You are on page 1of 22

IBLAM Law Review

Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174


Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

TINJAUAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022


TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM
AKSESIBILITAS KEADILAN BAGI PEREMPUAN

JURIDICAL REVIEW OF LAW NUMBER 12 OF 2022 CONCERNING


CRIMINAL ACTS OF SEXUAL VIOLENCE IN ACCESSIBILITY OF JUSTICE
FOR WOMEN
1
I Kadek Apdila Wirawan, 2Pita Permatasari
1
Pengadilan Negeri Bajawa, NTT
2
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
1
Jl. Soekarno-Hatta, Ngedukelu, Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
2
Jl. Kramat Raya No.25, RT.3/RW.2, Kramat, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 10450
apdila.wirawan@gmail.com, pitapermata@gmail.com

Submission : 22 Juni 2022


Accepted : 30 September 2022
Publish : 30 September 2022

Abstract
This study aims to find out the substance of the breakthrough from the existence of Law
Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence (“Law Number 12 of 2022”)
and the accommodation of the Supreme Court Regulation of the Republic of Indonesia
Number 3 of 2017 concerning Guidelines for Trialing Cases of Women Confronting the
Law (“Supreme Court Regulation Number 3 of 2017”) related to the accessibility of
justice for women as victims of criminal acts of violence sexual. The formulation of the
problem taken is Law Number 12 of 2022 in obtaining accessibility to justice for women
as victims and how can the Supreme Court Regulation Number 3 of 2017 concerning
Guidelines for Trialing Cases of Women Confronting the Law accommodate women to
gain accessibility justice in crimes of sexual violence. The results of this study are that
in substance the protection of victims of sexual violence encourages material and
formal changes in the formation of Law Number 12 of 2022. The change in the formal
aspect is the development of criminal procedural law in the law on criminal acts of
sexual violence, especially in terms of evidence. The development of evidence from
witnesses such as the exception to the principle of unus testis nullus testis in Law
Number 12 of 2022, the strength of evidence for the defendant's family as a witness.
Matters that must be considered by judges in order to try and ensure that women
dealing with the law obtain justice in crimes of sexual violence based on Supreme Court
Regulation Number 3 of 2017, namely: (a) losses suffered by victims and
compensation/restitution; (b) whether there is a power relation and the condition of the
victim's powerlessness; (c) the impact of the case physically, psychologically, socially,
economically; (d) there is a cycle of sexual violence, a history of sexual violence from
the perpetrator to the victim; (e) the condition of women victims/witnesses; (f) Women's
experiences related to sexual violence; (g) potential dangers that threaten the lives of
women victims; (h) the need for recovery; and (i) results of post mortem et repertum
and post mortem et repertum psychiatricum.

153
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

Keywords: sexual violence crime, accessibility of justice, justice for woman

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui substansi atas terobosan dari adanya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU No. 12
Tahun 2022”) serta pengakomodiran Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun
2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
(“Perma No. 3 Tahun 2017”) terkait aksesibilitas keadilan bagi perempuan sebagai
korban tindak pidana kekerasan seksual. Rumusan Masalah yang diambil adalah
bagaimana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual dalam memperoleh aksesibilitas keadilan bagi perempuan sebagai korban dan
bagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengakomodir perempuan
untuk memperoleh aksesibilitas keadilan dalam tindak pidana kekerasan seksual. Hasil
penelitian ini adalah secara substansi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual
mendorong adanya perubahan dari segi materiil dan formil dalam pembentukan UU No.
12 Tahun 2022. Perubahan dalam segi formil tersebut adalah terdapatnya perkembangan
hukum acara pidana dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual khususnya
dalam hal pembuktian. Perkembangan alat bukti keterangan saksi seperti pengecualian
asas unus testis nullus testis dalam UU No. 12 Tahun 2022, kekuatan pembuktian
keluarga terdakwa sebagai saksi. Hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh Hakim guna
mengadili dan memastikan perempuan berhadapan dengan hukum memperoleh
keadilannya dalam tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan Perma Nomor 3 Tahun
2017, yaitu: (a) kerugian yang dialami korban dan penggantian ganti rugi/restitusi; (b)
ada tidaknya relasi kuasa dan kondisi ketidakberdayaan korban; (c) dampak dari kasus
baik secara fisik, psikis, sosial, ekonomi; (d) adanya siklus kekerasan seksual, Riwayat
kekerasan seksual dari pelaku kepada korban; (e) kondisi perempuan korban/saksi; (f)
Pengalaman perempuan terkait adanya kekerasan seksual; (g) potensi bahaya yang
mengancam nyawa perempuan korban; (h) kebutuhan untuk pemulihan; dan (i) hasil
visum et repertum dan visum et repertum psychiatricum.
Kata Kunci: tindak pidana kekerasan seksual, aksesibilitas keadilan, keadilan bagi
perempuan

A. Pendahuluan
Salah satu tujuan berbangsa dan bernegara telah termuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”)
pada alenia keempat yang menyatakan antara lain adalah untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan hukum harus
diberikan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali terutama terhadap kelompok
rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus seperti penyandang
disabilitas. Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun
1945 harus menjamin hak-hak konstitusional setiap warga negara. Beberapa hak
konstitusional yang dimiliki oleh warga negara, yaitu hak atas hidup, hak bebas dari

