You are on page 1of 12

KONSEP DASAR DAN TEORI BELAJAR

KONSTRUKTIVISME MENURUT JEAN PIAGET DAN


VYGOTSKY
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi
Pendidikan
Yang diampu oleh bapak Drs. Supriyono, M.M. dan
ibu Dr. Nurul Istiq’faroh, M.Pd.

KELOMPOK 5

ELFINA DARMA YANTI (22010644044)


DEVI SYAPUTRI (22010644045)
ANANDA IZZATUR ROFIQOH SISWOYO (22010644048)
TAMARA DWI SISKA (22010644052)
INTAN KHOFIFATUS SAKINAH (22010644073)

PRODI PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2022B
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Psikologi
Pendidikan, dengan judul: "Konsep Dasar Dan Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut Jean Piagat Dan Vygotsky".

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................I
KATA PENGANTAR.................................................................................II
DAFTAR ISI...............................................................................................III
BAB I :PENDAHULUAN............................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................4
C. Tujuan Penulisan................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN ...........................................................................5
A. Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme....................................5
B. Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget........................................6
C. Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky...........................................9
BAB III : PENUTUP..................................................................................11
A. Kesimpulan ......................................................................................11
B. Saran.................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konstruktivisme menjadi pendekatan yang populer dan berkembang dalam
praktik pembelajaran saat ini. Hal ini tidak terlepas dari teori di baliknya. Teori
utama metode ini digagas oleh seorang psikolog yang dianggap hebat. Makalah
ini mengulas tentang bagaimana teori belajar konstruktivisme menurut Jean Piaget
dan Vygotsky. Selanjutnya, Makalah ini akan membahas konsep dasar teori
belajar konstruktivisme melalui tinjauan pustaka yang sangat mendalam.Tidak
hanya banyak keuntungan mengetahui konsep dasar teori belajar konstruktivisme
untuk pembelajaran di kelas, tetapi ada juga kesulitan dalam mempraktikkan
pendekatan ini.

B. RumusanMasalah
1. Bagaimana konsep dasar teori belajar konstruktivisme?
2. Bagaimana teori belajar konstruktivisme menurut Jean Piaget?
3. Bagaiaman teori belajar konstruktivisme menurut Vygotsky?

C. Tujuan
1. Dapat memahami dan mengidentifikasi konsep dasar teori belajar
konsruktivisme.
2. Dapat memahami teori belajar konstruktivisme menurut Jean Piaget.
3. Dapat memahami teori belajar konstruktivisme menurut Vygotsky.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme


