You are on page 1of 44

SMF/BAGIAN ILMU SARAF LAPORAN KASUS

RSUD dr. T. C. HILLERS SEPTEMBER 2023


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

LAPORAN KASUS

TETANUS GENERALISATA

Disusun oleh:

Ryan Arnold Ethelbert, S. Ked

Pembimbing:

dr. Candida I Lopes Sam, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD dr. T. C. HILLERS

MAUMERE

2023
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

Laporan Kasus ini diajukan oleh:

Nama : Ryan Arnold Ethelbert, S.Ked

NIM :

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan pembimbing klinik

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian kepanitraan

klinik di SMF/bagian ilmu Saraf RSUD dr. T. C. Hillers Maumere.

Pembimbing Klinik

1. dr. Candida I Lopes Sam, Sp.S 1. ..........................................

Ditetapkan di : Maumere

Tanggal : September 2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan

anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang

berjudul “Tetanus”. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi persyaratan ujian

kepanitraan klinik di bagian Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran dan Kedokteran

Hewan Universitas Nusa Cendana.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

(1) dr. Candida Isabel L. Sam, Sp. S selaku ketua SMF bagian Ilmu Saraf

RSUD dr. T. C. Hillers yang telah memberikan bimbingan, memberikan

kesempatan penulis untuk belajar, membagikan ilmu dan pengetahuan,

serta menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam penulisan laporan

kasus ini.

(2) dr. Tersila A. D. Dedang, M. Biomed, Sp. S selaku pembimbing yang

telah memberikan bimbingan, memberikan kesempatan penulis untuk

belajar, membagikan ilmu dan pengetahuan, serta menyediakan waktu,

tenaga, dan pikiran dalam penulisan laporan kasus ini.

(3) Seluruh staf, karyawan dan teman-teman dokter muda Instalasi Saraf

RSUD dr. T, C. Hillers Maumere.

(4) Teman-teman dokter muda di SMF/Bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T, C.

Hillers Maumere.

(5) Seluruh pihak yang telah membantu terutama orang tua dan keluarga yang

telah memberikan dukungan baik dalam bentuk doa maupun materi dalam

proses belajar di SMF bagian Ilmu Saraf RSUD dr. T. C. Hillers.

iii
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan

oleh karena itu semua saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk

perbaikan selanjutnya. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat

kepada serta menjadi sumber motivasi dan inspirasi untuk pembuatan laporan

kasus selanjutnya.

Maumere, September 2023

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................................. ii


KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................2
2.1 Definisi Tetanus ...................................................................................................2
2.2 Epidemiologi ........................................................................................................2
2.3 Etiologi .................................................................................................................3
2.4 Klasifikasi ............................................................................................................3
2.5 Gejala Klinis ........................................................................................................4
2.6 Patofisiologi..........................................................................................................5
2.7 Diagnosis ..............................................................................................................7
2.8 Penatalaksanaan ..................................................................................................8
2.9 Komplikasi ...........................................................................................................9
2.10 Prognosis ..............................................................................................................9
BAB III LAPORAN KASUS .........................................................................................14
3.1 Identitas Pasien ..................................................................................................14
3.2 Anamnesis ..........................................................................................................14
3.3 Pemeriksaan Fisik Status Present ....................................................................15
3.4 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................28
3.5 Resume ...............................................................................................................31
3.6 Diagnosis ............................................................................................................32
3.7 Penatalaksanaan ................................................................................................32
3.8 Follow Up ...........................................................................................................32
BAB IV PEMBAHASAN ...............................................................................................36
BAB V PENUTUP..........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................39

v
BAB I
PENDAHULUAN

Tetanus merupakan infeksi yang berpotensi mengancam nyawa yang

disebabkan oleh bakteri gram positif Clostridium tetani. Spora bakteri ini banyak

terdapat di tanah dan dapat berpenetrasi melalui inkontinuitas kulit akibat luka.

Walaupun tetanus dapat terjadi pada semua umur, prevalensi tertinggi terjadi pada

neonatus dan anak-anak. WHO melaporkan bahwa terdapat perbaikan pada angka

mortalitas dari tetanus yang diasosiasikan dengan kampanye vaksinasi yang

agresif dalam beberapa tahun terakhir. Prevalensi tetanus lebih tinggi pada

masyarakat kelas bawah pada negara-negara berkembang, dengan angka

mortalitas 20-45%. Angka mortalitas sangat bergantung pada kesediaan sarana

penunjang, alat ventilasi mekanis, alat pemantau tekanan darah non-invasif dan

pengobatan awal.

Tetanospasmin menyebabkan hiperaktivitas dari otot volunteer dalam

bentuk rigiditas dan spasme. Tetanus dapat bermanifestasi menjadi trismus, risus

sardonicus, disfagia, kuduk kaku, perut papan dan opistotonus serta hiperaktivitas

otot-otot di kepala, leher dan ekstremitas.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tetanus

Tetanus adalah infeksi yang dikarakteristikan dengan status hipertonus

yang bermanifestasi dalam bentuk spasme otot dari rahang dan leher.1 Tetanus

merupakan infeksi yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh

bakteri gram positif Clostridium tetani. Spora bakteri ini banyak terdapat di tanah

dan dapat berpenetrasi melalui inkontinuitas kulit akibat luka. Bakteri anaerob ini

