You are on page 1of 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan pembangunan serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi suatu

wilayah merupakan sasaran utama bagi tiap wilayah. Pertumbuhan ekonomi yang

terjadi dalam suatu periode tidak terlepas dari perkembangan masing-masing

sektor atau subsektor yang ikut andil dalam membentuk surplus perekonomian

suatu daerah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai tolak ukur atau

indikator yang mempunyai peran penting dalam mengukur keberhasilan

pembangunan yang dicapai dan juga bisa dijadikan suatu ukuran dalam

menentukan arah pembangunan suatu wilayah di masa yang akan datang.

Meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada umumnya mengalami

percepatan setiap tahunnya, namun pertumbuhan ekonomi di Indonesia

memicunya ketimpangan yang tinggi antar penduduk. Peningkatan ketimpangan

di Indonesia meninggat dari 30,0 pada dekade 1990-an menjadi 39 pada tahun

2017. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen

kelompok terkaya saja.

Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Diperlukan pertumbuhan ekonomi yang stabil untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan yang merata. Mengenai

permasalahan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah tergantung pada banyaknya

faktor pendukung seperti kebijakan kepala daerah atau pun pemerintah itu sendiri.

Melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga konstan dapat suatu

1
2

wilayah maka dapat ditentukan sejauh mana laju pertumbuhan ekonomi pada

wilayah tersebut, pertumbuhan ekonomi yang cepat akan berdampak terhadap

ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dalam hal ini peran pemerintah

menjadi faktor utama dalam menentukan arah kebijakan wilayah tersebut

sehingga memungkinkan ketimpangan regional terjadi. Laju pertumbukan

ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh menunjukkan tingkat yang

beragam dan akan berdampak kepada ketimpangan regional.

PDRB tidak secara langsung dapat mencerminkan kesejahteraan yang jelas

pada tiap masyarakat di dalamnya. Maka untuk mengukurnya menggunakan

PDRB per kapita daerah, karena alat ini merupakan salah satu alat untuk

mengukur tingkat kesejahteraan penduduk di suatu daerah, dimana jika semakin

besar PDRB perkapitanya maka bisa diartikan semakin baik tingkat kesejahteraan

masyarakatnya. Begitu juga sebaliknya jika PDRB semakin rendah maka bisa

dimaknai semakin buruk pula tingkat kesejahteraan masyarakatnya. PDRB per

kapita di tiap Kabupaten/Kota di Propinsi Aceh dapat dilihat pada dan tabel 1.1

berikut.

Tabel 1.1
Pertumbuhan PDRB ADHK Kab/Kota di Provinsi Aceh
Tahun 2010 dan 2017

Tahun (Juta Rupiah) Persentase


No Kab/Kot
2010 2017 Pertumbuhan
1 Kab. Simeulue 1,078,217.23 1,467,178.7
2 26.51
2 Kab. Aceh Singkil 1,211,045.20 1,601,926.4
9 24.40
3 Kab. Aceh Selatan 2,830,606.09 3,887,220.2
0 27.18
4 Kab. Aceh Tenggara 2,337,741.73 3,199,062.0
8 26.92
3

Tahun (Juta Rupiah) Persentase


No Kab/Kot
2010 2017 Pertumbuhan
5 Kab. Aceh Timur 7,290,035.94 7,481,990.0
7 2.57
6 Kab. Aceh Tengah 3,970,993.75 5,412,026.3
8 26.63
7 Kab. Aceh Barat 4,462,045.24 6,009,220.8
3 25.75
8 Kab. Aceh Besar 7,081,873.21 9,208,377.4
2 23.09
9 Kab. Pidie 5,329,053.77 7,152,947.3
7 25.50
10 Kab. Bireun 7,126,511.10 9,189,319.5
4 22.45
11 Kab. Aceh Utara 17,200,433.05 15,603,528.8
3 10.23
12 Kab. Aceh Barat 2,236,931.95 2,740,778.2
Daya 6 18.38
13 Kab. Gayo Lues 1,389,536.60 1,876,130.6
0 25.94
14 Kab. Aceh Tamiang 4,406,760.48 5,487,009.3
4 19.69
15 Kab. Nagan Raya 4,573,878.13 5,867,771.4
8 22.05
16 Kab. Aceh Jaya 1,422,989.69 1,854,246.4
7 23.26
17 Kab. Bener Meriah 2,420,611.87 3,337,614.7
0 27.47
18 Kab. Pidie Jaya 1,765,903.55 2,390,844.3
4 26.14
19 Kota Banda Aceh 10,062,081.42 13,940,316.4
6 27.82
20 Kota Sabang 745,858.81 1,015,425.2
1 26.55
21 Kota Langsa 2,609,185.06 3,542,885.0
1 26.35
22 Kota Lhokseumawe 9,091,248.66 6,593,492.1
6 -37.88
23 Kota Subulussalam 901,694.31 1,253,318.6
7 28.06
Provinsi Aceh 101,545,236.83 121,263,186.1 16.28
4
Sumber: BPS Aceh (2011 & 2018
4

Berdasarkan tabel 1.1 di atas maka dapat disimpulkan bahwa fenomena

ketimpangan regional antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh oleh perbedaan

tenaga kerja, modal dan teknologi hal tersebut merupakan roda penggerak

pertumbuhan ekonomi. Pada tabel tersebut secara keseluruhan pertumbuhan

ekonomi di Provinsi Aceh dari tahun 2010-2017 sebesar 16,28%, wilayah dengan

tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah bahkan dapat dikatakan

menurut adalah Kota Lhokseumawe dengan laju pertumbuhan -37,88% hal ini

disebabkan sumbangan dari Produk Domestik Regional Bruto atas harga konstan

di Kota Lhokseumawe mengalami penurunan yang sangat drastic yaitu sebesar

Rp. 2.497.756.500.000,- sehingga menyebabkan penurunan yang sangat

signifikan. Sedangkan untuk Kabupaten Aceh Timur laju pertumbuhan ekonomi

berjalan sangat lambat dengan tingkat pertumbuhan sebesar 2,57%. Walaupun

Kabupaten Aceh Utara merupakan salah satu Kabupaten yang paling tinggi

sumbangan dari PDRB namun masih juga mengalami penurunan dengan laju

pertumban hanya sebesar 10,23%. Namun dari pada itu Kota Banda Aceh laju

pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain

di Provinsi Aceh yaitu sebesar 27,82% hal ini dikarenakan Kota Banda Aceh

merupakan ibu kota dari Provinsi Aceh sehingga pergerakan perekonomian di

wilayah tersebut bisa dikatakan daerah tersibuk di Provinsi Aceh.

Terjadinya ketimpangan dibutuhkan usaha dalam peningkatan

pembangunan ekonomi supaya terciptanya pertumbuhan yang semaksimal

mungkin, dan juga menekan atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan


5

pendapatan dan tingkat pengangguran. Pada tabel 1.2 berikut dapat dilihat tingkat

pengangguran di kabupaten/kota Provinsi Aceh.

Tabel 1.2
Tingkat Pengangguran Kab/Kota di Provinsi Aceh
Tahun 2010 dan 2017

Tahun (Jiwa)
No Kabupaten/Kota Persentase
2010 2017
1 Kab. Simeulue 1,595 2,738 41.75
2 Kab. Aceh Singkil 4,966 5,332 6.86
3 Kab. Aceh Selatan 2,154 2,903 25.80
4 Kab. Aceh Tenggara 720 1,691 57.42
5 Kab. Aceh Timur 16,683 15,771 -5.78
6 Kab. Aceh Tengah 3,347 3,860 13.29
7 Kab. Aceh Barat 7,528 7,990 5.78
8 Kab. Aceh Besar 8,323 11,531 27.82
9 Kab. Pidie 9,914 11,745 15.59
10 Kab. Bireun 2,237 2,975 24.81
11 Kab. Aceh Utara 46,851 24,672 -89.90
12 Kab. Aceh Barat Daya 5,088 7,061 27.94
13 Kab. Gayo Lues 5,467 5,235 -4.43
14 Kab. Aceh Tamiang 3,122 5,541 43.66
15 Kab. Nagan Raya 3,370 3,794 11.18
16 Kab. Aceh Jaya 1,288 1,966 34.49
17 Kab. Bener Meriah 866 1,172 26.11
18 Kab. Pidie Jaya 463 916 49.45
19 Kota Banda Aceh 10,036 10,314 2.70
20 Kota Sabang 1,195 386 -209.59
21 Kota Langsa 1,132 1,968 42.48
22 Kota Lhokseumawe 2,236 809 -176.39
23 Kota Subulussalam 241 904 73.34
Provinsi Aceh 138,822 131,274 44.38
Sumber: BPS Aceh (2011 & 2018)

Berdasarkan dari keterangan pada tabel 1.2 di atas bahwa jumlah

pengangguran terbesar ada di Kabupaten Aceh Utara yang pada tahun 2010

sebesar 46.851 jiwa dan mengalami penurunan pada tahun 2017 menjadi 24.672

jiwa walaupun mengalami penurunan sebesar 89.90% bila dibandingkan dengan


6

kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Utara masih

menduduki peringkat pertama dengan jumlah pengangguran terbesar, selanjutnya

disusul olh Kabupaten Aceh Timur dengan jumlah pengangguran pada tahun 2010

mencapai 16.683 jiwa kemudian mengalami penurunan sebesar 15.771 jiwa. Bila

dikaji lebih dalam, Kota Sabang yang mengalami penurunan pengangguran

terbesar bila dilihat dari persentasenya yaitu sebesar 209,59% kemudian disusul

oleh Kota Lhokseumawe sebesar 176,39%

Begitu juga pendidikan sangat mempengaruhi ketimpangan pada suatu

daerah, pendidikan dapat membentuk sumber daya manusia sehingga dengan

sumber daya manusia yang mumpuni, dapat mengolah sumber daya alam

semaksimal mungkin yang berefek kepada peningkatan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB). Berikut tingkat partisipasi kasar yang di tinjau hanya

dari pendidikan SMA sederajat di kabupaten/kota Provinsi Aceh pada tahun 2010

dan 2017 dapat dilihat pada tabel 1.3 berikut.

