You are on page 1of 16

JURNAL KALATANDA 125

FENOMENA KOMUNITAS FILM

Syamsul Barry
Prodi Film dan Televisi, Fakultas Media dan Budaya,
Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.
Email: iicul@hotmail.com

ABSTRAK

Era kebangkitan industri film nasional pada medio awal abad 21 membawa
demam perfileman di tanah air. Teknologi terkini di bidang perfileman dengan cepat
diadopsi sejalan dengan perkembangan teknologi baik teknologi kamera maupun
telepon seluler dengan fasilitas dan aplikasinya. Perkembangan ini diikuti pula
dengan maraknya pertumbuhan komunitas film di Indonesia, sehingga menyebabkan
banyaknya produksi film. Praktek produksi pembuatan film di komunitas berbeda
dengan apa yang dijalankan di lingkungan civitas akademik. Pada praktek produksi di
komunitas dirasa lebih fleksibel mulai dari kegiatan perencanaan hingga proses
perwujudan, dan semuanya mengikuti pada permasalahan yang akan dibuat sehingga
dapat dikatakan relatif efisien. Sedangkan di lembaga pendidikan prosesnya
berlangsung dengan mengikuti atau berbasis teori pengetahuan perfilman yang telah
ada (baku) dan terkesan kaku. Selain memproduksi film, komunitas
menyelenggarakan aktivitas berupa pemutaran, dan diskusi/workshop. Bahkan
beberapa komunitas mempunyai jurnal yang di publikasikan pada situs di internet.
Komunitas-komunitas ini juga membentuk semacam proyek wirausaha berupa
melayani jasa pembuatan video program televisi, company profile perusahaan dan
jasa dokumentasi hajatan (perkawinan, sunatan) dengan tujuan membiayai jalannya
kegiatan di komunitas sekaligus kesejahteraan anggotanya. Penelitian ini
menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan survei dan wawancara tidak
terstruktur pada narasumber penggiat perfileman di komunitas untuk menemukan
sumber ide penciptaan mereka, hingga proses bagaimana mereka berkarya. Data
yang terkumpul akan dianalisis dengan secara deskriptif dengan tujuan bisa
menjelaskan fenomena ini yang berasal dari bawah.

Kata Kunci: Film, Budaya, Komunitas Film


126 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

I. PENDAHULUAN Bandung dan Yogyakarta. Komunitas film


banyak menghasilkan film-film pendek dan
Komunitas film dapat dianggap sebagai berbeda sama sekali dengan yang dihasilkan
“sesuatu” yang ekslusif, walaupun gerakan oleh perusahaan media Televisi (walaupun
pendirian komunitas film telah menyebar sama-sama film pendek) ataupun sangat
kemana-mana hingga pelosok Indonesia berbeda dengan film cerita komersial yang
namun pada tataran atau prinsip-prinsip dibuat perusahaan-perusahaan Film. Dunia
tertentu komunitas mempunyai aturan film produksi komunitas tidak mengenal
main dan budaya yang tersendiri. Mereka star system, tidak mengenal peraturan yang
bekerja secara berjaringan terbantu dengan rumit, juga tidak mengenal baliho besar
kemajuan teknologi komunikasi, terutama seperti yang terpampang di bioskop.
adanya kemudahan kemampuan berjejaring
(internet) yang merambah hingga ke tiap Hal yang menarik dari fenomena marak
sudut wilayah. Jaringan ini sifatnya tak tumbuhnya komunitas film ini yang bukan
terbatas, bisa lokal atau nasional hingga hanya jumlah masyarakat filmnya yang
internasional. Informasi melalui situs bertambah akan tetapi dikarenakan film
daring, platform diskusi dan media sosial komunitas mempunyai beragam bentuk,
menyebabkan perkembangan berita terkini banyak menggali budaya lokal (cerita, pola
semakin mudah dicapai. Sebagai contoh, jika tutur, bahasa/dialek, seni dan budaya) serta
sudah terdaftar mengikuti situs film mempunyai pencapaian yang pantas dan
tertentu atau group dalam media sosial, layak dibanggakan yaitu prestasi mereka
maka informasi yang bertajuk calling for ditingkat nasional maupun internasional.
submission tentang undangan mengikuti
festival, pengadaan workshop dan program Sistem produksi film pada komunitas
residensi akan terkirim. film juga mempunyai sifat yang fleksibel
berbeda dengan teori–teori yang diajarkan
Kegiatan komunitas film beragam para akademisi film dan kerap memanaskan
biasanya tentang produksi film, pemutaran perdebatan di dalam kajian media,
dan diskusi dengan berbagai lokasi khususnya film adalah hubungan antara
penyelenggaraan. Beberapa komunitas ada teori dan praktek. Kedua istilah ini sangat
yang mengkhususkan diri hanya pada rumit, tetapi yang dipertaruhkan adalah
pemutaran film-film pendek di ruang-ruang cara para teorisi dan praktisi yang saling
alternatif. Festival film giat bergulir, ruang- berinteraksi. Kerap perkara ini terjadi
ruang alternatif semakin gencar menjaring dalam aspek “akademisi” versus “pelaku
komunitas pembuat film (bahkan merekrut seni”. Akademisi dalam mengembangkan
mereka dalam satu atap), dan para pembuat pendidikan perlu terlibat langsung dalam
film amatir yang kadang hanya bermodal praktek sehingga perbedaan akan mudah
ide, kenekatan, video kamera, dan computer dijembatani.
sederhana sebagai alat editing pun semakin
berani memproduksi film. Penelitian tentang produksi bukan
berarti tidak pernah dilakukan, banyak
Ketertarikan terhadap masalah tentang perusahaan besar media seperti:
komunitas ini timbul didasari pengalaman perusahaan Media Televisi melakukannya,
pribadi saat mulai aktif berkecimpung pada namun penelitian yang didanai perusahaan
pengembangan komunitas media dan film di besar itu lazimnya mempunyai tujuan
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 127

