You are on page 1of 12

Eksistensi Burdah pada Era 4.

0 di Pondok Pesantren
Assalafi Al Fithrah Meteseh Semarang
Jamilatul Fahmiyah., Allif Hamdan., Rois Hidayah Darojat., Muhammad ‘Athaillah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Abstrak
Salah satu cara dalam mengeskpresikan rasa cinta kepada Rasulullah SAW adalah melalui
lantunan-lantunan syair yang indah dan menyejukkan. Salah satu syair yang masyhur di
kalangan masyarakat Indonesia adalah Qasidah Burdah. Qasidah Burdah merupakan karya
sastra yang berisi kisah Rasulullah SAW yang ditulis oleh penyair terkenal dari Mesir yaitu
Imam Al-Bushiri. Qasidah burdah yang syarat akan makna dan bisa digunakan sebagai obat
diri menjadikan burdah semakin eksis di masyarakat, salah satunya di pondok pesantren.
Artikel ini menjelaskan eksistensi burdah pada masa 4.0 di pondok pesantren sebagai bentuk
perkembangan dalam sastra Arab. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Penelitian ini terdiri dari dua sumber, yaitu primer dan sekunder. Hasil
dari penelitian ini mengungkapkan bahwa eksistensi burdah pada masa Imam Al-Bushiri
masih berkembang pada era 4.0. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Indonesia
seperti pondok pesantren yang menjadikan burdah sebagai kegiatan rutinan. Qasidah burdah
mengalami perkembangan pada cara pengekspresian lantunan setiap bait syairnya yang
bervariatif, seperti ciri khas nada syair dan iringan syair dengan menggunakan alat musik.
Kata kunci: Eksistensi, Burdah, Era 4.0, Pondok Pesantren

1
PENDAHULUAN
Sastra merupakan seni ungkapan pikiran dengan balutan kalimat yang indah
sebagai bentuk pesan akan kebenaran hidup seseorang. Salah satu bentuk karya sastra
indah adalah syair. Syair menurut Steadmon adalah suatu kalimat yang fasih,
berirama, bersajak, dan biasanya melukiskan tentang khayalan atau imajinasi yang
indah (Hamid: 1995, 12). Jazirah Arab merupakan salah satu semenanjung yang
terkenal dengan karya syairnya yang luar biasa. Dengan kemahiran masyarakatnya
dalam bidang bahasa dan sastra, menghasilkan para ahli kesusastraan Arab dan
penyair yang masyhur di dunia. Salah satu penyair Arab yang terkenal adalah I mam
Syarafuddin bin Abdullah Muhammad bin Shalah bin Minhaj Al-Bushiri. Ia
merupakan penyair terbaik dunia yang dikenal dengan nama al-Bushiri dan
karangannya yaitu Burdah (selimut).
Burdah merupakan bentuk syair yang muncul pada masa kesultanan/dinasti
Mamluk pada tahun 1250 sampai dengan tahun 1517 M yang didirikan oleh para
budak. Syair burdah dikarang pada masa transisi kekuasaan dari Dinasti Ayyubiyah
ke Dinasti Mamluk. Imam Busyiri yang pada masa itu mengalami sakit selama
bertahun-tahun, bermunajat kepada kepada Allah SWT dengan cara melantukan syair
yang berisi pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Melalui syair
burdah dengan memohon syafa’at Nabi Muhammad SAW dan ridho Allah SWT
Imam Busyiri sembuh dari penyakitnya. Setelah kejadian tersebut Imam Busyiri
menjadikan burdah sebagai bentuk obat diri, baik lahir maupun batin. Seiring
berjalannya waktu ia mengenalkan syair burdah kepada masyarakat pada masa dinasti
Mamluk dan menyebar hingga ke seluruh jazirah Arab.
Perkembangan sastra Arab di luar jazirah Arab yang semakin pesat, membuat
burdah semakin dikenal di kalangan umat muslim di dunia, salah satunya di negara
Indonesia. Masyarakat Indonesia sering menyebutnya dengan qasidah burdah.