memproduksi tetanospasmin, sebuah endotoksin yang dapat mencegah

pengeluaran neurotrasmiter yang menginhibisi kontraksi otot, mengarah pada

spasme otot spontan dan kekakuan tubuh.2

2.2 Epidemiologi

Walaupun tetanus dapat terjadi pada semua umur, prevalensi tertinggi

terjadi pada neonatus dan anak-anak. WHO melaporkan bahwa terdapat perbaikan

pada angka mortalitas dari tetanus yang diasosiasikan dengan kampanye vaksinasi

yang agresif dalam beberapa tahun terakhir. WHO memperkirakan terdapat

275.000 kasus kematian diseluruh dunia pada tahun 1997, dan mengalami

perbaikan dengan hanya sebanyak 14.132 kasus kematian pada tahun 2011. Akan

tetapi, dari jumlah kasus tersebut, prevalensi tetanus tetap lebih tinggi pada

masyarakat kelas bawah pada negara-negara berkembang, dengan angka

mortalitas 20-45%. Angka mortalitas sangat bergantung pada kesediaan sarana

penunjang, alat ventilasi mekanis, alat pemantau tekanan darah non-invasif dan

pengobatan awal.1

2
Angka kejadian tetanus pada neonatal menurun akibat adanya vaksinasi

yang agresif diseluruh dunia, dimana digabungkan dengan vaksinasi pertusis dan

difteri (DPT). Pada negara maju, seperti Amerika Serikat, kasus tetanus banyak

ditemukan pada pasien usia tua dimana telah terjadi penurunan imunitas seiring

waktu.1 Menurut penelitian Almas dkk (2021), 93,1% pasien tetanus merupakan

pasien tanpa vaksinasi, sedangkan 6,9% sisanya terjadi pada pasien dengan

vaksinasi partial.2 Hal ini menunjukan bahwa orang dengan vaksinasi komplit

tetanus akan sulit untuk terkena infeksi tetanus pada masa depan.

2.3 Etiologi

Tetanus merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah bakteri anaerob penghasil spora

gram positif. Bakteri ini terdistribusi luas di lingkungan, seperti tanah, benda mati,

feses hewan dan feses manusia. Bakteri ini banyak ditemukan di tanah yang

sering dikultivasi, daerah pedesaan, daerah dengan iklim hangat dan selama

musim kemarau. Endospora yang diproduksi oleh bakteri lebih lebar dan besar

dibandingkan bakteri basilus sehingga memunculkan karakteristik khas bentuk

“drumstick”. Spora dari bakteri ini sangat stabil, untuk mematikan semua spora

harus menggunakan autoklaf pada suhu 120oC selama 15 menit.3 Bakteri

Clostridium tetani dapat melepaskan 2 jenis eksotoksin yang disebut tetanolisin

dan tetanospasmin. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan penyebab menifestasi

klinis dari tetanus.4

2.4 Klasifikasi

3
Terdapat 4 klasifikasi dari tetanus, yaitu local, cephalic, generalisata dan

neonatal. Pada tetanus local, spasme dan rigiditas hanya terjadi pada lokasi luka

atau cedera. Tipe ini sangat jarang dan tipe yang paling ringan dari tetanus dengan

angka mortalitas hanya 1%. Tetanus cephalic terjadi akibat adanya luka pada

kepala dan leher atau otitis media. Tipe ini dikarakteristikan dengan adanya palsi

nervus cranialis terutama N. VII dan mengarah ke paralisis, tipe ini diasosiasikan

dengan angka mortalitas yang tinggi.

Tipe tetanus yang paling umum adalah tetanus generalisata, yang

bertanggungjawab untuk 80% kasus. Hal ini dapat terjadi akibat adanya

penyebaran hematogen dari racun. Otot kepala dan leher akan terkena pertama

kali dengan penyebaran ke arah distal yang progresif dari spasme dan rigiditas di

seluruh tubuh. Tetanus neonatal bertanggungjawab lebih dari 50% kasus kematian

yang berkaitan dengan tetanus. Hal ini disebabkan oleh kurangnya higienitas

umbilical dan seluruhnya dapat dicegah dengan vaksinasi maternal. Tetanus

neonatal memiliki prognosis yang sangat buruk.5

2.5 Gejala Klinis

Tetanospasmin menyebabkan hiperaktivitas dari otot volunteer dalam

bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas adalah tonik dan kontraksi involunter dari

otot, sementara spasme adalah kontraksi otot yang lebih singkat yang dapat

ditimbulkan oleh peregangan otot atau rangsangan sensoris. 5

Tetanus dikategorikan menjadi generalisata, neonates, local dan cephalic.

Tetanus generalisata dan neonatal mempengaruhi otot di seluruh tubuh dan

menyebabkan opistotonus dan dapat menyebabkan gagal nafas dan kematian

4
akibat dari rigiditas dan spasme dari otot-otot laring dan respirasi. Tetanus local

dan cephalic hanya terjadi pada sedikit pasien, akan tetapi tetanus ini dapat

berkembang menjadi tipe generalisata.6

Tetanus dapat bermanifestasi menjadi trismus, risus sardonicus, disfagia,

kuduk kaku, perut papan dan opistotonus serta hiperaktivitas otot-otot di kepala,

leher dan ekstremitas.6

2.6 Patofisiologi

Chlostridium tetani dalam bentuk spora masuk kedalam tubuh melalui

luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara

masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk, luka

bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali

pusat, terkadang luka tersebut hampir tak terlihat. Pandi dkk (1965) melaporkan

bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan beberapa peneliti

melaporkan bahwa port d'entry melalui telinga hanya 6,5%. 7

Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi

hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrosis, lekosit yang mati,

benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian

berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka

dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat

mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui;

1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung

saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik ke cornu anterior susunan

5
saraf pusat dan susunan saraf perifer. Meskipun demikian 20% pasien

tetanus tidak memilii riwayat luka yang jelas sebagai port d’ entry .

2. Dari otot yang terkena luka toksin akan menyebar ke otot-otot yang dekat

disekitarnya sehingga daerah asal tempat toksin menyebar melalui jalur

neural akan meningkat dan terjadi peningkatan jumlah saraf yang terlibat

dalam transport toksin ke sistem saraf Pusat.

