You are on page 1of 25

MAKALAH

INTEGRITAS IMAN, ISLAM DAN IHSAN DALAM


MEMBENTUK INSAN KAMIL
Sebagai Tugas dalam Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Dr. Nurhasanah. M.Pd

Disusun Oleh:

1. Afika : F1221231019
2. Fatur Rahman : F1221231020
3. Mitra : F1221231010
4. Tia Ocvianti : F1221231026

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWRAGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2023
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadiran allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Integritas Iman, Islam dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil” ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari Bapak Dr.Nurhasanah,M.Pd pada bidang studi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan dalam Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Integritas Iman,
Islam dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Nurhasanah,M.Pd,


selaku dosen pada bidang studi Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan dalam
mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 15 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1


B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................. 3
D. Manfaat Penulisan........................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 5

A. Definisi Iman, ihsan, islam dan insan kamil................................... 5


B. Iman, ihsan, dan islam menjadi persyaratan dalam membentuk insan
kamil............................................................................................... 6
C. Sumber teologis, histori, dan filosofi tentang iman, ihsan, dan islam
sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil............. 7
D. Karakteristik insdan kamil dan metode pencapainnya.................... 8

BAB III PENUTUP......................................................................................... 9

A. Kessimpulan.................................................................................... 10
B. Saran............................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Iman, Islam dan Ihsan


adalah satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan
satu dengan lainnya.
Iman adalah keyakinan
yang menjadi dasar
akidah.
Keyakinan tersebut
kemudian diwujudkan
melalui pelaksanaan
kelima rukun
Islam. Sedangkan
pelaksanaan rukun Islam
dilakukan dengan cara
Ihsan,
sebagai upaya pendekatan
diri kepada Allah SWT dan
menjadi seorang insan
kamil. Namun, hingga saat
ini masih banyak umat
Islam yang belum benar-
benar paham mengenai
pengertian iman, Islam,
ihsan, dan insan kamil.
Selain
itu, di era sekarang,
banyak hal yang
membuat keimanan para
umat Islam
menjadi berkurang serta
berimbas pada Islam dan
ihsan sehingga sulit
menjadi
seorang insan kamil.
Iman, Islam dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah.
Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun
Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai
upaya pendekatan diri kepada Allah SWT dan menjadi seorang insan kamil.
Namun, hingga saat ini masih banyak umat Islam yang belum benar- benar paham
mengenai pengertian iman, Islam, ihsan, dan insan kamil. Selain itu. di era
sekarang, banyak hal yang membuat keimanan para umat Islam menjadi
berkurang serta berimbas pada Islam dan ihsan sehingga sulit menjadi seorang
insan kamil. Oleh karena itu, untuk membantu umat Islam menjadi umat yang
lebih baik dan bisa menjadi seorang insan kamil perlu memahami secara
mendalam mengenai pengertian mengenai iman. Islam, dan ihsan.
Dalam kehidupan seringkali ditemukan adanya ketidaknyamanan dalam
menjalani hidup, seperti kemiskinan, kelaparan dan lain-lain. Bukan hanya itu,
bahkan orang lain juga sering kali membiarkan keburukan terjadi layaknya hal
yang biasa dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan bahwa manusia gagal
dalam memahami hakekatnya sebagai manusia. Hal tersebut jelas menunjukkan
bahwa manusia sudah mulai kehilangan sifat kemanusiaan dalam dirinya. Sudah
seharusnya jika manusia hidup sebagai manusia yang sesungguhnya, seperti
tolong menolong, gotong royong, menghilangkan rasa tamak, iri, dengki, dan
sombong terhadap orang lain guna menciptakan kehidupan yang lebih baik. Maka
untuk memahami hakekat manusia, manusia itu sendiri harus mengenal arti Insan
Kamil.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan pada latar belakang, maka rumusan masalah dapat di


rincikan sebagai berikut:

1. Apakah definisi dari iman, ihsan, islam, dan insan kamil?


2. Mengapa iman, ihsan, dan islam menjadi persyaratan dalam membentuk insan
kamil?
3. Apa sumber teologis, histori, dan filosofi tentang iman, ihsan, dan islam
sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil?
4. Bagaimana membangun argument tentang karakteristik insdan kamil dan
metode pencapainnya?

