You are on page 1of 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Diskursus ilmu Fikih tidak lepas dari metodologi ilmu Ushul fikih
dan ilmu Bahasa Arab. Ushul sebagai rujukan ilmu fikih sudah lazim
difahami sekilas melalui penamaannya: ushul dan fikih. Adapun rujukan ilmu
Bahasa Arab bersumber dari dalil-dalil hukum Islam Alqur’an dan Hadis,
yang keduanya menggunakan Bahasa Arab. Dengan demikian Bahasa Arab
merupakan instrumen mutlak sebagai perantara dalam memahami dalil-dalil
hukum dan meneliti tentang madlul-madlulnya (makna yang ditunjuk).
1. Ketika tujuan ilmu fikih mengarah pada ilmu tentang mengaplikasikan
amaliah hukum-hukum syariah yang diambil dari dalil-dalilnya secara
terperincI.
2. dan kajian ini tidak akan terealisasikan kecuali dengan pemahaman makna
dan maksud-maksud nash syariah. Sebab itu ilmu fikih tidak bisa lepas
dari kajian ilmu Nahwu. Seperti ditegaskan oleh Abu Nuaim Al-hafidz
dalam penyebutan berbagai derajat dan tartib ilmu-ilmu yang harus
diprioritaskan, hingga menyebut ilmu fikih, dan setelah fikih adalah ilmu
Bahasa Arab dan Nahwu, karena keduanya adalah instrumen atas semua
ilmu. Agar seseorang sanggup membaca Alquran dengan benar, dan ketika
meriwayatkan Hadis Rasulullah, sehingga ketidaktahuan dalam i’rob tidak
menggugurkan makna-maknanya

B. Rumusan Masalah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Kawkab Daari adalah karya
Isnawi dalam bidang ushul fikih yang concern pada kajian-kajian istimbath
takhrij furu, mengeluarkan sekaligus menghasilkan hukum-hukum
cabangcabang fikih dari perspektif ilmu bahasa Arab dalam hal ini Nahwu
takhrijul furu’ul fiqhi ala al-masail al-nahwi. Isnawi memfokuskan dirinya
pada aspek ilmu Al-arabiyah untuk menemukan makna (madlul) dari sebuah
nash, hingga maksud dari nash tersebut menjadi jelas. Berdasarkan
penjabaran diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kontribusi ilmu Nahwu dalam memunculkan furu’ul fikih?
2. Bagaimana Aplikasi teori Isnawi dalam metodologi Takhrij furu melalui
Ilmu Nahwu terhadap perspektif Fuqoha?
3. Pengaruh ilmu Nahwu dalam memahami perbedaan prespektif fuqoha

1
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian

a. Definisi Fiqh

Fiqh menurut bahasa : ‫( المعرفة بقصد المتكلم‬mengetahui maksud yang berbicara)


seperti ‫( فقهت كالمك أي عرفت قصدك به‬saya mengetahui apa perkataanmu maka saya
mengerti maksud dari itu).

Fiqh menurut istilah fuqaha : ‫رعية‬P‫ام ش‬P‫( جملة من العلوم بأحك‬seluruh pengetahuan
tentang hukum syariah). Adapun yang dimaksud dari ahkam disini bukanlah
hukum dari suatu pekerjaan karena hukum pasti diidhofahkan kepada pekerjaan
‫ أحكام األفعال‬melainkan maksud dari hukum disini ialah apakah ia berkedudukan
mubah, mandub, wajib, haram atau makruh.

b. Definisi Ushul

Ushul menurut Bahasa : ‫ه‬PP‫رع علي‬PP‫يره و يتف‬PP‫( ما يبتني عليه غ‬suatu hal yang berdiri di
atasnya hal lain dan bercabang-cabang)

c. Definisi Ushul Fiqh

Adapun definisi ushul fiqh yaitu ‫( ما يبتني عليه الفقه‬suatu hal yang berdiri di atasnya
fiqh) [6]