3. Toksin yang berasal dari jaringan dengan cepat akan menyebar melalui

nodus limfatikus regional, dan segera toksin tersebut akan menyebar

melalui aliran darah.

4. Toksin akan diserap melalui sirkulasi darah melalui sistem limfatik,

namun juga dapat melalui kapiler pembuluh darah di dekat depot toksin.

Semakin banyak jumlah toksin di dalam darah maka semakin banyak

toksin yang dapat dinetralisasi karena antitoksin dapat diberikan intravena.

Namun jika deposit di dalam otot lebih banyak tetanus ascenden yang

bersifat letal akan terus berkembang karena transport toksin ke susunan

saraf sepanjang jaras saraf.7

Toksin tencapai susunan saraf pusat melalui transpor retrograde

sepanjang jalur aksonal, setelah penyebaran toksin melalui otot, pertama kan

berikatan dengan reseptor membran terminal presinap di dalam otot. Reseptor ini

merupakan suatu gangliosid selanjutnya toksin akan berinternalisasi dan naik

sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen

medula spinalis yang menginervasi otot –otot yang terinfeksi.7

6
2.7 Diagnosis

Diagnosis tetanus sepenuhnya tidak bergantung pada konfirmasi

bakteriologi, dan hanya bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil

anamnesis yang dapat menimbulkan kecurigaan terhadap tetanus adalah adanya

riwayat trauma terbuka pada kulit, tidak pernah vaksinasi komplit dan gejala yang

perlahan-lahan semakin memburuk. Pemeriksaan fisik dapat mengarah ke tetanus

apabila ditemukannya trismus, risus sardonikus, perut papan dan kuduk kaku.

Clostridium tetani yang berhasil dikultur dari luka hanya sebanyak 30% dan dapat

mendapatkan hasil yang poistif juga pada pasien yang tidak mengidap tetanus atau

positif palsu.4 Apabila penilaian untuk level toksin dan melalui anamnesis serta

pemeriksaan fisik masih meragukan, pasien dapat diberikan profilaksis berupa

antitoksin/tetagam sebanyak 250 IU/1 ampul.1,4

7
Tes spatula dideskripsikan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang

tinggi untuk diagnosis klinis tetanus. Pemeriksaan ini melibatkan intrumen dengan

ujung lunak untuk menyentuh dinding posterior dari faring. Hasil pemeriksaan

akan didapatkan kontraksi rahang involunter dan tidak didapatkan reflek muntah

normal.1

Hal penting yang harus diperhatikan adalah tetanus merupakan penyakit

infeksius pada orang tanpa imunitas atau memiliki kadar antibody anti-tetanus

yang rendah.1

2.8 Penatalaksanaan

Terapi akut dari tetanus adalah pembersihan luka dan antibiotic untuk

mengeradikasi Clostridium tetani, dengan menggunakan metronidazole, 500 mg 3

kali sehari secara intravena, atau penisilin, 100.000-200.000 IU/kg/hari. Terapi ini

akan berlangsung selama 7-10 hari. Terdapat peringatan untuk menghindari

penggunaan penisilin karena dapat menginhibisi reseptor GABA, yang dapat

meningkatkan rigiditas otot. Pemberian antitoxin diberikan sekali secara

intramuscular, dengan dosis 500 IU, 3000 IU atau lebih, akan tetapi masih dalam

perdebatan apakah penggunaan dosis tinggi lebih efektif atau tidak. Antitoksin

akan menginaktivasi toksin tetanus lepas, akan tetapi untuk toksin yang sudah

didalam saraf tidak akan diinaktivasi oleh antitoksin. Sehingga gejala motoric

akan berlanjut walaupun clostridianya sudah tereradikasi dan pemberian

antitoksin sudah dilakukan.8

Seluruh pasien dengan suspek tetanus harus dilakukan perawatan di ICU.

Untuk meminimalisir terjadinya spasme, pasien harus dilakukan perawatan di

8
ruangan yang gelap dan sunyi. Pasien dengan resiko gagal nafas harus segera

dilakukan intubasi karena kejadian kematian sering terjadi pada pasien dengan

spasme laring dan paralisis diafragma yang tiba-tiba.5

Pemberian imunisasi aktif pada pasien post-tetanus harus dilakukan

ketika pasien sudah stabil. Antibiotik profilaksis tidaklah bermanfaat untuk

managemen luka. Imunisasi memainkan peran yang lebih penting.4

2.9 Komplikasi

Komplikasi dari tetanus yang sering terjadi adalah laringospasme atau

spasme dari otot respirasi yang akan mengarah pada gagal nafas atau

terganggunya pernafasan. Fraktur dari tulang belakang dan tulang Panjang juga

dapat terjadi akibat dari kontraksi dan konvulsi yang berlebihan. Hiperaktivitas

dari nervus otonom dapat mengarah kepada hipertensi dan ritme jantung yang

abnormal.4

Infeksi nosocomial umum terjadi akibat perawatan yang berkepanjangan

di rumah sakit. Infeksi sekunder seperti sepsis dari pemasangan kateter, hospital-

acquired pneumonia dan ulkus decubitus. Pneumonia aspirasi ditemukan pada 50-

70% kasus tetanus yang autopsy.4

2.10 Prognosis

Prognosis tetanus bergantung pada lama masa inkubasi, jeda waktu

antara inokulasi spora sampai gejala pertama, dan jeda waktu gejala pertama

hingga kejadian spasme tetanik yang pertama.6

• Secara umum, semakin pendek interval semakin parah pula

tetanus dan semakin buruk prognosisnya.

9
• Pasien pada umumnya sembuh dan kembali seperti semula

sebelum tetanus.

• Proses penyembuhan lambat dan biasanya terjadi dalam waktu

2-4 bulan.