“administratif’ bukan keilmuan, karena Apa yang dikerjakan komunitas-


terutama ditujukan untuk membantu komunitas film ini sangat menarik dikaji,
organisasi dan perusahaan yang karena selain mempunyai aturan yang
bersangkutan mencapai target-target atau sangat fleksibel dalam mengatur anggota
tujuan mereka sendiri. Selama ini, tidak dan kegiatan produksi, mereka sering juga
terdapat perhatian yang mencukupi dalam melakukan terobosan dengan menciptakan
bidang kajian seni terhadap masalah peralatan produksi. Peralatan semisal:
produksi; tentang bagaimana dan mengapa slider, tidak sedikit komunitas-komunitas
media khususnya film dibuat berdasarkan film menciptakan inovasi slider dengan
realitas budaya yang ada. Penelitian seni bahan-bahan yang murah. Slider dibuat
sering berfokus dan terhenti pada hasil dengan menggunakan bahan paralon atau
karya (pemaknaan), sedangkan penelitian bamboo dan kayu. Lampu menggunakan
keadaan realitas bagaimana karya-karya lampu taman juga bantuan petromax.
tersebut diproduksi jarang dilakukan.
Penelitian ini tentunya bukan
Di kota-kota besar bermunculan bermaksud agar para teorisi perfilman
komunitas film bahkan juga di wilayah yang untuk mengikuti apa yang terjadi diluar
selama ini kurang diperhitungkan. Sebagai (komunitas) namun apa yang terjadi diluar
contoh di wilayah Bandung (kota dan (pada komunitas) atau melihat-lihat
sekitarnya) saat ini tersebar puluhan kreatifitas pada praktek-praktek produksi
komunitas film yang menyelenggarakan film yang dilakukan komunitas-komunitas
aktivitas berupa pemutaran, diskusi, dapat dijadikan pertimbangan dalam
workshop, dan produksi film. Bahkan konteks pengembangan teori penciptaan
beberapa komunitas mempunyai jurnal karya, karena melihat dari apa yang
yang di publikasikan pada situs di internet. dikerjakan, komunitas-komunitas film ini
Selain membuat film, komunitas-komunitas termasuk yang berada di garda depan dalam
ini juga membentuk semacam wirausaha pengembangan budaya film di Indonesia.
berupa melayani jasa pembutan video Namun penelitian ini bertujuan ingin
program televisi dan jasa dokumentasi mencari, menemukan, menjelaskan hal-hal
hajatan (perkawinan, sunatan) dengan yang terkait secara mendalam tentang hal-
tujuan membiayai jalanannya kegiatan di hal yang menjadi latar belakang tumbuhnya
komunitas sekaligus kesejahteraan Komunitas film.
anggota-anggotanya.
II. KAJIAN TEORI
Film yang di produksi komunitas ini
beragam, dari film dokumenter, cerita A. Tinjauan Pustaka
(fiksi), eksperimental dan beberapa
membuat video art (new media arts). Hal Tinjauan pustaka ini merupakan
yang menarik dari komunitas ialah proses pemaparan dari penelitian terdahulu yang
produksi. Proses produksi yang dilakukan mempunyai topik permasalahan yang
bersifat efisien dan fleksibel. Semisal semua berdekatan. Tidak terlalu banyak penelitian
pekerjaan dilakukan bersama, membuat tentang komunitas film di Indonesia yang
suatu bagian tersendiri yang khusus atau telah dilakukan. Penelitian ini sebagian
melakukan semuanya sendirian dengan besar telah diterbitkan dalam jurnal namun
pengembangan ide terkini. sebagian lagi diterbitkan dalam bentuk
128 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

buku. Pemaparan ini merupakan upaya piranti-piranti teknologi bagi sineas tanah
untuk menjaga orisinalitas dari hasil air untuk memproduksi film dokumenter.
penelitian yang akan dilakukan. Walaupun hampir mempunyai kesamaan
penelitian dalam hal yang mendasari
Penelitian yang dilakukan Kukuh produksi film, penelitian dalam jurnal ini
Yudha Karnanta (2012) berjudul “Ekonomi menggunakan sudut pandang yang berbeda
Politik Film Dokumenter Indonesia yaitu kreativitas.
Dependensi Industri Film Dokumenter
Indonesia kepada Lembaga Donor Asing”. Penelitian yang dilakukan Sandi
Penelitian ini berbeda dengan topik Prasetyaningsih (2014) yang berjudul
penelitian di jurnal ini, walaupun sama pada “Skema Proses Pra Produksi pada Film
bidang penciptaan film, namun apa yang Dokumenter Camp Vietnam” merupakan
dikemukakan pada penelitian Yudha penelitian yang berdekatan dengan topik
Karnanta ini merupakan hal penting yang penelitian jurnal ini, karena mengemukakan
terkait dengan penciptaan film komunitas proses pra produksi yang merupakan
dalam hal pencarian dana dari lembaga bagian dari penciptaan film. Penciptaan film
donor. Penelitian ini lebih membahas terdiri atas tiga bagian yaitu: Pra Produksi,
struktur produksi film dokumenter di Produksi dan Pasca Produksi. Penelitian
Indonesia di tengah wacana globalisasi dan deskriptif ini membahas skema kerja pra
kapitalisme global. Struktur produksi produksi film dokumenter di tempat
tersebut merepresentasikan praktik pengungsian Camp Vietnam di pulau Galang
neokolonialisme berkedok globalisasi, Riau. Menurut penelitian ini kegiatan pra
khususnya dalam konteks media. produksi sebuah film dokumenter berjalan
Implikasinya, alih-alih mencoba mandiri seperti layaknya melakukan penelitian.
atau independen, ketergantungan para Pada tahap pengumpulan ide diadakan
sineas dan rumah produksi pada lembaga suatu kajian terhadap lokasi, penduduk, dan
donor sebagai pemberi dana menjadi cerita-cerita yang ada di lokasi. Ide ini terus
kemutlakan bagi berlangsungnya aktivitas di kerucutkan menjadi naskah dan skenario.
produksi film dokumenter. Program-
program produksi film dokumenter seperti Penelitian yang dilakukan Budi Dwi
KickStart (In-Docs), Eagle Awards (Metro Arifianto, Fajar Junaedi (2014) berjudul
TV), Project Change (Kalyana Shira) yang “Distribusi dan Eksibisi Film Alternatif di
rutin diselenggarakan setiap tahun Yogyakarta, Resistensi atas Praktek
merupakan contoh kongkret praktik Dominasi Film di Indonesia”. Penelitian ini
tersebut. Penelitian menggunakan kerangka berbeda dengan penelitian jurnal ini karena
berpikir cultural imperialism sebagai wujud hanya memaparkan persoalan distribusi
neokolonialisme untuk mengidentifikasi film (hasil penciptaan film komunitas) tidak
proses kolonisasi beserta konsekuensi- pada persoalan produksi. Namun penelitian
konsekuensi yang ditimbulkannya. Menurut ini memberikan dukungan karena
penelitian ini perkembangan produksi pertimbangan distribusi atau melihat
genre film dokumenter di Indonesia sebagai audience yang akan dituju dari sebuah
bagian dari perkembangan industri film perencanaan penciptaan film penting
keseluruhan tidak lepas dari keberadaan dilakukan dan mempengaruhi bentuk
lembaga donor asing yang memberikan filmnya. Penelitian ini bertujuan untuk
sejumlah dana, akses, tutor, maupun mendeskripsikan strategi dan pola
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 129

