You are on page 1of 4

Sejarah Pembentukan UUPA atau Undang-Undang Pokok Agraria memiliki serangkaian proses yang

panjang dengan dimulai pada penetapan Panitia Agraria Yogyakarta (PAY). Panitia ini dibentuk
berdasarkan Surat Ketetapan Presiden No.16 oleh Soekarno pada tanggal 12 Mei 1948. Tujuan dari
pembentukan panitia tersebut adalah untuk menyusun hukum agraria yang baru serta penetapan
kebijaksanaan politik agraria negara.

Setelah pembentukan panitia tersebut, Sejarah Pembentukan UUPA (Undang-Undang Pokok


Agraria) tidak serta merta jadi dapat diterapkan. Ada perjalanan panjang hingga akhirnya
undang-undang tersebut berhasil ditetapkan. Butuh waktu yang panjang dan berbagai
perundingan hingga akhirnya resmi diberlakukan. Lantas seperti apa sejarah terbentuknya
undang-undang tersebut? Simak ulasannya berikut ini!

Pembentukan Panitia Agraria Yogyakarta (PAY) hingga Panitia Agraria Jakarta (PAJ)

Kepanitiaan yang bertugas untuk menyusun hukum dan politik agraria ini diketuai oleh Sarimin
Reksodiharjo. Anggota dari kepanitiaan adalah para pejabat utusan kementerian dan berbagai
jawatan, wakil dari organisasi-organisasi petani yang juga tergabung sebagai anggota KNIP,
wakil Serikat Buruh Perkebunan, serta para ahli hukum terutama hukum adat.

Lima tahun berlanjut Panitia Agraria Yogyakarta hanya mampu menghasilkan karya dalam
bentuk laporan. Hasil kepanitiaan tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden pada tanggal
3 Februari 1950. Sementara itu merujuk pada proses pemindahan kekuasaan negara menuju
Jakarta, maka PAY resmi dibubarkan pada tanggal 9 Maret 1951 oleh Soekarno. Pembubaran
tersebut dikeluarkan melaluk SK Presiden No. 36 tahun 1951.

Sebenarnya pembubaran panitia bertujuan untuk mengganti saja yaitu dari Pantia Agraria
Yogyakarta menjadi Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Tugas utama dari panitia ini nyaris sama
dengan PAY. Adapun yang menjadi ketua dari PAJ masih tetap Sarimin Reksodiharjo.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden pada tanggal 29 Maret 1955 No. 55, dibentuklah
Kementerian Agraria. Kementerian tersebut berada pada masa kabinet Ali Sastromidjojo I.
Tugas utama dari kementerian ini adalah membentuk undang-undang agraria nasional yang
sesuai dengan pasal 25 ayat 1, pasal 37 ayat 1, dan pasal 38 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar
Sementara.

Pembentukan Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo)

Kepanitiaan Agraria Jakarta tetap berjalan dan bekerja semestinya, meskipun ketuanya telah
berganti menjadi Singgih Praptodihardjo. Akan tetapi akhirnya kepanitiaan ini dibubarkan,
karena dianggap tidak dapat menyusun Rancangan Undang-Undang Agraria. Akhirnya
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia 14 Januari 1956, No. 1 tahun 1956,
dibentuk kembali Panitia Negara Urusan Agraria dengan ketua Soewahjo Soemodilogo yang
juga merupakan Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria. Anggota dari kepanitiaan adalah
pejabat dari Kementerian dan Jawatan, para ahli hukum adat, serta wakil dari beberapa
organisasi petani.

Kepanitian ini memanfaatkan semua bahan yang sudah disusun oleh kedua panitia agraria
sebelumnya. Panitia Negara Urusan Agraria ini juga disebut sebagai Panitia Soewahjo yang
akhirnya berhasil membuat rancangan undang-undang tepat pada tanggal 6 Februari 1958.
Rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri Agraria. Tidak lama berselang
kepanitiaan ini akhirnya dibubarkan, karena tugasnya dianggap telah selesai. Pokok dari RUU
hasil Panitia Soewahjo adalah:

1. Asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara sesuai dengan
ketentuan pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara.
2. Asas bawah tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya. (Tidak
disampaikan kepada DPR)
Rancangan Soenarjo

Beberapa pasal pada rancangan undang-undang yang dihasilkan Panitia Soewahjo kemudian
dirumuskan ulang dan beberapa sistematika juga mengalami perubahan. Akhirnya rancangan
tersebut kemudian menjadi suatu dokumen yang dikenal sebagai Rancangan Soenarjo.
Rancangan ini selanjutnya diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada
tanggal 15 Maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya yang ke-94 akhirnya menyetujui
rancangan tersebut pada 1 April 1958. Selanjutnya rancangan tersebut diajukan kepada DRP
berdasarkan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.

