You are on page 1of 24

EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA


THE EXISTENCE OF MPR/S PROVISION IN HIERARCHY OF LAWS
AND REGULATIONS IN INDONESIA
M. Saoki Oktava
Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram
Email : m.saokioktava@gmail.com
Naskah diterima : 20/03/2017; revisi : 26/03/2017; disetujui : 27/04/2016

Abstract
Before UUD 1945 Amendment, MPR/S Provision is a legal product of MPR Institution which was the
highest state institution. It affects the existence of product assessment issued and regulatory in nature
(Regeling), which affects its implication as it becoming a law. The enactment of MPR/S Decree at Law
No. 10 Year 2004 about Establishment of Legislation is because of to maintain consistency in the laws
reference which has function to regulate called “regulation”. This is to ensure so that there will be no
more a question about the term “decision” which has the nature to set. It makes the enactment of
MPR/S doesn’t exist in hierarchy of Laws. Reenactment of MPR/S in the Laws Hierarchy according to
Law No. 12 Year 2011 about the Establishment of Legislation as a means to give a Legal Foundation of
the enactment of MPR/S which has the nature to set (regaling) which has still in effect, also as a means
to strengthen the laws which based on the enactment MPR/S. The Institution which has the right to
verify the enactment is regulated on MPR RI Decree No. II / MPR / 2000 Article 5, which state to verify
the Laws against Constitution and MPR Decree, but MPR RI Decree No. III/MPR/2000 is redacted
and replaced by MPR RI Decree No. I/MPR/20003. But According to principle of “contrariusactus”,
MPR has the right to reevaluate and redact the Decree of MPR/S which is the result of its own law.
Keyword : MPR/S Provision, Hierarcy Of Law

Abstrak
Sebelum Amandemen UUD 1945 Ketetapan MPR/S merupakan produk Hukum dari Lembaga
MPR yang pernah menjadi lembaga Tertinggi Negara, sehingga berimplikasi terhadap eksistensi
dari produk Ketetapan yang dikeluarkan dan bersifat mengatur (regeling) yang membawa implikasi
terhadap keberlakuannya sebagai peraturan perundang-undangan. Dikeluarkanya Ketetapan
MPR/S pada UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
pertimbangannya adalah untuk menjaga konsistensi penyebutan peraturan perundang-undangan
yang bersifat mengatur digunakan istilah “Peraturan”. Hal ini dimaksudkan agar tidak lagi terjadi
atau timbul pertanyaan mengenai istilah “Keputusan” yang bersifat mengatur ataupun yang bersifat
penetapan. Sehingga Ketetapan MPR/S tidak tercantum dalam hierarki Peraturan Perundang-
undangan. Dicantumkannya kembali Ketetapan MPR/S di dalam hierarki peraturan perundang-
undangan menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, sebagai wujud untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
Ketetapan MPR/S yang bersifat mengatur (regeling) yang masih berlaku, serta sebagai wujud untuk
menguatkan Undang-undang yang berlandaskan pada ketetapan MPR/S. Lembaga yang berwenang
menguji Ketetapan MPR/S pernah diatur pada Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 Pasal 5
yaitu menguji Undang-undang terhadap UUD dan Ketetapan MPR, namun ketetapan MPR RI
No. III/MPR/2000 telah dicabut dengan Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003. Namun berdasarkan
asas “contrarius actus”, MPR berwenang untuk menilai dan mencabut Ketetapan MPR/S yang
merupakan produk hukumnya sendiri.
Kata Kunci : Ketetapan MPR/S, Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 120~142

PENDAHULUAN tidak berlaku lagi. Oleh karena itu Ketetapan


MPR No. III/MPR/2000 Pasal 2 yaitu :
Sebelum Amandemen Undang­ -Undang
Dasar 1945, Negara Republik Indone- Tata urutan peraturan Perundang-
sia menganut sistem supremasi Majelis undangan merupakan pedoman dalam
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Oleh pembuatan aturan hukum di bawahnya.2
karena itu kedaulatan berada ditangan
­ Tata urutan peraturan perundang­-
MPR yang merupakan Lembaga Tertinggi undangan republik Indonesia adalah :
Negara dan membawahi Lembaga lainnya
seperti ­Lembaga Legislatif (DPR) maupun 1. UUD 1945
­Eksekutif (Presiden).
2. Ketetapan MPR
Pada Tahun 1966 MPRS mengeluarkan
3. Undang-Undang
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966,
yang mengatur tata urutan hierarki 4. Peraturan Pemerintah Pengganti UU
peraturan perundang-undangan. Ketetapan (Perppu)
MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah sebagai
berikut : 1 5. Peraturan Pemerintah

1. UUD 1945 6. Keputusan Presiden

2. Ketetapan MPRS 7. Peraturan daerah.

3. UU/Peraturan pemerintah Pengganti Un- Berlakunya Ketetapan MPR No. III/


dang-Undang MPR/2000 yang menggantikan Ketetapan
No. XX/MPRS/1966 tentu menimbulkan
4. Peraturan Pemerintah persoalan, persoalannya adalah perbedaan
5. Keputusan Presiden kedudukan dari UU dengan Perppu, karena
antara UU dan Perppu haruslah sama
6. Peraturan-Peraturan pelaksanaan lainnya derajad atau kedudukannya.
seperti :
Berdasarkan Ketetapan MPR RI No. I/
Peraturan Menteri MPR/2003 yang merupakan dasar hukum
dari terbentuknya UU No. 10 Tahun
Instruksi Menteri, dan lain-lainnya.
2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Dari uraian di atas, apabila peraturan Perundang-undangan, secara otomatis
yang ada di bawah bertentangan dengan Ketetapan MPR/III/MPR/2000 tidak
aturan yang ada di atas, maka aturan berlaku lagi. Namun pada UU No. 10 Tahun
yang ada di bawah harus di cabut karena 2004 dapat di lihat Ketetapan MPR/S
kekuatan hukum (rechtskraft) peraturan di hapuskan dari tata urutan hierarki
yang lebih tinggi dapat mengalahkan suatu peraturan perundang-undangan dalam
peraturan yang lebih rendah. Pasal 7 yaitu :
Pada Tahun 2000 MPR mengeluarkan Ayat (1) Jenis dan Hierarki peraturan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 T ­ entang perundang-undangan adalah sebagai
Sumber Hukum dan Tata U ­ rutan Peraturan berikut :3
Perundang-Undangan, K ­ etetapan MPR No.
XX/MPRS/1966 dicabut dan dinyatakan 2
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor. III/
1
Sirajuddin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain, Leg- MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
islatif Draftin, Pelembagaan Metode Parsitipatif Dalam Peraturan Perundang-Undangan. Pasal. 2
Pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-Un- 3
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun 2004
dangan, (Malang : Setara Press, 2015). Hal. 47 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

120 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

a. Undang-Undang Dasar Negara d. Peraturan Pemerintah;


