Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN Patklin
LAPORAN Patklin
Gelombang 13 Kelompok 6
Oleh:
JAURI BIMA ARLI NUR RACHMAT
NIM. 220130100011009
Gelombang 13 Kelompok 6
22 Mei – 26 Mei 2023
Oleh:
JAURI BIMA ARLI NUR RACHMAT
NIM. 220130100011009
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
JAURI BIMA ARLI NUR RACHMAT, S.KH
NIM. 220130100011009
Menyetujui,
Koordinator
Rotasi Interna Hewan Kecil Pembimbing Kelompok
Mengesahkan,
Ketua Program Studi Profesi Dokter Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kebaikan dan
pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan rangkaian Rotasi
Patologi Klinik serta penyusunan Laporan Pendidikan Profesi Dokter Hewan
(PPDH) Rotasi Patologi Klinik. Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar dokter hewan. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. drh. Dyah Ayu Oktavianie A. P., M. Biotech., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya (FKH UB) yang selalu
memberikan dukungan tiada henti kepada seluruh mahasiswa FKH UB.
2. drh. Nofan Rickyawan, M.Sc., selaku Ketua Program Studi PPDH FKH
UB dan Koordinator Rotasi Patologi Klinik atas segala waktu, arahan,
danbimbingan yang telah diberikan dari awal rotasi hingga akhir rotasi
dilaksanakan.
3. drh. Tiara Widyaputri, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan arahan, kritik, dan saran untuk penyusunan dan
penyempurnaan laporan ini.
4. Teman-teman mahasiswa PPDH Gelombang X, khususnya Kelompok
6 atas, bantuan, waktu, dan semangat yang diberikan.
5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan
laporan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini jauh dari sempurna. Kritik
dan saran yang membangun sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kesalahan
penulis.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
v
4.1.1 Kucing ........................................................................................................... 36
4.1.2 Kambing ........................................................................................................ 38
4.2 Hasil Hematologi dan Ulas Darah Hewan Non-Mamalia .................................... 40
4.2.1 Ayam ............................................................................................................. 40
4.3 Hasil Sitologi ........................................................................................................ 41
4.3.1 Kerokan Kulit ................................................................................................ 41
4.3.2 Swab Telinga ................................................................................................. 42
4.3.3 Uji Rivalta ..................................................................................................... 43
4.4 Hasil Pemeriksaan Urin ........................................................................................ 43
BAB V PENUTUP ........................................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 49
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Pembuatan preparat ulas darah.................................................................. 23
Gambar 4.1 Neutrofil pada temuan hasil sitologi ......................................................... 41
Gambar 4.2 Hasil pemeriksaan sitologi swab telinga kucing ...................................... 42
Gambar 4.3 Tes rivalta pus kelinci ............................................................................... 43
Gambar 4.4 Hasil pemeriksaan sedimen urin kambing ................................................ 44
Gambar 4.5 Hasil pemeriksaan sedimen urin kucing ................................................... 45
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Parameter Hematologi untuk Total Leukosit dan Diferensial Leukosit ........ 20
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Hematologi Darah Kucing .............................................. 36
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Kimia Darah Kucing ....................................................... 36
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Hematologi Leukosit Kucing .......................................... 37
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Hematologi Darah Kambing ........................................... 38
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Kimia Darah Kambing .................................................... 38
Tabel 4.6 Hasil Pemeriksaan Hematologi Leukosit Darah Kambing ............................ 39
Tabel 4.7 Hasil Pemeriksaan Hematologi Darah ayam ................................................. 40
Tabel 4.8 Hasil Pemeriksaan Hematologi Leukosit Darah Ayam ................................. 40
Tabel 4.9 Hasil Pemeriksaan Urin Kambing ................................................................ 43
Tabel 4.10 Hasil Pemeriksaan Urin Kucing .................................................................. 45
viii
BAB I PENDAHULUAN
9
memberikan informasi penting kepada dokter dalam mendiagnosis kondisi medis
seperti infeksi saluran kemih, gangguan ginjal, diabetes, gangguan hati, atau
gangguan sistemik lainnya (Pratama, 2016). Dalam pemeriksaan patologi klinik
juga dapat melakukan pemeriksaan terhadap eksudat dan transudat. Transudat
berasal dari ultrafiltrasi membran dan mengandung protein yang rendah,
sedangkan eksudat terbentuk dari sekresi aktif atau kebocoran membran dan
mengandung protein yang tinggi (Wande, 2016). Pemeriksaan eksudat dan
transudate dapat berupa pemeriksaan makroskopis, kimia, dan mikroskopis
(Salmah, 2018).
