Professional Documents
Culture Documents
Fenomena Kualitas Film HT
Fenomena Kualitas Film HT
Syamsul Barry
Prodi Film dan Televisi, Fakultas Media dan Budaya,
Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.
Email: iicul@hotmail.com
ABSTRAK
Era kebangkitan industri film nasional pada medio awal abad 21 membawa
demam perfileman di tanah air. Teknologi terkini di bidang perfileman dengan cepat
diadopsi sejalan dengan perkembangan teknologi baik teknologi kamera maupun
telepon seluler dengan fasilitas dan aplikasinya. Perkembangan ini diikuti pula
dengan maraknya pertumbuhan komunitas film di Indonesia, sehingga menyebabkan
banyaknya produksi film. Praktek produksi pembuatan film di komunitas berbeda
dengan apa yang dijalankan di lingkungan civitas akademik. Pada praktek produksi di
komunitas dirasa lebih fleksibel mulai dari kegiatan perencanaan hingga proses
perwujudan, dan semuanya mengikuti pada permasalahan yang akan dibuat sehingga
dapat dikatakan relatif efisien. Sedangkan di lembaga pendidikan prosesnya
berlangsung dengan mengikuti atau berbasis teori pengetahuan perfilman yang telah
ada (baku) dan terkesan kaku. Selain memproduksi film, komunitas
menyelenggarakan aktivitas berupa pemutaran, dan diskusi/workshop. Bahkan
beberapa komunitas mempunyai jurnal yang di publikasikan pada situs di internet.
Komunitas-komunitas ini juga membentuk semacam proyek wirausaha berupa
melayani jasa pembuatan video program televisi, company profile perusahaan dan
jasa dokumentasi hajatan (perkawinan, sunatan) dengan tujuan membiayai jalannya
kegiatan di komunitas sekaligus kesejahteraan anggotanya. Penelitian ini
menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan survei dan wawancara tidak
terstruktur pada narasumber penggiat perfileman di komunitas untuk menemukan
sumber ide penciptaan mereka, hingga proses bagaimana mereka berkarya. Data
yang terkumpul akan dianalisis dengan secara deskriptif dengan tujuan bisa
menjelaskan fenomena ini yang berasal dari bawah.
buku. Pemaparan ini merupakan upaya piranti-piranti teknologi bagi sineas tanah
untuk menjaga orisinalitas dari hasil air untuk memproduksi film dokumenter.
penelitian yang akan dilakukan. Walaupun hampir mempunyai kesamaan
penelitian dalam hal yang mendasari
Penelitian yang dilakukan Kukuh produksi film, penelitian dalam jurnal ini
Yudha Karnanta (2012) berjudul “Ekonomi menggunakan sudut pandang yang berbeda
Politik Film Dokumenter Indonesia yaitu kreativitas.
Dependensi Industri Film Dokumenter
Indonesia kepada Lembaga Donor Asing”. Penelitian yang dilakukan Sandi
Penelitian ini berbeda dengan topik Prasetyaningsih (2014) yang berjudul
penelitian di jurnal ini, walaupun sama pada “Skema Proses Pra Produksi pada Film
bidang penciptaan film, namun apa yang Dokumenter Camp Vietnam” merupakan
dikemukakan pada penelitian Yudha penelitian yang berdekatan dengan topik
Karnanta ini merupakan hal penting yang penelitian jurnal ini, karena mengemukakan
terkait dengan penciptaan film komunitas proses pra produksi yang merupakan
dalam hal pencarian dana dari lembaga bagian dari penciptaan film. Penciptaan film
donor. Penelitian ini lebih membahas terdiri atas tiga bagian yaitu: Pra Produksi,
struktur produksi film dokumenter di Produksi dan Pasca Produksi. Penelitian
Indonesia di tengah wacana globalisasi dan deskriptif ini membahas skema kerja pra
kapitalisme global. Struktur produksi produksi film dokumenter di tempat
tersebut merepresentasikan praktik pengungsian Camp Vietnam di pulau Galang
neokolonialisme berkedok globalisasi, Riau. Menurut penelitian ini kegiatan pra
khususnya dalam konteks media. produksi sebuah film dokumenter berjalan
Implikasinya, alih-alih mencoba mandiri seperti layaknya melakukan penelitian.
atau independen, ketergantungan para Pada tahap pengumpulan ide diadakan
sineas dan rumah produksi pada lembaga suatu kajian terhadap lokasi, penduduk, dan
donor sebagai pemberi dana menjadi cerita-cerita yang ada di lokasi. Ide ini terus
kemutlakan bagi berlangsungnya aktivitas di kerucutkan menjadi naskah dan skenario.
