You are on page 1of 41

Makalah tentang Komplikasi atau penyulit kehamilan pada Trimester I

dan Trimester II

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah : Asuhan Kebidanan pada Kasus kompleks
Dosen Pengajar : Nurul Azizah, S.Keb.,Bd.,M.Sc

Disusun oleh:

DIAN APRILIA (191520100010)


SEKARLITA NORMAULIDA (191590100012)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam kami
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kami yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti nantikan syafa’at nya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya , baik itu
berupa fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas mata kuliah Askeb Kesehatan Reproduksi dan Perimenaupose
denganjudul “Komplikasi atau penyulit kehamilan pada Trimester I dan Trimester II”

Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan didalamnya.Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih
baik lagi.Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami memohon
maaf yang sebesar besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima Kasih.

Sidoarjo, 4 Oktober 2020

penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak
konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan. Kehamilan, persalinan, nifas, bayi
baru lahir dan pemilihan alat kontrasepsi merupakan proses fisiologis dan
berkesinambungan. (Marmi, 2011:11). Dan tidak bisa di pungkiri bahwa masa kehamilan,
persalinan, masa nifas, bayi baru lahir hingga penggunaan kontrasepsi, wanita akan
mengalami berbagai masalah kesehatan. Agar kehamilan, persalinan serta masa nifas
seorang ibu berjalan normal, ibu membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik. Untuk
peraturan pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi menyatakan
bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan untuk mencapai hidup
sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi
Angka Kematian Ibu (Bandiyah, 2009). Pelayanan kesehatan tersebut sangat dibutuhkan
selama periode ini. Karena pelayanan asuhan kebidanan yang bersifat berkelanjutan
(continuity of care) saat di memang sangat penting untuk ibu. Dan dengan asuhan
kebidanan tersebut tenaga kesehatan seperti bidan, dapat memantau dan memastikan
kondisi ibu dari masa kehamilan, bersalin, serta sampai masa nifas.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sendiri masih sangat tinggi jika di
bandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2015 jumlah AKI di Indonesia sebanyak 305/100.000
KH (Direktorat Kesehatan Keluarga, 2016). Kematian Ibu maternal paling banyak adalah
sewaktu bersalin sebesar (49,5%), kematian waktu hamil (26%) pada waktu nifas (24%)
(Kementrian Kesehatan RI, 2012). Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun
2015 di Indonesia sebanyak 22,23/1000 KH (Direktorat Kesehatan Keluarga, 2016).
Kematian neonatal paling banyak asfiksia (51%), BBLR (42,9%), SC (18,9%), prematur
(33,3%), kelainan kongenital (2,8%) dan sepsi (12%) (Riskerdas, 2015). Data provinsi
Jawa Timur sendiri untuk tiga tahun terakhir cenderung menurun. Hal ini bisa di pahami
mengingat selama ini sudah dilakukan dukungan beberapa program dari provinsi ke
kabupaten/kota berupa beberapa fasilitas yang baik dari segi manajemen program KIA
maupun pencatatan maupun pelaporan, peningkatan ketrampilan dari petugas di lapangan
sendiri serta melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaan program KIA.
Berdasarkan data di atas masih banyak masalah yang terjadi pada proses kehamilan
sampai dengan keluarga berencana, penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia
sendiri dikarenakan beberapa factor, salah satunya adalah tidak dilakukannya asuhan
secara berkesinambungan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi pada
ibu dan bayi, komplikasi yang tidak ditangani ini menyebabkan kematian yang
berkontribusi terhadap peningkatannya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB). Untuk penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia pada ibu hamil
sendiri adalah komplikasi, dan yang terjadi adalah anemia dalam kehamilan, tekanan
darah tinggi/hiprtensi dalam kehamilan (preeklamsia/eklamsia), aborsi dan janin mati
dalam rahim, ketuban pecah dini serta adanya penyakit yang tidak diketahui sehingga
dapat mengangu proses kehamilan (Manuaba, 2012:227-281).

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks anemia pada
kehamilan?
2. Bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks hiperemesis pada
kehamilan ?
3. Bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks abortus pada
kehamilan?
4. Bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks blighted ovum pada
kehamilan?
5. Bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks kehamilan ektopik
dan kehamilan ektopik terganggu pada kehamilan?
6. Bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks mola hidatosa pada
kehamilan?

1.3 Tujuan masalah


1. Untuk mengetahui bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks
anemia pada kehamilan
2. Untuk mengetahui bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks
hiperemesis pada kehamilan
3. Untuk mengetahui bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks
abortus pada kehamilan
4. untuk mengetahui bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks
blighted ovum pada kehamilan
5. untuk mengetahui bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks
kehamilan ektopik dan kehamilan ektopik terganggu pada kehamilan
6. untuk mengetahui bagaimana pengkajian asuhan dengan kebutuhan kasus kompleks
mola hidatosa pada kehamilan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANEMIA

A. Pengertian

Pengertian Kehamilan Kehamilan merupakan adalah mata rantai yang


berkesinambungan dan melalui proses ovulasi, migrasi spermatozoa menuju ovum,
konsepsi dan pertumbuhan zigot, nidasi (implantasi) pada uterus, pembentukan
plasenta dan tumbuh kembang hasil konsepsi sampai waktunya dilahirkan. Kehamilan
dibagi menjadi tiga triwulan, yaitu triwulan pertama yaitu usia 0 sampai 12 minggu
pertama, triwulan kedua 13 minggu sampai 28 minggu, dan triwulan ketiga 29
minggu sampai 42 minggu (Manuaba, 2012) . Kehamilan diiringi dengan perubahan
tubuh, baik secara anatomis, fisiologis, maupun biokimiawi. Ibu hamil mengalami
peningkatan kebutuhan zat besi pada masa kehamilan. Peningkatan kebutuhan ini
untuk memenuhi kebutuhan janin guna bertumbuh karena pada pertumbuhan janin
memerlukan zat besi, pertumbuhan plasenta dan peningkatan volume darah ibu.
Kebutuhan zat besi selama trimester I atau pada 3 bulan awal kehamilan relatif sedikit
yaitu 0,8 mg/hari, kemudian mengalami meningkatan selama trimester II dan III, yaitu
6,3 mg/hari (Arisman, 2010). Selama kehamilan, wanita hamil mengalami
peningkatan plasma darah hingga 30%, sel darah 18%, tetapi Hb hanya 9 Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta 10 bertambah 19%. Sehingga frekuensi anemia pada
kehamilan cukup tinggi (Irianto, 2014).

Anemia merupakan suatu keadaan saat jumlah sel darah merah atau
konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah Hemoglobin (Hb) tidak mencukupi
untuk seluruh kebutuhan fisiologis tubuh (Kemenkes RI, 2013). Menurut Adriyani
(2012) anemia diartikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah
lebih rendah atau lebih kecil daripada nilai normal untuk kelompok orang menurut
umur dan jenis kelamin. Anemia gizi adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin
darah yang lebih rendah daripada normal karena ketidakmampuan jaringan
pembentuk sel darah merah dalam produksinya untuk mempertahankan kadar atau
jumlah hemoglobin pada tingkat normal. Anemia gizi besi adalah anemia yang
disebabkan oleh kekurangan zat besi sehingga pembentukan sel-sel darah merah dan
fungsi lain dalam tubuh terganggu.
B. Etiologi anemia
Etiologi anemia pada ibu hamil Menurut Irianto (2014) etiologi anemia pada
kehamilan merupakan gangguan pencernaan dan absorpsi, hipervolemia, yang dapat
menyebabkan terjadinya pengenceran darah, kebutuhan zat besi meningkat, dan
kurangnya zat besi dalam makanan, serta pertambahan darah tidak sebanding dengan
pertambahan plasma

C. Klasifikasi anemia
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menunjukkan status anemia ibu
hamil didasarkan pada kriteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori,
yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-9 gr/dl) dan anemia berat (<8 gr/dl). Untuk
menentukan apakah seseorang menderita anemia atau tidak, umumnya digunakan
nilai-nilai normal yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.736a/Menkes/XI/1989, yaitu nilai batas normal hemoglobin bagi ibu hamil yaitu
≥11 g/dl. Jika kadar hemoglobin (Hb) turun di batas nilai normal, maka akan
menimbulkan anemia (Depkes RI, 2008). Ibu hamil dikatakan anemia apabila kadar
hemoglobin (Hb) dibawah 11,0 g/dl (Kemenkes RI, 2013)

