You are on page 1of 6

REFLEKSI PIDATO

Pada pidato yang saya lakukan pada hari Kamis, 27 Oktober 2022 kemarin
bertemakan tentang identitas sosial yang mana mengambil topik mengenai cinta
tanah air. Pada saat saya memulai pidato dimulai dengan mukadimah
(pembukaan). Pada pembukaan ini ditujukan kepada para audience atau tamu
undangan dan para peserta lainnya. Dalam pembukaan dimulai dengan rasa
syukur dan memuji Allah SWT serta memanjatkan shalawat serta salam pada
Rasulullah SAW. Dalam penyampaian pembukaannya, saya masih terlihat
membaca teks pada beberapa kalimat sehingga pandangan kurang mengarah ke
audience serta kurang mengajak audience untuk banyak berinteraksi setelahnya.
Kemudian, saat memulai menyampaikan isi pidato, dalam isinya, saya mencoba
menyampaikan secara runtut dan saling berkesinambungan tetapi dalam
menyampaikannya masih terlihat monoton sehingga membuat peserta tidak dapat
menyimak dengan seksama karena dalam menyampaikan intonasinya belum tepat
serta kurang mengajak interaksi dalam menyampaikan isi pidato.
Menurut saya, pidato yang menarik dapat berinteraksi dengan audience
serta dapat membuat audience terbawa dalam isi pidato yang disampaikan hingga
dapat membuat suasana menjadi dua arah sehingga dalam pidato menjadi
ekspresif dan berjalan dengan formal dan menyenangkan. Kemarin, intonasi saya
terlalu cepat dan sedikit merasa berdebar karena baru pertama kali menyampaikan
pidato di depan umum. Menurut saya isi atau inti pidato juga sangat penting agar
para audience dapat berantusias dalam mendengarkan pidato. Sepertinya dengan
adanya interaksi antara penyampai pidato dan audience juga tak kalah pentingnya
agar keduanya sama-sama berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang
disampaikan dalam pidato agar rasa cinta terhadap tanah air dapat tumbuh dalam
diri audience melalui pidato yang dibawakan. Dari segi isi, saya mengurutkan alur
cerita mulai dari latar belakang masalah yang dimulai dengan pengertian dari apa
itu cinta tanah air.
Sebaiknya, dalam penyampaian ini saya bisa mengajak komunikasi dua
arah dengan audience untuk mengungkapkan pendapatnya masing-masing
mengenai apa arti dari cinta tanah air. Sehingga penyampai pidato dapat
mengetahui pandangan para audience agar menjadi satu frekuensi dan
menyimpulkan pengertian dari apa itu cinta tanah air sehingga audience akan
dapat memaknai arti dan maknanya. Selanjutnya dalam isinya, saya
menyampaikan cara-cara yang dapat dilakukan sebagai wujud kita mencintai
tanah air, jika pidato dilakukan dengan diskusi akan lebih menarik audience
berantusias dan penyampai pidato bisa lebih mengenal dekat dan mengetahui
apakah nilai-nilai yang akan disampaikan dapat tersampaikan dengan baik kepada
para audience. Dalam penjabaran kerangka, dapat dilakukan dengan diskusi dan
mengambil kesimpulan dari diskusi tersebut. Saat berpidato kemarin, saya masih
membaca teks sehingga beum dapat mengajar para audience berdiskusi sehingga
terkesan satu arah hanya saya saja yang beropini. Penggunaan naskah sebenarnya
diperbolehkan namun menurut saya haya sebagai acuan dan arahan kita dalam
menyampaikan dan tidak membaca ke audience secara keseluruhan karena bahasa
dan kalimat yang disampaikan bisa disesusaikan dengan para audience dan dapat
dikembangkan oleh penyampai pidato. Alasan mengajak dua arah dalam
penyampaian pidato kepada audience adalah agar suasana tidak terkesana
monoton dan tidak membosankan. Perlu banyak berlatih, membaca banyak
sumber agar pidato yang disampaikan lebih berkualitas. Kerangka pidato
sebenarnya hanya untuk membantu untuk mengembangkan isi yang disampaikan
bukan untuk dibaca lalu disampaikan langsung kepada para audience, karena
menghindari bahasa atau kalimat yang mungkin ada yang tidak diketahui audience
sehingga kita bisa mengembangkannya secara spontan sesuai kondisi audience
yang hadir.