produksi film dokumenter. Program-
program produksi film dokumenter seperti Penelitian yang dilakukan Budi Dwi
KickStart (In-Docs), Eagle Awards (Metro Arifianto, Fajar Junaedi (2014) berjudul
TV), Project Change (Kalyana Shira) yang “Distribusi dan Eksibisi Film Alternatif di
rutin diselenggarakan setiap tahun Yogyakarta, Resistensi atas Praktek
merupakan contoh kongkret praktik Dominasi Film di Indonesia”. Penelitian ini
tersebut. Penelitian menggunakan kerangka berbeda dengan penelitian jurnal ini karena
berpikir cultural imperialism sebagai wujud hanya memaparkan persoalan distribusi
neokolonialisme untuk mengidentifikasi film (hasil penciptaan film komunitas) tidak
proses kolonisasi beserta konsekuensi- pada persoalan produksi. Namun penelitian
konsekuensi yang ditimbulkannya. Menurut ini memberikan dukungan karena
penelitian ini perkembangan produksi pertimbangan distribusi atau melihat
genre film dokumenter di Indonesia sebagai audience yang akan dituju dari sebuah
bagian dari perkembangan industri film perencanaan penciptaan film penting
keseluruhan tidak lepas dari keberadaan dilakukan dan mempengaruhi bentuk
lembaga donor asing yang memberikan filmnya. Penelitian ini bertujuan untuk
sejumlah dana, akses, tutor, maupun mendeskripsikan strategi dan pola
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 129
distribusi sinema ngamen di Yogyakarta. tidak pernah lepas dari pengaruh politik,
Adapun metode penelitian yang digunakan militer dan cara memberi ruang terhadap
adalah deskriptif kualitatif dengan ideologi dan agama.
pengumpulan data melalui wawancara
mendalam yang melibatkan pelaku sinema Komunitas film menghasilkan Film
di Yogyakarta. Penelitian ini menemukan yang dapat disebut sebagai media alternatif,
data bahwa komunitas film menjadi basis yang memberi perlawanan terhadap arus
dalam distribusi film pendek atau alternatif utama (mainstream: industri besar). Produk
di Yogyakarta. Komunitas film ini bisa komunitas (berupa media) biasa disebut
berasal dari kampus maupun luar kampus. independen, disiden, radikal, underground,
Pada dekade 1990-an, muncul alternatif anarkhis, pinggiran, etnik, subkultur dan
gerakan untuk membangkitkan film alternatif. Downing (2001:5) menyebutnya
nasional dengan model sinema ngamen, sebagai “that is generaly small-scale
yaitu sinema yang diputar di luar jalur and…..that expressed an alternative vision to
utama yang bernama sinema ngamen. hegemonic policies, priorities and
Yogyakarta menjadi salah satu basis dari perspectives” 1
1
John Downing, Radical Media: Rebellious Communication and Social Movement , Thousand Oaks California:
Sage Publication, 2001: V
2 Nancy Kranich, misalnya, mengemukakan, “alternative” is the term “most apt” to describe small and
independent publishers since these publishers “counterbalance the coreporate media”. Lihat Krinich, Nancy. “A
Question of Balance The Role of Libraries in Poviding Alternatives to the Mainstream Media.” Collection Building
19.3 (2000): 85-90.
130 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016
Williams (1980) menggaris bawahi tiga Komunitas Film menjadi bagian yang
aspek komunikasi demokratis sebagai fokus bisa saja bersifat independen, disiden,
untuk perputaran ini: decapitalization, radikal, underground, subversif, non
deprofessionalization and koorporat, progresif, akar rumput, aktivis,
deinstitutionalization dengan penjabaran
3 anarkis, kecil, pinggiran, etnik, subkultur
seperti tabel dibawah ini: dan alternatif. Karena sangat jelas terlihat
menjadi suatu gerakan “perlawanan”.
Capitalization De Capitalization Beberapa ahli mendefinisikan media
alternatif sebagai bentuk komunikasi massa
Mass Comercial Non Comercial,
Profit Oriented Subsidized
yang dipandang menolak atau menentang
Pro Copyright Non Profit politik yang mapan dan terlembagakan,
Anti Copyright
dalam pengertian mereka semua
Profesionalism De menyokong perubahan dalam masyarakat,
Profesionalization
atau sekurang-kurangnya melakukan
Basic concern for profit Basic concern for penilaian kritis terhadap nilai-nilai
Construction idea
Conservative/affirmative Deconstruction tradisional. Karena itu media alternatif juga
Radical, oposition, sering disebut sebagai “radikal” atau
deviance, Critical
“bawah tanah” lantaran sering bersikap
kritis dan berseberangan dengan produksi
arus utama.
