem saraf tepi, neuropatik rasa sakit mungkin timbul sebagai

akibat dari lesi langsung dari akson. Lesi ini dapat memicu keluarnya

cairan ektopik, yang mencapai sistem saraf pusat dan ditafsirkan sebagai

rasa sakit yang datang dari daerah yang bersangkutan persarafan. Nyeri

neuropatik juga bisa terjadi disebabkan oleh produksi neurotropik yang

lebih besar faktor. Peningkatan ini dapat menyebabkan hipereksitabilitas

dari akson yang rusak sebagian, serta utuh akson yang berdekatan.10

Mekanisme sentral yang terlibat dalam genesis nyeri neuropatik

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara mekanisme kontrol

penghambatan dan fasilitator transmisi impuls nyeri. Reorganisasi koneksi

sinaptik dapat terjadi dari lesi serat C dan Aδ tipis (nosiseptif), terkemuka

untuk atrofi ujung saraf di akar dorsal. Akibatnya, serat Aβ (taktil)

mungkin muncul ke arah sinapsis bebas, memperluas bidang reseptif

stimulus nyeri.10

C. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat dikelompokkan dalam berbagai klasifikasi. Secara klinis, nyeri

dibagi menjadi dua kategori yang terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri

dapat juga diklasifikasikan berdasarkan patogenesis (misalnya nyeri nosiseptif,

nyeri inflamasi, atau nyeri neuropatik), etiologi (misalnya nyeri pasca bedah, nyeri

trauma, nyeri persalinan, atau nyeri kanker), dan intensitas nyeri (nyeri ringan,

sedang, berat). Klasifikasi nyeri seringkali diperlukan untuk menentukan

pemberian terapi yang tepat.11

11
12
1) Berdasar Durasi (Waktu Terjadinya)

a) Nyeri Akut

Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan seseorang selama

beberapa detik sampai dengan 6 (enam) bulan. Nyeri akut biasanya datang

tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera spesifik, jika ada kerusakan maka

berlangsung tidak lama dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya

menurun sejalan dengan proses penyembuhan atau menghilang saat penyebab

yang mendasarinya telah ditangani dengan baik. Beberapa pustaka lain

menyebutkan nyeri akut adalah bila < 12 minggu. Nyeri antara 6-12 minggu

adalah nyeri sub akut. Nyeri diatas 12 minggu adalah nyeri kronis.12

Nyeri akut diakibatkan oleh kerusakan jaringan, proses penyakit, maupun

fungsi abnormal otot atau organ visceral. Nyeri akut selalu bersifat nyeri

nosiseptif. Nyeri nosiseptif berfungsi membangkitkan refleks menghindar

(withdrawal reflex) guna mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Nyeri

nosiseptif terjadi sebelum adanya kerusakan jaringan dan bersifat protektif

untuk mempertahankan keutuhan tubuh. Jika telah terjadi kerusakan jaringan,

maka nyeri nosiseptif berubah menjadi nyeri akut. Karena jarak antara nyeri

nosiseptif dan nyeri akut hanya beberapa detik dan mekanismenya pun sama,

maka di dalam klinik nyeri nosispeptif selalu diidentikkan dengan nyeri akut.

Bentuk yang paling umum dari nyeri akut adalah nyeri pascatrauma, pasca

bedah, dan nyeri persalinan serta nyeri yang terkait dengan penyakit medis

akut, seperti infark miokard, pankreatitis, batu ginjal, dan lain-lain.13-14

13
Terdapat dua jenis nyeri akut, yaitu nyeri somatik jika berasal dari jaringan

soma dan nyeri viseraljika nyeri berasal dari organ viseral (jantung, ginjal,

usus, dan lain-lain)

- Nyeri Somatik, nyeri akibat input nosiseptif pada bagian luar tubuh. Nyeri

ini dapat berasal dari kulit, ligamentum, tendon, otot, sendi, dan tulang.

Nyeri somatik dibedakan menjadi nyeri somatik superfisial dan dalam.