Berdasarkan uraian diatas mahasiswa koasistensi Pendidikan Profesi Dokter
Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya dapat melakukan
pemeriksaan patologi klinik sebagai salah satu pendukung melakukan penegakkan
diagnosa dan mengetahui kondisi kesehatan hewan.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada kegiatan Koasistensi Patologi Klinik yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara hematologi, ulas darah, dan interpretasi pada hewan mamalia
(anjing, kucing, kelinci, sapi, kambing)?
2. Bagaiman cara hematologi, ulas darah, dan interpretasi pada hewan non mamalia
(reptil dan aves)?
3. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan sitologi dan interpretasinya?
4. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan urin dan interpretasinya?
5. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan kimia klinis (uji fungsi hati dan ginjal),
dan interpretasinya?
1.3 Tujuan
Tujuan pada kegiatan Koasistensi Patologi Klinik yang dilaukan adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui cara hematologi, ulas darah, dan interpretasi pada hewan mamalia
(anjing, kucing, kelinci, sapi, kambing).
10
2. Mengetahui cara hematologi, ulas darah, dan interpretasi pada hewan non
mamalia (aves).
3. Mengetahui cara melakukan pemeriksaan sitologi dan interpretasinya.
4. Mengetahui cara melakukan pemeriksaan urin dan interpretasinya.
5. Mengetahui cara melakukan pemeriksaan kimia klinis (uji fungsi hati dan
ginjal), dan interpretasinya.
1.4 Manfaat
Manfaat dari kegiatan Koasistensi Patologi Klinik adalah memberikan
pengetahuan serta dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam melakukan
hematologi, ulas darah, pemeriksaan urin, pemeriksaan sitologi, pemeriksaan
kimia klinis (uji fungsi hati dan ginjal) serta dapat memahasi interpretasinya.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
12
2.2 Darah Hewan Non-mamalia
Hewan dalam kelas aves, pisces, amphibi, dan reptilia yang merupakan
hewan non – mamalia memiliki perbedaan pada eritrosit, yakni memiliki inti sel
dan bentuk cenderung oval. Eritrosit pada hewan non mamalia juga cenderung
lebih besar dengan ukuran 12,5 – 13,4 μm. Leukosit hewan non mamalia juga
memiliki perbedaan, pada hewan kadal terdapat azurofil yang merupakan leukosit
spesifik pada kadal. Sedangkan terdapat sel heterofil yang merupakan neutrofil
pada mamalia yang terdapat pada kadal dan burung yang memiliki bentuk sferis
dengan nucleus tidak berlobus. Neutrofil pada burung memiliki ciri khas dimana
sitoplasma tidak memiliki warna dan terdapat granul dengan bentuk batang.
Granul memiliki sifat yang reaktif saat pengamatan secara mikroskopis. Trombosit
pada hewan non-mamalia dapat mengandung granula atau vesikel berisi zat-zat
kimia aktif. Granula ini dapat berperan dalam mekanisme pembekuan darah dan
respons imun. Trombosit pada ikan seringkali memiliki nukleus yang terlihat.
(Rousdy, 2018).
2.3 Hematologi
Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) adalah tes laboratorium yang
umum dilakukan untuk mengevaluasi komposisi dan jumlah sel darah dalam
sampel darah. CBC memberikan informasi penting tentang kesehatan umum
seseorang dan dapat membantu dalam diagnosis, pemantauan kondisi medis, dan
evaluasi respons terhadap pengobatan. Pemeriksaan CBC mencakup penghitungan
jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit, serta pengukuran
parameter lain yang terkait. Hasil dari pemeriksaan CBC dapat memberikan
petunjuk tentang adanya gangguan hematologi, seperti anemia, infeksi,
peradangan, atau gangguan pembekuan darah. (Barger, 2015). Menurut Rosenfeld
(2010), menyebutkan bahwa pelaksanaan pemeriksaan hematologi terdiri dari
eritrogram dan leukogram. Eritrogram merupakan pemeriksaan darah yang
dilakukan untuk mengevaluasi parameter sel darah merah atau eritrosit. Sedangkan
leukogram digunakan untuk mengevaluasi parameter sel darah putih.
