You are on page 1of 35

Referat

ST SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)

Oleh :
Nesa Chairani 2040312089
Nurul Adha 2040312031
Ekky Revialdy 2040312032
Muhammad Fuad Rahmannu 2040312084

Preseptor :
dr. Eka Fithra Elfi, SpJP(K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN


VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
2020
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa,
penulis dapat menyelesaikan referat yang merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Referat ini berjudul “ST Segment
Elevation Myocardial Infarction (STEMI)”, yang mana ditujukan untuk
menghimpun informasi sehingga diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
pehaman penulis dan pembaca mengenai STEMI

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Eka Fithra Elfi, SpJP(K)
selaku preseptor dan juga semua pihak yang telah memberikan arahan dan
petunjuk dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam


penulisan referat ini, untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua.

Padang, Oktober 2020

Penulis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.3. Manfaat Penulisan.............................................................................................2
1.4. Metode Penulisan..............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.................................................................................5
2.4 Patogenesis.........................................................................................................5
2.5 Manifestasi Klinis..............................................................................................6
2.6.1 Anamnesis.......................................................................................................7
2.6.2 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................7
2.6.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram.....................................................................7
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................................9
2.8 Tatalaksana.......................................................................................................11
2.8.1 Tindakan Umum dan Langkah Awal............................................................11
2.8.2 Perawatan Gawat Darurat.............................................................................12
2.8.3 Terapi Jangka Panjang..................................................................................21
2.8.4 Ringkasan Tatalaksana STEMI.....................................................................22
2.9 Komplikasi.......................................................................................................24
2.10 Prognosis........................................................................................................25
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas iii


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 1 Komponen Delay dalam STEMI dan Interval Ideal 14
untuk Intervensi
Gambar 2 Langkah-langkah Reperfusi 18

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas iv


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1 Temuan Abnormalitas EKG Anatomis Infark 8


Miokard
Tabel 2 Rekomendasi Terapi Reperfusi 15
Tabel 3 Rekomendasi Terapi Fibrinolitik 16
Tabel 4 Kontra Indikasi Terapi Fibrinolitik 20
Tabel 5 Regimen Fibrinolitik untuk Infark Miokard Akut 20
Tabel 6 Skor TIMI 25

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas v


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sindroma koroner akut merupakan suatu spektrum manifestasi akut dan


berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah.
Penyebab tersering penyakit ini adalah obstruksi aterosklerosis dalam arteri
koroner epikardial yang menyebabkan minimnya aliran darah sehingga terjadi
iskemia.1

Aterosklerosis adalah kelainan pada dinding pembuluh darah karena


perkembangan plak yang dapat menganggu aliran pembuluh darah apabila cukup
besar. Plak ini sudah mulai terbentuk sejak masa kanak-kanak dan berkembang
seiring bertambahnya usia tanpa menimbulkan gejala. Umumnya, gejala iskemia
berupa nyeri dada timbul apabila plak telah menyumbat setidaknya 50% lumen
pembuluh darah.1,2

STEMI adalah fase akut dari nyeri dada yang ditampilkan, terjadi
peningkatan baik frekuensi, lama nyeri dada dan tidak dapat di atasi dengan
pemberian nitrat, yang dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktu-waktu yang
disertai Infark Miokard Akut dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena
adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil.2

Menurut American Heart Association (AHA) infark miokard tetap


menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia, Setiap tahun
diperkirakan 785 ribu orang Amerika Serikat mengalami infark miokard dan
sekitar 470 ribu orang akan mengalami kekambuhan berulang, setiap 25 detik
diperkirakan terdapat 1 orang Amerika yang mati dikarenakan Infark Miokard. 2
Di Amerika Serikat, usia rata-rata presentasi ACS adalah 68 tahun (kisaran
interkuartil 56 hingga 79), dan rasio pria-wanita sekitar 3:2. Beberapa pasien
memiliki riwayat stable angina, sedangkan pada yang lain, ACS adalah presentasi
awal dari coronary artery disease (CAD). Di Indonesia menurut Kemenkes
(2013) prevalensi jantung

Fakultas Kedokteran Universitas 1


koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5%,
dan berdasarkan terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5.3