Republik Indonesia Tahun 1945; e. Peraturan Presiden;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerin- f. Peraturan Daerah Provinsi;
tah Pengganti Undang-Undang; g.Peraturan Daerah KabupatenatauKota.
c. Peraturan Pemerintahan; Berlakunya UU yang baru (UU No. 12
d. Peraturan Presiden; Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peratur-
e. Peraturan Daerah. an Perundang-undangan), tentunya materi
muatannya tidak boleh bertentangan den-
Pada UU tersebut mengembalikan
gan aturan yang berada di atasnya. Apabila
kedudukan Perppu setara dengan UU,
UU bertentangan dengan UUD 1945, Maka
sehingga ketika terjadi situasi genting
pengujiannya dilakukan oleh MK, begi-
maka Perppu dapat menggantikan UU.
tu pula peraturan perundang-undangan di
Akan tetapi persoalan baru kembai muncul
bawah UU, apabila bertentangan, penguji-
dengan keluarnya ketetapan MPR/S sebagai
annya dilakukan di MA. Hal tersebut dapat
jenis peraturan perundang-undangan
dilihat pada UU No. 12 Tahun 2011 pada
menimbulkan berbagai pandangan.
Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2). Namun, ada
Penghapusan Ketetapan MPR/S dari tata yang menarik untuk dicermati, yakni tidak
urutan peraturan perundang-undangan adanya aturan yang mengatur tentang lem-
dinilai tepat, karena menurut Hamid S. baga yang menguji Ketetapan MPR yang
Attamimi, Ketetapan MPR/S tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
dikategorikan sebagai peraturan perundang- Sehingga hal ini menimbulkan problem
undangan.4 maupun kebingungan di masyarakat akibat
dari kekosongan hukum yang terjadi di da-
Berhubungan dengan berlakunya UU lam ketentuan tersebut.
No. 10 Tahun 2004 yang tidak mengatur
Kete­tapan MPR/S, ternyata menimbulkan Berdasarkan uraian dari latar belakang,
pro dan kontra sehingga melalui UU No. maka permasalahannya sebagai berikut: 1).
12 T
­ ahun 2011 Tentang Pembentukan Per­ Mengapa Ketetapan MPR/S di keluarkan
aturan Perundang-Undangan meng­gantikan dan dicantumkan kembali dalam hierarki
keberlakuan dari UU No. 10 ­Tahun 2004. peraturan perundang-undangan di Indone-
Pada UU No. 12 Tahun 2011, pembentuk sia? Dan 2). Lembaga manakah yang ber-
UU mencantumkan kembali Ketetapan wenang menguji Ketetapan MPR/S?
MPR/S sebagaimana Menurut Pasal 7 yaitu:
Berdasarkan identifikasi masalah yang
Ayat (1) Jenis hierarki peraturan per­undang- telah diuraikan, maka tulisan ini masuk
undangan terdiri atas :5 dalam ranah penelitian hukum normatif.
Untuk itu tulisan ini mempergunakan
a. UUD RI Tahun 1945; penelitian yuridis normatif.6 Pendekatan
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
Rakyat;
a. Pe n d e ka t a n Pe r u n d a n g - u n d a n g a n
c. UU atau Peraturan Pemerintah (statute approach);
Pengganti Undang-Undang; b. Pendekatan Konsep (Conseptual
Approach);
Pasal 7 Ayat (1). c. Pendekatan Sejarah (historical approach).
4
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia. Ke
9 (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014) Hal. 63 6
Zainal Arifin Hoesein, “Pembentukan Hukum Da-
5
Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 lam Perspektif Pembaharuan Hukum”, Jurnal Rechts-
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. vinding, Media pembaharuan Hukum, Vol. 1 No. 3 (De-
Pasal 7 Ayat (1) sember 2012). Hal. 313

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 121


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 122~142

Pembahasan tujukan kepada orang-orang atau sekelom-


pok orang tertentu maka tergolong norma
Teori yang digunakan sebagai instumen yang individual, dan jika ditujukan kepada
mengkaji permasalahan dalam penelitian orang atau sekelompok orang yang tidak
ini yaitu (1) Teori Negara Hukum Pancasila; tertentu maka tergolong norma umum.
(2) Teori Norma Hukum; dan (3) Teori Perbedaan yang abstrak dan kongkrit di
Hierarki Norma Hukum. dasarkan pada hal yang di atur pada norma
1. Teori Negara Hukum Pancasila tersebut. Jika yang di atur peristiwa-peris-
tiwa tertentu maka termasuk norma yang
Melihat jauh ke belakang, ide dasar
kongkrit.Peraturanperundang-undangan
mengenaikonsepnegarahukumIndonesia
seyogyanya mengandung norma hukum
sebagaimana dinyatakan secara tegas
yang umum abstrak atau sekurang-kuran-
dalam Undang-Undang Dasar 1945,
gnya yang umum kongrit.8
tentu saja tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan Pancasila sebagai dasar negara 3. Teori Hierarki Norma Hukum
dan sumber dari segala sumber hukum
Membahas mengenai jenis dan
dan jiwa bangsa Indonesia. Dengan kata
hierarki peraturan perundang-undangan,
lain, sebagaimana telah dikatakan dalam
pasti tidak terlepas mengenai Teori
bagiansebelumnyadapatdikatakanbahwa
Stuffenbou karya Hans Kelsen. Di dalam
Pancasila menjiwai seluruh kehidupan
ajaran tersebut, Hans Kelsen berpendapat
negara hukum Indonesia. Dikatakan
bahwa norma hukum itu berjenjang-
demikian karena Pancasila merupakan
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
filsafat bangsa Indonesia dan filsafat itu
susunan hirarkis, dimana norma yang di
merupakan pemikiran yang meliputi “de
bawah berlaku, sumber, dan berdasar pada
zin van wereld en leven” (makna dari
norma di atasnya, demikian seterusnya
dunia dan kehidupan). Demikian halnya
hingga sampai akhirnya regresus ini
dengan filsafat Pancasila, filsafat Pancasila
berhenti pada suatu norma yang tertinggi
telah diterima dan diakui sebagai filsafat
(Grondnorm). (Maria Farida, 1998:8).9
bangsaIndonesiasekarangyangtidakperlu
dibuktikan lagi kebenarannya. Maka dari Teori Jenjang Norma dari Hans
itu, segala kegiatan dan tindakan dalam Kelsen terilhami pandangan teoritis
pembangunan negara dan masyarakat yang dikembangkan oleh Adolf Melker,
Indonesia harus berpangkal pada Teori Dua Wajah Norma Hukum (Das
Pancasila. Dalam hukum, pendidikan, Doppelte Rechtsantlitz) dari Adolf Melker
ekonomi, kesenian, kenegaraan dan menyatakan bahwa suatu norma hukum
pokoknya di semua bidang.7 memiliki dua wajah. Pada satu wajah ke
atas, suatu norma hukum bersumber dan
2. Teori Norma Hukum berdasar pada norma hukum di atasnya.
Dilihat dari perspektif suatu norma, Akan tetapi pada wajah lainnya, norma
norma juga dapat dibedakan antara nor- hukum tersebut sekaligus pula menjadi
ma yang umum (Algemeen) dan norma
individual(Individueel),sertayangabstrak
dan yang kongkrit. Pembedaan antara 8
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perun-
umum-individualdidasarkanpadamereka dang-Undangan Indonesia, Cetakan Ke. 1. (Bandung :
yang terkena aturan norma tersebut. Jika di Mandar Maju 1998). Hal. 25-26
9
Nur Amin Solikhah, “Problematika Hukum Un-
dang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
7
I Ketut Adi Purnama, Transparansi Penyidikan da- Fidusia Terkait Dengan Peraturan Menteri Keuangan
lam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Untuk Memban- Republik Indonesia No. 130/MPK. 010/2012”. Jurnal
gun Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polri, Disertasi, Repertorium, ISSN : 2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni
Universitas Katolik Parahyangan, 2011., Hal. 161. 2015, Hal. 11

122 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

sumber bagi norma hukum yang berada (beschikking), dan (iii) keputusan normatif
di bawahnya.10 yang berisi dan bersifat penghakiman yang
biasa disebut vonis.13
Lihat bagan di bawah ini :
A. Ketetapan MPR/S di Keluarkan dan
dicantumkan Kembali Ke dalam Hier-
arki Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia

1. Sejarah Undang-Undang Dasar dan


Periode Masa berlakunya
Secara historis, sejak Proklamasi 17
Agustus 1945 hingga saat ini, dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia Pernah
Bagan : Teori Dua Wajah Hukum (Das berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar
doppetle rechtsantlitz)11 (Konstitusi) dalam empat beriode, yaitu
sebagai berikut :14
Hans Nawiasky mengelompokan
normahukumdalamsuatuNegaramenjadi 1. Undang-Undang Dasar 1945, yang
empat kelompok, yaitu :12 berlakuantaraTanggal18Agustus1945
sampai dengan 27 Desember 1949.
Kelompok I Segara (Statfundamental- 2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat
norm) 1949 (Konstitusi RIS), yang berlaku
Kelompok II : Aturan Dasar/Pokok antara Tanggal 27 Desember 1949
Sampai dengan 17 Agustus 1950.
Negara (Staatsgrundgesetz)
3. Undang-Undang Dasar Sementara
Ke l o m p o k I I I : U n d a n g - U n - (UUDS) 1950, yang berlaku antara
dang ­Formal (Formell Gesetz). periode 17 Agustus 1950 sampai dengan
Kelompok IV: Aturan Pelaksana dan 5 Juli 1959.
aturan otonom (Verodnung & Auto 4. Undang-Undang Dasar 1945,
Nome Satzung). yang diberlakukan kembali sejak
4. Pengujian Peraturan Perundang-undan- dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli
gan 1959 Sampai sekarang.
2. Eksistensi Majelis Permusy-
Dalamprakteknya,dikenaladanyatiga awaratan Rakyat Sementara dan
macam norma hukum yang dapat diuji atau Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang biasa disebut sebagai norm control (MPR/S)
mechanism. Ketiga-tiganya sama-sama
merupakan bentuk norma hukum sebagai a. Pada Masa Orde Lama MPRS Sebagai
hasil dari proses pengambilan keputusan Lembaga Tertinggi Negara
hukum, yaitu : (i) keputusan normatif
Dalam aturan pokok (UUD 1945)
yang berisi dan bersifat pengaturan
sebelum amandemen, dapat dilihat
(regeling), (ii) keputusan normatif yang
berisi dan bersifat penetapan administratif 13
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Un-
dang-Undang, (Jakarta : Konstitusi Press, 2006), Hal.
10
Aziz Samsudin, Proses & Teknik Penyusunan Un- 1.
dang-Undang, Edisi Kedua Cetakan Ke. 1(Jakarta :Sinar 14
Nuruddin Hady, Teori Konstitusi dan Negara
Grafika 2013). Hal. 21 Demokrasi Paham Konstitusionalisme Demokrasi
11
Ibid. Hal 22 Pasca Amandemen UUD 1945, Cet. 1 (Malang : Setara
12
Ibid. Hal. 23 Press 2010), Hal. 99-100

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 123


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 124~142

mengenai lembaga-lembaga Negara, baik Kekuasaan Soeharto runtuh setelah


itu Lembaga Tertinggi maupun Lembaga banyak desakan yang menutut Soeharto
Tinggi Negara. Struktur ketatanegaraan untuk mundur sebagai Presiden. Gerakan
sebelum amandemen UUD 1945 yakni reformasi pada tahun 1998 yang diinisiasi
sebagai berikut:15 mahasiswa dengan dibantu komponen
masyarakat sudah tidak dapat terbendung
MPR
UUD 1945
lagi, sehingga secara heroik puncaknya
dapat menumbangkan pemerintahan
Soeharto dari jabatan Presiden pada
DPR PRESIDEN BPK DPA MA hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998.17 Sejak
saat itu pula konsep Demokrasi mulai
Dari struktur tersebut menyebabkan dikumandangkan.
antar lembaga bisa saling menjatuhkan,
hal ini terbukti dari kewenangan yang Untuk menyesuaikan Negara
dimiliki oleh MPR. Presiden sebagai Demokrasi, UUD 1945 diamandmen.
Kepala Negara harus tunduk kepada Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
MPRS, sehingga presiden sangat mudah terjadi sebanyak 4 (empat) kali, dimana
dijatuhkan apabila di dalam keanggotaan perubahan pertama terjadi pada Tahun
MPRS sudah tidak ada lagi pendukung 1999, Tahun 2000, kemudian Tahun 2001,
Presiden (mossi tidak percaya). Hal ini dan terakhir Tahun 2002.18 sebanyak
pernah terjadi pada masa Orde Lama empatkali,dariTahun1999sampaidengan
yang menyebabkan Pemakzulan terhadap tahun 2002.
Presiden Soekarno. c. Pada Masa Awal Demokrasi-Sekarang
b. Pada Masa Orde Baru MPR/S Masih MPR Sebagai Lembaga Tinggi Negara
Sebagai Lembaga Tertinggi Negara Untuk Mewujudkan (Checks and
Balances)
Perlu dipahami bahwa pada era
presiden Soeharto kita dapat melihat Pada tahun 1998 merupakan akhir
kedudukan MPR masih sebagai lembaga dari kekuasaan orde baru, sehingga kursi
tertinggi Negara. Secara otomatis kepresidenan diduduki oleh BJ Habibie
kedaulatan berada di tangan MPR. untuk menggantikan Soeharto yang
menjabat sebagai Presiden selama 32
Dapatlah kita lihat, sebelum per­ Tahun.
ubahan UUD 1945 kedudukan MPR
­sebagai Lembaga Tertinggi Negara, ­karena Gerakan Reformasi tahun 1998 t­ elah
doktrin yang dianut bukan pemisahan memberi harapan besar untuk meng­
kekuasaa, melainkan pembagian ke­ hantarkan bangsa Indonesia melaku-
kuasaan, dimana MPR sebagai lembaga kan pembaharuan dalam penyeleng-
tertinggi membagi kewenangannya ke­ garaan Negara, sebagai suatu Negara
pada lembaga yang lain (supremasi MPR).16 yang demokratis, berdasarkan hukum
dan ­konstitusional.19Sehingga, ­Konsep
demokrasi berkaitan dengan harkat
17
Warsito, “Implikasi Amandemen UUD 1945 Ter-
15
Indonesia, Undang-Undang Dasar, dilengkapi den- hadap Kedudukan, Fungsi, Tugas dan Wewenang Maje-
gan Kabinet Kerja Periode 2014-2019, Cet 1 (Yogyakarta lis Permusyawaratan Rakyat (MPR)” Jurnal Supremasi
: Pustaka Baru Press, 2014), Hal. 19 Hukum, Vol. 11 No. 1 (Januari 2015). Hal. 85
16
Mukhlis, “Kewenangan Lembaga-lembaga Neg- 18
Asri Agustiwi, Keberadaan Lembaga Negara Pasca
ara Dalam Memutus dan Menafsirkan UUD Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia,
Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Rechstaat, Vol. 8 No. 1 (Maret 2014). Hal. 1
Jurnal Syiar Hukum, Vol. 13 No. 1 (Maret 2011). Hal. 19
Sri Nur Hari Susanto, “Pergeseran Kekuasaan
56-57 Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1994”, Jurnal