Sejalan dengan perkembangan musik di Indonesia, para masyarakat membalut
qasidah burdah dengan iringan rebana, bahkan alat musik modern. Hal ini selaras
dengan ungkapan Hary Murcahyanto, dkk (2012: 65) yang mengatakan bahwa
perkembangan alat musik rebana digunakan sebagai iringan sambil melantunkan
syair-syair serta pujian-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Qasidah burdah salah
satu syair yang dilantunkan dengan berkelompok seperti pada paduan suara sehingga
terdengar sangat indah dan diiringi alat musik rebana.

2
Pada era 4.0 perkembangan qasidah burdah tidak hanya pada iringan
musiknya saja yang bervariatif, tetapi juga pada nada syair yang digunakan untuk
melantunkan qasidah burdah, sehingga menjadikan qasidah burdah semakin indah di
dengarkan di telinga. Pondok pesantren merupakan salah satu tempat yang mengikuti
perkembangan qasidah burdah. Banyak pondok pesantren di Indonesia yang
menjadikan qasidah burdah sebagai salah satu bentuk kegiatan rutinan. Salah satu
pondok pesantren yang masih melestarikan qasidah burdah adalah pondok pesantren
Assalafi Al Fithrah Meteseh Semarang.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mencoba mengeksplorasi
eksistensi qasidah burdah pada era 4.0 di pondok pesantren Assalafi Al Fithrah
Meteseh Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan kesusastraan
Arab bagi penulis dan pembaca serta diharapkan lebih banyak lagi kajian serupa
untuk mendorong perkembangan kesusastraan Arab di era modern.
A. Burdah
1. Biografi Penulis
Qasidah burdah ditulis oleh Imam al Bushiri, penyair terkenal dari Mesir. Ia
menulis burdah pada abad ke 13 Masehi tepatnya pada tahun 1260-1268 M yang pada
saat itu masa transisi perpindahan kekuasaan Dinasti Ayyubiyah ke Dinasti Mamluk.
Beliau seorang pribadi terkemuka, seorang yang alim lagi mengamalkan ilmunya,
seorang shaleh yang tenggelam dalam mencintai Allah dan Rasul-Nya. Namanya
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin abdillah bin Sonhaji al
Bushiry al-Mishry, asal keturunan dari Maghrib (Maroko) dari Qol’ah Hammad, dari
suku yang dikenal dengan Bani Habnun. Beliau dilahirkan di daerah Dalas pada hari
selasa tanggal 1 syawal 608 H. Ayah beliau berasal dari Mesir daerah Bushir, salah
satu desa Mesir atas (Mesir pedesaan) (Mashur: 2006).
Beliau wafat di Negeri Mesir tepatnya di kota Al Iskandariyah tahun 696 H
dalam umur 88 tahun dan dimakamkan dekat mesjid besar yang berhampiran dengan
makam guru beliau al arif billah waliyullah Sayyid Abul Abbas Al Mursi dan makam
beliau senantiasa diziarahi orang dan di dinding makam beliau ditulis qasidah burdah
dengan tulisan yang indah.
2. Sejarah Burdah
Awal mula Qasidah burdah yaitu ketika Imam Al-bushiri menderita sakit yang
cukup parah dan berkepanjangan. Pada saat masamasa sulit menjalani penyakit
lumpuh yang dideritanya, imam al bushiri menggubag qasiddah yang ditujukan
3
kepada Nabi Muhammad SAW dengan tujuan memohon syafa’at kepada Allah SWT
agar disembuhkan segala penyakit yang dideritanya selama ini. Hingga pada suatu
malam, usai melantunkan qasidah burdah yang dibuatnya, imam al bushiri tertidur,
dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan
memberikan Imam Al bushiri sebuah jubah (burdah) yang kemudian diletakkan pada
tubuh al bushiri yang sakit. Saat terbangun dari tidurnya, imam al bushiri merasakan
keajaiban yang tidak ia sangka-sangka, karena penyakit yang ia derita selama
bertahun-taun tiba-tiba sembuh sama sekali. Keajaiban yang dialami oleh Imam al
Bushiri tersebutlah yang menjadi alasan utama terhadap penamaan qashidah burdah
itu sendiri. Keajaiban yang dialami oleh imam al bushiri sendiri berkembang dari
zaman ke zaman hingga muncul kepercayaan bahwa qasida burdah memiliki kekuatan
supranatural (Nihayah: 2014).