• Beberapa pasien tetap hipotonik setelah sembuh.

• Tetanus klinis tidak menghasilkan imunitas. Oleh karena itu,

pasien yang sembuh dari tetanus wajib menerima imuniasasi

aktif dengan toksoid tetanus untuk mencegah rekurensi.6

Terdapat 5 kriteria untuk menilai tingkat keparahan dari tetanus

berdasarkan kriteria Patel Joag yang sudah dimodifikasi.9

1. Rahang terkunci atau kaku

2. Spasme

3. Masa inkubasi ≤ 7 hari

4. Periode onset dari spasme ≤ 48 jam

5. Demam, dengan suhu aksilla 37,2oC/99oF atau suhu rectum

37,7oC/100oF saat MRS atau 24 jam dari MRS

Dari kriteria diatas dibuat tingkatan derajat tetanus berdasarkan kriteria

Patel Joag sebagai berikut:9

• Ringan : Hanya 1 atau 2 kriteria, pada umumnya kriteria 1

dan/atau 2. Kadang-kadang kriteria 5 dan 1 atau 2. Dengan

mortalitas 0 – 10%.

• Sedang : Terdiri dari 3 dari 5 kriteria. Dengan mortalitas

32%.

10
• Berat : Terdiri dari minimal 4 dari 5 kriteria. Dengan

mortalitas 60 – 84%.

Selain menggunakan kriteria Patel Joag, penentuan derajat tetanus juga

dapat menggunakan kriteria Cole dan Youngman, yang membagi tetanus menjadi

3 derajat, sebagai berikut,7

1. Derajat 1: Ringan

a. Masa inkubasi lebih dari 14 hari

b. Periode onset > 6 hari

c. Trismus positif tetapi tidak berat

d. Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada

2. Derajat 2: Sedang

a. Masa inkubasi 10 – 14 hari

b. Periode onset 3 hari atau kurang

c. Trismus ada dan disfagia ada

3. Derajat 3: Berat

a. Masa inkubasi < 10 hari

b. Periode onset 3 hari atau kurang

c. Trismus berat

d. Disfagia berat

Klasifikasi Ablett juga dapat digunakan untuk menentukan derajat

tetanus. Klasifikasi Ablett membagi derajat tetanus menjadi 4, yaitu ringan,

sedang, berat, dan sangat berat.7

11
1. Derajat 1 (Ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas

umum, tidak ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak

ada/sedikit ada disfagia.

2. Derajat 2 (Sedang): Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas,

gangguan pernafasan ringan dengan Takipneu, spasme ringan

samoai sedang namun singkat, disfagia ringan.

3. Derajat 3 (Berat): Trismus berat, spastisitas menyeluruh, refleks

spasme dan sering dengan spasme spontan yang memanjang,

gangguan pernafasan takipneu dengan apnoeic spells, disfagia

berat, takkikardi lebih dari 120x/menit

4. Derajat 4 (Sangat berat): Derajat 3 ditambah gangguan otonom

berat yang melibatkan sistem kardiovaskular.

Terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Phillips

score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria periode

inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan cardiac.

Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score 18,

severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3,

severitas sedang dengan mortalitas 10- 20%; 4, severitas berat dengan mortalitas

20- 40%; 5-6, severitas sangat berat outcome tetanus tergantung berat penyakit

dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari

60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya

13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang

berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh

12
sempurna, beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang

menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. 7

Tabel 2.1 Prognostik skor tetanus, Dakar Score7

Tabel 2.2 Prognostik skor tetanus, Philips Score7

13
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. WB No. RM : 028501

Umur : 74 th Tanggal Status dibuat : 23 Agustus 2023

Jenis Kelamin : Perempuan Dokter yang merawat : dr. Candida, Sp.S

Bangsa : Indonesia dr. Tersila, Sp.S

Suku : Tidak diketahui Tanggal MRS : 23 Agustus 2023

Agama : Tidak diketahui

Alamat : Maumere

Pekerjaan : Pensiunan

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama: Tengkuk tegang, kesulitan menelan

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien Perempuan usia 74 tahun dating dengan keluhan tengkuk tegang

sejak 12 jam SMRS (Rabu, 23 Agustus 2023). Keluhan terjadi secara bertahap.

Nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-), demam (-). Riwayat trauma (+), pasien

mengeluhkan tertusuk kayu pada plantar pedis dextra 1 minggu yang lalu. Makan

dan minum baik. BAK dan BAB lancer.

Riwayat Penyakit Dahulu: -

Riwayat Pengobatan:

14
Setelah tertusuk kayu, luka pasien dibersihkan menggunakan NaCl dan betadine.

Kemudian pasien diberikan obat ibuprofen.

Riwayat Keluarga: -

Riwayat Sosial: -

Riwayat Pribadi Sosial:

Lahir : Tidak diketahui Kanan/kidal : Kanan

Mulai bicara : Tidak diketahui Makanan : Tidak ada alergi

Gagap : Tidak pernah Minuman keras : Tidak diketahui

Mulai jalan : Tidak diketahui Merokok : Tidak diketahui

Mulai membaca : Tidak diketahui Kawin : Ya

Jalan waktu tidur : Tidak pernah Anak :1

Ngompol : Tidak diketahui Abortus : Tidak diketahui

Pendidikan : Tidak diketahui Kontrasepsi : Tidak diketahui

3.3 Pemeriksaan Fisik Status Present

Berat badan : Tidak diketahui

Tinggi badan : Tidak diketahui

Tekanan darah

Kiri : Tidak diketahui

Kanan : 103/64 mmHg

Nadi

Kiri : Tidak diketahui

Kanan : 117 x/menit

15
Pernafasan

Frekuensi : 24 x/menit

Jenis : Thorakoabdominal

Pola : Normal

Suhu aksila : 35,7oC

Saturasi oksigen : 98%

Status General

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema

palpebra (-/-), katarak (-/-)