1. Defenisi Ushul Fiqh

Secara etimologi ushul fiqh terdiri dari dua kata yaitu ushul dan fikih.
Dilihat dari kata bahasa arab rangkaina kata ushul dan fiqhi tersebut dinamakan
dengan tarkib idhafah, sehingga diri rangkaian dua kata itu membuat dua
rangkaian kata ushul dan fiqhi. Kata ushul adalah bentuk jama’dari kata ashl yang
menurut bahasa , berarti suatau yang di jadikan dasar bagi yang lain, atau
bermakna fondasi sesuatu, baik bersifat materi maupun non materisihingga ushul
fiqhi berarti suatu yang di jadikan dasar bagi fiqh. Secara terminologi banyak
definisi yang diberikan para ulama tentang ushul fiqh. Namun di sini hanya akan
dikemukakan beberapa definisi yang lengkap dan mudah dipahami. Salah satunya
adalah definisi ushul fiqh yang dikemukakan oleh ulama ushul: M. Khudary Beik
yaitu Ushul fiqh adalah ilmu tentang qaidah atau aturan-aturan, di mana dengan
2
qaidah tersebut seorang mujtahid sampai (menemukan) hukum syar’i yang
diambil dari dalilnya.”.Ali Hasaballahi lmu Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang
dengan kaidah tersebut menyampaikan untuk mengistinbathkan (mengeluarkan)
hukum dari dalil-dalil yang terperinci.” Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan
ushul fiqh ilmu tentang kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan dan pembahasan
yang dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh hukum-hukum syar’i yang
berkaitan dengan amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci.” Menurut Abu
Zahrah ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan
untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang
terperinci, maka dia adalah kaidah yang menjelaskan metode (thariqah)
mengeluarkan hukum dari dalilnya.

2. Defenisi Fiqih

Menurut bahasa, “Fiqih” berasal dari kata “faqiha yafqahu-faqihan” yang


berarti mengerti atau paham. Paham yang dimaksudkan adalah upaya aqilah
dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Di dalam Al?quran tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata
fiqh dan semuanya dalam bentuk kata kerja, seperti di dalam surah at?Taubah ayat
122.

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Dari ayat dapat di tarik kesimpulan bahwa fiqhi itu berarti mengetahui,
memahami dan mendalami ajaran?ajaran agama secara keseluruhan. Jadi
pengertian fiqhi dalam arti yang sangat luas sama dengan pengertian syariah
dalam arti yang sangat luas . inilah pengertian fiqhi pada masa sahabat atau pada
abad pertama islam.

Al-Fiqih dalam bahasa arab mengetahui sesuatu dengan mengerti (al-‘ilm


bisyai’I ma’a al-fahm). Ibnu Al-Qayim mengatakan bahwa fiqih lebih khusus dari
pada paham, yakni pemahaman mendalam terhadap berbagai isyarat Al-Quran,
secara tekstual maupun kontekstual. Tentu saja, secara logika, pemahaman akan

3
diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat tekstual, sedangkan
pemahaman dapat dilakukan secara tekstual maupun kontekstual. Hasil dari
pemahaman terhadap teks-teks ajaran islam disusun secara sistematis agar mudah
diamalkan. Oleh karena itu, ilmu fiqih merupakan ilmu yang mempelajari ajran
islam yang disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis) yang diperoleh
dari dalil-dalil yang sistemati. Rasyid Ridha mengatakan pula bahwa dalam Al-
Qur’an banyak ditemukan kata-kata fiqih yang artinya adalah paham yang
mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat, yang dengan fiqih itu, seseorang
‘alim menjadi ahli hikmah (filosof), pengamal yang memiliki sikap yang
teguh. Kata fiqih dan tafaqquh berarti “pemahaman yang dalam”, keduanya sering
digunakan dalam Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana disebutkan dalam surat At-
Taubah: 122. Rasulullah SAW. telah memerintahkan beberapa di antara para
sahabat untuk memahami secara mendalam (tafaqquh) atau telah memilih mereka
sebagai ahli fiqih atau fuqaha (bentuk jamak dari faqih).

Secara terminologi Al-Quran dan sunnah, Fiqih adalah pengetahuan yang


luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dan realitas Islam dan tidak
memeiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Akan tetapi, dalam
terminology ulama, istilah fiqih secara khusus diterapkan pada pemahaman yang
mendalam atas hukum-hukum Islam.

Artinya :

“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang
kamu katakan itu dan Sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang
yang lemah di antara Kami; kalau tidaklah Karena keluargamu tentulah kami
Telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi
kami.(Q.S. Huud: 91)

Dari ayat-ayat diatas, dapat dipahami bahwa arti fiqih secara leksikal
adalah pemahaman, sedangkan objek yang dipahami bersifat umum, bias berupa
kalimat yang digunakan dalam komunikasi atau dialog, berupa ciptaan Allah,
berupa tubuh manusia dan fungsinya, dan sebagainya. Semua diseur oleh Allah
untuk dipahami oleh manusia. Adapun arti fiqih secara terminology ada beberapa
pendapat yang mendefenisikannya :

Al- Imam Muhammad Abu Zahro’, mendefenisikan fiqih dengan :

4
“fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan hokum-hukum syara’ amaliyah dari
dalil-dalilnya yang terperinci”

1.Abdul Hamid Hakim mendefenisikan dengan :

“Ilmu yang berkaitan dengan hokum-hukum syara’ yang hokum-hukum itu


didapatkan dengan cara berijtihad”

2.Imam Abu Hanifah mendefenisikan :

“Ilmu yang menerangkan perihal hak-hak dan kewajiban.”

