Professional Documents
Culture Documents
Pita+ 153-174
Pita+ 153-174
Abstract
This study aims to find out the substance of the breakthrough from the existence of Law
Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence (“Law Number 12 of 2022”)
and the accommodation of the Supreme Court Regulation of the Republic of Indonesia
Number 3 of 2017 concerning Guidelines for Trialing Cases of Women Confronting the
Law (“Supreme Court Regulation Number 3 of 2017”) related to the accessibility of
justice for women as victims of criminal acts of violence sexual. The formulation of the
problem taken is Law Number 12 of 2022 in obtaining accessibility to justice for women
as victims and how can the Supreme Court Regulation Number 3 of 2017 concerning
Guidelines for Trialing Cases of Women Confronting the Law accommodate women to
gain accessibility justice in crimes of sexual violence. The results of this study are that
in substance the protection of victims of sexual violence encourages material and
formal changes in the formation of Law Number 12 of 2022. The change in the formal
aspect is the development of criminal procedural law in the law on criminal acts of
sexual violence, especially in terms of evidence. The development of evidence from
witnesses such as the exception to the principle of unus testis nullus testis in Law
Number 12 of 2022, the strength of evidence for the defendant's family as a witness.
Matters that must be considered by judges in order to try and ensure that women
dealing with the law obtain justice in crimes of sexual violence based on Supreme Court
Regulation Number 3 of 2017, namely: (a) losses suffered by victims and
compensation/restitution; (b) whether there is a power relation and the condition of the
victim's powerlessness; (c) the impact of the case physically, psychologically, socially,
economically; (d) there is a cycle of sexual violence, a history of sexual violence from
the perpetrator to the victim; (e) the condition of women victims/witnesses; (f) Women's
experiences related to sexual violence; (g) potential dangers that threaten the lives of
women victims; (h) the need for recovery; and (i) results of post mortem et repertum
and post mortem et repertum psychiatricum.
153
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui substansi atas terobosan dari adanya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU No. 12
Tahun 2022”) serta pengakomodiran Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun
2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
(“Perma No. 3 Tahun 2017”) terkait aksesibilitas keadilan bagi perempuan sebagai
korban tindak pidana kekerasan seksual. Rumusan Masalah yang diambil adalah
bagaimana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual dalam memperoleh aksesibilitas keadilan bagi perempuan sebagai korban dan
bagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengakomodir perempuan
untuk memperoleh aksesibilitas keadilan dalam tindak pidana kekerasan seksual. Hasil
penelitian ini adalah secara substansi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual
mendorong adanya perubahan dari segi materiil dan formil dalam pembentukan UU No.
12 Tahun 2022. Perubahan dalam segi formil tersebut adalah terdapatnya perkembangan
hukum acara pidana dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual khususnya
dalam hal pembuktian. Perkembangan alat bukti keterangan saksi seperti pengecualian
asas unus testis nullus testis dalam UU No. 12 Tahun 2022, kekuatan pembuktian
keluarga terdakwa sebagai saksi. Hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh Hakim guna
mengadili dan memastikan perempuan berhadapan dengan hukum memperoleh
keadilannya dalam tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan Perma Nomor 3 Tahun
2017, yaitu: (a) kerugian yang dialami korban dan penggantian ganti rugi/restitusi; (b)
ada tidaknya relasi kuasa dan kondisi ketidakberdayaan korban; (c) dampak dari kasus
baik secara fisik, psikis, sosial, ekonomi; (d) adanya siklus kekerasan seksual, Riwayat
kekerasan seksual dari pelaku kepada korban; (e) kondisi perempuan korban/saksi; (f)
Pengalaman perempuan terkait adanya kekerasan seksual; (g) potensi bahaya yang
mengancam nyawa perempuan korban; (h) kebutuhan untuk pemulihan; dan (i) hasil
visum et repertum dan visum et repertum psychiatricum.