D. Patofisiologi anemia
Patofisiologi Anemia dalam Kehamilan Pengenceran darah (hemodilusi) pada
ibu hamil sering terjadi dengan peningkatan volume plasma 30%-40%, peningkatan
sel darah merah 18%-30% dan hemoglobin 19%, secara fisiologi hemodilusi
membantu meringankan kerja jantung. Hemodilusi terjadi sejak kehamilan 10 minggu
dan mencapai maksimum pada usia kehamilan 24 minggu atau trimester II dan terus
meningkat hingga usia kehamilan di trimester ke III (Reeder, dkk, 2014).
Anemia pada ibu hamil dapat berdampak terganggunya kesehatan pada ibu
hamil maupun janin yang sedang dikandungnya. Permasalahan kesehatan pada janin
dan ibu hamil dari dampak anemia dapat berupa abortus, persalinan prematur, infeksi,
dan perdarahan saat persalinan. Bahaya lainnya dapat menimbulkan resiko terjadinya
kematian intrauteri, abortus, berat badan lahir rendah, resiko terjadinya cacat bawaan,
peningkatan resiko infeksi pada bayi hingga kematian perinatal atau tingkat
intilegensi bayi rendah (Pratami, 2016).
E. Faktor-faktor penyebab anemia pada ibu hamil
1. Faktor dasar
 Sosial dan ekonomi Kondisi lingkungan sosial sangat berkaitan dengan kondisi
ekonomi di suatu daerah dan menentukan pola konsumsi makanan dan gizi yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Misalnya, kondisi sosial di pedesaan dan
perkotaan memiliki pola konsumsi makanan dan gizi yang berbeda pula.
Kondisi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 14 ekonomi seseorang sangat
menentukan dalam penyediaan makanan dan kualitas gizi. Semakin tinggi
tingkat perekonomian seseorang, maka kemungkinan akan semakin baik status
gizinya dan sebalinya (Irianto, 2014).
 Pengetahuan Ibu hamil yang memiliki tingkat pengetahuan rendah berisiko
mengalami defisiensi zat besi, jadi tingkat pengetahuan yang kurang tentang
defisiensi zat besi akan memberi pengaruh pada ibu hamil dalam berperilaku
kesehatan dan dapat berakibat pada kurangnya konsumsi makanan yang
mengandung zat besi dikarenakan ketidaktahuannya dan dapat berakibat anemia
pada ibu hamil (Wati, 2016).
 Pendidikan Tingkat pendidikan yang baik akan diikuti kemudahan dalam
memahami pengetahuan tentang kesehatan. Sedangkan rendahnya tingkat
pendidikan yang dimiliki seorang ibu hamil dapat menyebabkan keterbatasan
dalam upaya menangani masalah gizi dan kesehatan keluarga (Nurhidayati,
2013).
 Budaya Larangan memakan jenis makanan tertentu, berhubungan dengan
makanan yang dilarang atau tidak boleh dimakan, dan banyaknya pola
pantangan terhadap makanan tertentu. Tahayul dan larangan yang beragam yang
didasarkan kepada kebudayaan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 15 dan adat
adat yang beragam di setiap daerah di dunia ini, misalnya pada ibu hamil, ada
sebagian masyarakatyang masih percaya ibu hamil tidak boleh makan ikan,
tidak boleh makan telur dan jenis makanan lainnya (Ariyani, 2016).

2. Faktor tidak langsung


 Frekuensi Antenatal Care (ANC) Antenatal Care (ANC) merupakan suatu
pelayanan yang diberikan oleh perawat kepada wanita selama hamil, misalnya
dengan pemantauan kesehatan secara fisik, psikologis, termasuk pertumbuhan
dan perkembangan janin serta mempersiapkan proses persalinan dan kelahiran
supaya ibu siap mengahadapi peran baru sebagai orangtua (Wagiyo & Putrono,
2016). Menurut Rukiah & Yulianti (2014) mendefinisikan bahwa pemeriksaan
kehamilan merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan untuk memeriksa
keadaan ibu dan janin secara berkala yang diikuti dengan upaya koreksi
terhadap penyimpangan yang ditemukan. Tujuan pemeriksaan kehamilan untuk
memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal yang
berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan
selamat, melahirkan bayi yang sehat pelayanan antenatal yang terpadu,
komprehensif, serta berkualitas, memberikan konseling kesehatan dan gizi ibu
hamil, konseling Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 16 KB dan pemberian ASI,
meminimalkan “missed opportunity” pada ibu hamil untuk mendapatkan
pelayanan antenatal terpadu, komprehensif dan berkualitas, mendeteksi secara
dini adanya kelainan atau penyakit yang diderita ibu hamil, dapat melakukan
intervensi yang tepat tehadap kelainan atau penyakit sedini mungkin pada ibu
hamil dapat melakukan rujukan kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan sesuai
dengan sistem rujukan yang sudah ada. Selain itu pemeriksaan kehamilan atau
antenatal care juga dapat dijadikan sebagai ajang promosi kesehatan dan
pendidikan tentang kehamilan, persalinan, dan persiapan menjadi orang tua
(Novita, 2011).
 Paritas
Paritas ibu merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan anak hidup atau mati,
tetapi bukan aborsi terjadi secara alamiah (Nurhidayati, 2013). semakin sering
seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan atau jarak kelahiran
terlalu dekat maka semakin banyak kehilangan zat besi dan semakin besar
kemungkinan mengalami anemia (Fatkhiyah, 2018).
 Umur ibu
Umur ibu yang ideal dalam kehamilan yaitu antara umur 20-35 tahun dan pada
umur tersebut resiko komplikasi kehamilan dapat dihindari, memiliki reproduksi
yang sehat, kondisi biologis dan psikologis dari ibu hamil sudah matang.
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 17 Sebaliknya pada umur < 20 tahun beresiko
anemia karena pada kelompok umur tersebut perkembangan bilogis yaitu
reproduksi belum optimal atau belum matang sepenuhnya. disisilain, kehamilan
pada usia diatas 35 tahun merupakan kehamilan yang beresiko tinggi. Wanita
hamil dengan umur diatas 35 tahun juga akan rentan mengalami anemia. Hal ini
menyebabkan daya tahan tubuh mulai menurun pada usia 35 tahun keatas dan
mudah terkena berbagai infeksi selama masa kehamilan (Fatkhiyah, 2018).
 Dukungan suami Dukungan secara informasi dan emosional merupakan peran
penting seorang suami, dukungan secara informasi yaitu membantu individu
untuk menemukan alternative yang ada bagi penyelesaian masalah, misalnya
menghadapi masalah ketika istri menemui kesulitan selama hamil, suami dapat
memberikan informasi berupa saran, petunjuk, pemberian nasihat, mencari
informasi lain yang bersumber dari media cetak/elektronik, dan juga tenaga
kesehatan; bidan, perawat dan dokter. Dukungan secara emosional adalah
kepedulian dan empati yang diberikan oleh orang lain atau suami yang dapat
meyakinkan ibu hamil bahwa dirinya diperhatikan yang membawa dorongan
positif (Anjarwati, 2016). Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 18

3. Faktor langsung
 Pola konsumsi Kejadian anemia sangat erat jika dihubungkan dengan pola konsumsi
yang rendah kandungan zat besinya serta makanan yang dapat memperlancar dan
menghambat absorbsi zat besi (Bulkis, 2013).
 Infeksi Beberapa infeksi penyakit menyebabkan risiko anemia. Infeksi itu umumnya
adalah TBC, malaria, dan cacingan, karena menyebabkan terjadinya peningkatan
penghancuran sel darah merah dan terganggunya eritrosit. Cacingan sangat jarang
menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya karena cacing menyerap kandungan makanan. Infeksi cacing akan
menyebabkan malnutrisi dan dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi pada ibu
hamil. Infeksi yang disebabkan penyakit malaria dapat menyebabkan anemia
(Nurhidayati, 2013).
 Pendarahan Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
pendarahan akut bahkan keduanya saling berinteraksi satu sama lain. Pendarahan
menyebabkan banyak unsur besi yang hilang keluar bersama darah sehinggga dapat
berakibat pada anemia menurut (Bulkis, 2013).

F. Tanda gejala
Pada umumnya telah disepakati bahwa tanda-tanda anemia akan jelas apabila kadar
hemoglobin (Hb) >7 gr/dl. Gejala anemia dapat berupa kepala pusing, palpitasi,
berkunang-kunang, pucat, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem
neuromuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia, kurang nafsu makan, menurunnya
kebugaran tubuh, gangguan penyembuhan luka, dan pembesaran kelenjar limpa
(Irianto, 2014)

G. Kesakitan dan kematian


Anemia menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani ibu hamil karena sel-sel
tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan proses persalinan. Risiko
kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi saat lahir rendah, dan angka
kematian perinatal meningkat. Disamping itu, perdarahan antepartum dan postpartum
lebih sering dijumpai pada wanita yang anemia dan lebih sering berakibat fatal sebab
wanita yang anemia tidak dapat mentolerir kehilangan darah pada saat persalinan.
Dampak anemia pada kehamilan bervariasi dimulai dari keluhan yang sangat
ringan hingga terjadinya kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur,
gangguan proses persalinan (perdarahan), gangguan masa nifas (daya tahan terhadap
infeksi dan stres kurang produksi ASI rendah sehinggabayi kurang asi), dan gangguan
pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, cacat bawaan, BBLR, kematian
perinatal, dan lain-lain) (Irianto, 2014)

H. Penanganan anemia
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang
dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat
diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti daging
sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam
dan kangkung, buncis, kacang polong, serta kacang-kacangan. Selain itu, diimbangi
dengan pola makan sehat dengan mengonsumsi vitamin serta suplemen penambah zat
besi untuk hasil yang maksimal (Irianto, 2014). Menurut Arisman (2010), pencegahan
anemia defisiensi zat besi dapat dilakukan dengan 4 pendekatan yaitu:
1. Pemberian tablet atau suntikan zat besi
2. Pendidikan dan upaya yang ada kaitannya dengan peningkatan asupan zat besi melalui
makanan
3. Pengawasan penyakit infeksi
4. Fortifikasi makanan pokok dengan zat besi

2.2 Hiperemesis Gravidarum

A. Pengertian
Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita hamil
sampai mengganggu aktifitas sehari-hari karena keadaan umum pasien yang buruk
akibat dehidrasi. Mual dan muntah adalah gejala yang umum dan wajar terjadi pada
usia kehamilan trimester I. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, akan tetapi dapat
juga timbul setiap saat dan pada malam hari. Gejala-gejala ini biasanya terjadi 6
minggu setelah hari pertama haid terakhir dan berlangsung selama kurang lebih 10
minggu.