3.lama-ulama Syafi’iyah menerangkan :

“fiqih adalah ilmu yang menerangkan segala hokum syara’ yang berkaitan dengan
amaliyah orang mukhalaf yang dininstibathkan dari dalil-dalil yang terperinci.”

4.Menurut Abdul Wahab Khallaf, Fiqih Adalah :

“Ia adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hokum-hukum syara’ amaliyah,


yang hukum-hukum itu didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci dan ia
merupakan kumpulan hukum-hukum syara’amaliyah yang akan diambil
faedahnya dari dalil-dalil yang terperinci”.

Dengan berbagai defenisi tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa arti “Fiqih”
itu adalah ilmu mengenai pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan amaliyah orang mukallaf, baik amaliyah anggota badan maupun
amaliyah hati, hokum-hukum syara’ itu didapatkan berdasarkan dan ditetapkan
berdasarkan dalil-dalil tertentu (Al-Qur’an dan al- Hadis) dengan cara ijtihad.

B.Perbedaan Fikih dan Ushul Fikih

Mengutip buku Ushul Fiqh oleh Sapiudin Shidiq, perbedaan fikih dan ushul fikih
adalah terdapat pada pembahasan dan sub bahasannya. Bisa dikatakan bahwa
ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki ciri khas yang membedakannya
dengan fikih.

Lebih jelasnya, berikut perbedaan antara fikih dan ushul fikih: Objek pembahasan
dalam ilmu ushul fikih adalah soal kaidah-kaidah dan hukum yang sifatnya
umum. Objek pembahasan dari ilmu fikih ini sendiri adalah dalil yang bersifat

5
juz'i sehingga hasilnya adalah hukum juz'i yang berhubungan dengan perilaku
mukalaf.

Tujuan dari ushul fikih adalah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah yang
sifatnya kulli terhadap nas-nas syariat, sedangkan ilmu fikih memiliki tujuan
untuk menerapkan hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan mukalaf.

Ushul fikih adalah dasar pijakan bagi ilmu fikih sedangkan fikih sendiri
merupakan hasil atau produk dari ushul fikih. Dalam artian lain, ushul fikih
melahirkan fikih. Ditinjau dari sifatnya, ushul fikih pembahasannya lebih ke
teoritis sedangkan fikih praktis.’

C.Hukum Mempelajari Ushul Fiqh

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum mempelajari ilmu ushul fiqh adalah
fardhu kifayah. Berikut beberapa pendapat tentang hukum mempelajari ilmu ushul
fiqh

1. Ibnu Hamdan dalam kitab Sifatul Mufti dan Mustafti

Bahwa ilmu ushul fiqh berkedudukan fardu kifayah sebagaimana ilmu fiqh

2. Ibnu Taymiah dalam kitab Al-Musawwadah

Bahwa ilmu ushul fiqh berkedudukan fardu kifayah, menjadi fardu ‘ain bagi yang
berijtihad atau istinbat hukun dan fatwa.

3. Ibnu Najjar dalam kitab Syarh al-Kawakib al-Munir

Ilmu ushul fiqh berkedudukan fardu kifayah sebagaimana ilmu fiqh

Dikarenakan ilmu ushul fiqh merupakan ilmu yang amat penting maka setiap
Mujtahid, Mufti dan setiap penuntut ilmu hendaknya mempelajari ilmu ushul fiqh
agar dapat mengistinbatkan suatu persoalan hukum. Kecuali bagi muqallid secara
umum yaitu orang-orang yang sudah cukup baginya hanya dengan mengikuti
pendapat para mujtahid.