distribusi sinema ngamen di Yogyakarta. tidak pernah lepas dari pengaruh politik,
Adapun metode penelitian yang digunakan militer dan cara memberi ruang terhadap
adalah deskriptif kualitatif dengan ideologi dan agama.
pengumpulan data melalui wawancara
mendalam yang melibatkan pelaku sinema Komunitas film menghasilkan Film
di Yogyakarta. Penelitian ini menemukan yang dapat disebut sebagai media alternatif,
data bahwa komunitas film menjadi basis yang memberi perlawanan terhadap arus
dalam distribusi film pendek atau alternatif utama (mainstream: industri besar). Produk
di Yogyakarta. Komunitas film ini bisa komunitas (berupa media) biasa disebut
berasal dari kampus maupun luar kampus. independen, disiden, radikal, underground,
Pada dekade 1990-an, muncul alternatif anarkhis, pinggiran, etnik, subkultur dan
gerakan untuk membangkitkan film alternatif. Downing (2001:5) menyebutnya
nasional dengan model sinema ngamen, sebagai “that is generaly small-scale
yaitu sinema yang diputar di luar jalur and…..that expressed an alternative vision to
utama yang bernama sinema ngamen. hegemonic policies, priorities and
Yogyakarta menjadi salah satu basis dari perspectives” 1

distribusi dan eksebisi sinema ngamen.


Penelitian ini menemukan data menemukan Hal ini menurut Nancy (2000:85)
bahwa distribusi dan eksebisi sinema dijelaskan bahwa dalam sejumlah
ngamen diorganisir oleh komunitas film. pembahasan teoritis mengenai media
Komunitas film ini bisa berasal dari kampus alternatif ada pandangan misalnya, yang
maupun luar kampus. melihat bahwa media jenis ini muncul
sebagai respon atau reaksi terhadap
Berdasarkan tinjauan diatas dapat kapitalisasi media dan dominasi media.2
disimpulkan bahwa belum ada penelitian Film yang dibuat komunitas sebagai media
lain yang secara spesifik mengkaji mengenai alternatif mencoba menyuarakan dialog di
latar belakang tumbuhnya komunitas sesuai ruang publik dan memberi ruang bagi kaum
dengan penelitian ini. pinggiran atau marjinal di tengah-tengah
dominasi wacana arus utama (mainstream).
B. Tinjauan Teori
Pada beberapa film yang diciptakan
Kemunculan dan perkembangan oleh komunitas terlihat jelas menjadi
komunitas film dipengaruhi oleh keadaan kekuatan prodemokrasi yang bergerak
sosial politik namun tidak bisa lepas begitu dibawah tanah dan menggalang suara
saja dari sejarah perkembangan film itu alternatif untuk menumbangkan kekuasaan.
sendiri. Garin Nugroho dan Dyna Herlina Sebagai media perlawanan ia melawan
(2015:131) menerangkan bahwa hegemoni pemberitaan, penulisan sejarah
perjalanan perkembangan film Indonesia dan segala hal yang menopang status quo. R.

1
John Downing, Radical Media: Rebellious Communication and Social Movement , Thousand Oaks California:
Sage Publication, 2001: V

2 Nancy Kranich, misalnya, mengemukakan, “alternative” is the term “most apt” to describe small and

independent publishers since these publishers “counterbalance the coreporate media”. Lihat Krinich, Nancy. “A
Question of Balance The Role of Libraries in Poviding Alternatives to the Mainstream Media.” Collection Building
19.3 (2000): 85-90.
130 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

Williams (1980) menggaris bawahi tiga Komunitas Film menjadi bagian yang
aspek komunikasi demokratis sebagai fokus bisa saja bersifat independen, disiden,
untuk perputaran ini: decapitalization, radikal, underground, subversif, non
deprofessionalization and koorporat, progresif, akar rumput, aktivis,
deinstitutionalization dengan penjabaran
3 anarkis, kecil, pinggiran, etnik, subkultur
seperti tabel dibawah ini: dan alternatif. Karena sangat jelas terlihat
menjadi suatu gerakan “perlawanan”.
Capitalization De Capitalization Beberapa ahli mendefinisikan media
alternatif sebagai bentuk komunikasi massa
Mass Comercial Non Comercial,
Profit Oriented Subsidized
yang dipandang menolak atau menentang
Pro Copyright Non Profit politik yang mapan dan terlembagakan,
Anti Copyright
dalam pengertian mereka semua
Profesionalism De menyokong perubahan dalam masyarakat,
Profesionalization
atau sekurang-kurangnya melakukan
Basic concern for profit Basic concern for penilaian kritis terhadap nilai-nilai
Construction idea
Conservative/affirmative Deconstruction tradisional. Karena itu media alternatif juga
Radical, oposition, sering disebut sebagai “radikal” atau
deviance, Critical
“bawah tanah” lantaran sering bersikap
kritis dan berseberangan dengan produksi
arus utama.
Pertumbuhan film alternatif,
independen tidak terlepas dengan isu-isu
transnasionalisasi, internasionalisasi serta
III. URAIAN PENELITIAN
imperialisme budaya. Hal ini mencuat
Penelitian ini akan menggunakaan
dikarenakan adanya tekanan pasar pada
metode kualitatif dengan pendekatan ilmu
produksi dan distribusi film yang
interdisiplin dikarenakan sifat holistik dari
memunculkan kekhawatiran umum, semisal
permasalahan yang diangkat. Permasalahan
menjadi serba seragam. Pengamat media,
yang menjadi fokus dalam penelitian ini
Ibrahim dan Akhmad (2014: 194)
dalam pelaksanaannya dapat dilihat dari
menyatakan bahwa: “Dalam konteks
kegiatan yang dilaksanakan oleh komunitas.
demokratisasi, globalisasi media dan
hegemonisasi isi media dipandang bisa
Walaupun fokus penelitian telah
berakibat melenyapkan pluralitas atau
ditetapkan pada awal perencanaan
keberagaman yang dibutuhkan dalam ruang
penelitian namun demikian peneliti tetap
media. Karena itu perkembangan media
tidak bisa melepas fokus penelitian dari
alternatif menjadi logis dan penting dalam
sifatnya yang holistik sehingga bagian-
rangka memberi ruang bagi suara-suara
bagian yang berhubungan tetap pada posisi
alternatif yang tidak memiliki tempat di
keberkaitan sebagai satu kesatuan sehingga
media umum atau arus utama (mainstream)
dapat menemukan maknanya secara
yang sebagian besar dikuasai oleh
lengkap. Sifat holistik dari fokus penelitian
koorporasi media”.