154
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

ancaman, diskriminasi, dan kekerasan. Hak ini merupakan hak yang penting untuk
diimplementasikan. Pemenuhan hak ini juga berhubungan dengan hak kosntitusional
lainnya, yaitu hak atas pelindungan dan hak atas keadilan yang penting untuk
ditekankan pelaksanaannya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Hak
setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia merupakan hak
konstitusional yang dijamin dalam UUD Tahun 1945. Kekerasan seksual merupakan
merupakan bentuk dari tindakan kekerasan dan perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia, yang bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta
yang mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat.
Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus segala bentuk penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat manusia serta diskriminasi terhadap perempuan,
anak, dan Penyandang Disabilitas melalui pengesahan beberapa konvensi internasional,
antara lain, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan; Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial; Konvensi Internasional Mengenai hak-Hak Penyandang Disabilitas; Protokol
Opsional dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak; dan Konvensi
Internasional Mengenai penjualan anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.
Indonesia juga telah memiliki komitmen untuk menegakkan hak sipil dan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(“UU No. 11 Tahun 2005”).
Hukum Acara Pidana saat ini dirasa sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan
hukum dan rasa keadilan di masyarakat khususnya perlindungan dan rasa keadilan bagi
korban sementara eksistensi Hukum Acara Pidana lebih mengakomodir perlindungan
terhadap hak-hak terdakwa1. Selain hukum formil, terbatasnya pengaturan tentang
kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht) (“KUHP”) juga mengakibatkan kasus kekerasan seksual yang tidak dapat

1
Pasal 1 butir 15 KUHAP memberikan pengertian bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang
dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

155
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

diproses hukum sehingga pelaku tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dijerat
oleh hukum dan berpotensi melakukan pengulangan tindak pidana. Di satu sisi Negara
kian dituntut memberikan perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan
dengan perundang-undangan yang telah menjamin perlunya perlakuan khusus terhadap
upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dan
anak di Indonesia, namun di sisi lain dalam tataran konstruksi sosial, fenomena
masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki,
perempuan ditempatkan sebagai warga kelas dua. Imbasnya, sering kali tutur
perempuan tidak didengar. Implikasi lebih lanjut bagi perempuan korban kekerasan
seksual justru direviktimisasi oleh masyarakat, dianggap sebagai pihak yang
menyebabkan terjadinya kekerasan.2
Reviktimisasi yang diartikan sebagai korban kekerasan seksual yang menjadi
korban kembali dilekatkan kepada perempuan maupun anak, bahkan reviktimisasi dapat
diartikan sebagai viktimisasi ganda yakni suatu konsep viktimisasi yang dilaporkan
dalam suatu kejahatan dan terjadi untuk kedua kalinya.3 Korban reviktimisasi akan
merasakan ketidaknyamanannya sebagai korban karena harus menceritakan kejadian
yang sama berulang kali yang pada akhirnya membuat trauma korban.
Sejak tahun 2008, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(“Komnas Perempuan”) telah menghimpun data kekerasan terhadap perempuan dari
lembaga pengada layanan, rumah sakit, kepolisian, dan pengadilan. Sejak tahun 2008
sampai dengan tahun 2019 terlaporkan data kekerasan terhadap perempuan yang dapat
digambarkan sebagai berikut:

2
Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, “Perempuan dalam Jeratan Impunitas:
Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di
Poso 1998-2005,” Laporan Komnas Perempuan, Maret 2009; dan Pelapor Khusus Komnas Perempuan
untuk Aceh, “Sebagai Korban, Juga Survivor: Pengalaman dan Suara Perempuan Pengungsi Aceh tentang
Kekerasan dan Diskriminasi,” Laporan Komnas Perempuan, April 2006
3
Nur Adilla M, Reviktimisasi Terhadap Korban Perkosaan Anak di Bawah Umur (Skripsi
Program Sarjana, Universitas Islam Riau), 2021, hal. 10

156
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

Diagram diatas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan


terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%), artinya kekerasan
terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.
Diagram di atas masih merupakan fenomena gunung es, yang dapat diartikan bahwa
dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami
kehidupan yang tidak aman.4
KUHP masih memiliki pandangan bahwa kekerasan seksual sebagai kejahatan
terhadap kesusilaan semata.5 KUHP merumuskan kekerasan seksual seperti perkosaan
dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan. Pengkategorian ini tidak saja
mengurangi derajat tindak pidana yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan
bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata.6
Fenomena kekerasan seksual di Indonesia semakin berada pada titik yang
mengkhawatirkan. Dalam catatan tahunan 2021, Komnas Perempuan menerima hampir
lebih dari 8.000 laporan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020.7 Sementara
itu, kekerasan seksual tercatat sebagai perkara tertinggi yang dilaporkan perempuan

4
Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat: Kebijakan Tindak
Pidana Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan,
Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019, Komnas Perempuan
5
Pasal 289 KUHP mengatakan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
6
Ratna Batara Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan, Agenda Politik Perempuan untuk
Demokrasi dan Kesetaraan, Jakarta: PSKW UI dan Yayasan TIFA, 2008.
7
Data ini diperoleh dari laporan yang diterima Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan
sebanyak 8.234 kasus pada tahun 2020. Baca Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) (6), Catahu 2021: Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan
Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah COVID-19 -
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), hlm. 1