Hidung : Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-/-), pernapas

-an cuping hidung (-/-), darah (-/-), nyeri tekan (-/-)

Telinga : Normotia, serumen (-/-)

Mulut : Mukosa bibir kering (-/-), sianosis (-), trismus (+)

Leher

Arteri karotis komunis kanan : bruit (-)

Arteri karotis komunis kiri : bruit (-)

Kuduk kaku : (+)

Thoraks

Paru : Vaskuler (+/+), rhonki(-/-), wheezing (-/-)

Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop(-) murmur(-)

Abdomen

Inspeksi : Perut cembung (-)

Perkusi : Timpani di 4 kuadran abdomen

16
Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegaly (-), perut papan (+)

Auskultasi : Bunyi usus (+) normal

Hepar : Tidak teraba

Lien : Tidak teraba

Genitalia : Tidak dievaluasi

Ekstremitas

Atas : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis

(-/-)

Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis

(-/-)

Kulit : Tidak didapatkan kelainan eflorensi kulit

Status Neurologis

A. Kesan Umum

Kesadaran : Kompos mentis (GCS: E4V5M6)

Kecerdasan : Sulit dievaluasi

Kelainan Jiwa : Tidak ada

Kaku Dekortikasi : Tidak ada

Kaku Deserebrasi : Tidak ada

Reflek Leher Tonik : Tidak ada

Pergerakan Mata Boneka : Normal

Deviation Conjugee : Tidak ada

Krisis Okulogirik : Tidak ada

Opistotonus : Positif

17
Kranium

Bentuk : Normochepali

Fontanel : Tertutup

Perkusi : Tidak dievaluasi

Transiluminasi : Tidak dievaluasi

Simetris : Simetris

Kedudukan : Normal

Palpasi : Benjolan (-)

Auskultasi : Bruit (-)

B. Pemeriksaan Khusus

1. Rangsangan Selaput Otak

Kaku kuduk : (-)

Tanda Kernig : (-)

Tanda Brudzinski I : (-)

Tanda Brudzinski II : (-)

Tanda Brudzinski III : (-)

Tanda Brudzinski IV : (-)

2. Saraf Otak

Nervus Olfaktorius (N.I)

Subyektif : Tidak dievaluasi

Objektif : Tidak dievaluasi

Nervus Optikus (N.II)

Visus : Sulit dievaluasi

18
Kampus : Sulit dievaluasi

Hemianopsi : Sulit dievaluasi

Melihat Warna : Sulit dievaluasi

Skotom : Sulit dievaluasi

Fundus : Tidak dievaluasi

Nervus Occulomotoris (N. III), Nervus Trochlearis (N. IV) dan Nervus Abdusen

(N. IV)

Kedudukan Bola Mata : Setangkup ditengah

Pergerakan Bola Mata : Normal ke segala arah

Nistagmus : -/-

Celah mata : Normal/Normal

Ptosis : -/-

Pupil

Bentuk : Bulat/Bulat, isokor

Ukuran : 3 mm/3mm

Refleks Pupil

Refleks cahaya langsung : +/+

Refleks cahaya Konsensual : +/+

Refleks Pupil Akomodatif : Tidak dievaluasi

Refleks Pupil Marcus Gun : Tidak dievalusi

Tes Wartenberg : Tidak dievaluasi

Nervus Trigeminus (N.V)

Motorik : Normal

19
Sensibilitas : Sulit dievaluasi

Refleks Kornea

Langsung : Tidak dievaluasi

Konsensual : Tidak dievaluasi

Refleks Bersin : Tidak dievaluasi

Refleks Maseter : Tidak dievaluasi

Trismus : Ada, > 2 cm

Refleks Menetek : Tidak dievaluasi

Refleks Snout : Tidak dievaluasi

Nervus Fascialis (N.VII)

Otot wajah saat istirahat

Kedudukan Alis : Simetris

Kerutan Dahi : Simetris

Sulkus Nasolabialis : Simetris

Sudut Bibir : Simetris

Otot Wajah saat Aktifitas

Kerutan Dahi : Simetris

Sulkus Nasolabialis : Simetris

Sudut Bibir : Simetris

Gerakan Involunter

Tic : Tidak ada

Spasmus : Tidak ada

Indra Pengecap

20
Asam : Tidak dievaluasi

Asin : Tidak dievaluasi

Manis : Tidak dievaluasi

Pahit : Tidak dievaluasi

Sekresi Mata : Normal/Normal

Refleks Glabela : Tidak dievaluasi

Nervus Vestibulocochlearis (N.VIII)

Mendengar Suara Bisik/Gerakan Jari Tangan: Tidak dievaluasi

Tes Garpu Tala

Rinne : Tidak dievaluasi

Swabach : Tidak dievaluasi

Weber : Tidak dievaluasi

Tinitus : Tidak dievaluasi

Keseimbangan : Tidak dievaluasi

Vertigo : Tidak dievaluasi

Nervus Glossopharyngeal (N. IX), Nervus Vagus (N. X), Nervus Accesorius

(N.XI) dan Nervus Hipoglossus (N. XII)