Kata Kunci: tindak pidana kekerasan seksual, aksesibilitas keadilan, keadilan bagi
perempuan
A. Pendahuluan
Salah satu tujuan berbangsa dan bernegara telah termuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”)
pada alenia keempat yang menyatakan antara lain adalah untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan hukum harus
diberikan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali terutama terhadap kelompok
rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus seperti penyandang
disabilitas. Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun
1945 harus menjamin hak-hak konstitusional setiap warga negara. Beberapa hak
konstitusional yang dimiliki oleh warga negara, yaitu hak atas hidup, hak bebas dari
154
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Hak ini merupakan hak yang penting untuk
diimplementasikan. Pemenuhan hak ini juga berhubungan dengan hak kosntitusional
lainnya, yaitu hak atas pelindungan dan hak atas keadilan yang penting untuk
ditekankan pelaksanaannya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Hak
setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia merupakan hak
konstitusional yang dijamin dalam UUD Tahun 1945. Kekerasan seksual merupakan
merupakan bentuk dari tindakan kekerasan dan perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia, yang bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta
yang mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat.
Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus segala bentuk penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat manusia serta diskriminasi terhadap perempuan,
anak, dan Penyandang Disabilitas melalui pengesahan beberapa konvensi internasional,
antara lain, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan; Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial; Konvensi Internasional Mengenai hak-Hak Penyandang Disabilitas; Protokol
Opsional dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak; dan Konvensi
Internasional Mengenai penjualan anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.
Indonesia juga telah memiliki komitmen untuk menegakkan hak sipil dan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(“UU No. 11 Tahun 2005”).
Hukum Acara Pidana saat ini dirasa sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan
hukum dan rasa keadilan di masyarakat khususnya perlindungan dan rasa keadilan bagi
korban sementara eksistensi Hukum Acara Pidana lebih mengakomodir perlindungan
terhadap hak-hak terdakwa1. Selain hukum formil, terbatasnya pengaturan tentang
kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht) (“KUHP”) juga mengakibatkan kasus kekerasan seksual yang tidak dapat
1
Pasal 1 butir 15 KUHAP memberikan pengertian bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang
dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
155
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
diproses hukum sehingga pelaku tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dijerat
oleh hukum dan berpotensi melakukan pengulangan tindak pidana. Di satu sisi Negara
kian dituntut memberikan perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan
dengan perundang-undangan yang telah menjamin perlunya perlakuan khusus terhadap
upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dan
anak di Indonesia, namun di sisi lain dalam tataran konstruksi sosial, fenomena
masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki,
perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua. Imbasnya, sering kali tutur
perempuan tidak didengar. Implikasi lebih lanjut bagi perempuan korban kekerasan
seksual justru direviktimisasi oleh masyarakat, dianggap sebagai pihak yang
menyebabkan terjadinya kekerasan.2
Reviktimisasi yang diartikan sebagai korban kekerasan seksual yang menjadi
korban kembali dilekatkan kepada perempuan maupun anak, bahkan reviktimisasi dapat
diartikan sebagai viktimisasi ganda yakni suatu konsep viktimisasi yang dilaporkan
dalam suatu kejahatan dan terjadi untuk kedua kalinya.3 Korban reviktimisasi akan
merasakan ketidaknyamanannya sebagai korban karena harus menceritakan kejadian
yang sama berulang kali yang pada akhirnya membuat trauma korban.
Sejak tahun 2008, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(“Komnas Perempuan”) telah menghimpun data kekerasan terhadap perempuan dari
lembaga pengada layanan, rumah sakit, kepolisian, dan pengadilan. Sejak tahun 2008
sampai dengan tahun 2019 terlaporkan data kekerasan terhadap perempuan yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
2
Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, “Perempuan dalam Jeratan Impunitas:
Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di
Poso 1998-2005,” Laporan Komnas Perempuan, Maret 2009; dan Pelapor Khusus Komnas Perempuan
untuk Aceh, “Sebagai Korban, Juga Survivor: Pengalaman dan Suara Perempuan Pengungsi Aceh tentang
Kekerasan dan Diskriminasi,” Laporan Komnas Perempuan, April 2006
3
Nur Adilla M, Reviktimisasi Terhadap Korban Perkosaan Anak di Bawah Umur (Skripsi
Program Sarjana, Universitas Islam Riau), 2021, hal. 10
156
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
4
Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat: Kebijakan Tindak
Pidana Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan,
Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019, Komnas Perempuan
5
Pasal 289 KUHP mengatakan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
6
Ratna Batara Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan, Agenda Politik Perempuan untuk
Demokrasi dan Kesetaraan, Jakarta: PSKW UI dan Yayasan TIFA, 2008.
