You are on page 1of 14

Dosen : I made ray sudarsono, Sgz, MPH

Mendeley
“Topik gizi stunting pada balita”

DISUSUN OLEH :

 NAMA : RIVALDI SAPUTRA


 NIM : P00331019028
 PRODI : DIII A

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Stunting merupakan penggambaran dari status gizi kurang yang bersifat kronik pada
masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Banyak faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya stunting pada balita seperti karakteristik balita maupun
faktor sosial ekonomi. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik
pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2
standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan menurut WHO.(Basri et al.,
2021).

Upaya perbaikan status gizi balita di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sudah
mengalami peningkatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, prevalensi gizi
kurang dan buruk telah mengalami penurunan dari 18,4% tahun 2007 menjadi 17,9%
tahun 2010, sedangkan prevalensi balita pendek terdiri dari sangat pendek 18,5% dan
pendek 17,1%. Penurunan prevalensi terjadi pada balita pendek dari 18,0% menjadi
17,1% dan balita sangat pendek dari 18,8% menjadi 18,5%.1 Akan tetapi, tidak
demikian yang terjadi di Kabupaten Kendal. (Meilyasari & Isnawati, 2014)

Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling penting untuk
meletakkan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan
datang. Indonesia, seperti negara berkembang lainnya memiliki beberapa masalah gizi
pada balita di antaranya wasting, anemia, berat badan lahir rendah, dan stunting.
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan
karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child Growth Standard
didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan
menurut umur (TB/U) dengan batas (z-score) <-2 SD (1).(Amin & Julia, 2016)

Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus ditangani secara


serius. Hasil-hasil Riskesdas menunjukkan, besaran masalah Stunting yang relatif
stagnant sekitar 37% sejak tahun 2007 hingga 2013 Dari 33 provinsi yang ada di
Indonesia, lebih dari separuhnya memiliki angka prevalensi diatas rata-rata nasional.
Kesenjangan prevalens Stunting antar provinsi yang masih lebar antara DIY (22,5%)
dan NTT (58,4%) menunjukkan adanya ketimpangan dan pembangunan yang tidak
merata.6 Prevalensi. (Aryastami, 2017)

Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan
(janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan
merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Salah satu masalah gizi yang diderita oleh balita yaitu stunting yang
merupakan keadaan tubuh yang pendek atau sangat pendek yang terjadi akibat
kekurangan gizi dan penyakit berulang dalam waktu lama pada masa janin hingga 2
tahun pertama kehidupan seorang anak (Black et al., 2008). Kekurangan tinggi terjadi
pada 1000 hari pertama tersebut sebanyak tersebut 70% dan 30% pada usia antara 2
dan 5 tahun.(Fajrina & Syaifudin, 2016)

Gizi merupakan salah satu factor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan
kesejahteraan manusia. Gizi yang baik jika terdapat keseimbangan dan keserasian
antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Terdapat kaitan
yang sangat erat antara status gizi dan konsumsi makanan. Tingkat status gizi optimal
akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi.(AL Rahmad et al., 2013)

Kekurangan gizi menjadi salah satu penyebab kematian balita di Indonesia.


Konsekuensi kurang zat gizi dalam jangka waktu lama adalah gagal tumbuh.
Pendidikan ibu yang rendah merupakan factor risiko yang penting pada pertumbuhan
anak. Tujuan penelitian adalah mengkaji risiko tingkat pendidikan ibu dengan kejadian
stunting pada anak berumur 6-23 bulan. Desain penelitian adalah cross-sectional
dengan besar sampel 51 anak berumur 6-23 bulan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan
di Cempaka, Banjarbaru tahun 2013. Tingkat pendidikan ibu ditentukan dengan
pendidikan formal yang telah diselesaikan, stunting ditentukan dengan indikator z-score
untuk panjang badan menurut umur. Data.(Rahayu & Khairiyati, 2014)

Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rawan gizi. Salah satu masalah
gizi yang masih utama pada balita yaitu masalah gizi kronik atau disebut juga stunting.
Data WHO menyebutkan bahwa prevalensi stunting tertinggi berada pada wilayah
Afrika dan Asia. Indonesia termasuk dalam lima besar negara di dunia untuk jumlah
stunting pada anak-anak, sekitar 37,2% anak di Indonesia menderita stunting.
Pertumbuhan pada masa ini penting karena merupakan salah satu indikator kesehatan
di masa dewasa.(Sukmawati et al., 2018)