124 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

­emanusiaan dan otonomi individu


k ketetapan itu sudah dilakukan peninjauan
yang luas. Oleh karena itu, pemerintah- kembali oleh MPR (Lembaga Tinggi
an demokrasi adalah pemerintahan dari Negara) hasil amandemen UUD 1945.
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003
Dengan demikian sistem demokrasi se- Tentang peninjauan terhadap Materi
lalu dikaitkan dengan sistem kedaulatan dan Status Hukum Ketetapan Majelis
rakyat, karena rakyatlah yang memiliki Permusyawaratan Rakyat Sementara
kekuasaan tertinggi.20 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960
Pada Tahun 1999 Abdurrahman Wa-
Sampai dengan Tahun 2002.23
hid terpilih sebagai presiden RI setelah dip-
ilih oleh anggota MPR. Dengan jabatannya Berdasarkan pengelompokan di atas,
sebagai presiden, Presiden Abdurrahman maka TAP MPR yang masih dianggap
Wahid menjalankan pemerintahannya berlaku tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal
dengan sikap dan kebijakan kontrover- 4, dengan total sebanyak 13 TAP MPR
sial.21 Pada akhirnya Pemakzulan dengan yang masih berlaku. TAP MPR yang masih
mekanisme politik terhadap Presiden Ab- berlaku tersebut, adalah :24
durrahman Wahid terjadi.
1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966
Suatu wujud terciptanya checks and tentang Pembubaran Partai Komunis
balances dapat di lihat setelah Perubahan Indonesia, pernyataan sebagai organisasi
UUD 1945. Lihat bagan berikut ini :22 terlarang di seluruh Wilayah Indonesia
UUD 1945
bagi Partai Komunis Indonesia dan
larangan setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan
BPK MPR PRESIDEN
WAKIL
KEKUASAAN
KEHAKIMAN
Faham atau Ajaran Komunisme/
DPD DPR PRESIDEN Marxisme-Leninisme.
Amandemen UUD 1945 berpengaruh 2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998
pada perubahan lembaga Negara menjadi tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka
Lembaga Tinggi Negara yang saling Demokrasi Ekonomi.
mengawasi antara lembaga yang satu
maupun lembaga Negara yang lainnya. 3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang
Penentuan Pendapat di Timor Timur.
3. Materi Muatan Ketetapan MPR/S
yang Bersifat Mengatur (Regeling) 4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966
Membawa Implikasi Pada Berlaku- tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.
nya Sebagai Peraturan Perundang- (dalam perkembangan terakhir telah
Undangan terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang
Gelar,TandaJasa,danTandaKehormatan)
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara atau Majelis Permusyawaratan 5. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998
Rakyat (MPR/S) mengeluarkan Ketetapan tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
sebanyak 139 Ketetapan. Namun dengan dan Bebas KKN.
perubahan struktur ketatanegaraan, 139
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 43 No. 2 (April 2014).
Hal. 279
23
Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat Indo-
20
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indo- nesia, Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003, Cet. Ke 10,
nesia, Cet. 1 (Jakarta : Sinar Grafika, 2011). Hal. 18 Sekretariat Jendral MPR RI 2011. Hal. XV
21
Ibid, Hal. 143
24
http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-da-
22
Indonesia, Undang-Undang Dasar, Op. Cit Hal. lam-sistem-perundang-undangan-indonesia. di akses
119 Pada Tnggal 20 November 2015.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 125


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 126~142

6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 Perlu kita telusuri jalan pikiran para
tentang Penyelenggaraan Otonomi pembentuk UU No. 10 Tahun 2004 Ten-
Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan tang Pembentukan Peraturan Perun-
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang dang-Undangan yang tidak mencantumkan
Berkeadilan,sertaPerimbanganKeuangan Ketetapan MPR/S pada tatanan hierarki.
Pusat dan Daerah dalam NKRI. Kemudian selanjutnya, perlu pula ditelusu-
ri jalan pikiran pembentuk UU No. 12 Ta-
7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang
hun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Perundang-Undangan yang mencantumkan
Nasional.
kembali Ketetapan MPR/S ke dalam hierar-
8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 ki Peraturan Perundang-Undangan.
tentang Pemisahan Tentara Nasional
a. Dasar Pertimbangan Pembentuk UU No.
Indonesia dan Kepolisian Negara
10 Tahun 2004, Mengeluarkan Ketetapan
Indonesia.
MPR/S dari Hierarki Perundang-
9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 Undangan.
tentang Peran TNI dan Peran Polri. Selama 34 (tiga puluh empat) Ta-
10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 hun TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang Etika Kehidupan Berbangsa. berlaku, hingga pada Tahun 2000 MPR
mengeluarkan Ketetapan untuk menyem-
11.Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 purnakan kekurangan yang terdapat pada
tentang Visi Indonesia Masa Depan. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 Pada Tahun 2003 MPR mengeluarkan
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan produk Ketetapan, hal tersebut merupakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKN. amanat dari UUD 1945 yang merupakan
implikasi dari hasil amandemen. Ketetapan
13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001
yang dimaksud adalah Ketetapan MPR
tentang Pembaharuan Agraria dan
RI No. I/MPR/2003 Tentang Peninjauan
Pengelolahan Sumber Daya Alam.
Terhadap Materi Dan Status Hukum
Maksud dari Ketetapan MPR/S yang Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960
­ateri muatannya bersifat mengatur
m Sampai Dengan Tahun 2002. Pasal 4 dan
­(regeling) itu hanya Ketetapan yang ter­ Ayat (4) pada Ketetapan MPR RI No. I/
tuang ­ dalam Ketetapan MPR No. I/ MPR/2003 dapat dilihat sebagai berikut :25
MPR/2003 Tentang Peninjauan Ter­hadap
Pasal 4  KetetapanMajelisPermusyawaratan
Materi dan status ­hukum Ketetapan MPRS
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
dan ­Ketetapan MPR RI Tahun 1960 ­Sampai
Permusyawaratan Rakyat Republik Indo-
Tahun 2002. Berarti dapat d
­ ipahami ­bahwa
nesia sebagaimana dimaksud di bawah ini
hanya 13 Katetapan itulah yang di akui
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
sebagai peraturan perundang­ -undangan
undang-undang.
sebagai­mana tercantum di dalam ­hierarki
peraturan perundang menurut UU No. Aya t ( 4 ) Ke t e t a p a n M a j e l i s
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Permusyawaratan Rakyat Republik
­
Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 ­Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang
Ayat (1) huruf b. ­Sumber Hukum dan Tata Urutan Per­
aturan ­Perundang-undangan.
4. Jalan Pikiran Pembentuk Un-
dang-Undang Terhadap Ketetapan 25
Sekretariat Jendral MPR RI, Ketetapan MPR RI
MPR/S No. I/MPR/2003, Cet, Ke 10 (Jakarta : 2010), Hal. 13

126 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

Sebagaimana bunyi Pasal 4 dan Ayat (4) Undang Republik Indonesia Tentang
pada Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003 Pembentukan Peraturan Perundang-
tersebut di atas yang merekomendasikan undangan.
untuk terbentuknya suatu UU yang
Jika kita menelusuri risalah proses
menggantikan Ketetapan MPR RI No.
pembahasan rancangan Undang-Undang
III/MPR/2000. Sehingga, Pasal tersebut
Republik Indonesia tentang pembentukan
adalah dasar hukum untuk lahirnya UU
peraturan perundang-undangan, kita dapat
No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
melihat pada sambutan pemerintah atas
Peraturan Perundang-Undangan. UU No.
persetujuan RUU tentang pembentukan
10 Tahun 2004 Pasal 7 dapat dilihat yaitu:
peraturan perundang-undangan pada
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Tanggal 24 Mei 2004. Bahwa, ada
Indonesia Tahun 1945; beberapa substansi penting dalam
RUU tentang Pembentukan Peraturan
2. Undang-Undang/peraturan pemerintah
Perundang-undangan yang dalam proses
pengganti Undang-Undang;
pembahasannya mendapat perhatian
3. Peraturan Pemerintah; mendalam termasuk “jenis hierarki
peraturan perundang-undangan” dan
4. Peraturan Presiden; ”Istilah Peraturan”. Hal tersebut dapat
5. Peraturan Daerah; dilihat sebagai berikut :27