B. Epidemiologi hyperemesis gravidarum

Penelitian-penelitian memperkirakan bahwa mual dan muntah terjadi pada 50-


90% dari kehamilan. Mual dan muntah terjadi pada 60-80% primi gravida dan 40-
60% multi gravida. Dari seluruh kehamilan yang terjadi di Amerika Serikat 0,3-2%
diantaranya mengalami hiperemesis gravidarum atau kurang lebih lima dari 1000
kehamilan. Mual dan muntah yang berkaitan dengan kehamilan biasanya dimulai pada
usia kehamilan 9- 10 minggu, puncaknya pada usia kehamilan 11-13 minggu, dan
sembuh pada kebanyakan kasus pada umur kehamilan 12-14 minggu. Dalam 1-10%
dari kehamilan, gejala-gejala dapat berlanjut melampaui 20-22 minggu. Kejadian
hiperemesis dapat berulang pada wanita hamil. J. Fitzgerald (1938-1953) melakukan
studi terhadap 159 wanita hamil di Aberdeen, Skotlandia, menemukan bahwa
hiperemesis pada kehamilan pertama merupakan faktor risiko untuk terjadinya
hiperemesis pada kehamilan berikutnya. Berdasarkan penelitian, dari 56 wanita yang
kembali hamil, 27 diantaranya mengalami hiperemesis pada kehamilan kedua dan 7
dari 19 wanita mengalami hiperemesis pada kehamilan ketiga.

C. Etiologi hyperemesis gravidarum

Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Berdasarkan


hasil penelitian yang dilakukan pada 1.301 kasus hiperemesis gravidarum di Canada
diketahui beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum
diantaranya komplikasi dari kelainan hipertiroid, gangguan psikiatri, kelainan
gastrointestinal, dan diabetes pregestasional. Tidak ada bukti bahwa penyakit ini
disebabkan oleh faktor toksik, juga tidak ditemukan kelainan biokimia.1-4 Beberapa
faktor predisposisi dan faktor lain yang telah ditemukan adalah sebagai berikut:
1. Primigravida, mola hidatidosa, dan kehamilan ganda. Pada mola hidatidosa dan
kehamilan ganda, faktor hormon memegang peranan dimana hormon khorionik
gonadotropin dibentuk berlebihan.
2. Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat
hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu terhadap perubahan tersebut.
3. Alergi, sebagai salah satu respons dari jaringan ibu terhadap anak.
4. Faktor psikologis Faktor psikologis seperti depresi, gangguan psikiatri, rumah
tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan,
takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, tidak siap untuk menerima kehamilan
memegang peranan yang cukup penting dalam menimbulkan hiperemesis
gravidarum.

Menurut Goodwin, dkk. (1994) dan Van de Ven (1997), hiperemesis


nampaknya terkait dengan tingginya atau peningkatan bertahap kadar hormon
korionik gonadotropin, estrogen atau kadar keduanya di dalam serum. Selain itu,
pada beberapa kasus yang berat mungkin terkait dengan faktor psikologis. Namun
adanya hubungan dengan serum positif terhadap Helicobacter pylori sebagai
penyebab ulkus peptikum tidak dapat dibuktikan oleh beberapa peneliti.

D. Klasifikasi Hyperemesis gravidarum


Runiari menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas antara mual yang
bersifat fisiologis dengan hiperemesis gravidarum, tetapi bila keadaan umum ibu
hamil terpengaruh sebaiknya dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Menurut
berat ringannya gejala hiperemesis gravidarum dapat dibagi kedalam tiga tingkatan
sebagai berikut :
1. Tingkat I Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum. Pada
tingkatan ini ibu hamil merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun
dan merasa nyeri pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 kali per menit,
tekanan darah sistolik menurun, dapat disertai peningkatan suhu tubuh, turgor kulit
berkurang, lidah kering dan mata cekung.
2. Tingkat II Ibu hamil tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun,
lidah kering dan tampak kotor, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun, suhu
kadang-kadang naik, mata cekung dan sedikit ikterus, berat badan turun,
hemokonsentrasi, oligouria, dan konstipasi. Aseton dapat tercium dari hawa
pernapasan karena mempunyai aroma yang khas, dan dapat pula ditemukan dalam
urine.
3. Tingkat III Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun dari
somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, serta suhu
meningkat. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai
wenickle ensefalopati. Gejala yang dapat timbul seperti nistagmus, diplopia, dan
perubahan mental, keadaan ini adalah akibat sangat kekurangan zat makanan,
termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus menunjukkan terjadinya payah
hati. Pada tingkatan ini juga terjadi perdarahan dari esofagus, lambung, dan retina

E. Patofisiologi hyperemesis gravidarum

Patofisiologi dasar hiperemesis gravidarum hingga saat ini masih


kontroversial. Hiperemesis gravidarum dapat menyebabkan cadangan karbohidrat dan
lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tidak
sempurna, maka terjadilah ketosis dengan tertimbunya asam aseton asetik, asam
hidroksi butirik, dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan
kehilangan cairan akibat muntah akan menyababkan dehidrasi, sehingga cairan ekstra
vaskuler dan plasma akan berkurang. Natrium dan khlorida darah turun, demikian
juga dengan klorida urine. Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi,
sehigga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan zat makanan dan
oksigen ke jaringan berkurang dan tertimbunya zat metabolik dan toksik. Kekurangan
kalium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal,
meningkatkan frekuensi muntah yang lebih banyak, merusak hati, sehigga
memperberat keadaan penderita

F. Penanganan hyperemesis gravidarum


Makanan yang berlemak tetaplah dilarang untuk pasien hiperemesis
gravidarum karena pada umumnya dapat menyebabkan mual. Makanan ini diselingi
oleh makanan kecil berupa biskuit, roti kering dengan teh, sebelum bangun tidur, pada
siang hari dan sebelum tidur (Pudiastuti, 2014: 189-191). Memberikan obat untuk
pasien hiperemesis gravidarum sebaiknya berkonsultasi dengan dokter, sehingga
dapat dipilih obat yang tidak bersifat teratogenik (dapat menyebabkan kelainan
kongenital – cacat bawaan bayi). Komponen (susunan obat) yang dapat diberikan
adalah:
 Sedatif ringan (Fenobarbital [luminal] 30 mg, Valium)
 Antialergi (AntiHistamin, Dramamin, Avomin)
 Obat antimual-muntah (Mediamer B6, Emetrole, Stimetil, Avopreg)
2.3 Abortus
A. Pengertian
Pengertian Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin mencapapai
berat 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu.Menurut WHO dan
VIGO dikatakan abortus jika usia kehamilan kurang dari 20-22 minggu. Abortus
selama kehamilan terjadi 15-20 % dengan 80% diantaranya terjadi pada trimester
pertama (≤13 minggu) dan sangat sedikit terjadi pada trimester kedua.(Salim dalam
Jurcovic,2011). Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat
tertentu).Padakehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum
mampu untuk hidup diluar kandungan dengan berat badan janin kurang dari 500
gram.(Prawirohardjo, dalam Asuhan Kompleks Maternal& Neonatal 2018).

B. Klasifikasi
 Berdasarkan pelaksananya dibagi menjadi :
1. Keguguran terapeutik (abortus therapeuticus) Abortus terapeutik adalah
terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin mampu hidup
(viabel) dan hampir 60% abortus terapeutik dilakukan sebelum usia gestasi 8
minggu, dan 88% sebelum minggu ke-12 kehamilan (Handono, 2009).
2. Keguguran buatan illegal (abortus provocatus criminalis) Penguguran
kehamilan tanpa alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum
(Prawirohardjo, 2008).