C.Tujuan Penulisan

Berdasarkan paparan pada latar belakang, maka tujuan masalah dapat di rincikan
sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui definisi dari iman, islam, dan ihsan kamil!


2. Untuk mengetahui iman, ihsan, dan islam menjadi persyaratan dalam
membentuk insan kamil
3. Untuk mengetahui sumber teologis, histori, dan filosofi tentang iman, ihsan,
dan islam sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil
4. Untuk mengetahui membangun argument tentang karakteristik insdan kamil
dan metode pencapainnya

BAB II
PEMBAHASAN PERMASALAHAN

A. Definisi Iman, islam, ihsan dan insan kamil

1. Iman
Iman (Bahasa Arab) secara etimologis berarti 'Percaya".
Perkataan Iman diambil dari kata kerja aamana, Yukminu" (34) yang
berarti Percaya atau Membenarkan. Perkataan Iman yang berarti
'Membenarkan' itu disebutkan dalam Al- Qur'an, di antaranya dalam
Surah At-Taubah ayat 62 yang artinya: "Mereka bersumpah kepadamu
dengan (nama) Allah untuk menyenangkan kamu padahal Allah dan
Rasul-Nya lebih pantas mereka cari keridaan-Nya jika mereka orang
mukmin. Menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan
dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan
(perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah
membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan
segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan
itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan
secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang
beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas.
Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah,
tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal
perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin
yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan Beriman kepada Allah
adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah
memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya.
sebagaimana firman Allah yang artinya: "Wahai orang-orang yang
beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad)
dan kepada Kitab (Al Qur'an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta
kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, Rasul- rasulNya, dan hari
kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh." (QS. An
Nisa: 136) Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar
kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang
yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh
karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan
manusia. Dalam Islam dikenal beberapa tigkatan seseorang dalam
keyakinan beragama, diantaranya adalah:
a) Muslim: orang mengaku islam, kadar keimanannya termasuk
yang terendah, sebatas pengakuan Allah sebagai tuhan yang
esa, belum ada bedanya dengan iblis yang juga meyakini bahwa
Allah adalah maha esa.
b) Mu'min: orang beriman, yang mengkaji syariat Islam sehingga
meningkat wawasan keislamannya.
c) Muhsin: orang yang memperbaiki segala perbuatannya agar
menjadi lebih baik.
d) Mukhlis: orang yang ikhlas dalam beribadah, hidupnya hanya
untuk mengabdikan kepada Allah
e) Muttaqin: orang yang bertakwa, tingkatan ini adalah yang
tertinggi diantara tingkatan lainnya.
2. Islam
Islam (Arab: al-islam.): "berserah diri kepada Tuhan") adalah
agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu
seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam
arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada
Tuhan(Arab: Allah). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan
Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan" atau lebih
lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi
perempuan Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya
kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya. dan meyakini
dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul
terakhir yang diutus ke dunia olch Allah. Islam adalah agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul
terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir
zaman. Pengertian Islam secara harfiyah artinya damai, selamat,
tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin).
L (lam), M (mim) yang bermakna dasar "selamat" (Salama)
Pengertian Islam Menurut Bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang
berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk
mashdar(infinitih) dari kata aslama ini. Poin-poin yang didasari oleh
ayat-ayat Al-Qura’an, sebagai berikut:
a. Islam sebagai wahyu Ilahi
Mengenai hal ini, Allah berfirman QS. 53: 3-4:
"Dan tiadalah yang diucapkannya ini (Al Qur'an) menurut kemauan
hawa nafsunya Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)."
b. Diturunkan kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah SAW)
Membenarkan hal ini, firman Allah SWT (QS. 3:84)
"Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq. Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada
Musa Isa dan para nahi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-
bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami
menyerahkan diri."
c. Sebagai pedoman hidup