3Lihat R. Williams, “Mean of Communication as Means of Production,” dalam Problems in Materialism and Culture:
Selected Essays (London: Verso, 1980), hlm.50-63.
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 131

inilah yang dijadikan pertimbangan dalam disesuaikan dengan melihat kondisi


menentukan metode penelitiannya. komunitas. Pemilihan akan dilakukan
dengan cara purposive sampling atau teknik
Pemilihan pola pikir ini mengikuti apa pertimbangan perseorangan atau seorang
yang diutarakan dari tulisan Lune, Howard peneliti. Pertimbangannya lebih pada
and Bruce L. Berg (2017: 25): Proses masalah kegiatan yang dilakukan oleh
penelitian dipahami sebagai spiral bukan komunitas film maupun Kine Klub.
linier dalam perkembangannya. Dimulai
dengan sebuah gagasan atau ide, Teknik pengumpulan lapangan akan
mengumpulkan informasi teoritis, dilakukan melalui beberapa tahapan antara
mempertimbangkan kembali dan lain: a) Survei dan Observasi. Penelitian
menyempurnakan gagasan, mulai lapangan akan diadakan pada beberapa
menentukan kemungkinan desain, lalu lokasi yang telah ditetapkan sebagai sampel.
menguji kembali asumsi teoritis, dan Pada saat melakukan survei lapangan akan
memperbaiki asumsi teoritis ini bahkan dibuat catatan lapangan yang secara
gagasan awal yang diperbaiki. Jadi, dengan ekstensif. b) Dokumentasi kearsipan, Pada
setiap dua langkah ke depan, akan tahap ini pendataan akan dilakukan di
mengambil satu atau dua langkah mundur Ruang Film Bandung (RFB) yang telah
sebelum melangkah lebih jauh. menyimpan data beberapa komunitas film
dan kegiatannya. c) Wawancara. d) Studi
kepustakaan, beberapa literatur yang
relevan dengan topik penelitian akan
dijadikan sebagai sumber data tertulis, dan
digunakan untuk menguatkan sumber lisan
atau keterangan penulis yang dianggap
kurang dan perlu disempurnakan dengan
Bagan 1. Pola Pikir Penelitian mengimbuhkan sebagian referensi buku,
Sumber: Howard and Bruce L. Berg (2017: 25)
majalah, tabloid dan koran ke dalam tulisan
hasil penelitian.
Penentuan sampel (cuplikan) akan
lebih cenderung menggunakan teknik Setelah semua data terkumpul lalu
purposive sampling. Kriteria selektif dikelompokan pada masing-masing kasus
pemilihan komunitas yang dipilih sebagai dan di beri kode. Pada tiap kasusnya proses
sampel berdasarkan besar kecenderungan analisis akan dilakukan dengan
banyaknya informasi yang bisa didapatkan menggunakan model analisis interaktif.
sesuai dengan fokus penelitian. Jumlah Miles dan Huberman (1994: 10) mengamati
sampel bersifat lentur, mengikuti jalannya bahwa analisis kualitatif terdiri dari 'Tiga
penelitian, terutama kondisi di lapangan. arus aktivitas bersamaan: reduksi data,
tampilan data, dan kesimpulan
Populasi dalam riset ini adalah seluruh gambar/verifikasi. Model 'interaktif'
Komunitas Film dan Kine Klub yang ada di mereka yang menunjukkan sifat siklis.
Bandung, Yogyakarta dan Purbalingga yang
membuat kegiatan berhubungan dengan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
film dari produksi, pemutaran, diskusi
maupun workshop. Pemilihan sampel akan A. Perkembangan Komunitas Film
132 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

Perkembangan komunitas film tidak sesungguhnya motor penggerak sinema


terlepas dari perkembangan Teknologi yang Indonesia adalah komunitas film. Di tengah
pesat dan perubahan sosial pada ketidakstabilan itu muncul komunitas-
masyarakat. Di Indonesia, sebelum komunitas film di berbagai daerah yang
menjamurnya pendirian komunitas film menjadi ruang kreatif baru dan mendorong
sudah ada kelompok sejenis yang dikenal kelahiran pembuatan film, diskusi,
dengan nama Kine Klub. Menurut Prakosa pemutaran film dan festival. Mereka adalah
(2008:115) kesadaran terbentuknya Kine penanda kebangkitan film nasional. Inilah
Klub bermula karena adanya keinginan yang demokratisasi film Indonesia yang didorong
tidak sekedar ingin menonton film-film oleh euforia kebebasan berpendapat dan
terbaik tetapi film yang benar-benar difasilitasi oleh teknologi digital yang relatif
memenuhi keinginan ke depan, memberi mudah dioperasikan dengan biaya murah.
stimulasi pada terbentuknya suatu budaya
berfilm yang sehat dan bervariasi. Pada Kine Kamera yang digunakan tidak lagi
Klub hubungan timbal balik dapat menggunakan pita magnetik sebagai media
dimungkinkan menjadi tujuan apresiasi, penyimpanannya namun menggunakan
yang tidak hanya pada suatu konsep semata, memory card. Penggunaan teknologi digital
tetapi dimungkinkan dalam suatu proses yang semula berlangsung di tingkat
kerja berfilm pada anggotanya yang benar- produksi, kini sudah mulai memasuki
benar berminat. wilayah konsumsi. Sejak tahun 2008
sebetulnya film-film dengan format digital
Komunitas film erat hubungannya sudah bisa ditayangkan langsung di bioskop
dengan perkembangan film alternatif dan dengan pemutar video, namun kualitas
dokumenter. Film Alternatif sendiri pada gambar dan suara masih di bawah pita
awalnya bermula dari kelompok sineas seluloid. Pada perkembangan terakhir di
muda Jakarta di tahun 1995 yang mencoba tahun 2015, bioskop di Indonesia mulai
memanusiakan film dengan membawa misi menggunakan teknologi pemutaran digital
memasyarakatkan film pendek atau film paling mutakhir berstandar global, yaitu
alternatif. Sikap berfilmnya lebih bebas dan Digital Cinema Package (DCP). Sehingga film
dimungkinkan pemutarannya door to door, dengan format digital dikemas dalam
dari rumah ke suatu taman, dari tembok dokumen data format JPEG 2000 (Video)
putih ke jemuran sprei dengan demikian dan PCM (audio) dengan resolusi minimal
sifat apresiasinya menjadi langsung pada 2048 x 1080 (2K) dapat melebihi kualitas
masyarakat bawah. Juga dimungkinkan pita seluloid.
mendiskusikan secara langsung bertatap
muka dengan pembuatnya atau dengan Selain itu kemajuan teknologi digital
tokoh yang berwibawa di bidangnya. juga memberi dampak perubahan budaya
pada masyarakat. Hal ini terlihat dari
Pengamat film, Garin Nugroho dan prilaku masyarakat umum semisal dalam
Dyna Herlina (2015: 298-9) menyatakan memposisikan peralatan elektronik semisal
bahwa perkembangan tumbuhnya handphone sebagai tidak sekedar alat
komunitas film di Indonesia tidak terlepas komunikasi tetapi juga merambah ke gaya
dari perubahan iklim sosial politik yang hidup. Ketersediaan kamera pada
berlangsung sejak adanya gerakan handphone mengubah pola kebiasaan
reformasi pada tahun 1998 dan masyarakat menjadi sadar dokumentasi.
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 133