 Berdasarkan kejadian dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Abortus buatan Merupakan tindakan abortus yang sengaja dilakukan sehingga
kehamilan dapat diakhiri. Upaya menghilangkan hasil konsepsi dapat dilakukan
berdasarkan :
 Indikasi medis Menghilangkan kehamilan atas indikasi ibu untuk dapat
menyelamatkan jiwanya. Indikasi medis tersebut di antaranya penyakit
jantung, ginjal atau hati yang berat, gangguan jiwa ibu dengan dijumpai
kelainan bawaan berat dengan pemeriksaan ultrasonografi dan gangguan
pertumbuhan perkembangan dalam rahim.
 Indikasi sosial Pengguguran kandungan dilakukan atas dasar aspek sosial
seperti menginginkan jenis kelamin tertentu, tidak ingin punya anak, jarak
kehamilan terlalu pendek, belum siap untuk hamil, kehamilan yang tidak
diinginkan (Manuaba, 2010).
2. Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan
uterus (Handono, 2009). Penghentian kehamilan sebelum umur 20 minggu
kehamilan lengkap dengan berat janin mati kurang lebih 500 gram.
Usiakehamilan dapat mempengaruhi kejadian abortus spontan dimana sekitar
75% abortus terjadi sebelum usia 16 minggu dan kira-kira 60% terjadi sebelum
12 minggu. Paling sedikit 80% dari seluruh kehamilan berakhir secara spontan
sebelum wanita yang bersangkutan atau tenaga kesehatan menyadari adanya
kehamilan (Benson dan Pernoll, 2009).

 Berdasarkan gambaran klinis, abortus spontan dibagi menjadi :


1. Keguguran mengancam (abortus imminens) Perdarahan intrauterine pada
umur kurang dari 20 minggu kehamilan lengkap dengan atau tanpa kontraksi
uterus tanpa dilatasi serviks dan tanpa pengeluaran hasil konsepsi.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi harus diperlihatkan adanya janin yang
menunjukkan tanda-tanda kehidupan misalnya adanya denyut jantung atau
gerakan janin. Pada abortus imminens ini hasil kehamilan yang belum viabel
berada dalam bahaya tetapi kehamilan terus berlanjut (Benson dan Pernoll,
2009).
2. Keguguran tak terhalangi (abortus insipiens) Merupakan perdarahan
intrauterine sebelum kehamilan lengkap 20 minggu dengan dilatasi serviks
berlanjut tetapi tanpa pengeluaran hasil konsepsi. Pada abortus insipiens,
kemungkinan terjadi pengeluaran sebagian atau seluruh hasilkonsepsi dengan
cepat. Dapat dianggap abortus insipiens jika ada dua atau lebih tanda-tanda
berikut :
 Penipisan serviks derajat sedang
 Dilatasi serviks kurang dari 3 cm.
 Pecah selaput ketuban
 Perdarahan lebih dari 7 hari
 Kram menetap meskipun diberikan analgesik.
 Tanda-tanda penghentian kehamilan (misalnya, ada mistalgia)
3. Keguguran tidak lengkap (abortus inkompletus) Abortus yang terjadi sebelum
usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama. Bila
kehamilan lebih besar akan terjadi sisa kehamilan. Perdarahan pervaginam
adalah gejala awal, bila jaringan plasenta tertahan perlu dilakukan tindakan
digital atau kuretase. Bila terjadi perdarahan masif dapat terjadi syok
hipovolemik (Handono, 2009)
4. Keguguran lengkap (abortus kompletus) Pengeluaran semua hasil konsepsi
dengan umur kurang dari 20 minggu kehamilan lengkap. Seluruh hasil
konsepsi sudah keluar dan rasa sakit berhenti tetapi perdarahan bercak akan
menetap selama beberapa hari.
5. Keguguran berulang (abortus habitualis) Abortus spontan yang terjadi
berturut-turut sebanyak tiga kali atau lebih tanpa diketahui sebab yang jelas.
Penyebab terjadinya abortus habitualis berkaitan dengan penyebab umum
seperti faktor genetik, faktor hormonal, faktor plasenta, dan faktor infeksi. Dan
dugaan penyebab khusus yaitu adanya serviks yang inkompeten dan terdapat
reaksi immunologis (Manuaba, 2010)
6. Keguguran dengan infeksi (abortus infeksiosa) Akibat tindakan abortus
provokatus kriminalis oleh tenaga yang tidak terlatih atau dukun. Sebagian
besar dalam bentuk tidak lengkap dan dilakukan dengan cara tidak legeartis.
Keguguran dengan infeksi memerlukan tindakan medis khusus (Manuaba,
2010).
7. Keguguran tertunda (missed abortion) Terhentinya proses kehamilan muda
pada embrio atau janin berumur kurang dari 20 minggu tetapi hasil konsepsi
tertahan dalam rahim selama lebih dari 6-8 minggu. Rasa sakit dan nyeri tekan
tidak dirasakan oleh ibu hamil, serviks agak kaku dan sedikit terbuka, uterus
mengecil dan melunak secara irregular. Komplikasi dapat terjadi pada missed
abortus seperti gangguan pembekuan darah karena intravaskuler koagulasi
yang diikuti hemolisis sehingga terjadinya penurunan fibrinogen sampai
bahaya perdarahan spontan. Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)
Kehamilan yang patologi dimana mudigah dan kantong kuning telur tidak
terbentuk sejak awal kehamilan namun kantong gestasi tetap terbentuk.
Kelainan ini merupakan kehamilan yang dapat berkembang walaupun tidak
ada janin di dalamnya. Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi abortus
spontan.
C. Faktor penyebab
Penyebab abortus disebabkan oleh berbagai faktor baik dari faktor janin, faktor ibu,
dan faktor ayah.
1. Faktor janin
Faktor janin merupakan penyebab yang sering terjadi pada abortus spontan.
Kelainan yang menyebabkan abortus spontan tersebut yaitu kelainan telur (blighted
ovum), kerusakan embrio dengan adanya kelainan kromosom, dan abnormalitas
pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas) (Rahmani, 2014).
2. Faktor ibu Faktor yang menyebabkan abortus terbagi menjadi faktor internal dan
faktor eksternal, yaitu :
a. Faktor Internal
 Usia
Berdasarkan teori Prawirohardjo (2008) pada kehamilan usia muda
keadaan ibu masih labil dan belum siap mental untuk menerima
kehamilannya. Akibatnya, selain tidak ada persiapan, kehamilannya tidak
dipelihara dengan baik. Kondisi ini menyebabkan ibu menjadi stress. Akan
meningkatkan resiko terjadinya abortus. Kejadian abortus berdasarkan usia
42,9% terjadi pada kelompok usia di atas 35 tahun, kemudian diikuti usia 30
sampai dengan 34 tahun dan antara 25 sampai dengan 29 tahun. Hal ini
disebabkan usia diatas 35 tahun secara medik merupakan usia yang rawan
untuk kehamilan. selain itu, ibu cenderung memberi perhatian yang kurang
terhadap kehamilannya dikarenakan sudah mengalami kehamilan lebih dari
sekali dan tidak bermasalah pada kehamilan sebelumnya. Menurut Kenneth
J. Leveno et al (2009) dalam Prawirohardjo (2008) pada usia 35 tahun atau
lebih, kesehatan ibu sudah menurun. Akibatnya, ibu hamil pada usia itu
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak prematur,
persalinan lama, perdarahan, dan abortus. Abortus spontan yang secara klinis
terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita usia kurang dari 20 tahun dan
menjadi 26% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
 Paritas
Pada kehamilan, rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu
sering melahirkan, rahim akan semakin lemah. Bila ibu telah melahirkan 4
anak atau lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu
kehamilan, persalinan dan nifas. Risiko abortus spontan meningkat seiring
dengan paritas ibu
 Jarak kehamilan
Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun,
rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan
ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan pertumbuhan janin kurang
baik, mengalami persalinan yang lama, atau perdarahan (abortus). Insidensi
abortus pada wanita yang hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan aterm
 Riwayat abortus sebelumnya
Menurut Prawirohardjo (2009) riwayat abortus pada penderita abortus
merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3-
5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus
pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila
pernah 2 kali maka risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi
menyatakan risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30-45%.
 Faktor genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip
embrio yang merupakan kelainan sitogenik berupa aneuploidi yang
disebabkan oleh kejadian sporadis dari fertilitas abnormal. Sebagian dari
kejadian abortus pada trimester pertama berupa trisomi autosom yang timbul
selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Insiden trisomi
ini dapat meningkat dengan bertambahnya usia dimana risiko ibu terkena
aneuploidi diatas 35 tahun. Selain dari struktur kromosom atau gen abnormal,
gangguan jaringan konektif lainnya misalnya Sindroma Marfan dan ibu
dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus (Prawirohardjo,
2008).
 Faktor anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, dan malpresentasi janin.
Kelainan anatomik uterus lainnya seperti septum uterus dan uterus bikornis.
Mioma uteri dapat menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang dan
Sindroma Asherman juga dapat menyebabkan gangguan tempat implantasi
serta pasokan darah pada permukaan endometrium.
 Faktor immunologis
Dalam faktor immunologis ada dua jenis faktor yang mempengaruhi
terjadinya abortus khususnya pada kejadian abortus berulang. Faktor dengan
penyebab autoimun yaitu antibodi dengan fosfolipid bermuatan negatif yang
terdeteksi sebagai antikoagulan lupus dan antibodi antifosfolipid yang
banyak terjadi pada abortus berulang. Antikoagulan lupus yaitu imunoglobin
yang mengganggu satu atau lebih dari beberapa uji koagulasi dependen
fosfolipid in vitro yang biasanya untuk kriteria diagnostik penyakit lupus.
Antibodi antifosfolipid adalah antibodi yang didapat untuk ditujukan pada
suatu fosfolipid yang melibatkan trombosis dan infark plasenta.
 Faktor infeksi
Penyakit yang diakibatkan oleh penularan virus atau bakteri yang
berdampak pada janin atau unit fetoplasenta seperti infeksi kronis
endometrium, amnionitis, infeksi organ genetalia, dan HIV (Human
immunodeficiency virus).
 Faktor penyakit debilitas kronik
Penyakit kronik yang timbul saat atau sebelum kehamilan dapat
menyebabkan abortus seperti tuberkulosis, karsinomatosis, hipertensi dan
sindroma malabsorbsi.
 Faktor hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi
yang baik pada sistem pengaturan hormon maternal. Sistem hormonal ibu
hamil yang perlu diperhatikan terutama setelah konsepsi yaitu kadar
progesteron, fase luteal dan kadar insulin. Kadar progesteron ibu yang rendah
dapat berisiko abortus karena progesteron berperan dalam reseptivitas
endometrium terhadap implantasi embrio.
 Faktor hematologik
Pada kasus abortus berulang yang ditandai defek plasentasi dan adanya
mikroorganisme pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio,
invasi trofoblas, dan plasentasi. Penyakit trombofilia herediter juga
berpengaruh terhadap terjadinya abortus.
 Serviks inkompeten
Merupakan kelainan yang ditandai adanya pembukaan serviks tanpa rasa
nyeri pada trimester kedua atau awal trimester tiga yang disertai prolaps dan
menggembungnya selaput ketuban dan ekspulsi janin imatur. Riwayat trauma
pada serviks saat adanya dilatasi atau pada kuretase menjadi salah satu
penyebab dari serviks inkompeten.
 Cacat uterus
Destruksi endometrium luas akibat kuretase hal ini menyebabkan
amenore dan abortus berulang yang disebabkan oleh kurang memadai
endometrium untuk menunjang implantasi
 Gamet yang menua
Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa penuaan gamet di dalam saluran
genetalia wanita sebelum pembuahan meningkatkan kemungkinan abortus
dan ibu yang berusia lebih dari 35 tahun memperlihatkan peningkatan
insidensi sindrom kantung amnion kecil.
 Trauma fisik
Trauma yang dapat mengakibatkan abortus seperti trauma akibat suatu
benturan benda tumpul dalam kecelakaan, luka bakar, kekerasan dan terkena
senjata tajam yang mengakibatkan perdarahan pada saat kehamilan.