Tabel 1.3
Tingkat Partisipasi Kasar (SMA/sederajat) Kab/Kot di Provinsi Aceh
Tahun 2010 dan 2017

Tahun (Jiwa)
No Kabupaten/Kota Persentase
2010 2017
1 Kab. Simeulue 4,474 5,637 20.63
2 Kab. Aceh Singkil 5,688 5,606 -1.46
3 Kab. Aceh Selatan 10,640 12,202 12.80
4 Kab. Aceh Tenggara 11,747 13,070 10.12
5 Kab. Aceh Timur 13,548 20,192 32.90
6 Kab. Aceh Tengah 8,480 10,556 19.67
7 Kab. Aceh Barat 8,472 11,493 26.29
8 Kab. Aceh Besar 11,077 17,861 37.98
9 Kab. Pidie 21,716 22,268 2.48
10 Kab. Bireun 19,536 22,343 12.56
7

Tahun (Jiwa)
No Kabupaten/Kota Persentase
2010 2017
11 Kab. Aceh Utara 24,096 29,081 17.14
12 Kab. Aceh Barat Daya 7,071 3,967 -78.25
13 Kab. Gayo Lues 3,936 4,114 4.33
14 Kab. Aceh Tamiang 11,223 14,547 22.85
15 Kab. Nagan Raya 5,533 6,803 18.67
16 Kab. Aceh Jaya 2,932 4,107 28.61
17 Kab. Bener Meriah 5,773 7,352 21.48
18 Kab. Pidie Jaya 4,689 4,398 -6.62
19 Kota Banda Aceh 14,335 17,415 17.69
20 Kota Sabang 1,250 1,594 21.58
21 Kota Langsa 10,250 11,288 9.20
22 Kota Lhokseumawe 10,766 13,759 21.75
23 Kota Subulussalam 3,013 6,347 52.53
Provinsi Aceh 220,245 266,000 17.20
Sumber: BPS Aceh (2011 & 2018)

Dari keterangan tabel 1.3 ada beberapa kabupaten yang mengalami

penurunan angka partisipasi kasar, yang terparah terjadi di Kabupaten Aceh Barat

Daya sebesar 78.25% selanjutnya disusul oleh Kabupaten Pidie Jaya sebesar

6,62% dan Kabupaten Aceh Singkil sebesar 1,46%. Untuk wilayah yang

mengalami peningkatan angka partisipasi kasar yaitu Kota Subulussalam dengan

peninggkatan sebesar 52.53%.

Sedangkan untuk indikator yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan 5 variabel yang diambil dari tahun 2010-2017 pada Provinsi Aceh

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.4
Ketimpangan Pendapatan, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran, Angka
Partisipasi Kasar dan Aglomerasi Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

Angka
Ketimpangan Pertumbuhan Tingkat
Partisipasi Aglomerasi
Tahun Pendapatan Ekonomi Pengangguran
Kasar (X4)
(Y) (X1) (X2)
(X3)
8

2010 0.47 41.06 8.37 94.67 0.98


2011 0.46 6.57 7.43 94.04 1.16
2012 0.44 5.85 9.10 94.26 1.28
2013 0.42 5.92 10.30 93.40 0.74
2014 0.40 5.41 9.02 96.35 1.26
2015 0.36 0.93 9.93 98.19 0.84
2016 0.37 6.36 7.57 99.29 0.74
2017 0.36 6.69 6.57 98.86 0.98
Sumber: BPS Aceh (2011 & 2018)

Dari uraian permasalahan diatas yang telah peneliti paparkan maka tertarik

untuk mendalami permasalahan tersebut dengan judul penelitian "Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Aceh"

1.2 Perumusan Masalah

Berlandaskan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Berapakah besar tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh?

2. Bagaimanakah hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan

pendapatan di Provinsi Aceh?

3. Bagaimanakah pengaruh tingkat pengangguran terhadap ketimpangan

pendapatan di Provinsi Aceh?

4. Bagaimanakah pengaruh partisipasi kasar terhadap ketimpangan pendapatan

di Provinsi Aceh?

5. Bagimanakah pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan pendapatan di

Provinsi Aceh?

1.3 Tujuan Penelitian


9

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis besar tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh.

2. Untuk menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan

pendapatan di Provinsi Aceh.

3. Untuk menganalisis pengaruh tingkat pengangguran terhadap ketimpangan

pendapatan di Provinsi Aceh.

4. Untuk menganalisis pengaruh partisipasi kasar terhadap ketimpangan

pendapatan di Provinsi Aceh.

5. Untuk menganalisis pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan pendapatan

di Provinsi Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi penulis

Sebagai tolak ukur kemampuan diri dalam menerapkan ilmu yang didapat

di bangku perkuliahan.

2. Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi yang

berkaitan dengan pendidikan ataupun referensi dan pengetahuan bagi

peneliti yang melakukan pengembangan penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis


10

1. Bagi mahasiswa

Menambah wawasan dan menanbah ilmu pengetahuan mengenai keuangan

di Provinsi Aceh.

2. Bagi Pemerintah Provinsi

Memberikan informasi tentang tingkat ketimpangan serta faktor yang

mempengaruhinya pada pendapatan di Provinsi Aceh


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Pembangunan Ekonomi Regional

2.1.1.1 Pengertian Pembangunan Ekonomi Regional

Pembangunan ekonomi diartikan sebagai proses yang menyebabkan

pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat. Dimana kenaikan

pendapatan merupakan suatu cerminan dari timbulnya perbaikan dalam

kesejahteraan ekonomi masyarakat, akan tetapi diikuti oleh pemberantasan

kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan (Amalia, 2010).

Selanjutnya menurut Sukirno (2013) mengartikan pembangunan ekonomi

sebagai serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan

kegiatan ekonominnya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan

teknologi semakin meningkat, sehingga implikasi dari perkembangan ini

diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendapatan meningkat dan

kemakmuran masyarakat semakin tinggi.

Pembangunan merupakan suatu cara yang dinamis untuk tercapainya

peningkatan kemampuan masyarakat pada tingkat yang lebih baik dan serba

berkecukupan. Suatu kinerja pembangunan yang sangat baikpun bias saja

menciptakan berbagai masalah sosial ekonomi baru yang tidak diinginkan.

kerumutan permasalahannya bertambah besar karena ruang lingkup

11
12

permasalahannya lebih luas. Pendekatan terhadap permasalahan pembangunan

dan cara pemecahannya telah mengalami perkembangan pula (Adisasmita, 2011).

Pembangunan regional merupakan bagian yang meliputi seluruh bagian

yang dalam pembangunan nasional. Hal ini diharapkan hasil pembangunan akan

dapat disalurkan dan teralokasi ke tingkat regional. Dalam mencapai

keseimbangan regional terutama perkembangan ekonominya maka dibutuhkan

beberapa kebijakan dan program pembangunan daerah yang mengarahkan pada

kebijaksanaan regionalisasi atau perwilayahan. Dalam melaksanakan

pembangunan diperlukan landasan teori yang mampu menjelaskan hubungan

korelasi antara fakta-fakta yang diamati, sehingga dapat merupakan kerangka

orientasi untuk analisis dan membuat ramalan terhadap gejala-gejala baru yang

diperkirakan akan terjadi (Adisasmita, 2016).

Berdasarkan uraian diatas, pembangunan ekonomi regional adalah suatu

usaha dalam perekonomian untuk menciptakan kesejahteraan masyarakatnya dan

untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga menyebabkan pendapatan

perkapita suatu masyarakat meningkat yang diikuti oleh pemberantasan

kemiskinan dan penanggulangan ketimpangan pendapatan dan pembangunan

ekonomi.

2.1.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Wilayah

Menurut Sjafrizal (2014) faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu

ketimpangan pembangunan wilayah antara lain sebagai berikut:


13

1. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam

Faktor utama yang mendorong munculnya ketimpangan pembangunan

antar wilayah adalah perbedaan sumber daya alam yang dimiliki tiap wilayah.

Perbedaan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah

tersebut. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup tinggi mampu

menghasilkan barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah jika

dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kandungan sumber daya alam

relatif rendah, keadaan ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah tersebut

menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber

daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya

produksi lebih tinggi, sehingga daya saingnya menjadi lemah. Oleh karena itu

dengan perbedaan kandungan sumber daya alam ini dapat mendorong terjadinya

ketimpangan pembangunan antar wilayah

2. Perbedaan Kondisi Demografis

Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan

pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap

produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Dengan kondisi

demografis lebih baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih

tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya

akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah

bersangkutan. Sebaliknya bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografisnya

kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja

masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi


14

penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi bersangkutan akan menjadi

lebih rendah.

3. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang Dan Jasa

Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa dapat pula mendorong

terjadinya peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Mobilitas

barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik

yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan demikian pula

halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja

suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat

membutuhkannya. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana ketimpangan

pembangunan antar ilayah akan cenderung tinggi pada negara sedang berkembang

dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan masih terdapatnya beberapa

daerah yang terisolir.

4. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadi konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah yang cukup tinggi pada

wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar

wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah cenderung akan lebih cepat pada daerah

dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut

selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan

penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Konsentrasi

kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena

terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, disamping

itu terdapatnya lahan yang subur juga turut mempengaruhi khususnya


15

menyangkut dengan pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, menurunnya

fasilitas transportasi kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga, kondisi demografis

(kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan

cenderung terkonsentrasi dimana sumber daya manusia tersedia dengan kualitas

yang lebih baik.

5. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Tidak dapat disangkal bahwa investasi merupakan salah satu yang sangat

menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat

alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah, atau dapat menarik lebih

bahwa investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan

ekonomi daerah yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula

mendorong proses pembangunan daerah melalui lapangan kerja yang lebih

banyak.

2.1.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto adalah nilai tambah bruto seluruh barang

dan jasa yang dihasilkan diwilayah domestik suatu negara yang timbul akibat

berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu periode tertentu. Menurut Tarigan (2013)

PDRB terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku PDRB atas dasar harga berlaku merupakan

nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga

berlaku pada setiap tahun, dan dapat digunakan untuk melihat pergeseran

struktur ekonomi.PDRB atas dasar harga berlaku dapat dihitung melalui dua

metode yaitu:
16

a. Metode langsung adalah metode perhitungan dengan menggunakan data

yang bersumber dari daerah. Metode langsung akan dapat

memperlihatkan karakteristik sosial ekonomi setiap daerah. Disamping

itu manfaat pemakaian data daerah adalah dapat digunakan untuk

menyempurnakan data statistik daerah yang lemah.

b. Metode tidak langsung adalah suatu cara mengalokasikan produk

domestik bruto dari wilayah yang lebih luas kemasing-masing bagian

wilayah, misalnya mengalokasikan produk domestik bruto (PDB)

Indonesia kesetiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu.

Alokator yanng dapat digunakan yaitu: 1) Nilai produksi bruto atau netto

setiap sektor/subsektor pada wilayah yang dialokasikan. 2) Jumlah

produksi fisik. 3) Tenaga kerja. 4) Penduduk.