Stunting (pendek) merupakan salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan
indikator tinggi badan menurut umur. Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi
yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
kecukupan protein dan zinc dengan kejadian stunting (pendek) pada balita usia 6-35
bulan. Penelitian.(Anindita, 2012)

Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia dengan angka lebih dari 7,6 juta anak
yang pertumbuhannya tidak maksimal. Lebih dari sepertiga anak usia dibawah lima
tahun di Indonesia mengalami pertumbuhan badan yang tidak sesuai ukuran standar
internasional untuk tinggi badan berbanding usia. Data Riskesdas menunjukkan bahwa
kejadian stunting pada balita tumbuh dari 35,6% pada tahun 2010 menjadi 37,2% di
tahun 2013. Beberapa provinsi yang memiliki masalah stunting diatas prevalensi
nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Barat, Nusa Teng- gara Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan,
Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, dan Maluku Utara.
(Renyoet et al., 2016)

Stunting pada awal masa anak-anak dapat menyebabkan penurunan Intellegence


Quotient (IQ), gangguan perkembangan psikomotor, ke- mampuan motorik dan
integrasi neurosensori. Senada dengan pendapat itu Black et al. mengatakan masalah
gizi pada bayi dan balita berdampak besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan
pada masa bayi dan balita terutama pada dua tahun awal kehi- dupan. Balita yang
stunting merupakan hasil dari masalah gizi kronis sebagai akibat dari asupan makanan
yang kurang, ditambah dengan penya- kit infeksi, dan masalah lingkungan. (Nusa &
Kupang, 2016)
Masalah gizi utama yang dihadapi negara berkembang adalah Stunting1. Menurut
Balitbangkes RI (2010), Stunting merupakan kondisi tubuh yang pendek dan sangat
pendek mencapai -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan populasi yang
menjadi referensi international. Kondisi ini terjadi akibat dari faktor manusia yang
didukung oleh kekurangan asupan berbagai zat gizi. Stunting juga dapat berakibat
buruk bagi kelangsungan hidup anak yaitu adanya gangguan pertumbuhan linear yang
disebabkan ketidakcukupan asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis
maupun berulang. (Nur Hadibah Hanum, 2019)

Stunting merupakan salah satu gangguan pertumbuhan yang seringkali terjadi pada
anak. Prevalensi anak stunting di dunia mengalami penurunan antara tahun 1990
hingga 2004 yaitu sebanyak 39,6% menjadi 23,8%. Persentase ini dalam angka
mengalami penurunan dari 255 juta menjadi 159 juta balita. Asia merupakan daerah
dengan penurunan jumlah anak stunting paling besar. Penurunan persentase balita
stunting 47,6% menurun menjadi 25,1%. (Larasati et al., 2018)

Balita merupakan masa penting pertumbuhan anak. Asupan zat gizi melalui
makanan dan hidup sehat pada periode ini akan menentukan pertumbuhan dan
perkembangan di masa yang akan datang. Kurangnya asupan zat gizi dapat
menyebabkan beberapa masalah gizi, salah satunya yaitu stunting. Stunting adalah
kurangnya energi protein jangka panjang yang ditandai kurangnya tinggi badan menurut
umur. Indonesia masih memiliki masalah stunting dengan prevalensi sebesar 36,4%.
Indonesia merupakan negara tertinggi ke 4 untuk angka stunting di Asia.(Azmy &
Mundiastuti, 2018)

Anak-anak yang mengalami stunting pada dua tahun kehidupan pertama dan
mengalami kenaikan berat badan yang cepat, berisiko tinggi terhadap pe- nyakit kronis,
seperti obesitas, hipertensi, dan dia- betes. Retardasi pertumbuhan postnatal memiliki
potensi hubungan terhadap berat badan sekarang dan tekanan darah. Menurut Barker
(2008) tekanan darah pada orang dewasa memiliki hubungan negatif terhadap berat
lahir dan tekanan darah pada masa kanak-kanak memiliki hubungan terhadap ukuran
bayi pada saat dilahirkan.(Oktarina & Sudiarti, 2014)
Asupan makanan yang rendah akan mengakibatkan kelaparan tersembunyi atau
masalah gizi yang tidak kasat mata yang disebabkan karena kurangnya zat gizi mikro,
seperti zat besi dan seng. Seringkali, makanan yang dikonsumsi berupa makanan yang
tinggi akan karbohidrat, namun rendah akan bahan makanan seperti lauk hewani,
sayur, dan buah. (Dewi & Nindya, 2017)