Nyeri somatik superfisial terjadi jika input nosiseptif berasal dari jaringan

kulit, subkutan, atau dinding mukosa. Gejala nyerinya sangat khas,

lokalisasinya sangat jelas (dapat ditunjuk dengan jari), dan digambarkan

sebagai sensasi yang tajam, menusuk, atau berdenyut. Nyeri somatik

dalam yakni jika nyeri berasal dari otot, tendon, sendi, atau tulang. Sensasi

nyerinya dapat terasa tumpul, dan lokalisasinya kurang jelas. Selain itu,

intensitas nyeri serta lama perlangsungan stimulus dapat mempengaruhi

daerah lokalisasinya. Sebagai contoh, nyeri akibat luka ringan pada sendi

akan terlokalisasi pada siku, tetapi luka berat atau berkepanjangan pada

siku sering menyebabkan nyeri pada seluruh lengan.13

- Nyeri Viseral, nyeri yang berasal dari organ internal mayor. Viseral adalah

organ tubuh yang terletak di dalam rongga tubuh seperti rongga abdomen

dan rongga toraks. Nyeri akur viseraldisebabkan oleh proses penyakit atau

fungsi abnormal yang mengenai organ internal atau pembungkusnya

(misalnya pleura parietal, pericardium, dan peritoneum). Hanya beberapa

organ yang dapat menimbulkan rasa nyeri yang dalam ini karena adanya

perbedaan persarafan organ. Organ visera yang memiliki nosiseptor, yaitu

saraf sensorik yang dapat mentransmisikan nyeri ke otak setelah cedera,

14
dapat mengakibatkan nyeri visera yang dalam bila terluka. Gambaran

klinis nyeri viseral adalah :13

 Nyeri viseral hanya bisa ditimbulkan oleh beberapa organ viseral

 Tidak berhubungan dengan cedera pada organ viseral

 Merupakan nyeri rujukan dari organ lain, nyeri yang terkait dengan

proses penyakit yang melibatkan peritoneum atau pleura di sekitar

diafragma bagian tengah dirujuk ke leher dan bahu, sedangkan nyeri

dari proses penyakit yang mengenai permukaan parietal di daerah

diafragma perifer dirujuk ke dada atau dinding perut bagian atas

 Bersifat difus dan tidak terlokalisasi, biasanya pada garis tengah (tidak

dapat ditunjuk dengan jari tapi telapak tangan)

 Disertai dengan refleks otonomik dan motoric yang berlebihan

sehingga pasien Nampak sakit berat disertai dengan gejala mual,

muntah, berkeringat, serta perubahan tekanan darah dan nadi

b) Nyeri Kronis

Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang menetap melampaui

proses penyakit akut atau melebihi waktu penyembuhan normal, biasanya

berlangsung selama lebih dari 3-6 bulan atau lebih. Nyeri kronis bersifat

konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri

kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk

diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap

pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis berlangsung

seringkali masih ada meskipun cedera sudah ditangani. Nyeri kronis mungkin

bersifat nosiseptif, neuropatik, atau campuran. Mekanisme psikologis atau

15
faktor lingkungan, atau keduanya, sering memainkan peran utama.15

Nyeri neuropatik secara klasik bersifat serangan (paroxysmal) dan tertusuk

tajam (lacinating) atau seperti terbakar. Ciri khas dari nyeri neuropatik adalah

jika ditemukannya dua macam gejala secara bersamaan, yakni gejala

hipolgesia (sensasi yang berkurang) dan hyperalgesia (sensasi yang

bertambah). Nyeri kronis dapat dijumpai pada gangguan muskuloskeletal

kronis, gangguan viseral kronis, lesi saraf perifer, akar saraf, atau ganglion

akar dorsalis (termasuk neuropatik diabetik, kausalgia, nyeri phantom, dan

nyeri pasca-herpes), lesi pada system saraf pusat (stroke, cedera pada medulla

spinalis, dan multiple sklerosis), dan nyeri kanker. Nyeri pada gangguan

musculoskeletal (misalnya, rheumatoid arthritis dan osteoarthritis) secara

primer bersifat nosiseptif, sedangkan nyeri yang terkait dengan gangguan

saraf perifer atau sentral bersifat neuropatik. Nyeri yang terkait dengan

beberapa gangguan, misalnya, kanker dan sakit punggung kronis (terutama

setelah pembedahan), merupakan campuran antara nosiseptif dan neuropatik.13

2) Berdasar Etiologi (Penyebab Timbulnya Nyeri)

a. Nyeri Nosiseptik

Merupakan nyeri yang terjadi karena adanya rangsangan/stimulus mekanis

ke nosiseptor. Nosiseptor adalah saraf aferen primer yang berfungsi untuk

menerima dan menyalurkan rangsang nyeri. Ujung ujung saraf bebas

nosiseptor berfungsi sebagai saraf yang peka terhadap rangsangan mekanis,

kimia, suhu, listrik yang menimbulkan nyeri. Nosiseptor terletak di jaringan

subkutis, otot rangka, dan sendi.14

b. Nyeri Neuropatik

16
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang terjadi karena adanya lesi atau

