You are on page 1of 20

HUKUM PIDANA

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengantar tata

hukum di Indonesia Pada Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum

Islam Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone

Oleh :
ELISA
742352022059
NURAWALINDAH
7423520220
SHELLAMITHA MUTIARA
742352022063
MUH.RIFKY FAHRIANSIAH
742352022056
RIKO
742352022064

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI BONE


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Dengan menyebut nama Allah-SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,

segala puji bagi Allah Tuhan semesta-alam. Tak lupa pula mengirimkan shalawat serta

salam kepada junjungan besar Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para sahabat dan

seluruh insan yang dikehendaki-Nya.

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Politik Hukum

yang berjudul “Pengantar tata hukum di Indonesia”. Dalam pembuatan makalah ini,

penulis mendapat bantuan serta bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah

sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih dosen yang membimbing. Dan orang tua

kami, dan semua pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah yang susun masih terdapat banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengaharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi

perbaikan makalah ini di masa mendatang. Demikian, semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Watampone, 25 oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................


DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................

A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................................
C. Tujuan ...........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................

A. Pengertian Hukum Pidana.............................................................................


B. Sejarah Hukum Pidana...................................................................................
C. Bentuk-bentuk Hukum Pidana.......................................................................
D. Unsur-unsur Hukum Pidana...........................................................................

BAB III PENUTUP..............................................................................................................

A. Kesimpulan.....................................................................................................
B. Saran .............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengantar Tata Hukum Di Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan Oleh
Pemerintah Indonesia Yang Teriri dari aturan-aturan Hukum yang ditata atau disusun
sedemikian rupa, dan aturan-aturan itu saling berhubungan dan saling menentukan.
Semua peraturan Hukum yang diadakan/diatur oleh Negara bagian yang berlaku pada
masa itu di seluruh Masyarakat dalam negara disebut Ius Constititum. Tujuan
dibentuknya Tata Hukum Indonesia adalah untuk mempertahankan, memelihara dan
melaksanakan tata tertib dikalangan Masyarakat dalam Negara, Dengan peraturan-
peraturan yang diadakan oleh Negara atau Bagiannya.

Kata Pengantar hukum Tata Indonesia dalam hukum pidana adalah penjelasan
yang menghubungkan Hukum Pidana dengan kerangka hukum dan tata kelola
Pemerintahan Di Indonesia. Yang mencakup Bagaimana Hukum Pidana diintegasikan
ke dalam sistem hukum yang lebih luas Dindonesia, Termasuk proses pembentukan
Undang-Undang, peran lembaga-lembaga pemerintah, dan sistem peradilan.

Kata Pengantar akan menjelaskan Bagaimana Hukum Pidana Sesuai dengan


konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum Pidana juga
membahas Terkait bagaimana kasus-kasus Hukum Pidana ditangani oleh
pengadilandan proses peradilan yang ada, kata Pengantar Tata Hukum Di Indonesia
dalam Hukum Pidana membantu menjelaskan hubungan antara Hukum pidana
Dengan struktur hukum dan Pemerintahan di Indonesia

Hukum Pidana diposisikan sebagai Hukum Publik mengatur Tingkah laku


Masyarakat sosial dari sudut pandang perbuatan dan penjatuhan sanksi. Hukum
Pidana adalah keseluruhan larangan dan perintah yang diadakan oleh negara dan yang
diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak menaatinya,
keseluruhan aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan
keseluruhan aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan hukum
Pidana. Hukum Pidana itu Terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan
dan larangan-larangan yang (0leh pembentuk Undang-Undang) telah dikaitkan
dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus,
Dengan demikian, dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidata itu merupakan suatu
sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan
untuk melakukan sesuatu) dalam hal keadan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat
dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan, serta hukuman
yang bagaimana yang di jatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.