157
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

yang mengalami kekersan pada ranah publik dengan total 962 kasus, baik yang berupa
persetubuhan/perkosaan maupun perbuatan cabul/pelecehan.8 Tidak hanya pada
perempuan dewasa, anak juga berada dalam kondisi yang rentan terhadap kekerasan
seksual. Ironisnya, Komnas Perempuan justru mencatat 954 kasus kekerasan terjadi
pada anak perempuan sepanjang tahun 2020, dimana ini mengalami peningkatan dari
tahun 2019 yaitu sebanyak 822 kasus.9
Setidaknya ada tiga aspek secara yuridis yang harus diperhatikan dalam
memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek substansi, struktur, dan budaya
hukum.10 Dalam tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh
hukum Indonesia. Sampai saat ini telah ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual, namun sangat terbatas bentuk dan
lingkupnya. Peraturan perundang-undangan yang tersedia belum sepenuhnya mampu
merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang di masyarakat.
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan
seksual juga masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan
korban. Selain itu, masih diperlukan upaya pencegahan dan keterlibatan masyarakat
agar terwujud kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual. Adanya Undang-
Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU No.
12 Tahun 2022”), menjadi hukum positif terbaru yang secara normatif menjawab
problematika kekerasan seksual yang dihadapi oleh perempuan. Namun demikian
sistem peradilan pidana dengan aparat penegak hukum, khususnya bagi Hakim dan
aparatur peradilan sebagai penentu akhir bagi korban maupun terdakwa memperoleh
keadilan dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual. Perempuan yang kerap
mengalami diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil saat menjalani proses hukum.
Tidak sedikit penegak hukum yang berpandangan bahwa perempuanlah yang
menginisiasi terjadinya perkosaan baik karena korban berpakaian minim, sering pulang

8
Ibid. hlm. 2
9
Komnas Perempuan (5), Catahu 2020: Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan
Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak Perempuan - Catatan Kekerasan
Terhadap Perempuan Tahun 2019, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2020), hlm. 1
10
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russell
Sage Foundation, 1975)

158
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

malam, atau menjalani pergaulan bebas.11 Selain itu, perempuan korban juga
memperoleh pertanyaan atau pernyataan yang menyudutkan dan melecehkan dari
penegak hukum yang berdampak pada timbulnya rasa takut dan trauma.12 Ketika
perkara tersebut ditangani oleh pengadilan, Hakim juga kerap menanyakan riwayat
seksual korban dalam peroses pembuktian dan justru mengabaikan kebutuhan korban
untuk mendapatkan pendampingan dan pemulihan yang layak.13 Situasi-situasi diatas
semakin mempersulit perempuan berhadapan dengan hukum14 untuk mengakses hak-
haknya, terutama hak-hak untuk memperoleh peradilan yang adil.15
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, di mana hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas16.
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Pendekatan Undang-
Undang (Statute Approach). Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan
isu hukum yang sedang ditangani, yaitu berkaitan dengan tindak pidana kekerasan
seksual dalam aksesibilitas keadilan bagi perempuan17. (Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2010, hal. 133)
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, berikut rumusan masalah yang
diangkat, Bagaimana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual dalam memperoleh aksesibilitas keadilan bagi perempuan sebagai

11
Bestha Inatsan Ashila et.al., Pedoman Pendamping Perempuan Berhadapan dengan Hukum,
(Depok: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH
UI), 2019), hlm. 14
12
Ibid
13
Komnas Perempuan (8), Laporan Penelitian Kualitatif: Tinjauan Penerapan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Lima Mitra Wilayah Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT:PKKTP);
14
Perempuan Berhadapan dengan Hukum menurut Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yaitu
perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau
perempuan sebagai pihak.
15
Ibid, hlm. 14-15
16
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hal. 118
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2010,
hal. 133)

159
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

korban serta Bagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengakomodir
perempuan untuk memperoleh aksesibilitas keadilan dalam tindak pidana kekerasan
seksual?
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Substansi Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
Konstitusi menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan
dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia. Pada hakikatnya kekerasan seksual
bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan
ketentraman masyarakat. Oleh karena secara yuridis peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan
pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, belum memenuhi kebutuhan
hak korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta belum komprehensif dalam
mengatur mengenai hukum acara maka Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat menyusun Undang-Undang tentang tindak pidana kekerasan seksual.
Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual dimaknai
sebagai setiap tindakan seksual, upaya untuk mendapatkan tindakan seksual, komentar
yang tidak diinginkan, atau tindakan, yang diarahkan terhadap seksualitas seseorang
dengan menggunakan paksaan oleh siapapun (terlepas bagaimanapun hubungannya
dengan korban) dan di dalam kondisi apapun (tidak terbatas di lingkungan rumah dan
kerja.18 Adapun paksaan yang dimaksud dalam definisi tersebut dapat berupa kekerasan
fisik atau psikis seperti ancaman psikologis, dipecat dari pekerjaan, atau ancaman
kekerasan fisik. Keberadaan elemen paksaan ini ditujukan agar korban terpaksa
melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pelaku. Di samping menggunakan paksaan,
kejahatan ini juga dapat terjadi ketika seseorang tidak dapat atau tidak mampu
memberikan persetujuan sepenuhnya atas tindakan seksual yang dilakukan pelaku,
misalnya karena mabuk, tidur, dan keterbatasan mental.19 Sementara itu, Perserikatan
Bangsa-bangsa (“PBB”) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai perbuatan yang

18
Etienne G. Kruh, et. al, World Report on Violence and Health, (Jenewa: World Health
Organization, 2002), hlm. 149
19
Ibid