Konstruktivisme Studi tentang pembelajaran adalah tentang bagaimana kita
semua memahami dunia (Singh &Yaduvanshi, 2015). Kontruktivisme adalah teori
belajar yang ditemukan pada psikologi yang menjelaskan tentang bagaimana
seseorang belajar dan mendapat pengetahuan. Teori ini menunjukkan bahwa
manusia membangun pengetahuan dan makna dari pengalaman mereka (Bada
&Olisegun, 2015). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh (Paradesa,
2015) menyatakan bahwa konstruktivisme adalah suatu pendekatan yang
berkeyakinan bahwa orang secara aktif membangun atau membuat pengetahuan
sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu sendiri.
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv artinya
memperbaiki dan membangun. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, isme
berarti paham atau aliran. Konstruktivisme adalah filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi kita sendiri.
Pandangan konstruktivis belajar menyatakan bahwa anak-anak memiliki
kesempatan untuk menggunakan strategi mereka sendiri dalam pembelajaran,
sementara guru membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.
Konstruktivisme erat kaitannya dengan metode belajar penemuan (discovery
learning) dan metode belajar bermakna (meaningfull learning) (Masgumelar,
2021).
Teori belajar kontruktivisme adalah sebuah teori yang membebaskan seseorang
untuk belajar dan mencari pengetahuan sesuai dengan kemampuan yang dibantu
dengan orang lain. Teori ini memberi keaktifan terhadap seseorang untuk belajar
menemukan pengetahuan,prestasi,atau tekhnologi dan hal-hal lain yang
diperlukan untuk pengembangan pada dirinya(Rangkuti, 2014).
B. Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Jean Piaget
Menurut Piaget, setiap individu memiliki kecenderungan alamiah dari dalam
diri mereka sendiri untuk mencari pemahaman dari apa yang terjadi saat ia
berinteraksi dengan lingkungan (fisik) (Nursalim, dkk 2019). Konstruktivisme
menurut Piaget (1971) adalah sistem penjelasan tentang bagaimana siswa sebagai
individu beradaptasi dan memperbaiki pengetahuan (Sugraha,2019).
Piaget percaya bahwa kecenderungan siswa untuk berinteraksi dengan
lingkungannya adalah bawaan. Anak pada dasarnya mengolah dan
mengorganisasikan informasi dalam pikirannya dalam bentuk skema. Skema
adalah struktur mental atau kognitif yang dapat beradaptasi dan berubah secara
intelektual sesuai dengan perkembangan mental anak. Skema bukanlah objek
yang kasat mata, melainkan rangkaian proses dalam sistem kesadaran manusia,
sehingga tidak memiliki bentuk fisik dan tidak kasat mata. Skema tidak pernah
berhenti berubah atau menjadi lebih rinci sehingga gambaran dalam pikiran anak
menjadi lebih berkembang dan lengkap (Trianto, 2007).
Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah
memiliki kemampuan untuk mengontruksi atau membentuk pengetahuannya
sendiri. Proses mengonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Kedua proses kognitif ini berlangsung ketika seseorang mempelajari
sesuatu bergantung pada apakah ia memiliki pengetahuan sebelumnya tentang
yang akan ia pelajari tersebut.
Asimilasi (assimilation) adalah proses mencerna suatu informasi yang
diterima dengan memasukkan informasi baru tersebut ke dalam struktur kognitif
yang telah ada tentangnya. Dalam proses asimilasi ini, individu mengintegrasikan
persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah
ada dalam pikirannya. Agar informasi baru tersebut dapat masuk dalam struktur
kognitif kita, maka skema-skema yang ada dalam struktur tersebut berubah dan
berkembang untuk menyesuaikan diri dengan informasi baru yang diterima
tersebut. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru agar wawasan orang itu
berkembang. Proses asimilasi ini terus menerus berjalan. Namun, asimilasi tidak
akan menyebabkan perubahan/ pergantian skemata melainkan perkembangan
skemata.
Akomodasi adalah proses kognitif untuk membuat skema pengetahuan baru
ketika suatu informasi diterima karena tidak ada pengetahuan sebelumnya tentang
informasi yang baru diterima tersebut. Dalam menghadapi pengalaman baru,
seseorang mungkin tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru tersebut