Dengan Demikian Hukum Pidana yaitu keseluruhan dasar dan aturan dan
aturan yang dianut oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan Hukum,
yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan Hukum dan mengenakan suatu
nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar tersebut

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Hukum Pidana?
2. Apa Itu Pengertian Hukum Pidana?
3. Bagaimana Bentuk-Bentuk Hukum Pidana?
4. Bagaimana Unsur-Unsur Hukum Pidana?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Hukum Pidana
2. Untuk mengetahui Pengertian Hukum Pidana
3. Untuk Mengetahui Bentuk-Bentuk Hukum Pidana
4. Untuk Mengetahui Unsur-Unsur Hukum Pidana
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Pidana

Pada dasarnya, Kehadiran hukum pidana di tengah Masyarakat dimaksudkan

untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat

dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya, Rasa Aman yang dimaksudkan dalam

hal ini adalah keadaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan ancaman ataupun

perbuatan yang dapat merugikan anatar individu dalam masyarakat.

Istilah Hukum Pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda

“strafrecht”, straf berarti pidana, dan Recht berarti hukum.

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan

sejak pendudukan jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa

belanda.

Pengertia Hukum Pidana, Banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum,

diantaranya adalah:

1. Simons

Hukum Pidana Adalah keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara
diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila ditaati.

Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syrat untuk penjatuhan pidana

dan keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan

penerapan pidana:

2. Pompe

Hukum Pidana adalah suatu aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap

perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya

pidana itu.
3. Andi Hamzah

Hukum Pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung

larangan dan perintah atau keharusan terhadap pelanggarannya diancam

dengan pidana (sanksi Hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.

4. Moeljatno

Huukum Pidana sebagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku

disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar aturan-aturan untuk

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan tersebut dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

Dari beberapa pendapat yang telah dikutip dapat diambil gambaran

tentang hukum pidana, bahwa hukum pidanan merupakan, larangan untuk


melakukan suatu perbuatan, syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan

sanksi pidana, sansksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang

yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik). Cara

mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

B. Sejarah Hukum Pidana indonesia

Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tentu tidak dapat dilepaskan dari

keberadaan masyarakat Indonesia baik dalam masyarakat Indonesia yang belum

mengenal bentuk negara, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam banyak kerajaan-

kerajaan, masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda, dan masyarakat Indonesia

setelah masa kemerdekaan. Hukum Pidana modern Indonesia dimulai pada masa

masuknya bangsa Belanda ke Indonesia, adapun hukum yang ada dan berkembang
sebelum itu atau setelahnya yang hidup dimasyarakat tanpa pengakuan pemerintah

Belanda dikenal dengan Hukum Adat. Hukum pidana modern Indonesia sendiri dapat

dibagi menjadi hukum pidana pada masa penjajahan Belanda, hukum pidana pada

masa penjajahan Jepang, dan hukum pidana pada masa kemerdekaan. Hukum pidana

pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dari dua masa, yaitu masa sebelum

kekuasaan pemerintah Belanda dan masa pemerintahan Belanda. Masa sebelum

pemerintah Belanda dimulai dari masa kedatangan Vereenigne Oost Indische

Compagnie (VOC). Hukum pidana yang dibuat pada masa ini dapat dikatakan

sebagai awal dari berkembangnya hukum pidana modern Indonesia, karena pada

masa inilah mulai dikenal hukum pidana dalam bentuk tertulis yang berlaku di

wilayah Indonesia (pada masa itu disebut dengan istilah Hindia Belanda).

Pada awal masa sebelum pemerintahan Belanda hukum pidana yang berlaku

untuk orang Belanda di Indonesia adalah hukum mereka di Belanda (bagi mereka

berlaku Hukum Belanda Kuno dan asas-asa Hukum Romawi yang disebut hukum

Kapal). Namun hukum tersebut kemudian berkembang disesuaikan dengan masalah-

masalah yang dihadapi oleh VOC di Indonesia. Hukum yang dibuat oleh VOC di

Indonesia berdampingan pula dengan hukum yang dibuat oleh direksi-direksi mereka
di negeri Belanda yang disebut Heeren Zeventien. Untuk melaksanakan peraturan-

peraturan dari direksi di Belanda tersebut maka pengurus VOC di indonesia membuat

peraturan organik yang diumumkan dalam plakat- plakat. Plakat-plakat yang

kemudian disusun secara sistematis disebut Statuten van Batavia (Statuta Batavia)

yang kemudian pada tahun 1650 mendapat pengesahan oleh direksi VOC di Belanda.

