You are on page 1of 22

“PENGERTIAN, SUMBER DAN ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN

HUKUM PERADILAN AGAMA”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah pada mata kuliah:

HUKUM ACARA PERDATA DAN PERADILAN AGAMA

Dosen Pengampu:
Hotnidah Nasution M.Ag.

Disusun oleh :

Ramanda alfarisi 11200490000076


Ulinnuha 11200490000084
Muhammad fiqri 11200490000129

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pengertian, Sumber
Asas Hukum Acara dan Hukum Peradilan Agama” Adapun tugas makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah hukum acara perdata dan peradilan agama.
Ucapan terimakasih tak lupa kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu
kami menyelesaikan tugas ini dan dukungan teman-teman, orangtua, serta bimbingan dan
kesempatan yang diberikan oleh dosen pengampu kepada kami untuk membahas mkalah ini.
Kami sudah berusaha sebaik mungkin dalam mengerjakan makalah ini, namun mustahil
apabila makalah yang kami buat ini tidak ada kekurangan maupun kesalahan, maka dari itu kami
berharap kritik dan saran dari para pembaca yang dapat membangun kami menjadi lebih baik
lagi.
Kami berharap dari penyusunan makalah ini dapat memberi manfaat bagi kami serta para
pembaca.

Bekasi, 10 September 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang........................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah ..................................................................................................1
3. Tujuan Penulisan ....................................................................................................2
4. Kegenuaan Penulisan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Acara Perdata dan Pengadilan Agama ....................................3
2. Peradilan Umum dan Peradilan Agama (kedudukan dan kewenangannya) ........... 4
3. Sumber Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama ............................................ 9
4. Asas-Asas Hukum Perdata dan Peradilan Agama ................................................ 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 18
B. Saran .................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Suatu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur'an, Hadis Rasul, dan
ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan hukum material sebagai pedoman hidup
dan aturan dalam hubungan antara manusia (muammalah) serta hukum formal sebagal pedoman
beracara di pengadilan agama. Pada bab ini akan dibahas hal-hal penting berupa gambaran
umum, istilah-istilah yang perlu dipahami dan sumber-sumber hukum acara Islam yang menjadi
pegangan dalam Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Peradilan agama sebenarnya sudah ada sejak agama Islam dikenal dan diterima di
wilayah Nusantara, contoh di Kerajaan Mataram kurang lebih tahun 1610-1645 dikenal peradilan
serambi, karena tempat mengadili diadakan di serambi masjid, dan hakim-hakimnya diangkat
oleh sultan, Pengakuan berlakunya hukum Islam yang telah ada sejak lama di wilayah Nusantara
ini pada masa yang lalu tecermin dalam kegiatan peradilan di beberapa kerajaan/kesultanan
Ketika pemerintah Belanda menjajah Kepulauan Nusantara.
Pokok kekuasaan kehakiman, secara formal, maka keberadaan peradilan agama diakui,
namun mengenai susunan dan kekuasaan wewenangnya masih beragam dan hukum acara yang
digunakan adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement), serta peraturan peraturan yang diambil
dari hukum acara peradilan Islam Mengenal materiel sensi dengan wewenang peradilan agama
yang pada hakikatnya menyelesaikan persoalan-persoalan dan perkara yang berkenaan dengan
perkawinan, warisan, dan wakaf berlandaskan pada ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat
dalam Al-Qur'an, Sunnah Rasul serta ijtihad yang dijabarkan lebih lanjut dalam Undang Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Rumusan Masalah
a. Pengertian Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama
b. Peradilan Umum dan Peradilan Agama (kedudukan dan kewenangannya)
c. Sumber Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama
d. Asas-Asas Hukum Perdata dan Peradilan Agama

1
3. Tujuan Penulisan
a. Memahami Penjelasan dari Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama
b. Memahami peradilan Umum dan Peradilan Agama dari kedudukan dan kewenangannya
c. Mengetahui Secara Umum Sumber Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama Serta Asas-
Asas Hukum Perdata dan Peradilan Agama