STEMI dapat menimbulkan nyeri dada hebat yang tidak dapat hilang
dengan istirahat, berpindah posisi, ataupun pemberian nitrat; kulit mungkin pucat,
berkeringat dan dingin saat disentuh; pada gejala awal tekanan darah dan nadi
dapat naik, tetapi juga dapat berubah menjadi turun drastis akibat dari penurunan
curah jantung, jika keadaan semakin buruk hal ini dapat mengakibatkan perfusi
ginjal dan pengeluaran urin menurun. Jika keadaan ini bertahan beberapa jam
sampai beberapa hari, dapat menunjukkan disfungsi ventrikel kiri. Pasien juga
terkadang ada yang mengalami mual muntah dan demam.1

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan serta


pemahaman penulis dan pembaca mengenai ST Segment Elevation Myocardial
Infarction (STEMI).

1.3. Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai ST


Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI).

1.4. Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk


pada berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas 2


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Acute Coronary Syndromes (ACS) telah dikembangkan sebagai istilah


yang merujuk kepada spektrum kondisi yang kompatibel dengan miokard akut
iskemia dan/atau infark yang biasanya disebabkan oleh penurunan tiba-tiba dalam
aliran darah koroner. Titik cabang utama adalah elevasi segmen-ST (ST-elevation)
atau new left bundle-branch block pada elektrokardiogram (EKG). Istilah
"kemungkinan ACS" sering diberikan selama evaluasi awal jika EKG tidak
menunjukkan dan data troponin belum tersedia.2

Pencarian sederhana di PubMed mengungkapkan bahwa artikel pertama


yang menggunakan istilah ACS dalam judul atau abstrak muncul pada tahun
1986. Dalam artikel ini berjudul Flow Characteristics of Coronary Balloon
Catheters, kalimat berikut muncul dalam abstrak: "sindrom koroner akut (infark
miokard akut, hipotensi, aritmia) yang memerlukan pembedahan darurat dan juga
menyebabkan kerusakan miokard permanen pada berbagai derajat”.4

Istilah ini muncul lagi beberapa tahun kemudian pada tahun 1992 dalam
sebuah artikel berjudul The Pathogenesjs of Coronary Artery Disease and the
Acute Coronary Syndromes, peneliti mendefinisikan ACS sebagai MI, unstable
angina, atau kematian mendadak iskemik. Sebagai titik sejarah dalam evolusi
penggunaan dan makna istilah ACS, menarik untuk dicatat bahwa MI, unstable
angina, dan kematian mendadak iskemik adalah bagian dari spektrum manifestasi
dari substrat arteri koroner aterosklerotik yang sama.4

Pada ACS, suplai darah ke jantung tiba-tiba berkurang bahkan terhenti


akibat penumpukan kolesterol dan formasi dari gumpalan darah di dalam arteri
jantung. Menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke jantung sehingga memicu
angina pektoris serta infark miokard, dimana terjadi kerusakan pada jantung.5

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan


indicator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini

Fakultas Kedokteran Universitas 3


memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.5

2.2 Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO), Acute Coronary Syndromes


(ACS) merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, pada tahun 2015 sebesar
7,4 juta dan diperkirakan akan mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030. 6 Di
Amerika Serikat, usia rata-rata presentasi ACS adalah 68 tahun (kisaran
interkuartil 56 hingga 79), dan rasio pria-wanita sekitar 3:2. Beberapa pasien
memiliki riwayat stable angina, sedangkan pada yang lain, ACS adalah presentasi
awal dari coronary artery disease (CAD).2

Sementara kejadian STEMI telah menurun secara signifikan selama


dekade terakhir, tingkat NSTEMI telah sedikit meningkat. Secara keseluruhan,
pasien NSTEMI tampaknya memiliki angka kematian jangka pendek yang lebih
rendah dibandingkan dengan STEMI, sementara pada 1 atau 2 tahun follow-up
tingkat mortalitas menjadi sebanding, kemungkinan karena perbedaan
karakteristik dasar, termasuk usia yang lebih tua dan prevalensi yang lebih besar
dari komorbiditas pada populasi NSTEMI.7 Masyarakat Aborigin dan Torres
Strait Islander yang dirawat di rumah sakit dengan ACS mengalami angka
kematian dua kali lebih banyak. Jika ACS tidak ditangani secara cepat dan
adekuat, maka kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian. Pada kenyataannya,
ACS merupakan salah satu dari lima penyakit tersering yang menyebabkan
kematian di United Kingdom setelah berbagai macam kanker dan stroke.5

Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan


prevalensi penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) sebesar 0,5% dari seluruh
pasien penyakit tidak menular. Daerah tertinggi berdasarkan terdiagnosis dokter
adalah Sulawesi Tengah (0,8%) diikuti Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Aceh
masing- masing (0,7%).3 Diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk terkena
ACS ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko. Pada 85% orang
yang menderita spasme arteri koroner ditemukan juga aterosklerosis. Sekitar 10-
15%

Fakultas Kedokteran Universitas 4


dari penderita nyeri dada yang khas, spasme arteri koroner dapat menjadi
penyebab utama dari kekurangan oksigen (iskemik) dan dapat menyebabkan rasa
nyeri. Beberapa orang yang menderita angina dapat juga ditemukan arteri koroner
yang normal.5

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Sekitar 80 % pasien dengan infark miokard akut (IMA) dilaporkan


memiliki setidaknya 1 dari faktor risiko major, termasuk diantaranya merokok,
dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus (DM) , dan obesitas abdomen. Faktor
resiko major dari SKA diantaranya adalah sebagai berikut8 :

1. Peningkatan umur
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Dislipidemia
4. Diabetes Melitus
5. Merokok
6. Hipertensi
7. Obesitas

Faktor resiko PJK menjadi : faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
yaitu : umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga sedangkan faktor risiko yang
dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi, diabetes melitus, obesitas,
hiperkolesterolemia, diet tinggi lemak jenuh, dan faktor hemostatik. Berdasarkan
data dari World Health Organization (WHO), faktor risiko PJK yang ikut
berperan menyebabkan kematian adalah tingginya tekanan darah (13% dari
kematian global), diikuti oleh konsumsi tembakau (9%), peningkatan gula darah
(6%), rendahnya aktivitas fisik (6%), dan kelebihan berat badan atau obesitas
(5%).8

2.4 Patogenesis

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur

Fakultas Kedokteran Universitas 5


koagulasi.

Fakultas Kedokteran Universitas 6


Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan
menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal.
Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang- lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).9

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.9

2.5 Manifestasi Klinis

Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,


menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.9

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.9

Fakultas Kedokteran Universitas 7


2.6 Diagnosis

Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,


pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,
diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada.10

2.6.1 Anamnesis

Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,


menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi
angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina
tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.9

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris tipikal


berupa rasa tertekan/berat di daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, nyeri
epigastrium, disertai keluhan penyerta seperti keringat dingin, sesak napas,
mual/muntah, dan pada pemeriksaan EKG didapatkan elevasi segmen ST
persisten di dua sadapan bersebelahan.10

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus


iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantungtiga (S3), ronkhi basah halus
dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia.9

2.6.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,

Fakultas Kedokteran Universitas 8


serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.9

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.9

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan


yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI
untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada
sadapan V1- V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia
dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria
usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30
tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-
V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).9

Menurut lokasi anatomis infark miokard, temuan abnormalitas EKG


adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Temuan Abnormalitas EKG Anatomis Infark Miokard

Lokasi Iskemi atau Infark Sadapan dengan Deviasi ST


Anterior V1-V4
Lateral I, aVL, V5-V6
Inferior II, III, aVF
Septal V1-V2

Fakultas Kedokteran Universitas 9


Posterior V1-V4, V8-V9

2.7 Diagnosis Banding

Benign Early Repolarization

Benign early repolarization (BER) adalah kondisi normal yang ditemukan pada 1-
5% populasi terutama pada usia muda, atlet dan ras hitam. Sekitar 48% pasien
dengan BER datang ke IGD dengan nyeri dada. Gambaran EKG BER memiliki
karakteristik elevasi segmen-ST konkaf 1-4 mm pada sadapan V2 – V5, terutama
V3, gelombang J yang prominen (berbentuk notched atau slurred) terutama di lead
V5-V6 dan tidak adanya gelombang S di V3.11

