Professional Documents
Culture Documents
dan Trimester II
Disusun oleh:
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam kami
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kami yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti nantikan syafa’at nya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya , baik itu
berupa fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas mata kuliah Askeb Kesehatan Reproduksi dan Perimenaupose
denganjudul “Komplikasi atau penyulit kehamilan pada Trimester I dan Trimester II”
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan didalamnya.Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih
baik lagi.Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami memohon
maaf yang sebesar besarnya.
penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak
konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan. Kehamilan, persalinan, nifas, bayi
baru lahir dan pemilihan alat kontrasepsi merupakan proses fisiologis dan
berkesinambungan. (Marmi, 2011:11). Dan tidak bisa di pungkiri bahwa masa kehamilan,
persalinan, masa nifas, bayi baru lahir hingga penggunaan kontrasepsi, wanita akan
mengalami berbagai masalah kesehatan. Agar kehamilan, persalinan serta masa nifas
seorang ibu berjalan normal, ibu membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik. Untuk
peraturan pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi menyatakan
bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan untuk mencapai hidup
sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi
Angka Kematian Ibu (Bandiyah, 2009). Pelayanan kesehatan tersebut sangat dibutuhkan
selama periode ini. Karena pelayanan asuhan kebidanan yang bersifat berkelanjutan
(continuity of care) saat di memang sangat penting untuk ibu. Dan dengan asuhan
kebidanan tersebut tenaga kesehatan seperti bidan, dapat memantau dan memastikan
kondisi ibu dari masa kehamilan, bersalin, serta sampai masa nifas.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sendiri masih sangat tinggi jika di
bandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2015 jumlah AKI di Indonesia sebanyak 305/100.000
KH (Direktorat Kesehatan Keluarga, 2016). Kematian Ibu maternal paling banyak adalah
sewaktu bersalin sebesar (49,5%), kematian waktu hamil (26%) pada waktu nifas (24%)
(Kementrian Kesehatan RI, 2012). Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun
2015 di Indonesia sebanyak 22,23/1000 KH (Direktorat Kesehatan Keluarga, 2016).
Kematian neonatal paling banyak asfiksia (51%), BBLR (42,9%), SC (18,9%), prematur
(33,3%), kelainan kongenital (2,8%) dan sepsi (12%) (Riskerdas, 2015). Data provinsi
Jawa Timur sendiri untuk tiga tahun terakhir cenderung menurun. Hal ini bisa di pahami
mengingat selama ini sudah dilakukan dukungan beberapa program dari provinsi ke
kabupaten/kota berupa beberapa fasilitas yang baik dari segi manajemen program KIA
maupun pencatatan maupun pelaporan, peningkatan ketrampilan dari petugas di lapangan
sendiri serta melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaan program KIA.
Berdasarkan data di atas masih banyak masalah yang terjadi pada proses kehamilan
sampai dengan keluarga berencana, penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia
sendiri dikarenakan beberapa factor, salah satunya adalah tidak dilakukannya asuhan
secara berkesinambungan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi pada
ibu dan bayi, komplikasi yang tidak ditangani ini menyebabkan kematian yang
berkontribusi terhadap peningkatannya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB). Untuk penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia pada ibu hamil
sendiri adalah komplikasi, dan yang terjadi adalah anemia dalam kehamilan, tekanan
darah tinggi/hiprtensi dalam kehamilan (preeklamsia/eklamsia), aborsi dan janin mati
dalam rahim, ketuban pecah dini serta adanya penyakit yang tidak diketahui sehingga
dapat mengangu proses kehamilan (Manuaba, 2012:227-281).
PEMBAHASAN
2.1 ANEMIA
A. Pengertian
Anemia merupakan suatu keadaan saat jumlah sel darah merah atau
konsentrasi pengangkut oksigen dalam darah Hemoglobin (Hb) tidak mencukupi
untuk seluruh kebutuhan fisiologis tubuh (Kemenkes RI, 2013). Menurut Adriyani
(2012) anemia diartikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam darah
lebih rendah atau lebih kecil daripada nilai normal untuk kelompok orang menurut
umur dan jenis kelamin. Anemia gizi adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin
darah yang lebih rendah daripada normal karena ketidakmampuan jaringan
pembentuk sel darah merah dalam produksinya untuk mempertahankan kadar atau
jumlah hemoglobin pada tingkat normal. Anemia gizi besi adalah anemia yang
disebabkan oleh kekurangan zat besi sehingga pembentukan sel-sel darah merah dan
fungsi lain dalam tubuh terganggu.