160
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

agresif dan kejam dengan intensitas dan konsekuensi yang beragam, dari sentuhan yang
tidak diinginkan sampai persetubuhan yang dipaksakan dan perkosaan.20
Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Kekerasan seksual semakin marak terjadi di masyarakat yang menimbulkan dampak
luar biasa kepada Korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental,
kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan
khusus, seperti Anak dan Penyandang Disabilitas.
Secara yuridis normatif, Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:21 a.
Pelecehan seksual nonfisik; b. Pelecehan seksual fisik; c. Pemaksaan kontrasepsi; d.
Pemaksaan sterilisasi; e. Pemaksaan perkawinan; f. Penyiksaan seksual; g. Eksploitasi
seksual; h. Perbudakan seksual; dan i. Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi:22 a. Perkosaan; b. Perbuatan
cabul; c. Persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau
eksploitasi seksual terhadap Anak; d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang
bertentangan dengan kehendak Korban; e. Pornografi yang melibatkan Anak atau
pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f.
pemaksaan pelacuran; g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk
eksploitasi seksual; h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; i. tindak pidana
pencucian uang yang tidak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual; dan j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana
Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Substansi UU No. 12 Tahun 2022 memiliki beberapa terobosan, antara lain:
1. Selain pengkualifikasian jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022, juga terdapat tindak pidana lain yang
dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
2. Terdapat pengaturan hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap

20
UN Report Chapter 6: Violence Against Women
21
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang asal 4 ayat (1) UU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual
22
Pasal 4 ayat (2) UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

161
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan


tanpa intimidasi;
3. Hak Korban atas Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya
Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan kewajiban negara dan
dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban. Selain itu,
perhatian yang besar terhadap penderitaan korban juga terlihat dalam bentuk
pemberian Restitusi. Restitusi diberikan oleh pelaku Tindak Pidana Kekerasan
Seksual sebagai ganti kerugian bagi Korban. Jika harta kekayaan Terpidana
yang disita tidak mencukupi biaya Restitusi, Negara memberikan kompensasi
kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan; dan
4. Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian
di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak.
Untuk mewujudkan terobosan tersebut diatas maka proses hukum khususnya
dalam proses peradilan harus dipastikan bersesuaian dengan hukum acara yang diatur
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai lex specialist dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang telah terlebih dahulu
hadir sebagai lex generalis dalam rangka memastikan aksesibilitas terhadap keadilan
(access to justice) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat terpenuhi.
Dalam praktik, pembuktian tindak pidana kekerasan seksual biasanya sangat
minim Saksi yang melihatnya terbatas pada Saksi korban itu sendiri dan Terdakwa
dikarenakan kejahatan demikian dilakukan secara diam-diam dan sangat tertutup. Hal
ini menyulitkan dikarenakan dalam sistem pembuktian Indonesia mengenal asas ununs
testis nullus testis artinya satu saksi bukanlah saksi. Keterangan satu orang saksi tanpa
adanya bukti lain tidak boleh dipercaya atau tidak dapat digunakan sebagai dasar bahwa
dalil gugatan secara keseluruhan terbukti.23 Dalam paradigma KUHAP, asas tersebut
termuat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selanjutnya, asas ini

23
Syifa Nabilah Marwa, Bambang Dwi Baskoro dan Sukinta, “Unus Testis dalam Pembuktian
Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Wilayah Hukum PN Lubuk Basung),
Diponegoro Law Journal Vol.8 No.2 (2019), hlm. 1556

162
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

makin ditegaskan dalam ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.
Ada sejumlah permasalahan dalam praktik peradilan pidana khususnya ketika
mengadili tindak pidana kekerasan seksual terhadap perempuan yang merupakan
hambatan berkaitan dengan korban, diantaranya:
a. Keterangan Saksi yang sulit diperoleh. Biasanya terbatas pada keterangan
Saksi korban. Apabila ada Saksi lain yang melihat tindak pidana tersebut
biasanya enggan untuk terlibat proses peradilan yang terkesan lama. Sementara
bagi Saksi Korban, sebagian mengalami rasa takut, cemas, trauma hingga
dibully dari lingkungan tempat tinggalnya membuat dirinya sulit memberi
keterangan di depan persidangan walaupun persidangan tersebut tertutup untuk
umum.
b. Terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum atas penanganan kasus
tindak pidana kekerasan seksual serta masih menggunakan paradigma lama
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak relevan sehingga
mengharuskan Hakim menegur dan mengingatkan penegak hukum lainnya
agar bertanya tidak dengan menyalahkan Saksi yang notabene merupakan
perempuan korban tindak pidana kekerasan seksual, tidak menanyakan
Riwayat seksualitas, tidak menunjukkan sikap dan perilaku di persidangan
yang merendahkan bahkan terkesan menghina korban dengan tersenyum atau
tertawa ketika bertanya, hingga tidak memberikan pertanyaan yang dapat
mengingatkan Saksi Korban dengan trauma yang dialami, misalnya
mempertanyakan Saksi Korban yang menikmati perbuatan Terdakwa. Hal-hal
tersebut mengharuskan Hakim mengingatkan agar penegak hukum juga
menghormati dan menghargai Saksi dalam memberikan keterangan di depan
persidangan dan mempedomani penanganan perkara perempuan berhadapan
dengan hukum.
c. Sistem pembuktian memiliki paradigma satu saksi bukan saksi. Kesulitan
demikian dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual biasanya disiasati
dengan mencari Saksi testimonium de auditu. Selain ini alat bukti yang