Terlebih tersedianya berbagai macam Indonesia. Komunitas ini telah


aplikasi yang mendukung dari editing memproduksi sejumlah 20 film pendek dan
hingga persoalan kesenangan (games). menyelenggarakan kursus film untuk
Perubahan ini membentuk pola pemikiran masyarakat secara terbuka. Secara garis
baru pada masyarakat terutama dengan besar komunitas-komunitas ini mempunyai
bagaimana menyikapi hal-hal baru kegiatan berupa: Pemutaran/Exhibisi,
menyangkut kemajuan teknologi. Alasan Diskusi, Workshop perfilman dan produksi
terakhir yang banyak diterangkan adalah film.
anggapan mudahnya bikin film dikarenakan
revolusi digital berupa kemajuan teknologi
kamera dan peralatan komputer yang
terjadi diikuti semakin mudah dan murah
mendapatkannya. Pendapat ini diutarakan
oleh mayoritas anggota komunitas film.

Jumlah komunitas film di tanah air


hingga saat ini hampir mencapai ribuan,
tumbuh di kampus-kampus bahkan hingga
pedesaan, di Bandung dan sekitarnya saja Gambar 1 Proses shooting film pendek “love Tester”
sudah ada ratusan, namun dari survey Sumber Salman Academy Bandung
ditemukan ada sekitar 10 komunitas film
Komunitas film di Bandung banyak
yang aktif dan kontinyu menyelenggarakan
diikuti oleh mayoritas mahasiswa.
kegiatan. Komunitas itu diantaranya: Ruang
Komunitas tertua ialah Liga Film Mahasiswa
Film Bandung (RFB), Cinemaker, Layar Kita,
(LFM) ITB yang didirikan tahun 1960.
Bioscop Concordia, Kota Sinema, Salman
Anggota yang aktif tercatat berjumlah 260
Academy, Komunitas Black Team D
oang. Organisasi ini mempunyai empat
Capitalist, Moviekom, CCFKom UNPAD.
bidang kegiatan; Produksi Video, Fotografi,
Komunitas-komunitas ini secara intens
Kineklub, Exhibition. Kegiatan yang pernah
menggelar kegiatan pelatihan film,
dilakukan salah satunya Ganesha Film
pemutaran film dan diskusi. Salman
Festival yang hingga saat ini masih sering
Academy semisalnya; komunitas ini
diselenggarakan setiap tahunnya.4
merupakan organisasi dibawah Majelis
Budaya Salman, Yayasan Pembina Masjid
Pada kegiatan yang berskala nasional
Salman ITB. Salman Academy bermaksud
komunitas-komunitas film ini mempunyai
mewadahi pendidikan film dengan lebih
acara pertemuan tingkat nasional yang
fokus pada nuasansa Islam tapi dalam artian
selalu diadakan dua tahun sekali dan
yang luas. Didirikan pada tahun 2004 dan
berpindah-pindah. Pada Temu Komunitas
saat ini mempunyai anggota 150 orang.
Film Indonesia 2016 (25-27 Maret 2016)
Komunitas ini mempunyai visi memajukan
diadakan di Baturaden Purwokerto Jawa
perfilman Indonesia dengan cara yang
Tengah. Temu Komunitas Film Indonesia
benar, dengan tidak melupakan norma
2016 terselenggara melalui sebuah jaringan
agama dan adat istiadat kita sebagai bangsa,
kerja bersama, yang terdiri dari CLC
serta mengarah pada majunya perfilman
Purbalingga, Jaringan Kerja Film Banyumas,

4 www.lfm.itb.ac.id
134 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

Cinema Poetica, Boemboe, Serunya, dan eksebisi. Namun, Temu Komunitas kali ini
Viddsee. Kegiatan berisikan Forum Berbagi juga membahas tentang bagaimana
Pengetahuan, Forum Kerjasama. Jejaring perkembangan film di daerah
Festival dan pemutaran film. Acara ini mereka. Banyak manfaat Ilmu yang
dihadiri oleh 346 orang yang berasal dari 95 diperoleh dengan mengikuti Temu
komunitas/kelompok yang tersebar di 33 Komunitas ini. Antusias dari para komunitas
kota dari 14 Provinsi.5 begitu nampak saat mereka bercerita
tentang komunitas mereka, dimulai dari
profil komunitas mereka hingga eksebisi
yang telah mereka lakukan. Para komunitas
berkesempatan melakukan pendekatan
secara langsung dengan komunitas lain,
guna mempererat hubungan silaturahmi.

B. Kreatifitas (seni) dalam


Penciptaan Film Komunitas

Kreatifitas dalam penciptaan film


Gambar 2 Temu Komunitas Film Indonesia 2016
Sumber dokumen pribadi Bowo Laksono komunitas berangkat dari kesadaran penuh
tentang interpretasi yang akan dilakukan
Hampir pada setiap penyelenggaraan penonton atas karya yang akan dibuatnya.
festival film komunitas selalu diadakan Hal yang paling dekat adalah
pertemuan. Sebagai contoh pada memperhatikan film-film yang sudah ada
penghelatan Malang Film Festival 2016 terlebih menyangkut cerita rakyat ataupun
yang baru saja diselenggarakan dibulan Juli kebenaran sejarah.
yang lalu. Temu Komunitas merupakan
bagian dari runtutan rangkaian acara Dalam proses penciptaan karya seni
Malang Film Festival (MAFI Fest). Temu biasanya konsep kreatifitas digunakan
Komunitas skala nasional ini di sebagai dasar pijakan pengembangannya,
selenggarakan di Rusunawa “Surya” karena tumbuhnya kreatifitas akan
Universitas Muhammadiyah Malang menimbulkan ragam bentuk seni yang
(UMM). Diadakannya program Temu kompetitif, karena itu kreatifitas di bangun
Komunitas ini menjadi ajang berbagi atas dasar suatu keinginan untuk
pengalaman para Komunitas Film seluruh menciptakan sesuatu yang baru, unik dan
Indonesia. Diskusi kali ini diawali dengan berbeda. Pengembangan seni
obrolan mengenai eksebisi bersama. membutuhkan imbuhan kreatifitas di
Perwakilan dari tiap komunitas saling dalamnya. Bila potensi ini dimaksimalkan,
membagi pengalaman eksebisi yang telah maka akan tumbuh ragam seni baru dan
mereka lakukan di masing-masing tentu saja akan mendorong timbulnya
komunitasnya. kajian dan teori yang baru.