Pertumbuhan film alternatif,
independen tidak terlepas dengan isu-isu
transnasionalisasi, internasionalisasi serta
III. URAIAN PENELITIAN
imperialisme budaya. Hal ini mencuat
Penelitian ini akan menggunakaan
dikarenakan adanya tekanan pasar pada
metode kualitatif dengan pendekatan ilmu
produksi dan distribusi film yang
interdisiplin dikarenakan sifat holistik dari
memunculkan kekhawatiran umum, semisal
permasalahan yang diangkat. Permasalahan
menjadi serba seragam. Pengamat media,
yang menjadi fokus dalam penelitian ini
Ibrahim dan Akhmad (2014: 194)
dalam pelaksanaannya dapat dilihat dari
menyatakan bahwa: “Dalam konteks
kegiatan yang dilaksanakan oleh komunitas.
demokratisasi, globalisasi media dan
hegemonisasi isi media dipandang bisa
Walaupun fokus penelitian telah
berakibat melenyapkan pluralitas atau
ditetapkan pada awal perencanaan
keberagaman yang dibutuhkan dalam ruang
penelitian namun demikian peneliti tetap
media. Karena itu perkembangan media
tidak bisa melepas fokus penelitian dari
alternatif menjadi logis dan penting dalam
sifatnya yang holistik sehingga bagian-
rangka memberi ruang bagi suara-suara
bagian yang berhubungan tetap pada posisi
alternatif yang tidak memiliki tempat di
keberkaitan sebagai satu kesatuan sehingga
media umum atau arus utama (mainstream)
dapat menemukan maknanya secara
yang sebagian besar dikuasai oleh
lengkap. Sifat holistik dari fokus penelitian
koorporasi media”.
3Lihat R. Williams, “Mean of Communication as Means of Production,” dalam Problems in Materialism and Culture:
Selected Essays (London: Verso, 1980), hlm.50-63.
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 131
4 www.lfm.itb.ac.id
134 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016
Cinema Poetica, Boemboe, Serunya, dan eksebisi. Namun, Temu Komunitas kali ini
Viddsee. Kegiatan berisikan Forum Berbagi juga membahas tentang bagaimana
Pengetahuan, Forum Kerjasama. Jejaring perkembangan film di daerah
Festival dan pemutaran film. Acara ini mereka. Banyak manfaat Ilmu yang
dihadiri oleh 346 orang yang berasal dari 95 diperoleh dengan mengikuti Temu
komunitas/kelompok yang tersebar di 33 Komunitas ini. Antusias dari para komunitas
kota dari 14 Provinsi.5 begitu nampak saat mereka bercerita
tentang komunitas mereka, dimulai dari
profil komunitas mereka hingga eksebisi
yang telah mereka lakukan. Para komunitas
berkesempatan melakukan pendekatan
secara langsung dengan komunitas lain,
guna mempererat hubungan silaturahmi.
Temu komunitas yang diikuti oleh Kreatifitas dalam film tidak selalu
sekitar 50 perwakilan komunitas seluruh melulu soal artistik visual, suara atau hal-hal
Indonesia ini tak hanya membahas tentang yang berkaitan dengan teknologi, tetapi film
6 Melongok Aktivitas Film Maker Pertama di Purbalingga, Mengenalkan Film Pendek Berbahasa ‘Ngapak-
Ngapak’, Koran Radar Banyumas, 19 Juli 2004. Disebutkan bahwa maksud dari penggunaan setting lokal adalah
mendorong tumbuhnya kreativitas film maker.