4. Kegunaan Penulisan
Dengan adanya makalah yang menjadi salah satu syarat untuk untuk menyelesaikan
tugas kelompok yang di laksanakan pada mata kuliah Hukum Acara Perdata dan Peradilan
Agama. Makalah ini akan berguna untuk:
1. Kegunaan Teoristis makalah ini dapat dijadikan bahan referensi wawasan bagi mahasiswa
2. Kegunaan Praktis makalah ini diharapkan untuk memperluas pengetahuan mahasiwa
ataupun pembaca bahwa betapa pentingnya mengetahui dasar-dasar dari hukum acara
perdata dan peradilan agama.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Acara Perdata dan Pengadilan Agama

Dalam kajian hukum acara perdata dan peradilan agama ada beberapa istilah yang perlu
dipahami, yaitu: Peradilan, berasal dari bahasa Arab adil yang mudah diserap menjadi bahasa
Indonesia yang artinya proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan1 atau
penyelesaian sengketa hukum, peradilan menurut peraturan yang berlaku. Peradilan merupakan
suatu pengertian yang umum. Dalam bahasa Arab disebut ol-qudha, artinya proses mengadili dan
proses mencari keadilan Dalam bahasa Belanda disebut reeshtpraak Dalam kaitannya dengan
peradilan agama, pengertian peradilan kini tertuang dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 7
Tahun 1989. Pada pasal yang terdapat perubahan bunyi Pasal Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
yang menyebutkan bahwa "Peradilan agama adalah salah satu pelaku kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai pakara tertentu.
Yang dimaksud dengan hukum acara perdata di sini adalah hukum acara perdata yang
berlaku di lingkungan peradilan agama. Pada Pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
diterangkan bahwa hukum acara yang berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
dan diatur oleh undang- undang.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan cara menyelesaikan
perkara perdata melalui badan peradilan. peraturan hukum yang mengatur dan
menyelenggarakan proses pengajuan perkara kepada hakim/pengadilan. peraturan hukum yang
menjamin, mengatur dan menyelenggarakan cara hakim mengadili perkara perdata dan atau
memutus perkara perdata. peraturan hukum yang mengatur tahap dan proses pelaksanaan
putusan hakim (eksekusi). jadi, hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara
beracara atau tata cara proses pemeriksaan di pengadilan terhadap penyelesaian sengketa perdata
dalam rangka menegakkan hukum perdata (materiil dan atau formal).2

1
M. Tathir Azhary, S,H., Hukum acara perdata dilingkungan peradian agama ( Himpunan tulisan) Jakarta : Bursa
Buku fakultas Hukum UI, 1982.
2
Neng Yani Nurhayani, Hukum Acara Perdata Bandung: Pustaka Setia, 2015
3
Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah, yaitu kegiatan
antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dan manusia/manusia dan masyarakat).
Melaksanakan amalan atau kegiatan peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah harus dikerjakan
oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok masyarakat namun kalau sudah ada satu atau terpenuhi
orang yang mengerjakan atau melaksanakan kewajiban telah terpenuhi. Al Mawardi di dalam
buku Al-ahkam assulthoniyah menegaskan kegiatan peradilan merupakan bagian kegiatan
pemerintahan dalam rangka bernegara.3
Melaksanakan peradilan merupakan tugas suci karena dalam peradilan terdapat beberapa
tugas antara lain memerintahkan kebaikan atau ma'ruf dan mencegah kejahatan atau munkar4 bila
tidak terdapat peradilan dalam suatu masyarakat maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat
yang kacau dalam melaksanakan kekuasaan peradilan harus ada undang-undang dan aturan yang
wajib dipatuhi oleh para hakim.