13
2.3.1 Hematologi Eritrosit
14
(setiap kotak ada 16 kotak kecil) dengan 4 kotak terletak di pojok dan 1 kotak
ditengah.
𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑑𝑖𝑙𝑢𝑠𝑖
Rumus perhitungan = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 × 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
Pemeriksaan Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang terdapat dalam sel darah merah
(eritrosit) dan berperan penting dalam pengangkutan oksigen dari paru-paru
ke jaringan tubuh serta membawa karbon dioksida dari jaringan kembali ke
paru-paru untuk dikeluarkan. Hemoglobin juga membantu dalam menjaga
keseimbangan pH darah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah
Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa
oksigen pada darah. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari
paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida
dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh (Erwin, 2013).
15
Packed Cell Volume (PCV)
PCV dalam hematologi mengacu pada hematokrit atau volume sel darah
merah yang terdiri dari komponen selular darah. PCV merupakan singkatan
dari "packed cell volume" atau "volume sel darah terkumpul". Pengukuran
PCV adalah salah satu metode umum yang digunakan untuk mengevaluasi
komposisi darah dan mengidentifikasi kelainan hematologis.Nilai
hematokrit (PCV) adalah presentase dari volume darah yang terdiri dari
eritrosit. Nilai PCV merupakan petunjuk yang sangat baik untuk menentukan
jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin dalam sirkulasi darah. Nikai PCV
merupakan petunjuk daya pengikat oksigen oleh darah dan bermanfaat bagi
suatu diagnosa untuk menentukan MCHC dan MCV. Jika dalam suatu
keadaan ditemukan nilai PCV yang melebihi normal, maka kemungkinan
terjadi hemokonsentrasi dan jika nilai PCV turun sampai di bawah normal
disebut dalam keadaan anemia (Mulyani, 2012).
16
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) adalah salah satu parameter
yang diukur dalam tes darah lengkap (complete blood count/CBC) dalam
bidang hematologi. MCH mengacu pada rata-rata kandungan hemoglobin
dalam setiap sel darah merah. Pemeriksaan MCH biasanya disertai dengan
indeks eritrosit lainnya seperti MCV dan MCHC. Satuan MCH adalah
pikogram (pg). Pikogram setara dengan 10-12 gram. Nilai MCH tidak
dihitung secara langsung, melainkan menggunakan rumus dan mengacu
pada jumlah Hb dan jumlah sel darah merah atau eritrosit. Nilai MCH tidak
normal dapat diartikan sebagai nilai MCH terlalu tinggi atau nilai MCH
terlalu rendah. Berbagai kondisi kesehatan, terutama yang memberikan
dampak pada sel darah merah, dapat berpengaruh juga pada nilai MCH
(Fakhria, 2006).
17
Rumus perhitungan MCV, MCH, dan MCHC sebagai berikut:
𝐻𝐶𝑇(%) × 10
𝑀𝐶𝑉 = ( ) 𝑓𝐿
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 (𝑗𝑡/𝑚𝑚3 )
𝐻𝑏( 𝑔/100𝑚𝑙 ) 𝑥10
𝑀𝐶𝐻 = ( ) 𝑝𝑔
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 (𝑗𝑡/𝑚𝑚3 )
𝐻𝑏( 𝑔/100𝑚𝑙 ) 𝑥100
𝑀𝐶𝐻𝐶 = ( )g/dL
𝑃𝐶𝑉(%)
18
Pemeriksaan Total Leukosit
Diferensial Leukosit
19
berbentuk seperti ginjal. Sitoplasma monosit biru keruh dengan granul kecil
atau vakoula. Terkadang tepian sitoplasma membentuk pseudopodia atau
cytoplasmic protrusions. Pada kadal ditemukan jenis leukosit yang berbeda
dengan vertebrata lainnya, yaitu azurofil. Sel azurofil berbentuk seperti
monosit dengan inti berbentuk ginjal (berlobus), namun sitoplasma
mengandung granula azurofilik yang berwarna pink. Jumlah leukosit
diferensial memiliki presentase (37-62%) (Rousdy, 2018). Pada
nonmamalia juga terdapat sel heterofil, sel ini memiliki aktivitas amuboid
dan sifat fagositosis untuk mempertahankan tubuh melawan infeksi benda
asing seperti virus dan partikel lain (Saputro, 2016).
20
Mamalia memiliki jumlah leukosit terendah yakni 4.975 sel/ml.