3. Eksistensi Burdah pada Era 4.0
Berbicara terkait eksistensi tentunya tidak luput dari masalah sejarah. Pada
mulanya burdah merupakan bentuk ungkapan rasa cinta kepada Nabi Muhammad
SAW dan permohonan do’a kepada Allah SWT. Sejalan dengan perkembangan
zaman dan menyebarnya umat islam di seluruh penjuru dunia, qasidah burdah tetap
eksis dengan perlakuan yang ditunjukkan oleh masyarakat. Selain itu, beberapa orang
menjadikan qasidah burdah sebagai obat dengan cara bertawassul kepada Nabi
Muhammad SAW. Biasanya masyarakat melantunkan qasidah burdah pada acara
tertentu, seperti pada acara maulid nabi maupun isra’ mi’raj. Hal ini selaras dengan
penelitian Murcahyanto, Hary, dkk (2021) yang mengatakan bahwa musik Burdah
sering digelar dalam acara-acara seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj maupun hajatan
pada masyarakat misalnya sunatan dan pernikahan. Musik Burdah merupakan salah
satu kesenian yang sudah menjadi tradisi keagamaan masyarakat yang sangat positif
untuk dipertahankan dan dikembangkan.
Semakin banyaknya masyarakat yang ingin melestarikan qasidah burdah, di
beberapa tempat seperti di pedesaan, majlis shalawat, dan pondok pesantren
menjadikan pembacaan qasidah burdah sebagai kegiatan rutinan. Biasanya kegiatan
tersebut dilakukan sekali dalam seminggu. Dengan gaya dan latar belakang budaya
masyarakat, pelantunan qasidah burdah semakin bervariasi baik dari iringannya, nada
syairnya sehingga qasidah burdah terdengar lebih indah, bahkan seseorang dapat
merasakan makna yang begitu dalam dari setiap bait qasidah burdah.

4
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Tujuan menggunakan metode ini adalah efisiensi, dengan cara menyederhanakan.
Metode deskriptif kualitatif adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang kemudian di analisis. Pada penelitian ini, penulis mencoba
mendeskripsikan hasil penelitian terkait dengan qasidah burdah, baik dari sejarahnya,
makna yang terkandung di dalamnya, dan juga eksistensinya di kalangan masyarakat
pada era 4.0, serta perlakuan seseorang dalam memaknai qasidah burdah itu sendiri.
Kemudian, agar analisis dapat dipaparkan secara jelas dengan sistematika yang runtut,
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis. Pendekatan
historis disini akan membantu mengungkapkan bagaimana burdah itu hadir dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat karena eksistensinya di dalam era modern.
HASIL DAN PEMBAHASAN EKSISTENSI BURDAH PADA ERA 4.0 DI
PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL-FITHRAH METESEH SEMARANG
Makna-Makna yang Terkandung dalam Qasidah Burdah
Qasidah Burdah mengandung 160 bait yang ditulis dengan gaya bahasa yang
menarik, lembut, dan simpel. Imam al-Bushiri mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad
SAW kedalam bentuk bait-bait syair yang sangat indah. Melalui lantunan syair yang
begitu indah, Imam al-Bushiri berhasil menanamkan kecintaan dan kehormatan Islam
kepada Junjungan Nabi Agung Muhammad SAW secara lebih mendalam. Selain itu,
dalam qasidah burdah juga terkandung nilai-nilai sastra, moral, dan sejarah (Fahriah:
2012).
Bait-bait Qasidah Burdah terdiri dari sepuluh tema pokok pembicaraan.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Prolog cinta sang kekasih, berjumlah 12 bait
Kecintaan pada Rasullah. Prolog pada bagian burdah yang dimaksud dalam ilmu
sastra disebut syakwa al-gharam (ekperesi batin sang penyair). Pada bagian ini,
seorang penyair mengungkapkan isi hatinya dengan bahasa kiasan dan
perlambang(hiperbolis). Berikut adalah bait pertama pada qasidah burdah bagian
pertama.