2. Peradilan Umum dan Peradilan Agama (kedudukan dan kewenangannya)


Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengadilan
dibagi menjadi dua jenis, yakni: Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan Tingkat Pertama
Pengadilan Tinggi sebagai Pengadilan Tingkat Banding. Sebagai lembaga Pengadilan Tingkat
Pertama, Pengadilan Negeri memiliki sejumlah tugas, fungsi dan wewenang yang harus
dijalankan.
Tugas dan wewenang Pengadilan Negeri tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 1986
Pasal 50, yang berbunyi: "Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama."
Berdasarkan bunyi UU tersebut, maka tugas dan wewenang Pengadilan Negeri ialah
memeriksa, memutus serta menyelesaikan perkara pidana dan perdata untuk rakyat pencari
keadilan pada umumnya, kecuali jika UU menentukan hal lainnya. Contoh perkara pidana yang
bisa ditangani oleh Pengadilan Negeri ialah kasus perkelahian, pelecehan seksual, pencurian,
pelanggaran lalu lintas, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Sedangkan contoh

3
Imam al- Mawardi, Al Ahkam as-sulthoniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggara Negara Islam, Jakarta: Darul Falah,
2000,. Hlm. 122-142
4
T. M. Hasbi ash- SHiddieqy, peradilan dan hukum acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm 13
4
perkara perdata yang bisa ditangani oleh Pengadilan Negeri ialah kasus pencemaran nama baik,
warisan, sengketa lahan atau tanah, hak asuh anak, dan lain sebagainya.5
Sedangkan kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia erat hubungannya
dengan hukum Islam dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama didasarkan pada hukum
Islam, sedangkan dalam perkembangannya, hukum Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri
dan telah lama dianut oleh pemeluk agama Islam di Indonesia.
Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, peradilan agama sudah ada sejak Islam masuk
ke Indonesia, yaitu melalui tahkim, dan akhirnya pasang surut perkembanganya hingga sekarang
Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang. (1). Secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum
dan keadilan; (2). Secara yuridis hukum Islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiyat, hibah,
wakaf dan sodaqoh) berlaku dalam pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama; (3). Ssecara
historis peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan agama yang
berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW; (4). Secara sosiologis peradilan agama
didukung dan dikembangkan oleh masyarakat Islam.6
Peradilan Agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang
tidak terputus dari sejarah masuknya agama Islam. ke Indonesia. Untuk memberi gambaran
tentang posisi lembaga Peradilan Agama di Indonesia orang harus memperhatikan Hukum Islam
di Indonesia, sedikitnya pada tiga masa penting: masa sebelum penjajahan yakni masa
kesultanan Islam, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Setiap masa mempunyai ciri-ciri
tersendiri yang memperesentasikan pasang surut pemikiran hukum Islam di Indonesia. Pada
bagian ini akan ditunjukan peradilan masa kesultanan Islam, disusul uraian masa kolonial serta
masa kemerdekaan.7
Bersamaan perkembangan masyarakat Islam, ketika Indonesia terdiri dari sejumlah
kerajaan Islam maka, dengan penerimaan Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim yang
melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau imam. Berikut akan dijelaskan sejarah
peradilan pada masing-masing kerajaan di Indonesia.8

5
Vanya Karunia Mulia Putri, "Pengadilan Negeri: Tugas, Fungsi dan Wewenangnya". Kompas. diakses 11
September 2022
6
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000). Hlm. 33-34.
7
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Cet. 4. Hlm. 113.
8
Abdul halim, Op Cit. Hlm. 38
5
Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah:

A. Perkawinan
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan
Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah.

B. Waris
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan
berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan
dalam pembagian warisan”. Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut,
kalimat itu dinyatakan dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan hukum
Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan
pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang
selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya.

C. Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agama
dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal
dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan
lebih detail diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Dalam KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang membuat
wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di mana wasiat dilakukan,
6
seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan, bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli
waris, dalam wasiat harus disebut dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat,
kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta
wasiat menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat
disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia, wasiat
dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan wasiat, bagi
siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat
wajibah bagi anak angkat serta besarnya.

D. Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang hibah
sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan
hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara garis
besar diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal. Secara
garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah dilakukan,
harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat
persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia.

E. Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai sebagai:
“perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.”

F. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang
dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.

7
Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar,
isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur tangan dalam bidang
zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan
amil zakat; tujuan pengelolaan zakat; organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat;
pendayagunaan zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi
pengelolaan zakat.

G. Infaq
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan:
“perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.