7
Data ini diperoleh dari laporan yang diterima Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan
sebanyak 8.234 kasus pada tahun 2020. Baca Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) (6), Catahu 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan
Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19 -
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), hlm. 1
157
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
yang mengalami kekersan pada ranah publik dengan total 962 kasus, baik yang berupa
persetubuhan/perkosaan maupun perbuatan cabul/pelecehan.8 Tidak hanya pada
perempuan dewasa, anak juga berada dalam kondisi yang rentan terhadap kekerasan
seksual. Ironisnya, Komnas Perempuan justru mencatat 954 kasus kekerasan terjadi
pada anak perempuan sepanjang tahun 2020, dimana ini mengalami peningkatan dari
tahun 2019 yaitu sebanyak 822 kasus.9
Setidaknya ada tiga aspek secara yuridis yang harus diperhatikan dalam
memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek substansi, struktur, dan budaya
hukum.10 Dalam tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh
hukum Indonesia. Sampai saat ini telah ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual, namun sangat terbatas bentuk dan
lingkupnya. Peraturan perundang-undangan yang tersedia belum sepenuhnya mampu
merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat.
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan
seksual juga masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan
korban. Selain itu, masih diperlukan upaya pencegahan dan keterlibatan masyarakat
agar terwujud kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Adanya Undang-
Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU No.
12 Tahun 2022”), menjadi hukum positif terbaru yang secara normatif menjawab
problematika kekerasan seksual yang dihadapi oleh perempuan. Namun demikian
sistem peradilan pidana dengan aparat penegak hukum, khususnya bagi Hakim dan
aparatur peradilan sebagai penentu akhir bagi korban maupun terdakwa memperoleh
keadilan dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Perempuan yang kerap
mengalami diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil saat menjalani proses hukum.
Tidak sedikit penegak hukum yang berpandangan bahwa perempuanlah yang
menginisiasi terjadinya perkosaan baik karena korban berpakaian minim, sering pulang
8
Ibid. hlm. 2
9
Komnas Perempuan (5), Catahu 2020: Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan
Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan - Catatan Kekerasan
Terhadap Perempuan Tahun 2019, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2020), hlm. 1
10
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russell
Sage Foundation, 1975)
158
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
malam, atau menjalani pergaulan bebas.11 Selain itu, perempuan korban juga
memperoleh pertanyaan atau pernyataan yang menyudutkan dan melecehkan dari
penegak hukum yang berdampak pada timbulnya rasa takut dan trauma.12 Ketika
perkara tersebut ditangani oleh pengadilan, Hakim juga kerap menanyakan riwayat
seksual korban dalam peroses pembuktian dan justru mengabaikan kebutuhan korban
untuk mendapatkan pendampingan dan pemulihan yang layak.13 Situasi-situasi diatas
semakin mempersulit perempuan berhadapan dengan hukum14 untuk mengakses hak-
haknya, terutama hak-hak untuk memperoleh peradilan yang adil.15
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, di mana hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas16.
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Pendekatan Undang-
Undang (Statute Approach). Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan
isu hukum yang sedang ditangani, yaitu berkaitan dengan tindak pidana kekerasan
seksual dalam aksesibilitas keadilan bagi perempuan17. (Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2010, hal. 133)
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, berikut rumusan masalah yang
diangkat, Bagaimana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual dalam memperoleh aksesibilitas keadilan bagi perempuan sebagai
11
Bestha Inatsan Ashila et.al., Pedoman Pendamping Perempuan Berhadapan dengan Hukum,
(Depok: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH
UI), 2019), hlm. 14
12
Ibid
13
Komnas Perempuan (8), Laporan Penelitian Kualitatif: Tinjauan Penerapan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Lima Mitra Wilayah Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT:PKKTP);
14
Perempuan Berhadapan dengan Hukum menurut Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yaitu
perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau
perempuan sebagai pihak.
15
Ibid, hlm. 14-15
16
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hal. 118
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2010,
hal. 133)
159
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
korban serta Bagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengakomodir
perempuan untuk memperoleh aksesibilitas keadilan dalam tindak pidana kekerasan
seksual?
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Substansi Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
Konstitusi menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan
dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia. Pada hakikatnya kekerasan seksual
bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan
ketentraman masyarakat. Oleh karena secara yuridis peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan
pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan
hak korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta belum komprehensif dalam
mengatur mengenai hukum acara maka Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat menyusun Undang-Undang tentang tindak pidana kekerasan seksual.
Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual dimaknai
sebagai setiap tindakan seksual, upaya untuk mendapatkan tindakan seksual, komentar
yang tidak diinginkan, atau tindakan, yang diarahkan terhadap seksualitas seseorang
dengan menggunakan paksaan oleh siapapun (terlepas bagaimanapun hubungannya
dengan korban) dan di dalam kondisi apapun (tidak terbatas di lingkungan rumah dan
kerja.18 Adapun paksaan yang dimaksud dalam definisi tersebut dapat berupa kekerasan
fisik atau psikis seperti ancaman psikologis, dipecat dari pekerjaan, atau ancaman
kekerasan fisik. Keberadaan elemen paksaan ini ditujukan agar korban terpaksa
melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pelaku. Di samping menggunakan paksaan,
kejahatan ini juga dapat terjadi ketika seseorang tidak dapat atau tidak mampu
memberikan persetujuan sepenuhnya atas tindakan seksual yang dilakukan pelaku,
misalnya karena mabuk, tidur, dan keterbatasan mental.19 Sementara itu, Perserikatan
Bangsa-bangsa (“PBB”) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai perbuatan yang
18
Etienne G. Kruh, et. al, World Report on Violence and Health, (Jenewa: World Health
Organization, 2002), hlm. 149
19
Ibid
160
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
agresif dan kejam dengan intensitas dan konsekuensi yang beragam, dari sentuhan yang
tidak diinginkan sampai persetubuhan yang dipaksakan dan perkosaan.20
Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Kekerasan seksual semakin marak terjadi di masyarakat yang menimbulkan dampak
luar biasa kepada Korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental,
kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan
khusus, seperti Anak dan Penyandang Disabilitas.
Secara yuridis normatif, Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:21 a.
Pelecehan seksual nonfisik; b. Pelecehan seksual fisik; c. Pemaksaan kontrasepsi; d.
Pemaksaan sterilisasi; e. Pemaksaan perkawinan; f. Penyiksaan seksual; g. Eksploitasi
seksual; h. Perbudakan seksual; dan i. Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:22 a. Perkosaan; b. Perbuatan
cabul; c. Persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau
eksploitasi seksual terhadap Anak; d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang
bertentangan dengan kehendak Korban; e. Pornografi yang melibatkan Anak atau
pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f.
pemaksaan pelacuran; g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk
eksploitasi seksual; h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; i. tindak pidana
pencucian uang yang tidak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual; dan j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana
Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Substansi UU No. 12 Tahun 2022 memiliki beberapa terobosan, antara lain:
1. Selain pengkualifikasian jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022, juga terdapat tindak pidana lain yang
dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
2. Terdapat pengaturan hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap
20
UN Report Chapter 6: Violence Against Women
21
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang asal 4 ayat (1) UU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
22
Pasal 4 ayat (2) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
161
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
23
Syifa Nabilah Marwa, Bambang Dwi Baskoro dan Sukinta, “Unus Testis dalam Pembuktian
Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Wilayah Hukum PN Lubuk Basung),
Diponegoro Law Journal Vol.8 No.2 (2019), hlm. 1556
162
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
makin ditegaskan dalam ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.
Ada sejumlah permasalahan dalam praktik peradilan pidana khususnya ketika
mengadili tindak pidana kekerasan seksual terhadap perempuan yang merupakan
hambatan berkaitan dengan korban, diantaranya:
a. Keterangan Saksi yang sulit diperoleh. Biasanya terbatas pada keterangan
Saksi korban. Apabila ada Saksi lain yang melihat tindak pidana tersebut
biasanya enggan untuk terlibat proses peradilan yang terkesan lama. Sementara
bagi Saksi Korban, sebagian mengalami rasa takut, cemas, trauma hingga
dibully dari lingkungan tempat tinggalnya membuat dirinya sulit memberi
keterangan di depan persidangan walaupun persidangan tersebut tertutup untuk
umum.
b. Terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum atas penanganan kasus
tindak pidana kekerasan seksual serta masih menggunakan paradigma lama
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak relevan sehingga
mengharuskan Hakim menegur dan mengingatkan penegak hukum lainnya
agar bertanya tidak dengan menyalahkan Saksi yang notabene merupakan
perempuan korban tindak pidana kekerasan seksual, tidak menanyakan
Riwayat seksualitas, tidak menunjukkan sikap dan perilaku di persidangan
yang merendahkan bahkan terkesan menghina korban dengan tersenyum atau
tertawa ketika bertanya, hingga tidak memberikan pertanyaan yang dapat
mengingatkan Saksi Korban dengan trauma yang dialami, misalnya
mempertanyakan Saksi Korban yang menikmati perbuatan Terdakwa. Hal-hal
tersebut mengharuskan Hakim mengingatkan agar penegak hukum juga
menghormati dan menghargai Saksi dalam memberikan keterangan di depan
persidangan dan mempedomani penanganan perkara perempuan berhadapan
dengan hukum.