B. Etiologi anemia
Etiologi anemia pada ibu hamil Menurut Irianto (2014) etiologi anemia pada
kehamilan merupakan gangguan pencernaan dan absorpsi, hipervolemia, yang dapat
menyebabkan terjadinya pengenceran darah, kebutuhan zat besi meningkat, dan
kurangnya zat besi dalam makanan, serta pertambahan darah tidak sebanding dengan
pertambahan plasma
C. Klasifikasi anemia
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menunjukkan status anemia ibu
hamil didasarkan pada kriteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori,
yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-9 gr/dl) dan anemia berat (<8 gr/dl). Untuk
menentukan apakah seseorang menderita anemia atau tidak, umumnya digunakan
nilai-nilai normal yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.736a/Menkes/XI/1989, yaitu nilai batas normal hemoglobin bagi ibu hamil yaitu
≥11 g/dl. Jika kadar hemoglobin (Hb) turun di batas nilai normal, maka akan
menimbulkan anemia (Depkes RI, 2008). Ibu hamil dikatakan anemia apabila kadar
hemoglobin (Hb) dibawah 11,0 g/dl (Kemenkes RI, 2013)
D. Patofisiologi anemia
Patofisiologi Anemia dalam Kehamilan Pengenceran darah (hemodilusi) pada
ibu hamil sering terjadi dengan peningkatan volume plasma 30%-40%, peningkatan
sel darah merah 18%-30% dan hemoglobin 19%, secara fisiologi hemodilusi
membantu meringankan kerja jantung. Hemodilusi terjadi sejak kehamilan 10 minggu
dan mencapai maksimum pada usia kehamilan 24 minggu atau trimester II dan terus
meningkat hingga usia kehamilan di trimester ke III (Reeder, dkk, 2014).
Anemia pada ibu hamil dapat berdampak terganggunya kesehatan pada ibu
hamil maupun janin yang sedang dikandungnya. Permasalahan kesehatan pada janin
dan ibu hamil dari dampak anemia dapat berupa abortus, persalinan prematur, infeksi,
dan perdarahan saat persalinan. Bahaya lainnya dapat menimbulkan resiko terjadinya
kematian intrauteri, abortus, berat badan lahir rendah, resiko terjadinya cacat bawaan,
peningkatan resiko infeksi pada bayi hingga kematian perinatal atau tingkat
intilegensi bayi rendah (Pratami, 2016).
E. Faktor-faktor penyebab anemia pada ibu hamil
1. Faktor dasar
Sosial dan ekonomi Kondisi lingkungan sosial sangat berkaitan dengan kondisi
ekonomi di suatu daerah dan menentukan pola konsumsi makanan dan gizi yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Misalnya, kondisi sosial di pedesaan dan
perkotaan memiliki pola konsumsi makanan dan gizi yang berbeda pula.
Kondisi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 14 ekonomi seseorang sangat
menentukan dalam penyediaan makanan dan kualitas gizi. Semakin tinggi
tingkat perekonomian seseorang, maka kemungkinan akan semakin baik status
gizinya dan sebalinya (Irianto, 2014).
Pengetahuan Ibu hamil yang memiliki tingkat pengetahuan rendah berisiko
mengalami defisiensi zat besi, jadi tingkat pengetahuan yang kurang tentang
defisiensi zat besi akan memberi pengaruh pada ibu hamil dalam berperilaku
kesehatan dan dapat berakibat pada kurangnya konsumsi makanan yang
mengandung zat besi dikarenakan ketidaktahuannya dan dapat berakibat anemia
pada ibu hamil (Wati, 2016).
Pendidikan Tingkat pendidikan yang baik akan diikuti kemudahan dalam
memahami pengetahuan tentang kesehatan. Sedangkan rendahnya tingkat
pendidikan yang dimiliki seorang ibu hamil dapat menyebabkan keterbatasan
dalam upaya menangani masalah gizi dan kesehatan keluarga (Nurhidayati,
2013).