disfungsi primer pada sistem saraf. Nyeri neuropatik biasanya berlangsung

lama dan sulit untuk di terapi. Salah satu bentuk yang umum dijumpai di

praktek klinik adalah nyeri pasca herpes dan nyeri neuropatik diabetika. 14

c) Nyeri Inflamatorik

Nyeri inflamatorik merupakan nyeri yang timbul akibat adanya proses

inflamasi. Nyeri inflamatorik kadang dimasukkan dalam klasifikasi nyeri

nosiseptif. Salah satu bentuk yang umum dijumpai di praktek klinik adalah

osteoarthritis. 14

d) Nyeri Campuran

Nyeri campuran merupakan nyeri yang etiologinya tidak jelas antara

nosiseptif maupun neuropatik atau nyeri memang timbul akibat rangsangan

pada nosiseptor maupun neuropatik. Salah satu bentuk yang umum dijumpai

adalah nyeri punggung bawah dan ischialgia akibat HNP (Hernia Nukleus

Pulposus). 14

3) Berdasar Intensitasnya (Berat Ringannya)

a. Tidak Nyeri

Kondisi dimana seseorang tidak mengeluhkan adanya rasa nyeri atau

disebut juga bahwa seseorang terbebas dari rasa nyeri. 14

b. Nyeri Ringan

Seseorang merasakan nyeri dalam intensitas rendah. Pada nyeri ringan

seseorang masih bisa melakukan komunikasi dengan baik, masih bisa

melakukan aktivitas seperti biasa dan tidak terganggu kegiatannya. 14

c. Nyeri Sedang

17
Rasa nyeri seseorang dalam intensitas yang lebih berat. Biasanya mulai

menimbulkan respon nyeri sedang akan mulai mengganggu aktivitas

seseorang.14

d. Nyeri Berat

Nyeri berat/ hebat merupakan nyeri yang dirasakan berat oleh pasien dan

membuat pasien tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasa, bahkan akan

terganggu secara psikologis dimana orang akan merasa marah dan tidak

mampu untuk mengendalikan diri. 14

D. Penilaian Nyeri secara Umum

Penggunaan mnemonik PQRST juga akan membantu untuk mengumpulkan

informasi vital yang berkaitan dengan proses nyeri pasien. Mnemonik PQRST

untuk evaluasi nyeri, yaitu : 16

1. P = Provokes, Palliative (Penyebab)

Apa yang sedang dilakukan ketika rasa nyeri muncul? Apa yang

menyebabkannya? Apa yang membuat rasa sakit/nyeri itu bertambah dan

berkurang? Apa yang memicu terjadinya nyeri? Stress? Posisi tubuh?

Aktifitas?

2. Q = Quality, Quantity (Kualitas, Kuantitas)

Seperti apa rasa nyerinya? Gunakan kata untuk menjelaskan seperti tajam,

tumpul, terbakar, menyengat, menusuk, berdenyut, meregang dan sebagainya.

Biarkan pasien menjelaskan kondisi ini dengan kata-katanya sendiri.

3. R = Region/Radiates (Penyebaran)

18
Dimana lokasi rasa nyeri nya? Apakah rasanya menyebar? Kemana?

Apakah nyeri terasa berpindah-pindah? atau terlokalisasi di satu tempat?

4. S = Severity Scale (Tingkat Keparahan)

Seburuk apa rasa nyeri nya dalam skala 0-10, dengan 0 tidak terasa sama

sekali dan 10 sangat sakit? Apakah menganggu aktifitas sehingga Anda harus

duduk atau berbaring?

5. T = Timing (Waktu)

Kapan/jam berapa nyeri dimulai? Sudah berapa lama hal tersebut

berlangsung? Seberapa sering itu terjadi: setiap jam? harian? mingguan?

bulanan? Apakah tiba-tiba atau bertahap? Apa yang Anda lakukan saat

pertama kali mengalaminya? Kapan biasanya Anda mengalaminya: siang

hari? malam? pagi hari? Apakah Anda pernah terbangun karenanya? Apakah

itu mengarah ke hal lain? Apakah disertai tanda dan gejala lain? Apakah itu

pernah terjadi sebelum, selama atau setelah makan? Apakah itu terjadi secara

musiman?

Lalu ada juga alat pengukuran nyeri yang dapat digunakan bersifat

unidimensional atau multidimensional. Pengkajian unidimensional adalah alat

ukur nyeri yang melihat satu dimensi nyeri yang dirasakan pasien. Pengkajian

skala nyeri unidimensional terdiri dari visual analog scale, verbal rating scale,

numerik pain rating scale, dan wong baker face pain rating scale yang dijelaskan

sebagai berikut:

a. Visual Analog Scale (VAS)

VAS adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri.

Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang

19
mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis

sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter (Gambar 2).

Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan

deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang

lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat

vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/

reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat

utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun,

untuk periode pascabedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS

memerlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi.17

Gambar 2. Visual Analog Scale (VAS) 17

b. Verbal Rating Scale (VRS)

Skala ini menggunakan angka 0 sampai 10 untuk menggambarkan tingkat

nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada skala ini, sama seperti pada

VAS atau skala reda nyeri (Gambar 3). Skala numerik verbal ini lebih

bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara alami verbal/kata-kata

tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal

menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan

tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang,

20
parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak

hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali.

Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat

membedakan berbagai tipe nyeri.17

Gambar 3. Verbal Rating scale (VRS) 17

c. Numeric Rating Scale (NRS)

Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis

kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk

menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata

untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk membedakan

tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar

kata yang menggambarkan efek analgesik.

Gambar 4. Numeric Rating Scale (NRS) 17

21
d. Wong Baker Pain Rating Scale

Wong Baker Pain Rating Scale digunakan pada pasien dewasa dan anak >

3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka

(Gambar 5).

Gambar 5. Wong Baker Pain Rating Scale 17

e. FLACC (Face, Legs, Actifity, Cry, Consolability)

Pada anak-anak dilakukan pengukuran skala nyeri dengan penilaian nyeri

FLACC. Skala FLACC di gunakan untuk pengkajian rasa nyeri anak saat

anak belum mampu menjelaskan rasa nyeri yang di alaminya, hal ini

memudahkan dalam menilai skala nyeri. Alat ini mampu mengukur lima

parameter seperti aktifitas, ekspresi wajah, tungkai, menangis dan

kemampuan hiburan anak. Semakin tinggi angka maka menunjukan semakin

tinggi rasa nyeri.18-19

Tabel 1. Penilaian Nyeri FLACC 18-19

Penilaian
Kategori 0 1 2
Wajah Tidak ada ekspresi Terkadang meringis Sering
tertentu atau atau mengerutkan mengerutkan dahi,
tersenyum dahi, menolak, mengatupkan

22
ataupun tidak tertarik rahang, dagu
bergetar
Tungkai Posisi tungkai Tidak tenang, gelisah, Menendang atau
normal atau rileks tegang menarik tungkai
ke atas
Aktifitas Berbaring Menggeliat, membalik Melengkung,
sebentar, posisi ke belakang dan ke kaku, atau
tubuh normal, depan, tegang menghentak
sangat mudah
bergerak
Menangis Tidak menangis Merintih atau Memangis dengan
(sadar atau terjaga) merengek, terkadang mantap, berteriak
mengeluh atau terisak, sering
mengeluh
Kemampuan Senang atau rileks Ditegaskan dengan Sulit untuk dihibur
untuk dapat tekadang menyentuh, atau sulit nyaman
dihibur memeluk, atau
berbicara, dapat
dialihkan

E. Penilaian Nyeri Akut

Penilaian yang baik akan membantu mengidentifikasi sumber nyeri,

karateristik nyeri, tipe nyeri dan membantu intervensi yang efektif. Nyeri akut

pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Berhubungan dengan cedera

jaringan (trauma atau pembedahan), (2) Penyebab nyeri jelas dan mudah dikenali,

(3) Nyeri harus segera ditangani dan (4) Durasi nyeri dapat diantisipasi.12

1) Nyeri Pasca Operasi

Nyeri pasca operasi harus dinilai dan diberi tatalaksana yang adekuat.

Penatalaksanaan yang tidak adekuat akan dapat berujung pada peningkatan derajat

nyeri, kecemasan, gangguan mobilisasi, gangguan tidur, dan distress emosional.

Esesmen yang adekuat diperlukan untuk dasar pemberian tatalaksana yang

adekuat. Tatalaksana yang adekuat akan menuntun pada pemulihan yang lebih

23
cepat, komplikasi yang minimal, risiko nyeri persisten yang lebih kecil, dan

peningaktan kepuasan pasien.Esesmen nyeri pasca operasi sama dengan nyeri

pada umumnya, yaitu mencari informasi tentang lokasi, intensitas, kualitas nyeri,

onset, durasi, variabilitas serangan nyeri, faktor-faktor yang memperingan/

memperberat rasa nyeri, dan dampak nyeri (mis: gangguan tidur, aktivitas, dan

pekerjaan). Pada esesmen nyeri diperlukan pula diskusi dengan pasien tentang

pilihan tindakan untuk mengurangi nyeri dan evaluasi terhadap hasil pengobatan

dan efek samping.

Pengukuran intensitas nyeri adalah penilaian yang paling umum dilakukan

pada kondisi pasca operasi. Perangkat penilaian ini meliputi, Visual Analogue

Scale, Pain Intensity Scale, Verbal Rating Scale, dan Numerical Rating Scale.

Poin Intensity Scale menanyakan intensitas nyeri dalam 6 skala, yaitu tidak nyeri,

nyeri ringan, nyeri mengganggu, nyeri yang menyusahkan, nyeri yang sangat

hebat, dan nyeri yang mengancam. Pemilihan skala nyeri untuk penilaian

intensitas nyeri pasca operasi tergantung pada beberapa hal yaitu, kemudahan

pengukuran dan waktu yang diperlukan, mampu menggambarkan secara akurat

keparahan nyeri, dapat dipakai sebagai pembanding untuk evaluasi hasil terapi,

dan dapat dihitung persentase pengurangan nyerinya untuk tujuan penelitian.