163
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

menentukan dalam perkara demikian adalah Visum et repertum sebagai sebuah


alat bukti untuk menunjang keterangan Saksi.
Dengan diundangkannya UU No. 12 Tahun 2022 maka telah diakomodir dalam
Pasal 25 ayat (1) bahwa keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan
bahwa Terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim
memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan Terdakwalah yang
bersalah melakukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam hal pembuktian tindak
pidana kekerasan seksual pengecualian terhadap asas unus testis nullus testis
dikecualikan dengan syarat terdapat 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar terjadi dan terdakwa yang bersalah
melakukannya. Lebih lanjut juga telah ditentukan bahwa kekuatan pembuktian satu
saksi dalam hal keterangan saksi hanya dapat diperoleh dari korban, kekuatan
pembuktiannya dapat didukung dengan keterangan yang diperoleh dari orang yang
memberikan keterangan yang berhubungan dengan perkara tindak pidana kekerasan
seksual meskipun ia tidak dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri
sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
Dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual, Hakim tidak dapat hanya
berpedoman bahwa dalam konsep pembuktian konvensional, alat bukti dapat dilihat dari
segi nilai dan kekuatan pembuktian. Alat bukti keterangan Saksi sah atau memiliki
kekuatan pembuktian (the degree of evidence). Alat bukti keterangan saksi sah atau
memiliki kekuatan pembuktian apabila memenuhi dua syarat, diantaranya:24
1. Syarat formil mengacu pada Pasal 160 ayat (3), Pasal 160 ayat (4) dan Pasal
171 KUHAP, yaitu:
a. Saksi mengucapkan sumpah atau janji;
b. Saksi harus dewasa;
c. Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa.
2. Syarat materiil mengacu pada Pasal 1 angka 27 dan Pasal 185 KUHAP, yaitu:

24
Windri Anggraini Barokah dan Ridho Mahargyo, “Penerapan Hukum Pembuktian Saksi
Testimonium de Auditu sebagai Alasan Pengajuan Kasasi Penuntut Umum dalam Perkara Pengguguran
Kandungan”, Jurnal Verstek Vol.3 No. 1, 2015, hlm. 91-92

164
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

a. Keterangan saksi merupakan apa yang saksi dengar, lihat dan alami sendiri.
Keterangan di luar apa yang ia dengar, lihat dan alami sendiri tidak dapat
dinilai sebagai keterangan saksi.
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang diperoleh dari hasil
pendengaran dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti
dikarenakan pada dasarnya keterangan saksi adalah apa yang saksi dengar,
lihat, dan alami sendiri bukan dari orang lain.
c. Pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran bukan merupakan
keterangan saksi.
Saksi khusus Testimonium de auditu menurut Yahya Harahap adalah kesaksian
atau keterangan dari seseorang yang mendengar keterangan tersebut dari orang lain.
Apabila mengacu pada Yurisprudensi Nomor 308/K/Sip/1959 tanggal 11 November
1959 maka kesaksian dari Saksi Testimonium de auditu tidak dapat dipandang sebagai
bukti keterangan Saksi melainkan hanya dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk.
Hakim juga harus berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
65/PUU-VIII/2010 yang memutuskan bahwa keterangan saksi tidak dimaknai termasuk
pula orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan,
dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, lihat dan alami sendiri.
Jika saksi hanya ditafsirkan secara sempit mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1
angka 27 KUHAP memberikan batasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi
terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya. Mahkamah
berpendapat bahwa konteks pembuktian bukan hanya untuk membuktikan apakah
tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan tindak pidana tertentu
melainkan meliputi pembuktian bahwa suatu perbuatan/tindak pidana benar-benar
terjadi dan tersangka atau terdakwa benar-benar melakukan atau terlibat
perbuatan/tindak pidana dimaksud. Sehingga Mahkamah Konstitusi berpendapat arti
penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, ataupun mengalami
sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana
yang sedang diproses.

165
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

Dalam UU No. 12 Tahun 2022 eksistensi keterangan testimonium de auditu


diakui sebagai bukti pendukung untuk keterangan saksi yang hanya dapat diperoleh dari
saksi korban. Bahkan dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2022 definisi saksi
diperluas sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara tindak pidana kekerasan
seksual yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, termasuk pula orang
yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara tindak
pidana kekerasan seksual meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan
tidak ia alami sendiri sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana
kekerasan seksual.
UU No. 12 Tahun 2022 juga terdapat perkembangan bahwa keluarga dari
terdakwa dapat memberi keterangan sebagai saksi di bawah sumpah/janji, bahkan tanpa
adanya persetujuan dari terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (2). Implikasi
tersebut adalah keluarga terdakwa dapat memberikan keterangan sebagai saksi dan
memiliki kekuatan pembuktian seperti saksi meskipun terdakwa tidak menyetujuinya,
berbeda dengan KUHAP yang nilai pembuktiannya hanya sebagai petunjuk apabila
terdakwa tidak menyetujuinya.
Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2022 maka ketentuan Pasal 25 ayat (3)
menegaskan keterangan Saksi Testimonium de auditu bukan lagi berlaku sebagai
petunjuk melainkan berdiri sendiri di luar petunjuk selama dapat didukung dengan alat
bukti lain.
2. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 telah mengakomodir
perempuan memperoleh keadilan dalam tindak pidana kekerasan seksual
Peran Hakim dalam memastikan suatu peraturan perundang-undangan mencapai
tujuannya sebagaimana diharapkan pembentuk undang-undang, juga harus memastikan
kepastikan hukum, kemanfaatan dan keadilan dapat dicapai. Apabila antara ketiganya
saling bertentangan maka wajib bagi Hakim untuk mengutamakan keadilan. Demikian
pula ketika Hakim mengadili dan menyelesaikan perkara tindak pidana kekerasan
seksual dengan menempatkan perempuan sebagai korban. Hakim sebagai subsistem
peradilan merupakan pelaku inti yang secara fungsional memiliki peranan fundamental
guna mengupayakan perempuan memperoleh keadilannya dalam perkara tindak pidana
kekerasan seksual. Profesi hakim sebagai salah satu bentuk dari profesi hukum sering