2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan

PDRB atas dasar harga konstan adalah nilai tambah barang dan jasa yang

dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar

perhitungannya dan dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi

dari tahun ke tahun. Perhitungan PDRB atas dasar harga konstan secara

berkelanjutan dan berskala sangat berguna untuk mengetahui perkembangan

sektor ekonomi secara riil, karena pada perhitungan ini tidak terkandung

perubahan harga barang, melainkan hanya perubahan indikator produksinya

saja.Oleh karena itu, diperlukan penetapan tahun dasar secara nasional sebagai

acuan perbandingannya.

3. PDRB Atas Dasar Harga Pasar


17

PDRB atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah bruto (gross

value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian (output) dikurangi

dengan biaya antara. Nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor

pendapatan (upah dan gaji, bunga, sea tanah, dan keuntungan), penyusutan, dan

pajak tidak langsung neto. Jadi, dengan menghitung nilai tambah bruto dari

masing-masing sektor dan menjumlahkannya, akan menghasilkan produk

domestik regional bruto atas dasar harga pasar.

2.1.3 Pendapatan Regional

Menurut Tarigan (2013) pendapatan regional adalah tingkat besarnya

pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur

dari total pendapatan wilayah maupun pendapatan rata-rata masyarakat pada

wilayah tersebut. Ada beberapa parameter yang bisa digunakan untuk mengukur

adanya pembangunan wilayah, salah satu parameter terpenting adalah

meningkatnya pendapatan masyarakat. Pendapatan regional neto adalah produk

domestik regional neto atas dasar biaya faktor dikurangi aliran dana yang

mengalir keluar ditambah aliran dana yang mengalir masuk. Produk domestik

regional neto atas dasar biaya faktor, merupakan jumlah dari pendapatan berupa

upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan yang timbul, atau merupakan

pendapatan yang berasal dari kegiatan diwilayah tersebut. Akan tetapi pendapatan

yang dihasilkan tersebut tidak seluruhnya menjadi pendapatan penduduk

setempat. Produk domestik regional neto atas dasar biaya faktor dikurangi

pendapatan yang mengalir keluar dan ditambah pendapatan yang mengalir masuk

hasilnya merupakan jumlah pendapatan yang benar-benar diterima oleh penduduk


18

yang tinggal di daerah tersebut. Pendapatan regional dibagi jumlah penduduk

yang tinggal didaerah itu hasilnya adalah pendapatan perkapita (Tarigan. 2013).

Bedasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendapatan

regional adalah tingkat pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat

pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun pendapatan rata-

rata masyarakat pada wilayah tersebut.

2.1.4 Pertumbuhan Ekonomi

2.1.4.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi di definisikan suatu proses peningkatan kapasitas

produktif dalam suatu perekonomian secara terus menerus atau berkesinambungan

sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional

yang semakin lama semakin besar (Todaro, 2011). Sedangkan Sukirno (2013)

juga mendefinisikan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan

ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah.

Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan

nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional

riil pada tahun sebelumnya.

Menurut Todaro (2011) ada 3 (tiga) faktor utama dalam pertumbuhan

ekonomi yaitu :

1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang

ditanamkan pada tanah, peralata fisik, dan modal atau sumber daya manusia.

2. Pertumbuhan penduduk, yang pada tahun-tahun berikutnya akan

memperbanyak jumlah angkatan kerja.


19

3. Kemajuan teknologi, dengan adanya teknologi dapat menciptakan metode

produksi yang baru. Pertumbuhan teknologi yang baik dapat meningkatkan

produktivitas kerja, modal dan faktor produksi lainnya, sehingga dapat

menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Bedasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan sebagai peningkatan

kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan

jasa- jasa.

2.1.4.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Jhingan (2014) para ahli ekonomi menganggap faktor produksi

sebagai kekuatan utama yang memepengaruhi pertumbuhan. Beberapa faktor

ekonomi tersebut adalah:

1. Sumber Alam

Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian adalah

sumber alam atau tanah. Sebagaimana dipergunakan dalam ilmu ekonomi

mencakup sumber alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya,

kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan dan sebagainya.

2. Akumulasi Modal

Pembentukan modal merupakan kunci utama pertumbuhan ekonomi. Disatu

pihak akumulasi modal mencerminkan permintaan efektif, dan dipihak lain

akumulasi modal juga menciptakan efesiensi produktif bagi produksi dimasa

depan. Proses pembentukan modal menghasilkan kenaikan output nasional

dalam berbagai cara. Pembentukan modal diperlukakan untuk memenuhi

permintaan penduduk yang meningkat di negara tersebut.

3. Organisasi
20

Organisasi berkaitan dengan dengan penggunaan faktor produksi didalam

kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi modal, buruh dan

membantu meningkatkan produktivitasnya.

4. Kemajuan Teknologi

Perubahan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan

perubahan didalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau

hasil dari teknik penelitian baru. Perubahan pada teknologi telah menaikkan

produktivitas buruh, modal dan faktor produksi yang tinggi.

5. Pembagian Kerja dan Skala Produksi

Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan produktivitas.

Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala besar yang selanjutnya

membantu perkembangan industri. Adam Smith menekankan arti penting

pembagian kerja bagi perkembangan ekonomi, karena pembagian kerja

menghasilkan perbaikan kemampuan produksi buruh.

6. Produk Domestik Regional Bruto Perkapita

Pendapatan perkapita adalah hasil bagi antara pendapatan regional atas dasar

harga konstan (ADHK) dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB

perkapita dapat dilihat atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga

konstan.

7. Jumlah Penduduk
21

Jumlah penduduk merupakan jumlah seluruh penduduk yang menetap di

suatu wilayah. Jumlah penduduk juga merupakan faktor pendukung dan

sekaligus sebagai faktor penghambat didalam pembangunan.

2.1.5 Ketimpangan Ekonomi Regional

2.1.5.1 Pengertian Ketimpangan Ekonomi Regional

Ketimpangan/disparitas antar daerah merupakan hal yang umum terjadi

dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan

kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat

pada masing-masing wilayah. Perbedaan ini membuat kemampuan suatu daerah

dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu di

setiap daerah biasanya terdapat daerah maju (developed region) dan daerah

terbelakang (underdeveloped region) (Sjafrizal, 2012).

Menurut Kuncoro (2013) ketimpangan mengacu pada standar hidup yang

relatif pada seluruh masyarakat, karena kesenjangan antar wilayah yaitu adanya

perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan ini yang membuat

tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga

menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut

(Sukirno, 2013).

Ketimpangan antar wilayah dimunculkan oleh Douglas C. North dalam

analisanya mengenai Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut

dimunculkan sebuah prediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi

nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa

ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012).


22

2.1.5.2 Ukuran Ketimpangan

Menurut Sukirno (2013) untuk mengukur ketimpangan ekonomi atau

mengetahui apakah distribusi pendapatan timpang atau tidak, digunakan

kategorisasi kurva Lorenz,menggunakan koefisien Gini, dan kriteria Bank Dunia:

1. Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di

kalangan lapisan-lapisan penduduk. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur

sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan

nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk.

Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva

Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan

distribusipendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva

Lorenz semakinjauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan

keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang dan

tidak merata.

2. Indeks Gini Atau Rasio Gini

Ukuran ketiga adalah Indeks Gini yang dihitung dengan menggunakan

kurva Lorenz. Caranya dengan memperbandingkan atau membafi bidang yang

dibatasi oleh garis diagonal dalam kurva Lorenz dengan garus lengkung sebagai

penyimpangan atas diagonal. Angka yang didapatkan kemudian disebut indeks

atau koefisien atau rasio gini. Indeks gini berkisar antara nol dan satu. Gini

sebesar 0 menunjukkan kemerataan sempurna dimana semua orang mempunyai


23

pendapatan yang persis sama. Sedangkan gini indeks 1 artinya ada ketidak-

merataan yang sempurna.

3. Kriteria Bank Dunia

Menurut Bank Dunia, ketimpangan distribusi pendapatan diukur dengan

menghitung persentase jumlah pendapatan masyarakat dari kelompok yang

berpendapatan rendah dibandingkan dengan total pendapatan penduduk.

Tabel 2.1
Indikator Ketimpangan Menurut Bank Dunia (World Bank)

Klarifikasi Ketimpangan Ketimpangan Distribusi Pendapatan


Ketimpangan tinggi 40% Penduduk berpendapatan rendah
menerima < 12% dari total pendapatan
Ketimpangan sedang 40% penduduk berpendapatan rendah
menerima 12%-17% dari total
pendapatan
Ketimpangan rendah 40% penduduk berpendapatan rendah
menerima >17% dari total pendapatan

2.2 Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya ini menjadi salah satu acuan penulis dalam

melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan

dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis

tidak menemukan judul yang sama. Namun penulis mengangkat beberapa

penelitian sebagai referensi dalam mempekaya bahan kajian pada penelitian

penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal terkait

dengan penelitian yang dilakukan penulis.


24

1. Lili Masli (2016) Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Ekonomi dan Ketimpangan Regional Antara Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Barat. Hasil penelitian yang didapatkan Pada umumnya kabupaten/kota

di Jawa Barat pada periode penelitian antara tahun 1993-2006 menurut

analisis Tipologi Klassen termasuk klasifikasi daerah relatif tertinggal sebesar

36,6 persen serta daerah berkembang cepat sebesar 32,6 persen, daerah maju

dan tumbuh cepat sebesar 16,3 persen dan daerah maju tapi tertekan sebesar

14,5 persen. Dari hasil perhitungan data PDRB tahun 1993-2006, dengan

menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil cenderung

meningkat.

- Perbedaannya hanya pada tempat penelitian dan tahun pengimputan data.

- Persamaan variabel dan metode penelitian sama dengan penelitian yang

sedang peneliti lakukan.

2. Barika (2012) Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah Kabupaten/Kota

di Provinsi Bengkulu Tahun 2005-2009. Hasil penelitian yang didapatkan

adalah analisis ketimpangan wilayah diperoleh nilai koefisien determinasi

atau R2 sebesar 0,570. Artinya bahwa variabel Pengeluaran Pemerintah,

Jumlah Penduduk dan Investasi swasta mempengaruhi ketimpangan wilayah

sebesar 57 persen, sisanya sebesar 43 persen dipengaruhi oleh faktor lain

yang tidak dimasukkan dalam model.

- Perbedaannya terdapat pada variabel penelitian dimana variabel

penelitian yang digunakan yaitu: Pengeluaran Pemerintah, Jumlah

Penduduk, dan Investasi swasta.


25

- Persamaannya yaitu metode yang digunakan yaitu: Analisis Ketimpangan

Regional (Wilayah) dan Indeks Entropi Theil.