ِِّ ْ‫ْــرِِالْخَل‬
ِ‫قِ ُكل ِِّّه ِّم‬ ِِّ ‫ـكَِِ َخي‬ َ َ‫ِّيِوسَلِّـ ِْمِدَآئِّــماًِِأَبَـدًاِِ۞ِع‬
ِ ِّ‫لـــىِ َحبِّيْب‬ َ ‫صل‬ َ ِِ‫ي‬ َ ‫َم ْو ََل‬
ِِّ
‫ـــــــم‬ ِّ‫ِم ْقتَح‬ ِّ ْ ِّ‫يِتُ ْر َجىِشَفَاعَتُهُِِ۞ِلِّ ُكلِِه َْولِِِم‬
ُ ِِ‫نَِِاْلهْ َوا ِّل‬ ِْ ‫ه َُوالْ َحبِّيْبُِِِا َّل ِّذ‬

5
ِ‫ِمقْلَةِِ ِبِّـــ َد ِّم‬
ُ ِِ‫يِِ ِمِّ ْن‬ َ ِ۞ِ ِِ‫يِِ ِسَــــلَــم‬
ْ ‫ِمزَ جْ تَِِ ِدَ ْم ًعاِ ِ َج َر‬ ِّ ِِ‫أَمِّ ْنِِ ِتَذَ ُّك ِّر‬
ْ ‫ِجي َْرانِِ ِبِّ ِّذ‬
Pada bait pertama menunjukkan rasa cinta kepada Rasullah dengan kisah yang
dimulai dengan nasib, yaitu ungkapan rasa pilu atas dukacita yang dialami penyair
dan orang yang dekat dengannya, yaitu tetangganya di Dzu Salam, Sudah menjadi
kelaziman bagi para penyair Arab klasik dalam mengawali karya syairnya selalu
merujuk pada tempat di mana ia memperoleh kenangan mendalam dalam
hidupnya, khususnya kampung halamannya. Kecintaan pada Nabi ini diungkapkan
imam Bushiri pada bait 1-12.
2. Peringatan akan bahaya menuruti hawa nafsu, sebanyak 16 bait.
Nasihat akan hawa nafsu. Pada bagian kedua dari syair burdah, berisi
peringatan akan bahaya hawa nafsu. Terkait dengan hawa nafsu ini, al bushiri
mengungkapkan watak dari nafsu di dalam Burdah, jumlahnya ada 16 bait dimulai
dari bait 13-28. Berikut adalah bait ke 13 qasidah burdah pada bagian kedua.
ِ ‫ِّيرِالشيْبِِِِّ َوالَ َه َر ِِّم‬ ِْ ِّ‫تِبِّالسـوءِِِّ َما ِات َعظَتِِِْ۞ِم‬
ِِّ ‫نِ َج ْهلِّ َهاِبِّنَذ‬ َ ‫فَإِّنِِأَم‬
ِِّ ‫ار‬
Pada bagian kedua ini, yaitu dari bait 13-28 berisi tentang pengendalian hawa
nafsu, al-Bushiri menganjurkan agar kehendak hawa nafsu dibuang jauh-jauh,
jangan dimanjakan dan dipertuankan, karena nafsu itu sesat dan menyesatkan.
Keadaan lapar dan kenyang, kedua-duanya dapat merusak, maka hendaknya dijaga
secara seimbang. Ajakan dan bujukan nafsu dan setan hendaknya dilawan sekuat
tenaga, jangan diperturutkan.
3. Pepujian, sebanyak 30 bait.
Pujian al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi,
tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat paling
besar dalam bentuk Al Quran, mukjizat yang abadi. Al Quran adalah kitab yang
tidak mengandung keraguan, pun tidak lapuk oleh perubahan zaman, apalagi
ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan berbekal pengetahuan dan makrifat.
Hikmah dan kandungan Al Quran memiliki relevansi yang abadi sepanjang masa
dan selalu memiliki konteks yang luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang
bersifat temporal. Kitab Al Quran selamanya hidup dalam ingatan dan jiwa umat
Islam. Berikut adalah bait ke 29 qasidah burdah pada bagian ketiga.
ِِّ َ‫نِأَحْ يَاِالظَّ ََل َِمِإِّلىِِ۞ِِأ‬
ِْ ِّ‫نِاشْتَكَتِِِْقَدَ َماهُِ ِالضرِِم‬
ِ‫نِ َو َر ِّم‬ ِْ ‫ظَلَ ْمتُِِسُن ِةَِ َم‬

6
Bagian ini merupakan bagian inti dari burdah yaitu tentang Rasulullah SAW.
Bila memuji Rasulullah termasuk ibadah shalawat, maka burdah dapat dikatakan
dalam bentuk shalawat, adapun Bab ini dimulai dari bait 29-58.