Mamalia memiliki jumlah leukosit normal berkisar 4000 – 10000 sel/ml dan
rata rata ±5000 sel/ml. Jenis diferensial leukosit terdiri dari neutrofil,
basophil, eusinofi, monosit, dan limfosit. Bentuk limfosit pada mamalia
berukuran besar, mempunyai inti bulat berwarna ungu, biasanya terdaat di
tepi sel (eksentrik). Sitoplasma terpulas biru pucat dan sedikit pada tepi sel.
Monosit merupakan leukosit berukuran besar, inti berbentuk seperti ginjal.
Sitoplasma monosit biru keruh dengan granul kecil atau vakoula (Rousdy,
2018).
21
biru keruh dengan granul kecil atau vakoula. Terkadang tepian sitoplasma
membentuk pseudopodia atau cytoplasmic protrusions. Pada kadal
ditemukan jenis leukosit yang berbeda dengan vertebrata lainnya, yaitu
azurofil. Sel azurofil berbentuk seperti monosit dengan inti berbentuk ginjal
(berlobus), namun sitoplasma mengandung granula azurofilik yang
berwarna pink. Jumlah leukosit diferensial memiliki presentase (37-62%)
(Rousdy, 2018).
22
Gambar 2.1 Pembuatan preparat ulas darah (Barger, 2015).
23
2.5.2 Swab Luka
24
langsung. Hasil yang dapat ditemukan adalah infiltrasi seluler seperti
inflamasi atau neoplasia. Bakteri dan jamur dapat diamati pada lesi yang
terinfeksi (Jackson, 2021).
25
yang pekat berwarna kuning tua atau sawo matang. Kekeruhan pada urin
disebabkan oleh bahan seluler berlebihan atau protein dalam urin. Berat jenis
pada urin didefinisikan sebagai rasio kepadatan urin disbanding kepadatan
air yang mengandung bahan kimia, maka berat jenis merupakan indikator
dari konsentrasi bahan yang terlarut pada urin (fosfat, natrium, klorida,
sulfat, kreatinin, asam urat, urea, protein, dan glukosa) Berat jenis dapat
digunakan untuk mengukur kemampuan ginjal dalam pemekatan dan
pengenceran urin dalam mempertahankan homeostasis dalam tubuh. Kisaran
normal berat jenis dari urin adalah 1003 – 1035. Nilai dapat bervariasi
tergantung pada keadaan dehidrasi dan volume urin. Urin juga biasanya
terdiri dari 94% air dan 6% zat terlarut. Metode yang dapat digunakan dalam
mengukur berat jenis urin adalah urinometer, refraktometer, falling drop,
dan reagen strip (Pardiyanto, 2019).
26
2.6.3 Pemeriksaan Kualitas Urin
Badan Keton
Strip reagen yang berisi sodium nitroprusid (nitroferisianida) dan
buffer basa akan bereaksi dengan keton urine membentuk warna ungu atau
merah marum. Sampel urine yang digunakan dalam pemeriksaan benda
keton adalah urine acak atau sewaktu. Hasil pemeriksaan keton dilaporkan
secara kualitatif (negatif, 1+, 2+, 3+) atau semikuantitatif (negatif, 5, 15, 40,
80, 160 mg/dL) (Nugroho, 2019).
Darah
Pemeriksaan menggunakan strip reagen bertujuan untuk mendeteksi
eritrosit, hemoglobin bebas, maupun mioglobin, namun reaksi sensitive
terhadap hemoglobin dan mioglobin lebih tinggi daripada eritrosit. Pada
reagen diresapi dengan kromogen tetrametilbenzidin dan peroksida. Adanya
eritrosit utuh akan memberikan reaksi berupa bintik – bintik hijau,
sedangkan hemoglobin bebas dan mioglobin akan memberikan warna hijau
atau hijau- biru tua (Nugroho, 2019).
Bilirubin
Sedimen
27
dan saluran kemih. Sedimen urin dapat memberikan informasi penting bagi
klinis dalam membantu menegakkan diagnosis dan memantau perjalalanan
penyakit penderita kelainan ginjal dan saluran kemih. Unsur sedimen dibagi
menjadi 2 golongan yaitu anorganik dan non-organik. Unsur organik berasal
dari sesuatu organ atau jaringan antara lain epitel, eritrosit, leukosit, silinder,
potongan jaringan, sperma, bakteri, parasit. Unsur tak organik tidak berasal
dari sesuatu organ atau jaringan seperti urat amorf dan Kristal (Pardiyanto,
2019).