3. Denny Iswanto (2015) Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/kota dan

Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Timur. Hasil penelitian yang

didapatkan adalah Tidak ada Trade off antara Pertumbuhan ekonomi dan

Ketimpangan di Propinsi Jawa Timur. Karena Pertumbuhan ekonomi yang

terus meningkat juga disertai dengan ketimpangan yang terus meningkat. Hal

ini juga dibuktikan dengan korelasi Pearson. Pembuktian Hipotesis Kuznets

tentang kurva “U” terbalik belum berlaku di Jawa Timur. Hal ini disebabkan

tingkat ketimpangan yang belum mengindikasikan untuk menurun bahkan

dalam tahun penelitian terakhir tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi

cenderung meningkat.

- Perbedaan dalam penelitian ini pada metode yang digunakan Analisis Laju

Pertumbuhan Ekonomi, Analisis Location Quotient (LQ), Analisis Shift

Share (SS), Tipologi Sektoral, Tipologi Klassen, Korelasi Pearson dan

Hipotesis Kuznets.

- Persamaannya yaitu sama-sama menggunakan variabel yang sama.

4. Emilda Sari (2017) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Ketimpangan Pendapatan di Pulau Sumatera Tahun 2011-2015. Dari hasil

penelitian didapatkan bahwa uji koefisien determinan (R2) menunjukkan

bahwa besarnya nilai R-square 0,390569, atau sebesar 39,06%. Artinya

variasi ketimpangan pendapatan dapat dijelaskan oleh variabel independen

yang ada dalam model statistik seperti pendapatan asli daerah (PAD), inflasi
26

(INF), dan upah minimum regional (UMR). Berdasarkan uji validitas

pengaruh (uji t) pada signifikansi (α) sebesar 0,10, variabel pendapatan asi

daerah dan upah minimum regional memiliki berpengaruh negatif signifikan

sedangkan variabel inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap ketimpangan

pendapatan di Pulau Sumatera tahun 2011-2015.

- Peberdaan pada metode yang digunakan yaitu: Uji Chow dan . Uji

Hausman.

- Persamaannya yaitu sama-sama menggunakan variabel yang sama.

5. Ma’mun Musfidar (2012) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan

Distribusi Pendapatan di Sulawesi Selatan Tahun 2001-2010. Hasil

penelitiannya kontribusi sektor industri terhadap PDRB di Sulawesi selatan

pada penelitian ini menunjukkan pengaruh positif dan signifikan secara

langsung terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Sulawesi Selatan,

dan berpengaruh positif juga signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di

Sulawesi selatan, hal ini memberikan implikasi bahwa kontribusi sektor

indusrti di Provinsi Sulawesi Selatan baik dari indutri migas maupun dari

industri bukan migas dapat meningkatkan angka ketimpangan distribusi

pendapatan.

- Perbedaan ada pada variabel yang digunakan yaitu: populasi, UMR,

Kontribusi sektor industri, Pertumbuhan Ekonomi, dan Ketimpangan

Distribusi Pendapatan.

- Persamaannya hanya pada metode regresi berganda.


27

6. Yosi, dkk. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekonomi dan

Ketimpangan Pendapatan di Indonesia. Adanya trade off antara pertumbuhan

ekonomi di Indonesia dengan ketimpangan distribusi pendapatan maka

pemerintah diharapkan mampu memfokuskan sasaran kebijakan yang tepat

yakni memacu pertumbuhan dengan memperhatikan distribusi pendapatan.

Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas akses modal dan kesempatan

kerja (mendorong meningkatnya sektor riil yang berorientasi masyarakat

menengah kebawah seperti UMKM yang dibarengi dengan peningkatan

kualitas sumber daya manusia seperti memberikan pelatihanpelatihan kepada

masyarakat. Meningkatkan pengeluaran pemerintah pada pengeluaran

produktif seperti pembangunan kawasan usaha yang strategis guna

meningkatkan jumlah investasi sebagai modal pembangunan.

- Perbedaan ada pada variabel yang digunakan yaitu: Derajat Otonomi

Fiskal Daerah, Rasio Pajak, Produktivitas Tenaga Kerja, Investasi, IPM,

Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan.

- Persamaannya hanya pada metode regresi berganda

7. Vredrich Bantika. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan

Distribusi Pendapatan di Sulawesi Utara. Hasil regresi linier berganda

memberikan nilai koefisien determinasi(R 2)sebesar 92,3 %.dengan peubah

bebasnya adalah jumlah penduduk, luas lahanpertanian dan pertumbuhan

ekonomi.Selanjutnya dari tiga peubah bebas, ternyata hanya jumlah penduduk

danpertumbuhan ekonomi yang memberikan pengaruh nyata terhadap indeks

gini. Dilihat dari arah pengaruhnya, peningkatan pertumbuhan ekonomi


28

menurunkan indeks ginisedangkan penambahan jumlah penduduk

meningkatkan indeks gini di Sulawesi Utara.

- Perbedaan ada pada variabel yang digunakan yaitu: Jumlah Penduduk

Provinsi, Luas Lahan Pertanian Provinsi, Pertumbuhan Ekonomi

Provinsi.

- Persamaannya hanya pada metode regresi berganda

8. Rusli Abdullah (2013) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan

Pendapatan di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada

dua variabel yang signifikan yang menyebabkan ketimpangan (share of

economic output received by employers wages). Sementara itu, dua variabel

lain tidak signifikan (urbanization and dependency ratio).

- Perbedaan ada pada metode analisis data yaitu: Tipologi Klassen

sedangkan untuk variabelnya Tingkat pertumbuhan ekonomi, Produk

Domestik Regional Bruto

- Persamaannya ada pada variabel yang digunakan.

9. Annisa Ganis (2010) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Kesenjangan Pendapatan di Propinsi Jawa Tengah. Hasil analisis

menunjukkan bahwa seluruh variabel independen berpengaruh signifikan

terhadap kesenjangan pendapatan di Jawa Tengah. Dapat disimpulkan bahwa

Hipotesis Kuznets berlaku dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat dari

hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan.


29

- Perbedaan ada pada metode analisis data yaitu: Tipologi Klassen

sedangkan untuk variabelnya Tingkat pertumbuhan ekonomi, Produk

Domestik Regional Bruto

- Persamaannya ada pada variabel yang digunakan.

10. Ani Nurlaili (2016) Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan

Distribusi Pendapatan di Pulau Jawa Tahun 2007-2013. Hasil penelitian

yang didapatkan menunjukkan seluruh variabel penelitian berpengaruh secara

simultan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Secara parsial variabel

PDRB per kapita, populasi penduduk, dan tingkat pengangguran terbuka

(TPT) berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi

pendapatan, sementara derajat desentralisasi fiskal tidak berpengaruh

terhadap ketimpangan distribusi pendapatan.

- Perbedaan ada pada metode analisis data yaitu: Uji Likelihood Ratio,

Uji Hausman,

- Persamaannya ada pada variabel yang digunakan.

2.3 Kerangka Konseptual

Untuk lebih jelas tentang kerangka pikir sehingga dapat memberikan

jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti, maka disajikan diagram

alur kerangka pemikiran operasional pada gambar 2.1.


30

Pembangunan Ekonomi
(X1)

Tingkat Pengangguran
(X2)

Ketimpangan
Angka Partisipasi Kasar Pendapatan
(X3) (Y)

Aglomerasi
(X4)

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

2.3.1 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan

Pembangunan ekonomi suatu negara dinyatakan berhasil jika terjadinya

pertumbuhan ekonomi yanag diiringi dengan berkurangnya ketimpangan

distribusi pendapatan. Dan pada dasarmya pertumbuhan ekonomi pada hakikatnya

baik secara langsung maupun tidak langsung akan tetap berpengaruh terhadap

ketimpangan daerrah. Ketimpangan ekonomi dalam hal ini pembagian pendapatan

adalah ketimpangan perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu

wilayah yang akan menyebabkan pula ketimpangan tingkat pendapatan perkapita

antar daerah (Kuncoro, 2014).

Kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara berkembang sejak

tahun puluhan telah menjadi perhatian utama dalam menetapkan kebijaksanan

pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan yang menguatamakan pertumbuhan

ekonomi telah mengakibatkan semakin meningkatnya ketimpangan pembagian


31

pendapatan dengan penelitiannya dibeberapa negara. Untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, tidak mungkin perekonomian sepenuhnya diserahkan

kepada mekanisme psar, tetapi diperlukan adanya peran pemerintah dalam hal

mengatur ekonomi.

2.3.2 Hubungan Tingkat Pengangguran dengan Ketimpangan Pendapatan

Pengangguran berhubungan juga dengan ketersediaan lapangan pekerjaan,

ketersediaan lapangan kerja berhubungan dengan investasi, sedangkan investasi

didapat dari akumulasi tabungan, tabungan adalah sisa dari pendapatan yang tidak

dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan nasional, maka semakin besarlah harapan

untuk pembukaan kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga

kerja baru.

Hubungan antara pengangguran dan ketimpangan dapat dijelaskan dengan

hukum Okun (Okun’s law), diambil dari nama Arthur Okun, ekonom yang

pertama kali mempelajarinya (Demburg, 1985). Yang menyatakan adanya

pengaruh empiris antara pengangguran dengan output dalam siklus bisnis. Hasil

studi empirisnya menunjukan bahwa penambahan 1 (satu) point pengangguran

akan mengurangi GDP (Gross Domestik Product) sebesar 2 persen. Ini berarti

terdapat pengaruh yang negatif antara ketimpangan pendapatan dengan

pengangguran dan juga sebaliknya pengangguran terhadap ketimpangan

pendapatan. Penurunan pengangguran memperlihatkan ketidakmerataan. Hal ini

mengakibatkan konsekuensi distribusional.


32

2.3.3 Hubungan Angka Partisipasi Kasar dengan Ketimpangan Pendapatan

Angka Partisipasi Kasardengan ketimpangan pendapatan yang terjadi pada

suatu wilayah dapat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu

wilayah tersebut. Peranan tingkat pendidikan formal dalam menunjang

pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan lamanya waktu sekolah, akan

memiliki pekerjaan dan upah yang lebih besar dibanding yang pendidikannya

rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, semakin banyak orang yang

memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi

akan bertambah lebih tinggi.

Hal tersebut sesuai dengan teori human capital, yaitu bahwa pendidikan

memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan akan mengurangi

ketimpangan pembangunan karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan

produktivitas tenaga kerja (Jhingan, 2010:171).