Stunting terjadi akibat dampak akumulasi dari tidak tercukupinya zat gizi, kondisi
kesehatan yang buruk dan pengasuhan yang kurang memadai. Pemenuhan zat gizi
pada masa balita memiliki pengaruh pada tinggi badan yang akan terlihat pada waktu
yang relatif lama sehingga indeks tinggi badan per umur (TB/U) dapat menggambarkan
status gizi masa lalu dan perlu adanya evaluasi untuk upaya perbaikan dan
pencegahan.(Fatimah & Wirjatmadi, 2018)

Balita usia 24-59 bulan termasuk dalam golongan masyarakat kelompok rentan gizi
(kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi), sedangkan pada
saat itu mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat. Adapun
jumlah balita usia 24-59 bulan di kelurahan ini adalah 339 anak, terbanyak diantara
kelura- han lainnya. Berdasarkan survei awal yang dilakukan pada bulan September
tahun 2016 di Kelurahan Rangas, didapatkan jumlah balita stunting adalah 53 kasus.
Bahkan.(Azriful et al., 2018)

Pemenuhan gizi pada masa balita akan menentukan berbagai aspek kehidupan di
masa depan. Stunting pada balita akan berdampak pada nilai sekolah yang rendah,
tinggi badan yang lebih pendek, dan kurangnya kemampuan motorik pada usia sekolah
serta produktivitas yang rendah dan risiko terjadinya penyakit degeneratif pada usia
dewasa.(Damayanti, R.A, Muniroh, L, 2016)

Indikator paling baik untuk menggambarkan kekurangan gizi pada anak balita adalah
stunting karena dapat mengungkapkan akar masalah kekurangan gizi. Stunting
dianggap sebagai suatu gangguan pertumbuhan irreversible yang sebagian besar
dipengaruhi oleh asupan nutrisi yangtidak adekuat dan infeksi berulang selama 1000
hari pertama kehidupan. (Kullu et al., 2018)
Balita merupakan kelompok yang rawan mengalami masalah gizi, salah satunya
wasting dan stunting. Wasting dan stunting banyak terjadi pada keluarga miskin. Salah
satu penyebab wasting dan stunting adalah pola asuh ibu terhadap balitanya. Pola asuh
ibu terkait dengan tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu. Ibu dengan tingkat
pendidikan rendah lebih sulit menerima informasi daripada ibu dengan tingkat
pendidikan tinggi. Pengetahuan yang kurang dapat menjadikan pola asuh ibu kurang
sehingga memengaruhi kejadian wasting dan stunting pada balita. (Lailatul & Ni’mah.,
2015)

Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan pencapaiannya dalam


MDGs adalah status gizi anak balita. Masa anak balita merupakan kelompok yang
rentan mengalami kurang gizi salah satunya adalah stunting. Stunting (pendek)
merupakan ganguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya malnutrisi asupan zat
gizi kronis atau penyakit infeksi kronis maupun berulang yang ditunjukkan dengan nilai
z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD. (Mizobe et al., 2013)

Kekurangan gizi masa anak-anak selalu dihubungkan dengan kekurangan vitamin


mineral yang spesifik dan berhubungan dengan mikronutrien maupun makronutrien
tertentu. Beberapa tahun terakhir ini telah banyak penelitian mengenai dampak dari
kekurangan intake zat gizi, dimulai dari meningkatnya risiko terhadap penyakit infeksi
dan kematian yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mental.
(Apriluana & Fikawati, 2018)

Masa balita merupakan masa yang tergolong rawan dalam pertumbuhan dan
perkembangan karena pada masa ini balita mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi.
Masa balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan gizi
disebabkan kondisi balita yang menjadi periode transisi dari makan bayi ke makanan
orang dewasa, jadi pada masa ini metabolisme tubuh perlu beradaptasi dengan asupan
pada periode transisi ini. Masalah. (Loya, 2016)
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Andalas merupakan satu-satunya
Puskesmas yang berada di Kecamatan Padang Timur. Wilayah kerja Puskesmas
Andalas masih menghadapi berbagai masalah terkait kesehatan anak. Menurut Profil
Kesehatan Kota Padang tahun 2016, jumlah kasus Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
dan gizi buruk pada balita di Kota Padang tahun 2016 paling tinggi terdapat di wilayah
kerja Puskesmas Andalas. Selama tahun 2016, dilaporkan sebanyak 44 kasus BBLR
dan 18 kasus gizi buruk. Kasus.(Setiawan et al., 2018)