Pada awalnya Statuta Batavia ini hanya berlaku untuk daerah Betawi, namun

kemudian diberlakukan di wilayah-wilayah pusat perdagangan VOC di Hindia

Belanda. Walapun Statuta Batavia dimaksudkan untuk semua penduduk yang ada

dalam kedaulatan VOC, namun pada kenyataannya dalam pelaksanaannya tidak dapat

berjalan sesuai dengan yang direncanakan, karena hanya masyarakat Belanda dan

Eropa saja yang tunduk pada ketentuan ini. Masyarakat Bumiputra dan masyarakat
Timur Asing masih tetap tundak pada hukumnya masing-masing. Kondisi seperti ini

telah mendorong VOC melakukan kodifikasi hukum adat bagi beberapa wilayah :

Kodifikasi hukum Adat Tionghoa yang berlaku bagi masyarakat Tionghoa disekitar

Betawi; Kodifikasi Papakem Cirebon yang berlaku bagi penduduk Bumiputara di

wilayah Cirebon dan sekitarnya; Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer,

berlaku bagi penduduk Bumiputra di Semarang dan sekitarnya; Kodifikasi Hukum

Bumiputra Bone dan Goa, berlaku bagi penduduk Bumiputra Bone dan Goa.

Selanjutnya pada tahun 1766 Statuta Batavia diperbaharui diberikan nama

Nieuwe Bataviase Statuten (Statuta Betawi Baru) yang berlaku sampai dengan tahun

1866. Memasuki masa Pemerintahan penjajahan Belanda (Setelah dibubarkan VOC

pada tahun 1798 dan Pemerintah Belanda langsung berkuasa atas daerah jajahan

mulai 1 Januari 1800), pemerintahan Belanda masih memberlakukan ketentuan lama.

Demikian pula pada masa penjajahan inggris yang mengambil alih pemerintahan

Belanda di Hindia Belanda (1811-1814) ketentuan tersebut masih dipertahankan.

Walaupun tidak ada perubahan dalam hukum pidana subtantif, perubahan terjadi pula

dalam hal hukumannya. Pemerintahan Inggris mengubah aturan-aturan tentang

penjatuhan pidana yang disesuikan dengan kepentingan pemerintahan Inggris,

diantaranya dihapuskannya hukuman pijnbank. Demikian pula keberadaan hukum


adat dibatasi, hukum adat hanya diberlakukan bila tidak bertentangan dengan asas-

asas keadilan. Namun demikian ada beberapa perubahan yang dilakukan, yaitu

berkaitan dengan hukum acara dan susunan pengadilan. Setelah berakhirnya

pemerintahan Inggris di Hindia Belanda (berdasarkan Konvensi London 13 Agustus

1948), pemerintahan beralih lagi ke pemerintahan Belanda. Pada masa ini pemerintah

Belanda tidak melakukan perubahan peraturan yang berlaku, Statuta Betawi Baru dan

hukum Adat masih tetap berlaku. Namun demikian Pemerintah Hindia Belanda

berusaha melakukan kodifikasi hukum yang dimulai tahun 1830 dan berakhir pada

tahun 1840, kodifikasi ini tidak termasuk dalam lapangan hukum pidana, dalam

hukum pidana kemudian diberlakukan Interimaire strafbepalingen. Pasal 1 ketentuan


ini menentukan bahwa hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848 tetap

berlaku dengan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya.

Walaupun sudah ada Interimaire Strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap

berusaha untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan hukum pidana,

terutama bagi golongan Eropa. Usaha ini membuahkan hasil dengan diundangkannya

Koninklijk Besluit 10 Februari 1866. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch

Indie (Wetboek voor de Europeanen) dikonkordansikan dengan Code Penal Perancis

yang sedang berlaku di Belanda. Ketentuan ini kemudian diberlakukan pula untuk

golongan penduduk lainnya berdasarkan Koninklijk Besluit 1872. Dengan

diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Wetboek voor de

Europeanen) teresebut menyebabkan tidak berlakunya lagi hukum Adat dilingkungan

hakim pemerintah. Untuk melengkapi kodifikasi di atas pemerintah Belanda

menetapkan Politie Strafreglement untuk golongan Eropa dan Politie Strafreglement

untuk golongan bukan Eropa. Kedua Politie Strafreglement ini mengatur tentang

pelanggran, jadi merupakan pelengkap bagi kodifikasi terdahulu yang mengatur

tentang kejahatan. Sementara itu upaya kodifikasi di Belanda untuk menggantikan

Code Penal telah berhasil dirampungkan dengan lahirnya Wetboek van Strafrecht

tahun 1881 dan mulai berlaku tanggal 1 September 1886. Kodifikasi ini kemudian
diberlakukan juga di Hindia Belanda. Dasar berlakunya adalah Koninklijk Besluit