28
BAB III METODE
3.1 Metode Pemeriksaan
3.1.1 Metode Hematologi
Hasil
Perhitungan Kadar Hemoglobin
Sampel Darah
Hasil
29
Perhitungan Hematokrit (PCV)
Sampel Darah
Dimasukkan sampel darah ke tabung mikrohematokrit sampai
¾ bagian
Disumbat salah satu ujung tabung dengan clay seal
Dimasukkan tabung mikrohematokrit dalam mesin sentrifus
dengan posisi clay seal keluar
Disentrifus dengan 6000 rpm selama 3-5 menit
Dibaca dengan mikrohematokrit reader dan dinyatakan hasil
dalam %
Hasil
Sampel Darah
30
Perhitungan Fibrinogen
Sampel Darah
31
Dihitung jumlah sel darah putih pada 4 kotak di kamar hitung
leukosit, dengan perbesaran kuat.
Hasil
Swab Telinga
Telinga
Ditetesi cotton bud dengan normal saline steril untuk
meminimalir kerusakkan sel
Dilakukan swab pada area luka
Dibuat apusan dengan cara menggulirkan cotton bud secara
perlahan di atas object glass
Dilakukan pewarnaan menggunakan eosin dan methylen blue
Dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop perbesaran
100x.
Hasil
32
Skin Scrapping
Kerokan Kulit
Diambil sampel dengan cara mengikis lembut pada lesi atau
biopsi jaringan menggunakan tepi tumpul blade.
Hasil
Cairan Abnormal Tubuh
Cairan Abnormal
Dilakukan pemeriksaan fisik sampel (jumlah, warna,
kejernihan, bau, berat jenis) dan pemeriksaan kimia (uji rivalta)
Hasil
33
3.1.4 Pemeriksaan Urin
Urin
Dilakukan pemeriksaan fisik (kuantitas, warna, kejernihan,
berat jenis, bau urin), pemeriksaan kimia (reaksi dan pH,
protein, glukosa, benda-benda keton, bilirubin, urobilinogen,
dan darah), serta pemeriksaan sedimen. Pemeriksaan dilakukan
dengan mengamati urin yang sudah dikoleksi. Pemeriksaan
berat jenis menggunakan
34
diambil 1 mL urin ditambahkan 1.25 mL asam nitrat pekat dan
1 tetes NaNO3. Urine dialirkan perlahan lewat dinding tabung.
Reaksi positif akan menunjukkan cincin berwarna hitam.
35
BAB IV PEMBAHASAN
36
Jika hasil pemeriksaan kimia darah kucing menunjukkan nilai total protein
darah tinggi, ALT (alanine transaminase) rendah, BUN (blood urea nitrogen) dan
kreatinin tinggi, ini dapat mengindikasikan adanya masalah pada fungsi ginjal.
Peningkatan total protein dalam darah kucing dapat mengindikasikan dehidrasi,
peradangan, infeksi, atau masalah imunologis. ALT yang rendah menunjukkan
adanya kerusakan hati yang mungkin terjadi karena berbagai penyebab seperti
penyakit hati, infeksi, atau toksin. Kenaikan BUN dan kreatinin dalam darah
kucing adalah indikator umum dari gangguan ginjal. BUN adalah produk limbah
nitrogen yang dihasilkan oleh hati dan dieliminasi melalui ginjal. Kreatinin, di sisi
lain, adalah produk sampingan metabolisme otot yang juga diekskresikan melalui
ginjal. Kenaikan nilai BUN dan kreatinin menandakan bahwa ginjal mungkin
tidak berfungsi dengan baik, mungkin karena penyakit ginjal kronis, infeksi ginjal,
batu ginjal, atau gangguan ginjal lainnya (Kenneth, 2011).
37
viral, kerusakan sumsum tulang, atau pengunaan obat tertentu. Sementara itu, nilai
monosit absolut yang tinggi bisa menjadi tanda adanya infeksi, inflamasi, atau
penyakit lain yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Adanya nilai limfosit
relatif yang rendah dan nilai monosit relatif yang tinggi juga dapat
mengindikasikan adanya infeksi atau gangguan kekebalan tubuh (Stockham &
Scott, 2008).