a. Perda Provinsi 1. Jenis dan Hierarki Peraturan perundang-


undangan merupakan pembahasan inti
b. Perda Kabupaten/Kota dari substansi RUU ini karena jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan
c. Perdes/Peraturan yang setingkat
sebagai landasan tingkatan hierarki
Jika menurut Maria Farida, pada risalah penyusunan peraturan perundang-
pembentukan Undang-Undang Nomor undangan baik di Pusat maupun di Daerah.
10 Tahun 2004. Terkait dengan tidak
2. Istilah “Peraturan”
tercantumnya Ketetapan MPR/S, di dalam
risalahnya dikatakan bahwa, karena MPR Telah disepakati bahwa untuk men-
itu tidak lagi mempunyai kewenangan jaga konsistensi penyebutan per­ aturan
menetapkan Garis-Garis Besar Haluan perundang-undangan yang bersifat
Negara, maka kemudian para pembentuk ­mengatur digunakan istilah “Peraturan”.
undang-undang waktu itu mengatakan Hal ini dimaksudkan agar tidak lagi terjadi
kalau begitu tidak ada lagi TAP MPR. Maka atau timbul pertanyaan mengenai istilah
para pembentuk Undang-Undang Nomor “Keputusan” yang bersifat mengatur atau-
10 Tahun 2004 meletakan TAP MPR itu pun yang bersifat penetapan.
tidak ada dalam daftar.26
Dari apa yang telah disampaikan pada
Berikutnya dapat dilihat pertimbangan sambutan pemerintah atas persetujuan
keluarnya Ketetapan MPR/S dari tatanan rancangan undang-undang tentang
hierarki, pertimbangan tersebut ada pada 27
www.dpr.go.id, Layanan Informasi Publik, Peja-
proses pembahasan Rancangan Undang- bat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DPR-
RI, Proses Pembahasan, Rancangan Undang-Undang
26
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Republik Indonesia Tentang Pembentukan Peraturan
Sidang, Perkara No. 86/PUU-XI/2013, Perihal Penguji- Perundang-Undangan, Biro Persidangan Dewan Per-
an Pasal 7 Ayat (1) huruf b Undang-Undang No. wakilan Rakyat Republik Indonesia 2004, Sambutan
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Pemerintah atas Persetujuan Rancangan Undang-Un-
Perundang-Undangana Terhadap Undang-Undang dangan Tentang pembentukan Peraturan Perundang-un-
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal. dangan dalam rapat paripurna terbuka Dewan Per-
3 wakilan Rakyat Republik Indonesia, Hal. 4

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 127


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 128~142

pembentukan peraturan perundang- menimbulkan ketidakpastian hukum


undangan tersebut di atas, penulis terhadap Keberadaan Ketetapan MPR/S
berpendapat bahwa pada poin yang yang masih berlaku. Oleh karena itu agar
kedua terhadap istilah “peraturan” suatu norma hukum yang ada di bawah
adalah peraturan perundang-undangan, berlaku, maka norma hukum yang ada
maksudnya terhadap produk Ketetapan di atasnya harus di perkuat sebagai
dan Keputusan tidak termasuk peraturan landasan bagi aturan yang ada di bawahnya
perundang-undangan, sekalipun materi sebagaimana menurut teori Adolf Melker
muatannya bersifat regeling. Sehingga dalam Teori Dua Wajah Norma Hukum.
RUU tersebut menganut paham bahwa
b. Dasar Pertimbangan Para Pembentuk
suatu Ketetapan dan Keputusan bukan
UU No. 12 Tahun 2011, Mencantumkan
merupakan peraturan perundang-
Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki
undangan meskipun materi muatannya
Perundang-Undangan.
mengandung norma umum, hal tersebut
untuk menjaga konsistensi terhadap Selama tujuh tahun UU No. 10 Tahun
istilah “Peraturan”. Sehingga, pada waktu 2004 berlaku dan berimplikasi pada
itudiperolehkesepakatanterhadapproduk eksistensi peraturan perundang-undangan
Ketetapan MPR/S untuk dikeluarkan dari yang berlandaskan pada Ketetapan
tatanan hierarki peraturan perundang- MPR/S. Misalnya persoalan ada Pada UU
undangan. KPK dan eksistensi lembaga KPK yang
memberantas korupsi. Pertanyaannya
Hingga pada akhirnya RUU yang
mengapa Lembaga KPK yang dibentuk
disepakati bersama tersebut disetujui
oleh Undang-Undang tetap eksis? Padahal
dan disahkan menjadi UU oleh Presiden
UU tersebut berlandaskan Ketetapan MPR
pada Tanggal 22 Juni 2004 dan resmi di
No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
undangkan ke dalam lembaran negara.
Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan
Sehingga berlakulah UU No. 10 Tahun
Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001
2004 Tentang Pembentukan Peraturan
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Perundang-Undangan. Di dalam UU
Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
tersebut tidak ada lagi Ketetapan MPR/S
Sehingga keberlakuan dari UU No. 10
dalam tata urutan hierarki peraturan
Tahun 2004 Tentang Peraturan Perundang-
perundang-undangan.
undangan pada saat itu yang meniadakan
Padahal seperti yang kita ketahui Ketetapan MPR/S harus dipertanyakan
bahwa, Ketetapan MPR/S yang masih karena pada Pasal 7 keberlakuan UU diakui
berlaku menurut Ketetapan MPR RI No. sedangkan Ketetapan MPR/S yang menjadi
I/MPR/2003, materi muatannya adalah acuan dari beberapa UU ditiadakan,
bersifat mengatur regeling. Meskipun tentu ini merupakan hal yang keliru.
demikian, tetap saja Ketetapan MPR/S Sehingga terbentuknya UU No. 12 Tahun
dan Keputusan Presiden yang pernah 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
diatur oleh Ketetapan MPR RI No. III/ Perundang-undangan yang mengembalikan
MPR/2000 tidak tercantum lagi dalam UU Ketetapan MPR/S ke dalam hierarki
No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan merupakan suatu tindakan yang tepat. Oleh
Peraturan Perundang-Undangan. Dengan karena itu, penulis berpendapat setelah
demkian, di keluarkannya dari tatanan terbentuknya UU No. 12 Tahun 2011,
hierarki dapat menimbulkan konsekuensi sangatlah penting jika Ketetapan MPR/S di
terhadap eksistensi Ketetapan MPR/S akui dalam tatanan hierarki, implikasinya
yang juga sebagai peraturan perundang- dapat pula memberikan jaminan kepastian
undangan yang tentunya akan hukum terhadap Ketetapan MPR/S