6
BAB III

KESIMPULAN

1. Ushul fiqih ialah ilmu yang mengkaji tentang dalil fiqih berupa kaidah untuk
mengetahui cara pengguaannya, mengetahui keadaan orang yang
menggunakannya (muttahid) dengan tujuan mengeluarkan hukum amali
( perbuatan) dari dalil dalil secara terperinci dan jelas
2. Objek pembahasannya mengkaji dalil yang masih bersifat umum dilihat dari
ketetapan hukum yang umum pula puncak tujuan mempelajarinya adalah
untuk memelihara agama Islam dari penyimpangan dan penyalahgunaan
dalil-dalil syara’, hingga terhindar dari kecerobohan yang menyesatkan.
3. Sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih terbagi kepada dua periode:
Pertama: periode ushul fiqih sebelum dibukukan meliputi masa sahabat,
masa tabi’in, dan mujtahid sebelum imam Syafi’I, Sumber hukum pada masa
sahabat meliputi al-Qur’an dan Hadits tetapi di tambah dengan ijtihad
sahabat. Kemudian masa tabi’in, tabi’ al-tabi’in serta imam-imam mujtahid
(abad ke-2 dan ke-3 H). Pada masa ini, istinbat sudah mengalami perluasan
dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul akibat bertambah meluasnya
wilayah kekuasaan Islam, sumber hukum yang digunakan meliputi al-Qur’an,
sunah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah, masa
sebelum imam Syafi’I di kenal dua tokoh utama yaitu: pertama Imam Abu
Hanifah al-Nu’man (w. 150 H), dasar istinbatnya secara berurutan
menggunakan al-Qur’an sunah, fatwa sahabat dan pendapat yang disepakati
oleh para sahabat. Kedua, Imam Imam Malik bin Anas, selain Al-Qur’an dan
Hadits ia menggunakan praktik ahli Madinah. Imam Malik seperti halnya
Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqih.
Kedua, periode pembukuan ushul fiqih. Ilmu ushul fiqih tumbuh pada abad
kedua hijrah yang dilatarbelakangi oleh perdebatan sengit antara ahlul hadis
dan ahlu al-ra’yi. Penghujung abad kedua dan awal abad ketiga hijrah muncul
Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150 H – 204 H), yang membukukan

7
ilmu ushul fiqih dengan karyanya yang bernama al-Risalah. Masa pembukuan
ini berbarengan dengan masa keemasan Islam yang dimulai dari masa Harun
al-Rasyid(145 H – 193 H ), Tiga aliran ilmu ushul fiqih:
a. Jumhur ulama disebut juga aliran Syafi’iyah, mutakallimin,
Perintisnya adalah Imam Syafi’I. Metode pembahasannya didasarkan
oleh logika yang bersifat rasional dan pembuktiannya oleh kaidah-
kaidah yang ada. Fokusnya diarahkan kepada apa yang dianggap
rasional dan terdapat dalil baginya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan pembahasan ushul fiqih aliran jumhur ini bersifat teoritis
tanpa disertai contoh dan bersifat murni karena tidak mengacu kepada
mazhab fiqih tertentu yang sudah ada.
b. Hanafiyah (ahnaf) atau fuqaha. Dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah,
disebut juga dengan aliran fuqaha (ahli fiqih). Dalam merumuskan
kaidah ushul fiqih, mereka berpedoman kepada pendapat fiqih Abu
Hanifah dan pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan
contoh-contoh. Cara yang digunakan dengan istiqra’(induksi)
terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya. Metode yang dipakai
oleh aliran Hanafiyah ini dalam menyusun kaidah-kaidah ditempuh
berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah
menyandarkan ijtihadnya pada kaidah-kaidah ini atau bahasan-
bahasan ushuliyah ini. Jadi, semata-mata perhatian mereka itu tertuju
kepada masalah ushul fiqih para Imamnya yang diambil dari masalah
furu’ dalam melakukan istinbat.
c. Campuran ialah gabungan antara metode Mutakallimin dan metode
Hanafiyah. Metode yang ditempuh yaitu dengan cara
mengkombinasikan antara kedua aliran diatas. Mereka
memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-
dalil atas kaidah ini juga memperhatikan penerapannyaterhadap
masalah fiqih far’iyah dan relevansinya dengan kaidah-kaidah
tersebut.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Umar al-Baidawi, Nihayatu al-Suul fi Syarhi Minhaj al-


Ushul (Mesir: Alim al-Kutub, 1343 H)
Abdurrahman al-iyji, Syarh Mukhtashor al-Muntaha Al-Ushuli, (Beirut:
Daarul Kutub, 2004 M)
Abi al-Hasan Muhammad bin Ali bin al-Tayyib al-Bashari, Al-Mu’tamad fi
Ushul al-Fiqh, (Damaskus, Ma’had ‘ilmi al-Faransi, 1964)
Al-Mazini, Mukhtashor al-Mazini fi al-Furu’ al-Syafi’iyyah, (Beirut:Daarul
Kutub, 264 H)
Dr. Akhmar Mukhtar Mahmud, Mabadi Ushul al-Fiqh, (Jamia’ Al-Azhar,
Cairo)
Fachruddin bin Umar bin Husain ar-Razy, Al-Mahsul fi ‘ilmi Ushul al-Fiqh,
(Mesir, Daar al-Kutub, 1209)
Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali, Al-Burhan fi al-Ushul al-Fiqh, (Jamia’
Qatr, 1399 H )
Imam Haramain, al-waraqat, (Beirut:Resalah Publisher)
Muhammad bin ‘amim al-Ihsan al-Burkati, al-Ta’rifat al-Fiqhiyyah,
(Beirut: Daarul Kutub, 2003)

Get the mobile app

You might also like