Langit-Langit Lunak : Sulit dievaluasi

Menelan : Sulit

Disartri : Tidak ada

Disfoni : Tidak ada

Lidah

Tremor : Tidak ada

21
Atropi : Tidak ada

Fasikulasi : Tidak ada

Ujung Lidah Saat Istirahat : Tidak terdeviasi

Ujung Lidah Saat Dijulurkan : Sulit dievaluasi

Refleks Muntah : Sulit dievaluasi

Mengangkat Bahu : Sulit dievaluasi

Fungsi M.Sternokleidomastoideus : Sulit dievaluasi

3. Anggota Gerak Atas

Simetris : Simetris

Tenaga : Normal

Tonus : Normotonus / Normotonus

Trofik : Normal / Normal

Refleks Fisiologis

Biseps : ++ / ++

Triseps : ++ / ++

Radius : ++ / ++

Leri : Tidak dievaluasi

Pronasi-Abduksi lengan : Tidak dievaluasi

Grevel : Tidak dievaluasi

Mayer : Tidak dievaluasi

Hoffman-Tromner :-/-

Refleks primitive

Grasping : Tidak dievaluasi

22
Palmomental : Tidak dievaluasi

Sensibilitas Exteroceptif

Perasa raba : Sulit dievaluasi

Perasa nyeri : Sulit dievaluasi

Perasa suhu : Sulit dievaluasi

Propioseptif

Posisi : Sulit dievaluasi

Vibrasi : Sulit dievaluasi

Fungsi kortikal luhur

Stereognosis : Sulit dievaluasi

Barognosis : Sulit dievaluasi

Diskriminasi 2 titik : Sulit dievaluasi

Grafestesia : Sulit dievaluasi

Topognosis : Sulit dievaluasi

Parestesia : Sulit dievaluasi

Koordinasi

Tes telunjuk-telunjuk : Sulit dievaluasi

Tes telunjuk-hidung : Sulit dievaluasi

Tes hidung-telunjuk-hidung : Sulit dievaluasi

Tes tepuk lutut : Sulit dievaluasi

Dismetri : Sulit dievaluasi

Fenomena lajak (stewart-holmes): Sulit dievaluasi

Vegetative

23
Vasomotorik : Sulit dievaluasi

Sudomotorik : Sulit dievaluasi

Pito araktor : Sulit dievaluasi

Gerakan involunter

Tremor : Tidak ada

Khorea : Tidak ada

Athetosis : Tidak ada

Balismus : Tidak ada

Mioklonus : Tidak ada

Dystonia : Tidak ada

Spasmus : Tidak ada

Trousseau sign : Tidak dievaluasi

Phalent’s test : Tidak dievaluasi

4. Badan

Keadaan kolumna vertebralis

Kelainan local : Tidak dievaluasi

Nyeri tekan : Tidak dievaluasi

Gerakan fleksi : Tidak dievaluasi

Ekstensi : Tidak dievaluasi

Deviasi lateral : Tidak dievaluasi

Rotasi : Tidak dievaluasi

Keadaan otot

Refleks kulit dinding perut atas: Tidak dievaluasi

24
Refleks kulit dinding perut bawah: Tidak dievaluasi

Refleks kremaster : Tidak dievaluasi

Refleks anal : Tidak dievaluasi

Sensibilitas

Perasa raba : Sulit dievaluasi

Perasa suhu : Sulit dievaluasi

Perasa nyeri : Sulit dievaluasi

Koordinasi

Asinergia serebelas : Tidak dievaluasi

Vegetative

Kandung kemih : Tidak dievaluasi

Rectum : Tidak dievaluasi

Genitalia : Tidak dievaluasi

Gerakan involunter : Tidak ada

5. Anggota gerak bawah

Simetris : Simetris

Tenaga : Normal

Tonus trofik : Normotonus / Normotonus

Refleks fisiologis

Lutut (KPR) :+/+

Achilles (APR) : ++ / ++

Supinasi-fleksi kaki : Tidak dievaluasi

Grewel : Tidak dievaluasi

25
Plantar : Tidak dievaluasi

Babinski :-/-

Oppenheim :-/-

Chaddock :-/-

Gordon :-/-

Schaefer :-/-

Stransky :-/-

Gonda :-/-

Mendel-bechterew :-/-

Rossolimo :-/-

Klonus

Paha :-/-

Kaki :-/-

Sensibilitas

Perasa raba : Tidak dievaluasi

Perasa nyeri : Tidak dievaluasi

Perasa suhu : Tidak dievaluasi

Perasa propioseptik : Tidak dievaluasi

Perasa vibrasi : Tidak dievaluasi

Diskriminasi 2 titik : Tidak dievaluasi

Topognosis : Tidak dievaluasi

Parestesia : Tidak dievaluasi

Koordinasi

26
Tes tumit-lutut-ibu jari kaki : Tidak dievaluasi

Berjalan menuruti garis lurus : Tidak dievaluasi

Berjalan memutar : Tidak dievaluasi

Berjalan maju-mundur : Tidak dievaluasi

Lari ditempat : Tidak dievaluasi

Langkah/gaya jalan : Tidak dievaluasi

Vegetative

Sensorik : Tidak dievaluasi

Motoric : Tidak dievaluasi

Pilo-arektor : Tidak dievaluasi

Gerakan involunter

Tremor : Tidak ada

Khorea : Tidak ada

Athetosis : Tidak ada

Balismus : Tidak ada

Mioklonus : Tidak ada

Dystonia : Tidak ada

Spasmus : Tidak ada

Tes rhomberg : Tidak dievaluasi

6. Fungsi luhur

Afasia motoric : Tidak ada

Afasia sensorik : Tidak ada

Afasia amnestic (anomik) : Tidak dievaluasi

27
Afasia konduksi : Tidak dievaluasi

Afasia global : Tidak ada

Agrafia : Tidak dievaluasi

Aleksia : Tidak dievaluasi

Apraksia : Tidak dievaluasi

Agnosia : Tidak dievaluasi

Akalkulia : Tidak dievaluasi

7. Pemeriksaan lain (Tes Provokasi)

Tanda Myerson : Tidak dievaluasi

Tanda Lhermitte : Tidak dievaluasi

Tanda Naffzinger : Tidak dievaluasi

Tanda Dejerine : Tidak dievaluasi

Tanda Tinel : Tidak dievaluasi

Tanda Laseque : Tidak dievaluasi

Tanda O’connel (laseque silang): Tidak dievaluasi

