You are on page 1of 18

PENGECUALIAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

5 TAHUN 1999
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Hukum Persaingan Usaha
Dosen Pengampu
A. M. Hasan Ali, M.A.

oleh:
Flora Jati Maharani (11200490000023)
Muhammad Yaqut Al U’rsyi (11200490000034)
Riksa Arwin Aliasanti (11200490000039)
Yayah Humayah Hasbullah (11200490000039)
Agus Syarwandi Nur (11200490000089)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M / 1444 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT serta shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ilmiah yang berjudul PENGECUALIAN DALAM UU NO. 5 TAHUN
1999.
Tidak lupa juga, kami ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang sudah berkontribusi dalam proses penyusunan
makalah ini, terutama kepada Bapak A.M. Hasan Ali, M.A. sebagai dosen
pengampu Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha kelas HES-6A yang sudah
membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, makalah ini tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari beliau.

Makalah ilmiah ini kami susun demi memenuhi salah satu tugas Mata
kuliah Hukum Persaingan Usaha yang akan digunakan pada proses pembelajaran
kami di mata kuliah tersebut, selain itu makalah ilmiah ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai Pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999
bagi penulis serta pembacanya.

Meskipun kami berharap makalah ilmiah ini tidak memiliki kekurangan,


tetapi kami sangat menyadari bahwa pengetahuan kami masih terbatas sehingga
kami tetap mengharapkan masukan serta kritik dan saran yang dapat membangun
makalah ilmiah ini demi tercapainya tujuan untuk memenuhi tugas kami serta
dapat memberikan pembaharuan pengetahuan kepada kami sebagai penulis serta
pembacanya.

Tangerang Selatan, 18 Maret 2023

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A. PENGECUALIAN ....................................................................................... 3
B. PENGECUALIAN DAN PERTIMBANGANNYA .................................... 5
C. TUJUAN KETENTUAN PENGECUALIAN DALAM PASAL 50
HURUF (A) UU NO. 5 TAHUN 1999 ............................................................... 6
D. UNSUR PASAL 50 HURUF A ................................................................... 7
E. KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG DIKECUALIKAN DARI
PENERAPAN KETENTUAN LARANGAN DALAM UU NO. 5 TAHUN
1999 ................................................................................................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 14
A. Kesimpulan ................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank Dunia mengakui bahwa implementasi undang-undang persaingan
usaha di negara yang tengah dalam proses transisi menuju ke ekonomi pasar
dan sistem perdagangan dunia yang terbuka merupakan tugas yang sangat
berat dan harus diterapkan secara hati-hati.
Lebih lanjut menurut Vagliasindi, efektifitas implementasi dari suatu
undang-undang persaingan usaha merupakan tugas yang sangat sulit dan
memerlukan tingkat pengetahuan serta keahlian yang tinggi. Kondisi struktur
awal yang terjadi dalam ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi membuat
implementasi undang-undang persaingan usaha menjadi tugas yang lebih
menantang daripada negara maju. Hambatan masuk yang timbul dari
konsentrasi pasar yang tinggi; kontrol dan kepemilikan pemerintah; kekakuan
dan bottleneck dalam mobilitas sumberdaya; hambatan administratif;
semuanya sangat tinggi di ekonomi transisi. Peraturan terhadap persaingan,
termasuk pemberian secara bebas berbagai bentuk subsidi kepada perusahaan
yang merugi banyak dilakukan.
Kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5 Tahun 1999) telah
banyak memberikan arti bagi perubahan dalam iklim berusaha menjadi lebih
sehat dibandingkan sebelum diberlakukan undang-undang ini. UU No. 5
Tahun 1999 sedikit demi sedikit mengembalikan kepercayaan pelaku usaha
terhadap usaha pemerintah untuk mewujudkan iklim usaha yang sehat dan
kondusif, yang dapat memberikan jaminan adanya kesempatan berusaha yang
sama bagi setiap pelaku usaha, tanpa melihat besar kecilnya skala usaha
mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pengecualian dalam UU NO. 5 Tahun 1999?
2. Apa yang menjadi Pertimbangan diberlakukannya Pengecualian dalam UU
No. 5 Tahun 1999?
3. Apa Saja Tujuan dengan Adanya Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf
(a) UU No. 5 Tahun 1999?
4. Apa Saja Unsur-unsur yang Ada di Pasal 50 Huruf (a) UU No. 5 Tahun
1999?
5. Apa Saja Ketentuan-ketentuan yang Dikecualikan dalam UU No. 5 Tahun
1999?