No. 33 (stb. 1915 No. 732) tanggal 15 Oktober 1915 dan mulai berlaku tanggal 1

Januari 1918 dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie

(WvSNI). Ketentuan ini berlaku dengan disertai beberapa perubahan disesuaikan

dengan kebutuhan dan keadaan tanah jajahan. Berlakunya ketentuan ini menjadikan

hanya satu hukum yang berlaku di Hindia Belanda. Masuknya Jepang ke Indonesia

pada tahun 1942 setelah mengalahkan Belanda ternyata tidak menyebabkan

terjadinya perubahan yang besar dalam bidang hukum pidana. Wet Boek van

Strafrecht voor Nederlandsch Indie tetap berlaku berdasarkan Pasal 3 Undang-undang

Pemerintahan Bala Tentara Jepang yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1942. Namun

demikian pemerintahan Bala tentara Jepang pada tahun 1944 mengeluarkan Gunsei
Keizirei (semacam WvS) yang diterapkan pengadilan pada masa itu. Ketentuan ini

lebih dikedepankan bila mana terjadi kualifikasi delik yang berbeda antara Wet Boek

van Strafrecht dengan Gunsei Keizirei. Sementara itu untuk orang Jepang yang ada di

Indonesia berl aku hukumnya sendiri.

Setelah Indonesia merdeka WvSNI tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II

Aturan Peralihan UUDRI 1945 untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum.

Hal ini juga dikuatkan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia

No. 2 pada tanggal 10 Oktober 1945. Namun demikian masuknya kembali

Pemerintahan Belanda ke Indonesia dengan menguasai Jakarta, dan beberapa daerah

di Jawa Madura, Sumatra dan beberapa daerah lain telah menyebabkan terjadinya

perbedaan peraturan dalam hukum pidana untuk daerah kekuasaan Belanda,

Pemerintah Belanda melakukan perubahan atas beberapa pasal dalam WvSNI.

Sementara itu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia meninggalkan Jakarta

dan menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota negara. Pada tanggal 26 Februari 1946

Pemerintah RI mengeluarkan UU No.1 tahun 1946 yang berlaku untuk Jawa dan

Madura, sementara untuk daerah lain akan ditentukan berikutnya oleh presiden.

Undang-undang ini selain mengatur bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang
(1946) adalah peraturan- peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret

1942, juga menentukan :

 Mencabut semua peraturan pidana yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala

tentara Hindia dahulu

 Menetapkan peraturan-peraturan pidana yang seluruhnya atau sebagian pada tanggal

26 Pebruari 1946 tidak dapat dijalankan, karena bertentangan dengan kedudukan

Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus

dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku


 Merubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek

van Strafrecht atau dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

 Membuat perubahan kata-kata disesuai dengan keadaan Indonesia sebagai negara

merdeka

 Menciptakan delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI

dengan tujuan melindungi negara yang baru merdeka

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Wetboek van Strafrecht voor

Nerderlndsch Indie merupakan peraturan pidana yang berlaku, namun namanya diganti

menjadi Wetboek van Straftrecht dengan terjemahan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, disingkat dengan KUHP. Teks resmi KUHP Indonesia yang berbahasa Belanda

ini kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1946 diberlakukan juga

untuk daerah Sumatra. Disisi yang lain Pemerintah Belanda yang datang kembali ke

Indonesia setelah kemerdekaan dan menguasai beberapa wilayah Indonesia (di luar Jawa

dan Madura) kemudian mengeluarkan ordonantie tanggal 24 September 1948 (stb. 1948

No. 224) yang mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch indie menjadi

Wetboek van Straftrecht voor Indonesie. Akibatnya ada dua kodifikasi hukum pidana
berlaku di wilayah Indonesia yaitu Wetboek van Straftrecht (WvS) dan Wetboek van

Straftrecht voor Indonesie (WvSI).