2.3.4 Hubungan Aglomerasi dengan Ketimpangan Pendapatan

Menurut Jamie Bonet (2006:3), aglomerasi yaitu pemusatan aktifitas

produksi digunakan sebagai salah satu variabel yang digunakan untuk mengetahui

ketimpangan antar wilayah. Aglomerasi produksi dapat mempengaruhi

kesenjangan wilayah secara langsung, yaitu pada saat terjadinya hambatan

mobilitas tenaga kerja antar wilayah, atau saat terjadi surplus tenaga kerja dalam

perekonomian. Aglomerasi dapat diukur dengan beberapa cara, pertama adalah

dengan menggunakan proporsi jumlah penduduk perkotaan dalam suatu provinsi

terhadap jumlah penduduk provinsi tersebut dan yang kedua adalah dengan

menggunakan konsep aglomerasi produksi.


33

2.4 Hipotesis

Hipotesis merupakan pandapatan sementara dan pedoman serta arah dalam

penelitian yang disusun berdasarkan pada teori yang terkait, dimana suatu

hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan dua

variabel atau lebih (Supranto, 2011:11). Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap

ketimpangan pendapatan.

2. Diduga tingkat pengangguran berpengaruh positif terhadap ketimpangan

pendapatan.

3. Diduga angka partisipasi kasar berpengaruh negatif terhadap ketimpangan

pendapatan.

4. Diduga aglomerasi berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian

adalah di Provinsi Aceh.

3.2 Objek dan Subjek Penelitian

Dikarenakan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder maka

penelitian ini menggunakan objek dan subjek. Menurut Arikunto (2012) Subjek

penelitian adalah variabel penelitian yaitu sesuatu yang merupakan inti dari

problematika penelitian. Subjek penelitian ini adalah Badan Pusat Statistik

Provinsi Aceh.

Objek penelitian merupakan sasaran untuk mendapatkan suatu data.

Sesuaidengan pendapat Made (2011:39) mendefinisikan objek penelitian

sebagaiberikut: “Objek penelitian (variabel penelitian) adalah karakteristik

tertentu yang mempunyai nilai, skor atau ukuran yang berbeda untuk unit atau

individu yang berbeda atau merupakan konsep yang diberi lebih dari satu nilai.

Objek penelitian ini PDRB Atas Harga Konstan (Growth), tingkat pengangguran

(Unemp), angka partisipasi kasar (APK) dan aglomerasi (Aglo).

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Bentuk Operasionalisasi dari variabel-variabel yang digunakan dalam

penelitian ini dijabarkan dalam tabel sebagai berikut:

34
35

1. Variabel Dependen

1) Ketimpangan pendapatan (INEQ-Y) adalah perbedaan kemampuan suatu

daerah dalam mendorong proses pembangunan.

2. Variabel Independen

1) Pertumbuhan (Growth-X1) adalah nilai tambah bruto seluruh barang dan

jasa yang dihasilkan diwilayah domestik suatu negara yang timbul akibat

berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu periode tertentu

2) Tingkat Pengangguran (Unemp-X2) adalah seseorang yang sudah

digolongkan dalam angkatan kerja (usia 15-64 tahun) yang secara aktif

sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak

memperoleh pekerjaan yang diinginkannya.

3) Angka Partisipasi Kasar (APK-X3) adalah persentase siswa dengan usia

yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di

usia yang sama

4) Aglomerasi (AGLO-X4) adalah pemusatan industri di suatu kawasan

tertentu dengan tujuan agar pengelolanya dapat optimal.

Ketimpangan pendapatan

3.4 Teknik Analisis Data

3.4.1 Indeks Williamson

Indeks Williamson digunakan untuk menentukan besarnya kesenjangan

pendapatan. Williamson meneliti hubungan antara disparitas regional dengan

tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi yang sudah

maju dan ekonomi yang sedang berkembang, ditemukan bahwa selama tahap awal
36

pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan

terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu (Kuncoro, 2013:134). Metode ini

diperoleh dari perhitungan pendapatan regional per kapita dan jumlah penduduk

masing-masing daerah.

Rumus:

IW =
√∑ (Yi−Y ) fi /n
2

Keterangan:

IW = Indeks Williamson

Yi = PDRB per kapita (dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota)

Y = PDRB per kapita (propinsi)

fi = Jumlah penduduk (dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota)

n = Jumlah penduduk (propinsi)

Besarnya nilai ini bernilai positif dan berkisar antara angka 0 – 1. Semakin

besar nilainya, maka dapat diartikan bahwa kesenjangan di wilayah tersebut besar.

Sebaliknya, semakin sedikit nilai indeksnya, maka kesenjangan juga semakin

rendah. Kesenjangan dikatakan tinggi apabila angka indeksnya 0,50 dan

seterusnya. Apabila nilai indeksnya adalah 0, maka dapat dikatakan bahwa di

daerah tersebut tidak terjadi kesenjangan, atau dalam kata lain, daerah tersebut

terjadi pemerataan sempurna.

3.4.2 Indeks Entropi Theil

konsep Entropi Theil dari distribusi pada dasarnya merupakan aplikasi

konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi dan konsentrasi


37

industri. Indeks ketimpangan Entropi Theil memungkinkan kita membuat

perbandingan selama kurun waktu tertentu dan dapat menyediakan pengukuran

ketimpangan secara rinci dalam subunit geografis yang lebih kecil. Berikut adalah

rumus indeks Entropi Theil:

I(y) = ∑(yj / Y) x log[(yj / Y) / (xj / X)]

Keterangan:

I(y): Indeks Entropi Theil

yj : PDRB per kapita kabupaten/kota j

Y : rata-rata PDRB per kapita provinsi

xj : jumlah penduduk kabupaten/kota j

X : jumlah penduduk Provinsi

3.4.3 Model Regresi Linear Berganda

Penelitian ini menggunakan metode statistika untuk keperluan estimasi.

Dalam metode statistika alat analisis yang biasa di pakai dalam khasanah

penelitian adalah analisis regresi. Penelitian ini akan menggunakan persamaan

regresi linear berganda untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel bebas

yaitu pertumbuhan ekonomi (Growth), Tingkat pengangguran (Unemp), Angka

partisipasi kasar (APK) dan Aglomerasi (Aglo) terhadap variabel terikat yaitu

ketimpangan pendapatan (INEQ). Model fungsi yang akan digunakan untuk

mengetahui ketimpangan pendapatan di Propinsi Aceh tahun 2010-2017 yaitu :

INEQ = f (Growth, Unemp, APK, Aglo)

Dimana variabel yang digunakan adalah:

INEQ = ketimpangan pendapatan

Growth = pertumbuhan ekonomi


38

Unemp = Tingkat pengangguran

APK = Angka partisipasi kasar

Aglo = Aglomerasi

INEQ = β0 + β1(Growth) + β2(Unemp) + β3(APK) + β4(Aglo) + Et

Fungsi di atas menjelaskan pengertian bahwa kesenjangan pendapatan 23

kabupaten/kota di Propinsi Aceh yang diukur dengan Indeks Williamson

dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, angka partisipasi

kasar dan aglomerasi serta variabel lain di luar model. Penelitian ini menggunakan

asumsi bahwa variabel lain di luar variabel penelitian tidak berubah (ceteris

paribus).

3.4.4 Pengujian Asumsi Klasik

3.4.4.1 Uji Normalitas

Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel dependen dan variabel independen kedua-duanya mempunyai distribusi

normal atau tidak. Pengambilan kesimpulan dengan Jargue-Bera test atau J-B

test. Bila nilai J-B hitung > nilai χ2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa

residual µ berdistribusi normal dapat ditolak. Bila nilai J-B hitung < nilai χ2 tabel,

maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual µ berdistribusi normal tidak

dapat ditolak.

3.4.4.2 Uji Multikolinieritas

Uji multikolineritas bertujuan menguji apakah model regresi ditemukan

korelasi antar variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak

terjadi korelasi diantara variabel independen. Jika variabel independen saling


39

berkorelasi, maka variabel-variabel tidak ortogal. Variabel ortogal adalah variabel

bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol.

Pengujian ini akan menggunakan auxiliary regressions dan Klien’s rule of thumb

untuk mendeteksi adanya multikolinieritas. Kriterianya adalah jika R 2 regresi

persamaan utama lebih besar dari R2auxiliary regressions maka di dalam model

tidak terdapat multikolinieritas.

3.4.4.3 Uji Heterokedastisitas

Uji hetroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang

lain. Jika varian dari nilai residual satu penganatan ke pengamatan yang lain tetap,

maka disebut homoskedatisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.

Model regresi yang baik adalah model yang bersifat homoskedastisitas atau tidak

terjadi hetroskedastisitas. Pengujian dilakukan melalui uji Park. Uji Park pada

prinsipnya meregres residual yang dikuadratkan dan dilogaritma naturalkan

dengan variabel bebas yang dilogaritma naturalkan pada model. Jika t statistik> ttabel

maka ada heterokedastisitas, jika t statistik< ttabel maka tidak ada heterokedastisitas.

Atau Jika nilai Prob > 0,05 maka tidak ada heterokedastisitas, jika nilai Prob <

0,05 maka ada heterokedastisitas.

3.4.4.4 Uji Autokorelasi

Autokerelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota

serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data deretan

waktu) atau ruang (seperti dalam data cross-sectional. Uji autokorelasi bertujuan
40

menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan

pengganggu pada periode waktu atau ruang dengan kesalahan pengganggu pada

waktu atau ruang (sebelumnya). Pengujian menggunakan uji Durbin Watson

untuk melihat gejala autokorelasi.

Tabel 3.2
Kriteria Pengujian Durbin Watson

Hipotesis Nol Keputusan Kriteria


Ada atokorelasi positif Tolak 0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada keputusan dl < d <du
Ada autokorelasi negatif Tolak 4-dl < d < 4
Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada keputusan 4-du < d < 4-dl
Tidak ada autokorelasi Jangan tolak du < d < 4-du

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Ada Tidak Tidak ada Tidak Ada


autokorelasi ada Autokorelasi dan ada autokorelasi
positif dan keputu tidak menolak H0 keputu positif dan
menolak H0 san san menolak H0

0 dl du 2 4-du 4-dl 4

Gambar 3.1
Kriteria Pengujian Durbin-Watson

3.4.5 Pengujian Statistik

3.4.5.1 Uji Koefisien Determinasi (Uji R2)

R2 bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh variasi variabel independen

dapat menerangkan dengan baik variasi variabel dependen. Untuk mengukur

kebaikan suatu model (goodness of fit), digunakan koefisien determinasi (R 2).


41

Koefisien determinasi (R2) merupakan angka yang memberikan proporsi atau

persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel

bebas (X) (Gujarati, 2013:26).