Hipertrofi Ventrikel Kiri

Pada hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/LVH) terjadi


abnormalitas repolarisasi segmen-ST yang dapat sulit dibedakan dengan
gambaran infark. Pada konsensus Third Global Myocardial Infarction Task Force
dikatakan bahwa nilai ambang elevasi segmen-ST tidak bisa digunakan pada
pasien dengan LVH ataupun left bundle branch block (LBBB). Pada LVH,
gelombang S yang dalam dapat terlihat di sadapan V1 – V3, dengan elevasi
segmen-ST yang diskordan dengan kompleks QRS.10 Elevasi segmen-ST pada
LVH biasanya berbentuk konkaf, namun dapat juga berbentuk datar atau konveks,
mirip IMA.11

Left Bundle Branch Block (LBBB)

Abnormalitas EKG pada ST-T sering ditemukan pada pasien dengan LBBB
sehingga sulit dibedakan dengan STEMI. Hal ini disebabkan oleh depolarisasi
abnormal ventrikel yang diikuti oleh gangguan proses repolarisasi. Pada LBBB
didapatkan EKG dengan gelombang S yang dalam dan lebar di sadapan V1-V3
dengan elevasi segmen-ST dan gelombang T yang diskordan dengan komplek
QRS.11

Fakultas Kedokteran Universitas 1


Perikarditis Akut

Pada perikarditis akut didapatkan elevasi difus segmen-ST bentuk konkaf pada
semua sadapan kecuali V1 dan aVR di mana didapatkan depresi segmen-ST
(64%). Tipikal elevasi segmen-ST pada perikarditis akut memperlihatkan
keterlibatan lebih dari satu pembuluh darah koroner, yang jarang terjadi pada
kasus IMA. Selain itu didapatkan depresi segmen-PR pada semua sadapan kecuali
V1 dan aVR yang didapatkan elevasi segmen-PR. Hal lain yang dapat membantu
membedakan perikarditis akut dengan IMA adalah tidak adanya gelombang Q dan
inversi gelombang T pada saat EKG menunjukkan elevasi segmen-ST.11

Hiperkalemia

Potasium/Kalium adalah salah satu elektrolit penting di jaringan miokardial,


apabila terjadi gangguan signifikan pada plasma kalium akan menyebabkan
gangguan aktifitas listrik dan mencetuskan aritmia. Perubahan EKG pada
hiperkalemia bersifat progresif. Perubahan paling awal pada EKG adalah
gelombang T yang tinggi, sempit, dan simetris, diikuti penurunan amplitudo
gelombang P dan pelebaran kompleks QRS seiring dengan makin tingginya
konsentrasi kalium serum. Gelombang T hiperakut pada IMA biasanya diikuti
pemanjangan interval-QT, berbeda dengan gelombang T pada hiperkalemia yang
diikuti dengan interval-QT yang pendek. Walaupun jarang, elevasi segmen-ST
dapat terlihat pada pemeriksaan EKG pasien hiperkalemia (pseudoinfark),
terutama di sadapan V1 – V3. Elevasi segmen-ST pada hiperkalemia sering
berbentuk downsloping, berbeda dengan IMA yang lebih sering berbentuk datar
atau upsloping.11

Sindrom Brugada

Sindrom Brugada disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode kanal natrium di
jantung. Sindrom ini endemik di Asia Tenggara, dengan predominan lakilaki
(80%) pada usia rata-rata 40 tahun. Penegakkan diagnosis sindrom Brugada
berdasarkan EKG, didapatkan gambaran RBBB atipikal dengan karakteristik
elevasi segmen-

Fakultas Kedokteran Universitas 1


ST 2 mm atau lebih yang berbentuk coved-shaped pada sadapan V1 – V3, tanpa
disertai penyakit jantung struktural, gangguan elektrolit, dan iskemia.11

Spasme Arteri Koroner (Angina Prinzmetal)

Angina Prinzmetal ditandai dengan nyeri dada yang mendadak pada saat istirahat
terutama pada pagi hari disebabkan oleh peningkatan tonus pembuluh darah
koroner (vasospasme) yang reversibel. Kelainan ini banyak ditemukan pada laki-
laki yang perokok (74 %). Keluhan nyeri dada akan berkurang dengan pemberian
nitrat.3,8 Elevasi segmen-ST pada angina Prinzmetal tidak dapat dibedakan dari
IMA, karena keduanya memiliki patofisiologi yang sama. Dimana pada angina
prinzmetal terjadi iskemik transmural yang disebabkan oleh vasospasme pada
epikardial sedangkan pada IMA disebabkan oleh thrombus yang persisten Apabila
spasme berlangsung cukup lama, dapat menimbulkan infark.11