C. Tujuan
1. Agar Mengetahui Definisi Pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999;

1
2. Agar Mengetahui Pertimbangan diberlakukannya Pengecualian dalam UU
No. 5 Tahun 1999;
3. Agar Mengetahui Tujuan adanya Ketentuan Pengecualian Pasal 50 UU
No. 5 Tahun 1999;
4. Agar mengetahui unsur-unsur yang ada pada Pasal 50 Huruf (a) UU No. 5
Tahun 1999; dan
5. Agar mengetahui Ketentuan-ketentuan yang dikecualikan dalam UU No. 5
Tahun 1999.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGECUALIAN
Hukum persaingan adalah elemen esensial sehingga dibutuhkan adanya
undang-undang sebagai “code of conduct” bagi pelaku usaha untuk bersaing
di pasar sesuai dengan aturan undang-undang. Negara berkepentingan bahwa
kebijakan persaingan adalah ditujukan untuk menjaga kelangsungan proses
kebebasan bersaing itu sendiri yang diselaraskan dengan freedom of trade
(kebebasan berusaha), freedom of choice (kebebasan untuk memilih) dan
access to market (terobosan memasuki pasar).1 UU No. 5 Tahun 1999 juga
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi nasional melalui pengalokasian
sumber daya dengan berlandaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.2
Di samping tujuan tersebut, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
secara eksplisit UU No. 5 Tahun 1999 juga menegaskan bahwa ada kebijakan
persaingan yang berorientasi pada jaminan kesempatan berusaha yang sama
bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.3
Oleh sebab itu kebijakan persaingan (competition policy) 4 suatu negara dalam
penegakan hukum persaingan akan sangat menentukan efektif berlakunya
undang-undang persaingan. Kebijakan ini diterjemahkan dengan
mempertimbangkan industri manakah yang perlu diregulasi atau industri
manakah yang terbuka untuk bersaing.

1
A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, loc. cit
2
Lihat Bab II Asas dan Tujuan, Pasal 2 yang mengatakan bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
3
Lihat Pasal 3, Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk: a. menjaga kepentingan
umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. mencegah praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha ; dan d.
terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
4
Edward M. Graham dan J.D. Gravid Richardson, Global Competition Policy, Institute for
International Economics, Washington DC, 1997, hal. 23. Competition policy is concerned with the
interfirm behavior as well as the behavior of each other firm alone.

3
Pada umumnya kebijakan persaingan dipengaruhi oleh berbagai
pertimbangan misalnya: adanya perlindungan terhadap hak kekayaan
intelektual (HAKI), perdagangan, perlindungan terhadap usaha kecil atau
menengah serta kepentingan nasional terhadap perekonomian yang dikelola
oleh badan-badan usaha milik negara (BUMN). Hukum persaingan juga
mengenal adanya pengecualian (exemption) untuk menegaskan bahwa suatu
aturan hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun
perilaku/kegiatan tertentu.
Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu acuan yang dipergunakan untuk
pengecualian apakah suatu kegiatan, industri/badan, pelaku usaha yang
bagaimanakah yang dikecualikan dari pengaturan hukum persaingan.
Pemberian pengecualian dalam hukum persaingan umumnya didasarkan pada
beberapa pertimbangan, antara lain:
1. adanya instruksi atau perintah dari UUD 1945;
2. adanya instruksi atau perintah dari undang-undang ataupun peraturan
perundangan lainnya; dan
3. instruksi atau pengaturan berdasarkan regulasi suatu badan administrasi.5
Untuk itu perlu kita mengetahui alasan apakah yang menjadi dasar
pertimbangan diberikannya pengecualian dalam undang-undang persaingan.
Pada umumnya pengeculian yang diberikan berdasarkan 2 alasan, yaitu:
1. Industri atau badan yang dikecualikan telah diatur oleh peraturan
perundang atau diregulasi badan pemerintah yang lain dengan tujuan
memberikan perlindungan khusus berdasarkan kepentingan umum (public
interests), misalnya transportasi, air minum, listrik, telekomunikasi, dan
lain-lain.
2. Suatu industri memang membutuhkan adanya perlindungan khusus karena
praktik kartelisme tidak dapat lagi dihindarkan dan dengan pertimbangan
ini maka akan jauh lebih baik memberikan proteksi yang jelas kepada
suatu pihak daripada menegakkan undang-undang persaingan itu sendiri.6