Allah berfirman (QS. 45:20): "Al Qur'an ini adalah pedoman bagi
manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini."

d. Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Qur'an dan sunnah


Rasulullah SAW
Allah berfirman (QS. 5:49-50)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin?"
e. Membimbing manusia ke jalan yang lurus.
Allah berfirman (QS. 6:153)
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus.
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain). karena jalan-jalan itu mencerai-heraikan kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.
Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Allah berfirman (QS. 16:97)
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan"

3. Ihsan
Ihsan (Arab: ; "kesempurnaan" atau "terbaik") adalah seseorang
yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak
mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut
membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.
Ihsan adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang
manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak
mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada hamba-hamba
Allah dengan harta. ilmu, kedudukan dan badannya. Ihsan itu ialah
bahwa "kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya,tetapi
jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu."
Ihsan juga adalah melakukan ibadah dengan khusyuk ikhlas dan yakin
bahwa Allah senantiasa mengawasi apa yang dilakukannya. Hadist
riwayat muslim"dari Umar bin Khatab ia berkata bahwa mengabdikan
diri kepada Allah hendaklah dengan perasaan seolah-olah anga
melihat-Nya,maka hendaklah anda merasa bahwa Allah melihatmu."
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah
ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok
bahasan dalam ihsan.
a. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan
menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan
sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan
syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan
mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika
saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita
rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran
penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa
bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal
seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa
memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan
ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga
hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah
maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi:
"Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu"
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu
sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita
sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis
ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin,
mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap
yangmubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak
lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya
senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika
ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
b. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada
surah An-Nisan ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut,
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-
Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu bapak. karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu."
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah
beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-
Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat
kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa
saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka
yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
a. Ihsan kepada kedua orang tua
b. Ihsan kepada karib kerabat
c. Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
d. Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman
sejawat
e. Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya
I. Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada
manusia
g. Ihsan dalam hal muamalah
h. Ihsan dengan berlaku baik kepada Binatang
c. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari
ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan
dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti
yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah
dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-
Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal
ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya
itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhimya, ia akan
berbuah menjadi akhlak atau perilaku. sehingga mereka yang
sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas
dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang
diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya maka kita akan
menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia. lingkungannya.
pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya
sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw.
mengatakan dalam sebuah hadits, "Aku diutus hanyalah demi
menyempurnakan akhlak yang mulia."
Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan
bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal
Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di
dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus
amalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan
melaksanakan amalannya sesuai dengan sunnah Nabishalallahu 'alaihi wa
sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus ditunaikan oleh setiap
muslim. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam
beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu:
a) Tingkatan muraqabah
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan
diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan
sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam k kamu tidak melihat-Nya
maka sesungguhnya Dia melihatmu). Tingkatan murogobah yaitu
apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah.
dia yakin bahwa Allah melihatnya. Apabila seseorang mengerjakan
shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu
dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah
firmankan dalam surat Yunus: "Kamu tidak berada dalam suatu
keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu
tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi
atasmu di waktu kamu melakukannya" (Yunus: 61).
b) Tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu
seseorang senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan
mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah
realisasi dari sabda Nabi (Kamu menyembah Allah seakan-akan
kamu melihat-Nya) Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada
Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan, bahwa yang
dimaksudkan di sini bukanlah melihat Zat Allah, namun melihat
sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi.
Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat
Zat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah
memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan
pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba
sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat
Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi
dalam derajat ihsan. (Lihat Syarh Arba in An-Nawawiyah li Syaikh
Shalih Alu Syaikh 32-33).
4. Insan Kamil
Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang
berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa
dimensi. Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur'an dan Hadist Nabi
Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah
populernya di dalam Q.S. al-Ahdzab/33:21: "Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahman) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah"
Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-
kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat
diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer Allah SWT tidak
membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut
semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita,
Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW
merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun
sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia
adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq
yang mulia. Allah SWT berfirman: "Dan sesungguhnya engkau
(Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia." (QS. Al-
Qolum:4)
"Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang
baik bagi kalian, yaitu orang-orangmengharapkan (keridhoan) Allah
dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah." (QS.
Al- Ahzab:21)"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah, dan kitah yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu. pula) Allah mengeluarkan orang-
orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang
dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus."
(Al Maidah 15-16).
Untuk mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada
berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama yang keilmuannya
sudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat
kaum Mu'tazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfunsi
secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik
seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan
merasa wajib melakukan hal semua itu walaupun tidak
diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya
sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan
manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan
kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali
perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah
terkandung pada esensi perbuatan tersebut.
b. Berfungsi Intuisinya
Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya
intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn
Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika
yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya,
maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan
mendekati kesempurnaan.
c. Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang
terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna
adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi
rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia
adalah makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki
oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu,
manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga
menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh
makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan
peradaban. Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan
serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja,
melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut
sekarang ini dikenal dengan revolusi.
d. Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan
Manusia merupakan makhluk yang mempunyai naluri
ketuhanan (fitrah). In cenderung kepada hal-hal yang berasal
dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia
menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah
yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia
yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai
kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia
yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki
daya kehendak yang bebas.
e. Berakhlak Mulia
Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia,
Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari'ati yang mengatakan
bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni
aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia
memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai
dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang
ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang
brilyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan Kamil
dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban
yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu
yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan,
kebodohan, dan kelemahan.
f. Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini
tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia
terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen,
immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari
perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan,
kebanyakan dari merekan lupa akan immortalitas yang hakiki
tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling
mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan
mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya
keseimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada
kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan
semakin rusak. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang
perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang
antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau
ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang
dibarengi dengan pengamalan syari'at Islam, terutama ibadah,
zikir, tafakkur, muhasabbag dan seterusnya.