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat Menghambat
perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko
kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan
mental. Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan
kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di
masa mendatang. Hal ini dikarenakan anak stunting juga cenderung lebih rentan
terhadap penyakit infeksi, sehingga berisiko mengalami penurunan kualitas belajar di
sekolah dan berisiko lebih sering absen. (Al-Anshori & Nuryanto, 2013)

Dampak dari stunting bukan hanya gangguan pertumbuhan fisik anak, tapi
mempengaruhi pula pertumbuhan otak balita. Lebih banyak anak ber-IQ rendah di
kalangan anak stunting dibanding dengan di kalangan anak yang tumbuh dengan baik.
Stunting berdampak seumur hidup terhadap anak. Stunting memunculkan kekhawatiran
terhadap perkembangan anak-anak, karena adanya efek jangka panjang. Kesadaran
masyarakat akan kasus ini sangat diperlukan. Maka dari itu program Program
Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat untuk Mengurangi Stunting (PKGBM) menjadi
sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam keikutsertaan
menurunkan prevalensi stunting diIndonesia.(Fitriahadi, 2018)

Stunting masih menjadi masalah gizi anak yang utama yang dapat menimbulkan
dampak besar, namun masyarakat khususnya orangtua banyak yang belum memahami
stunting dengan benar. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor yang
berhubungan dan yang mempunyai pengaruh pal- ing dominan terhadap pengetahuan
orang tua tentang stunting pada balita.(Rahmawati et al., 2019)
Ibu dengan gizi kurang sejak trimester awal akan melahirkan bayi dengan berat lahir
rendah (BBLR) yang kemudian akan tumbuh menjadi balita stunting. Sebuah penelitian
di Indramayu menunjukkan bahwa karakteristik bayi saat lahir mempengaruhi pola
pertumbuhan post natal bayi. Bayi yang berukuran kecil untuk usia kehamilannya
mengalami kegagalan tumbuh sejak dalam kandungan. Bayi prematur dengan berat
lahir rendah, berat dan panjang badannya selain dipengaruhi oleh status gizi ibu, juga
dipengaruhi oleh usia kehamilan. Bayi tersebut memiliki ukuran panjang, berat dan
lingkar kepala yang kurang dari ukuran normal. (Kusuma & Nuryanto, 2013)

Stunting mengindikasi masalah kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan


meningkatnya resiko morbiditas dan mortalitas, penurunan perkembangan fungsi
motorik, mental serta mengurangi kapasitas fisik (Administrative Committee on
Coordination/Sub-Committee on Nutrition. Stunting disebabkan oleh akumulasi episode
stress yang berlangsung lama, yang kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth
(kejar tumbuh). Hal ini mengakibatkan menurunnya pertumbuhan apabila dibandingkan
dengan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang mendukung, (Widyaningrum &
Romadhoni, 2018)

Masalah gizi kurang yang ada sekarang ini antara lain adalah adalah disebabkan
karena konsumsi yang tidak adekuat dipandang sebagai suatu permasalahan ekologis
yang tidak saja disebabkan oleh ketidak cukupanketersediaan pangan dan zat-zat gizi
tertentu tetapi juga dipengaruhi oleh kemiskinan, sanitasi lingkunga yang kurang baik
dan ketidaktahuan tentang gizi. Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan
keluarga untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita, disamping itu keadaan sosial
ekonomi juga berpegaruh pada pemilihan macam makanan tambahan dan waktu
pemberian makananya serta kebiasan hidup sehat. (Ngaisyah, 2015)
Riwayat sakit balita dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak. Kebutuhan energi anak yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
saat bertumbuh justru digunakan untuk pemulihan (recovery) tubuh yang terkena
penyakit.Gangguan asupan gizi pada masa kehamilan dapat berpengaruh pada berat
badan lahir bayi sehingga berat badan bayi kurang dari 2500 gram atau Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR). Berat badan bayi yang kurang ini juga berhubungan dengan
panjang bayi saat lahir, bayi lahir dengan panjang badan <48 cm.(Zogara & Pantaleon,
2020)