5
Thomas Jorde et al, Gilbert Law Summaries - Antitrust, Harcourt Brace Legal and Professional
Publications. Inc, 9th Edition, 1996, hal. 114.
6
Ibid.

4
Berdasarkan pertimbangan dan alasan ini maka umumnya berbagai
negara memberikan atau mengatur tentang pengecualian di dalam undang-
undang persaingan mereka. Dengan kata lain, pengecualian merupakan hal
yang umum dalam undang-undang persaingan dan tidak dianggap sebagai
hal yang dirasa dapat menghambat persaingan usaha itu sendiri7.

B. PENGECUALIAN DAN PERTIMBANGANNYA


Ada beberapa bentuk pengecualian dari aturan hukum persaingan,
salah satunya adalah monopoli alamiah. Monopoli alamiah diberlakukan
pada industri yang berkaitan dengan sarana publik di mana regulasi akan
mengatur upaya masuk pasar, tarif, dan pelayanan. Pemberian hak
monopoli alamiah didasarkan pada pertimbangan bahwa produksi oleh
satu pelaku usaha saja akan lebih efisien, sehingga biaya produksi rata-rata
akan menurun bila output ditingkatkan. Namun, regulasi dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya harga monopoli dan deadweight loss serta untuk
menentukan industri mana yang akan dilakukan oleh hanya satu
perusahaan dan kemudian baru diatur mengenai tarif, harga, pelayanan
serta nilai investasinya. Pada umumnya, pemberian hak monopoli alamiah
diberikan kepada industri strategis yang dikelola oleh negara melalui
BUMN. Pelaku monopoli alamiah harus diberi pengontrolan dalam hal
kinerja dan pelayanan yang diharapkan.

Dalam hukum persaingan, terdapat doktrin yang dikenal sebagai


"State Action Doctrine" di mana perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah (atau yang diberikan kewenangan) dari atau mewakili
pemerintah akan dikecualikan dari ketentuan undang-undang persaingan.
Doktrin ini memperbolehkan pemberian status pengecualian yang lebih
luas kepada badan usaha yang dibentuk pemerintah yang bahkan bukan
sepenuhnya merupakan badan yang dibentuk pemerintah. Namun, proteksi

7
Sebagai contoh, Amerika Serikat memberlakukan pengecualian terhadap Perjanjian Perburuhan
(labor exemption) dan industri asuransi (insurance exemption) dengan mengeluarkan McCarran-
Fergusson Act, disamping pengecualian lain terhadap pertanian dan perikanan, usaha kecil dan
menengah, asosiasi ekspor dan olah raga dan lainnya. Sementara Jepang terfokus pada
pengecualian terhadap pertanian dan koperasi

5
yang diberikan harus sesuai dengan tujuannya dan memberikan manfaat
efisiensi pada level nasional.

Selain itu, pengecualian dalam hukum persaingan juga dapat


diberikan untuk memberikan proteksi kepada suatu industri atau pelaku
usaha tertentu yang dianggap masih memerlukan perlindungan.
Pemerintah merasa perlu memberikan proteksi dengan alasan industri ini
belum mampu menghadapi persaingan yang disebabkan oleh berbagai
faktor.