Budaya Larangan memakan jenis makanan tertentu, berhubungan dengan
makanan yang dilarang atau tidak boleh dimakan, dan banyaknya pola
pantangan terhadap makanan tertentu. Tahayul dan larangan yang beragam yang
didasarkan kepada kebudayaan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 15 dan adat
adat yang beragam di setiap daerah di dunia ini, misalnya pada ibu hamil, ada
sebagian masyarakatyang masih percaya ibu hamil tidak boleh makan ikan,
tidak boleh makan telur dan jenis makanan lainnya (Ariyani, 2016).
3. Faktor langsung
Pola konsumsi Kejadian anemia sangat erat jika dihubungkan dengan pola konsumsi
yang rendah kandungan zat besinya serta makanan yang dapat memperlancar dan
menghambat absorbsi zat besi (Bulkis, 2013).
Infeksi Beberapa infeksi penyakit menyebabkan risiko anemia. Infeksi itu umumnya
adalah TBC, malaria, dan cacingan, karena menyebabkan terjadinya peningkatan
penghancuran sel darah merah dan terganggunya eritrosit. Cacingan sangat jarang
menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya karena cacing menyerap kandungan makanan. Infeksi cacing akan
menyebabkan malnutrisi dan dapat mengakibatkan anemia defisiensi besi pada ibu
hamil. Infeksi yang disebabkan penyakit malaria dapat menyebabkan anemia
(Nurhidayati, 2013).
Pendarahan Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
pendarahan akut bahkan keduanya saling berinteraksi satu sama lain. Pendarahan
menyebabkan banyak unsur besi yang hilang keluar bersama darah sehinggga dapat
berakibat pada anemia menurut (Bulkis, 2013).
F. Tanda gejala
Pada umumnya telah disepakati bahwa tanda-tanda anemia akan jelas apabila kadar
hemoglobin (Hb) >7 gr/dl. Gejala anemia dapat berupa kepala pusing, palpitasi,
berkunang-kunang, pucat, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem
neuromuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia, kurang nafsu makan, menurunnya
kebugaran tubuh, gangguan penyembuhan luka, dan pembesaran kelenjar limpa
(Irianto, 2014)
H. Penanganan anemia
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang
dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat
diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti daging
sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam
dan kangkung, buncis, kacang polong, serta kacang-kacangan. Selain itu, diimbangi
dengan pola makan sehat dengan mengonsumsi vitamin serta suplemen penambah zat
besi untuk hasil yang maksimal (Irianto, 2014). Menurut Arisman (2010), pencegahan
anemia defisiensi zat besi dapat dilakukan dengan 4 pendekatan yaitu:
1. Pemberian tablet atau suntikan zat besi
2. Pendidikan dan upaya yang ada kaitannya dengan peningkatan asupan zat besi melalui
makanan
3. Pengawasan penyakit infeksi
4. Fortifikasi makanan pokok dengan zat besi
A. Pengertian
Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang berlebihan pada wanita hamil
sampai mengganggu aktifitas sehari-hari karena keadaan umum pasien yang buruk
akibat dehidrasi. Mual dan muntah adalah gejala yang umum dan wajar terjadi pada
usia kehamilan trimester I. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, akan tetapi dapat
juga timbul setiap saat dan pada malam hari. Gejala-gejala ini biasanya terjadi 6
minggu setelah hari pertama haid terakhir dan berlangsung selama kurang lebih 10
minggu.
B. Klasifikasi
Berdasarkan pelaksananya dibagi menjadi :
1. Keguguran terapeutik (abortus therapeuticus) Abortus terapeutik adalah
terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin mampu hidup
(viabel) dan hampir 60% abortus terapeutik dilakukan sebelum usia gestasi 8
minggu, dan 88% sebelum minggu ke-12 kehamilan (Handono, 2009).
2. Keguguran buatan illegal (abortus provocatus criminalis) Penguguran
kehamilan tanpa alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum
(Prawirohardjo, 2008).
b. Faktor Eksternal
Faktor lingkungan dan pemakaian obat Diperkirakan 1-10% malformasi janin
akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir
dengan abortus, misalnya adanya paparan terhadap buangan gas anestesi dan
tembakau. Karbonmonoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan
janin serta memacu neurotoksin dengan adanya gangguan pada sistem
sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin berakibat
terjadinya abortus. Kebiasaan minum alkohol dan yang mengandung kafein
secara berlebihan serta kegagalan efektivitas alat kontrasepsi dalam rahim
juga berisiko terhadap insiden abortus pada kehamilan muda.