H. Shadaqah
Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata.”
Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini
belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

I. Ekonomi Syari’ah
Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah.

8
3. Sumber Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama
Berdasarkan penegasan yang terdapat dalam al quran dan hadits Muadz bin jabar dan
para ahli sepakat bahwa sumber hukum dari beberapa kajian dan bidang ahli antara lain:9

a. Sumber hukum Acara Perdata:


1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) / Reglemen Indonesia yang di perbaharui ; S.
1848 no. 16,S. 1941 no. 44 u/ daerah jawa dan madura
2. Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten) / Reglemen daerah seberang : S. 1927 no. 277 u/
luar jawa dan madura
3. Rv ( Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering) : S. 1847 no. 52, S. 1894 no.36 u/ gol.
Eropa
4. BW (Burgerlijk Wetboek) atau KUH Perdata, terutama Buku ke IV tentang pembuktian
dan Daluwarsa
5. UU NO. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
6. UU NO. 2 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Termasuk UU Perubahannya)
7. UU NO. 2 Tahun 1986 jo. UU NO. 8 Tahun 2004 tentang peradilan umum.

b. Sumber Hukum Acara Peradilan agama:


1. HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan)
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004;
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
4. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun 2004;
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006;
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947;
7. PP Nomor 9 Tahun 1975;
8. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
9. Surat Edaran Mahkamah Agung;
10. Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih

9
H.M. Daud Ali, hukum Islam: pengantar hukum ilmu dan tata hukum Islam di Indonesia, Jakarta: raja gravindo
persada, 1994, hlm. 65-66, lihat juga salju di Thalib, hukum kekeluargaan Nasional, Jakarta :UI press 1986 hlm 5-10
9
4. Asas-Asas Hukum Perdata dan Peradilan Agama
A. Asas Hukum Perdata
a. Hakim Bersifat Menunggu
Pertama, dalam asas acara perdata yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan atau pihak yang beperkara. Jika tidak ada
gugatan, maka tidak ada hakim. Jadi, hakim bersifat menunggu diajukannya perkara atau
gugatan. Dengan kata lain, hakim tidak boleh aktif mencari perkara atau menjemput bola di
masyarakat. Akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan, hakim tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apapun.

b. Hakim pasif
Asas acara perdata yang kedua yaitu hakim dalam memeriksa suatu perkara bersikap
pasif. Artinya, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim
ditentukan oleh pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim. Dengan kata lain, penggugat
menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, juga
tergantung para pihak (penggugat/tergugat) suatu perkara akan dilanjutkan atau dihentikan,
misalnya lewat perdamaian atau gugatan dicabut. Semua tergantung para pihak, bukan
pada hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan menilai siapa di antara
para pihak yang berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan mana yang benar dari dalil
yang dikemukakan tersebut.

c. Hakim Aktif
Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, dalam artian untuk
memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak mencari
kebenaran, sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi). Hakim wajib mengadili seluruh
gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
mengabulkan lebih dari yang dituntut sebagaimana dimaksud Pasal 178 ayat (2) dan (3)
HIR, Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg. Adapun asas hakim pasif dan aktif dalam hukum
acara perdata disebut dengan verhandlungsmaxime. Meskipun hakim bersifat pasif (tidak
menentukan luasnya pokok perkara), bukan berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Sebagai
pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan, menentukan
10
pemanggilan, menetapkan hari sidang, karena jabatan memanggil sendiri saksi (apabila
perlu), serta memerintahkan alat bukti untuk disampaikan di depan persidangan.

d. Sidang pengadilan terbuka untuk umum


Asas acara perdata yang lainnya adalah sidang perkara perdata di pengadilan terbuka
untuk umum. Artinya, setiap orang boleh menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan
perkara di persidangan. Hal ini secara tegas dituangkan dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU
48/2009:
a. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalahterbuka untuk umum, kecuali undang-
undangmenentukan lain.
b. Putusan pengadilan hanyasah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Tidak dipenuhinya ketentuan ayat (1) dan (2) di atas, mengakibatkan putusan batal
demi hukum. Dalam praktiknya, meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka
untuk umum, kalau dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan
terbuka untuk umum, putusan yang telah dijatuhkan tetap sah. Namun, dalam pemeriksaan
perkara perceraian atau perzinaan, sering kali persidangan dilakukan secara tertutup. Tetapi
pada awalnya, persidangan harus tetap dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu
sebelum dinyatakan tertutup.

e. Mendengar kedua belah pihak


Asas hukum acara perdata selanjutnya adalah kedua belah pihak harus diperlakukan
sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Asas acara perdata bahwa kedua belah
pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem atau eines mannes
rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide.
Asas acara perdata yang satu ini mengartikan hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau
tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.