Serta hendaknya dapat membuat kalimat yang mudah dipahami dan
dimengerti oleh para audience. Gestur tubuh juga sangat penting, kemarin saat
pidato saya belum menerapkannya, mungkin kedepannya saya akan mencobanya
dengan lebih baik lagi agar mendapatkan hasil dan manfaat yang maksimal bagi
saya sendiri dan juga para audience. Saat menyampaikan saya merasa masih
kurang percaya diri untuk tampil di depan umum, dan hal yang harus saya lakukan
adalah mencoba untuk percaya diri dan banyak berlatih di depan cermin agar
terbiasa atau mencobanya di hadapan beberapa teman. Intonasi dan pelafalan
dilakukan dengan pas dan tidak dilakukan secara terburu-buru agar dapat
membawa makna dalam pidato yang disampaikan dengan sebaik-baiknya. Adanya
antusias daari pendengar/audience sangatlah penting, dan dari beberapa teknik
pidato pasti terdapat kekurangannya, namun dari situ dapat dipilah yang mana
yang akan dilakukan.
Kesimpulan saya secara pribadi, dalam menyampaikan pidato lebih baik
dengan menggunakan metode ekstemporan yaitu penyampaian pidato yang
dibantu dengan catatan kecil yang berisi poin-poin dan garis besar isi dari pidato.
Catatan tersebut dapat membantu penyampai pidato menjabarkan pembahasan
pidatodalam uraian yang lebih jelas dan detail. Penyampaian dapat sistematis dan
lengkap, dapat mengeksploarasi ekspresi, mendapat perhatian public atau
pendengar dan nampak lebih lancar dalam menyampaikan pidato.
Banyaknya berlatih, membaca dari banyaknya referensi dapat menambah
kosa kata kita, diksi dan juga wawasan dalam pidato yang akan disampaikan
sehingga perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar dapat berjalan sesuai
tujuan dan keinginan. Menjadi penyampai pidato yang berkualitas, perlu banyak
jam terbang atau berlatih public speaking sehingga perlu banyak berlatih,
membaca dan mendengarkan dari orang lain yang menurut kita sudah ahli dan
dapat belajar dengannya. Dengan adanya tugas pidato ini dapat pula
mengembangkan soft-skill kita untuk berbicara di depan umum yang nantinya
akan mudah kita lakukan jika sudah terbiasa ketika terjun langsung dalam
masyarakat.
Link Youtube Pidato : https://youtu.be/AvDj0HWvlE0

Breakdown Artikel
Judul : Menyikapi Makanan Non-Halal di Indonesia
Penulis : Mustolih Siradj, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Sumber : nu.or.id
Link : https://www.nu.or.id/opini/menyikapi-makanan-non-halal-di-indonesia-
MFKqZ
Poin-Poin :
1. Penjelasan latar belakang mengenai kekayaan Indonesia salah satunya
adalah kuliner yang harus dipastikan aman dari cemaran biologis, kimia,
atau benda lain yang merugikan dan membahayakan kesehatan serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat.
2. Bagi kalangan muslim makanan harus dipastikan hahl bebas dari zat-zat
dan barang-barang non-halal (halalan thayyiba), yang mana sangat penting
karena sebagai garansi menyangkut ketenangan batin sebagai
pengejewantahan doktrin agama.
3. Karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbesar
di dunia sehingga menjadi target pasar peredaran makanan karena
makanan menjadi kebutuhan yang sangat mendasar, oleh karenanya
muncul berbagai kebijakan yang memiliki keterkaitan, saling mengisi dan
beririsan diantaranya UU Perlindungan Konsumen, UU Pangan, UU
Kesehatan, UU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan UU Jaminan
Produk Halal (UUJPH). Dari beberapa beleid tersebut pula aturan-aturn
turunan yang memberikan panduan lebih teknis mengatur syarat dan
ketentuan peredaran makanan.