Numeric Pain Intensity Scale (NPIS) adalah perangkat yang umum dipakai

untuk proses pengukuran intensitas dan derajat nyeri pasien dengan menggunakan

angka-angka tertentu. Semakin besar angka yang ditunjukkan pasien berarti

semakin berat pula nyeri yang dirasakan pasien. NPIS dilakukan pada pasien yang

bisa bekerja sama dengan petugas kesehatan. Dari hasil pengukuran derajat dan

intensitas nyeri dengan menggunakan NPIS ini akan didapat kesimpulan data 0:

24
tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri sedang, dan 7-10 nyeri hebat.

Faces Pain Scale (FPS) merupakan suatu pengukuran intensitas nyeri pasien

dengan memperhatikan ekspresi wajah pasien saat mengeluh nyeri. Dari hasil

pengukuran derajat dan intensitas nyeri dengan menggunakan FPS ini akan

didapat kesimpulan data 0: tidak nyeri, 2-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri sedang, dan 7-

10 nyeri hebat.

2) Nyeri di Ruang Gawat Darurat

Nyeri di ruang gawat darurat pada umumnya muncul sebagai akibat trauma

atau sebagai manifestasi penyakit utama. Penilaian di ruang gawat darurat pada

umumnya memastikan lokasi, deskripsi nyeri, intensitas, dan kemungkinan

penyebab. Penilaian nyeri yang singkat diperlukan untuk memastikan tipe nyeri,

intesitasi nyeri dan digunakan sebagai dasar pemilihan analgesia yang sesuai.

Umumnya penilaian nyeri di ruang gawat darurat ditujukan untuk menilai

komponen sensorik, komponenafektif dan komponen kognitif. Penilaian

komponen sensorik terutama ditujukan untuk menilai tipe nyeri dan intensitas

nyeri. Pengukuran intensitas nyeri dapat dilakukan dengan VAS, NRS, atau VRS.

Penilaian komponen afektif untuk enilai dapak psikososial. Pemilihan komponen

kognitif untuk menilai penilaian dan persepsi pasien terhadap nyerinya.

3) Penilaian Nyeri Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)

Penilaian CPOT menggunakan skor 0-8, dengan total skor ≥2 menunjukkan

adanya nyeri.20

Tabel 2. Penilaian Nyeri CPOT 20

Indikator Penjelasan Skor

25
Ekspresi Wajah Tidak terlihat adanya tonus otot wajah Rileks, netral 0
Terlihat mengerut dahi, alis menurun, otot Tegang 1
orbital menegang dan kontraksi otot
levator
Menyeringgai/ 2
Terjadi seluruh gerakan fasial diatas dan meringgis
kelopak mata tertutup kuat-kuat
Gerakan tubuh Tidak bergerak sama sekali (namun tidak Tidak ada gerakan 0
berarti tidak merasa nyeri) tubuh
Terdapat gerakan pelan, yang berhati-hati Proteksi 1
menyentuh atau menggosok lokasi nyeri
mencari perhatian dengan melakukan
gerakan
Menarik selang infuse, mencoba duduk, Gelisah 2
menggerakan ekstremitas atau memukul,
tidak mematuhi perintah, menyerang staf,
mencoba turun dari tempat tidur

Tonus otot Tidak ada tahanan terdapat gerakan pasien Rileks 0


Evaluasi dengan Terdapat tahanan terhadap gerakan pasif Tegang, kaku 1
memfleksi dan
mengeksistensikan Terdapat tahanan kuat terhadap gerakan Sangat tegang atau 2
pasif, sehingga gerakan pasif tidak dapat kaku
ekstremitas atas
diselesaikan

Respon terhadap Alarm tidak berbunyi, ventilasi dengan Toleransi terhadap 0


ventilator (pasien mudah ventilasi
dengan intubasi) Alarm berbunyi namun berhenti Terbatuk namun 1
toleran

Asinkronisasi : Ventilasi terblok, alarm Melawan ventilasi 2


sering terbunyi

Atau
Vokalisasi (pasien Berbicara dengan nada normal atau tidak Berbicara dengan 0
tanpa intubasi) mengeluarkan suara nada normal atau
tidak mengeluarkan
suara
Mengeluh, menggeleng, merintih Mengeluh, 1
mengerang,
merintih