11
f. Putusan harus disertai alasan
Semua putusan hakim (pengadilan) pada asas acara perdata harus memuat alasan-
alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan ini merupakan argumentasi
sebagai pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih
tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif. Karena alasan-alasan tersebut,
putusan hakim (pengadilan) mempunyai wibawa. Sering kali, alasan-alasan yang
dikemukakan dalam putusan didukung yurisprudensi dan doktrin. Ini tidak berarti hakim
terikat pada putusan hakim sebelumnya, tapi hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas the binding force of
precedent tidak dianut di Indonesia, namun terikatnya atau berkiblatnya hakim terhadap
yurisprudensi ialah karena yakin bahwa putusan mengenai perkara yang sejenis memang
sudah tepat dan meyakinkan

g. Hakim harus menunjuk dasar hukum putusannya


Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Larangan ini karena anggapan hakim
tahu akan hukumnya (ius curia novit). Jika dalam suatu perkara, hakim tidak menemukan
hukum tertulis, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

h. Hakim harus menuntut semua tuntutan


Selain asas hukum acara perdata bahwa hakim harus menunjuk dasar hukum dalam
putusan, hakim harus memutus semua tuntutan penggugat. Hakim tidak boleh memutus
lebih atau lain dari pada yang dituntut. Ini dikenal dengan iudex non ultra petita atau ultra
petita non cognoscitur adalah hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak
dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya. Misalnya penggugat mengajukan tuntutan
agar tergugat dihukum mengembalikan utangnya, tergugat dihukum membayar ganti rugi,
dan tergugat dihukum membayar bunga. Maka, tidak ada satu pun dari tuntutan tersebut
yang boleh diabaikan hakim.

12
i. Beracara dikenakan biaya
Asas hukum acara perdata yang berikutnya yaitu seseorang yang akan beperkara
dikenakan biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan, biaya panggilan, pemberitahuan para
pihak, serta biaya meterai. Tetapi, bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat
mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapat izin untuk dibebaskan
dari membayar biaya perkara, dan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu
yang dibuat oleh pejabat setempat.

j. Tidak ada keharusan mewakilkan.


Tidak ada ketentuan yang mewajibkan para pihak mewakilkan pada orang lain
(kuasa) untuk beperkara di muka pengadilan, sehingga dapat terjadi langsung pemeriksaan
terhadap para pihak yang beperkara. Adapun beperkara di pengadilan tanpa seorang kuasa
akan lebih menghemat biaya. Namun, para pihak bisa saja memberi kuasa kepada kuasa
hukumnya apabila dikehendaki. Sebab, bagi pihak yang ‘buta hukum’ tapi terpaksa
beperkara di pengadilan, kuasa hukum yang mengetahui hukum tentu sangat membantu
pihak yang bersangkutan.10

B. Asas Hukum Peradilan Agama


1. Asas Umum
Di dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diatur beberapa asas umum
peradilan agama.yang dimaksud asas umum peradilan agama adalah asas hukum tertentu
dalam bidang hukum acara yang secara khusus dimiliki oleh peradilan agama.
Disebut asas-asas umum peradilan agama adalah untuk sekedar membedakan dengan
khusus yang melekat pada satu masalah tertentu. Asas-asas ini menjadi pedoman umum
dalam melaksanakan penerapan semangat undang-undang dan keseluruhan rumusan pasal-
pasal. Oleh karena itu, pendekatan interpretasi, penerapan, dan pelaksanaanya tidak boleh
menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam
setiap asas umum.11