136 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016
penghargaan dari International Film imajinasi kreatif; akan tetapi, kita tidak akan
Festival Rotterdam pada tahun 2015. pernah memperoleh konsep yang cukup
dalam gagasan seperti ini, untuk itu gagasan
Kreatifitas dalam penciptaan film formal sebagai pasangannya menjadi sangat
Pendekar kesepian dijelaskan oleh sang penting dalam menemani gagasan estetik,
sutradara7, bahwa terinspirasi dan meskipun di sini kita tidak akan pernah
terdorong setelah mempelajari prinsip- mendapatkan intuisi yang memadai.
prinsip penciptaan seni. Film baginya tidak Selanjutnya, pada tatanan meditatif
melulu bagian dari ilmu komunikasi, namun gagasan-gagasan tersebut diterjemahkan ke
didalam film ada tercermin persoalan dalam bentuk kegiatan berekspresi; dan
komunikasi. Penciptaan adalah bagian yang dalam tatanan media fotografi, kegiatan
sangat pribadi karena berisikan soal-soal berekspresi tersebut dapat diwujudkan
artistik yang individual. Hal ini terlihat menjadi bentuk ekspresi estetik fotografis
agaknya sejalan dengan teori proses melalui poros-poros intuisi yang digunakan
penciptaan yang dikemukakan oleh Wallas untuk mengungkapkan kembali nilai-nilai
seperti disitasi Damajanti (2006) bahwa hakiki dari emosi naluriah secara sadar.
penciptaan melibatkan empat tahapan
berurutan: a) Preperation, ialah tahap Pada saat melakukan wawancara
pengumpulan informasi atau data untuk secara terpisah8 terhadap Nurul Idey, Bowo
memecahkan suatu masalah dengan bekal Laksono, Ismail Basbeth, dengan topik
bahan pengetahuan maupun pengalaman. persoalan pemilihan tematik didapat
b) Incubation, tahap ketika individu seakan- kesamaan pendapat, bahwa tema sangat
akan melepaskan diri untuk sementara dari menentukan dalam sebuah produksi film
masalah tersebut, dalam arti bahwa ia tidak karena dari sinilah kreativitas bermulai.
memikirkan masalahnya secara sadar Sebelum menentukan tema periksa kembali
namun mengeraminya dalam alam tak apa yang akan disikapi dari subjek, lakukan
sadar. c) Illumination, ialah tahap timbulnya kajian material dan lakukan analisa
inspirasi/insight atau gagasan baru. d) kemampuan pengetahuan yang dimiliki
Verification, disebut juga tahap evaluasi, tentang tematik apa saja yang kemungkinan
ialah tahap ketika ide atau kreasi baru harus diminati audience. Hal ini dilakukan sebab
diuji realitas. tema yang telah ditentukan nantinya akan
beresonansi antara produksi dan audience.
Menurut Bohm (2004, pp. 52-61, 104- Tema memungkinkan kita untuk
108) dalam bukunya On Creativity supaya memusatkan perhatian pada aspek tertentu
kegiatan berkarya cipta tetap berada pada dari subjek dan termasuk yang lainnya.
jalur inspirasi artistik yang layak olah, ada Sedapat mungkin tema harus ditentukan
dua sisi gagasan yang mutlak dibutuhkan, sebelum proses produksi dimulai dan
yaitu: (1) gagasan estetik; dan (2) gagasan menggunakan tema terpilih itu untuk
nalar atau gagasan formal. Gagasan estetik menentukan treatment dari subjek sehingga
adalah suatu bentuk intuisi dari perilaku waktu produksi dan semua resources dapat
7 Wawancara Yusron Fuadi (35tahun) pada tanggal 12 April 2016 di Yogyakarta. Yusron Fuadi adalah lulusan
sosial/email. Nurul Idey adalah aktivis Komunitas Ruang Film Bandung, Bowo Laksono adalah Pelopor berdirinya
beberapa Komunitas Film di Purbalingga dan Ismail Basbeth adalah Sutradara muda yang banyak memproduksi
film idenpenden.
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 137
efektif digunakan. Memeriksa kembali apa Seseorang bisa disebut kreatif jika ia
yang akan disikapi dari subjek terpilih dan memiliki kecerdasan dan siasat untuk
kajian material dalam produksi film menciptakan karya seni hasil buah
dokumenter bisa juga dipermudah dengan pikirannya. Banyak sekali definisi yang
mengadakan survey awal, sehingga semua dikemukakan para ahli, karena kreatifitas
yang berkaitan dengan subjek dapat terinci merupakan satu peristilahan yang
dengan baik. Terkadang untuk tampaknya akan menimbulkan berbagai
mempertegas juga diadakan studi pandangan dan mengandung berbagai
kepustakaan tentang subjek dan melakukan pengertian. Perbedaan-perbedaan ini
kajian terhadap karya terdahulu yang dikarenakan dipengaruhi oleh sosio cultural
memiliki kedekatan atau kemiripan dengan kreatornya karena seni merupakan bagian
subjek. Treatment nantinya akan tersusun ekspresi budaya.
atas pertimbangan tema yang terpilih.