Temu komunitas yang diikuti oleh Kreatifitas dalam film tidak selalu
sekitar 50 perwakilan komunitas seluruh melulu soal artistik visual, suara atau hal-hal
Indonesia ini tak hanya membahas tentang yang berkaitan dengan teknologi, tetapi film

5 http://temukomunitas.cinemapoetica.com/ diakses 12 Juni 2016.


Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 135

mempunyai prinsip dasar ialah bercerita. mempertimbangkan menggunakan


Pada 18 Juli 20046, “Sepatu Glinding” beberapa pendekatan antara lain;
komunitas film pertama di Purbalingga Jawa pendekatan mistik (Mystical approaches),
tengah (dipelopori Bowo Laksono) pendekatan pragmatis (Pracmatic
memutar film hasil produksinya yang approaches), pendekatan psikodinamis
menggunakan setting lokal Banyumasan. (Pyschodynamic approaches), pendekatan
Tidak tanggung-tanggung dua buah film psikometrik (Pyschometric approaches),
pendek yang telah mereka produksi “Orang pendekatan kognitif (Cognitive approaches),
Buta dan Penuntunnya” (adaptasi dari pendekatan personal-sosial (Social-
Cerpen karya Ahmad Tohari) dan personality approaches), dan pendekatan
“Peronika”. Penggunaan setting lokal ini perkumpulan (Confluence approaches).
tentu menjadikannya sebuah film yang
memiliki kreatifitas kebaruan. Agak berbeda dengan film yang telah
dihasilkan di Purbalingga, praktek produksi
Supriadi (1994) menerangkan bahwa di komunitas yang lain juga sangat fleksibel
kreatifitas sebagai dapat digolongkan dari kegiatan perencanaan hingga
menjadi dua definisi yakni konsensual dan perwujudan, semuanya mengikuti pada
konseptual. Definisi konsensual permasalahan yang akan dibuat dan dapat
menekankan segi produk kreatif yang dikatakan relatif efisien. Sedangkan di
dinilai derajat kreatifitasnya oleh pengamat kampus pendidikan berlangsung dengan
ahli. Sedangkan definisi konseptual bertolak mengikuti atau berbasis teori pengetahuan
dari konsep tertentu tentang kreatifitas perfilman yang telah ada dan terkesan kaku.
yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang Padahal kualitas hasil produksi relatif
apa yang disebut kreatif. Meskipun tetap hampir sama bahkan dari beberapa karya
menekankan segi produk, definisi ini tidak yang dihasilkan komunitas ada beberapa
mengandalkan semata-mata pada yang telah mendapat pengakuan nasional
konsensus pengamat ahli dalam menilai dan internasional melalui beberapa festival.
kreatifitas, melainkan didasarkan pada Sebagai contoh film buatan Yusron Fuadi
kriteria tertentu. berjudul Pendekar kesepian (2014) yang
diproduksi komunitas film Aksacara
Lebih lanjut diterangkan oleh Yogyakarta. Film ini berangkat dari
Sternberg, ed. (1999:3) Creativity is the kegelisahan atas genre film yang dianggap
ability to produce work that is both novelty tidak sesuai dengan isi cerita film dari sudut
(i.e, original, unexpected) and appropriate pandang humanis. Film ini juga dianggap
(i.e. useful, adaptive concerning task tidak umum atau tidak mengikuti kaidah-
constraints). Diterjemahkan secara bebas kaidah teoritik pembuatan film dengan
Kreatifitas adalah kemampuan untuk membuat film sepanjang 29 menit dengan
menghasilkan karya yang bersifat baru satu kali shooting. Kreatifitas yang didapat
(yaitu, asli, tak terduga) dan sesuai (yaitu dari mengkritisi teori-teori film ini malah
berguna, adaptif terhadap kendala tugas). membuahkan beberapa pengakuan dari
Sternberg menerangkan bahwa untuk festival film nasional dan telah mendapat
melakukan studi kajian kreatifitas dapat

6 Melongok Aktivitas Film Maker Pertama di Purbalingga, Mengenalkan Film Pendek Berbahasa ‘Ngapak-

Ngapak’, Koran Radar Banyumas, 19 Juli 2004. Disebutkan bahwa maksud dari penggunaan setting lokal adalah
mendorong tumbuhnya kreativitas film maker.
136 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