Faktor sosial budaya Dalam teori Swasono (1997) tentang kehamilan
terhadap konteks budaya yang mengemukakan bahwa aspek kultural pada
masyarakat khususnya Suku Jawa terdapat masa krisis diantara tahapan-
tahapan kehidupan dimana suatu perpindahan dari suatu tahapan dianggap
cukup gawat atau membahayakan, oleh karena itu dilakukan suatu upacara
adat yang disebut crisis rites (upacara waktu krisis) dan rites de passage
(upacara peralihan). Masa kehamilan dianggap masa krisis yang berbahaya
sehingga terdapat upacara adat yang cukup rinci seperti mitoni upacara atau
selamatan usia tujuh bulan kehamilan untuk menyambut dan menangkal
bahaya yang dapat terjadi, dilakukan pada kehamilan pertama seorang wanita
yang juga berfungsi memberikan ketenangan jiwa bagi calon ibu yang belum
pernah mengalami peristiwa melahirkan. Upacara adat lainnya yaitu procotan
yang bertujuan memudahkan bayi untuk lahir. Dan brokohan yaitu upacara
sesudah bayi dilahirkan dengan selamat. Pada teori yang sama dimana
terdapat dikotomi panas dingin pada hubungan asosiatif pantang makanan.
Kondisi hamil sering dianggap menyebabkan wanita dalam keadaan panas
sehingga dilakukan pantangan makanan. Wanita hamil harus memakan
makanan yang berkualitas dingin dan harus dijalankan sampai saat bayinya
lahir untuk mencegah keguguran. Pada budaya masyarakat Kerinci, Jambi.
Wanita hamil dilarang makan rebung agar bayi tidak berbulu, jantung pisang
agar bayi tidak kecil, jamur yang menyebabkan plasenta menjadi kembar dan
sulit lahir. Pada masyarakat Keruak, Lombok Timur terdapat pantangan
makanan gurita, cumi, kepiting, udang, dan ikan pari yang dianggap dapat
menyebabkan ari-ari bayi lekat (retensio plasenta), bayi sulit dilahirkan, atau
malposisi janin, selain itu buah jambu biji dan labu juga dipantang, hal ini
tidak berkaitan dengan faktor kesehatan namun merupakan keyakinan suatu
budaya. Di Desa Tawiri, Ambon adat pantang makan durian. Masyarakat
Bandaneira pantang makanan lemon kuas (orange splash), penduduk di Desa
Jalancagak, Subang memantang makan belut dan nanas muda yang masing
menyakini dapat menyebabkan perdarahan pada kehamilan atau keguguran,
ikan dan makan laut lainnya dapat membuat ASI berbau amis dan membuat
bayi terlilit tali pusat. Kepercayaan akan adanya gangguan roh jahat sebagai
aspek dari supranatural yang umum ditemukan diberbagai suku bangsa yaitu
roh-roh halus yang suka memangsa bayi atau menyebabkan keguguran
kandungan sehingga terdapat cara budaya untuk menangkalnya seperti harus
membawa benda tajam seperti peniti atau pisau lipat. Di kehidupan
masyarakat Dani, Kurulu di Lembah Baliem, Irian Jaya, tugas budaya utama
wanita yang dianggap penting adalah melakukan kegiatan mata pencaharaian
seperti menghasilkan ubi jalar dan babi. Karena itu, kehamilan yang dialami
oleh wanita cenderung tidak disukai dan dianggap mengganggu tugas mereka
diladang. Bahkan, keadaan tersebut dapat mendorong piihan aborsi
tradisional yang beresiko bagi wanita bersangkutan. Dalam jurnal Shrimarti
R.Devi dkk, mengenai perawatan kehamilan dalam perspektif budaya
Madura dimana sebagian masyarakat memeriksakan kehamilannya ke dukun
untuk mengetahui letak posisi bayi dan dapat melakukan pemijatan untuk
mempermudah melahirkan.