c. Sistem pembuktian memiliki paradigma satu saksi bukan saksi. Kesulitan
demikian dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual biasanya disiasati
dengan mencari Saksi testimonium de auditu. Selain ini alat bukti yang
163
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
24
Windri Anggraini Barokah dan Ridho Mahargyo, “Penerapan Hukum Pembuktian Saksi
Testimonium de Auditu sebagai Alasan Pengajuan Kasasi Penuntut Umum dalam Perkara Pengguguran
Kandungan”, Jurnal Verstek Vol.3 No. 1, 2015, hlm. 91-92
164
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
a. Keterangan saksi merupakan apa yang saksi dengar, lihat dan alami sendiri.
Keterangan di luar apa yang ia dengar, lihat dan alami sendiri tidak dapat
dinilai sebagai keterangan saksi.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang diperoleh dari hasil
pendengaran dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti
dikarenakan pada dasarnya keterangan saksi adalah apa yang saksi dengar,
lihat, dan alami sendiri bukan dari orang lain.
c. Pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran bukan merupakan
keterangan saksi.
Saksi khusus Testimonium de auditu menurut Yahya Harahap adalah kesaksian
atau keterangan dari seseorang yang mendengar keterangan tersebut dari orang lain.
Apabila mengacu pada Yurisprudensi Nomor 308/K/Sip/1959 tanggal 11 November
1959 maka kesaksian dari Saksi Testimonium de auditu tidak dapat dipandang sebagai
bukti keterangan Saksi melainkan hanya dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk.
Hakim juga harus berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
65/PUU-VIII/2010 yang memutuskan bahwa keterangan saksi tidak dimaknai termasuk
pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan,
dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, lihat dan alami sendiri.
Jika saksi hanya ditafsirkan secara sempit mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1
angka 27 KUHAP memberikan batasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi
terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya. Mahkamah
berpendapat bahwa konteks pembuktian bukan hanya untuk membuktikan apakah
tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan tindak pidana tertentu
melainkan meliputi pembuktian bahwa suatu perbuatan/tindak pidana benar-benar
terjadi dan tersangka atau terdakwa benar-benar melakukan atau terlibat
perbuatan/tindak pidana dimaksud. Sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat arti
penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, ataupun mengalami
sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana
yang sedang diproses.
165
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
166
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
digambarkan sebagai pemberi keadilan. Terhadap profesi hakim tersebut terikat kode
etik yang melekat dan disampaikan oleh Socrates dalam 4 (empat) perintah kepada
Hakim dalam mengadili suatu perkara (the 4 Commandments for judged), yakni:25
1. To hear courteously (mendengar dengan sopan, beradab);
2. To answer wisely (menjawab bijaksana, arif);
3. To consider soberly (mempertimbangkan tak terpengaruh);
4. To decide impartially (memutus tak berat sebelah).
Secara khusus sebagai lex specialist dalam menangani perkara tindak pidana
kekerasan seksual dengan perempuan sebagai korban, Hakim harus mempedomani
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan
Hukum (“Perma No. 3 Tahun 2017”), seperti yang tertuang dalam Pasal 2 bahwa hakim
dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum berdasarkan asas
penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender,
persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam
mengadili perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum, Hakim agar mengidentifikasi
situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap
perempuan; dan menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam
memperoleh keadilan.
Apabila dibedah tentang yang seharusnya dilakukan oleh Hakim di persidangan,
antara lain:
a) Dalam pemeriksaan perkara, Hakim diharapkan dapat mengidentifikasikan
fakta persidangan terkait adanya ketidaksetaraan gender dan ketidaksetaraan
status sosial di masyarakat, yang mengakibatkan adanya ketimpangan gender
antara perempuan dan laki-laki terutama jika perempuan menjadi korban
dan/atau saksi.26
b) Hakim dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa
antara para pihak yang berperkara yang mengakibatkan korban/saksi tidak
25
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 115
26
Pasal 4 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
167
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
berdaya.27 Misalnya korban adalah siswa atau bawahan sedang pelaku adalah
guru atau majikan/atasannya. Dengan posisi tersebut pelaku cenderung
memiliki lebih banyak kekuasaan (powerful) dan kendali (control) atas diri
korban, sehingga tidak mudah bagi korban untuk keluar/terlepas dari kekerasan
yang dialaminya.