penghargaan dari International Film imajinasi kreatif; akan tetapi, kita tidak akan
Festival Rotterdam pada tahun 2015. pernah memperoleh konsep yang cukup
dalam gagasan seperti ini, untuk itu gagasan
Kreatifitas dalam penciptaan film formal sebagai pasangannya menjadi sangat
Pendekar kesepian dijelaskan oleh sang penting dalam menemani gagasan estetik,
sutradara7, bahwa terinspirasi dan meskipun di sini kita tidak akan pernah
terdorong setelah mempelajari prinsip- mendapatkan intuisi yang memadai.
prinsip penciptaan seni. Film baginya tidak Selanjutnya, pada tatanan meditatif
melulu bagian dari ilmu komunikasi, namun gagasan-gagasan tersebut diterjemahkan ke
didalam film ada tercermin persoalan dalam bentuk kegiatan berekspresi; dan
komunikasi. Penciptaan adalah bagian yang dalam tatanan media fotografi, kegiatan
sangat pribadi karena berisikan soal-soal berekspresi tersebut dapat diwujudkan
artistik yang individual. Hal ini terlihat menjadi bentuk ekspresi estetik fotografis
agaknya sejalan dengan teori proses melalui poros-poros intuisi yang digunakan
penciptaan yang dikemukakan oleh Wallas untuk mengungkapkan kembali nilai-nilai
seperti disitasi Damajanti (2006) bahwa hakiki dari emosi naluriah secara sadar.
penciptaan melibatkan empat tahapan
berurutan: a) Preperation, ialah tahap Pada saat melakukan wawancara
pengumpulan informasi atau data untuk secara terpisah8 terhadap Nurul Idey, Bowo
memecahkan suatu masalah dengan bekal Laksono, Ismail Basbeth, dengan topik
bahan pengetahuan maupun pengalaman. persoalan pemilihan tematik didapat
b) Incubation, tahap ketika individu seakan- kesamaan pendapat, bahwa tema sangat
akan melepaskan diri untuk sementara dari menentukan dalam sebuah produksi film
masalah tersebut, dalam arti bahwa ia tidak karena dari sinilah kreativitas bermulai.
memikirkan masalahnya secara sadar Sebelum menentukan tema periksa kembali
namun mengeraminya dalam alam tak apa yang akan disikapi dari subjek, lakukan
sadar. c) Illumination, ialah tahap timbulnya kajian material dan lakukan analisa
inspirasi/insight atau gagasan baru. d) kemampuan pengetahuan yang dimiliki
Verification, disebut juga tahap evaluasi, tentang tematik apa saja yang kemungkinan
ialah tahap ketika ide atau kreasi baru harus diminati audience. Hal ini dilakukan sebab
diuji realitas. tema yang telah ditentukan nantinya akan
beresonansi antara produksi dan audience.
Menurut Bohm (2004, pp. 52-61, 104- Tema memungkinkan kita untuk
108) dalam bukunya On Creativity supaya memusatkan perhatian pada aspek tertentu
kegiatan berkarya cipta tetap berada pada dari subjek dan termasuk yang lainnya.
jalur inspirasi artistik yang layak olah, ada Sedapat mungkin tema harus ditentukan
dua sisi gagasan yang mutlak dibutuhkan, sebelum proses produksi dimulai dan
yaitu: (1) gagasan estetik; dan (2) gagasan menggunakan tema terpilih itu untuk
nalar atau gagasan formal. Gagasan estetik menentukan treatment dari subjek sehingga
adalah suatu bentuk intuisi dari perilaku waktu produksi dan semua resources dapat

7 Wawancara Yusron Fuadi (35tahun) pada tanggal 12 April 2016 di Yogyakarta. Yusron Fuadi adalah lulusan

S2 Pascasarjana ISI Yogyakarta dan memimpin komunitas Aksacara Yogyakarta.


8 Pada beberapa perjumpaan di sekitar bulan September-November 2016 secara langsung atau melalui media

sosial/email. Nurul Idey adalah aktivis Komunitas Ruang Film Bandung, Bowo Laksono adalah Pelopor berdirinya
beberapa Komunitas Film di Purbalingga dan Ismail Basbeth adalah Sutradara muda yang banyak memproduksi
film idenpenden.
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 137

efektif digunakan. Memeriksa kembali apa Seseorang bisa disebut kreatif jika ia
yang akan disikapi dari subjek terpilih dan memiliki kecerdasan dan siasat untuk
kajian material dalam produksi film menciptakan karya seni hasil buah
dokumenter bisa juga dipermudah dengan pikirannya. Banyak sekali definisi yang
mengadakan survey awal, sehingga semua dikemukakan para ahli, karena kreatifitas
yang berkaitan dengan subjek dapat terinci merupakan satu peristilahan yang
dengan baik. Terkadang untuk tampaknya akan menimbulkan berbagai
mempertegas juga diadakan studi pandangan dan mengandung berbagai
kepustakaan tentang subjek dan melakukan pengertian. Perbedaan-perbedaan ini
kajian terhadap karya terdahulu yang dikarenakan dipengaruhi oleh sosio cultural
memiliki kedekatan atau kemiripan dengan kreatornya karena seni merupakan bagian
subjek. Treatment nantinya akan tersusun ekspresi budaya.
atas pertimbangan tema yang terpilih.
Selain itu perlu diingat bahwa
Teknik yang akan digunakan, shoot pertimbangan keputusan akan
yang akan diambil, angle dan framing yang diterapkannya suatu alat pada suatu
dipilih, focal length lensa yang akan perencanaan pembuatan film sangat
digunakan, ritme suara, juxtaposition yang tergantung dengan kemampuan artistik
akan diedit, sound track yang digunakan (sense of art) dari si pembuat. Kemampuan
kesemuanya akan berangkat dari tema yang artisitik seseorang sangat tergantung
akan terjabarkan dalam treatment. dengan banyaknya pengalaman estetik dan
Kesemuanya ini dapat disebut sebagai kemampuan kreatifitas secara intuitif. Oleh
interpretasi dari subjek melalui teknik karena itu akan lebih baik jika seorang
perwujudan yang terpilih untuk menjawab pembuat film juga memahami metode
tujuan yang telah ditetapkan dalam bentuk penciptaan seni secara umum.
presentasi. Didalam seni lukis semisalnya,
teknik mencampur warna, membuat tekstur Metode penciptaan film secara umum
pada kanvas dengan menggunakan kuas dan terbagi atas tiga bagian: a) Pra produksi,
pisau palet adalah hal yang tidak bisa pada tahap ini naskah dan skenario akan
terlepas dengan interpretasi subjek yang disusun. Setidaknya jika film yang akan
dipilih oleh senimannya. dibuat adalah film fiksi si pembuat harus
melakukan penyusunan dengan
Semua alat untuk mempresentasikan pertimbangan penguasaan bahasa
dalam media apapun dapat disebut sebagai film/tutur filmnis, konstruksi dramatik,
alat interpretasi (tools of interpretation). gagasan cerita, penyampaian informasi,
Teknik dalam film adalah alat yang pemilihan karakter pelaku, tatacara
digunakan untuk membuat interpretasi dari penulisan skenario (Biran:2010),
subjek. Teknik adalah jalan untuk membuat sedangkan dalam produksi film dokumenter
content dari presentasi menjadi bermakna. pada tahapan ini ditambah dengan lebih
Dengan kata lain hal yang menarik dan banyak melakukan riset, membuat
penting dari subjek bisa menyebabkan treatment maupun skenario sebagai naskah
kebosanan dan tak bernilai, jika seorang produksi. Dalam beberapa teori penciptaan
director tidak memahami bagaimana film, pada proses pra production bertujuan
mempresentasikannya. Teknik melayani akhir menyusun sinopsis (ringkasan cerita),
tema agar menjadi satu dengan content. storyboard (perangkat gambar cerita),
138 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