b. Faktor Eksternal
 Faktor lingkungan dan pemakaian obat Diperkirakan 1-10% malformasi janin
akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir
dengan abortus, misalnya adanya paparan terhadap buangan gas anestesi dan
tembakau. Karbonmonoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan
janin serta memacu neurotoksin dengan adanya gangguan pada sistem
sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin berakibat
terjadinya abortus. Kebiasaan minum alkohol dan yang mengandung kafein
secara berlebihan serta kegagalan efektivitas alat kontrasepsi dalam rahim
juga berisiko terhadap insiden abortus pada kehamilan muda.
 Faktor sosial budaya Dalam teori Swasono (1997) tentang kehamilan
terhadap konteks budaya yang mengemukakan bahwa aspek kultural pada
masyarakat khususnya Suku Jawa terdapat masa krisis diantara tahapan-
tahapan kehidupan dimana suatu perpindahan dari suatu tahapan dianggap
cukup gawat atau membahayakan, oleh karena itu dilakukan suatu upacara
adat yang disebut crisis rites (upacara waktu krisis) dan rites de passage
(upacara peralihan). Masa kehamilan dianggap masa krisis yang berbahaya
sehingga terdapat upacara adat yang cukup rinci seperti mitoni upacara atau
selamatan usia tujuh bulan kehamilan untuk menyambut dan menangkal
bahaya yang dapat terjadi, dilakukan pada kehamilan pertama seorang wanita
yang juga berfungsi memberikan ketenangan jiwa bagi calon ibu yang belum
pernah mengalami peristiwa melahirkan. Upacara adat lainnya yaitu procotan
yang bertujuan memudahkan bayi untuk lahir. Dan brokohan yaitu upacara
sesudah bayi dilahirkan dengan selamat. Pada teori yang sama dimana
terdapat dikotomi panas dingin pada hubungan asosiatif pantang makanan.
Kondisi hamil sering dianggap menyebabkan wanita dalam keadaan panas
sehingga dilakukan pantangan makanan. Wanita hamil harus memakan
makanan yang berkualitas dingin dan harus dijalankan sampai saat bayinya
lahir untuk mencegah keguguran. Pada budaya masyarakat Kerinci, Jambi.
Wanita hamil dilarang makan rebung agar bayi tidak berbulu, jantung pisang
agar bayi tidak kecil, jamur yang menyebabkan plasenta menjadi kembar dan
sulit lahir. Pada masyarakat Keruak, Lombok Timur terdapat pantangan
makanan gurita, cumi, kepiting, udang, dan ikan pari yang dianggap dapat
menyebabkan ari-ari bayi lekat (retensio plasenta), bayi sulit dilahirkan, atau
malposisi janin, selain itu buah jambu biji dan labu juga dipantang, hal ini
tidak berkaitan dengan faktor kesehatan namun merupakan keyakinan suatu
budaya. Di Desa Tawiri, Ambon adat pantang makan durian. Masyarakat
Bandaneira pantang makanan lemon kuas (orange splash), penduduk di Desa
Jalancagak, Subang memantang makan belut dan nanas muda yang masing
menyakini dapat menyebabkan perdarahan pada kehamilan atau keguguran,
ikan dan makan laut lainnya dapat membuat ASI berbau amis dan membuat
bayi terlilit tali pusat. Kepercayaan akan adanya gangguan roh jahat sebagai
aspek dari supranatural yang umum ditemukan diberbagai suku bangsa yaitu
roh-roh halus yang suka memangsa bayi atau menyebabkan keguguran
kandungan sehingga terdapat cara budaya untuk menangkalnya seperti harus
membawa benda tajam seperti peniti atau pisau lipat. Di kehidupan
masyarakat Dani, Kurulu di Lembah Baliem, Irian Jaya, tugas budaya utama
wanita yang dianggap penting adalah melakukan kegiatan mata pencaharaian
seperti menghasilkan ubi jalar dan babi. Karena itu, kehamilan yang dialami
oleh wanita cenderung tidak disukai dan dianggap mengganggu tugas mereka
diladang. Bahkan, keadaan tersebut dapat mendorong piihan aborsi
tradisional yang beresiko bagi wanita bersangkutan. Dalam jurnal Shrimarti
R.Devi dkk, mengenai perawatan kehamilan dalam perspektif budaya
Madura dimana sebagian masyarakat memeriksakan kehamilannya ke dukun
untuk mengetahui letak posisi bayi dan dapat melakukan pemijatan untuk
mempermudah melahirkan.
 Pendidikan
Martadisoebrata dalam Wahyuni (2012) menyatakan bahwa pendidikan
sangat dibutuhkan manusia untuk pengembangan diri dan meningkatkan
kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelektual akan berpengaruh
pada wawasan dan cara berfikir baik dalam tindakan dan pengambilan
keputusan maupun dalam membuat kebijaksaanaan dalam menggunakan
pelayanan kesehatan. Pendidikan yang rendah membuat seseorang acuh tak
acuh terhadap program kesehatan sehingga mereka tidak mengenal bahaya
yang mungkin terjadi, meskipun sarana kesehatan telah tersedia namun
belum tentu mereka mau menggunakannya.
 Status ekonomi (pendapatan)
Sosial ekonomi masyarakat yang sering dinyatakan dengan pendapatan
keluarga, mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan kesehatan dan
pemenuhan zat gizi. Hal ini pada akhirnya berpengaruh pada kondisi saat
kehamilan yang berisiko pada kejadian abortus. Selain itu, pendapatan juga
mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan, sehingga
adanya kemungkinan risiko terjadinya abortus dapat terdeteksi.
 Pekerjaan
Beberapa wanita yang sudah bekerja juga akan terhambat karirnya
ketika memilih untuk meneruskan kehamilannya. Kondisi pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang wanita dapat juga setara dengan beban kerja laki-laki
baik dari jabatan ataupun jenis pekerjaannya ataupun didukung dengan sosial
ekonomi yang rendah sehingga wanita berisiko mengalami kehamilan yang
tidak diinginkan.
 Alkohol
Alkohol dinyatakan meningkatkan risiko abortus spontan, meskipun
hanya digunakan dalam jumlah sedang.
 Merokok
Wanita yang merokok diketahui lebih sering mengalami abortus
spontan daripada wanita yang tidak merokok. Kemungkinan bahwa risiko
abortus spontan pada perokok, disebabkan wanita tersebut juga minum
alkohol saat hamil. Baba et al (2010) menyatakan bahwa kebiasaan gaya
hidup termasuk status merokok pada ibu dan suaminya berpengaruh terhadap
kejadian abortus. Merokok 1-19 batang perhari dan lebih dari 20 batang
perhari memiliki efek pada ibu mengalami abortus spontan yang lebih awal.

c. Faktor ayah
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya
abortus spontan. Translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan
abortus dimana abnormalitas kromosom pada sperma berhubungan dengan
abortus (Carrel dkk 2003 dalam Handono 2009).