Selain itu perlu diingat bahwa
Teknik yang akan digunakan, shoot pertimbangan keputusan akan
yang akan diambil, angle dan framing yang diterapkannya suatu alat pada suatu
dipilih, focal length lensa yang akan perencanaan pembuatan film sangat
digunakan, ritme suara, juxtaposition yang tergantung dengan kemampuan artistik
akan diedit, sound track yang digunakan (sense of art) dari si pembuat. Kemampuan
kesemuanya akan berangkat dari tema yang artisitik seseorang sangat tergantung
akan terjabarkan dalam treatment. dengan banyaknya pengalaman estetik dan
Kesemuanya ini dapat disebut sebagai kemampuan kreatifitas secara intuitif. Oleh
interpretasi dari subjek melalui teknik karena itu akan lebih baik jika seorang
perwujudan yang terpilih untuk menjawab pembuat film juga memahami metode
tujuan yang telah ditetapkan dalam bentuk penciptaan seni secara umum.
presentasi. Didalam seni lukis semisalnya,
teknik mencampur warna, membuat tekstur Metode penciptaan film secara umum
pada kanvas dengan menggunakan kuas dan terbagi atas tiga bagian: a) Pra produksi,
pisau palet adalah hal yang tidak bisa pada tahap ini naskah dan skenario akan
terlepas dengan interpretasi subjek yang disusun. Setidaknya jika film yang akan
dipilih oleh senimannya. dibuat adalah film fiksi si pembuat harus
melakukan penyusunan dengan
Semua alat untuk mempresentasikan pertimbangan penguasaan bahasa
dalam media apapun dapat disebut sebagai film/tutur filmnis, konstruksi dramatik,
alat interpretasi (tools of interpretation). gagasan cerita, penyampaian informasi,
Teknik dalam film adalah alat yang pemilihan karakter pelaku, tatacara
digunakan untuk membuat interpretasi dari penulisan skenario (Biran:2010),
subjek. Teknik adalah jalan untuk membuat sedangkan dalam produksi film dokumenter
content dari presentasi menjadi bermakna. pada tahapan ini ditambah dengan lebih
Dengan kata lain hal yang menarik dan banyak melakukan riset, membuat
penting dari subjek bisa menyebabkan treatment maupun skenario sebagai naskah
kebosanan dan tak bernilai, jika seorang produksi. Dalam beberapa teori penciptaan
director tidak memahami bagaimana film, pada proses pra production bertujuan
mempresentasikannya. Teknik melayani akhir menyusun sinopsis (ringkasan cerita),
tema agar menjadi satu dengan content. storyboard (perangkat gambar cerita),
138 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016
script (naskah program) dan skenario semua film yang diproduksi komunitas
(Sadiman:1990,Asnawir:2002& mempunyai pola tatacara tutur bercerita
Douglass:1996). b) Produksi, Memulai yang diambil atau terpengarh dengan
shooting pengambilan gambar dengan budaya setempat. Mengetahui hal ini jelas
mengikuti naskah produksi atau skenario. kiranya bahwa jika bisa terbina dengan baik
Pada pembuatan film dokumenter tahapan maka akan banyak lahir genre film yang
ini terkadang mendapat hal yang tidak banyak dikarenakan pola bercerita yang
terduga karena situasi di lapangan. c) Pasca tidak sama.
Produksi, pada tahapan ini proses editing
dilakukan hingga film tersusun sebagai Butuh adanya kesabaran dan
karya jadi. mengetahui ilmu yang lain (inter keilmuan)
dalam menelaah komunitas film. Komunitas
Ketiga tahapan proses seperti yang film adalah kelompok-kelompok penggiat
diterangkan secara singkat diatas tentunya film, khususnya kelompok penggiat film di
mempunyai persyaratan-persyaratan luar jalur industri, sedangkan yang berada
kemampuan orang yang ditunjuk dalam di jalur industri lebih dikenal berada dalam
pengerjaannya. Setidaknya semua yang wadah yang disebut organisasi, asosiasi,
terlibat selain mempunyai pengetahuan atau perusahaan. Bertumbuhnya
sinematografi juga harus mempunyai komunitas-komunitas film bisa dikatakan
wawasan setidaknya pengetahuan lain yang dikarenakan perubahan pandangan
mendukung. Penelitian dalam konteks masyarakat yang dikarenakan semakin
penciptaan film dilakukan paling banyak majunya teknologi dan mudahnya sistem
pada tahapan pra produksi terlebih pada informasi. Dengan kata lain ada perubahan
pembuatan film dokumenter. Pada budaya yang terkait dengan
pembuatan film dokumenter, proses analisa berkembangnya media.