ke dalam struktur kognitif karena ia belum memiliki skema sama sekali tentang
pengalaman tersebut. Dalam keadaan demikian la akan mengadakan akomodasi.
Akomodasi terjadi dengan cara membentuk skema baru yang cocok dengan
informasi yang baru diterima.
Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya, maka terja ketidaksetimbangan
(disekuilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu, ma tercapailah akomodasi dan
struktur kognitif yang ada yang akan mengalam atau munculnya struktur baru.
Proses ini disebut sebagai equilibrasi Equilibrasi adalah penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Seseorang yang mempunyai
kemampuan equilibrasi yang bak akan mampu menata berbagai informasi ke
dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Pertumbuhan intelektual ini merupakan
proses terus-menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang
(disekuilibrium ekuilibrium). Namun, bila terjadi keseimbangan, maka individu
akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Hubungan cara
kerja keempat konsep Piaget tersebut skema, asimilasi, akomodasi, dan
ekuilibrium dapat dilustrasikan dalam contoh bagaimana seekor anak mengenal
anjing dan kucing.
Seorang Ibu menunjukkan gambar anjing dan menceritakan tentang anjing
tersebut kepada anaknya. Sang Ibu menunjukkan bahwa seperti di gambar inilah
yang bernama anjing, memiliki ciri punya kaki empat berekor dan bertelinga.
Pada saat itu, si anak membentuk pengetahuan yang dinamakan skema awal
bahwa anjing adalah seperti dalam gambar. Suatu hari si anak melihat hewan yang
hampir sama dengan gambar anjing. Namun, selain memiliki ciri seperti apa yang
ada dalam skema awal (hanya berupa gambar), ia melihat bahwa hewan tersebut
antara apa yang sudah ia katahu tentang anjing dalam buku, dengan anjing nyata
yang hidup, Kondisi ketidakcocokan antara objek dengan pengetahuan yang ada
dalam pikiran sang anak ini disebut "disekuilibrium”
ketidakseimbangan/kebingungan sebenarnya apakah anjing itu seperti yang ada
dalam gambar atau seperti dalam realitas yang dia lihat saat itu?. Sang ibu
kemudian menjelaskan bahwa anjing memang adalah makhluk hidup yang
berjalan, suka menjilat-jilat, dan menggonggong Yang terjadi kemudian adalah
proses asimilasi, yaitu: sang anak membangun pengetahuan tentang anjing dengan
mengaitkan antara skema awal anjing seperti ditunjukkan dalam gambar dan
cerita dari sang Ibu dengan anjing dalam realita sebenarnya. Kemudian sang anak
mempertegas konsep anjing dengan menanyakan kembali ke ibunya untuk
klarifikasi bahwa anjing itu tidak hanya berkaki empat bertelinga dua dan berekor,
tapi juga menggonggong, suka menjilat, dan seterusnya. Ketika ia mendapat
penegasan dari sang bu bahwa itulah anjing maka terjadilah perkembangan atau
pengayaan skema anjing pada diri si anak.
Keesokan harinya, si Anak melihat binatang lain, yaitu kucing yang
memiliki ciri mirip dengan anjing, berkaki empat, bertelinga dua dan berekor.
Pada saat itu, secara internal dalam benaknya membangun pengetahuan baru dan
bertanya apakah ini anjing? Namun, segera la mendapati banyak perbedaan antara
kucing dan anjing. Dalam hal ini si anak sudah punya skema awal bahwa anjing
itu berkaki empat, bertelinga dua, berekor, menggonggong, suka menjilat. Tapi
setelah melihat binatang lain, yaitu kucing, la bingung (disekuilibrium) di mana
ternyata binatang yang ditemuinya tersebut, memiliki kaki empat, bertelinga dua,
berekor, menjilat, tapi tidak menggonggong (malah bersuara, "Meoooong"),
bahkan suka lari, manjat pohon. Kemudian si anak bertanya kepada ibunya, "Bu
itu anjing apa? Ibu menjelaskan bahwa itu bukan anjing melainkan kucing. Ketika
mendapat jawaban bahwa itu adalah binatang lain yang mirip anjing bernama
kucing, maka terbangunlah pengetahuan baru ada diri si anak bahwa ada binatang
lain yang memiliki ciri hampir sama tapi berbeda dengan anjing, yaitu kucing.
Maka terbentuklah skema baru dalam pikiran si Anak. Di sinilah dia mengalami
proses konstruktivisme pengetahuan baru, yang oleh Piaget dinamakan sebagai
proses akomodasi. Begitulah proses belajar akan terus-menerus berlangsung
sepanjang si anak berinteraksi dengan lingkungannya (Nursalim, dkk 2019).