4. Kisah kelahiran, sebanyak 13 bait.
Berikut adalah bait ke 59 qasidah burdah pada bagian 4.
ِ‫ْـــبِِ ُمبْتَدَإِِمِّ نْهُِ َو ُم ْختَت َِّم‬
َِ ‫نِطِّ يْـــــبِِِِّعُنْصُرهِِّ۞ِيَاِطِّ ي‬
ِْ َ‫بَانَِِ َم ْولِّدُهُِ ِع‬
Bagian burdah ini, bercerita tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW, beserta
berbagai peritiwa menakjubkan di sekitarnya sebagai tanda kelahiran Rasullah.
Jumlah bait pada bagian keempat ini ada 13 dan dimulai dari bait 59-71.
5. Mukjizat, sebanyak 16 bait
Berikut adalah bait ke 72 qasidah burdah pada bagian 5.
ِ ِّ‫يِإِّلَيْ ِِّهِعَلىِِسَاقِِب‬
ِ‫َلَِقَ َد ِّم‬ ِْ ‫اجدَِةًِ۞ِِت َْم ِّش‬ ُِ ‫َجآ َءتِِْلِّدَع َْوتِّ ِِّهِ ْاْلَشْ َج‬
ِّ َ‫ارِس‬
Bagian burdah yang kelima adalah cerita tentang mukjizat-mukjizat Nabi
Muhammad SAW, yang bersifat lahiriah. Jumlah baitnya terdiri dari 16 bait dan
dimulai dari bait 72-87.
6. Al-Quran, sebanyak 17 bait.
Berikut adalah bait ke 80 qasidah burdah pada bagian 6.
ُِ ُ‫ْسِِ َينْق‬
ِّ ‫صِقَد ًْراِغَي َِْرِ ُمنْت‬
ِ‫َظِّم‬ َِ ‫فَالد ُُِّّرِ َي ْز َدادُِ ُحسْنًاِ َّوه َُِوِ ُمنْتَظِّمِِ۞ِ َولَي‬
Bagian ini menuturkan keistimewaan-keistimewaan mukjizat Rasulullah SAW
yaitu Al-Qur’an yang menjadi pedoman umat islam. Jumlah baitnya terdapat 17
bait yaitu pada bait ke 80-100.
7. Isra’ Mi’raj, sebanyak 13 bait.
Berikut adalah bait ke 105 qasidah burdah pada bagian 7.
ِ‫س ِّم‬
ُ ‫الر‬
ُّ ِِ‫ق‬ ِِّ ‫نِي ََّّممَِِالْعافُونَِِسَا َحتَهُِ۞ِسَ ْعيًاِ َّوفَ ْوقَِِ ُمتُ ْو‬
ِِّ ُ‫نِ ْاْلَيْن‬ ِْ ‫يَاِ َخي َِْرِ َم‬
Bagian ketujuh menuturkan isra’ mi’raj, yaitu perjalanan Nabi Muhammad
SAW dari Masjidil Haram ke sidratul Muntaha. Adapun jumlah baitnya ada 13 bait
yaitu pada bait ke 105-117.
8. Jihad, sebanyak 12 bait.
Berikut adalah bait ke 118 qasidah burdah pada bagian 8.
ِ‫لِمِّ نَِِالْ َغن َِّم‬
ًِ ْ‫وبِالْعِّدىِأَنْ َبا ُِءِِ ِّب ْعثَتِّ ِِّهِِ۞ِ َكنَبْأَةِأَجْ فَلَتِِْغُف‬
َِ ُ‫عتِِْقُل‬
َ ‫َرا‬
Bagian ini menceritakan tentang perjuangan Nabi Muhammad SAW di Medan
Perang. Berisi kisah perjuangan Nabi, keperkasaan nabi Muhammad SAW dan

7
para sahabat dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam. Jumlah baitnya
adalah 22 bait pada bagian 118-139.
9. Permohonan ampun al-Bushiri, sebanyak 12 bait dan ada yang berpendapat
sebanyak 19 bait.
Berikut adalah bait ke 140 qasidah burdah pada bagian 9.