3.4 Pemeriksaan Penunjang

3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

28
3.4.2 Pemeriksaan Rontgen

29
3.4.3 Pemeriksaan EKG

30
3.5 Resume

Pasien wanita usia 74 tahun dating dengan keluhan leher kaku dan

kesulitan menelan sejak 48 jam SMRS (Rabu, 23 Agustus 2023). Keluhan

dirasakan semakin parah dan baru dirasakan pertama kali. Pasien mengeluhkan

tersedak pada senin malam. Nyeri kepala (-), pingsan (-), mual (-), muntah (-),

demam (-), kejang (-), nyeri dada (-). BAB dan BAK lancer. Riwayat trauma (+),

pasien memiliki riwayat tertusuk kayu pada plantar pedis sinistra 1 minggu yang

lalu. Setelah tertusuk kayu, luka pasien dibersihkan menggunakan NaCl dan

mengonsumsi ibuprofen. Riwayat penyakit hipertensi, stroke, DM dan penyakit

jantung disangkal. Riwayat penyakit keluarga hipertensi, stroke, DM dan jantung

disangkal. Tidak merokok dan meminum alkohol.

Pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan: TD: 140/80 mmHg, Nadi: 92

x/menit, RR: 22 x/menit, SpO2: 96%, Suhu: 36,5oC. Pada pemeriksaan status

neurologis didapatkan GCS E4V5M6.

Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher didapatkan Trismus (+) 2 cm

dan kuduk kaku (+). Pada pemeriksaan abdomen didapatkan perut papan (+) dan

opistotonus (+).

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan jumlah sel darah

putih (11,16 x 103/uL), peningkatan jumlah monosit (0,81 x 103/uL), jumlah sel

darah merah dan platelet dalam batas normal. Pemeriksaan foto thoraks

didapatkan kesan aortosklerosis dan diagfragma dextra letak tinggi suspek ec.

proses infradiafragma. Pemeriksaan EKG didapatkan ST elevasi minimal,

31
gelombang T abnormal mengarah ke ischemia dan pemanjangan interval QT,

mengarah ke STEMI.

3.6 Diagnosis

a. Diagnosis Klinis : Trismus, oppistotonus, perut papan,

kuduk kaku

b. Diagnosis Topis : Sel interneuron Renshaw

c. Diagnosis Etiologi : Tetanus Generalisata

3.7 Penatalaksanaan

• Tetagam 3000 IU, 12 x 250 IU (12 ampul)

• NaCl 0,9%

• Ceftriaxone 1 x 1 gr IV

• Metronidazole 3 x 500 mg IV

• Paracetamol 3 x 1 gr IV

• Pemasangan NGT

• Diazepam 10 mg syrup setiap 4 jam atau 5 mg setiap 2 jam

• Diazepam 10 mg IV bila kejang, maksimal 60 mg/24 jam

• Ranitidin 2 x 1 amp IV

3.8 Follow Up

Tanggal Follow up

24/08/2023 S: Pasien mengeluhkan sakit diseluruh badan dan leher kaku

O:

- KU: Tampak Sakit Berat


- KS: E4V5M6
- TD: 159/118 mmHg

32
- Nadi: 115 x/menit
- RR: 20 x/menit
- SpO2: 96%
- Suhu: 36,3oC

Meningeal sign: -

Pernafasan spontan, kejang (-)

Kuduk kaku (+)

Trismus (+) < 1 cm

Perut papan (+)

Opistotonus (+)

Luka pada telapak kaki kanan, nanah (+)

A:

Diagnonis Klinis: Trismus ec. tetanus

Diagnosis Topis: Sel interneuron renshaw

Diagnosis Etiologi: Tetanus Generalisata

P:

- IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% = 2 : 2


- Ceftriaxon 2 x 1 gr IV (H2)
- Metronidazole 3 x 500 mg IV
- Paracetamol 3 x 1 gr IV
- Diazepam 10 mg syrup, pemberian setiap 4 jam atau 5
mg setiap 2 jam
- Diazepam 10 mg IV setiap kejang, batas penggunaan 60
mg/24 jam
- Pemasangan NGT

25/08/2023 S: Kaku seluruh tubuh jika ada rangsangan

O:

- KU: Tampak Sakit Berat


- KS: E4V5M6
- TD: 90/60 mmHg

33
- Nadi: 98 x/menit
- RR: 24 x/menit
- SpO2: 86%
- Suhu: 36,9oC
- GDS: 133

Trismus (-)

Perut papan (+)

Opistotonus (+)

Luka pada telapak kaki kanan (+)

A:

Diagnonis Klinis: Opistotonus ec. tetanus

Diagnosis Topis: Sel interneuron renshaw

Diagnosis Etiologi: Tetanus Generalisata

P:

- IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% = 2 : 2


- Ceftriaxon 2 x 1 gr IV (H3)
- Metronidazole 3 x 500 mg IV
- Paracetamol 3 x 1 gr IV
- Diazepam 10 mg syrup, pemberian setiap 4 jam atau 5
mg setiap 2 jam
- Diazepam 10 mg IV setiap kejang, batas penggunaan 60
mg/24 jam
- Ranitidin 2 x 1 amp IV
- Pemasangan NGT
- Konsul dokter anestesi

Anestesi

- Intubasi sambung ke ventilator


- Infus RL 1000 ml/24 jam
- Omeprazole 2 x 40 mg IV

26/08/2023 S: Pasien henti jantung dan nafas

O:

34
- EKG: Pulseless Electrical Activity (PEA)
- S1 dan S2: (-)
- Suara nafas: (-)
- Rangsang nyeri: (-)
- Reflek cahaya: (-)

A: Cardiac arrest

P:

- RJP 1 siklus
- Cek nadi: Tidak teraba
- EKG: PEA
- RJP 1 siklus
- Keluarga meminta menghentikan RJP
- EKG asystole
- Menyatakan pasien meninggal kepada keluarga

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Perempuan usia 74 tahun dating dengan keluhan tengkuk tegang

sejak 12 jam SMRS (Rabu, 23 Agustus 2023). Keluhan terjadi secara bertahap.

Nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-), demam (-). Riwayat trauma (+), pasien

mengeluhkan tertusuk kayu pada plantar pedis dextra 1 minggu yang lalu. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan trismus (+), kuduk kaku (+), perut papan (+), dan

oppistotonus (+).

Chlostridium tetani dalam bentuk spora masuk kedalam tubuh melalui

luka yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Bila keadaan

menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob

disertai terdapatnya jaringan nekrosis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka

spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman tetanus

kemudian lisis dan melepaskan eksotoksin berupa tetanospasmin dan tetanolisin.

Tetanospasmin akan menempel pada reseptor dan memblokade neurotrasmisi dari

membran protein sehingga menurunkan impuls eksisatori. Hal ini yang

menyebabkan pasien mengalami spasme otot yang ditandai dengan adanya

trismus, kuduk kaku, perut papan dan oppistotonus.

Penegakan diagnosis tetanus bergantung pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik pada pasien. Didapatkan pasien memiliki riwayat trauma

tertusuk, kemudian pada pemeriksaan fisik didapatkan pula trismus, perut papan,

kuduk kaku dan oppistotonus, dan semua hal ini sesuai dengan teori mengenai

tetanus sehingga dapat dipastikan bahwa pasien mengidap infeksi tetanus.

36
Penatalaksanaan yang dilakukan kepada pasien adalah Tetagam 3000

IU, 12 x 250 IU (12 ampul), IV NaCl 0,9%, Ceftriaxone 1 x 1 gr IV,

Metronidazole 3 x 500 mg IV, Paracetamol 3 x 1 gr IV, Pemasangan NGT,

Diazepam 10 mg syrup setiap 4 jam atau 5 mg setiap 2 jam, Diazepam 10 mg IV

bila kejang, maksimal 60 mg/24 jam dan Ranitidin 2 x 1 amp IV. Hal ini sesuai

dengan teori penatalaksanaan tetanus diatas, dimana pemberian tetagam dilakukan

untuk mengeliminasi tetanotoksin yang masih dalam keadaan bebas di pembuluh

darah atau di lokasi luka. Sedangkan metronidazole diberikan sebagai antibiotic

untuk mengeliminasi bakteri Clostridium tetani sehingga mencegah akumulasi

lebih lanjut dari tetanotoksin yang diproduksi.

Prognosis yang didapatkan dari pasien adalah prognosis jelek

dikarenakan onset dari pasien terluka hingga mengalami gejala pertama hanya

berjarak kurang dari 2 minggu serta kejadian spasme pertama dari gejala pertama

dimulai juga kurang dari 48 jam. Pasien juga mengalami spasme dan rahang

kaku/trismus. Apabila dihitung menggunakan kriteria Patel Joag, didapatkan score

4 dengan interpretasi kriteria berat dengan angka mortalitas 60-84%.

37
BAB V
KESIMPULAN

Tetanus merupakan infeksi yang berpotensi mengancam nyawa yang

disebabkan oleh bakteri gram positif Clostridium tetani. Bakteri ini menghasilkan

tetanotoksin yang dapat mengakibatkan rigiditas dan spasme otot. Gejala khas

dari tetanus adalah trismus, perut papan, opistotonus, dan risus sardonikus. Tidak

ada pemeriksaan penujang spesifik untuk tetanus. Diagnosis ditegakkan melalui

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengobatan yang digunakan:

• Pembersihan Luka

• Antitoksin 500 IU, 3000 IU atau lebih

• Metronidazole 3 x 500 mg, 7 – 10 hari

• Diazepam IV, maksimal 60 mg/24 jam

• ICU

• Lakukan intubasi

• Rawat pasien di ruangan minim rangsangan

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Bae C, Bourget D. Tetanus [Internet]. StatPearls Publishing, NCBI, Available from:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459217/. 2023 [cited 2023 Sep 13].
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459217/

2. Almas T, Niaz MA, Zaidi SMJ, Haroon M, Khedro T, Alsufyani R, et al. The
Spectrum of Clinical Characteristics and Complications of Tetanus: A
Retrospective Cross-Sectional Study From a Developing Nation. Cureus. 2021 Jun
7;

3. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Tetanus. Vol. 69,
Journal of Neurology Neurosurgery and Psychiatry. 2000. p. 292–301.

4. Tiwari T, Moro P, Acosta A. Preventable Disease. The Pink Book. Chapter 21:
Tetanus. 14th ed. CDC; 2011. 315–328 p.

5. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain.
2006;6(3):101–4.

6. Hinfey P. Tetanus [Internet]. Emedicine Medscape. 2023 [cited 2023 Sep 13].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview?icd=login_success_gg_match_norm

7. Safrida W, Syahrul. Tata Laksana Tetanus Generalisata Dengan Karies Gigi


(Laporan Kasus). Cakradonya Dental Journal [Internet]. 10(1):86–95. Available
from: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

8. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, treatment, and the possibility of using


botulinum toxin against tetanus-induced rigidity and spasms. Vol. 5, Toxins. 2013.
p. 73–83.

9. Mahajan S. Evaluation of beneficial effects of addition of intramuscular human


tetanus immunoglobulin to intrathecal therapy in the treatment of tetanus.
International Journal of Advances in Medicine. 2016;110–5.

39

You might also like