128 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

maupun beberapa UU yang berlandaskan tentang GBHN, GBHN itu ditetapkan oleh
pada Ketetapan MPR/S. Dalam artian MPR, itu berada di bawah, karena pada
keberadaan UU pun akan jelas. saat itu menjabarkan apa isi dari pada
GBHN itu tidak boleh bertentangan dengan
Kejelasan itu dapat dirasakan setelah
batang tubuh untuk dilaksanakan oleh
terbentuknya UU No. 12 Tahun 2011
Presiden. Jadi mengamanatkan kepada kita
Tentang Pembentukan Peraturan
melaksanakan GBHN, GBHN ini tidak boleh
Perundang-undangan Pasal 7 Ayat (1)
bertentangan isi dari pada batang tubuh. Jadi
huruf b. Namun, sebelum UU No. 12 Tahun
TAP MPR itu posisinya di bawah Undang-
2011 disahkan, kita dapat melihat pada
Undang Dasar.29 Berikutnya lagi, Rusli
proses pembahasan RUU tersebut, yakni
Ridwan mengatakan, memang sejak awal
RUU tentang pembentukan peraturan
punya keinginan terhadap TAP MPR harus
perundang-undangan.
masuk dalam hierarki, pertimbangannya itu
RUU tentang Pembentukan Peraturan adalah dalam rangka daya laku, daya guna,
Perundang-undangan adalah RUU Usul sekaligus juga kepastian hukum. 30
Inisiatif DPR RI yang dipersiapkan oleh
Pandangan selanjutnya disampaikan
Badan Legislasi dan disampaikan kepada
oleh Fraksi Partai Demokrat Himmatul
Pimpinan DPR RI pada tanggal 25 Agustus
Alyah Setiawati mengatakan :31
2010. Atas dasar itu melalui proses di DPR
RI telah membentuk Pansus RUU tentang “Sebenarnya ini prinsip karena kebetulan
Pembentukan Peraturan Perundang- saya juga sama Pak Tjipto kan kita ada di
undangan yang pembentukannya telah Tim MPR dan saya ada di sosialisasi un-
disahkan pada Rapat Paripurna Dewan tuk TAP MPR, jadi ini jadi gongnya jadi
pada Tanggal 27 September 2010.28 Demokrat bahwa kedudukannya bahkan
Di dalam rapat pansus RUU pembentu- kalau bisa langsung di bawah Undang-
kan peraturan perundang-undangan me­ Undang Dasar karena kembali kepada
munculkan berbagai pandangan yang terjadi susunan sebelum ada perubahan Undang-
dalam risalah rapat tersebut yang berkaitan Undang Dasar 1945”.
dengan eksistetnsi dari Ketetapan MPR/S
untuk kembali tercantum pada tatanan Hingga pada hari Jum’at, 22 Juli 2011
hierarki peraturan perundang­ -undangan. diperoleh kesepakatan antara DPR dan
­Upaya tersebut menempatkannya ­kembali Pemerintah yang diwakilkan oleh Menteri
berada di bawah Undang­ -Undang Dasar Hukum dan HAM Parialis Akbar, dengan
1945. menyetujui RUU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Kesepakatan ini
Rusli Ridwan misalnya, dari Fraksi PAN dicapai dalam rapat paripurna DPR.32
mengatakan Undang-Undang Dasar 1945
adalah aturan pokok, dan TAP MPR juga Dapatlah kita lihat, dari pengusulan
merupakan aturan pokok, hanya saja aturan hingga kesepakatan mencantumkan
pokok yang dituangkan dalam TAP MPR 29
www.dpr.go.id, Layanan Informasi Publik, Pejabat
itu adalah merupakan penjabaran kebijakan Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sekretar-
dari batang tubuh Undang-Undang Dasar. iat Jendral DPR RI, Lebih lengkapnya lihat Pandangan
Rusli Ridwan Fraksi PAN, dalam Risalah Rapat Panitia
Pada Pasal 3 dulu sebelum perubahan Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Pemben-
tukan Peraturan Perundang-Undangan, Jenis Rapat :
28
www.dpr.go.id, Layanan Informasi Publik, Peja- Raker IV Tanggal 2 Maret 2011. Hal 27
bat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sek- 30
bid. Hal 22
retariat Jendral DPR-RI, Risalah Rapat Panitia Khusus 31
Ibid.
Rancangan Undang-Undang Tentang Pembentukan 32
www.hukumonline.com, Hierarki Peraturan Pe-
Pertaturan Perundang-Undangan, Jenis Rapat : Raker I rundang-undangan Berubah, (Jum’at 22 Juli 2011), di
Tanggal : 13 Desember 2010. Hal. 3 akses oleh penulis pada Tanggal, 20 Desember 2015.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 129


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 130~142

kembali Ketetapan MPR/S dalam hierarki atau memungkinkan terjadinya korupsi,


yang tentunya memberikan dampak kolusi, dan nepotisme.
posistif terhadap Ketetapan MPR/S yang
5. Merevisi semua peraturan perundang-
masih berlaku, karena perlu diketahui
undangan yang berkenaan dengan korupsi
bahwa pentingnya Ketetapan MPR/S
sehingga sinkron dan konsisten satu
tercantum dalam hierarki sangat membawa
dengan yang lainnya.
berpengaruh besar terhadap penegakan
hukum di Indonesia, seperti yang telah 6. Membentuk Undang-undang beserta
penulis bahas pula sebelumnya terhadap peraturan pelaksanaannya untuk
Ketetapan MPR yang masih berlaku pencegahan korupsi yang muatannya
yang termasuk juga sebagai peraturan meliputi :
perundang-undangan yakni Ketetapan MPR
No. VIII/2001 Tentang Rekomendasi Arah a.Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi;
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga b.Perlindungan Saksi dan Korban;
dapat dilihat pada Pasal 2 yaitu:33
c. Kejahatan Terorganisasi;
Arah kebijakan pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme adalah : d.Kebebasan Mendapatkan Informasi;

1. Mempercepat proses hukum terhadap e. Etika Pemerintahan;


aparatur pemerintah terutama aparat
f. Kejahatan Pencucian Uang;
penegak hukum dan penyelenggara
negara yang diduga melakukan praktek g. Ombudsman.
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat
dilakukan tindakan administratif untuk 7. Perlu segera membentuk Undang-undang
memperlancar proses hukum. guna mencegah terjadinya perbuatan-
perbuatan kolusi dan/atau nepotisme
2. Melakukan penindakan hukum yang lebih yang dapat mengakibatkan terjadinya
bersungguh-sungguh terhadap semua tindak pidana.
kasus korupsi, termasuk korupsi yang
telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka Menurut penulis Ketetapan tersebut yang
yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi menjadi landasan bagi aturan­ -aturan di
hukuman yang seberat-beratnya. bawahnya di mana pada Pasal 2 ­angka 4 se-
bagaimana diatur pada Ketetapan MPR No.
3. Mendorong partisipasi masyarakat luas VIII/2001 tersebut di atas dapat d
­ ilihat ada­
dalam mengawasi dan melaporkan nya suatu penekanan terhadap ­ke­berlakuan
kepada pihak berwenang berbagai dari aturan yang ada di bawahnya untuk
dugaan praktek korupsi, kolusi, dan tidak bertentangan ­dengan Ketetapan MPR
nepotisme yang dilakukan oleh pegawai tersebut. ­ Maksud dari tidak bertentan-
negeri, penyelenggara negara dan anggota gan yakni kepada a­turan di bawahnya,
masyarakat. ­tidak hanya sekedar mengatur, tetapi atur-
an tersebut harus pula dapat memberikan
4. Mencabut, mengubah, atau mengganti
efek jera terhadap para K­ oruptor yang di­
semua peraturan perundang-undangan
hukum. Sehingga Hukumannya harus yang
serta keputusan-keputusan penyeleng-
seberat-beratnya. Ini sebagai bukti bahwa
gara negara yang berindikasi melindungi
Ketetapan MPR/S merupakan peraturan
perundang-undangan yang harus diperkuat
33
Indonesia, Ketetapan MPR RI No. VIII/2001 Ten-
tang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan dalam tatanan hierarki.
Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