10
Bernadetha Aurelia Oktavira, Catat! Ini 10 Asas Hukum Acara Perdata, Hukum Online (17 Juni 2022)
11
Mardani, Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama dan Mahkamah Sya’iyah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009).
Hlm. 37
13
Asas-asas umum yang dimaksud adalah :
a. Asas Bebas dan Merdeka
Ada 3 (tiga) pasal yang mengatur tentang asas kebebasan hakim pengadilan
agama, yaitu Pasal 5 ayat (3). Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 53 ayat (4) UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Asas kebebasan yang dianut UU No. 7 Tahun 1989
merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Setelah lahirnya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas kebebasan
diatur dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004, yaitu kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi tersenggaranya Negara hukum
Republik Indonesia. Penjelasan Pasal tersebut bersembunyi: Kekuasaan kehakiman yang
merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal
sebagimana disebut di dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kebebasan
dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.12

b. Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber
Hukum islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan
kalimat “bismillah” yang diikuti dengan irah-irah “demi keadilan ketuhanan yang maha
esa”

c. Asas Fleksibilitas/sederhana, cepat dan biaya ringan


Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 7
Tahun 1989 dan Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004.

12
Mardani, Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama dan Mahkamah Sya’iyah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009).
Hlm. 39
14
Penjelasan Pasal 4 ayat (2) berbunyi: ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi
harapan para pencari keadialan. Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah
pemeriksaan dan penyelesaian perkata dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif.
Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dipikut
rakyat.Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak
mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.13

d. Asas Legalitas
Asas legalitas diatur di dalam Pasal 58 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 5
ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yaitu pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak
membeda-bedakan orang. Asas legalitas yang terdapat dalam rumusan pasal di atas
mengandung pengertian rule of law, yaitupengadilan berfungsi dan berwenang
menegakkan hukum harus berlandasan hukum, tidak bertindak di luar hukum.Hukum
berada di atas segala –galanya.Hakim dan siapa pun, semua takluk di bawah spremasi
dan dominasi hukum.Hakim dilarang menjatuhkan hukuman yang bertentangan dengan
hukum dan pihak yang berperkara tidak dibenarkan meminta suatu putusan yang
bertentangan dengan hukum.

e. Asas Legitima Persona Standi in Yudicio


Asas dimana setiap orang yang merasa memiliki dan ingin menuntur,
mempertahankan atau membela hak tersebut berwenang untuk bertindak selaku para
pihak, baik sebagai tergugat atau penggungat.

f. Asas Ultra Pertium Partem


Dalam asas tersebut kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara dibatasi
hanya pada hal-hal yang dimohon oleh para pihak. Sehingga hakim tidak dapat memutus
suatu perkara melebihi dari apa yang dimohon oleh para pihak.

13
Mardani, Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama dan Mahkamah Sya’iyah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009).
Hlm. 43
15
g. Asas Audi et Altera Partem
Hakim wajib menyamakan kedudukan para pihak yang berperkara dimuka
persidangan. Dalam arti pengadilan dalam mengadili para pihak harus ada unsur-unsur
kesamaan derajat, kesamaan hak di persidangan, dan para pihak mempunyai kedudukan
yang sama dimuka persidangan. Hal ini berdasarkan pada pasal 1 32a dan pasal 121 ayat
2 HIR.

h. Asas Unus Testis Nulus Testis


Bahwa seorang saksi tanpa ada alat bukti lain dianggap belum mencapai batas
minimal pembuktian. Agar pembuktian mencapai nilai batas minimal, pembuktian harus
ada alat bukti lain. Hal ini berdasarkan pada pasal 169 HIR.

i. Asas Actor Squatur Forum Rei


Pengadilan berwenang memeriksa gugatan hak tergugat bertempat tinggal,
sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 3 HIR., kecuali Undang-Undang menentukan
lain sebagaimana terhadap perkara perceraian yang berlaku di muka Pengadilan Agama.

j. Asas Actor Squator Forum Sitae


Gugatan diajukan di Pengadilan dimana benda tidak bergerak itu berada atau
terletak. Hal ini sesuai dengan pasal 118 ayat 3 HIR.14

k. Asas Membantu Para Pencari Keadilan


Asas ini diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 dan pasal 5 ayat (2)
UU No. 4 Tahun 2004, yang berbunyi : pengadilan membantu pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.15