B. Iman, islam, dan ihsan menjadi persyaratan dalam membentuk insan


kamil

Apakah anda percaya akan adanya Allah? Mereka semua memberikan


jawaban yang sama kami percaya akan adanya Allah, kami percaya akan adanya
malaikat-malaikatnya dan seterusnya. Kemudian jika ditanya lebih lanjut adakah
manusia yang tidak percaya akan adannya malaikat, dan adakah manusia yang
tidak percaya adanya tuhan, dan serterusnya. Hampir semua mahasiswa menjawab
tidak ada seorang manusiapun yang tidak percaya akan adanya Tuhan, tidak ada
seorang manusiapun yang tidak percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya.
Semua manusia percaya adanya Tuhan, dan seterusnya.

C. Menggali Sumber Teologis, Historis dan Filosofis Tentang Iman Islam dan
Ihsan Sebagai Pilar Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil
1. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman, Islam, dan
Ihsan sebagai Pilar Agama Islam

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar Bin Khatab ra diatas kaum


muslimin menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama islam yakni, iman,
islam, dam ihsan sebagai kesatuan yang utuh. Akidah merupakan cabang ilmu
agama untuk memahami pilar islam dan akhlak merupakan cabang ilmu agama
untuk memahami pilar ihsan.

2. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Konsep Insan Kamil

Istilah Insan Kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh


syekh Ibn Araby (abad ke 14). la menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan
kamil dan monster setengah manusia. Jadi, kata Ibn Araby, jika tidak menjadi
insan kamil, maka manusia menjadi monster setengah manusia. Insan kamil
adalah manusia yang telah menanggalkan kemonsteranya. Konsekuensinya, diluar
kedua jenis manusia ini da manusia yang sedang berproses menanggalkan
kemonsterannya dalam membentuk insan kamil.