Rancangan ini dibahas dalam beberapa tahap oleh DPR. Pada tanggal 16 Desember 1958 dalam
sidang pleno DPR, Soenarjo menjawab pemandangan umum DPR terhadap rancangannya. DPR
akhirnya memutuskan bahwa masih perlu dikumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap terkait
rancangan tersebut. Lalu dibentuklah panitia adhoc dengan ketua AM. Tambunan. Panitia ini
banyak sekali mendapat masukan dari Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro, serta
Seksi Agraria Universitas Agraria, Pro. Notonagoro.
Selanjutnya ketika Dekrit Presiden 1 Juli 1959 tenang pemberlakuan kembali Undang-Undang
Dasar 1945 dikeluarkan, maka Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria Soenarjo ditarik.
Penarikan tersebut secara resmi dilakukan setelah keluarnya Surat Pejabat Presiden tanggal 23
Mei 1960 No. 1532/HK/1960. Rancangan Undang-Undang Agraria tersebut dianggap kurang
cocok, karena masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai bahan acuan.

Rancangan Sadjarwo

Meskipun Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ditarik, tetapi dalam kenayataannya tetap
belangsung. Rancangan tersebut kemudian disesuaikan terhadap Undang-Undang Dasar 1945
serta Manifesto Politik Indonesia dalam hal ini pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17
Agustus 1959. Setelah proses penyesuaian dan racangan sudah menjadi lebih sempurna dan
lengkap, maka rancangan tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo.

Karena diajukan oleh Menteri Sadjarwo, maka Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut dikenal sebagai Rancangan Sadjarwo. Rancangan tersebut akhirnya disetujui oleh
Kabinet Inti dalam sidang yang dilangsungkan pada tanggal 22 Juli 1960 dan disetujui pula oleh
Kabinet Pleno dalam persidangan yang diadakan pada tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal itu
pula dikeluarkan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 No. 2584/HK/60 untuk mengajukan
rancangan tersebut kepada Dewan Perwaikilan Rakyat Gotong Royong atau DPR-GR.

Penetapan Undang-Undang Pokok Agraria


Setelah pengajuan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, maka dilakukanlah berbagai
tahap. Mulai dari pemeriksaan pendahuluan, lalu dilanjutkan pembahasan dalam sidang-sidang
komisi tertutup, kemudian pemandangan umum, dan terakhir pada sidang-sidang pleno yang
diadakan tanggal 14 September 1960 akhirnya DPR-GR menerima rancangan tersebut dengan
suara bulat. Bahkan semua golongan yang tergabung dalam DPR-GR baik itu Golongan Islam,
Golongan Nasionalis, Golongan Komunis, dan Golongan Karya setuju dengan hal itu.

Akhirnya tepat pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960, RUU yang sebelumnya sudah
disetujui oleh DPR-GR, secara resmi disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria. Dalam diktatum Presiden kemudian lebih dikenal sebagai Undang-
Undang Pokok Agraria atau UUPA.

Penetapan UUPA menghapuskan sistem kolonial terkait hukum agraria. Nilai yang terkandung
dalam UUPA pada dasarnya merupakan hasil penjabaran dari pasal 33 ayat 2 UUD 1945.
Undang-undang ini sendiri mengandung 70 pasal, 4 bab, dan 5 bagian yang sesungguhnya masih
terbilang sangat terbatas dan singkat. Dengan begitu dibutuhkan undang-undang untuk
mejabarkannya, tetapi UUPA tetap menjadi dasar hukum tertinggi tentang hukum agraria.
Undang-undang ini juga menerapkan hukum adat di dalamnya.

You might also like