14
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), hlm: 34
15
Ibid. Hlm. 45
16
2. Asas Khusus
a. Asas Personalitas Keislaman
Asas personalitas keislaman diatur dalam Pasal 2 UU No.7 Tahun 1989 yang
berbunyi peradilan agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu. Dalam
penjelasan umum angka 2 alinea ketiga UU No. 7 tahun 1989, dinyatakan bahwa
pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama islam.16

b. Asas Ishlah
Asas upaya mendamaikan terdapat pada Pasal 65 dan Pasal 82 UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Dalam penjelasan Pasal 82 tersebut dinyatakan bahwa
selama perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding
pemeriksaan pada semua tingkat peradilan. Asas upaya mendamaikan juga tercantum
dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 31 PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksaan Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 143 ayat (1) dan (2), serta dalam QS. Al-Hujarat (49) ayat 10.17
Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para pihak yang berperkara,
tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Kedua belah pihak sama-sama
menang dan sama –sama kalah dan mereka dapat pulih kembali dan suasana rukun dan
persaudaraan serta tidak dibebani dendam kesumat yang berkepanjangan. Peranan hakim
dalam mendamaikan para pihak yang berperkara terbatas pada anjuran, nasihat,
penjelasan, dan member bantuan dalam perumusan sepanjang itu diminta oleh kedua
belah pihak.

16
Mardani, Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama dan Mahkamah Sya’iyah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009).
Hlm.
17
Ibid. Hlm. 41
17
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dalam kajian hukum acara perdata dan peradilan agama ada beberapa istilah yang perlu
dipahami, yaitu:Peradilan, berasal dari bahasa Arab adil yang mudah diserap menjadi bahasa
Indonesia yang artinya proses mengadili atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau
penyelesaian sengketa hukum, peradilan menurut peraturan yang berlaku.
Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah : A. Perkawinan Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam
atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut
syari’ah B. Waris Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama
disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para
pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian warisan”.
Asas-asas peradilan agama adalah untuk sekedar membedakan dengan khusus yang
melekat pada satu masalah tertentu.Asas-asas ini menjadi pedoman umum dalam melaksanakan
penerapan semangat undang-undang dan keseluruhan rumusan pasal-pasal.Oleh karena itu,
pendekatan interpretasi, penerapan, dan pelaksanaanya tidak boleh menyimpang dan
bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum.

B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca untuk lebih memahami tentang
Pengertian, Sumber Dan Asas Hukum Acara Perdata Dan Hukum Peradilan Agama.

18
DAFTAR PUSTAKA

Aurelia Oktavira, Bernadetha. Catat! Ini 10 Asas Hukum Acara Perdata, Hukum Online (17 Juni
2022). Diakses 09 September 2022, https://www.hukumonline.com/klinik/a/catat-ini-10-
asas-hukum-acara-perdata-lt62ac05c59f6cb
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).
Cet. 4. Hlm. 113.

Halim, Abdul. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000). Hlm. 33-34.

H.M. Daud Ali, hukum Islam: pengantar hukum ilmu dan tata hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: raja gravindo persada, 1994, hlm. 65-66, lihat juga salju di Thalib, hukum
kekeluargaan Nasional, Jakarta :UI press 1986 hlm 5 - 10.

Imam al- Mawardi, Al Ahkam as-sulthoniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggara Negara Islam,


Jakarta: Darul Falah, 2000,. Hlm. 122-142

Karunia Mulia Putri, Vanya. Pengadilan Negeri: Tugas, Fungsi dan Wewenangnya. Kompas.
diakses 11 September 2022

Mardani, Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama dan Mahkamah Sya’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009). Hlm. 39-43

Mardani, Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama dan Mahkamah Sya’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009). Hlm. 37

M. Tathir Azhary. Hukum acara perdata dilingkungan peradian agama ( Himpunan tulisan)
Jakarta : Bursa Buku fakultas Hukum UI, 1982.

T. M. Hasbi ash shiddieqy, peradilan dan hukum acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm
13

Yani Nurhayani, Neng. Hukum Acara Perdata Bandung: Pustaka Setia, 2015

19

You might also like