Nilai R2 yang sempurna adalah satu, yaitu apabila keseluruhan variasi

dependen dapat dijelaskan sepenuhnya oleh variabel independen yang

dimasukkan ke dalam model. Dimana 0 < R² < 1 sehingga kesimpulan yang dapat

diambil adalah:

(a) Nilai R² yang kecil atau mendekati nol, berarti kemampuan variabel-variabel

bebas dalam menjelaskan variasi variabel tidak bebas dan sangat terbatas.

(b) Nilai R² mendekati satu, berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam

menjelaskan hamper semua informasi yang digunakan untuk memprediksi

variasi variabel tidak bebas.

3.4.5.2 Uji Signifikansi Parsial (Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu

variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel

dependen. Untuk mengkaji pengaruh variable independen terhadap dependen

secara individu dapat dilihat hipotesis berikut :

1. H0: β1 = 0 tidak ada pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi dengan

ketimpangan pendapatan.

H0: β1 > 0 ada pengaruh positif antara variabel pertumbuhan ekonomi dan

ketimpangan pendapatan.

2. H0: β2 = 0 tidak ada pengaruh antara variabel tingkat pengangguran dengan

ketimpangan pendapatan.
42

H0: β2 > 0 ada pengaruh positif antara tingkat pengangguran dan ketimpangan

pendapatan.

3. H0 : β3 = 0 tidak ada pengaruh antara variabel angka partisipasi kasar dengan

ketimpangan pendapatan.

H0: β3 < 0 ada pengaruh negatif antara angka partisipasi kasar dan

ketimpangan pendapatan.

4. H0: β4 = 0 tidak ada pengaruh antara variabel aglomerasi dengan

ketimpangan pendapatan.

H0: β4 > 0 ada pengaruh positif antara aglomerasi dengan ketimpangan

pendapatan.

Dimana β1 adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilai

parameter hipotesis. Biasanya nilai ß dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh

variabel X1 terhadap Y. Bila nilai t hitung lebih besar dari t tabel maka pada t

hitung dengan tingkat kepercayaan tertentu, H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa

variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata terhadap variabel

dependen.

Pada tingkat signifikansi 5% (0,05), pengujian yang digunakan adalah

sebagai berikut:

b) Jika thitung> ttabel, maka H0 ditolak, artinya salah satu variabel independen

mempengaruhi variabel dependen secarasignifikan.

c) Jika thitung< ttabel, maka H0 diteriman, artinya salah satu variabel independen

tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.


43

3.4.5.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji F)

Uji F pada dasarnya dimaksudkan untuk membuktikan secara statistik

bahwa seluruh variabel independen berpengaruh secara bersama-sama terhadap

variabel dependen yaitu kesenjangan pendapatan dengan hipotesis untuk

menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimaksudkan dalam model

mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel tak bebas. Hipotesis

yang digunakan adalah sebagai berikut:

H0 : β0=β1=β2=β3=…..=0

H1 : β0≠β1≠β2≠β3≠…..≠0

Kriteria pengujiannya apabila nilai Fhitung< Ftabel, maka H0 diterima, yang

artinya seluruh variabel independen yang digunakan tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel dependen. Apabila Fhitung > F tabel, makaH0 ditolak,

yang artinya seluruh variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap

variabel dependen dengan taraf signifikan tertentu.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Aceh terletak antara 01o 58' 37,2" - 06o 04' 33,6" Lintang Utara

dan 94o 57' 57,6" - 98o 17' 13,2" Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125

meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2012 Provinsi Aceh dibagi menjadi 18

Kabupaten dan 5 kota, terdiri dari 289 kecamatan, 778 mukim dan 6.493 gampong

atau desa.

Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan

dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan

sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah

dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup

tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara.

Luas Provinsi Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang

mencapai 2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha.

Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha.

Jumlah penduduk di Provinsi Aceh terus mengalami penambahan dari

tahun 2012–2017. Penambahan jumlah penduduk Aceh akan memberikan dampak

pada meningkatkan kepadatan penduduk dari tahun ke tahun. Jika kita melihat

angka sex ratio (rasio jenis kelamin), nilai sex ratio selalu dibawah 100, yang

artinya jumlah penduduk perempuan relatif lebih banyak dibandingkan penduduk

laki-laki.

44
45

4.1.2 Deskripsi Variabel

4.1.2.1 Ketimpang Pendapatan (INEQ)

Dilihat dari tingkat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Aceh dari tahun

2010 sampai 2017 memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang sedang. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1
Ketimpangan Pendapatan Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

No Tahun INEQ
1 2010 0.47
2 2011 0.46
3 2012 0.44
4 2013 0.42
5 2014 0.40
6 2015 0.36
7 2016 0.37
8 2017 0.36
Sumber : Data Primer (2019)

Berdasarkan keterangan dari tabel 4.1 di atas maka dapat diketahui bahwa

secara keseluruhan tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh dari tahun

2010-2017 masih dalam kategori sedang, bila dilihat dari tahun 2010-2014 pada

masing-masing tahun tingkat ketimpangan juga dalam kategori sedang, namun

pada tahun 2015-2017 terjadi penurunan ketimpangan pendapatan menjadi

rendah.

4.1.2.2 Pertumbuhan Ekonomi (GROWTH)

Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh tahun 2010-2017 termasuk

tinggi yaitu di atas 5 persen. Berikut untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel

berikut .
46

Tabel 4.2
Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

No Tahun GROWTH
1 2010 41.06
2 2011 6.57
3 2012 5.85
4 2013 5.92
5 2014 5.41
6 2015 0.93
7 2016 6.36
8 2017 6.69
Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan dari tabel 4.2 di atas bahwa menjelaskan tingkat pertumbuhan

ekonomi pada tahun 2010 menjadi yang sangat tinggi yaitu sebesar 41,06%,

selanjutnya tingkat pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya menurun sehingga

menjadi antara 5% - 6%. Pada tahun 2015 pertumbuhan ekonomi pertumbuhan

ekonomi di Provinsi Aceh sangat rendah yaitu pertumbuhan hanya 0,93%.

Walaupun pada tahun-tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan.

4.1.2.3 Tingkat Pengangguran (UNEMP)

Setiap daerah memiliki pengangguran walaupun tingkat penganggurannya

tidak sama. Begitu juga tingkat pengangguran di Provinsi Aceh yang dari Tahun

2010-2017 menunjukkan besarnya tingkat pengangguran. Berikut untuk lebih

jelas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3
Tingkat Pengangguran Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

No Tahun UNEMP
1 2010 8.37
2 2011 7.43
3 2012 9.10
47

4 2013 10.30
5 2014 9.02
6 2015 9.93
7 2016 7.57
8 2017 6.57
Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan dari tabel 4.3 di atas bahwa menjelaskan tingkat pertumbuhan

ekonomi pada tahun 2010 menjadi yang sangat tinggi yaitu sebesar 41,06%,

selanjutnya tingkat pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya menurun sehingga

menjadi antara 5% - 6%. Pada tahun 2015 pertumbuhan ekonomi pertumbuhan

ekonomi di Provinsi Aceh sangat rendah yaitu pertumbuhan hanya 0,93%.

Walaupun pada tahun-tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan.

4.1.2.4 Angka Partisipasi Kasar (APK)

Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan rasio jumlah siswa yang

sedang sekolah pada tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk.

Tingka Angka Partisipasi Kasar (APK) Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

menunjukkan angka yang tinggi serta menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Berikut tabel 4.4 dibawah ini

Tabel 4.4
Angka Partisipasi Kasar Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

No Tahun APK
1 2010 94.67
2 2011 94.04
3 2012 94.26
4 2013 93.40
5 2014 96.35
6 2015 98.19
7 2016 99.29
8 2017 98.86
48

Berdasarkan dari tabel 4.4 di atas bahwa menjelaskan bahwa terjadi

peningkatan Angka Partisipasi Kasar secara keseluruhan, bermula pada tahun

2010 peningkatan APK sebesar 94,67% terjadi penurunan sampai tahun 2013

menjadi 93,40%. Namun pada tahun 2014 terjadi peningkatan menjadi 96,35%

dan terus meningkat sampai tahun 2017 menjadi 98,86%.

4.1.2.5 Aglomerasi (AGLO)

Aglomerasi Provinsi Aceh Tahun 2010-2017 dapat dilihat pada tabel tabel

4.5 dibawah ini

Tabel 4.5
Aglomerasi Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

No Tahun AGLO
1 2010 0.98
2 2011 1.16
3 2012 1.28
4 2013 0.74
5 2014 1.26
6 2015 0.84
7 2016 0.74
8 2017 0.87
Sumber: Data Primer (2019)

Berdasarkan dari tabel 4.5 di atas bahwa nilai aglomerasi Provinsi Aceh

Tahun 2010-2017 menunjukkan bahwa nilai aglomerasi dibawah angka 1 terjadi

pada tahun 2010, 2013, 2015, 2016 dan 2017. Dan aglomerasi yang nilainya di

atas 1 terjadi pada tahun 2011, 2012 dan 2014.


49

4.1.3 Uji Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil

4.1.3.1 Indeks Williamson Provinsi Aceh

Pengukuran tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah yang cukup

representatif dengan menggunakan pengukuran Indeks Williamson. Nilai

ketimpangan suatu wilayah berkisar antara 0-1, semakin mendekati angka 1 maka

semakin tinggi ketimpangan yang terjadi di wilayah tersebut, dan semakin

mendekati angka nol maka semakin merata atau tidak mengalami ketimpangan

pembangunan di wilayah tersebut, nilai 0,50 masih menunjukkan tingginya indeks

ketimpangan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengujian ketimpangan

pada Provinsi Aceh yang melibatkan semua kabupaten/kota. Untuk lebih jelas

ketimpangan di Provinsi Aceh dengan menggunakan pengukurusan Indeks

Williamson dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6
Indeks Williamson Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

Tahun Indeks Williamson (persentase)


2010 0.47
2011 0.46
2012 0.44
2013 0.42
2014 0.40
2015 0.36
2016 0.37
2017 0.36
Rata-rata 0.41
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Berdasarkan dari penjelasan dari tabel 4.6 di atas, maka dapat dijelaskan

bahwa secara rata-rata tingkat ketimpangan pendapatan daerah di Provinsi Aceh

cukup tinggi yaitu dengan nilai indeks Williamson sebesar 0,41%. Tahun yang

mengalami ketimpangan pendapatan cukup tinggi terjadi pada tahun 2010 dengan
50

nilai indeks sebesar 0,47%, ketimpangan pendapatan yang tinggi ini disebabkan

karena pendapatan pada tiap-tiap daerah yang sangat berbeda, ada daerah yang

potensial dengan pengelolaan aset daerah yang sangat optimal sehingga

menyumpang pendapatan terhadap PDRB yang tinggi sedangkan daerah lain

dalam pengelolaan potensi daerah belum optimal sehingga pendapatan daerah

masih sedikit diterima. Sedangkan pada tahun 2015-2017 terjadi penurunan

ketimpangan pendapatan sampai pada nilai indeks sebesar 0,36%, penyebab

terjadinya pemerataan pendapatan yang semakin baik karena pemerintah Provinsi

Aceh mulai membuka lapangan usaha baru pada daerah-daerah yang memiliki

potensi pertanian maupun perkebunan yang tinggi serta membuka kerja sama

dengan pihak asing untuk melakukan penanaman modal di wilayah tersebut

sehingga dapat meningkatkan pemerataan pendapatan daerah.