atas wawancara, pemilahan data, bisa saja
terjadi di tahapan produksi maupun post Pada penelitian awal yang telah penulis
produksi. (Ayawaila: 2008, lakukan ditemukan bahwa hampir seluruh
Fachruddin:2012) komunitas film di Indonesia tidak
menggantungkan diri mereka pada
V. KESIMPULAN pendanaan dari lembaga funding, terlebih
alokasi anggaran dari pemerintah. Para
Komunitas Film merupakan ujung anggota komunitas film hampir seluruhnya
terdepan pertumbuhan budaya media di merasa sulit untuk berharap mendapat
masyarakat. Pernyataan ini beralasan dukungan dari pemerintah, mengingat pada
karena jumlah komunitas dan anggota level film nasional (industri) pun masih
sangat banyak. Komunitas Film juga dapat dilirik setengah mata oleh para petinggi dan
dikatakan sebagai bagian Industri Media pengelola negara tersebut.
(namun kecil/minor/indie) dan sangat
berbeda dengan industri film besar Komunitas film banyak menghasilkan
(perusahaan besar). Komunitas film film-film pendek dan berbeda sama sekali
mempunyai tata cara, aturan, pola sosial dengan yang dihasilkan oleh perusahaan
hingga produksi yang berbeda terlebih bila media Televisi (walaupun sama-sama film
dibandingkan denga teori penciptaan film. pendek) ataupun sangat berbeda dengan
Hal yang menarik lainnya ialah hampir film cerita komersial yang dibuat
Syamsul Barry, Fenomena Komunitas Film 139
DAFTAR PUSTAKA
[1] Asnawir dan Basyirudin Usman. (2002). Media Pembelajaran, Jakarta: Cpress.
[2] Ayawaila, Gerzon R. (2008). Dokumenter: Dari Ide sampai Produksi. Jakarta: FFTV IKJ.
[3] Azwar, Saefuddin. (2009). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[4] Biran, Misbach Yusa. (2010). Teknik Menulis Skenario Film Cerita. Jakarta: FFTV IKJ.
[5] Bohm, David. (1996). On Creativity. Lee Nichol (ed.) London dan New York: Routledge.
[6] Damajanti, Irma. (2006). Psikologi Seni. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
[7] Douglass, John S dan Gleen P. Harnden, The Art of Technique, an aesthetic Aproach to Film
and Video.
[8] Downing, John. (2001). Radical Media: Rebellious Communication and Social Movement.
Thousand Oaks California: Sage Publication
[9] Fachrudin, Andi. (2012). Dasar-Dasar Produksi Televisi: Produksi Berita, Feature, Laporan
Investigasi, Dokumenter, dan Teknik Editing. Jakarta: Kencana.
[10] Ibrahim, Idi Subandy dan Bachruddin Ali Akhmad. (2014). Komunikasi dan Komodifikasi
Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Pustaka Obor.
[11] Ida, Rachmah. (2014). Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada
Media Group.
[12] Krinich, Nancy. (2000). A Question of Balance The Role of Libraries in Poviding
Alternatives to the Mainstream Media. Collection Building 19.3
[13] Prakoso, Gotot. (2008). Film Pinggiran; Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan
Film Dokumenter. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia.
[14] Sadiman, Arif S. (1990). Media pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
[15] Storey, J. (2012). Culture Theory and Popular Culture: an Introduction, 6th ed. New York:
Pearson Education Limited.
[16] Supriadi, Dedi. (1994). Kreatifitas Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung:
Alfabeta.
[17] Thomas Elsaesser & Warren Buckland. (2002). Studying Contemporary American Film,
London: arnoldpublishers.
[18] Williams, R “Mean of Communication as Means of Production,” dalam Problems in
Materialism and Culture: Selected Essays (London: Verso, 1980).
140 Jurnal KalaTanda, Vol.1 No.2, Desember 2016
Jurnal:
Prasetyaningsih, Sandi (2014) yang berjudul “Skema Proses Pra Produksi pada Film
Dokumenter Camp Vietnam” Jurnal INTEGRASI, 2014, Vol 6/1
Arifianto, Budi Dwi dan Fajar Junaedi (2014) berjudul “Distribusi dan Eksibisi Film
Alternatif di Yogyakarta”, Jurnal ASPIKOM, 2014 Vol.2/2
Webtografi:
www.lfm.itb.ac.id