Berteriak atau menangis Berteriak atau 2


menangis
Total skor

F. Penilaian Nyeri Kronik

26
Nyeri kronis tidak hanya mempengaruhi pasien secara individu, tetapi juga

orang lain yang signifikan (pasangan, kerabat, atasan dan rekan kerja dan teman),

sehingga perawatan yang tepat pengobatan yang tepat sangat penting. Pengobatan

yang memuaskan hanya dapat diperoleh dari penilaian yang komprehensif dari

etiologi biologis dari rasa sakit dalam hubungannya dengan presentasi psikososial

dan perilaku spesifik pasien, termasuk keadaan emosional mereka (misalnya

kecemasan, depresi, dan kemarahan), persepsi dan dan pemahaman tentang gejala,

dan reaksi terhadap gejala tersebut oleh orang lain yang signifikan. Premis utama

adalah bahwa banyak faktor yang mempengaruhi gejala dan keterbatasan

fungsional individu dengan nyeri kronis. Oleh karena itu, diperlukan penilaian

yang komprehensif yang mencakup domain biomedis, psikososial, dan perilaku,

psikososial, dan domain perilaku, karena masing-masing berkontribusi terhadap

kronis dan kecacatan terkait.

1) Penilaian Komperhensif terhadap Pasien dengan Nyeri Kronis

Turk dan Meichenbaum menyarankan tiga pertanyaan utama yang dapat

memandu penilaian terhadap orang yang melaporkan rasa sakit:21

a) Seberapa parah penyakit atau cedera yang diderita pasien? (gangguan

fisik)?

b) Seberapa parah penyakitnya? Artinya, sejauh mana sejauh mana pasien

menderita, cacat, dan tidak dapat untuk menikmati kegiatan yang biasa

dilakukan?

c) Apakah perilaku individu tersebut tampak sesuai dengan penyakit atau

penyakit atau cedera, atau apakah ada bukti gejala yang penguatan untuk

27
salah satu dari berbagai alasan psikologis atau sosial (mis. manfaat seperti

perhatian positif, obat pengubah suasana hati, kompensasi finansial)?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, informasi harus dikumpulkan dari

pasien melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dikombinasikan dengan

dikombinasikan dengan wawancara klinis, dan melalui instrumen penilaian

standar. Penyedia layanan kesehatan perlu untuk mencari penyebab nyeri melalui

pemeriksaan fisik dan tes diagnostik sambil secara bersamaan menilai suasana

hati pasien, ketakutan, harapan, upaya penanganan, sumber daya, tanggapan orang

lain yang signifikan, dan dampak dari nyeri pada kehidupan pasien. 22 Karena tidak

ada 'termometer rasa sakit' yang dapat memberikan kuantifikasi yang obyektif

tentang tingkat atau tingkat keparahan nyeri yang dialami oleh pasien, hanya

dapat dinilai secara tidak langsung berdasarkan komunikasi terbuka pasien, baik

verbal maupun nonverbal.

2) Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan

Tujuan umum dari riwayat kesehatan dan evaluasi medis adalah untuk

menentukan perlunya pengujian diagnostik tambahan, menentukan apakah

diagnostik tambahan, menentukan apakah data medis dapat menjelaskan gejala

pasien, tingkat keparahan gejala, dan keterbatasan fungsional, membuat diagnosis

medis, mengevaluasi ketersediaan pengobatan yang tepat, menetapkan tujuan

pengobatan dan menentukan yang tepat untuk manajemen gejala jika

penyembuhan total tidak tidak memungkinkan.

a. Anamnesis

Selain pendekatan evaluasi medis standar ini, sebuah penilaian pasien

yang tepat memerlukan evaluasi berbagai faktor psikososial dan perilaku

28
yang mempengaruhi laporan subjektif dari karakteristik nyeri, yang dapat

dilakukan melalui wawancara. Gambar 6 merangkum masalah-masalah

penting ini dengan akronim 'ACT-UP' (Activity, Coping, Think, Upset,

People atau tanggapan orang lain) yang dapat digunakan sebagai panduan

untuk wawancara skrining singkat untuk dokter.