D. Tanda gejala abortus


1. Terlambat haid atau amenorhoe selama 20 minggu
2. Perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, hasil konsepsi masih
berada dalam uterus tanpa adanya dilatasi serviks
3. Perdarahan melalui ostium uteri eksternum
4. Nyeri atau rasa mulas

E. Patofisiologi
Rahmani (2014) mengemukakan bahwa pada permulaan abortus terjadi
perdarahan dalam desidua basalis yang diikuti nekrosis jaringan disekitarnya. Hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam
uterus. Hal ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan hasil konsepsi.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8-14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga
plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan.
Pada kehamilan lebih dari 14 minggu umumnya yang mulamula dikeluarkan setelah
ketuban pecah, janin disusul beberapa waktu kemudian oleh plasenta yang terbentuk
lengkap.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
yang hanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa
bentuk yang jelas (blighted ovum) dan ada yang berupa janin lahir mati.
Mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat maka dapat diliputi
oleh lapisan bekuan darah dan isi uterus dinamakan mola kruenta. Bentuk ini menjadi
mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap sehingga semuanya tampak seperti
daging. Bentuk lain adalah mola tuberose dalam hal ini tampak berbenjol-benjol
karena terjadi hematoma antara amnion dan korion. Pada janin yang telah meninggal
dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi yaitu janin mengering dan
karena cairan amnion menjadi kurang oleh sebab diserap, maka menjadi agak gepeng
(fetus kompresus).
Dalam tingkat lebih lanjut menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus
papiraseus). Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah
terjadinya maserasi yaitu kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar
karena terisi cairan, dan seluruh janin berwarna kemerahmerahan.

2.4 Blighted Ovum


A. Pengertian
Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi
tidak ada bayi di dalam kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga
merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan muntah
pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta terjadi
pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik test pack maupun
laboratorium hasilnya pun positif. Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang
matang bertemu sperma.
Namun akibat berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma
tidak dapat berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang berisi
cairan. Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam rahim.
Plasenta menghasilkan hormon HCG (humanchorionic gonadotropin) dimana
hormon ini akan memberikan sinyal pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai
pemberitahuan bahwa sudah terdapat hasil konsepsi di dalam rahim.
Hormon HCG yang menyebabkan munculnya gejalagejala kehamilan
seperti mual, muntah, ngidam dan menyebabkan tes kehamilan menjadi positif.
Karena tes kehamilan baik test pack maupun laboratorium pada umumnya
mengukur kadar hormon yang sering disebut juga sebagai hormon kehamilan.
Blighted ovum atau kehamilan kosong ini, kadang di sebagian masyarakat
ada yang menghubungkannya dengan hal-hal mistik. Ada yang mengatakan
kehamilannya hilang di bawa oleh makhlus atau bayinya dipindahkan ke orang
lain, dll. Karena memang kesannya bayinya menghilang, padahal ibu hamil yang
mengalami blighted ovum mengalami tandatanda dan perubahan-perubahan tubuh
layaknya kehamilan normal, namun ketika di cek USG janinnya tidak ada/tidak
berkembang. Oleh sebab itu pemeriksaan untuk mendeteksi adanya blighted ovum
sangat diperlukan
Blighted ovum ini biasanya pada usia kehamilan 14-16 minggu akan terjadi
abortus spontan. Blighted ovum merupakan kehamilan dimana kantung gestasi
memiliki diameter katung lebih dari 20 mm akan tetapi tanpa embrio. Tidak
dijumpai pula adanya denyut jantung janin. Blighted ovum cenderung mengarah
pada keguguran yang tidak terdeteksi.
Dapat disimpulkan Blighted Ovum (BO) merupakan kehamilan tanpa
embrio. Dalam kehamilan ini kantung ketuban dan plasenta tetap terbentuk dan
berkembang, akan tetapi tidak ada perkembangan janin di dalamnya (kosong).
Kehamilan ini akan berkembang seperti kehamilan biasa seperti uterus akan
membesar meskipun tanpa ada janin di dalamnya.

B. Etiologi
Blighted ovum terjadi saat awal kehamilan. Penyebab dari blighted ovum saat ini
belum diketahui secara pasti, namun diduga karena beberapa faktor. Faktor-faktor
blighted ovum.
1. Adanya kelainan kromosom dalam pertumbuhan sel sperma dan sel telur.
2. Meskipun prosentasenya tidak terlalu besar, infeksi rubella, infeksi TORCH,
kelainan imunologi, dan diabetes melitus yang tidak terkontrol.
3. Faktor usia dan paritas
Semakin tua usia istri atau suami dan semakin banyak jumlah anak yang
dimiliki juga dapat memperbesar peluang terjadinya kehamilan kosong.
4. Kelainan genetik
Faktor lain yang dapat menyebabkan Blighted ovum tersebut adalah kelainan
genetika. Faktor genetik dapat mewariskan kelainan tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, dan kondisi terkait lainnya. Resiko penyakit Blighted ovum
bisa meningkat bahkan lebih bila faktor keturunan dikombinasikan dengan
pilihan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok dan makan makanan yang
tidak sehat.
5. Kebiasaan merokok dan alkohol
Merokok dan alkohol dapat merusak jantung dan pembuluh darah, yang
meningkatkan resiko kondisi jantung seperti aterosklerosis dan serangan
jantung. Selain itu, nikotin meningkatkan tekanan darah, dan karbon monoksida
mengurangi jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Kondisi tersebut bukan
hanya berlaku bagi perokok aktif, namun juga berlaku untuk perokok pasif
karena menghirup asap rokok berlebihan

C. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala blighted ovum meliputi :
1. Pada awalnya pemeriksaan awal tes kehamilan menunjukkan hasil positif.
Wanita merasakan gejala-gejala hamil, dalam seperti mudah lelah, merasa ada
yang lain pada payudara atau mual-mual
2. Hasil pemeriksaan USG saat usia kehamilan lebih dari 8 minggu rahim masih
kosong.
3. Meskipun tidak ada perkembangan embrio, tetapi kadar HCG akan terus
diproduksi oleh trofoblas di kantong
4. Keluar bercak perdarahan dari vagina

D. Patologis

Fertilisasi

Blastocyt bernidasi di endometrium ( blastocyst


terbentuk 3-5 hari setelah fertilisasi)

Blastocyst terlapisi oleh trofoblas

Setelah trofoblas terbentuk, terdapat


peningkatan hormon hCG

Tes kehamilan positif

Respon tubuh terhadap kehamilan Penurunan hormon Hcg, proses


abnormal plasentasi berhenti

Terjadi perdarahan pervaginam


Nyeri pada perut
Proses awal kehamilan blighted ovum terjadi sama pada kehamilan
umumnya. Sel telur dibuahi oleh sel sperma, kemudian terjadi penggabungan
pronukleus. Hari ke 4 setelah fertilisasi terbentuk menjadi blastosit yang dilapisi
trofoblas. Trofoblas akan memicu produksi hormon-hormon kehamilan termasuk
hormon Hcg.
Pemeriksaan tes kehamilan positif dan kehamilan klinis akan terjadi.
Kehamilan blighted ovum terjadi penurunan hormon kehamilan (Progesteron,
esterogen dan Hcg). Penurunan tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor
penyebab. Kasus blighted ovum dilakukan pemeriksaan menggunakan USG
ditemukan kantung kehamilan dan tidak ditemukan embrio didalam rahim. Hal ini
disebabkan kegagalan perkembangan embrio pada 6-7 minggu pasca fertilisasi.
Blighted ovum dapat terjadi pengeluaran darah dari vagina. Bila hasil USG tidak
disertai keluhan perdarahan dari vagina, untuk menghindarkan keraguan saat
mendiagnosa blighted ovum dilakukan USG ulang 10 hari kemudian

E. Tindakan Penanganan
Terminasi kehamilan dengan dilatasi serviks dan dilanjutkan dengan
kuretase. Aborsi bedah sebelum usia kehamilan 14 minggu dilakukan dengan cara
mula-mula membuka serviks, kemudian mengeluarkan kehamilan secara mekanis
yaitu dengan mengerok isi uterus (kuretase tajam) , dengan aspirasi vakum
(kuretase isap) atau keduanya. Sedangkan jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu
dilakukan dilatasi dan evakuasi (D&E). Tindakan ini berupa pembukaan serviks
secara lebar diikuti oleh destruksi mekanis dan evakuasi bagian janin, setelah janin
dikeluarkan secara lengkap maka digunakan kuret vakum berlubang besar untuk
mengeluarkan plasenta dan sisa jaringan. Dilatasi dan Ekstrasi (D&X), hampir
sama dengan (D&E) yang membedakan pada (D&X) sebagian dari janin di ekstrasi
melalui serviks yang telah membuka.