ِ‫الش ْع ِِّرِ َوالنَّد ِِّّم‬
ِّ ِ‫وبِعُ ْمرِِ َّمضىِفِّي‬ ُِ ‫َخدَ ْمتُهُِبِّ َمدِّيحِِأَسْتَقِّي‬
َِ ُ‫لِِبِّ ِِّهِ۞ِذُن‬
Bagian kesembilan burdah berisi penyesalan dan permohonan Ampunan.
Dalam bait-bait ini imam Al-bushiri menggambarkan penyesalan yang mendalam
atas kebiasaan al bushiri yang membuat puisi dengan mengharapkan materi,
penyesalan Al-bushiri pada bagian ke sembilan ini terdapat 12 bait dan terlihat
pada bait ke 140-151.
10. Penutup, yang terdiri dari 10 bait.
Berikut adalah bait ke 152 qasidah burdah pada bagian 10.
ِ‫ثِال َع َم ِّم‬ ِِّ ‫س َواكَِِ ِّعنْدَِِ ُحلُو‬
ِِّ ‫لِال َحا ِّد‬ ِِّ ِ۞ِِ‫نِأَلُـــو ِذُِبِّ ِِّه‬
ِْ ‫يِ َم‬ ِِّ ْ‫يَاِأَ ْك َر َِمِالْخَل‬
ِْ ِّ‫قِ َمال‬
Pada bagian terakhir ini, merupakan penutup dan doa. Pada bagian ini, terlihat
kemahiran al bushiri dalam mengungkapkan matla’ sehingga pada akhir bab ini, al
bushiri menyusun kalimat seindah mungkin. Bagian ini juga merupakan harapan al
bushiri agar dosa-dosanya terampuni. Jumlah baitnya ada 10 bait yang dimulai dari
bait 152-161 (Syed Qodri dalam Nihayah: 2014).
Perlakuan Santri Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Terhadap Qasidah
Burdah Sebelum Mengetahui Maknanya
Qashidah burdah telah tersebar ke penjuru dunia, dari Timur hingga Barat.
Bahkan disyaratkan oleh sekitar 20 ulama. Qasidah Burdah adalah salah satu karya
paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi
Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan. Burdah
sendiri merupakan syair puji-pujian (mada’ih) yang diberi judul alKawakib al-Durriyah
fi Madh Khayr al-Bariyyah (Bintang Kemilau dalam Memuji Makhluk Terbaik),
meskipun lebih populer dikenal dengan nama Qasidah al-Burdah. Dalam Burdah,
terdapat mutiara-mutiara pelajaran tentang sikap hormat kepada makhluk pilihan dan
kekasih Tuhan seluruh alam. (Ulin Nihayah: 2015, 33). oleh karena itu tidak
mengherankan jika Qasidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf
dan masih populer hingga saat ini.

8
Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Meteseh Semarang merupakan salah satu
pondok pesantren cabang Kedinding Surabaya yang terkenal dengan thariqah
Qadiriyyah wa naqsabandiyah. Dimana para santri disana memiliki kegiatan rutin yaitu
membaca Burdah setiap habis jama’ah shalat maghrib dengan menggunakan nada yang
berbeda-beda setiap harinya dan Syair Burdah tersebut dibaca dari awal hingga akhir
secara bergantian. Meskipun begitu, masih banyak santri yang belum mengenal dan
memahami makna burdah secara dalam. kebanyakan para santri hanya mengetahui
makna tersirat dari syair Burdah tersebut yaitu tentang memuji Rasulullah SAW. akan
tetapi mereka tidak tahu bahwa didalamnya juga terdapat pemikiran-pemikiran
pengarang syair tersebut dan sejarah hidupnya. bahkan ada juga santri yang sama sekali
tidak mengenal siapa pengarang dari Burdah itu sendiri.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren Assalafi Al-fithrah
Meteseh Semarang, bahwasanya sebagian santri yang belum paham dengan isi
kandungan syair Burdah tersebut adalah santri-santri baru yang pertama kali mengenal
Burdah dan mendengar Syair Burdah di pondok tersebut dan juga santri-santri yang
masih awam dengan bahasa Arab. oleh karena itu mereka kesusahan dalam memahami
makna dari Burdah tersebut dan membaca burdah hanya sebatas rutinitas tanpa ada
nilai spiritual yang didapatkan dan menggap bahwa ketika membaca Burdah itu asyik
karena nada-nada yang digunakan tidak karena makna yang terkandung didalam
Burdah itu sendiri. oleh karena itu kebanyakan dari para santri tersebut ketika membaca
Burdah belum ada rasa khusyuk yang mendalam seperti santri-santri lain yang sudah
faham dengan isi kandungan burdah itu sendiri. Adapun santri-santri yang sudah faham
mengenai isi kandungan Burdah mereka lebih khusyuk ketika membaca Burdah.