Gambar 6. Brief Psychosocial Screening : ACT-UP 21

Pasien dengan masalah nyeri kronis sering mengkonsumsi berbagai

macam obat.22 Penting untuk mendiskusikan obat yang sedang dikonsumsi

pasien selama wawancara, karena banyak obat nyeri yang dikaitkan dengan

efek samping yang dapat menyebabkan atau meniru tekanan emosional. 23

Penyedia layanan Kesehatan penyedia layanan kesehatan seharusnya tidak

hanya akrab dengan obat-obatan yang digunakan untuk nyeri kronis, tetapi

juga dengan efek samping dari obat yang mengakibatkan kelelahan, kesulitan

tidur, dan perubahan suasana hati untuk menghindari kesalahan diagnosis

depresi.24

b. Intensitas Nyeri

Paling umum digunakan adalah NRS yang meminta pasien untuk memberi

29
nilai nyeri khas pada skala dari 0 hingga 10 di mana 0 sama dengan tidak ada

rasa sakit dan 10 adalah rasa sakit terburuk yang dapat dibayangkan 20 dan

VRS yang menggunakan deskriptor verbal dan meminta pasien untuk pasien

untuk melaporkan 'Apakah tingkat nyeri yang biasa dirasakan adalah

"ringan", "sedang", atau "berat?".23

Faktor yang menyulitkan untuk penilaian adalah jenis informasi yang

diperoleh dapat bervariasi sangat tergantung pada detail kontekstual dari

pertanyaan. Secara khusus, pertimbangan harus diberikan pada tingkat tingkat

keparahan nyeri yang diminta untuk dinilai oleh pasien (misalnya, nyeri rata-

rata, dan nyeri paling parah), area nyeri (misalnya nyeri di lokasi tertentu vs

nyeri seluruh tubuh), keadaan (nyeri saat istirahat vs gerakan), dan kerangka

waktu bahwa pasien diminta untuk mengingat kembali untuk melaporkan rasa

sakit mereka (misalnya nyeri saat ini vs nyeri selama seminggu terakhir vs

nyeri selama bulan terakhir).

Penggunaan buku harian diyakini lebih akurat karena karena didasarkan

pada waktu nyata dan bukan ingatan. Pasien dapat diminta untuk membuat

catatan harian rutin tentang intensitas nyeri dengan peringkat yang dicatat

beberapa kali setiap hari (misalnya makan dan waktu tidur) selama beberapa

hari atau minggu dan beberapa nyeri peringkat nyeri dapat dirata-ratakan dari

waktu ke waktu.

G. Tatalaksana Farmakologis Nyeri menurut WHO

Terapi farmakologi merupakan terapi yang paling sering diberikan pada kasus

nyeri, obat-obatan yang dipakai adalah golongan analgesik. Secara umum,

kebijakan Worl Health Organization (WHO) merekomendasikan tatalaksana awal

30
nyeri dengan penggunaan non-opioid, seperti NSAID dan asetaminofen. Jika

nyeri masih dirasakan, maka direkomendasikan tata laksana dengan pemberian

opioid dosis rendah seperti kodein atau tramadol, tata laksana selanjutnya jika

nyeri tetap berlanjut maka penggunaan opioid dosis tinggi seperti morfin hingga

pasien tidak merasakan nyeri.11

Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah

OAINS, COX-2 inhibitors(coxib), analgetika opioid, dan analgetika adjuvan.

Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada

penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan

cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada

penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Prinsip

pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu

pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal.

Pada nyeri akut, harus dipilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan

kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai

dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan

sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh

keparahan nyeri.11,25 Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling

ringan sampai ke yang paling kuat tahapannya: 11

 Tahap I : analgesik non-opioid : NSAIDs + adjuvan (antidepresan)

 Tahap II : analgesik opioid lemah + NSAIDs + adjuvan

 Tahap III : analgesik opioid kuat + NSAIDs + adjuvan

Contoh adjuvan : antidepresan, antikonvulsan, agonis α2, dan lainnya.

Opioid sebagai terapi andalan seharusnya tidak diterapkan untuk semua nyeri

31
kronis kecuali nyeri kanker. Penerapan opioid pada tangga penatalaksanaaan nyeri

WHO sudah mengalami modifikasi sejauh ini. Menurut WHO yang merupakan

panduan penanganan farmakologi nyeri kanker, opioid adalah pendekatan lini

pertama untuk semua pasien dengan nyeri persisten sedang sampai berat.

Pedoman ini menunjukkan bahwa opioid dapat digunakan untuk sementara dalam

upaya untuk mengontrol rasa nyeri yang sangat parah, namun tidak digunakan

sebagai lini pertama untuk pengelolaan jangka panjang pada nyeri kronik non

kanker. Sebaliknya untuk nyeri kronik non kanker maka penggunaan jangka

panjang digunakan antidepresan trisiklik, penghambat ambilan kembali (re-

uptake) serotonin dan norepinefrin, gabapentinoid (yang memblokir saluran

kalsium), dan lidokain topikal. 11

Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic step ladder seperti pada

gambar.25

32
Gambar 7. WHO Step Ladder 25

33
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan terkait dengan kerusakan atau potensial kerusakan jaringan aktual.

Nyeri bersifat subjektif dan memiliki batas toleransi yang berbeda bagi tiap orang.