script (naskah program) dan skenario semua film yang diproduksi komunitas
(Sadiman:1990,Asnawir:2002& mempunyai pola tatacara tutur bercerita
Douglass:1996). b) Produksi, Memulai yang diambil atau terpengarh dengan
shooting pengambilan gambar dengan budaya setempat. Mengetahui hal ini jelas
mengikuti naskah produksi atau skenario. kiranya bahwa jika bisa terbina dengan baik
Pada pembuatan film dokumenter tahapan maka akan banyak lahir genre film yang
ini terkadang mendapat hal yang tidak banyak dikarenakan pola bercerita yang
terduga karena situasi di lapangan. c) Pasca tidak sama.
Produksi, pada tahapan ini proses editing
dilakukan hingga film tersusun sebagai Butuh adanya kesabaran dan
karya jadi. mengetahui ilmu yang lain (inter keilmuan)
dalam menelaah komunitas film. Komunitas
Ketiga tahapan proses seperti yang film adalah kelompok-kelompok penggiat
diterangkan secara singkat diatas tentunya film, khususnya kelompok penggiat film di
mempunyai persyaratan-persyaratan luar jalur industri, sedangkan yang berada
kemampuan orang yang ditunjuk dalam di jalur industri lebih dikenal berada dalam
pengerjaannya. Setidaknya semua yang wadah yang disebut organisasi, asosiasi,
terlibat selain mempunyai pengetahuan atau perusahaan. Bertumbuhnya
sinematografi juga harus mempunyai komunitas-komunitas film bisa dikatakan
wawasan setidaknya pengetahuan lain yang dikarenakan perubahan pandangan
mendukung. Penelitian dalam konteks masyarakat yang dikarenakan semakin
penciptaan film dilakukan paling banyak majunya teknologi dan mudahnya sistem
pada tahapan pra produksi terlebih pada informasi. Dengan kata lain ada perubahan
pembuatan film dokumenter. Pada budaya yang terkait dengan
pembuatan film dokumenter, proses analisa berkembangnya media.
atas wawancara, pemilahan data, bisa saja
terjadi di tahapan produksi maupun post Pada penelitian awal yang telah penulis
produksi. (Ayawaila: 2008, lakukan ditemukan bahwa hampir seluruh
Fachruddin:2012) komunitas film di Indonesia tidak
menggantungkan diri mereka pada
V. KESIMPULAN pendanaan dari lembaga funding, terlebih
alokasi anggaran dari pemerintah. Para
Komunitas Film merupakan ujung anggota komunitas film hampir seluruhnya
terdepan pertumbuhan budaya media di merasa sulit untuk berharap mendapat
masyarakat. Pernyataan ini beralasan dukungan dari pemerintah, mengingat pada
karena jumlah komunitas dan anggota level film nasional (industri) pun masih
sangat banyak. Komunitas Film juga dapat dilirik setengah mata oleh para petinggi dan
dikatakan sebagai bagian Industri Media pengelola negara tersebut.
(namun kecil/minor/indie) dan sangat
berbeda dengan industri film besar Komunitas film banyak menghasilkan
(perusahaan besar). Komunitas film film-film pendek dan berbeda sama sekali
mempunyai tata cara, aturan, pola sosial dengan yang dihasilkan oleh perusahaan
hingga produksi yang berbeda terlebih bila media Televisi (walaupun sama-sama film
dibandingkan denga teori penciptaan film. pendek) ataupun sangat berbeda dengan
Hal yang menarik lainnya ialah hampir film cerita komersial yang dibuat
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 139

perusahaan-perusahaan film. Dunia film Kemajuan perfilman nasional tentunya


hasil produksi komunitas tidak mengenal bukan hanya dilihat dengan semakin
star system (pemeran bintang/artis), tidak diminati film sebagai tontonan, namun
mengenal peraturan yang rumit, juga tidak dapat dilihat dengan semakin banyaknya
mengenal promosi besar untuk menggaet masyarakat memproduksi film. Budaya film
audience seperti yang seringkali dilakukan tentunya bukan sekedar dari banyaknya
oleh perusahaan dan industri film besar. minat nonton.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Asnawir dan Basyirudin Usman. (2002). Media Pembelajaran, Jakarta: Cpress.
[2] Ayawaila, Gerzon R. (2008). Dokumenter: Dari Ide sampai Produksi. Jakarta: FFTV IKJ.
[3] Azwar, Saefuddin. (2009). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[4] Biran, Misbach Yusa. (2010). Teknik Menulis Skenario Film Cerita. Jakarta: FFTV IKJ.
[5] Bohm, David. (1996). On Creativity. Lee Nichol (ed.) London dan New York: Routledge.
[6] Damajanti, Irma. (2006). Psikologi Seni. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
[7] Douglass, John S dan Gleen P. Harnden, The Art of Technique, an aesthetic Aproach to Film
and Video.
[8] Downing, John. (2001). Radical Media: Rebellious Communication and Social Movement.
Thousand Oaks California: Sage Publication
[9] Fachrudin, Andi. (2012). Dasar-Dasar Produksi Televisi: Produksi Berita, Feature, Laporan
Investigasi, Dokumenter, dan Teknik Editing. Jakarta: Kencana.
[10] Ibrahim, Idi Subandy dan Bachruddin Ali Akhmad. (2014). Komunikasi dan Komodifikasi
Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Pustaka Obor.
[11] Ida, Rachmah. (2014). Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada
Media Group.
[12] Krinich, Nancy. (2000). A Question of Balance The Role of Libraries in Poviding
Alternatives to the Mainstream Media. Collection Building 19.3
[13] Prakoso, Gotot. (2008). Film Pinggiran; Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan
Film Dokumenter. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia.
[14] Sadiman, Arif S. (1990). Media pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
[15] Storey, J. (2012). Culture Theory and Popular Culture: an Introduction, 6th ed. New York:
Pearson Education Limited.
[16] Supriadi, Dedi. (1994). Kreatifitas Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung:
Alfabeta.
[17] Thomas Elsaesser & Warren Buckland. (2002). Studying Contemporary American Film,
London: arnoldpublishers.
[18] Williams, R “Mean of Communication as Means of Production,” dalam Problems in
Materialism and Culture: Selected Essays (London: Verso, 1980).
140 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016

Jurnal:

Karnanta, Kukuh Yudha (2012) berjudul “Ekonomi Politik Film Dokumenter


Indonesia Dependensi Industri Film Dokumenter Indonesia kepada Lembaga Donor
Asing”, Jurnal LAKON, Vol.1/1 2012

Prasetyaningsih, Sandi (2014) yang berjudul “Skema Proses Pra Produksi pada Film
Dokumenter Camp Vietnam” Jurnal INTEGRASI, 2014, Vol 6/1

Arifianto, Budi Dwi dan Fajar Junaedi (2014) berjudul “Distribusi dan Eksibisi Film
Alternatif di Yogyakarta”, Jurnal ASPIKOM, 2014 Vol.2/2

Webtografi:

www.lfm.itb.ac.id

http://temukomunitas.cinemapoetica.com/ diakses 12 Juni 2016.

You might also like