a. Konsep Manusia dalam Al-Quran


Secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar
dalam dua dimensi, yakni dimensi jasmani dan rohani, atau dimensi lahir
dan batin.
b. Unsur-unsur Manusia Pembentuk Insan Kamil
Secara ringkas, Al Ghazali ( dalam othman, 1987: 31-33)
menyebut beberapa instrumen untuk mencari pengetahuan yang benar
serta kapasitas untuk mencapainya. Pertama, panca indra. Panca indra
memiliki keterbatasan dan tidak bisa mencapai pengetahuan yanng benar,
setelah dinilai oleh akal. Kedua, akal. Dengan metode ini, dengan cara
yang sama. seharusnya orangpun menuilai tingkat kebenaran akal. Orang
seharusnya menggunakan cara yang sama dengan cara yang digunakan
oleh akal ketika kekeliruan panca indra. Nur ilahi. Ketika Al Ghazali
sembuh dari sakitnya ia menuturkan, kesembuhannya dari sakit karena
adanya nur ilahi yang menembus dirinya. Kemudian Al-Ghazali
mengungkapkan pandangannya tentang nur ilahi sebagai berikut. Kapan
saja Allah menghendaki untuk memimpin seseorang. maka jadilah
demikian. Dialah yang melapangkan dada orang itu untuk berislam. (QS:
Al- An am/ 6:125.)

D. Membangun Argumen tentang Karakteristik Insan Kamil dan Metode


Pencapaiannya

1. Karakteristik insan kamil

Insan kamil bukanlah manusia pada umumnya. Menurut ibnu araby


meyebutkan adanya dua jenis manusia yaitu insan kamil dan monster bertubuh
manusia. Maksudnya jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia akan menjadi
monster bertubuh manusia. Untuk itu kita perlu mengenali tempat unsur untuk
mencapai derajat insan kamil, diantaranya:

a. Jasad
b. Hati Nurani
c. Roh
d. Sirr(rasa)

Untuk mencapai derajat insan kamil kita harus dapat menundukkan nafsu
dan syahwat hingga mencapai tangga nafsu muthama'inah. Hal ini dapat dilihat
pada QS Al Fajr/89:27-30. Yang artinya: "hai jiwa yang tenang kembalilah kepada
tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoinya. Maka masuklah kedalam jamaah
hamba-hambaku, masuklah kedalam surgaku."

Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa nafsu muthma inah


merupakan titik berangkat untuk kembali kepada tuhan. Akan tetapi, dengan
modal nafsu muthama'inah pun masih di perintah lagi oleh allah untuk menaiki
tangga nafsu diatasnya. Menurut imam ghazali ada 7 macam nafsu sebagai proses
taraqqi (menaik) yaitu:
a. Nafsu ammarah
b. Nafsu lawwamah
c. Nafsu mulhimah
d. Nafsu muthma’inah
e. Nafsu radhiyah
f. Nafsu mardiyyah
g. Nafsu Kamilah

2. Metode mencapai insan kamil

a. Memulai sholat tuhan yang akan disembah itu sudah dapat dihadirkan
dalam hati, sehingga ia menyembah tuhan yang benar-benar tuhan
b. Berniat sholat karna Allah
c. Selalu menjalankan sholat dan keadaan hatinya mengingat Allah
d. Sholat yang telah didirikannya itu dapat mencegah perbuatan keji dan
mungkar

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk menapaki jalan insan kamil terlebih dahulu kita perlu mengingat
kembali tentang 4 unsur manusia yaitu jasad atau raga, hati, roh dan rasa.
Keempat unsur manusia ini harus di fungsikan untuk menjalankan kehendak allah.
Hati nurani harus dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat tuhan. Jika
sudah secara benar menjalankan 4 unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan,
meningkatkan peribadatan, dan membaguskan perbuatan, sekaligus
menghilangkan karakter-karakter yang buruk.

B. Saran

Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami
akan lebih focus dan detail dalam menjelaskan dalam makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran berisi kritik atau saran kepada kami dapat bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian
akhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya
jelaskan tentang daftar pustaka makalah.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Iman

https://islamagamaku.wordpress.com/2009/07/25/pengertian-iman/
https://id.wikipedia.org/wiki/Islam

https://id.wikipedia.org/wiki/Ihsan

https://muslim.or.id/4101-merah-derajat-ihsan.html

https://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/

http://rizkiaralumayanti16.blogspot.co.id/2015/02/mengintegrasikan-iman-islam-
dan-ihsan.html

You might also like