4.1.2 Kambing
38
menunjukkan nilai fibrinogen yang tinggi, hal ini dapat mengindikasikan adanya
peradangan, infeksi, cidera atau trauma ataupun gangguan pembekuan darah.
Fibrinogen adalah protein yang berperan dalam proses pembekuan darah. Saat
terjadi cedera atau peradangan dalam tubuh, fibrinogen diubah menjadi fibrin
yang membentuk gumpalan darah untuk membantu proses penyembuhan. Oleh
karena itu, peningkatan nilai fibrinogen sering kali menjadi respons alami tubuh
terhadap peradangan atau infeksi (Kenneth, 2011).
39
limfositopenia, yaitu penurunan jumlah limfosit dalam darah. Gangguan pada
sumsum tulang bisa menjadi penyebab dari berbagai perubahan pada komposisi
darah, termasuk leukositopenia, neutropenia, dan limfositopenia. Beberapa obat
atau terapi dapat menyebabkan perubahan pada komposisi darah, termasuk
leukositopenia dan neutropenia.
40
Satuan Hasil Referensi Keterangan
Leukosit (103/ml) 2,29 4-13 Rendah
Basofil (103/µl) 0,15 0-0.1 Tinggi
Eosinofil (103/µl) 0.76 0-0.65 Tinggi
Neutrofil (103/µl) 0.62 1.4-8 Rendah
Limfosit (103/µl) 0.62 3.5-8 Rendah
Monosit (103/µl) 0.15 0-0.5 Normal
Basofil (%) 6.7 0-1 Tinggi
Eosinofil (%) 33.3 1-8 Tinggi
Neutrofil (%) 26.7 30-48 Rendah
Limfosit (%) 26.7 50-70 Rendah
Monosit (%) 6.7 0-4 Tinggi
Gambar 4.1 Neutrofil pada temuan hasil sitologi (Sumber: Dokumen Pribadi)
Adanya neutrofil dalam hasil sitologi, hal ini menunjukkan adanya respons
inflamasi atau infeksi pada jaringan yang diperiksa. Neutrofil adalah salah satu
jenis sel darah putih (leukosit) yang berperan dalam melawan infeksi bakteri.
Ketika terjadi peradangan atau infeksi di dalam jaringan, neutrofil bermigrasi ke
area yang terinfeksi atau meradang untuk membantu melawan patogen (Villiers
& Ristic, 2016).
41
4.3.2 Swab Telinga
Gambar 4.2 Hasil pemeriksaan sitologi swab telinga kucing (Sumber: Dokumen Pribadi)
Pada hasil pemeriksaan swab telinga kucing tidak ditemukan adanya infeksi
parasit, pada hasil sitologi ditemukan banyak debris kotoran telinga dan cairan
serumen telinga. Jika pada hasil pemeriksaan swab telinga kucing tidak ditemukan
adanya infeksi parasit, tetapi pada hasil sitologi ditemukan banyak debris kotoran
telinga dan cairan serumen telinga, ini menunjukkan adanya akumulasi kotoran
dan serumen di dalam telinga kucing. Debris kotoran telinga dan serumen telinga
yang berlebihan bisa menjadi tanda adanya gangguan pada saluran telinga kucing.
Meskipun tidak ditemukan infeksi parasit, kotoran dan serumen telinga yang
berlebihan dapat terjadi karena infeksi bakteri atau jamur pada telinga kucing.
Beberapa kucing dapat mengalami alergi terhadap makanan, lingkungan, atau
bahan-bahan tertentu yang menyebabkan peradangan di telinga dan
mengakibatkan produksi lebih banyak serumen. Beberapa kucing dapat menggali
telinga mereka secara berlebihan, yang menyebabkan penumpukan kotoran dan
serumen. Adanya penyumbatan pada saluran telinga, seperti akibat adanya benda
asing atau pertumbuhan abnormal, juga dapat menyebabkan akumulasi debris dan
serumen. Beberapa kucing memiliki bentuk atau struktur telinga yang tidak
normal, seperti ras scotish fold yang memiliki telinga menutup, hal tersebut dapat
menyebabkan penumpukan kotoran dan serumen (Villiers & Ristic, 2016).