Pendidikan
Martadisoebrata dalam Wahyuni (2012) menyatakan bahwa pendidikan
sangat dibutuhkan manusia untuk pengembangan diri dan meningkatkan
kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelektual akan berpengaruh
pada wawasan dan cara berfikir baik dalam tindakan dan pengambilan
keputusan maupun dalam membuat kebijaksaanaan dalam menggunakan
pelayanan kesehatan. Pendidikan yang rendah membuat seseorang acuh tak
acuh terhadap program kesehatan sehingga mereka tidak mengenal bahaya
yang mungkin terjadi, meskipun sarana kesehatan telah tersedia namun
belum tentu mereka mau menggunakannya.
Status ekonomi (pendapatan)
Sosial ekonomi masyarakat yang sering dinyatakan dengan pendapatan
keluarga, mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan kesehatan dan
pemenuhan zat gizi. Hal ini pada akhirnya berpengaruh pada kondisi saat
kehamilan yang berisiko pada kejadian abortus. Selain itu, pendapatan juga
mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan, sehingga
adanya kemungkinan risiko terjadinya abortus dapat terdeteksi.
Pekerjaan
Beberapa wanita yang sudah bekerja juga akan terhambat karirnya
ketika memilih untuk meneruskan kehamilannya. Kondisi pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang wanita dapat juga setara dengan beban kerja laki-laki
baik dari jabatan ataupun jenis pekerjaannya ataupun didukung dengan sosial
ekonomi yang rendah sehingga wanita berisiko mengalami kehamilan yang
tidak diinginkan.
Alkohol
Alkohol dinyatakan meningkatkan risiko abortus spontan, meskipun
hanya digunakan dalam jumlah sedang.
Merokok
Wanita yang merokok diketahui lebih sering mengalami abortus
spontan daripada wanita yang tidak merokok. Kemungkinan bahwa risiko
abortus spontan pada perokok, disebabkan wanita tersebut juga minum
alkohol saat hamil. Baba et al (2010) menyatakan bahwa kebiasaan gaya
hidup termasuk status merokok pada ibu dan suaminya berpengaruh terhadap
kejadian abortus. Merokok 1-19 batang perhari dan lebih dari 20 batang
perhari memiliki efek pada ibu mengalami abortus spontan yang lebih awal.
c. Faktor ayah
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya
abortus spontan. Translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan
abortus dimana abnormalitas kromosom pada sperma berhubungan dengan
abortus (Carrel dkk 2003 dalam Handono 2009).
E. Patofisiologi
Rahmani (2014) mengemukakan bahwa pada permulaan abortus terjadi
perdarahan dalam desidua basalis yang diikuti nekrosis jaringan disekitarnya. Hasil
konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam
uterus. Hal ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan hasil konsepsi.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8-14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga
plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan.
Pada kehamilan lebih dari 14 minggu umumnya yang mulamula dikeluarkan setelah
ketuban pecah, janin disusul beberapa waktu kemudian oleh plasenta yang terbentuk
lengkap.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada
yang hanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa
bentuk yang jelas (blighted ovum) dan ada yang berupa janin lahir mati.
Mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat maka dapat diliputi
oleh lapisan bekuan darah dan isi uterus dinamakan mola kruenta. Bentuk ini menjadi
mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap sehingga semuanya tampak seperti
daging. Bentuk lain adalah mola tuberose dalam hal ini tampak berbenjol-benjol
karena terjadi hematoma antara amnion dan korion. Pada janin yang telah meninggal
dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses mumifikasi yaitu janin mengering dan
karena cairan amnion menjadi kurang oleh sebab diserap, maka menjadi agak gepeng
(fetus kompresus).
Dalam tingkat lebih lanjut menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus
papiraseus). Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah
terjadinya maserasi yaitu kulit terkelupas, tengkorak menjadi lembek, perut membesar
karena terisi cairan, dan seluruh janin berwarna kemerahmerahan.
B. Etiologi
Blighted ovum terjadi saat awal kehamilan. Penyebab dari blighted ovum saat ini
belum diketahui secara pasti, namun diduga karena beberapa faktor. Faktor-faktor
blighted ovum.
1. Adanya kelainan kromosom dalam pertumbuhan sel sperma dan sel telur.
2. Meskipun prosentasenya tidak terlalu besar, infeksi rubella, infeksi TORCH,
kelainan imunologi, dan diabetes melitus yang tidak terkontrol.
3. Faktor usia dan paritas
Semakin tua usia istri atau suami dan semakin banyak jumlah anak yang
dimiliki juga dapat memperbesar peluang terjadinya kehamilan kosong.
