You are on page 1of 4

Penyelesaian Sengketa Lahan Asia Pulp and Paper (APP) dengan Masyarakat Adat

Riau

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hutan merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting di muka bumi ini, dan sangat
mempengaruhi proses alam yang berlangsung di bumi untuk menstabilkan iklim di dunia. Hutan
memiliki jenis kekayaan dari berbagai flora dan fauna sehingga fungsi hutan yang penting
adalah sebagai area yang memproduksi embrio-embrio flora dan fauna yang akan menambah
keanekaragaman hayati. Dengan salah satu fungsi hutan ini, dapat mempertahankan kondisi
ketahanan ekosistem di satu wilayah. Hutan mampu memberikan sumbangan hail alam yang
cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang industri, selain kayu hutan juga
menghasilkan bahan-bahan lain seperti damar, kopal, terpentin, kayu putih, rotan serta
tanaman-tanaman obat. Hutan juga mampu memberikan devisa bagi kegiatan turismenya,
sebagai penambah estetika alam bagi bentang alam yang kita miliki.1

Indonesia merupakan Negara yang dikaruniai salah satu hutan tropis yang paling luas dan
tinggi tingkat keanekaragaman hayatinya di dunia. Puluhan juta masyarakat Indonesia
mengandalkan hidup dan mata pencahariannya dari hutan, baik dari mengumpulkan berbagai
jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau bekerja pada sektor industri
pengolahan kayu. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna yang kelimpahannya tidak
tertandingi oleh negara lain dengan ukuran luas yang sama. Bahkan sampai sekarang hampir
setiap ekspedisi ilmiah yang dilakukan di hutan tropis Indonesia selalu menghasilkan penemuan
spesies baru.2

Eksploitasi dan kerusakan hutan dan lahan kini semakin kritis, namun respon yang ada lebih
mengutamakan masalah lingkungan daripada masalah kemanusian yaitu tersingkirnya
masyarakat asli dan masyarakat adat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Dimana
keberadaan perusahaan-perusahaan produksi kertas tidak lagi menghormati keberadaan suku
adat dalam membuka dan mengelola lahan konsesi perusahaan. Justru keberadaan perusahaan
tersebut telah menghilangkan pencaharian yang diwariskan oleh leluhur mereka yang sudah
ada sebelum Indonesia merdeka. Padahal lahan hutan tersebut digunakan oleh masyarakat
adat untuk memperoleh makanan, sumber penghasilan, dan untuk bercocok tanam namun kini
perusahaan yang tidak bertanggung jawab telah memusnahkan seluruh hutan dan mata

1
Diana. (2013). Pentingnya Ekosistem Hutan Bagi Kehidupan Manusia. Tersedia:
http://www.academia.edu/ (diakses, 21 agustus 2016)

2
Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch. (2013). “Potret Keadaan Hutan Indonesia. Tersedia:
http://fwi.or.id/publikasi/potret-keadaan-hutan-indonesia/ (diakses, 23 agustus 2016)
pencaharian masyarakat adat tersebut. Fenomena tersebut disebabkan karena adanya
kebijakan pengelolaan hutan yang lebih menitikberatkan pada perolehan devisa negara melalui
eksploitasi produk-produk hutan yang bernilai ekonomis. Hutan dipandang sebagai sumber daya
alam yang dapat diekstradisi untuk mendapatkan surplus, akan tetapi hal ini menyebabkan
rusaknya ekosistem hutan dan tatanan kehidupan masyarakat lokal. Secara ekologis rusaknya
ekosistem hutan akan berakibat pada terganggunya ekosistem global. Kemudian secara sosial
budaya, terjadi konflik kepentingan antara tatanan budaya lokal dan budaya modern yang
melekat di konteks industrialisasi hutan. Di satu pihak, modernisasi melihat bahwa tatanan
budaya lokal merupakan hambatan yang harus “dihilangkan” atau “diganti” agar proses
pembangunan dalam arti pemupukan surplus dari hasil hutan tidak mendapat gangguan serius
dari komunitas masyarakat adat. Sementara itu, di pihak lain, masyarakat asli/adat memandang
industrialisasi dengan segenap nilai dan aparaturnya sebagai ancaman bagi hak-hak adat
mereka terhadap hutan. Di lain pihak, ada beberapa upaya dari masyarakat adat/asli untuk
mempertahankan dan melakukan revitalisasi atas nilai dan sistem budaya leluhur mereka yang
diyakini dapat menjamin kelangsungan dan kesejahteraan hidup serta menjamin keseimbangan
ekologis. Pandangan ini sulit diterima oleh kerangka pembangunan modern yang bertumpu
pada pertumbuhan dan pemupukan surplus. Konflik kepentingan tersebut pada akhirnya
menjadi beban yang harus dipikul oleh masyarakat asli/adat yang berdampak luas terhadap
rusaknya tatanan sosial, budaya, politik, dan ekonomi mereka.3 Fenomena yang diuraikan di
atas dapat dilihat dalam konteks industrialisasi kehutanan pada provinsi Riau.