Kondisi ini tetap berlaku ketika konstitusi RIS berlaku, bahkan sampai dengan

berlakunya UUDS, walaupun terjadi perbedaan wilayah karena berdasarkan UU No. 1

tahun 1950 Jo. UU No. 8 tahun 1950 WvS dibelakukan oleh pemerintah Indonesia di

wilayah-wilayah yang kembali menjadi bagian Indonesia (wiayah yang masih berada

dalam kekuasaan pemerintah Belanda adalah Indonesia Timur, Sumatra timur,

Kalimanatan Barat, dan Jakarta Raya. Dualisme hukum pidana Indonesia baru berakhir

setelah Belanda kembali meninggalkan Indonesia. Untuk mengatasi persoalan ini

dikeluarkan UU No. 73 tahun 1958 yang menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 1946

berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa KUHP yang
berlaku sekarang adalah WvSNI dengan perubahan- perubahan yang dilakukan oleh

pemerintah Republik Indonesia. Perubahan- perubahan tersebut dapat berupa

penghapusan tindak pidana, penambahan tindak pidana baru, penambahan jenis sanksi,

maupun perubahan sanksi pidana, dan sebagainya

Sejarah Lengkap KUHP

 1915

Undang-Undang No KUHP Tahun 1915

1946

Undang-Undang No 1 Tahun 1946

Memberlakukan Undang-Undang No KUHP Tahun 1915

varian : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

 1958

Undang-Undang No 73 Tahun 1958

Mengubah Undang-Undang No 1 Tahun 1946

varian : Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang

peraturan hukum pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik

Indonesia.

 1960

Undang-Undang No 1 Tahun 1960

Mengubah Undang-Undang No 73 Tahun 1958


varian : Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 1976

Undang-Undang No 4 Tahun 1976

Mengubah Undang-Undang No 1 Tahun 1960

 1999

Undang-Undang No 27 Tahun 1999

Mengubah Undang-Undang No 4 Tahun 1976

 2012

PERMA No 2 Tahun 2012

Menafsirkan Undang-Undang No KUHP Tahun 1915

Kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407

dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu

rupiah)

C. .Bentuk Bentuk Hukum Pidana

1. . Hukum Pidana Materiel dan Hukum Pidana Formil

a. Hukum Pidana Materiel Hukum pidana materiel memuat aturan-aturan yang

menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana,

aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan

ketentuan mengenai pidana. Simons mengatakan "Het bepaalt of, wie en hoe er

gestraftkan worden". KUHP memuat aturan-aturan hukum pidana materiel.


Dengan memperhatikan pendapat van Hamel, Vos, dan Wayne R. Lafave

dari apa yang dikemukakan mereka ketika berbicara mengenai hukum pidana

materiel dan pidana formil, Eddy O.S. Hieariej menyimpulkan bahwa hukum

pidana materil adalah keseluruhan hukum yang berisi asas-asas, perbuatan yang

dilarang dan perbuatan yang diperintahkan beserta sanksi pidana terhadap yang

melanggar atau tidak mematuhinya. Adapun hukum acara pidana (hukum

pidana formil) adalah hukum untuk melaksanakan hukum pidana materil yang

berisi asas-asas dan proses beracara dalam sistem peradilan pidana yang

dimulai dari penyelidikan sampai eksekusi putusan pengadilan.

b. Hukum Pidana Formil

Hukum pidana formil mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-

alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana. Hukum

pidana formil bisa juga disebut hukum acara pidana (KUHAP) memuat aturan-

aturan hukum pidana formal.20

2. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus

a) Hukum Pidana Umum

Hukum pidana umum ialah hukum yang berlaku bagi semua orang yang
berada di wilayah Indonesia terkecuali bangsa asing yang menurut hukum

internasional mempunyai hak eksterito. rialitas, sehingga ketentuan-ketentuan

pidana Indonesia tidak berlaku baginya dan mereka hanya tunduk pada undang-

un dang pidana dari negaranya sendiri. Aturan-aturan ini misal- nya saja terdapat

dalam KUHP dan KUHAP.