C. TUJUAN KETENTUAN PENGECUALIAN DALAM PASAL 50


HURUF (A) UU NO. 5 TAHUN 1999
Tujuan dari ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf a UU No.
5 Tahun 1999 adalah untuk beberapa hal berikut:
1. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak seimbang antara pelaku
usaha kecil dengan pelaku usaha yang lebih kuat, dengan memberikan
pengecualian pada pelaku usaha kecil untuk meningkatkan kekuatan
penawarannya. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir ketidakadilan dalam
persaingan usaha.
2. Mencegah terjadinya kebingungan dalam penerapan UU No. 5 Tahun
1999, terutama dalam kasus konflik kepentingan yang ingin diwujudkan
melalui kebijakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berbeda.
3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, seperti memberikan pengecualian pada beberapa kegiatan
lembaga keuangan untuk mengurangi risiko dan ketidakpastian. Sebab,
sektor keuangan merupakan sektor yang sangat penting dalam
pengembangan ekonomi, dan perlu dijaga stabilitasnya.
4. Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3), dan (4) UUD 1945.

6
D. UNSUR PASAL 50 HURUF A
Beberapa unsur yang terdapat dalam ketentuan Pasal 50 huruf a yang
berbunyi “perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah sebagai berikut:8
1. Perbuatan
Kata “perbuatan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai sesuatu yang diperbuat (dilakukan). Selanjutnya jika
dikaitkan dengan ketentuan dalam Bab IV UU No. 5 Tahun 1999 yang
mengatur tentang “Kegiatan yang Dilarang” yang kemudian dijabarkan
dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 berupa suatu larangan
bagi pelaku usaha untuk melakukan sesuatu, maka kata ”kegiatan”
maknanya sama dengan ”perbuatan” untuk melakukan sesuatu.
Demikian juga jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Bab V yang
mengatur mengenai “Posisi Dominan” yang kemudian dijabarkan dalam
ketentuan Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 isinya berupa larangan bagi
pelaku usaha menggunakan posisi dominan, dalam arti larangan
melakukan suatu perbuatan. Oleh karena itu “kata perbuatan” dalam Pasal
50 huruf a tidak tepat jika diartikan secara harafiah artinya hanya tertumpu
dengan kata “perbuatan” tetapi harus diartikan lebih luas yang dapat
mencakup “esensi atau makna dasar” yang terkandung dalam kata
“perbuatan”.
Pengertian kata “perbuatan” dalam Pasal 50 huruf a mencakup juga
pengecualian terhadap hal-hal yang dilarang sebagaimana diatur dalam
Bab V Posisi Dominan, sepanjang pelaku usaha dalam melakukan
perbuatan tersebut yakni menggunakan posisi dominan berdasarkan
kewenangan dari Undang-Undang atau dari peraturan perundang-
undangan yang secara tegas mendapat delegasi dari undang-undang. Di
sini perlu ditegaskan wewenang yang Buku Teks Hukum Persaingan
Usaha 300 didelegasikan oleh undang-undang bukan oleh “peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang”.
Penegasan wewenang yang didelegasikan oleh undang-undang
sangat penting, mengingat “peraturan perundang-undangan” jenisnya
sangat banyak termasuk berbagai peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, sedangkan terdapat suatu ketentuan bahwa peraturan
perundangundangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak secara
langsung diamatkan sebagai peraturan pelaksana dari suatu undang-
undang, maka peraturan tersebut tidak dapat mengesampingkan UU No. 5
Tahun 1999. Dengan demikian apabila materi peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang tersebut bertentangan dengan UU No.