2.8 Tatalaksana

2.8.1 Tindakan Umum Dan Langkah Awal

Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis
kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal
adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (MONA) :12

1. Tirah baring
2. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual
3. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<95% atau yang mengalami distres respirasi. Suplemen oksigen dapat
diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa
mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
4. Aspirin 160-320 mg dengan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap hari untuk
jangka panjang diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat

Fakultas Kedokteran Universitas 1


5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
 Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan gen fibrinolitik, atau
 Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai
maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Isosorbid dinitrat (ISDN)
dapat dipakai sebagai pengganti apabila NTG tidak tersedia,
7. Pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

2.8.2 Perawatan Gawat Darurat

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk


diagnosis dan pengobatan. Kontak medis pertama adalah saat pasien pertama
diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain sebelum tiba di
rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi
dalam situasi rawat jalan.12

Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan


interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba
untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal
pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung
menunjukkan perlunya tindakan segera. 12

Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer


harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat
memulai IKP primer sesegera mungkin <90 menit sejak panggilan inisial. Semua

Fakultas Kedokteran Universitas 1


rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien
STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan
berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini : 12

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
a. Untuk fibrinolisis ≤30 menit
b. Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)

2.8.2.1 Delay (Keterlambatan)

Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu


paling berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di mana
pasien mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung.
Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien dengan kecurigaan infark miokard
akut dan digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan. Selain itu, pemberian
terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat bermanfaat. Jadi, delay
harus diminimalisir sebisa mungkin untuk meningkatkan luaran klinis. Selain itu
delay pemberian pengobatan merupakan salah satu indeks kualitas perawatan
STEMI yang paling mudah diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah
sakit saat menangani pasien STEMI perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk
memastikan kulaitas perawatan tetap terjaga. Beberapa komponen delay dalam
penanganan STEMI dapat dilhat di gambar 1 : 12

Fakultas Kedokteran Universitas 1


Gambar 1. Komponen Delay dalam STEMI dan Interval Ideal untuk
Intervensi12

2.8.2.2 Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera dan sebisa mungkin, baik dengan IKP primer atau
farmakologis, diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam
12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block
(LBBB) yang (terduga) baru dan terdapat bukti klinis maupun EKG adanya
iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam
yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. 12

Tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang
memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada,
pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke
rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan
waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas IKP.
12

Fakultas Kedokteran Universitas 1


2.8.2.2.1 Intervensi Koroner Perkutan Primer12

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Reperfusi

2.8.2.2.2 Farmakoterapi Periprosedural 12

Pasien yang akan IKP primer sebaiknya mendapatkan beberapa terapi


sebagai berikut :

1. Terapi antiplatelet ganda (DAPT)


a. Aspirin
Oral 160-320 mg
b. Penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi dengan
pilihan yang dapat digunakan antara lain:
 Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg
dua kali sehari), atau
 Clopidogrel (dosis loading 600 mg, diikuti 150 mg per hari), bila
ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan
2. Antikoagulan intravena
Pilihannya antara lain:

Fakultas Kedokteran Universitas 1


a. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin
b. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi
c. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer
d. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer

2.8.2.3 Terapi Fibrinolitik12

Tabel 3. Rekomendasi Terapi Fibrinolitik

Fakultas Kedokteran Universitas 1


Fakultas Kedokteran Universitas 1
Gambar 2. Langkah-langkah Reperfusi

2.8.2.3.1 Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien 12

Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

1. Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan
tanda dan gejala iskemik).
2. Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
3. Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu
melakukan IKP (<120 menit).

Fakultas Kedokteran Universitas 1


Langkah 2:

1. Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi invasif untuk
kasus tersebut.
2. Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan,
tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.