4.1.3.2 Indeks Entropi Theil Provinsi Aceh

Dalam mengukur ketimpangan menggunakan indeks Williamson juga

menggunakan indeks Entropi Theil, indeks Entropi Theil merupakan suatu

distribusi untuk mengukur ketimpangan ekonomi dan konsentrasi industri pada

suatu wilayah. Ketentuan dalam indeks Entropi Theil apabila mendekati 1 atau

lebih maka terjadi ketimpangan yang semakin besar dan apabila mendekati 0

maka ketimpangan semakin mengecil atau semakin rata-rata. Berikut pengujian

Indeks Entropi Theil Provinsi Aceh.


51

Tabel 4.7
Indeks Entropi Theil Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

Tahun Indeks Entropi Theil (persentase)


2010 1.47
2011 1.46
2012 1.46
2013 1.46
2014 1.46
2015 1.47
2016 1.47
2017 1.47
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Dari hasil penjelasan pada tabel 4.7 indeks Entropi Theil Provinsi Aceh

mengalami ketimpangan yang sangat tinggi, dalam penelitian ini tingkat

ketimpangan ekonomi Provinsi Aceh dari tahun 2010-2017 mengalami

ketimpangan sebesar 1,47%. Sehingga setiap daerah di Provinsi Aceh mengalami

ketimpangan pendapatan.

Tabel 4.8
Indeks Entropi Theil Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Tahun 2010-2017

No Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

1 Kab. Simeulue 0.95 0.97 1.04 1.10 1.09 1.16 1.19 1.19
2 Kab. Aceh Singkil 0.75 0.78 0.80 0.81 0.84 0.89 0.92 0.92
3 Kab. Aceh Selatan 0.75 0.78 0.82 0.86 0.84 0.89 0.91 0.91
Kab. Aceh
4 0.72 0.75 0.79 0.83 0.82 0.87 0.89 0.91
Tenggara
5 Kab. Aceh Timur 1.00 0.99 0.96 0.91 0.90 0.79 0.76 0.75
6 Kab. Aceh Tengah 1.50 1.53 1.58 1.64 1.64 1.73 1.74 1.72
7 Kab. Aceh Barat 1.78 1.73 1.62 1.61 1.67 1.75 1.73 1.83
8 Kab. Aceh Besar 1.01 1.01 1.01 1.02 1.10 1.15 1.14 1.12
9 Kab. Pidie 0.58 0.59 0.61 0.64 0.65 0.69 0.71 0.72
10 Kab. Bireun 0.84 0.85 0.87 0.89 0.89 0.92 0.92 0.90
11 Kab. Aceh Utara 1.66 1.72 1.72 1.64 1.48 1.07 1.01 0.99
Kab. Aceh Barat
12 1.21 1.21 1.20 1.19 1.16 1.21 1.22 1.21
Daya
52

13 Kab. Gayo Lues 1.35 1.39 1.45 1.48 1.52 1.59 1.62 1.65
14 Kab. Aceh Tamiang 0.94 0.92 0.93 0.98 0.96 0.94 0.93 0.94
15 Kab. Nagan Raya 2.57 2.56 2.43 2.34 2.36 2.44 2.43 2.41
16 Kab. Aceh Jaya 1.46 1.47 1.41 1.35 1.43 1.54 1.55 1.55
17 Kab. Bener Meriah 1.40 1.43 1.45 1.47 1.52 1.60 1.59 1.55
18 Kab. Pidie Jaya 0.81 0.82 0.85 0.87 0.87 0.93 0.93 0.94
19 Kota Banda Aceh 3.38 3.40 3.35 3.31 3.49 3.76 3.87 3.81
20 Kota Sabang 2.50 2.53 2.58 2.63 2.71 2.88 2.95 3.06
21 Kota Langsa 1.13 1.14 1.18 1.21 1.23 1.32 1.36 1.37
22 Kota Lhokseumawe 4.47 4.09 3.96 3.79 3.38 2.52 2.35 2.26
23 Kota Subulussalam 1.00 1.01 1.02 1.02 1.06 1.11 1.13 1.15
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Jika dilihat pada tabel 4.8 tingkat ketimpangan antar wilayah

kabupaten/kota di Provinsi Aceh relatif tinggi karena nilai indeks Entropi Theil

tidak lebih kecil dari 0,50%. Wilayah dengan tingkat ketimpangan ekonomi dan

industri terparah sendiri terjadi di Kota Lhokseumawe dengan indeks Entropi

Theil pada tahun 2010 mencapai 4,47%, walaupun Kota Lhokseumawe

merupakan kota dengan PDRB paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lain

namun pendapatan masyarakatnya tidak merata, walaupun terjadi penurunan

ketimpangan ekonomi pada tahun 2017 menjadi sebesar 2,26% tetapi masih

dalam ketimpangan yang tinggi, selanjunya Kota Banda Aceh juga mengalami

ketimpangan ekonomi yang terparah walaupun Kota Banda Aceh merupakan

ibukota Provinsi Aceh dengan tingkat ketimpangan sebesar 3% sepanjang tahun,

disusul Kota Sabang yang juga pengalami ketimpangan ekonomi sepanjang tahun

penelitian sebesar 2%.

4.1.3.3 Uji Normalitas


53

Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel dependen dan variabel independen kedua-duanya mempunyai distribusi

normal atau tidak. Ketentuan dalam penentuan normal tidaknya data sebagai

berikut:

 Nilai J-B hitung > nilai χ2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa

residual µ berdistribusi tidak normal.

 Nilai J-B hitung < nilai χ2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa

residual µ berdistribusi normal.

Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Gambar 4.1
Uji Normalitas

Berdasarkan dari Gambar 4.1 di atas maka dapat dilihat nilai Jarque-Bera

sebesar 0,401477 dan jika dibandikan dengan nilai χ2 tabel (Chi square) pada

sebesar 15,51 didapatkan 0,401477 < 15,15 maka hipotesis yang menyatakan

bahwa residual µ berdistribusi normal.

4.1.4 Hasil Pengujian


54

4.1.4.1 Uji Asumsi Klasik

4.1.4.1.1 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas menilai adakah korelasi atau interkorelasi antar

variabel bebas dalam model regresi. Dengan ketentuan jika nilai VIF kurang dari

10 maka dinyatakan tidak terdapat masalah multikolinearitas. Berikut pengujian

multikolinearitas yang dapat dilihap pada tabel 4.9.

Tabel 4.9
Uji Multikolinearitas

Variable Coefficient Variance Uncentered VIF Centered VIF


C 0.115865 4647.079 NA
Growth 2.17E-07 2.079983 1.236573
Unemp 2.46E-05 73.39666 1.438857
APK 9.65E-06 3578.931 1.895643
Aglo 0.000779 31.61426 1.358360
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Berdasarkan dari hasil pengujian multikolinearitas maka di dapatkan bahwa

nilai Centered VIF pada semua variable dependen nilainya kurang dari 10, maka

dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas dalam model

prediksi.

4.1.4.1.2 Uji Heterokedastisitas

Uji hetroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi

ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.

Dengan ketentuan jika nilai Prob > 0,05 maka tidak ada heterokedastisitas, jika

nilai Prob < 0,05 maka ada heterokedastisitas. Berikut hasil pengujian

heterokedastisitas pada tabel 4.10.

Tabel 4.10
Uji Heterokedastisitas
55

Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey


F-statistic 9.190435 Prob. F(4,3) 0.0495
Obs*R-squared 7.396405 Prob. Chi-Square(4) 0.1164
Scaled explained SS 0.542967 Prob. Chi-Square(4) 0.9692
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Dari hasil pengujian heterokedastisitas pada tabel 4.10 maka dapat dilihat

bahwa nilai pada Obs*R-Squared yaitu sebesar 0,1164. Oleh karena nilai p value

0,1164 > 0,05 maka model regresi bersifat homoskedastisitas atau tidak ada

masalah asumsi non heteroskedastisitas.

4.1.4.1.3 Uji Autokerelasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada

korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode waktu atau ruang dengan

kesalahan pengganggu pada waktu atau ruang (sebelumnya). Pengujian

menggunakan uji Durbin Watson untuk melihat gejala autokorelasi. Untuk lebih

jelas maka dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut.

Tabel 4.11
Uji Autokorelasi

R-squared 0.956639 Mean dependent var 0.410000


Adjusted R-squared 0.898823 S.D. dependent var 0.044401
S.E. of regression 0.014123 Akaike info criterion -5.412835
Sum squared resid 0.000598 Schwarz criterion -5.363184
Log likelihood 26.65134 Hannan-Quinn criter. -5.747711
F-statistic 16.54647 Durbin-Watson stat 1.952142

Prob(F-statistic) 0.021986
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Berdasarkan tabel 4.11 di atas maka dapat diketahui nilai Durbin-Watson

stat sebesar 1,952142, maka diperlukan tabel Durbin-Watson untuk mengetahui

apakah pengujian tersebut autokorelasi positif maupun negatif. Dikarenakan


56

dalam penelitian ini jumlah variabel bebes sebanyak 4 variabel dan tahun

pengujian 8 tahun, maka pada tabel Durbin-Watson tidak ditemukan nilai dL dan

dU pada tabel tersebut.