42
4.3.3 Uji Rivalta
Pada hasil uji rivalta cairan pus kelinci menunjukan hasil positif yaitu cairan
tampak keruh. Jika hasil uji Rivalta pada cairan pus kelinci menunjukkan hasil
positif, yang ditandai dengan cairan tampak keruh, itu mengindikasikan adanya
kehadiran protein dalam cairan tersebut. Hal tersebut menunjukan bahwa cairan
tersebut merupakan eksudat dimana memiliki kandungan protein yang tinggi
dibandingkan cairan transudat. Transudat memiliki sedikit protein, biasanya
kurang dari 3 g/dL, dan memiliki kandungan sel darah dan komponen seluler yang
rendah. Eksudat kaya akan protein, biasanya lebih dari 3 g/dL, dan mengandung
sel darah, sel-sel inflamasi, dan komponen seluler lainnya (Kenneth, 2011).
43
Nitrit - -
Protein + -
Glukosa - -
Urobilinogen - -
Bilirubin - -
Hemoglobin - -
Eritrosit - -
Gambar 4.4 Hasil pemeriksaan sedimen urin kambing (Sumber: Dokumen Pribadi)
Pada hasil pemeriksaan urin kambing menunjukan berat jenis yang rendah,
adanya leukosit, serta adanya protein. Berat jenis urin adalah ukuran kepekatan
urin yang dapat mencerminkan konsentrasi dan kadar zat-zat terlarut di dalamnya.
Berat jenis rendah pada urin kambing dapat mengindikasikan penurunan
konsentrasi atau kadar zat-zat terlarut, seperti elektrolit, glukosa, dan urea.
Penurunan berat jenis dapat terjadi karena kambing mengalami overhidrasi.
Leukosit adalah sel darah putih yang berfungsi sebagai bagian dari sistem
kekebalan tubuh untuk melawan infeksi dan peradangan. Keberadaan leukosit
dalam urin kambing menunjukkan adanya proses inflamasi di saluran kemih atau
organ lain yang terkait dengan sistem kemih. Infeksi saluran kemih (UTI) atau
kondisi inflamasi lainnya bisa menjadi penyebab adanya leukosit dalam urin.
Sejumlah kecil protein biasanya dapat ditemukan dalam urin kambing yang sehat.
Namun, adanya protein dalam jumlah yang lebih tinggi dari biasanya (proteinuria)
dapat menunjukkan masalah pada ginjal atau saluran kemih. Penyebab proteinuria
44
dapat beragam, termasuk infeksi ginjal, kerusakan ginjal, atau kondisi lain yang
mempengaruhi fungsi ginjal (Sink & Weinstein, 2012).
Gambar 4.5 Hasil pemeriksaan sedimen urin kucing (Sumber: Dokumen Pribadi)
45
urin. Urin kucing biasanya bersifat sedikit asam atau netral. Jika pH urin tinggi
atau bersifat alkali, ini dapat mengindikasikan kemungkinan masalah metabolik
atau infeksi saluran kemih. Proteinuria adalah kondisi di mana terdapat jumlah
protein yang lebih tinggi dari normal dalam urin. Hal ini bisa mengindikasikan
adanya masalah pada ginjal, seperti kerusakan pada glomerulus (struktur di ginjal
yang berfungsi menyaring zat-zat dari darah). Proteinuria juga dapat berkaitan
dengan masalah inflamasi atau infeksi pada saluran kemih atau organ lain yang
terkait. Eritrosit adalah sel darah merah, dan kehadiran eritrosit dalam urin
kucing disebut hematuria. Hematuria dapat disebabkan oleh berbagai kondisi,
termasuk infeksi saluran kemih, peradangan, batu ginjal, atau masalah lain pada
saluran kemih (Sink & Weinstein, 2012).
46
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
47
4. Cara melakukan pemeriksaan urin dan interpretasi adalah dilakukan
Pemeriksaan urin yang terdiri dari pemeriksaan fisik dan kimiawi.
Pemeriksaan fisik urin meliputi kuantitas, warna, kejernihan, berat
jenis, dan bau urin. Pemeriksaan kimiawi urin meliputi pH, protein,
glukosa, bendabenda keton, bilirubin, darah, dan sedimen.
5. Cara melakukan pemeriksaan kimia klinis dan interpretasi adalah
dilakukan menggunakan alat spektrofotometer dengan pemeriksaan
yang dilakukan adalah SGPT, SGOT, kreatini, dan BUN.
5.2 Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
Herawati, F. (2011) ‘Pedoman Interpretasi Data Klinik’, Kementrian Kesehatan RI,
(January), pp. 1–83.