8
Lubis, Andi Fahmi. dkk,, Hukum Persaingan Usaha (Edisi Kedua), KPPU,
(Jakarta,2017), h. 299

7
5 Tahun 1999 maka tidak dapat diterjemahkan sebagai pengecualian
sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999.
Sebaliknya, walaupun peraturan perundang-undangan yang dijadikan
dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan perbuatan dan atau perjanjian
adalah dalam bentuk Peraturan Menteri misalnya, tetapi jika Peraturan
Menteri tersebut ditetapkan atas delegasi langsung dari undang-undang,
maka perbuatan dan atau perjanjian tersebut walaupun akibatnya tidak
sejalan dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha yang
bersangkutan tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Hal tersebut karena,
tindakan hukum pelaku usaha adalah untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, jadi termasuk dalam kategori
pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a.
2. Perjanjian
Definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 adalah
suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Pemahaman terhadap “perjanjian” ini pun sama dengan untuk
“perbuatan” artinya perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha, memang
secara tegas wewenangnya didasarkan atas ketentuan undang-undang atau
ketentuan “peraturan perundang-undangan di bawah undangundang” tetapi
berdasarkan delegasi secara tegas dari undang-undang. Selanjutnya yang
dimaksud dengan pelaku usaha adalah sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 adalah orang perseorangan atau
badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum.
3. Bertujuan Melaksanakan
Dengan frasa “bertujuan melaksanakan” dapat diartikan bahwa
pelaku usaha melakukan sesuatu tindakan bukan atas otoritas sendiri tetapi
berdasarkan perintah dan kewenangan yang secara tegas diatur dalam
undang-undang atau dalam peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang.
Dengan demikian “perbuatan dan atau perjanjian” yang dikecualikan
dalam ketentuan Pasal 50 huruf a adalah perbuatan dan atau perjanjian
yang dilakukan oleh pelaku usaha karena berdasarkan perintah dan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau oleh peraturan Buku
Teks Hukum Persaingan Usaha 301 perundangundangan di bawah
undang-undang tetapi berdasarkan delegasi secara tegas dari undang-
undang, untuk dilaksanakan. Melaksanakan peraturan perundang-
undangan tidak dapat ditafsirkan sama dengan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. “Melaksanakan” selalu dikaitkan dengan
kewenangan yang secara tegas diberikan pada subjek hukum tertentu oleh
undang-undang (peraturan perundang-undangan) sedangkan “berdasarkan”
tidak terkait dengan pemberian kewenangan, tetapi semata-mata hanya
menunjukkan untuk suatu hal tertentu diatur dasar hukumnya.

8
Contoh I: Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku
(Pemberian Kewenangan).
a. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berbunyi “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
b. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi
“Komisi dapat membentuk kelompok kerja”.
Contoh II: Tindakan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang
Berlaku (bukan merupakan pemberian kewenangan):
Ketentuan Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur alat-alat bukti
pemeriksaan Komisi berupa:
a. keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c. surat dan atau dokumen;
d.petunjuk; dan
e. keterangan pelaku usaha.
Kedua contoh tersebut menunjukkan pemberian kewenangan
kepada subjek hukum tertentu untuk melakukan suatu perbuatan.
Ketentuan Pasal 42 tersebut bukan pemberian kewenangan kepada
Komisi untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi semata-mata berupa
penegasan tentang jenis alat bukti yang dapat digunakan oleh Komisi
dalam melakukan pemeriksaan. Jadi, jika Komisi dalam memberikan
putusan berdasarkan alat-alat bukti tersebut, keabsahan alat bukti tidak
dapat disangkal karena sudah ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Dari kedua contoh di atas, yaitu melaksanakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku berupa pemberian kewenangan dan tindakan
berdasarkan peraturan perundangundangan yang bukan merupakan
pemberian kewenangan, didapat bahwa peraturan perundang-undangan
selain undang-undang (misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, atau Peraturan Menteri) dapat dijadikan dasar pemberian
kewenangan, tetapi untuk ketentuan Pasal 50 huruf a harus dibatasi hanya
kewenangan yang didasarkan pada ketentuan undang-undang atau pada
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetapi
berdasarkan delegasi secara tegas dari undang-undang. Pembatasan
tersebut sesuai dengan ketentuan bahwa peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

4. Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku


Peraturan perundangundangan yang berlaku harus mengacu pada
ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dalam Pasal 7 ayat (1)
ditentukan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan
mencakup:

9
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah, Provinsi; dan 9 Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Selanjutnya dalam Pasal 8 diatur mengenai peraturan
perundangundangan selain yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Jenis dari
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Peraturan yang
dikeluarkan oleh :
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Dewan Perwakilan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Daerah;
d. Mahkamah Agung;
e. Mahkamah Konstitusi;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. Komisi Yudisial;
h. Bank Indonesia;
i. Menteri;
j. Badan;
k. Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang;
l. Dewan Perwakilan Daerah Provinsi;
m. Gubernur;
n. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
o. Bupati/Walikota;
p. Kepala Desa atau yang setingkat.
Termasuk pengertian peraturan perundang-undangan yang berlaku
adalah instrumen hukum dalam bentuk ”Keputusan” yang bersifat mengatur
yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (misalnya Presiden, Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota) yang ditetapkan sebelum berlakunya UU No. 12
Tahun 2011.
Hal tersebut karena berdasarkan ketentuan dalam Pasal 100 UU No. 12
Tahun 2011 ditegaskan bahwa: semua Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan
pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya
mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus maknai
peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Mengingat bahwa terdapat bermacam-macam jenis peraturan
perundang-undangan, maka perlu ada kepastian hukum, jenis peraturan
perundang-undangan yang mana yang berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf a
dikecualikan dari berlakunya ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999.
Kepastian hukum mengenai ”jenis peraturan perundang-undangan yang
berlaku” yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf a secara tepat sangat penting

10
mengingat beberapa prinsip dalam sistem peraturan perundang-undangan yang
harus ditaati, yakni:
1. Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
landasan hukum yang jelas;
2. Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan
hukum, tetapi hanya peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi
tingkatannya;
3. Adanya prinsip hanya peraturan yang lebih tinggi atau sederajat dapat
menghapuskan atau mengesampingkan berlakunya peraturan yang
sederajat tingkatannya atau lebih rendah tingkatannya;
4. Harus ada kesesuaian antara jenis peraturan perundang-undangan dengan
materi muatan yang harus diatur.

Perlu terdapat pemahaman bahwa pengecualian yang diatur dalam Pasal


50 huruf a hanya berlaku bagi pelaku usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pemerintah, mengingat pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf a
secara tegas dikatakan “untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku” jadi perbuatan pelaku usaha tersebut jelas karena adanya
“kewenangan” yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam
pemberian kewenangan selalu terdapat penegasan kepada siapa diberikan
kewenangan tersebut. Jadi, pengecualian dalam Pasal 50 huruf a, tidak dapat
diterapkan kepada semua pelaku usaha.
Dari hal-hal yang diuraikan di atas, berarti bahwa walaupun ”perbuatan
dan atau perjanjian bertujuan untuk melaksanakan peraturan
perundangundangan yang berlaku”, yang diatur dalam Pasal 50 huruf a,
namun harus tetap pada prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang dilaksanakan tersebut hierarkinya lebih tinggi atau yang
sederajat, atau peraturan perundangundangan yang lebih rendah dari undang-
undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang.
Jadi pengecualian tidak berlaku jika pelaku usaha melakukan perbuatan
dan atau perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah dari undang-undang kecuali peraturan yang dilaksanakan tersebut
berdasarkan delegasi secara tegas dari undangundang yang bersangkutan.
Dengan kata lain, karena yang dikecualikan adalah ketentuan yang diatur
dalam undang-undang yakni UU No. 5 Tahun 1999, maka ”peraturan
perundangundangan yang berlaku” dalam ketentuan Pasal 50 huruf a harus
diartikan UUD 1945 dan atau undang-undang sektoral yang terkait atau
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundangundangan di bawah undang-
undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang yang
bersangkutan.
Jadi kedudukan ketentuan ”Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku” dalam Pasal 50 huruf a jika dikaitkan dengan sistem Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia, tidak boleh ditafsirkan secara luas dengan
mengacu untuk melaksanakan seluruh jenis peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, ketentuan Pasal 50 huruf a hanya dapat diterapkan jika:

11
1. Pelaku usaha melakukan perbuatan dan atau perjanjian karena
melaksanakan ketentuan undang-undang atau peraturan
perundangundangan di bawah undang-undang tetapi mendapat delegasi
secara tegas dari undang-undang; dan
2. Pelaku usaha yang bersangkutan adalah pelaku usaha yang dibentuk atau
ditunjuk oleh Pemerintah.

E. KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG DIKECUALIKAN DARI


PENERAPAN KETENTUAN LARANGAN DALAM UU NO. 5 TAHUN
1999
Ada beberapa contoh ketentuan Undang-Undang yang dikecualikan dari
penerapan ketentuan larangan dalam UU No. 5 Tahun 1999, karena substansi
yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, diantaranya:9
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memuat
ketentuan sebagai berikut:
a) Pasal 5 mengatur bahwa “Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh
pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
b) Pasal 12 menyebutkan bahwa “Penyaluran psikotropika dalam rangka
peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan
oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah”.
c) Pasal 13 mengatur bahwa “Psikotropika yang digunakan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat
dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan atau diimpor secara langsung oleh lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.“
d) Pabrik obat tersebut dalam melakukan kegiatan memproduksi,
mengedarkan, dan menyalurkan psikotropika tidak dapat dikategorikan
melakukan monopoli karena kewenangannya diberikan oleh undang-
undang.

2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika yang berbunyi:
“Mentri Kesehatan memberi ijin kepada 1 (satu) perusahaan
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki ijin sebagai
importir sesuai dengan peraturan perundangundangan untuk melaksanakan
impor narkotika”.

9
Ibid., h. 304

12
Dalam hal Menteri Kesehatan menunjuk satu perusahaan pedagang
besar farmasi milik negara untuk melakukan impor narkotika maka
penunjukan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan UU No. 5 Tahun
1999, karena penunjukan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal
51 UU No. 5 Tahun 1999 dan bagi pedagang besar farmasi yang ditunjuk
apabila melakukan perbuatan atau perjanjian untuk melaksanakan impor
narkotika termasuk yang dikecualikan oleh ketentuan Pasal 50 huruf a UU
No. 5 Tahun 1999.

3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik


Negara
Pasal 66 ayat (1) menentukan:
“(1) Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada
BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap
memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN”.
Jadi jika terdapat BUMN yang melakukan perbuatan dan/atau
perjanjian berdasarkan penugasan dari pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, termasuk
yang dikecualikan dalam Pasal 50 huruf a, dengan demikian tidak
melanggar UU No. 5 Tahun 1999.

4. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial


Nasional (SJSN)
Pasal 5 ayat (3) menentukan:
“Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri (Taspen);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata RI (ASABRI)
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia
(ASKES)”
Dalam hal keempat persero tersebut melakukan perbuatan dan/atau
perjanjian dalam melaksanakan penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional,
maka perbuatan dan/atau perjanjian tersebut termasuk dalam kategori
pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a karena:
1. kewenangan penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan berdasarkan
delegasi yang ditentukan undang-undang;
2. monopoli yang diberikan kepada keempat persero tersebut
dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan bahwa pada umumnya di berbagai negara diatur tentang
pengecualian yang merupakan hal yang umum dalam undang-undang
persaingan dan tidak dianggap sebagai hal yang dirasa dapat
menghambat persaingan usaha itu sendiri.
Ada beberapa bentuk pengecualian dari aturan hukum persaingan,
salah satunya adalah monopoli alamiah. Monopoli alamiah diberlakukan
pada industri yang berkaitan dengan sarana publik di mana regulasi akan
mengatur upaya masuk pasar, tarif, dan pelayanan.
Selain itu, pengecualian dalam hukum persaingan juga dapat
diberikan untuk memberikan proteksi kepada suatu industri atau pelaku
usaha tertentu yang dianggap masih memerlukan perlindungan.
Pemerintah merasa perlu memberikan proteksi dengan alasan industri ini
belum mampu menghadapi persaingan yang disebabkan oleh berbagai
faktor

B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, untuk
memperbaiki makalah tersebut penulis meminta kritik yang membangun
dari para pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, A. F. (2017). Hukum Persaingan Usaha (Edisi Kedua). Jakarta: KPPU.
Richardson, E. M. (1997). Global Competition Policy. Washington DC: Institute
for International Economics,.
Thomas Jorde et al, G. (1996). Law Summaries - Antitrust. Harcourt Brace Legal
and Professional Publications. Inc,.

15

You might also like