C. Teori Belajar Konstruktivisme Menurut Vygotsky

Siswa dapat langsung membangun pengetahuan secara efektif ketika dia


berinteraksi dengan orang lain yang Memiliki atau mengetahui lebih banyak
tentang pengetahuan luar. Dalam praktik pembelajaran, pihak lain dapat menjadi
guru atau guru siswa lain (teman sekelas). Menurut Vygotsky, masyarakat itu
ruang Lingkupnya adalah sekolah, harus menyediakan segalanya agar Siswa
dapat mempelajari apa yang perlu mereka pelajari. Jadi, bangunan Pengetahuan
terjadi secara budaya (sosial) dan kemudian secara pribadi (Sugraha,2019) .
Berlawanan dengan Piaget, Vygotsky meyakini bahwa pengetahuan
dikonstruksi secara kolaboratif antarindividu. Proses dalam kognisi diarahkan
melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Sumbangan penting
teori Vygotsky adalah penekanannya bahwa pada hakikatnya pembelajaran itu
bersifat sosiokultural. Maksudnya adalah, menurut Vygotsky, pembelajaran
adalah proses interaksi antara aspek "internal" dan "eksternal", yaitu kualitas
pribadi seorang siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial pembelajaran
(interaksi antara siswa dengan guru, dan sesama siswa, atau antara siswa dan
masyarakat) (Nursalim, dkk 2019).
Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan
belajar bersifat saling terkait, perkembangan kemampuan seseorang tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar
adalah berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Tiga prinsip penting yang diturunkan
dari teori Vygotsky adalah fungsi bahasa dan arti pentingnya, ZPD (Zona Of
Proximal Development), Scaffolding.
Fungsi bahasa dan arti pentingnya, Vygotsky memberikan pandangan
tentang pentingnya faktor sosial, bahasa dan orang lain dalam perkembangan
anak. Perkembangan bahasa pertama anak di dalam hidupnya dipercaya sebagai
pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya Vygotsky
menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental, seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan
dalam masyarakatnya terutama bahasa baik verbal maupun nonverbal. Bahasa
berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain.
Tingkat perkembangan potensial itu disebut Vygotsky sebagai zone of
proximal development (ZPD). ZPD adalah jarak atau ruang antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang
ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Proses belajar akan terjadi jika
siswa belajar (learning) menyelesaikan tugas-tugas instruction) yang belum
dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam ZPD mereka. Dalam penyelesaian
tugas belajar ini, siswa dibimbing oleh orang dewasa atau teman sebaya yang
lebih mampu.
Scaffolding, adalah memberikan kepada seorang anak sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi
bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil
alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan
sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan
menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat
mandiri. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam
upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar
pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum (Nursalim, dkk
2019).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setiap aspek kehidupan sosial yang kita pelajari, baik hubungan sosial, ekonomi,
budaya, psikologi, sejarah, geografi, atau politik, berasal dari masyarakat. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan filosofis untuk memberikan cara belajar yang
modern dan non tradisional, seperti pendekatan konstruktivis. Guru di sini tidak
lagi menempati posisi pemberi pengetahuan. Tidak lagi sebagai satu-satunya
sumber belajar. Namun, guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang
memungkinkan siswa untuk belajar dan membangun pengetahuan mereka sendiri.
Melalui pembelajaran yang menggunakan metode konstruktivis, siswa diharapkan
menjadi warga dunia yang demokratis, bertanggungjawab, dan kritis dalam
berpendapat.

B. Saran

Konstruktivisme berbeda dengan teori-teori belajar yang lain, makna


konstruktivisme dalam pembelajaran terletak pada transformasi siswa dari
peran konsumen ide menjadi peran penghasil ide. Pada saat yang sama, peran
guru juga berubah dari peran penghambat proses pembelajaran menjadi peran
fasilitator proses pembelajaran. Temuan menunjukkan bahwa konsep
konstruktivis ini secara inheren termasuk dalam kurikulum Indonesia,
kurikulum KTSP, tetapi dalam praktiknya konsep tersebut tidak diterapkan
dengan baik. Untuk itu perlu menggunakan pendekatan konstruktivis ini untuk
memajukan pendidikan di Indonesia agar siswa dapat mencapai potensi
maksimalnya dan menjadikan pendidikan di Indonesia lebih maju dan
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA

Singh. S &Yaduvanshi. S. 2015. International Journal of Scientific and Research


Publications, Volume 5, Issue 3, March 2015 ISSN 22503153.

Bada & Olusegun, S. 2015. Constructivism Learning Theory: A Paradigm for Teaching
and Learning. IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME)
Volume 5, Issue 6 Ver. I (Nov. - Dec. 2015), PP 66- 70.

Paradesa, R. (2015). Kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa melalui


pendekatan konstruktivisme pada mata kuliah matematika keuangan. Jurnal
Pendidikan Matematika RAFA, 1 (2), 306-325.

Rangkuti, NA. 2014. Konstruktivisme Dan Pembelajaran Matematika. Jurnal Darul


‘Ilmi Vol. 02, No. 02 Juli 2014.

Sugrah Nurfatimah. September (2019). Implementasi Teori Belajar Konstruktivisme


Dalam Pembelajaran Sains. Humanika, Kajian Ilmiah Mata KuliahUmum, Volume.
19. Nomor 2, halaman 121-138.

Trianto, (2007). Model-model Pembelajaran iInovatif berorientasi kontruktivistik.


Prestasi Pustaka: Jakarta.

Masgumelar, N. K., & Mustafa, P. S. (2021). Teori Belajar Konstruktivisme dan


Implikasinya dalam Pendidikan dan Pembelajaran. GHAITSA: Islamic Education
Journal, 2(1), 49-57.

Nursalim, Hermien dkk. (2019). PT Remaja Rodaskarya. Bandung : Jln. Ibu Inggit
Garmasih No.40.

You might also like