Andi Hamzah mengikuti pendapat Pompe dengan menjadikan Pasal 103

KUHP yang mengandung asas lex specialis derogat legi generali sebagai

patokan untuk membedakan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.

Kendati demikian, Andi Hamzah menawarkan istilah baru, yaitu perundang-

undangan pidana umum dan perundang-undangan pidana khusus. Di sini,

ditekankan pada undang-undangnya, bukan berdasarkan hukum pidananya.


Perundang-undangan umum ialah KUHP berserta semua perundang-undangan

yang mengubah dan menambah KUHP itu, seperti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1946, Undang- Undang Nomor 73 Tahun 1958, dan Undang-Undang

Nomor 18 (Prp) 1960 dan lain-lain. Adapun perundang-undangan pi- dana

khusus, ialah semua perundang-undangan di luar KUHP beserta perundang-

undangan pelengkapnya, baik perundang- undangan pidana maupun yang bukan

pidana tetapi bersanksi pidana.

b) Hukum Pidana Khusus

Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang dibuat untuk subjek hukum

khusus atau untuk perbuatan-perbuatan pidana tertentu. Oleh karena itu, hukum

pidana khusus memuat ke- tentuan-ketentuan dan asas-asas yang menyimpang

dari ke- tentuan-ketentuan dan asas-asas yang tercantum dalam hu- kum pidana

umum. 30 Aturan-aturan ini misalnya ada dalam Undang-Undang tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang tentang Perbankan,

Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, dan lain sebagainya.

3. Hukum Pidana Objektif dan Hukum Pidana Subjektif

a. Hukum Pidana Objektif Menurut Simons, hukum pidana dalam arti objektif atau
stra- frecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau

strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum

pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius

poenale. Artinya, keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan

yang atas pelanggarannya oleh negara atau oleh suatu masya- rakat umum

lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa

suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat

mengenai aki- bat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-

peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya

itu sendiri. Pengertian hukum pidana objektif atau ius poenale secara gamblang

diberikan oleh Vos, hukum pidana terdiri dari objektif (ius poenale) dan
subjektif (ius puniendi). Ius poenale adalah aturan-aturan hukum objektif, yakni

aturan hukum pidana. Hukum pidana materiel mengatur keadaan yang timbul

dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (hukum

penintentir) aturan mengenai kapan, siapa dan bagaimana pidana dijatuhkan.

Adapun hukum pidana subjek tif atau ius puniendi dikatakan sebagai hak

subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana,

menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana. 32 Sementara menurut Eddy

O.S. Hieariej, hukum pidana objek- tif dapat berupa hukum pidana materiel dan

hukum pidana formil. Sementara hukum pidana subjektif adalah hak negara

terhadap pemidanaan untuk melakukan penuntutan, penja- tuhan dan

pelaksanaan pidana yang pada hakikatnya berada dalam lingkup hukum pidana

formil, dan hukum pidana sub- jektif tidak dapat dilaksanakan tanpa hukum

pidana objektif. Dengan kata lain, hukum pidana objektif membatasi kekuasaan

negara dalam konteks hukum pidana subjektif.33

b. Hukum Pidana Subjekti

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi mempunyai dua

pengertian, yaitu:

1) Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk meng- hukum, yakni
hak yang telah mereka peroleh dari peratur- an-peraturan yang telah

ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif.

2) Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-

peraturannya dengan hukuman.

4. Hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan

a. Hukum Pidana yang Dikodifikasikan Hukum pidana yang dikodifikasikan, yaitu

hukum pidana yang disistematisasikan dan dibukukan dalam satu

kodifikasi/kitab, misalnya (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Untuk

kodifikasi (pembukuan) hukum harus dipenuhi syarat-syarat merupakan


pengetahuan hukum yang tinggi, dan kodifikasi itu harus memperoleh dukungan

dari masyarakat.

b. Hukum Pidana yang Tidak Dikodifikasikan

Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan, yaitu hukum pida- na yang di luar

KUHP, hukum pidana tersebut terdapat dalam berbagai undang-undang dan

peraturan lain, misalnya, Undang- Undang Narkotika, Undang-Undang Korupsi,

dan lain-lain.

5. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis

a. Hukum Pidana Tertulis

Hukum pidana tertulis adalah ketentuan dan aturan-aturan hukum pidana yang

sengaja dibuat oleh kekuasaan negara yang berdaulat, terdiri dari hukum pidana

yang dikodifikasikan seperti KUHP dan KUHAP, serta hukum pidana di luar

kodifikasi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.

b. Hukum Pidana Tidak Tertulis

Hukum pidana tidak tertulis (Hukum Pidana Adat) adalah hukum yang berlaku
hanya untuk masayarakat-masyarakat tertentu. Dasar hukum keberlakuannya

pada zaman Hindia- Belanda adalah Pasal 131 IS (indische staatregeling) atau

AB (Alegemene Bepalingen van Wetgeving). Zaman UUDS Pasal 32, 43 ayat

(4); Pasal 104 ayat (1); Pasal 14; Pasal 13; Pasal 16 ayat (2); UU No. No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 5 ayat (1), UU Darurat

No. 1 Tahun 1951 dalam Pasal 5 ayat (3 sub b)

6. Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional

a. Hukum Pidana Internasional

Bertolak dari perkembangan zaman, terdapat perbuatan-per- buatan yang

dilarang, yang kekuatan berlakunya tidak hanya dipertahankan oleh kedaulatan

suatu negara, tetapi juga diper- tahankan oleh masyarakat internasional.


Perbuatan-perbuatan tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai kejahatan

interna- sional yang merupakan substansi pokok dari hukum pidana internasional

Antonio Cassese mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai bagian dari

aturan-aturan internasional mengenai larangan-larangan kejahatan internasional

dan kewajiban negara melakukan penuntutan dan hukuman beberapa kejahatan.39

Menurut Remmelink hukum pidana internasional pada haki- katnya adalah hukum

pidana yang keberlakuannya pada hu- kum antar bangsa tidak bisa

mengesampingkan prinsip-prinsip internasional dan kebiasaan-kebiasaan

internasional.

Roling mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai hukum yang

menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-

kejahatan yang nyata-nyata di- lakukan jika terdapat unsur-unsur internasional di

dalamnya." Berdasarkan berbagai definisi hukum pidana internasional tersebut,

menurut Eddy O.S. Hieariej bahwa secara singkat, hukum pidana internasional

didefinisikan sebagai seperangkat aturan menyangkut kejahatan-kejahatan

internasional yang penegakannya dilakukan oleh negara atas dasar kerja sama

internasional atau oleh masyarakat internasional melalui suatu lembaga

internasional, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat ad-hoc.


b. Hukum Pidana Nasional

Hukum pidana nasional (national criminal law) adalah hukum pidana yang

berkembang dalam kerangka orde peraturan per- undang-undangan nasional dan

dilandaskan pada sumber hu- kum nasional. Sekiranya sistem hukum nasional,

termasuk hukum pidana na- sional, antara lain ingin dibangun dari sumber hukum

nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, maka konsekuensinya adalah

harus dilakukan upaya penggalian dan pengkajian ke arah Sebagaimana Barda

Nawawi Arief mengemukakan bahwa sistem hukum nasional jika dilihat sebagai

substansi hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa, sistem hukum nasional adalah

sistem hukum Pancasila. Apabila dijabarkan maka akan berlandaskan/berorientasi

pada tiga pilar/nilai keseimbangan Pancasila, yaitu: pertama, berorientasi pada


nilai-nilai "ketu- hanan" (bermoral religius); kedua, berorientasi pada nilai-nilai

"kemanusiaan" (humanistik); dan ketiga berorientasi pada ni- lai-nilai

"Kemasyarakatan" (nasionalistik, demokratik, dan ber- keadilan sosial)."

Karena Pancasila merupakan nilai-nilai filosofis kultural funda- mental, maka

dapatlah ditegaskan bahwa strategi pembangunan sistem hukum nasional

seharusnya berawal/dimulai dari "pem- bangunan kultural" (budaya hukum

nasional), karena nilai Pancasila inilah yang merupakan roh/jiwa/nilai dasar/ide

dasar dari sistem hukum nasional.

D. Unaur-unsur Tindak Pidana

You might also like