Keadaan dimana fibrinolisis lebih baik:

1. Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan
untuk strategi invasive
2. Strategi invasif tidak dapat dilakukan
a. Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
b. Kesulitan mendapatkan akses vaskular
c. Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu
melakukan IKP dalam waktu <120 menit
3. Halangan untuk strategi invasif
a. Transportasi bermasalah
b. Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
c. Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih
dari 90 menit

Keadaan dimana strategi invasif lebih baik:

1. Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan


a. Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang
dari 90 menit
b. Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
2. Risiko tinggi STEMI
a. Syok kardiogenik
b. Kelas Killip ≥ 3
3. Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan
perdarahan intracranial
4. Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala

Fakultas Kedokteran Universitas 2


5. Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Tabel 4. Kontra Indikasi Terapi Fibrinolitik

Tabel 5. Regimen Fibrinolitik untuk Infark Miokard Akut

Fakultas Kedokteran Universitas 2


2.8.2.3.2 Koterapi antikogulan12

1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi


antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap,
hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih
dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi
UFH (unfractioned heparin) berkepanjangan
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (low molecule weight
heparin) atau fondaparinuks dengan regimen dosis sama dengan pasien yang
mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut
ini merupakan rekomendasi dosis:
a. Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan
untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA telah
diberikan
b. Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam
8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12
jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg
c. Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP
(glikoprotein) IIb/IIIa
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa

2.8.3 Terapi Jangka 12

Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,


dengan ketat

Fakultas Kedokteran Universitas 2


2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior. Sebagai
alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal
ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia

2.8.4 Ringkasan Tatalaksana STEMI13

1. Fase Akut di UGD


a. Bed rest total
b. Oksigen 2-4 liter/menit
c. Pemasangan IVFD
d. Obat-obatan :
 Aspilet 160mg kunyah
 Clopidogrel (untuk usia <75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg jika pasien mendapatkan terapi
fibrinolitik, atau
 Clopidogrel 600 mg atau ticagrelor 80 mg jika pasien mendapatkan
primary PCI
 Atorvastatin 40 mg
 Nitrat sublingual 5 mg, dapat diulang 3 kali jika masih ada keluhan,
dan dilanjutkan dengan nitrat IV bila keluhan persisten

Fakultas Kedokteran Universitas 2


 Morfin 2-4 mg IV jika masih nyeri dada
e. Monitoring jantung
f. Jika onset <12jam:
 Fibrinolitik (di IGD) atau
 Primary PCI (di Cathlab) bila fasilitas dan SDM di cathlab siap
melakukan dalam 2 jam
2. Fase Perawatan Intensif di CVC (2x24 jam)
a. Obat-obatan
 Imvastatin 1x20 atau Atorvastatin 1x20 mg atau 1x40 mg jika kadar
LDL di atas target
 Aspilet 1 x 80mg
 Clopidogrel 1 x 75 mg atau Ticagrelor 2 x 90mg
 Bisoprolol 1x1.25 mg jika fungsi ginjal bagus, Carvedilol 2x3,125 mg
jika fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi; diberikan jika tidak
ada kontra indikasi
 Ramipril 1 x 2,5 mg jika terdapat infark anterior atau LV fungsi
menurun EF <50%; diberikan jika tidak ada kontra indikasi
 Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat golongan
ARB: Candesartan 1 x 16 mg, Valsartan 2x80mg
 Obat pencahar 2 x 1 sendok makan
 Diazepam 1 x 5 mg
 Jika tidak dilakukan primary PCI diberikan heparinisasi dengan:
o UF heparin bolus 60 Unit/kgBB, maksimal 4000 Unit, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 12 Unit/kgBB maksimal 1000 Unit/jam atau
o Enoxaparin 2 x 60mg (sebelumnya dibolus 30mg iv) atau
o Fondaparinux 1 x 2,5 mg
b. Monitoring kardiak
c. Puasa 6 jam
d. Diet Jantung I1800 kkal/24 jam
e. Total cairan 1800 cc/24 jam
f. Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid) dan
asam urat

Fakultas Kedokteran Universitas 2


3. Fase perawatan biasa
a. Sama dengan langkah 2 a-f
b. Stratifikasi Risiko untuk prognostik sesuai skala prioritas pasien (pilih
salah satu) : 6 minutes walk test, Treadmill test, Echocardiografi Stress
test, Stress test perfusion scanning atau MRI
c. Rehabilitasi dan Prevensi sekunder

2.9 Komplikasi

Ada beberapa komplikasi yang sering ditemukan pada pasien STEMI, di


antaranya1,12:

 Takiaritmia: takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, fibrilasi/flutter atrium,


accelerated idioventricular rhythm
 Bradiaritmia: blok atrioventrikular, junctional escape rhythm
 Syok kardiogenik
 Infark ventrikel kanan
 Gagal jantung