4. Kelainan genetik
Faktor lain yang dapat menyebabkan Blighted ovum tersebut adalah kelainan
genetika. Faktor genetik dapat mewariskan kelainan tekanan darah tinggi,
penyakit jantung, dan kondisi terkait lainnya. Resiko penyakit Blighted ovum
bisa meningkat bahkan lebih bila faktor keturunan dikombinasikan dengan
pilihan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok dan makan makanan yang
tidak sehat.
5. Kebiasaan merokok dan alkohol
Merokok dan alkohol dapat merusak jantung dan pembuluh darah, yang
meningkatkan resiko kondisi jantung seperti aterosklerosis dan serangan
jantung. Selain itu, nikotin meningkatkan tekanan darah, dan karbon monoksida
mengurangi jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Kondisi tersebut bukan
hanya berlaku bagi perokok aktif, namun juga berlaku untuk perokok pasif
karena menghirup asap rokok berlebihan
C. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala blighted ovum meliputi :
1. Pada awalnya pemeriksaan awal tes kehamilan menunjukkan hasil positif.
Wanita merasakan gejala-gejala hamil, dalam seperti mudah lelah, merasa ada
yang lain pada payudara atau mual-mual
2. Hasil pemeriksaan USG saat usia kehamilan lebih dari 8 minggu rahim masih
kosong.
3. Meskipun tidak ada perkembangan embrio, tetapi kadar HCG akan terus
diproduksi oleh trofoblas di kantong
4. Keluar bercak perdarahan dari vagina
D. Patologis
Fertilisasi
E. Tindakan Penanganan
Terminasi kehamilan dengan dilatasi serviks dan dilanjutkan dengan
kuretase. Aborsi bedah sebelum usia kehamilan 14 minggu dilakukan dengan cara
mula-mula membuka serviks, kemudian mengeluarkan kehamilan secara mekanis
yaitu dengan mengerok isi uterus (kuretase tajam) , dengan aspirasi vakum
(kuretase isap) atau keduanya. Sedangkan jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu
dilakukan dilatasi dan evakuasi (D&E). Tindakan ini berupa pembukaan serviks
secara lebar diikuti oleh destruksi mekanis dan evakuasi bagian janin, setelah janin
dikeluarkan secara lengkap maka digunakan kuret vakum berlubang besar untuk
mengeluarkan plasenta dan sisa jaringan. Dilatasi dan Ekstrasi (D&X), hampir
sama dengan (D&E) yang membedakan pada (D&X) sebagian dari janin di ekstrasi
melalui serviks yang telah membuka.
B. Faktor Resiko
1. Usia
Usia merupakan faktor resiko yang penting terhadap terjadinya kehamilan
ektopik. Sebagian besar wanita mengalami kehamilan ektopik berumur 20-40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Menurut Linardakis (1998) 40% dari
kehamilan ektopik terjadi antara umur 20-29 tahun
2. Paritas
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan pertambahan paritas.
Kejadian ini lebih banyak terjadi pada multipara
3. Ras atau Suku
Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada wanita kulit hitam dari pada
wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena peradangan pelvis lebih
banyak ditemukan pada golongan wanita kulit hitam
4. Tingkat Pendidikan
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannya selama kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor
penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga keluarga.16
Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin meningkat
pengetahuan dan kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan dalam
kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan
pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur.