Kenneth, S. L., 2011. Duncan & Prasse’s Veterinary Laboratory Medicine : Clinical
Pathology. 5th ed. West Susex: John Wiley & Sons, Inc..
Larasuci, N. M. D. K. (2018) ‘PENGARUH PERBEDAAN WAKTU
PEMERIKSAAN TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH’,
politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar.
Moore, D. M. (2015) ‘Hematological Assessment in Pet Rabbits. Blood Sample
Collection and Blood Cell Identification.’, Veterinary Clinics of North
America - Exotic Animal Practice, 18(1), pp. 9–19.
50
Jurnal Medika Veterinaria, 10(1), p. 1.
Pratiwi, Z. H. (2017) ‘Gambaran Sitologi Sediaan Ulas Darah Kambing Kacang yang
didapat dari Rumah Potong Kambing Tradisional di Denpasar Barat’,
Indonesia Medicus Veterinus, 6(1), pp. 40–46.
Rosenfeld, A. J. (2010) Clinical Pathology for the Veterinary Team, Singapura: John
Willey Blackwell. .
Rosita, A. (2015) ‘Status Hematologis (eritrosit, hematokrit, dan hemoglobin) Ayam
Petelur Fase Layer Pada Temperature Humidity I ndex Yang Berbeda’,
Student Journals, 4(1), pp. 1–10.
Roslizawaty (2015) ‘Korelasi Antara Dehidrasi Dengan Total Protein Plasma,
Hemoglobin, Dan Packed Cell Volume Pada Kambing Kacang Umur 10-
14 Hari’, Jurnal Medika Veterinaria, 9(1), pp. 1–4.
Saputro, B. E. (2016) ‘Pengaruh Ransum yang Berbeda Pada Itik Jantan Terhadap
Jumlah Leukosit dan Diferensial Leukosit’, Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu, 4(3), pp. 176–181.
51
Satyaningtijas, A. S. (2014) ‘Profil leukosit, diferensial leukosit, dan indeks stres
luwak jawa (Paradoxurus hermaphroditus)’, Jurnal Veteriner, 15(4), pp.
487–493.
Sink, C. A. & Weinstein, N. M., 2012. Practical Veterinary Urinalysis. 1st ed. West
Susex: John Wiley & Sons, Inc.
Stockham, S. L. & Scott, M. A., 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical
Pathology. 2nd ed. Iowa: Blackwell Publishing.
Siswanto (2017) ‘Darah dan Cairan Tubuh’, Diktat Fisiologi Veteriner 1, pp. 1–49.
Tothova, C. (2016) ‘Serum proteins and their diagnostic utility in veterinary
medicine: A review’, Veterinarni Medicina, 61(9), pp. 475–496. doi:
10.17221/19/2016-VETMED.
Utami, A. R. A. (2017) ‘Histologi Ureter dan Vesikula Urinaria pada Ikan Lele
Lokal’, Jimvet, 01(2), pp. 125–129.
Villiers, E. & Ristic, J., 2016. BSAVA Manual of Canine and Feline CLinical
Pathology. 3rd ed. Gloucester: British Small Animal Ascosiation.
Wande, I. N. (2016) ‘Buku Panduan Interpretasi Analisis Cairan Pleura’,
UniversitasUdayana, pp. 1–15.
Weiss, D. J. (2010) Schalm’s Veterinary Hematology, Syria Studies. Wiley-
Blackwell.
Widiarumiarso, H. (2018) ‘Gambaran Kadar Hemoglobin (Hb) Ibu Hamil Pada
Kunjungan Sehat ke-2 di Puskesmas Margoyoso II Kecamatan
MargoyosoKabupaten Pati Tahun 2018’, UNIMUS.
Wiryana, I. (2014) ‘Kejasian Dermatosis yang Tinggi pada Anjing Jalanan di Bali’,
Jurnal Veteriner, 15(2)(2), pp. 217–220.
Wulandari, A. (2016) ‘Prevalensi dan Evaluasi Klinis Kasus Otitis Eksterna Pada
Kucing Di Klinik Hewan Di Makassar’, Universitas Hasanuddin:
Makasar, p. 72. Available
Yadav, S. N. (2020) ‘Urinalysis in dog and cat: A review’, Veterinary World, 13(10),
pp. 2133–2141. doi: 10.14202/vetworld.2020.2133-2141.
Zachary, J. F. (2017) Pathologic Basis of Veterinary Disease. Elsevier.
52