Setelah STEMI fase akut dan subakut, disfungsi pada miokardium sering
terjadi. Adanya obstruksi mikrovaskular dan/atau jejas transmural dapat mengarah
pada pompa yang gagal bekerja dengan semestinya disertai manifestasi klinis
kegagalan jantung, yang dapat berakibat pada munculnya gagal jantung kronik.12

Selain gagal jantung, dapat pula terjadi komplikasi yang lain, berupa syok
kardiogenik. Penyakit ini merupakan penyebab kematian utama pasien dengan
STEMI. Penelitian yang dilakukan di Kupang, Nusa Tenggara Timur
menunjukkan bahwa dari 23 pasien yang didiagnosis STEMI, sebanyak tiga dari
Sembilan subjek penelitian mengalami syok kardiogenik 14. Walaupun syok sering
muncul pada fase awal setelah onset, biasanya ia tidak didiagnosis saat pasien
datang ke rumah sakit untuk pertama kali. Biasanya, pasien datang dengan
hipotensi, cardiac output yang rendah, dan kongesti paru.12

Aritmia, baik takiaritmia maupun bradiaritmia, juga sering ditemukan


dalam beberapa jam pertama setelah kemunculan infark miokard. Beberapa jenis

Fakultas Kedokteran Universitas 2


aritmia yang muncul yaitu fibrilasi atrium awitan baru (28%), VT tidak berlanjut
(13%), blok AV derajat tinggi (10%), sinus bradikardi (7%), henti sinus (5%, ≥5
detik), VT berkelanjutan (3%), dan VF (3%).12

2.10 Prognosis

Untuk menilai risiko mortalitas 30 hari pada pasien STEMI, dapat


digunakan skor TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction). Penilaiannya
mencakup beberapa hal, di antaranya usia, komorbid, tekanan darah, dan lain-lain.
Penjabarannya adalah sebagai berikut1:

Tabel 6. Skor TIMI

Variabel Nilai
Usia ≥75 tahun 3
Usia 65-74 tahun 2
Diabetes, hipertensi, angina 3
Tekanan darah sistolik <100 mmHg 3
Laju nadi >100 kali per menit 2
Kelas Killip II-IV 2
STEMI anterior atau LBBB komplit 1
Waktu ke tindakan >4 jam 1

Dari poin-poin di atas, berikut adalah risiko mortalitas 30 hari2:

Skor Risiko Mortalitas 30 hari (%)


0 0,8
1 1,6
2 2,2
3 4,4
5 12
6 16
7 23
8 27

Fakultas Kedokteran Universitas 2


Selain skor TIMI, dapat juga digunakan klasifikasi GRACE (Global
Registry of Acute Coronary Events). Penilaian ini dapat digunakan untuk
memperkirakan mortalitas saat rawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah
keluar dari rumah sakit. Makin tinggi skor GRACE, risiko kematian akan makin
besar1.

Penilaian risiko dengan TIMI maupun GRACE melibatkan salah satu


variable, yaitu kelas Killip. Stratifikasi kelas ini digunakan menurut indikator
klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut. Berikut merupakan
penjelasan dari kelas Killip, yang dibagi menjadi empat tingkatan12.

1. I -> tidak ada gagal jantung, mortalitas 6%.


2. II -> ada gagal jantung, tanda: S3 dan ronki basah pada setengah lapangan
paru, mortalitas 17%.
3. III -> ada edema paru, tanda: ronki basah di seluruh lapangan paru,
mortalitas 38%.
4. IV -> ada syok kardiogenik, tanda: sistol <90 mmHg dan hipoperfusi
jaringan, mortalitas: 81%.

Fakultas Kedokteran Universitas 2


BAB 3
KESIMPULA
N
STEMI atau infark miokard dengan elevasi segmen ST merupakan
indikator adanya oklusi total arteri koroner oleh trombus. Diagnosisnya
ditegakkan berdasarkan keluhan pada angina pektoris dan gambaran EKG berupa
elevasi segmen ST persisten pada dua sadapan yang bersebelahan. Pasien dengan
STEMI memerlukan reperfusi dengan segera untuk menghindari terjadinya
nekrosis miokardium.