5. Pekerjaan
Derajat sosio ekonomi masyarakat akan menunjukkan tingkat kesejahteraan dan
kesempatannya dalam menggunakan dan menerima pelayanan kesehatan. Jenis
pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan keadaan sosio ekonomi
keluarga. Kehamilan ektopik lebih sering terjadi pada keadaan sosio ekonomi
yang rendah
6. Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik adalah
infeksi, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur, dan keadaan infertile
7. Riwayat kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan kehamilan
ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral atau dengan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR) , rasio kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan intrauterin
adalah lebih besar daripada wanita-wanita yang tidak menggunakan metode
kontrasepsi.18 Kejadian kehamilan ektopik pada akseptor AKDR dilaporkan 12
kali lebih tinggi dibandingkan dengan pemakai kondom. Diperkirakan terjadi 2
kehamilan ektopik per 1000 akseptor AKDR setiap tahun. Akseptor pil yang
berisi hanya progestagen dilaporkan mempunyai insiden yang tinggi terhadap
kehamilan ektopik apabila terjadi kehamilan selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan insidennya yang biasa. Pada pemakai pil mini
4- 6% dari kehamilannya dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi dilaporkantidak
terjadi perubahan insiden pada akseptor pil kombinasi
8. Riwayat infeksi pelvis
Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan ektopik
mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. Calon ibu menderita infeksi
akibat penyakit GO (gonorrhea) ataupun radang panggul. Hal inilah yang
menyebabkan ibu yang menderita keputihan harus melakukan pemeriksaan
untuk memastikan gejala yang di deritanya adalah tanda infeksi atau hanya
keputihan yang bersifat fisiologis
9. Riwayat operasi tuba
Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur sterilisasi yang
gagalmaupun usaha untuk memperbaiki infertilitas tuba semakin umum sebagai
faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik
10. Merokok
Merokok pada waktu terjadi konsepsi meningkatkan insiden kehamilan ektopik
yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan afinitas reseptor
andrenergik dalam tuba
C. Klasifikasi
Kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari kehamilan
ektopik, dapat dibedakan menurut :
1. Kehamilan tuba merupakan kehamilan ektopik pada setiap bagian tuba fallopi.
Merupakan bagian jenis terbanyak gestasi ekstra uterin yang paling sering
terjadi sekitar 95% dari kehamilan ektopik. Kehamilan tuba akan menghasilkan
salah satu dari ketiga hal ini :
Kematian ovum dalam stadium dini : ovum ini kemudian bisa di absorpsi
seluruhnya atau tetap tinggal sebagai mola tuba
Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling sering ditemukan, bersama-sama
ovum (dan kemungkinan pula darah) akan dikeluarkan dari tuba untuk masuk
ke dalam uterus atau keluar ke dalam kavum peritoneum.
Ruptura tuba : erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau ovum terus
tumbuh hingga melampaui kemampuan peregangan otot tuba
2. Kehamilan ovarial merupakan kehamilan pada ovarium, perdarahan terjadi
bukan saja disebabkan oleh pecahnya kehamilan ovarium tetapi juga rupture
tuba korpus luteum, torsi dan endometriosis. Meskipun daya akomodasi
ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba,
kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada trimester awal.
3. Kehamilan uterus merupakan kehamilan pada uterus tidak pada tempat yang
tepat, pada endometrium kavum uteri sebab implantasi terjadi pada kanalis
servikalis (gestasi pada servikal uteri), diverticulum (gestasi pada invertikulum
uteri), kurnua (gestasi pada kornu uteri), tanduk rudimenter (gestasi pada tanduk
rudimenter)
4. Kehamilan servikal adalah jenis dari kehamilan ektopik yang jarang terjadi.11
Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur, serviks
mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu
sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil
F. Penanganan
Penanganan kehamilan ektopik terganggu pada umumnya adalah
laparotomi. Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan
menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum
penderita terus diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak mungkin
dikeluarkan. Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan
yaitu: kondisi penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi
reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik. Hasil ini menentukan apakah perlu
dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang terganggu) pada
kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG (kuantitatif).
Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya jaringan
ektopik yang belum terangkat.
Penanganan pada kehamilan ektopik terganggu dapat pula dengan transfusi,
infus, oksigen atau kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan
antiinflamasi. Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya
penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit
2.6 Molahidatidosa
A. Pengertian
Molahidatidosa adalah kehamilan yang terjadi pada saat sel telur yang
dibuahi sperma tidak berkembang menjadi sebuah janin sebagaimana biasanya.
Hasil pembuahan justru berkembang menjadi gelembung-gelembung yang semakin
lama makin banyak dan membentuk kelompok-kelompok yang mirip dengan buah
anggur.
Molahidatidosa ditandai dengan villi korialis yang mengalami perubahan
hidrofobik membentuk kelompok-kelompok menyerupai buah anggur.
MolaHidatidosa merupakan salah satu tipe penyakit trofoblas gestasional, yakni
penyakit berasal dari sel yang pada keadaan normal berkembang menjadi plasenta
pada masa kehamilan, meliputi berbagai penyakit yang berasal dari sel-sel
trofoblas
B. Etiologi
Faktor resiko terjadinya mola hidatidosa adalah pembengkakan pada vili
(degenerasi pada hidrofik) dan poliferasi trofoblas. Faktor yang dapat
menyebabkan mola hidatidosa antara lain :
Riwayat kehamilan molahidatidosa sebelumnya
Wanita yang pernah mengalami kehamilan mola hidatidosa memiliki resiko 2
kali lipat dibandingkan dengan yang belum pernah mengalami kehamilan mola
hidatidosa.