Stunting mencerminkan kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linier yang


potensial sebagai akibat adanya status kesehatan atau status gizi. Pertumbuhan linier
atau tinggi badan dipengaruhi oleh factor genetic, factor lingkungan, dan kondisi medis.
Peerkembangan dari stunting mmerupakan proses bertahap yang bersifat kronis,
termasuk gizi buruk dan penyakit infeksi, selama periode pertumbuhan linier. Hal ini
sering dimulai pada rahim dan meluas melalui dua tahun pertama. Tanpa perubahan
lingkungan, stunting dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan permanen. Dengan
demikian, anak-anak yang mengalami stunting pada awal kehidupan seringkali lebih
pendek pada masa kanak-kanak dan dewasa dibanding rekannya yang punya
pertumbuhan awal yang memadai. (Maywita, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Al-Anshori, H., & Nuryanto, N. (2013). FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING PADA
ANAK USIA 12-24 BULAN (Studi di Kecamatan Semarang Timur). Journal of Nutrition
College, 2(4), 675–681. https://doi.org/10.14710/jnc.v2i4.3830
AL Rahmad, A. H., Miko, A., & Hadi, A. (2013). Kajian Stunting Pada Anak Balita Ditinjau
Dari Pemberian ASI Eksklusif , MP-ASI, Status Imunisasi Dan Karakteristik Keluarga Di
Kota Banda Aceh. Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes Poltekkes Aceh, 6(2), 169–184.
Amin, N. A., & Julia, M. (2016). Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta
hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan. Jurnal Gizi Dan
Dietetik Indonesia (Indonesian Journal of Nutrition and Dietetics), 2(3), 170.
https://doi.org/10.21927/ijnd.2014.2(3).170-177
Anindita, P. (2012). http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm. 1, 1–10.
Apriluana, G., & Fikawati, S. (2018). Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap Kejadian Stunting
pada Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia Tenggara. Media Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan, 28(4), 247–256. https://doi.org/10.22435/mpk.v28i4.472
Aryastami, N. K. (2017). Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di
Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 45(4), 233–240.
https://doi.org/10.22435/bpk.v45i4.7465.233-240
Azmy, U., & Mundiastuti, L. (2018). Konsumsi Zat Gizi pada Balita Stunting dan Non- Stunting
di Kabupaten Bangkalan Nutrients Consumption of Stunted and Non-Stunted Children in
Bangkalan. Amerta Nutrition, 292–298. https://doi.org/10.20473/amnt.v2.i3.2018.292-298
Azriful, A., Bujawati, E., Habibi, H., Aeni, S., & Yusdarif, Y. (2018). Determinan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Kelurahan Rangas Kecamatan Banggae
Kabupaten Majene. Al-Sihah: The Public Health Science Journal, 10(2), 192–203.
https://doi.org/10.24252/as.v10i2.6874
Basri, N., Sididi, M., & Sartika. (2021). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting
pada Balita (24-36 Bulan). Window of Public Health Journal, 416–425.
https://doi.org/10.33096/woph.v1i5.98
Damayanti, R.A, Muniroh, L, F. (2016). Pemberian Asi Eksklusif Pada Balita Stunting Dan
NonStunting. Media Gizi Indonesia, 11(1), 61–69.
Dewi, E. K., & Nindya, T. S. (2017). Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi Dan Seng Dengan
Kejadian Stunting Pada Balita 6-23 Bulan. Amerta Nutrition, 1(4), 361.
https://doi.org/10.20473/amnt.v1i4.7137
Fajrina, N., & Syaifudin. (2016). Hubungan Faktor Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di
Puskesmas Piyungan Kabupaten Bantul. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas ’Aisyiyah
Yogyakarta, 10.
Fatimah, N. S. H., & Wirjatmadi, B. (2018). Tingkat Kecukupan Vitamin a, Seng Dan Zat Besi
Serta Frekuensi Infeksi Pada Balita Stunting Dan Non Stunting. Media Gizi Indonesia,
13(2), 168. https://doi.org/10.20473/mgi.v13i2.168-175
Fitriahadi, E. (2018). Hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 24 -
59 bulan. Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan Aisyiyah, 14(1), 15–24.
https://doi.org/10.31101/jkk.545
Kullu, V. M., Yasnani, & Hariati, L. (2018). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara
Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat,
3(2), 1–11.
Kusuma, K. E., & Nuryanto. (2013). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-3
Tahun. Journal of Nutrition College, 2(4), 523–530.
Lailatul, M., & Ni’mah., C. (2015). Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan dan
Pola Asuh Ibu dengan Wasting dan Stunting pada Balita Keluarga Miskin. Media Gizi
Indonesia, 10(2015), 84–90. https://doi.org/Vol. 10, No. 1 Januari–Juni 2015: hlm. 84–90
terdiri
Larasati, D. A., Nindya, T. S., & Arief, Y. S. (2018). Hubungan antara Kehamilan Remaja dan
Riwayat Pemberian ASI Dengan Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Pujon Kabupaten Malang. Amerta Nutrition, 2(4), 392.
https://doi.org/10.20473/amnt.v2i4.2018.392-401
Loya, R. R. P. (2016). POLA ASUH PEMBERIAN MAKAN PADA BAYI STUNTING USIA
6 – 12 TAHUN di KABUPATEN SUMBA TENGAH NUSA TENGGARA. In Program
Studi Ilmu Gizi (S1) (Vol. 6, Issue 1).
Maywita, E. (2018). Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Stunting Pada Balita Umur 12-59 Bulan
Di Kelurahan Kampung Baru Kec. Lubuk Begalung Tahun 2015. Jurnal Riset Hesti Medan
Akper Kesdam I/BB Medan, 3(1), 56. https://doi.org/10.34008/jurhesti.v3i1.24
Meilyasari, F., & Isnawati, M. (2014). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 12
Bulan Di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal. Journal of Nutrition
College, 3(2), 303–309. https://doi.org/10.14710/jnc.v3i2.5437
Mizobe, H., Tanaka, T., Hatakeyama, N., Nagai, T., Ichioka, K., Hondoh, H., Ueno, S., & Sato,
K. (2013). Structures and Binary Mixing Characteristics of Enantiomers of 1-Oleoyl-2,3-
dipalmitoyl-sn-glycerol (S-OPP) and 1,2-Dipalmitoyl-3-oleoyl-sn- glycerol (R-PPO).
JAOCS, Journal of the American Oil Chemists’ Society, 90(12), 1809–1817.
https://doi.org/10.1007/s11746-013-2339-4
Ngaisyah, R. D. (2015). Hubungan Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Stunting pada Balita di
Desa Kanigoro, Saptosari Gunung Kidul. Jurnal Medika Respati, 10(4), 65–70.
Nur Hadibah Hanum. (2019). Hubungan Tinggi Badan Ibu dan Riwayat Pemberian MP-ASI
dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan. Amerta Nutrition, 3(2), 78–84.
https://doi.org/10.2473/amnt.v3i2.2019.78-84
Nusa, U., & Kupang, C. (2016). Faktor Penentu Stunting Anak Balita Pada Berbagai Zona
Ekosistem Di Kabupaten Kupang. Jurnal Gizi Dan Pangan, 11(1), 9–18.
https://doi.org/10.25182/jgp.2016.11.1.%p
Oktarina, Z., & Sudiarti, T. (2014). Faktor Risiko Stunting Pada Balita (24—59 Bulan) Di
Sumatera. Jurnal Gizi Dan Pangan, 8(3), 177. https://doi.org/10.25182/jgp.2013.8.3.177-
180
Rahayu, A., & Khairiyati, L. (2014). RisikoPendidikan Ibu Terhadap Kejadian Stunting Pada
Anak 6-23 Bulan (Maternal Education As Risk Factor Stunting of Child 6-23 Months-Old).
Journal of Nutrition and Food Research, 37(Ci), 129–136.
Rahmawati, A., Nurmawati, T., & Permata Sari, L. (2019). Faktor yang Berhubungan dengan
Pengetahuan Orang Tua tentang Stunting pada Balita. Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal
of Ners and Midwifery), 6(3), 389–395. https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p389-395
Renyoet, B. S., Martianto, D., & Sukandar, D. (2016). Potensi Kerugian Ekonomi Karena
Stunting Pada Balita Di Indonesia Tahun 2013. Jurnal Gizi Dan Pangan, 11(3), 247–254.
https://doi.org/10.25182/jgp.2016.11.3.
Setiawan, E., Machmud, R., & Masrul, M. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 275.
https://doi.org/10.25077/jka.v7.i2.p275-284.2018
Sukmawati, Hendrayati, Chaerunnimah, & Nurhumaira. (2018). Status Gizi Ibu Saat Hamil,
Berat Badan Lahir Bayi dengan Stunting Pada Balita. Media Gizi Pangan, 25, 18–25.
Widyaningrum, D. A., & Romadhoni, D. A. (2018). Riwayat Anemia Kehamilan dengan
Kejadian Stunting pada Balita di Desa Ketandan Dagangan Madiun. Medica Majapahit,
10(2), 1–32.
Zogara, A. U., & Pantaleon, M. G. (2020). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Balita. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(02), 85–92.
https://doi.org/10.33221/jikm.v9i02.505

You might also like