Terapi reperfusi segera, secara farmakologis atau primer PCI, diberikan


pada pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST
atau LBBB. Untuk hal tersebut, hal yang pertama kali harus dilakukan adalah
melihat apakah ada RS yang memiliki fasilitas PCI atau tidak. Jika tidak ada,
pemberian terapi fibrinolitik yang dipilih, dengan catatan tidak ada kontraindikasi
relatif dan absolut pada pasien. Jika ada, pastikan apakah waktu tempuh dari
lokasi kejadian ke RS yang memiliki fasilitas untuk PCI kurang atau lebih dari
dua jam. Apabila lebih, utamakan terapi fibrinolitik, dan setelah itu dibawa ke RS
dengan fasilitas PCI jika kondisi memungkinkan. Terapi fibrinolitik dikatakan
berhasil bila gejala sudah mereda, resolusi amplitude segmen ST >50%, dan ada
aritmia reperfusi.

Komplikasi yang muncul pada STEMI dapat berupa gagal jantung, syok
kardiogenik, aritmia (takiaritmia maupun bradiaritmia), atau komplikasi yang lain.
Untuk memprediksi mortalitas, digunakan skor TIMI atau GRACE. Selain kedua
macam penilaian tersebut, digunakan juga klasifikasi Killip, yang berdasarkan
pada indikator klinis gagal jantung. Makin tinggi skor TIMI atau GRACE, risiko
mortalitas akan makin besar. Demikian juga untuk Killip, makin tinggi kelas,
makin besar pula risiko mortalitas pasien akibat STEMI.

Fakultas Kedokteran Universitas 2


DAFTAR PUSTAKA
1. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV): 5 Rahasia. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2018.
2. Anbe DT, Amstrong PW, Bates ER, green LA, hand M, Hochman JS et al.
2004. AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With ST-
Elevation Acute Coronary Syndromes A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
The American Heart Association, Inc., and The American College of
Cardiology Foundation
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Kesehatan Jantung.
Buletin jendela data dan informasi kesehatan. Jakarta : Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
4. Valentin Fuster, Jason C. Kovacic. 2014. Acute Coronary Syndromes
Pathology, Diagnosis, Genetics, Prevention, and Treatment. 114(12): 1847-
1851.
5. Biancha Tumade, Edmond L. Jim, Victor F. F. Joseph. 2016. Prevalensi
sindrom koroner akut di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1
Januari 2014 – 31 Desember 2014. Jurnal e-Clinic. 4(1): 1-9.
6. Muhibbah, Abdurrahman, Rismia, Oski. 2019. Karakteristik Pasien
Sindrom Koroner Akut Pada Pasien Rawat Inap Ruang Tulip Di Rsud Ulin
Banjarmasin. Indonesian Journal for Health Sciences. 3(1).
7. Marco Roffi, Carlo P, Christian M, Marco V, Felicia A. Jeroen J, Micahel
A, Derek P, Carlos B. Julinda M, Stephan W. 2015. Task Force for the
Management of Acute Coronary Syndromes inPatients Presenting without
Persistent ST-Segment Elevation. The European Society of Cardiology
(ESC). European Heart Journal. 1-15.
8. Ceponiene, I., Zaliaduonyte-Peksiene, D., Gustiene, O., Tamosiunas, A., & Zaliunas,
R. (2014). Association of major cardiovascularrisk factors with the development of
acute
coronary syndrome in Lithuania. European Heart Journal Supplements, 16 (suppl A),
A80–A83.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. 2015

Fakultas Kedokteran Universitas 2


10. Putra B. STEMI Inferior dengan Bradikardi dan Hipotensi. 2018. CDK-260:
45(1)
11. Sukamto. Elevasi Segmen ST, Apakah selalu penanda infark miokard akut?.
Jurnal Kesehatan Melayu. 2018
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Keempat. 2018.
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik
Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung Dan Pembuluh
Darah. Edisi Pertama. 2016.
14. Dharmawan M, Hidayat LW, Tiluata LJ. Profil Infark Miokard Akut dengan
Kenaikan Segmen-ST di ICCU RSUD Prof. W. Z. Johannes Kupang, Nusa
Tenggara Timur, Januari-April 2018. CDK-281. 2019; 46(12): 727-30.

Fakultas Kedokteran Universitas 3

You might also like