Riwayat genetik
Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa kehamilan mola hidatidosa
memiliki penyebab genetik terkait dengan mutasi gen pada kromosom 19
Faktor makanan
Asupan rendah karotene dan rendah lemak hewani dikaitkan dengan
peningkatan resiko kehamilan mola hidatidosa sempurna, termasuk juga
kekurangan vitamin A
F. Tindakan Penanganan
Terapi mola hidatidosa ada 3 tahapan yaitu:
1. Perbaikan keadaan umum
Perbaikan keadaan umum pada pasien mola hidatidosa, yaitu :
a. Koreksi dehidrasi
b. Transfusi darah bila ada anemia (Hb 8 ggr % atau kurang)
c. Bila ada gejala pre eklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai
dengan protokol penanganan di bagian obstetrik dan ginekologi
d. Bila ada gejala-gejala tirotoksikosis, dikonsultasikan ke bagian penyakit
dalam
1. Pengeluaran jaringan mola dengan cara kuretase dan histerektomi
a. Kuretase pada pasien mola hidatidosa:
Dilakukan setelah pemeriksaan persiapan selesai (pemeriksaan darah
rutin, kadar beta HCG dan foto toraks) kecuali bila jaringan mola sudah
keluar spontan
Bila kanalis servikalis belum terbuka maka dilakukan pemasangan
laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian
Sebelum melakukan kuretase, sediakan darah 500 cc dan pasang infuse
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc dekstrose 5%
Kuretase dilakukan 2 kali dengan interval minimal 1 minggu
Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium PA
b. Histerektomi
Syarat melakukan histerektomi adalah
Umur ibu 35 tahun atau lebih
Sudah memiliki anak hidup 3 orang atau lebih
2. Pemeriksaan tindak lanjut Menurut Sujiyatini, 2009 pemeriksaan tindak lanjut
pada pasien mola hidatidosa meliputi :
a. Lama pengawasan 1-2 tahun
b. Selama pengawasan, pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi kondom,
pil kombinasi atau diafragma. Pemeriksaan fisik dilakukan setiap kali pasien
datang untuk kontrol
c. Pemeriksaan kadar beta HCG dilakukan setiap minggu sampai ditemukan
kadarnya yang normal 3 kali berturut-turut
d. Setelah itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai ditemukan kadarnya
yang normal 6 kali berturut-turut
e. Bila telah terjadi remisi spontan (kadar beta HCG, pemeriksaan fisik, dan
foto toraks semuanya normal) setelah 1 tahun maka pasien tersebut dapat
berhenti menggunakan kontraasepsi dan dapat hamil kembali
f. Bila selama masa observasi, kadar beta HCG tetap atau meningkat dan pada
pemeriksaan foto toraks ditemukan adanya tanda-tanda metastasis maka
pasien harus dievaluasi dan dimulai pemberian kemoterapi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak
konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan, agar kehamilan, persalinan serta
masa nifas seorang ibu berjalan normal, ibu membutuhkan pelayanan kesehatan yang
baik.
Penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia sendiri dikarenakan beberapa
factor, salah satunya adalah tidak dilakukannya asuhan secara berkesinambungan yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi pada ibu dan bayi, komplikasi yang
tidak ditangani ini menyebabkan kematian yang berkontribusi terhadap peningkatannya
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Untuk penyebab
tingginya AKI dan AKB di Indonesia pada ibu hamil sendiri adalah komplikasi, dan
yang terjadi adalah anemia dalam kehamilan, tekanan darah tinggi/hiprtensi dalam
kehamilan (preeklamsia/eklamsia), aborsi dan janin mati dalam rahim, ketuban pecah
dini serta adanya penyakit yang tidak diketahui sehingga dapat mengangu proses
kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/5878/4/Chapter%202.pdf
file:///C:/Users/Hp/Downloads/5114-1-8069-1-10-20130408.pdf
http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/assets/file/kti/1602420015/7._BAB_2_.pdf