4. Keterbukaan pelaku usaha makanan sangat penting dalam memberikan
informasi sebenar-sebenarnya kepada masyarakat tentang bahan asal,
keamanan, mutu, kandungan gizi, takaran, daluwarsa dan keterangan lain
yang diperlukan mengingat pihak pelaku usaha-lah yang mengetahui
secara pasti asal muasal dan teknik produk yang dibuatnya.
5. Merujuk pada pasal Pasal 97 ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, informasi terkait dengan makanan harus ditulis dengan bahasa
Indonesia yang mudah dibaca dan dipahami yang memuat sedikitnya
tentang nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi
bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor, halal
bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, tanggal, bulan, dan
tahun kedaluwarsa, nomor izin edar bagi panganan olahan, dan asal usul
bahan pangan tertentu.
6. Sebagai bangsa yang memiliki penduduk mayoritas muslim terbesar di
dunia, soal halal menjadi perhatian yang begitu penting bagi pemerintah
untuk memastikan dan menjamin ketersediaan pangan halal yang sesuai
dengan standar.
7. Bagi kaum muslim mengkonsumsi makanan halal adalah harga mati. Hal
ini juga telah mendapat legitimasi sedemikian rupa melalui berbagai
regulasi. Namun kerap ada kekeliruan, term halal dianggap baru berlaku
dengan terbitnya UU Nomor 33/ 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Padahal jauh sebelum itu persoalan halal telah banyak tersebar sebelum
UUJPH terbit misalnya saja UU Perlindungan Konsumen (UUPK) yang
terbit pada 1999 sekira dua puluh tiga tahun silam sudah mendorong
perlunya sertifikasi halal bagi pelaku usaha meskipun masih bersifat suka
rela (voluntary). Sebelum UUPK, telah terbit Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985 tentang
Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Memang UUJPH yang
kemudian melahirkan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal) lembaga yang secara khusus berwenang mengatur, mengawasi dan
menerbitkan sertifikasi halal di bawah naungan Kementerian Agama.
8. Seperti halnya jenis makanan yang telah dikenal luas maka sangat
dimungkinkan untuk diberi sentuhan, kreasi maupun aroma baru dari
pihak yang ingin mengambil manfaat dan keuntungan dari popularitas
makanan tersebut dengan menambah campuran maupun tambahan atau
bahkan merubah bahan asalnya.
9. Menyikapi fenomena semacam ini maka program sertifikasi halal dapat
menjadi solusi untuk memastikan bahwa makanan yang diperjualbelikan
dan beredar benar-benar terjamin kehalalannya, bukan saja bagi makanan
yang diragukan kehalalannya namun juga yang selama ini sebenarnya
sudah identik sebagai makanan halal.
10. Sertifikasi halal tidak hanya menggunakan pendekatan syar’i dengan
melibatkan peran MUI sebagai pemberi fatwa, disamping itu ada
serangkaian proses metode ilmiah (scientific) melalui laboratorium yang
dikawal auditor di Lembaga Penjamin Halal (LPH) sehingga bebas dari
cemaran biologis, kimia maupun radiasi. Setelah proses tersebut berhasil
dilalui barulah bisa terbit sertifikasi halal yang nanti output-nya adalah
label halal yang menjadi jaminan produk makanan tersebut layak
dikonsumsi. Sertifikasi halal memberikan jaminan secara objektif atas
kepentingan pelaku usaha dan konsumen sehingga kedua belah pihak
sama-sama diuntungkan. Untuk kalangan UMKM pemerintah memberikan
kebijakan berbeda dengan membebaskan biaya dengan tarif nol rupiah.
11. Pada dasarnya tidak ada larangan untuk mengedarkan dan
memperdagangkan makanan nonhalal di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia termasuk yang mengandung babi. Namun dalam mengedarkan
dan memasarkan ada sejumlah hak konsumen sekaligus tanggung jawab
pelaku usaha dengan memberikan pernyataan kebenaran informasi atas
produknya. Jika memang terdapat campuran nonhalal maka penting untuk
memberikan pernyataan yang tegas dan jelas. Di samping itu faktor
keyakinan dan budaya masyarakat perlu menjadi pertimbangan agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman dan keresahan konsumen.
Tugas Screenshot Aspirasi ke Wakil Rakyat
Nama : Arif Fathoni
Jabatan : Komisi A DPRD Kota Surabaya

You might also like