You are on page 1of 3

Perjalanan mencari transdisipliner:

sebuah refleksi
Oleh: Eka Satya Putra

Ketika pertama kali berkenalan dengan kata transdisiplin, entah mengapa, saya sangat tertarik
untuk mengetahui dan memahaminya. Saya berpikir mungkinkah ini sebuah disiplin/ilmu baru yang
dapat menjawab semua pertanyaan yang belum terjawab? Saya sangat antusias dan semangat.

Kemudian, ketika diminta untuk mempelajari, merangkum dan membuat bahan presentasi
mengenai transdisiplin mulailah saya berkenalan dengan Basarab Nicolescu dan Zurich sebagai
mainstream pemikiran transdisiplin. Banyak yang dapat dipelajari dan dipetik dari kedua aliran
mainstream ini, namun pertanyaan apakah transdisiplin itu dan bagaimana menguasainya serasa
masih belum terjawab bahkan makin menjauh. Saya merasa tidak berdaya untuk memahami apalagi
menguasai transdisiplin.

Perasaan tidak berdaya ini semakin menjadi-jadi tatkala saya semakin banyak membaca
artikel maupun buku mengenai transdisiplin. Ada yang mendefinisikan transdisiplin sebagai sebuah
disiplin diatas segala disipin (supra disiplin), ada yang mengatakan sebagai sebuah kerangka ataupun
pendekatan dan bukan supra disiplin, banyak yang mengaku telah menerapkan transdisipilin dan
mendapatkan sukses walaupun saya pribadi sulit memahami dimana letak penerapannya dan
kesuksesannya.

Kemudian saya mendapatkan kesempatan untuk melihat film “The Life and Ideas of David
Bohm”. Saya sangat terkesan dengan penjelasan Dr. Jan Walleczek, Director of Phenoscience Labs,
Berlin yang mengatakan: “Bohmian theory made a clear prediction about the nonlocality of the world.
What is nonlocality? Nonlocality is really, to put it in simple words, to profound discovery of the
interconnectedness of the universe at the fundamental level of quantum. Now, that conflicts deeply
right away with relativity theory, where it says no, the speed of light is limited. Everything is local.
Nothing can travel faster than the speed of light. So how could everything be instantaneously
interconnected in the universe? And that's the big clash that we have today. And that's why also Bohms
theory of hidden variables, which are nonlocal, has really been rejected from the start. It seems strange
to us, and I stress the word seems, but if we want to make sense of a theory that matters also, and
sometimes when a theory seems strange, we get past it and others times when it seems strange, it's
pointing us to something that we haven't understood well enough. It really says that there exists a
hidden regime of reality in which everything is interconnected. But no person, even in the future will
be able to access that domain and make and control it.” Kalimat “It really says that there exists a
hidden regime of reality in which everything is interconnected. But no person, even in the future will
be able to access that domain and make and control it” sangat menyentuh saya dan membuat saya
berpikir mungkin memang ada hal yang tidak bisa diketahui oleh manusia dan apakah hal itu adalah
transdisiplin?
Waktu datang dan berlalu dan kalimat diatas sepertinya fading away walaupun saya sangat
terkesan dengan kalimat tersebut. Namun anggapan saya tersebut ternyata salah karena, entah
mengapa dan bagaimana, tiba-tiba muncul pertanyaan dibenak saya: mungkinkah selama ini saya
salah mengartikan transdisiplin? Memang judulnya adalah transdisiplin tapi mungkinkah sebenarnya
yang dimaksud bukan sebuah disiplin? Karena ketika manusia berusaha memahami dan menguasai
dunia maka yang dilakukan adalah membedah realita yang berarti melahirkan disiplin baru?
Mungkinkah ada realita yang tidak dapat dibedah oleh manusia? Seperti yang disebutkan oleh Dr. Jan
Walleczek?
Saya mengibaratkan hal ini seperti ketika seseorang belajar mengemudi. Tentunya orang yang
belajar mengemudi berharap mendapatkan keterampilan dan ijin mengemudi sehingga mampu dan
laik untuk mengemudi sesuatu yang disebut kendaraan. Dalam proses ini, dia mempelajari disiplin
baru dan mendapatkan keterampilan baru tapi tujuannya adalah menguasai sesuatu. Bagaimana bila
mobil ini adalah dunia atau alam? Apakah benar tantangannya adalah menguasai dunia atau alam
atau menjadi bagian dari dunia atau alam itu sendiri? Saya merasa bila tantangannya adalah
menguasai maka transdisiplin adalah sesuatu yang sulit atau bahkan mustahil dicapai. Pertanyaan
apakah transdisiplin itu masih menghantui saya tapi saya merasa telah mencapai suatu terobosan
dengan pemikiran ini.
Kemudian saya bertemu dengan sebuah film berjudul “Why Everything You Thought You Knew
About Quantum Physics Is Different” oleh Philip Ball, seorang penulis sains dengan latar belakang
pendidikan Kimia dari Oxford University dan Fisika dari Bristol University. Di film tersebut Philip Ball
mengatakan “And quantum mechanics is a theory a bit like this, I think of what is and what isn't
knowable, and how those gnomes are related and how they emerge from the questions we ask. And I
like to think of this in terms of a distinction between a theory of illness and a theory of isness. Quantum
Mechanics doesn't tell us how a thing is, it tells us what it could be along with, and this is crude,
crucial, along with a logic of the relationships between those codes and the probability that it could be
this. So If This Then That.”
Dengan kalimat “Quantum Mechanics doesn't tell us how a thing is, it tells us what it could
be….” tiba-tiba semuanya seperti menjadi jelas. Newtonian mechanic berbicara tentang hal yang
deterministic, sebuah kepastian berdasarkan sebab akibat dengan berjalannya waktu, sedangkan
Quantum mechanic berbicara tentang apa yang mungkin terjadi. Bila quantum mechanic dipaksakan
mempunyai analogi yang sama dengan Newtonian mechanic maka mungkin analogi tersebut adalah
“pasti akan terjadi sesuatu dan kemungkinan kejadiannya adalah……..” alias sebuah probability.
Disiplin adalah Newtonian mechanic dan transdisiplin adalah quantum mechanic. Demikian guman
saya, mungkin benar mungkin salah tapi itu adalah penjelasan yang memberikan rasa nyaman kepada
saya. Adanya perbedaan definisi dan pandangan tentang transdisiplinpun menjadi jelas karena
memang semua bergantung pada state pengamat, apakah di Newtonian mechanic atau di Quantum
mechanic dan itulah indahnya transdisiplin. Sebuah hal universal yang dapat didefiniskan dari
manapun namun mempunyai “rasa” yang sama, yang sulit diuraikan ataupun dijabarkan dengan kata-
kata dan saya pikir inilah esensi dari transdisiplin.
Kembali mengutip pernyataan Dr. Jan Walleczek “It really says that there exists a hidden
regime of reality in which everything is interconnected. But no person, even in the future will be able
to access that domain and make and control it”, sangatlah jelas bagi saya sumber dari esensi
transdisiplin ini memang adalah hal yang mungkin tidak dapat dipahami atau dikuasai, namun dapat
dirasakan dalam sebuah proses untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita.
Sebagai penutup, ijinkanlah saya menyampaikan pemikiran ini dalam bentuk, saya dan kami,
unik dan biasa sebagai berikut:
In We there is I and in I there is We
I am ordinary and yet I am unique
In flux of ordinariness and uniqueness
That defines I in We and We in I
By Eka Satya Putra

Terima kasih

You might also like