2.5 KE & KET


A. Pengertian
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar
rongga uterus, Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur
antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun,frekwensi kehamilan ektopik
yang berulang dilaporkan berkisar antara 0%-14,6%. apabila tidak diatasi atau
diberikan penanganan secara tepat dan benar akan membahayakan.
Kehamilan ektopik terganggu adalah suatu kehamilan ektopik yang
mengalami abortus rupture pada dinding tuba. Kehamilan ektopik dapat terjadi di
luarrahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi
di dalamrahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam servik, pars intertistialis
atau dalam tanduk rudimeter rahim. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan
kehamilan ektopik terganggu karna kehamilan pada pars interstisialis tubah dan
kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.
Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat
berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan
ektopik terganggu.
Pada umumnya penderita menunjukkan gejala kehamilan muda dan sedikit
nyeri pada perut bagian bawah yang tidak dihiraukan.pemeriksaan vaginal uterus
membesar dan lembek. tuba yang mengandung hasil konsepsi karena lembeknya
sukar diraba pada pemeriksaan bimanual.
Gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda. dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba didalam rongga perut sampai terdapat gejala
yang tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosanya. Gejala dan tanda
bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba,
tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita
sebelum hamil.
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. pada
ruptur tuba nyeri perut bagian bawah dan disertai dengan perdarahan menyebabkan
penderita pingsan dan mengalami syok.Rasa nyeri mulanya terdapat pada salah
satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke
bagian tengah atau ke seluruh perut bagian bawah. Perdarahan per vaginam
merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik. hal inimenunjukkan
kematian janin dan berasal dari cavum uteri karena pelepasan desidua. perdarahan
dari uterus tidak banyak dan berwarna coklat tua.

B. Faktor Resiko
1. Usia
Usia merupakan faktor resiko yang penting terhadap terjadinya kehamilan
ektopik. Sebagian besar wanita mengalami kehamilan ektopik berumur 20-40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Menurut Linardakis (1998) 40% dari
kehamilan ektopik terjadi antara umur 20-29 tahun
2. Paritas
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan pertambahan paritas.
Kejadian ini lebih banyak terjadi pada multipara
3. Ras atau Suku
Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada wanita kulit hitam dari pada
wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena peradangan pelvis lebih
banyak ditemukan pada golongan wanita kulit hitam
4. Tingkat Pendidikan
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannya selama kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor
penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga keluarga.16
Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin meningkat
pengetahuan dan kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan dalam
kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan
pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur.
5. Pekerjaan
Derajat sosio ekonomi masyarakat akan menunjukkan tingkat kesejahteraan dan
kesempatannya dalam menggunakan dan menerima pelayanan kesehatan. Jenis
pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan keadaan sosio ekonomi
keluarga. Kehamilan ektopik lebih sering terjadi pada keadaan sosio ekonomi
yang rendah
6. Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik adalah
infeksi, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur, dan keadaan infertile
7. Riwayat kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan kehamilan
ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral atau dengan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR) , rasio kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan intrauterin
adalah lebih besar daripada wanita-wanita yang tidak menggunakan metode
kontrasepsi.18 Kejadian kehamilan ektopik pada akseptor AKDR dilaporkan 12
kali lebih tinggi dibandingkan dengan pemakai kondom. Diperkirakan terjadi 2
kehamilan ektopik per 1000 akseptor AKDR setiap tahun. Akseptor pil yang
berisi hanya progestagen dilaporkan mempunyai insiden yang tinggi terhadap
kehamilan ektopik apabila terjadi kehamilan selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan insidennya yang biasa. Pada pemakai pil mini
4- 6% dari kehamilannya dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi dilaporkantidak
terjadi perubahan insiden pada akseptor pil kombinasi
8. Riwayat infeksi pelvis
Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan ektopik
mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. Calon ibu menderita infeksi
akibat penyakit GO (gonorrhea) ataupun radang panggul. Hal inilah yang
menyebabkan ibu yang menderita keputihan harus melakukan pemeriksaan
untuk memastikan gejala yang di deritanya adalah tanda infeksi atau hanya
keputihan yang bersifat fisiologis
9. Riwayat operasi tuba
Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur sterilisasi yang
gagalmaupun usaha untuk memperbaiki infertilitas tuba semakin umum sebagai
faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik
10. Merokok
Merokok pada waktu terjadi konsepsi meningkatkan insiden kehamilan ektopik
yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan afinitas reseptor
andrenergik dalam tuba

C. Klasifikasi
Kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari kehamilan
ektopik, dapat dibedakan menurut :
1. Kehamilan tuba merupakan kehamilan ektopik pada setiap bagian tuba fallopi.
Merupakan bagian jenis terbanyak gestasi ekstra uterin yang paling sering
terjadi sekitar 95% dari kehamilan ektopik. Kehamilan tuba akan menghasilkan
salah satu dari ketiga hal ini :
 Kematian ovum dalam stadium dini : ovum ini kemudian bisa di absorpsi
seluruhnya atau tetap tinggal sebagai mola tuba
 Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling sering ditemukan, bersama-sama
ovum (dan kemungkinan pula darah) akan dikeluarkan dari tuba untuk masuk
ke dalam uterus atau keluar ke dalam kavum peritoneum.
 Ruptura tuba : erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau ovum terus
tumbuh hingga melampaui kemampuan peregangan otot tuba
2. Kehamilan ovarial merupakan kehamilan pada ovarium, perdarahan terjadi
bukan saja disebabkan oleh pecahnya kehamilan ovarium tetapi juga rupture
tuba korpus luteum, torsi dan endometriosis. Meskipun daya akomodasi
ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba,
kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada trimester awal.
3. Kehamilan uterus merupakan kehamilan pada uterus tidak pada tempat yang
tepat, pada endometrium kavum uteri sebab implantasi terjadi pada kanalis
servikalis (gestasi pada servikal uteri), diverticulum (gestasi pada invertikulum
uteri), kurnua (gestasi pada kornu uteri), tanduk rudimenter (gestasi pada tanduk
rudimenter)
4. Kehamilan servikal adalah jenis dari kehamilan ektopik yang jarang terjadi.11
Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks
mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu
sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil

D. Tanda dan Gejala


 Nyeri
Gejala yang muncul berkaitan dengan apakah kehamilan ektopik sudah pecah.
Gejala yang paling sering dialami adalah nyeri panggul dan perut. Gejala
pencernaan dan pusing atau berkunang-kunang juga sering terjadi, terutama
setelah rupture. Nyeri dada pleuritik dapat terjadi akibat iritasi diafragma oleh
perdarahan
 Haid Abnormal
Sebagian besar wanita melaporkan amenorea dengan bercak-bercak perdarahan
per vagina. Perdarahan uterus yang terjadi pada kehamilan tuba sering disangka
sebagai haid sejati. Perdarahan ini biasanya sedikit, berwarna cokelat tua, dan
mungkin intermiten atau terus-menerus. Pada kehamilan tuba, jarang terjadi
perdarahan per vagina yang heba
 Nyeri Tekan Abdomen dan Panggul Nyeri hebat pada pemeriksaan abdomen
dan pemeriksaan vagina, terutama saat serviks digerakkan, dijumpai pada lebih
dari tiga perempat wanita dengan rupture kehamilan tuba. Akan tetapi, nyeri
tekan ini mungkin tidak ada sebelum terjadi rupture
E. Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya
sama dengan halnya di cavum uteri. Pertama ovum berimplantasi dijonjot
endosalping. perkembangan ovum dibatasi dengan kurangnya vaskularisasi dan
biasanya telur mati secara dini dan terabsorpsi. nasib kehamilan dalam tuba
terdapat beberapa kemungkinan. karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan
hasil konsepsi, tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti didalam uterus.
sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan 6-10 minggu.
1. Hasil konsepsi mati dini dan diabsorpsi
2. Abostus kedalam lumen tuba
3. Ruptur dinding tuba

F. Penanganan
Penanganan kehamilan ektopik terganggu pada umumnya adalah
laparotomi. Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan
menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum
penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak mungkin
dikeluarkan. Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan
yaitu: kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi
reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik. Hasil ini menentukan apakah perlu
dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang terganggu) pada
kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG (kuantitatif).
Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya jaringan
ektopik yang belum terangkat.
Penanganan pada kehamilan ektopik terganggu dapat pula dengan transfusi,
infus, oksigen atau kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan
antiinflamasi. Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya
penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit

2.6 Molahidatidosa
A. Pengertian
Molahidatidosa adalah kehamilan yang terjadi pada saat sel telur yang
dibuahi sperma tidak berkembang menjadi sebuah janin sebagaimana biasanya.
Hasil pembuahan justru berkembang menjadi gelembung-gelembung yang semakin
lama makin banyak dan membentuk kelompok-kelompok yang mirip dengan buah
anggur.
Molahidatidosa ditandai dengan villi korialis yang mengalami perubahan
hidrofobik membentuk kelompok-kelompok menyerupai buah anggur.
MolaHidatidosa merupakan salah satu tipe penyakit trofoblas gestasional, yakni
penyakit berasal dari sel yang pada keadaan normal berkembang menjadi plasenta
pada masa kehamilan, meliputi berbagai penyakit yang berasal dari sel-sel
trofoblas