4.1.4.2 Pengujian Regresi Linear Berganda

Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui dan menganalisis

pengaruh variabel Growth, Unemp, APK dan Aglo terhadap INEQ di Provinsi

Aceh tahun 2010-2017. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut:

Tabel 4.12
Regresi Linear Berganda

Dependent Variable: INEQ


Method: Least Squares
Sample: 2010 2017
Included observations: 8

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.861131 0.340389 5.467655 0.0120


Growth 0.001171 0.000466 2.514665 0.0866
Unemp -0.006746 0.004962 -1.359625 0.2671
APK -0.014930 0.003107 -4.805908 0.0172
Aglo 0.030660 0.027919 1.098162 0.3524

R-squared 0.956639 Mean dependent var 0.410000


Adjusted R-squared 0.898823 S.D. dependent var 0.044401
S.E. of regression 0.014123 Akaike info criterion -5.412835
Sum squared resid 0.000598 Schwarz criterion -5.363184
Log likelihood 26.65134 Hannan-Quinn criter. -5.747711
F-statistic 16.54647 Durbin-Watson stat 1.952142
Prob(F-statistic) 0.021986

Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder (2019)

Berdasarkan Tabel 4.12 diatas dapat disusun persamaan regresi linier

berganda sebagai berikut: INEQ = 1.861131 + 0.001171(Growth) - 0.006746

(Unemp) - 0.014930(APK) + 0.030660(Aglo). Dari persamaan di atas dapat

diinterpretasikan sebagai berikut:


57

a. Konstanta b0 (a) = 1,861131 artinya jika Growth, Unemp, APK dan Aglo

nilainya 0, maka INEQ nilainya sebesar 1.861131%.

b. Koefisien b1 = 0,001171 artinya jika variabel Unemp, APK dan Aglo nilainya

tetap sedangkan Growth ditingkatkan sebesar 1% maka INEQ akan

meningkat sebesar 0,001171%

c. Koefisien b2 = - 0,006746 artinya jika variabel Growth, APK dan Aglo

nilainya tetap sedangkan Unemp ditingkatkan sebesar 1% maka INEQ akan

terjadi penurunan sebesar 0,006746%.

d. Koefisien b3 = - 0.014930 artinya jika variabel Growth, Unemp, dan Aglo

nilainya tetap sedangkan APK ditingkatkan sebesar 1% maka INEQ akan

terjadi penurunan sebesar 0.014930%

e. Koefisien b1 = 0.030660 artinya jika variabel Growth, Unemp dan APK

nilainya tetap sedangkan Aglo ditingkatkan sebesar 1% maka INEQ akan

meningkat sebesar 0.030660%.

4.1.5 Uji Hipotesis

4.1.5.1 Uji Signifikansi Parsial (Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu

variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel

dependen. Berdasarkan Tabel 4.12 dapat diketahui kedua variabel independen

berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

1) Pertumbuhan Ekonomi (Growth)


58

Hasil perhitungan secara parsial variabel Growth tidak berpengaruh

terhadap variabel INEQ, yang ditunjukkan dengan besarnya nilai probabilitas

sebesar 0,0866 dan nilai sig 0,05 (0,0866 > 0,05). Dari hasil analisis dapat

disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi (Growth) tidak berpengaruh terhadap

ketimpangan pendapatan (INEQ). Hasil penelitian ini didukung penelitian yang

dilakukan oleh Puti dan Pipit (2017), dalam penelitian tersebut menjelaskan

bahwa tidak adanya pengaruh pertumbuhan ekonomi secara parsial terhadap

variabel ketimpangan di Provinsi Aceh.

2) Tingkat Pengangguran (Unemp)

Hasil perhitungan secara parsial variabel Unemp tidak berpengaruh

terhadap variabel INEQ, yang ditunjukkan dengan besarnya nilai probabilitas

sebesar 0,2671 dan nilai sig 0,05 (0,2671 > 0,05). Dari hasil analisis dapat

disimpulkan bahwa tingkat pengangguran (Unemp) tidak berpengaruh terhadap

ketimpangan pendapatan (INEQ). Hasil penelitian ini didukung penelitian yang

dilakukan oleh Dea, dkk (2019), dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa

tingkat pengangguran tidak mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan

daerah.

3) Angka Partisipasi Kasar (APK)

Hasil perhitungan secara parsial variabel APK berpengaruh terhadap

variabel INEQ, yang ditunjukkan dengan besarnya nilai probabilitas sebesar

0,0172 dan nilai sig 0,05 (0,0172 < 0,05). Dari hasil analisis dapat disimpulkan

bahwa angka partisipasi kasar berpengaruh (APK) terhadap ketimpangan

pendapatan (INEQ). Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Ma'maun


59

(2012) yang menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar berpengaruh dengan

tingkat ketimpangan.

4) Aglomerasi (Aglo)

Hasil perhitungan secara parsial variabel Aglo tidak berpengaruh terhadap

variabel INEQ, yang ditunjukkan dengan besarnya nilai probabilitas sebesar

0,3524 dan nilai sig 0,05 (0,3524 > 0,05). Dari hasil analisis dapat disimpulkan

bahwa aglomerasi (Aglo) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan

(INEQ). Namun untuk kajian pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan

ekonomi berbeda dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mentari (2017)

dalam penelitiannya menjelaskan bahwa aglomerasi berpengaruh terhadap

ketimpangan ekonomi yang bertentangan dengan hasil penelitian yang peneliti

lakukan dimana aglomerasi tidak berpengaruh dengan ketimpangan ekonomi.

4.1.5.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Uji F pada dasarnya dimaksudkan untuk membuktikan secara statistik

bahwa seluruh variabel independen berpengaruh secara bersama-sama terhadap

variabel dependen yaitu kesenjangan pendapatan dengan hipotesis untuk

menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimaksudkan dalam model

mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel tak bebas.

Berdasarkan Tabel 4.12 hasil uji F dengan nilai pada Prob(F-statistic)

sebesar 0,021986 yang dibandingkan dengan nila signifikansi 0,05, maka dapat

disimpulkan H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukkan secara simultan

variabel independen yang terdiri dari Growth, Unemp, APK dan Aglo berpengaruh

terhadap INEQ artinya besar kecilnya semua variabel independen tersebut secara
60

simultan mempengaruhi perubahan INEQ pada tahun mendatang. Namun untuk

keseluruhan variabel penelitian yang dilakukan oleh Puti dan Pipit (2017) bahwa

faktor-faktor ekonomi berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan.

4.1.5.3 Uji Koefisien Determinasi (Uji R2)

R2 bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh variasi variabel independen

dapat menerangkan dengan baik variasi variabel dependen. Nilai R2 yang

sempurna adalah satu, yaitu apabila keseluruhan variasi dependen dapat dijelaskan

sepenuhnya oleh variabel independen yang dimasukkan ke dalam model.

Dalam penelitian ini nilai yang digunakan adalah nilai dari Adjusted R-

squared, penggunaan nilai tersebut dimaksudkan bahwa variabel dalam dependen

dalam penelitian ini lebih dari 1 maka lebih baik menggunakan pengujian pada

Adjusted R-squared, Adjusted R-squared dalam penelitian ini sebesar 0,898823

yang berarti variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas

variabel independen sebesar 89,8%. Sedangkan sisanya sebesar 10,2% dapat

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam variabel penelitian ini.

Dilihat dari nilai Adjusted R Square sebesar 0,898823 maka dapat dinyatakan

bahwa besaran pengaruh variabel Growth, Unemp, APK dan Aglo terhadap INEQ

dinyatakan tinggi.

4.2 Pembahasan

Bedasarkan dari hasil pengujian yang telah dilakukan di atas menunjukkan

bahwa pada pengujian indeks Williamson Provinsi Aceh dari tahun 2010-2017

terdapat ketimpangan yang cukup tinggi yaitu sebesar 0,41% dari keseluruhan

tahun yang diujikan. Begitu juga ketimpangan yang dilakukan pengujian dengan
61

indeks Entropi Theil juga mengalami ketimpangan yang sangat tinggi yaitu

sebesar 1,47%.

Wilayah dengan tingkat ketimpangan ekonomi dan industri terparah

sendiri terjadi di Kota Lhokseumawe dengan indeks Entropi Theil pada tahun

2010 mencapai 4,47%, walaupun Kota Lhokseumawe merupakan kota dengan

PDRB paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lain namun pendapatan

masyarakatnya tidak merata, walaupun terjadi penurunan ketimpangan ekonomi

pada tahun 2017 menjadi sebesar 2,26% tetapi masih dalam ketimpangan yang

tinggi, selanjunya Kota Banda Aceh juga mengalami ketimpangan ekonomi yang

terparah walaupun Kota Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Aceh dengan

tingkat ketimpangan sebesar 3% sepanjang tahun, disusul Kota Sabang yang juga

pengalami ketimpangan ekonomi sepanjang tahun penelitian sebesar 2%.

Sedangkan untuk melihat berpengaruh-tidaknya ketimpangan pendapatan

dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, angka partisipasi kasar dan

aglomerasi maka didapatkan bahwa pertumbuhan ekonomi (Growth) tidak

berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan (INEQ), tingkat pengangguran

(Unemp) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan (INEQ), angka

partisipasi kasar berpengaruh (APK) terhadap ketimpangan pendapatan (INEQ)

dan aglomerasi (Aglo) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan

(INEQ).

Melihat pernyataan tersebut diatas, penyebab terjadinya ketimpangan

pendapatan di Provinsi Aceh dari tahun 2010-2012 disebabkan sumber daya

manusia yang ada di provinsi aceh yang masih sangat rendah sehingga

menyumbang ketimpangan yang terlalu tinggi, sumber daya manusia yang handal

mampu menjadi pendorong terjadinya kehidupan yang sejahtera. Dengan


62

demikian diperlukan perhatian pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Aceh

serta segenap pemerintah di daerah untuk bersama-sama membentuk sumber daya

manusia yang lebih handal.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh maka dapat disimpulkan bahwa.

1. Hasil pengujian ketimpangan dengan menggunakan indeks Williamson di

Provinsi Aceh masih cukup tinggi yaitu sebesar 0,41% dan dari pengujia

Indeks Entropi Theil mengalami ketimpangan sangat tinggi yaitu sebesar

1,47%.

2. Pertumbuhan ekonomi (Growth) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan

pendapatan (INEQ).

3. Tingkat pengangguran (Unemp) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan

pendapatan (INEQ).

4. Angka partisipasi kasar berpengaruh (APK) terhadap ketimpangan

pendapatan (INEQ).

5. Aglomerasi (Aglo) tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan

(INEQ).

5.2 Saran

1. Diharapkan kepada pemerintah Provinsi Aceh setiap kebijakan yang

dikeluarkan dapat meningkatkan pendapatan daerah serta mampu menggali

potensi daerahnya untuk menambah pendapatan asli daerah

2. Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kenaikan tingkat upah

minimum sesuai dengan tingkat inflasi dan tingkat kebutuhan dasar pekerja.

63
64

Strategi lain yaitu memberi pelatihan keterampilan bagi tenaga kerja yang

diharapakan bisa mendorong kemandirian tenaga kerja untuk menciptakan

peluang usaha.

You might also like