Bahkan saking khusyuknya mereka bisa meresapi setiap makna yang terkandung dalam
Burdah tersebut. seperti halnya ketika bait terakhir Burdah dibacakan kebanyakan dari
mereka banyak yang meneteskan air mata. Dimana bait terakhir qasidah Burdah
tersebut berisi tentang munajat dan mengutarakan hajat atau keinginan.
Selain pondok pesantren qasidah burdah juga eksis diberbagai lingkungan diluar
pondok pesantren. seperti di masjid-masjid, di mushola, atau diberbagai tempat ketika
ada acara perayaan. seperti halnya di desa Jebol Mayong Jepara para warga
melaksanakan rutinan mingguan di masjid dengan melantunkan qasidah Burdah.
Tradisi pembacaan Burdah bagi masyarakat pada umumnya dilakukan secara
tradisional, dimulai dari rumah ke rumah, majelis, dan dilakukan secara rutin. oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa di Indonesia qasidah Burdah sudah mendarah
9
daging di lingkungan pondok pesantren dan sejajar dengan qasidah cinta rasul yang
lainnya, seperti Barzanji, Diba’, dan lainnya.(Muhammad Adib: 2009, 13).
Perlakuan Santri Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Terhadap Qasidah
Burdah Setelah Mengetahui Maknanya
Qasidah Burdah merupakan syair yang ditujukan kepada Rasulullah SAW dan
masuk kedalam katagori shalawat. shalawat sendiri dapat dijadikan perantara atau
wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Qasidah Burdah sering disebut
dengan qasidah Al-Mimiyah karena beliau Imam Al-Busyiri menggunakan huruf mim
sebagai qafiahnya dan dilakukan secara konsisten. Imam Al-Busyiri tidak mengawali
syairnya dengan pujian kepada Allah ta’ala atau dengan kalimat basmalah, namun
beliau mengikuti konvensi sastra Arab Jahiliah dyaitu Umru’ul Qais dalam mengawali
qasidahnya yaitu mengawalinya dengan gazal atau Romansa. (Al-Bajuri: 1972, 2-3).
Pada masyarakat pesantren qasidah Burdah sudah dikenal sejak lama dan
digunakan sebagai rutinitas setiap harinya. Bagi masyarakat pesantren membaca
qasidah Burdah adalah salah satu wasilah atau perantara untuk mencintai Rasul dan
Tuhannya secara mendalam. selain itu qasidah Burdah juga dipercaya sebagai wasilah
pengobatan bagi orang-orang yang sedang sakit. Masyarakat Pesantren mempercayai
hal tersebut karena melihat dari sejarah seorang penyair terkenal Imam Al-Busyiri
menciptakan syair Burdah tersebut.
Bagi para pembaca Burdah, santri-santri di pondok pesantren Assalafi Al-
Fithrah yang sudah faham akan isi kandungan Burdah, bahwasanya qasidah Burdah
memiliki fungsi manfaat dan hiburan yang sangat luar biasa. pada fungsi manfaat
mencakup aspek agama, spiritual, dan pendidikan.
sebagai aspek agama qasidah Burdah digunakan sebagai rutinitas para santri
yang dibaca setiap hari setelah shalat maghrib. Burdah sebagai aspek spiritual bahwa
Burdah tidak hanya dibaca sebagai rutinitas saja tetapi difungsikan sebagai wasilah
pengobatan untuk orang-orang yang sakit, sebagai wasilah untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan Rasulullah, dan juga sebagai wasilah untuk memohonkan hajatnya
agar diijabah oleh Allah dan diridhai olehnya. Salah satu pengajar di pondok pesantren
Assalafi Alfithrah memiliki cerita spiritual yang luar biasa dengan qasidah Burdah.