B. Etiologi
Faktor resiko terjadinya mola hidatidosa adalah pembengkakan pada vili
(degenerasi pada hidrofik) dan poliferasi trofoblas. Faktor yang dapat
menyebabkan mola hidatidosa antara lain :
 Riwayat kehamilan molahidatidosa sebelumnya
Wanita yang pernah mengalami kehamilan mola hidatidosa memiliki resiko 2
kali lipat dibandingkan dengan yang belum pernah mengalami kehamilan mola
hidatidosa.
 Riwayat genetik
Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa kehamilan mola hidatidosa
memiliki penyebab genetik terkait dengan mutasi gen pada kromosom 19
 Faktor makanan
Asupan rendah karotene dan rendah lemak hewani dikaitkan dengan
peningkatan resiko kehamilan mola hidatidosa sempurna, termasuk juga
kekurangan vitamin A

C. Klasifikasi dan Epidemiologi


Mola hidatidosa terbagi atas dua tipe, yakni mola hidatidosa komplet
(CMH) dan mola hidatidosa parsial (PMH). Mola hidatidosa komplet dapat terjadi
sebagai hasil dari fertilisasi oleh 1 atau 2 sel sperma terhadap sel telur yang tidak
memiliki DNA sehingga uterus tidak berisi jaringan fetus. Semua kromosomnya
berasal dari paternal. Pada mola hidatidosa komplet, vili khoriales memiliki ciri
khas menyerupai buah anggur dan secara total mengganti jaringan yang
semestinya terbentuk sebagai plasenta serta ditemukan hiperplasia tropoblastik.
Sebanyak 1 dari 5 wanita akan mengalami persistensi jaringan mola dimana
kebanyakan menjadi mola invasif, tetapi dapat pula menjadi koriokarsinoma, suatu
bentuk ganas (kanker) dari GTD. Molahidatidosa parsial terbentuk dari fertilisasi
sel ovum normal oleh 2 sel sperma dengan kariotipe triploid sehingga dapat
ditemukan adanya jaringan fetus yang selanjutnya bertumbuh menjadi janin dengan
multiple anomali dan biasanya dapat bertahan hidup selama beberapa minggu dan
abortus yang tejadi kemudian selalu disertai adanya jaringan janin. Hanya
sebagian vili khoriales yang mengalami perubahan hidrofobik sedangkan sebagian
masih berupa jaringan placenta yang normal.
Insidensi Molahidatidosa disebutkan sebesar 1,1 per 1000 kehamilan, akan
tetapi ada juga literature yang mengatakan lebih spesifik untuk tiap 1000 kelahiran
hidup. Insidensi tersebut tidak dapat pula menjelaskan angka pasti untuk CMH
maupun untuk PMH. Penyebab kesulitan tersebut adalah masih sulitnya
membedakan degenerasi hidrofobik parsial atau komplit. Penyebab lainnya juga
oleh karena adanya kerancuan terhadap kemungkinan kelainan kromosom bawaan
janin. Insidensi GTD secara umum yang pernah dipublikasikan mulai dari yang
terendah yaitu 0,5 per 1000 kehamilan di Amerika Serikat sampai yang tertinggi di
Taiwan. Walaupun insidensi secara pastinya bervarias antara satu penelitian
terhadap penelitian lainnya, insidensi pada populasi Asia tetap selalu yang tertinggi
dibandingkan dengan etnik lainnya. Alasan tingginya insidensi pada populasi Asia
belum sepenuhnya dapat dipahami tetapi kemungkinan erat kaitannya dengan basis
genetik, kondisi sosioekonomi dan basis lingkungan. Distribusi usia yang sering
dilaporkan adalah kehamilan pada usia sebelum 20 tahun dan setelah 40 tahun.

D. Tanda dan Gejala


Terdapat beberapa tanda dan gejala pada mola dilihat dari keluhan dan beberapa
pemeriksaan khusus obstetri yang dilakukan pada penderita:
 Terdapat gejala-gejala hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari
kehamilan biasa
 Kadang kala ada tanda toksemia gravidarum
 Terdapat pendarahan yang sedikit atau banyak, tidak teratur, warna tengguli tua
atau kecoklatan seperti bumbu rujak
 Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih besar) dengan tua kehamilan seharusnya.
 Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada), yang
merupakan diagnosa pasti
 Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan, yang
disebut muka mola (mola face)
 Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen, juga gerakan janin
 Adanya fenomena harmonika : darah dan gelembung mola keluar, dan fundus
uteri turun; lalu naik lagi karena terkumpulnya darah baru
 Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
 Terdengar bising dan bunyi khas
 Perdarahan tidak teratur
 Penurunan berat badan yang berlebihan.
E. Patofisiologi
Setelah ovum dibuahi, terjadi pembagian dari sel tersebut. Tidak lama kemudian
terbentuk biastokista yang mempunyai lumen dan dinding luar. Dinding ini terjadi
atas sel-sel ekstoderm yang kemudian menjadi tropoblash. Sebagian vili berubah
menjadi gelembung berisi cairan jernih, biasa tidak ada janin. Gelembung-
gelembung atau tesikel ukurannya bervariasi mulai dari yang mudah dilihat,
sampai beberapa sentimeter, bergantung dalam beberapa kelompok dari tangkai
yang tipis. Masa tersebut dapat tumbuh cukup besar sehingga memenuhi cavum
uteri. Pembesaran uterus sering tidak sesuai dan melebihi usia kehamilan.
Pada beberapa khusus, sebagian pertumbuhan dan perkembangan villi korealis
berjalan normal sehingga janin dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai
aterm. Keadaan ini disebut mola parsial. Ada beberapa kasus pertumbuhan dan
perkembangan villi korealis berjalan normal sehingga janin dapat tumbuh dan
berkembang

F. Tindakan Penanganan
Terapi mola hidatidosa ada 3 tahapan yaitu:
1. Perbaikan keadaan umum
Perbaikan keadaan umum pada pasien mola hidatidosa, yaitu :
a. Koreksi dehidrasi
b. Transfusi darah bila ada anemia (Hb 8 ggr % atau kurang)
c. Bila ada gejala pre eklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai
dengan protokol penanganan di bagian obstetrik dan ginekologi
d. Bila ada gejala-gejala tirotoksikosis, dikonsultasikan ke bagian penyakit
dalam
1. Pengeluaran jaringan mola dengan cara kuretase dan histerektomi
a. Kuretase pada pasien mola hidatidosa:
 Dilakukan setelah pemeriksaan persiapan selesai (pemeriksaan darah
rutin, kadar beta HCG dan foto toraks) kecuali bila jaringan mola sudah
keluar spontan
 Bila kanalis servikalis belum terbuka maka dilakukan pemasangan
laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian
 Sebelum melakukan kuretase, sediakan darah 500 cc dan pasang infuse
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc dekstrose 5%
 Kuretase dilakukan 2 kali dengan interval minimal 1 minggu
 Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA
b. Histerektomi
Syarat melakukan histerektomi adalah
 Umur ibu 35 tahun atau lebih
 Sudah memiliki anak hidup 3 orang atau lebih
2. Pemeriksaan tindak lanjut Menurut Sujiyatini, 2009 pemeriksaan tindak lanjut
pada pasien mola hidatidosa meliputi :
a. Lama pengawasan 1-2 tahun
b. Selama pengawasan, pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi kondom,
pil kombinasi atau diafragma. Pemeriksaan fisik dilakukan setiap kali pasien
datang untuk kontrol
c. Pemeriksaan kadar beta HCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan
kadarnya yang normal 3 kali berturut-turut
d. Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai ditemukan kadarnya
yang normal 6 kali berturut-turut
e. Bila telah terjadi remisi spontan (kadar beta HCG, pemeriksaan fisik, dan
foto toraks semuanya normal) setelah 1 tahun maka pasien tersebut dapat
berhenti menggunakan kontraasepsi dan dapat hamil kembali
f. Bila selama masa observasi, kadar beta HCG tetap atau meningkat dan pada
pemeriksaan foto toraks ditemukan adanya tanda-tanda metastasis maka
pasien harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak
konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan, agar kehamilan, persalinan serta
masa nifas seorang ibu berjalan normal, ibu membutuhkan pelayanan kesehatan yang
baik.
Penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia sendiri dikarenakan beberapa
factor, salah satunya adalah tidak dilakukannya asuhan secara berkesinambungan yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi, komplikasi yang
tidak ditangani ini menyebabkan kematian yang berkontribusi terhadap peningkatannya
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Untuk penyebab
tingginya AKI dan AKB di Indonesia pada ibu hamil sendiri adalah komplikasi, dan
yang terjadi adalah anemia dalam kehamilan, tekanan darah tinggi/hiprtensi dalam
kehamilan (preeklamsia/eklamsia), aborsi dan janin mati dalam rahim, ketuban pecah
dini serta adanya penyakit yang tidak diketahui sehingga dapat mengangu proses
kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/5878/4/Chapter%202.pdf
file:///C:/Users/Hp/Downloads/5114-1-8069-1-10-20130408.pdf
http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/assets/file/kti/1602420015/7._BAB_2_.pdf

You might also like