130 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

3. Pertimbangan Hukum Tercantumnya 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Ketetapan MPR/S dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Perundang-Undangan
4. Pentingnya Ketetapan MPR/S Tercantum
Di Indonesia pertama kali mengeluarkan dalam Hierarki Peraturan perundang-
aturan yang mengatur tata urutan undangan dan Kaitannya dengan Putusan
peraturan perundang-undangan pada MK Nomor 86/PUU-XI/2013
Tahun 1966. Aturan tersebut dapat terlihat
Pada Tahun 2013 UU No. 12 Tahun
pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Ini
2011 Pasal 7 Ayat (1) huruf b pernah di
mencerminkan bahwa Ketetapan MPRS
Judicial Review di Mahkamah Konstitusi,
berlaku sebagai peraturan perundang-
dimana para pemohon yang di wakilkan
undangan karena sifat materi muatannya
oleh 3 (tiga) orang yakni Viktor Santoso
regeling sehingga mengaharuskan TAP
Tandiasa, Kurniawan, dan Joko Widarto
MPRS di akui sebagai tata urutan hierarki
menginginkan TAP MPR/S keluar dari
perundang-undangan.
hirarki peraturan perundang-undangan,
Oleh karena itu, segala ketetapan yang pemohon menguraikan bahwa keberadaan
dikeluarkanya mempunyai kedudukan TAP MPR menjadi polemik ketatanegaraan
yang lebih tinggi dari produk hukum yang yang kita tahu bersama sudah beberapa
ditetapkan oleh Lembaga-Lembaga Tinggi tahun ini tidak ada lembaga negara satu
Negara yang lain, seperti presiden, DPR, pun yang berwenang dalam menguji TAP
Mahkamah Agung. Dengan demikian, MPR tersebut, sehingga terjadi kekosongan
Ketetapan MPR/S lebih tinggi kedudukan hukum ketika ada warga negara yang hak
hierarkinya dari Undang-Udang ataupun konstitusionalnya dirugikan kemudian
bentuk-bentuk peraturan lainnya.34 tidak bisa menguji TAP MPR, karena
bertentangan dengan Undang-Undang
Itulah yang menjadi salah satu faktor
Dasar 1945.35
tetap eksisnya Ketetapan MPR/S sebagai
peraturan perundang-undangan. Eksistensi Para pemohon merujuk pada kasus yang
dari Lembaga MPR/S yang pernah sebagai pernah terjadi di Mahkamah Konstitusi
Lembaga Tertinggi Negara menurut UUD pada saat Rahmawati Soekarno Putri men-
1945 sebelum amandemen membawa gajukan permohonan pengujian TAP MPR
implikasi terhadap eksistensi dari Ketetapan RI No. I Tahun 2003, ternyata ditolak oleh
yang dikeluarkannya. Meskipun setelah Mahkamah Konstitusi. Artinya terjadi ke-
amandemen UUD 1945 MPR menjadi bingungan oleh pihak Rahmawati Soekar-
Lembaga Tinggi Negara yang sederajat no Putri, oleh karena itu para pemohon
dengan lembaga tinggi lainnya, namun hal menganggap bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf
tersebut tidak berpengaruh pada Ketetapan b, keberadaan TAP MPR/S merugikan hak
MPR/S yang masih berlaku dan bersifat konstitusional warga Negara karena tidak
regeling, karena Ketetapan MPR/S dari ada jaminan hukum perlindungan mau-
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 pun kepastian yang telah diamanatkan di
merupakan produk hukum yang dikeluarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
oleh MPR/S yang pernah menjadi Lembaga 28D Ayat (1). Menurut pemohon dalam
Tertinggi Negara. Berarti, menurut penulis risalah sidang menyatakan (ini sangat ber-
Kedudukan Ketetapan MPR/S otomatis tentangan dan ini persoalan serius yang
berada di atas UU sebagaimana tercantum mungkin harus diselesaikan segera).36 Seh-
dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No. ingga maksud dari para pemohon tersebut,
35
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah
34
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Cet Sidang, Perkara No. 86/PUU-XI/2013, Op. Cit. Hal. 2
Ke. 3 (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014). Hal. 33 36
Ibid, Hal.2-3

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 131


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 132~142

menginginkan Ketetapan MPR/S agar kelu- Kita bisa melihat di sini, ada beberapa
ar dari tatanan hierarki karena, yang perta- permasalahan yang saya akan … ke-
ma : terjadinya kekosongan norma hukum beradaan TAP MPR di Undang-Undang
terhadap lembaga yang menguji Ketetapan Nomor 10 tidak diakui. Akan tetapi, nor-
MPR/S, Kedua : Masyarakat menjadi bin- ma yang diatur dalam setiap TAP MPR
gung, mau di uji kemana Ketetapan MPR/S sejak tahun 1966, Anda ini halaman 10,
yang masih berlaku.
nomor 6, sejak tahun 1966 hingga tahun
Mengutip bagian dari pernyataan 2002, tetap diakui sebagai produk hukum
Hakim Konsitusi Maria Farida Indarti, yang berlaku, sepanjang tidak diganti-
dalam risalah sidang Mahkamah Konstitusi kan dengan undang-undang formal yang
Perihal Pengujian UU No. 12 Tahun 2011 ditetapkan setelahnya.
Terhadap UUD 1945 adalah :
Berarti, Anda mengatakan Anda setuju
“Nah, di sini tadi warga negara Anda bahwa TAP MPR yang masih ada sejak
mengatakan Pemohon adalah Pemohon tahun 1966 sampai sekarang, saya rasa
memberi kepentingan konstitusional atas itu hanya 13 itu, kalau dia belum diatur
diberlakukannya Pasal 7 ayat (1) dan dengan undang-undang, maka dia masih
Pemohon bisa merugikan hak konstitu- tetap berlaku. Kalau demikian, mau dil-
sional Pemohon maupun warga negara In- etakkan di mana TAP MPR itu? Kalau
donesia. Kalau Anda melihat pada TAP- tidak masuk di dalam hierarki perun-
TAP MPR, TAP itu sebetulnya mengatur dang-undangan.
siapa. TAP itu mengatur rakyat, menga-
tur kita, atau mengatur presiden, nah di Permasalahannya sebetulnya di dalam
situ ditetapkan. Kalau ada TAP yang secara teori, kita bisa melihat bahwa ka-
keliru Tapi bahwa TAP MPR itu dibuat lau kita mengatakan dengan hierarki per-
untuk presiden karena presiden dulu ada- aturan-peraturan negara, tidak masalah
lah mandatarisnya MPR. Jadinya, ka- kita mengatakan Undang-Undang Dasar
lau Anda mengatakan Pemohon apakah Tahun 1945, TAP MPR, tapi kalau kita
Anda terkena dengan TAP-TAP MPR melihat pada hierarki perundang-undan-
tersebut katanya ya kan? Itu dilihat. gan, maka secara teori yang termasuk
perundang-undangan itu adalah undang-
Kemudian kita bisa melihat di sini bahwa undang ke bawah.
dalam alasan permohonan Anda, Anda
mengatakan struktur ketatanegaraan Nah, sekarang kalau ada TAP MPR yang
yang semua terbagi lembaga tertinggi dan masih ada dan oleh lembaga yang mem-
tinggi negara menjadikan tidak ada lem- bentuknya sendiri dikatakan dia masih
baga tertinggi negara. Kesamaan posisi tetap berlaku, apakah kita telantarkan itu?
dari lembaga negara yang ada, menun- Di sini, Anda juga mengutip bahwa dapat
jukkan adanya kewenangan satu dengan dikatakan sebagai salah satu sumber hu-
yang lain yang pada tugasnya masing- kum. Kalau ada TAP tentang reformasi
masing tidak saling menjatuhkan satu agraria, yang memerintahkan perlunya
terhadap yang lain. Ya kan? Memang ada ada undang-undang yang mereformasi
yang bisa menjatuhkan di sini? Kecuali agraria, undang-undang yang sampai
MPR bisa memecat presiden. Tapi dengan sekarang belum ada, mereka melihat pada
prosedur DPR. Mengajukan ke MK dulu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
ya kan? Apakah itu tidak bisa menjadikan sumber

132 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

bagi undang-undang tersebut? Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966