Suatu hari ketika beliau sakit,beliau masih mengikuti rutinitas Burdah setelah shalat
maghrib, ketika beliau tawasul kepada Imam Busyiri beliau berdo’a untuk kesembuhan
dirinya. Saat Burdah itu mulai dibacakan badan beliau terasa panas dan berat namun
beliau masih bertahan dan meresapi makna setiap bait Burdah tersebut, alhasil singkat
10
cerita ketika Burdah tersebut sudah sampai bab akhir badan beliau terasa ringan dan
rasa pusing, mual yang beliau rasakan sebelumnya hilang semua. selain burdah
difungsikan sebagai obat, Burdah juga digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan Rasulnya serta untuk memohonkan hajatnya.
Sehubungan dengan aspek pendidikan, "Burdah" difungsikan sebagai kegiatan
ekstra kurikuler bagi para pelajar dan sebagai salah satu buku ajar dalam bidang akhlak
dan sejarah. Di samping untuk memperoleh ketiga manfaat tersebut, pembacaan
"Burdah" pun difungsikan oleh para pembacanya untuk mendapatkan kenikmatan dan
hiburan melalui irama, pilihan kata dan keindahan bahasanya.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut. 1) Qasidah Burdah terdiri dari 160 bait yang dibagi menjadi 10 bagian,
makna-makna yang terkandung pada tiap bagiannya adalah bagian pertama tentang
bercumbu dan pengaduan cinta, bagian kedua berisi tentang peringatan tentang bahaya
hawa nafsu, bagian ketiga berisi tentang pujian kepada Nabi Muhammad SAW, bagian
keempat berisi tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW, bagian kelima berisi tentang
mukjizat Nabi Muhammad SAW, bagian keenam berisi tentang kemuliaan ayat Allah
dan pujian terhadapNya, bagian ketujuh berisi tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad
SAW, bagian kedelapan berisi tentang perjuangan Nabi Muhammad SAW, bagian
kesembilan berisi tentang tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, dan bagian
kesepuluh berisi tentang bermunajat dan meminta hajat. 2) Bahwasanya sebagian santri
yang belum paham dengan isi kandungan syair Burdah tersebut adalah santri-santri
baru yang pertama kali mengenal Burdah dan mendengar Syair Burdah di pondok
tersebut dan juga santri-santri yang masih awam dengan bahasa Arab. oleh karena itu
mereka kesusahan dalam memahami makna dari Burdah tersebut dan membaca burdah
hanya sebatas rutinitas tanpa ada nilai spiritual yang didapatkan dan menggap bahwa
ketika membaca Burdah itu asyik karena nada-nada yang digunakan tidak karena
makna yang terkandung didalam Burdah itu sendiri. 3) santri-santri di pondok
pesantren Assalafi Al-Fithrah yang sudah faham akan isi kandungan Burdah,
bahwasanya qasidah Burdah memiliki fungsi manfaat dan hiburan yang sangat luar
biasa. pada fungsi manfaat mencakup aspek agama, spiritual, dan pendidikan. Sebagai
aspek agama qasidah Burdah digunakan sebagai rutinitas para santri yang dibaca setiap
hari setelah shalat maghrib. Burdah sebagai aspek spiritual bahwa Burdah tidak hanya
dibaca sebagai rutinitas saja tetapi difungsikan sebagai wasilah pengobatan untuk
11
orang-orang yang sakit, sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
Rasulullah, dan juga sebagai wasilah untuk memohonkan hajatnya agar diijabah oleh
Allah dan diridhai olehnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fahriah, Arnis. Tema Dan Amanat Dalam Qashidah Burdah Karya Imam Al-Bushairi
Yang Mengandung At-Thibaq (Tinjauan Ilmu Badi’). Jurnal Unpad, Vol.1, No. 1
(2012)
Hamid, Rahimah. A. Sastra dan Penjajahan: Membaca Karya Pengarang Tersohor
Indonesia dan Malaysia. Jurnal Kajian Sastra, Vol. 5. No.2 (2016)
Murcahyanto, Hary, dkk. “Eksistensi Pertunjukan Musik Burdah”. Gondang: Jurnal
Seni dan Budaya. Vol. 5, No. 1 (2021), 64-70
Nihayah, Ulin. “Konsep Seni Qasidah Burdah Imam Al Bushiri Sebagai Alternatif
Menumbuhkan Kesehatan Mental”. Jurnal Ilmu Dakwah. Vol. 34. No.1. (2014),
295-308

12

You might also like