Berdasarkan durasi, nyeri dibagi menjadi nyeri akut dan kronik. Nyeri akut

didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan seseorang selama beberapa detik

sampai dengan 6 (enam) bulan sedangkan Nyeri kronis didefenisikan sebagai

nyeri yang menetap melampaui proses penyakit akut atau melebihi waktu

penyembuhan normal, biasanya berlangsung selama lebih dari 3-6 bulan atau

lebih. Nyeri akut dan kronik dapat dinilai dengan menggunakan beberapa

parameter yakni dengan skala esesmen nyeri tunggal (uni-dimensional) atau

multidimensi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Pain Management Guideline [Internet]. Health Care Association of New


Jersey; 2017 [cited 2023 Aug 26]. Available from:
https://www.hcanj.org/files/2013/09/hcanjbp_painmgmt2_3.pdf
2. Bahrudin M . Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika. 2017; 13(1), 7-
13.
3. Carl C Hug, Jr In: Pain Management (Clinical Anaesthesiology Third
Edition) Lange/McGraw-Hill 2019, 309 – 344
4. Stucky C.L, et al. Mechanism of Pain. Arnold and Mabel Beckman Center
of the National Academies of Science and Engineering in Irvine. 2018: 98
(21). 11845–1184
5. Kian DY. Efektifitas Pemberian Aromaterapi Lavender terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri pada Pasien Post Sectio Cesarea: metode Literature Review.
2021
6. Kyle V, Geoff PB, Lisa CC, dkk. The Revised IASP Definition of Pain and
Accompanying Notes: Considerations for the Physiotherapy Profession.
National Library of Medicine. 2021
7. Bambang SS, Lucas M, Sudadi. Buku Ajar Nyeri. Penerbit: Perkumpulan
Nyeri Indonesia. Yogyakarta. 2017.
8. Perry G, Fine and M.Ashburn. In: Functional Neuroanatomy and
Nociception (The Management of Pain) New York: Churchill Livingstone,
1998, 1 –16.
9. Fitzcharles MA, Shir Y. Management of Chronic Pain in The Rheumatic
Diseases With Insights for The Clinician. Ther Adv Musculoskelet Dis.
2011 Aug;3(4):179-90.
10. Woolf CJ, Mannion RJ. Neuropathic Pain: Aetiology, Symptoms,
Mechanisms, and Management. Lancet. 1999 Jun;353(9168):1959-64.
11. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Nyeri.
2019
12. Rizaldy TP. Pengkajian Nyeri. Penerbit: Betha Grafika;Yogyakarta. 2016.
13. Tanra AH, Musba AMT. Definisi, Mekanisme, dan Klasifikasi Nyeri. In :
Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, et al. Anestesiologi dan Terapi Intensif

35
Buku Teks KATI-PERDATIN. Jakarta : Gramedia; 2019 p 1114-1124 ]
14. Yaksh TL, Luo D. Pain Management. In : Waldman S, editor. Pain
Mangement. Edisi ke-2. Philadelphia : Elsevier; 2011
15. Liwang F, Yuswar P, Wijaya E, Sanjaya N. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II.
Jakarta: Media Aesculapius; 2020
16. Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.
17. Bieri D, Reeve RA, Champion CD, Addicoat L, Ziegler JB. The faces pain
scale for the self-assessment of the severity of pain experienced by children:
development, initial validation, and preliminary investigation for ratio scale
properties. Pain 1990;41:139-150
18. Merkel, S. et al. The FLACC: A Behavioural Scale for Scoring
Postoperative Pain in Young Children, Pediatric Nurse 23(3): 293-297,
1997. Copyright: Jannetti Co. University of Michigan Medical Centre.
19. Malviya, S., Vopel-Lewis, T. Burke, Merkel, S., Tait, A.R. (2006). The
revised FLACC Observational Pain Tool: Improved Reliability and Validity
for Pain Assessment in Children with Cognitive Impairment. (Pediatric
Anesthesia 16: 258-265).
20. Martha KS, Seven S, Anatasia H.Perbandingan Efektivitas Antara Critical-
Care Pain Observation Tool (CPOT) dengan Wong-Baker terhadap Skor
Nyeri Pasien di ICU. Penerbit: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
masyarakat Universitas Mohammad Husni Thamrin. 2021
21. Dansie EJ, Turk DC. Assessment of Patients with Chronic Pain. Br J
Anaesth. 2013 Jul;111(1):19-25. doi: 10.1093/bja/aet124. PMID: 23794641;
PMCID: PMC3841375
22. Turk DC, Robinson JP. Assessment of patients with chronic pain— a
comprehensive approach. In: Turk DC, Melzack R, eds. Handbook of Pain
Assessment, 3rd Edn. New York, NY: Guilford Press, 2011; 188–210
23. Fornasari D. The Appropriate Treatment of Chronic Pain. Clin Drug Invest
2012
24. Christo PJ, Grabow TS, Raja SN. Opioid Effectiveness, Addiction, and
Depression in Chronic Pain. Adv Psychosom Med 2004

36
25. Murdiyanto, Joko. Manajemen Nyeri Akut dan Nyeri Refrakter.
Http: //perawattegal.wordpress.com/tag/manajemen-nyeri/ . 2012

37

You might also like