166
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

digambarkan sebagai pemberi keadilan. Terhadap profesi hakim tersebut terikat kode
etik yang melekat dan disampaikan oleh Socrates dalam 4 (empat) perintah kepada
Hakim dalam mengadili suatu perkara (the 4 Commandments for judged), yakni:25
1. To hear courteously (mendengar dengan sopan, beradab);
2. To answer wisely (menjawab bijaksana, arif);
3. To consider soberly (mempertimbangkan tak terpengaruh);
4. To decide impartially (memutus tak berat sebelah).
Secara khusus sebagai lex specialist dalam menangani perkara tindak pidana
kekerasan seksual dengan perempuan sebagai korban, Hakim harus mempedomani
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan
Hukum (“Perma No. 3 Tahun 2017”), seperti yang tertuang dalam Pasal 2 bahwa hakim
dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum berdasarkan asas
penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender,
persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam
mengadili perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum, Hakim agar mengidentifikasi
situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap
perempuan; dan menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam
memperoleh keadilan.
Apabila dibedah tentang yang seharusnya dilakukan oleh Hakim di persidangan,
antara lain:
a) Dalam pemeriksaan perkara, Hakim diharapkan dapat mengidentifikasikan
fakta persidangan terkait adanya ketidaksetaraan gender dan ketidaksetaraan
status sosial di masyarakat, yang mengakibatkan adanya ketimpangan gender
antara perempuan dan laki-laki terutama jika perempuan menjadi korban
dan/atau saksi.26
b) Hakim dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa
antara para pihak yang berperkara yang mengakibatkan korban/saksi tidak

25
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 115
26
Pasal 4 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum

167
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

berdaya.27 Misalnya korban adalah siswa atau bawahan sedang pelaku adalah
guru atau majikan/atasannya. Dengan posisi tersebut pelaku cenderung
memiliki lebih banyak kekuasaan (powerful) dan kendali (control) atas diri
korban, sehingga tidak mudah bagi korban untuk keluar/terlepas dari kekerasan
yang dialaminya.
c) Hakim dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan riwayat kekerasan dari
pelaku terhadap korban/saksi.28
d) Dalam kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum, Hakim agar
mempertimbangkan dampak psikis serta ketidakberdayaan baik fisik maupun
psikis yang dialami perempuan berhadapan dengan hukum dengan
menyarankan para pihak untuk menghadirkan alat bukti lain seperti keterangan
ahli dan rekam psikologis korban melalui Surat Keterangan Psikologi, atau bila
memang ada persoalan lebih serius seperti gangguan jiwa, melalui visum et
repertum Psychiatricum agar dapat menilai tidak hanya dampak psikis dari
kekerasan tetapi juga ketidakberdayaan fisik dan psikis yang dialami
perempuan berhadapan dengan hukum saat kejadian dan setelahnya.
e) Apabila pertemuan korban dalam persidangan tidak mau atau tidak siap
bertemu dengan pelaku maka Hakim dapat memerintahkan pelaku untuk keluar
dari ruang persidangan atau melakukan pemeriksaan melalui pemeriksaan
audio visual jarak jauh atau menggunakan pemeriksaan lainnya (rekaman
video, dan lain-lain) agar perempuan korban dapat memberikan keterangan
tanpa ada tekanan dan terhindar dari trauma.29
f) Selama jalannya pemeriksaan persidangan, Hakim agar mencegah dan/atau
menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum,
yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan,
mengintimidasi, dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang
seksualitas perempuan berhadapan dengan hukum.30 Misalnya riwayat seksual

27
Ibid
28
Pasal 7 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
29
Pasal 10 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
30
Pasal 7 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum

168
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

perempuan berhadapan dengan hukum yang pernah berhubungan seksual


dengan laki-laki digunakan untuk menyudutkan perempuan berhadapan dengan
hukum sebagai perempuan yang tidak baik dan sebaliknya mewajarkan
tindakan pelaku.
g) Hakim dapat menyarankan dan/atau mengabulkan permintaan perempuan
berhadapan dengan hukum untuk menghadirkan pendamping.31
h) Hakim agar mempertimbangkan kondisi ketidaksetaraan perlindungan hukum
yang berdampak pada akses keadilan yang selama ini terjadi pada perempuan
di masyarakat patriarki. Dengan demikian Hakim juga dapat menggunakan
putusannya sebagai ruang keadilan bagi pencari keadilan, dalam hal ini bagi
perempuan berhadapan dengan hukum, oleh karena kekuasaan Hakim
memberikan kesempatan untuk membuat suatu terobosan guna memberikan
akses keadilan bagi pencari keadilan.32
Sementara itu yang seharusnya tidak dilakukan oleh Hakim di persidangan atau
dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, Hakim tidak boleh, antara
lain:
a. Menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan,
menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum.
Misalnya menyalahkan atau menuduh perempuan sebagai penyebab atau
pemberi peluang terjadinya tindak pidana kekerasan seksual atau karena tidak
berusaha melawan.
b. Membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan
menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun
menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.
c. Mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar
belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau
meringankan hukuman pelaku.
d. Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender

31
Pasal 9 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum
32
Pasal 4 Perma RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum

169
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

Peranan Hakim dalam memastikan perempuan berhadapan dengan hukum dapat


memperoleh keadilan dalam tindak pidana kekerasan seksual, maka Hakim harus
melakukan beberapa hal sebagai berikut:33
1. Hakim menggali bagaimana situasi ketidakberdayaan korban saat kejadian,
bukan menyudutkan dengan mempertanyakan mengapa korban tidak berusaha
melawan atau menyalahkan atas pakaian korban atau menyralahkan mengapa
keluar malam;
2. Hakim menanyakan riwayat kekerasan seksual dan mengindentifikasi adanya
siklus kekerasan seksual secara limitatif, terbatas pada relevansi perkara dan
Hakim harus mencermati dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual
seperti trauma, rasa cemas dan rasa takut korban, sebaliknya tidak
menyalahkan mengapa korban baru melapor, bertahan dalam kekerasan atau
pernah mencabut laporan.
3. Memberikan pemahaman dan menyakinkan korban bahwa persidangan tertutup
untuk umum sehingga apapun yang diceritakan tidak akan diketahui pihak luar
melainkan sebagai bahan pembuktian guna memberikan hukuman yang
setimpal dengan perbuatan pelaku.
4. Menunjukkan sikap bersedia mendengarkan, mengeluarkan
pernyataan/pertanyaan yang menunjukkan kepedulian dan penghargaan kepada
perempuan yang berhadapan dengan hukum dengan mengajukan pertanyaan
yang bersifat terbuka dan relevan dengan unsur-unsur tindak pidana agar
perempuan berhadapan dengan hukum dapat menceritakan yang dialaminya
dengan nyaman tanpa merasa terbebani oleh trauma yang mungkin dialami.
5. Hakim harus memperhatikan kenyamanan korban kekerasan seksual dalam
memberikan keterangan yang sebenarnya seperti mengakomodir kehadiran
pendamping, dalam perkara perempuan tersebut masuk kategori anak maka
wajib didampingi oleh orang tua/wali dan pekerja sosial. Bilamana korban
takut dengan Terdakwa maka Hakim harus memerintahkan pengambilan
keterangan korban tanpa dihadiri Terdakwa secara langsung, kemudian Hakim

33
Pengalaman Penulis 1 saat mengadili berbagai perkara kekerasan seksual dengan korban
perempuan baik dewasa maupun anak di Pengadilan Negeri Bajawa, Nusa Tenggara Timur kurun waktu
tahun 2020-2022

170
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

tetap mengakomodir tanggapan atau bantahan Terdakwa terhadap keterangan


korban ketika korban usai memberikan keterangannya di depan persidangan.
Apabila upaya-upaya tersebut sudah dilakukan namun perempuan korban
tindak pidana kekerasan seksual tersebut kesulitan memberikan keterangan,
maka Hakim harus secara arif dan bijaksana dapat menunda persidangan
tersebut hingga korban dirasa siap memberikan keterangan di depan
persidangan (hindari sikap perilaku Hakim memaksa korban memberikan
keterangan di depan persidangan pada hari itu juga bilamana keadaan tidak
memungkinkan);
6. Hakim dapat bertanya tentang situasi seksual atau seksualitas korban untuk
memahami situasi secara komprehensif, bukan dalam rangka untuk
menyalahkan korban dan membela pelaku. Contohnya apa yang membuat
Saksi bersedia bertemu lagi dengan Terdakwa? Atau Bisa ceritakan bagaimana
kejadiannya sehingga hubungan seks terjadi lagi lebih dari sekali?
7. Hakim harus lebih banyak menggali dampak dari kejadian kekerasan seksual
yang dialami korban baik pada saat maupun sesudah kejadian (dampak
langsung maupun dampak lanjutan). Dalam berbagai kasus kekerasan seksual
yang telah ditangani, selain korban mengalami rasa sakit semisal kekerasan
seksual dilakukan didahului dengan tindakan kekerasan memaksa dengan
mendorong, memukul atau dengan ancaman seperti akan dipukul, dibunuh atau
telah ditodong dengan parang, adapula banyak dampak psikis yang dialami
oleh korban yang titik beratnya terletak pada perubahan perilaku sebelum dan
sesudah kejadian dimana biasanya setelah terjadinya kekerasan seksual, korban
merasa takut, gelisah, cemas, malu dan trauma. Hal itu belum termasuk
dampak sosial yang dialami berupa rasa malu di lingkungan sekolah,
masyarakat, dibully, putus sekolah hingga ada yang ingin mengakhiri
hidupnya. Adapun contoh pertanyaan yang biasanya diajukan, apakah Saksi
masih sekolah? Setelah kejadian ini, bagaimana sekolah Saksi? atau Sebelum
kejadian itu terjadi, bagaimana sikap dan perilaku korban? Apakah ada
perubahan perilaku setelah korban mengalami kekerasan seksual?
8. Hakim harus mampu memberikan nasihat, motivasi dan solusi terhadap masa
depan korban. Misalnya bahwa korban wajib melanjutkan pendidikan