c) Hakim dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan riwayat kekerasan dari
pelaku terhadap korban/saksi.28
d) Dalam kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum, Hakim agar
mempertimbangkan dampak psikis serta ketidakberdayaan baik fisik maupun
psikis yang dialami perempuan berhadapan dengan hukum dengan
menyarankan para pihak untuk menghadirkan alat bukti lain seperti keterangan
ahli dan rekam psikologis korban melalui Surat Keterangan Psikologi, atau bila
memang ada persoalan lebih serius seperti gangguan jiwa, melalui visum et
repertum Psychiatricum agar dapat menilai tidak hanya dampak psikis dari
kekerasan tetapi juga ketidakberdayaan fisik dan psikis yang dialami
perempuan berhadapan dengan hukum saat kejadian dan setelahnya.
e) Apabila pertemuan korban dalam persidangan tidak mau atau tidak siap
bertemu dengan pelaku maka Hakim dapat memerintahkan pelaku untuk keluar
dari ruang persidangan atau melakukan pemeriksaan melalui pemeriksaan
audio visual jarak jauh atau menggunakan pemeriksaan lainnya (rekaman
video, dan lain-lain) agar perempuan korban dapat memberikan keterangan
tanpa ada tekanan dan terhindar dari trauma.29
f) Selama jalannya pemeriksaan persidangan, Hakim agar mencegah dan/atau
menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum,
yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan,
mengintimidasi, dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang
seksualitas perempuan berhadapan dengan hukum.30 Misalnya riwayat seksual
27
Ibid
28
Pasal 7 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
29
Pasal 10 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
30
Pasal 7 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
168
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
31
Pasal 9 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
32
Pasal 4 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
169
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
33
Pengalaman Penulis 1 saat mengadili berbagai perkara kekerasan seksual dengan korban
perempuan baik dewasa maupun anak di Pengadilan Negeri Bajawa, Nusa Tenggara Timur kurun waktu
tahun 2020-2022
170
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
171
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
172
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
Hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh Hakim guna mengadili dan memastikan
perempuan berhadapan dengan hukum memperoleh keadilannya dalam tindak pidana
kekerasan seksual berdasarkan Perma No. 3 Tahun 2017, yaitu:
a. Kerugian yang dialami korban dan penggantian ganti rugi/restitusi;
b. Ada tidaknya relasi kuasa dan kondisi ketidakberdayaan korban;
c. Dampak dari kasus baik secara fisik, psikis, sosial, ekonomi;
d. Adanya siklus kekerasan seksual, Riwayat kekerasan seksual dari pelaku
kepada korban;
e. Kondisi perempuan korban/saksi;
f. Pengalaman perempuan terkait adanya kekerasan seksual;
g. Potensi bahaya yang mengancam nyawa perempuan korban;
h. Kebutuhan untuk pemulihan; dan
i. Hasil visum et repertum dan visum et repertum psychiatricum.
D. Daftar Pustaka
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012), hal. 118
Adilla M, Nur. Reviktimisasi Terhadap Korban Perkosaan Anak di Bawah Umur.
Skripsi Program Sarjana, Universitas Islam Riau. 2021
Bappenas, Strategi Nasional Akses pada Keadilan, 2016-2019
Bestha Inatsan Ashila et.al. Pedoman Pendamping Perempuan Berhadapan dengan
Hukum. Depok: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (MaPPI FH UI). 2019
Etienne G. Kruh, et. Al. World Report on Violence and Health. Jenewa: World Health
Organization. 2002
Kelompok kerja perempuan dan anak Mahkamah Agung RI dan Masyarakat pemantau
peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI),
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum,
Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for
Justice 2, Jakarta, 2018
Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat:
Kebijakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman
Bagi Perempuan dan Anak Perempuan, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan
Tahun 2019, Komnas Perempuan
Komnas Perempuan (5), Catahu 2020: Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan
Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak
Perempuan - Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019, (Jakarta:
Komnas Perempuan, 2020)
Komnas Perempuan (8), Laporan Penelitian Kualitatif: Tinjauan Penerapan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Lima Mitra
Wilayah Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan
173
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan
174