Provinsi Riau terletak di bagian timur sumatera dengan luas daratan hampir 9,4 juta hektar,
proses Deforestasi dan degradasi hutan alam Provinsi Riau berlangsung sangat cepat. Selama
kurun waktu 24 tahun (1982-2005) Provinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas
3,7 Juta hectare. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 78%
(6.415.655 hektar) dari luas daratan Provinsi Riau 8.225.199 Ha (8.265.556,15 hektar setelah
dimekarkan). Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2,743,198 ha (33% dari luasan
daratan Riau). Dalam Kurun waktu tersebut provinsi Riau rata-rata setiap tahun kehilangan
hutan alam-nya seluas 160.000 Hectare/tahun dan selama periode 2004 - 2005 hutan alam
yang hilang mencapai 200 ribu hektar. Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan
gambut yang terluas di Sumatera 4,044 juta hektar.4

3
https://media.neliti.com/media/publications/478-ID-industrialisasi-kehutanan-dan-dampaknya-terhadap-m
asyarakat-adat-kasus-kalimanta.pdf
4
Wahyunto, 2003
Produksi ​pulp and paper a​ dalah salah satu penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan
gambut di Sumatera. Menurut ​Data Jikalahari menunjukkan tiga tahun terakhir (2009-2012),
Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197.8 hektar (0,5 juta hektar), dengan laju
deforestasi per tahun sebesar 188 ribu hektar per tahun atau setara dengan hilangnya 10 ribu
kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi pada Hutan Alam Gambut
yang seharusnya dilindungi. Deforestasi semakin meningkat di tahun 2013. Sepanjang tahun
2012-2013 total 252,172 hektar penghancuran hutan alam oleh korporasi berbasis tanaman
industri, dibanding tahun sebelumnya sebesar 188 ribu hektar. Kini sisa hutan alam sekira 1,7
juta hektar atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau seluas 8,9 juta hektar. Khusus
korporasi berbasis tanaman industri yang menebang hutan alam, sebanyak 23 perusahaan APP
dan Partner menebang seluas 26,181 hektar.
APRIL dan partner sepanjang 2012-2013 telah menebang hutan alam atau terjadi deforestasi di
konsesi 33 konsesi April dan partner seluas 43,401 hektar. Artinya total deforestasi yang terjadi
di konsesi APP dan APRIL seluas 69.582 hektar sepanjang tahun 2012-2013. Deforestasi lainnya
terjadi di areal perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan dan masyarakat. Total
252.172 hektar deforestasi terjadi di areal konsesi HGU dan yang dikelola masyarakat, dengan
rincian seluas 10.586 hektare (konsesi HGU) dan 241.586 hektare (di luar konsesi HGU). Di luar
deforestasi di atas, deforestasi juga terjadi di areal kawasan hutan lindung, konservasi
sumberdaya alam dan di luar itu. 5

Praktik pemberian konsesi hutan dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH), izin
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), pembukaan perkebunan, kawasan transmigrasi,
dan lain-lain, di satu sisi telah memberikan nilai positif bagi perkembangan Kalimantan Timur
seperti menciptakan lapangan kerja, memacu perkembangan industri perkayuan, meningkatkan
PDRB serta devisa negara. Akan tetapi, pada sisi lain, eksploitasi tersebut selain merusak
kelestarian lingkungan, menimbulkan berbagai dampak sosial-ekonomi dan budaya yang cukup
serius bagi masyarakat asli/lokal.

Salah satu perusahaan yang melakukan eksploitasi sangat besar pada hutan dan lahan di
Provinsi Riau ada Asia Pulp and Paper (APP), sebelumnya dunia dikejutkan dengan adanya
komitmen yang dikeluarkan oleh APP yakni akan turut serta dalam memperbaiki lingkungan
dengan cara tidak lagi merusak hutan alam, gambut, dan konflik dengan masyarakat. Namun
pada kenyataannya Asian Pulp and Paper (APP) dinilai tidak menjalankan komitmennya untuk
menghormati keberadaan suku adat dalam membuka dan mengelola lahan konsesi perusahaan
atas izin dari negara. Bahkan, seringkali melakukan penindasan kepada suku adat yang memiliki
hak ulayat. Artinya terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan Asia Pulp and Paper
(APP) sesuai dengan kebijakan yang diterbitkan oleh APP sendiri yaitu Forest Conservation
Policy (FCP). Tidak hanya itu APP juga terlibat dalam kasus korupsi kehutanan, serta tujuh
perusahaan APP juga terlibat dalam kasus Illegal Logging pada tahun 2007.

5
http://jikalahari.or.id/kabar/catatanakhirtahun/penebangan-hutan-alam-di-riau-buruk-rupa-tata-kelola-keh
utanan-indonesia/
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan
yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana peran pemerintah untuk melindungi hak dan kepentingan dari masyarakat
adat Riau?
2. Apa saja penyebab terjadinya sengketa antara Asia Pulp and Paper (APP) dengan
masyarakat suku adat di Riau?

You might also like