171
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

meskipun kondisinya sementara putus sekolah karena dikeluarkan pihak


sekolah atau mengundurkan diri diakibatkan rasa malu. Hakim harus bisa
memotivasi dan menyampaikan kepada korban akan pentingnya arti
pendidikan untuk masa depan korban. Menyampaikan kepada pendamping atau
orang tua untuk lebih peduli dan memperhatikan korban di lingkungannya
hingga menyadarkan dan meyakinkan korban bahwa peristiwa kekerasan
seksual tersebut bukan merupakan kesalahan korban sehingga jangan merasa
terbebani dan malu terhadap peristiwa yang telah terjadi seakan-akan kesalahan
dibebankan kepada korban;
Adapun hal-hal yang wajib diperhatikan dan dipertimbangkan oleh Hakim guna
mengadili dan memastikan perempuan berhadapan dengan hukum memperoleh
keadilannya dalam tindak pidana kekerasan seksual, yaitu:
a. Kerugian yang dialami korban dan penggantian ganti rugi/restitusi;
b. Ada tidaknya relasi kuasa dan kondisi ketidakberdayaan korban;
c. Dampak dari kasus baik secara fisik, psikis, sosial, ekonomi;
d. Adanya siklus kekerasan seksual, Riwayat kekerasan seksual dari pelaku
kepada korban;
e. Kondisi perempuan korban/saksi;
f. Pengalaman perempuan terkait adanya kekerasan seksual;
g. Potensi bahaya yang mengancam nyawa perempuan korban;
h. Kebutuhan untuk pemulihan;
i. Hasil visum et repertum dan visum et repertum psychiatricum.
C. Penutup
Secara substansi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual mendorong
adanya perubahan dari segi materiil dan formil dalam pembentukan UU No. 12 Tahun
2022. Perubahan dalam segi formil tersebut adalah terdapatnya perkembangan hukum
acara pidana dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual khususnya dalam
hal pembuktian. Perkembangan alat bukti keterangan saksi seperti pengecualian asas
unus testis nullus testis dalam UU No. 12 Tahun 2022, kekuatan pembuktian keluarga
terdakwa sebagai saksi.

172
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

Hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh Hakim guna mengadili dan memastikan
perempuan berhadapan dengan hukum memperoleh keadilannya dalam tindak pidana
kekerasan seksual berdasarkan Perma No. 3 Tahun 2017, yaitu:
a. Kerugian yang dialami korban dan penggantian ganti rugi/restitusi;
b. Ada tidaknya relasi kuasa dan kondisi ketidakberdayaan korban;
c. Dampak dari kasus baik secara fisik, psikis, sosial, ekonomi;
d. Adanya siklus kekerasan seksual, Riwayat kekerasan seksual dari pelaku
kepada korban;
e. Kondisi perempuan korban/saksi;
f. Pengalaman perempuan terkait adanya kekerasan seksual;
g. Potensi bahaya yang mengancam nyawa perempuan korban;
h. Kebutuhan untuk pemulihan; dan
i. Hasil visum et repertum dan visum et repertum psychiatricum.
D. Daftar Pustaka
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012), hal. 118
Adilla M, Nur. Reviktimisasi Terhadap Korban Perkosaan Anak di Bawah Umur.
Skripsi Program Sarjana, Universitas Islam Riau. 2021
Bappenas, Strategi Nasional Akses pada Keadilan, 2016-2019
Bestha Inatsan Ashila et.al. Pedoman Pendamping Perempuan Berhadapan dengan
Hukum. Depok: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (MaPPI FH UI). 2019
Etienne G. Kruh, et. Al. World Report on Violence and Health. Jenewa: World Health
Organization. 2002
Kelompok kerja perempuan dan anak Mahkamah Agung RI dan Masyarakat pemantau
peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI),
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum,
Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for
Justice 2, Jakarta, 2018
Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan, Kekerasan Meningkat:
Kebijakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman
Bagi Perempuan dan Anak Perempuan, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan
Tahun 2019, Komnas Perempuan
Komnas Perempuan (5), Catahu 2020: Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan
Kekerasan Seksual Untuk Membangun Ruang Aman Bagi Perempuan dan Anak
Perempuan - Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019, (Jakarta:
Komnas Perempuan, 2020)
Komnas Perempuan (8), Laporan Penelitian Kualitatif: Tinjauan Penerapan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Lima Mitra
Wilayah Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan

173
IBLAM Law Review
Vol. 02 No. 03 Tahun 2022, Hal 153-174
Tinajuan Yuridis Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022
Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam
Aksebilitas Keadilan Bagi Perempuan

Terhadap Perempuan (SPPT:PKKTP)


Lawrence M. Friedman. The Legal System: A Social Science Perspective. (New York:
Russell Sage Foundation. 1975
Mahkamah Agung. Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. Jakarta: Mahkamah
Agung, 2010
M. Syarifuddin. Aksesibilitas Keadilan bagi Perempuan dan Anak. Jakarta: PT. Imaji
Cipta Karya
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group),
2010, hal. 133.
Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, “Perempuan dalam Jeratan
Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM
Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005,” Laporan Komnas
Perempuan, Maret 2009; dan Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Aceh,
“Sebagai Korban, Juga Survivor: Pengalaman dan Suara Perempuan Pengungsi
Aceh tentang Kekerasan dan Diskriminasi,” Laporan Komnas Perempuan, April
2006
Ratna Batara Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan, Agenda Politik Perempuan
untuk Demokrasi dan Kesetaraan, Jakarta: PSKW UI dan Yayasan TIFA, 2008.
Syifa Nabilah Marwa, Bambang Dwi Baskoro dan Sukinta. “Unus Testis dalam
Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di
Wilayah Hukum PN Lubuk Basung). Diponegoro Law Journal Vol.8 No.2 (2019)
UN Report Chapter 6: Violence Against Women
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Kencana, Jakarta, 2013
Windri Anggraini Barokah dan Ridho Mahargyo. Penerapan Hukum Pembuktian Saksi
Testimonium de Auditu sebagai Alasan Pengajuan Kasasi Penuntut Umum dalam
Perkara Pengguguran Kandungan. Jurnal Verstek Vol.3 No. 1, 2015

174

You might also like