merupakan salah satu dari ke 13 Ketetapan
Nah, jadi di sini kita bisa melihat bahwa yang harus diperkuat. Berkaitan dengan
ada hal-hal yang kita tidak bisa. Kita pentingnya Ketetapan tercantum dalam
tidak hanya berbicara secara tataran te- tatanan hierarki, penulis dapat mencontoh-
ori. Tapi kalau pembentuknya sendiri kan lagi dengan Ketetapan MPR No. XI/
sudah mengatakan, “Tidak boleh diapa- MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Neg-
apakan, dinyatakan masih berlaku,” ara yang Bersih dan Bebas KKN. Ketetapan
maka bagaimana kita lembaga-lembaga ini masih berlaku dan tetap menjadi sum-
yang katanya tadi setingkat, itu kemudi- ber hukum dalam sistem hukum nasional
an mengatakan, “Ini enggak boleh”.”37 Negara Republik Indonesia. Lembaga KPK
adalah lembaga yang menjalankan cita-cita
Pernyataan dari Hakim Konstitusi Negara seperti yang tertuang dalam TAP
Maria Farida tersebut, penulis memahami MPR No. XI/MPR/1998. Lembaga KPK
akan pentingnya Ketetapan MPR/S yang adalah lembaga yang sifatnya Independen,
masih berlaku dan bersifat (regeling) artinya lembaga KPK tidak dapat dipen-
untuk tercantum dalam hierarki peraturan garuhi oleh pemerintah.
perundang-undangan, tujuannya tentu
untuk memberikan jaminan kepastian KPK lahir pada Tanggal 29 Desember
hukum terhadap Ketetapa MPR/S. Tahun 2003, sebelumnya berlaku UU
No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Berhubungan dengan itu, Ketetapan yang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
masih berlaku yang masih menjadi sumber Sembelumnya juga, pada Tahun 1999 lahir
hukum, akan sangat riskan jika tidak UU No. 31 Tahun 1999 diganti dengan UU
diakui dalam tatanan hierarki, hal tersebut No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
dapat penulis contohkan yaitu Ketetapan Tindak Pidana Korupsi. Ini merupakan
MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tentang bentuk untuk tercapainya penyelenggaraan
Pembubaran PKI. Pernyataan Sebagai Negara yang bersih dan bebas KKN.
Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia dan Larangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah
Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau suatu perilaku yang semakin populer di
Mengembangkan Faham atau Ajaran Perbincangkan di media-media, prilaku
Komunisme/Marxisme-Linimisme. Dimana korupsi sedang menggerogoti Negara
Pergerakan komunis merupakan suatu Indonesia baik dilakukan oleh pejabat di
tindakan yang bertentangan dengan nilai- tingkat Daerah sampai di tingkat Pusat
nilai pancasila, karena pancasila adalah (Nasional). Tentu ini merupakan suatu
sumber dari segala sumber hukum yang tindakan yang melanggar norma-norma
merupakan landasan falsafah Negara dalam sistem hukum nasional.
Republik Indonesia. Maka sangatlah patut Dalam upaya untuk mewujudkan
jika Ketetapan MPR/S tercantum dalam Negara yang bersih dan bebas KKN sesuai
hierarki peraturan perundang-undangan. dengan cita-cita Negara Republik Indonesia
Meskipun pada Tahun 2015 sedang gencar- yang tercantum dalam Ketetapan MPR No.
gencarnya pihak anggota keluarga PKI IX/MPR/1998, Lembaga KPK dan UU No
menuntut Negara sampai ke peradilan 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
HAM di Den Haag Belanda, menuntut Tentang Tindak Pidana korupsi dibentuk
agar negara meminta maaf kepada keluarga dengan berlandaskan Ketetapan MPR
korban 1965. No. IX/MPR/1998, sehingga lembaga anti
korupsi KPK menjalankan amanat TAP
37
Ibid. Hal. 5

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 133


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 134~142

tersebut. Berarti Ketetapan MPR/S haruslah MPR/S yang masih berlaku, ini berkaitan
tercantum dalam hierarki peraturan dengan teori yang bisa penulis analogikan
prundang-undangan untuk memperkuat dengan Teori Adolf Melker (Teori Dua
Lembaga KPK dan UU Pemberantasan Wajah Norma Hukum) yaitu, pertama : yang
Tindak Pidana Korupsi yang menjalankan mana satu wajah ke atas yang artinya suatu
Amanat Ketetapan MPR No. IX/MPR/1998 norma hukum bersumber dan berdasar
dan Ketetapan MPR No.VIII/MPR/2001. pada norma hukum di atasnya (berarti,
norma hukum yang ada di bawah sudah
Dalam risalah sidang Perkara Nomor 86/
pasti mengikuti perintah norma yang ada
PUU-XI/2013 pengujian Pasal 7 Ayat (1)
di atasnya, sehingga norma di bawah tidak
huruf b UU No. 12 Tahun 2011 terhadap
boleh bertentangan dengan norma hukum
UUD 1945, Hakim Konstitusi Maria Farida
yang lebih tinggi). Apabila bertentangan
menyatakan untuk meluruskan paradigma
otomatis norma di bawah harus dicabut.
para pemohon, Maria Farida Indarti
Kemudian yang kedua : pada wajah lainnya
menyatakan :
ke bawah norma hukum tersebut sekaligus
“…Anda benar juga ada Tap yang bisa pula menjadi sumber bagi norma hukum
sampai kiamat, kalau Anda melihat pada yang berada di bawahnya. Sehingga penulis
Tap Nomor XI Tahun 1998 tentang Pe- memahami apa yang dinyatakan Adolf
Melker dalam teori dua wajah norma hukum
nyelenggaraan Negeri yang Bersih Dan
tersebut, Ketika norma di atas dicabut
Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme,
maka sistem norma yang ada di bawah
itu oleh Tap Nomor 1 Tahun 2003 dika-
akan rusak atau tercabut pula. Sehingga
takan Tap ini masih tetap berlaku sampai ketika Ketetapan MPR/S ditiadakan
terpenuhinya seluruh ketentuan di dalam dalam tatanan hierarki, otomatis UU yang
Tap itu. Sekarang Anda mesti tanya, ka- berlaku yang berlandaskan pada Ketetapan
pan Indonesia itu bebas korupsi? Kalau MPR/S menjadi tidak jelas terhadap
korupsinya itu sudah bebas, baru Tap itu keberlakuannya (ketidak pastian hukum)
tercabut, gitu kan. Nah, jadi ada Tap-Tap apalagi Ketetapan MPR/S dicabut, maka
yang seperti itu. Tapi Tap itu kalau Anda UU yang berladaskan Ketetapan MPR/S
cabut, Anda hilangkan, nanti KPK juga harus dicabut pula bahkan imbasnya pada
tercabut itu karena KPK itu sumbernya lembaga KPK yang harus dibubarkan. Maka
dari Tap Nomor XI Tahun 1998 ini. Nah, dari itu, Ketetapan MPR/S harus tercantum
jadi kita bisa melihat di sini bahwa kita dalam hierarki peraturan perundang-
undangan untuk memberikan jaminan
mengatakan ini boleh diuji atau tidak, ini
kepastian hukum dalam sistem hukum
dihilangkan atau tidak itu harus dilan-
Nasional Negara Republik Indonesia.
daskan dengan teori-teori yang ada dan
fakta yang ada. Karena Tap-Tap MPR Suatu upaya untuk merevisi UU KPK
itu juga kemudian ditindaklanjuti oleh menjadi program Legislasi nasional pada
undang-undang yang ada.” 38 tahun 2016, namun dari pemberitaan di
media-media, dalam draf rancangan UU
Berkaitan dengan pernyataan Hakim MK KPK (RUU KPK) ternyata bertentangan
Maria Farida Indarti, penulis berpendapat dengan Ketetapan MPR No.VIII Tahun
pentingnya Ketetapan MPR/S tercantum 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
dalam hierarki peraturan perundang- Pemberantasan Kebijakan KKN. Menurut
undangan, karena akan berimplikasi pada Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
kepastian hukum terhadap ketetapan (MK) Mahfud MD, Kamis, 8-10-2015 RUU
inisiatif DPR RI ini sebagai “pembunuhan”
38
Ibid. Hal. 6-7

134 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

terhadap KPK dipastikan tidak berlaku Ketetapan MPR/S diakui di dalam hierarki
walau itu sudah disahkan. Persoalannya, peraturan perundang-undangan. Sehingga
kedudukan Ketetapan MPR RI lebih tinggi ketika ada UU yang bertentangan dengan
dibandingkan dengan UU.39 Ketetapan MPR/S, maka UU tersebut harus
dicabut.
Ketetapan MPR Kedudukannya lebih
tinggi dari UU yang dibuat DPR, itu diatur Berkaitan dengan pentingnya Ketetapan
di dalam UU No. 12 Tahun 2011. apabila MPR/S tercantum dalam hirarki, maka hal
itu bertentangan dengan Ketetapan MPR, ini diperkuat oleh putusan MK No. 86/
maka tidak boleh dilakukan. Pasalnya, tidak PUU-XI/2013, Perihal pengujian UU No.
boleh teori yang menjadi doktrin, teori 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
perjenjangan yang isinya sebuah peraturan Peraturan Perundang-Undangan Terhadap
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan UUD 1945. Dalam amar putusannya MK
dengan peraturan yang lebih tinggi.40 “menyatakan permohonan para pemohon
tidak dapat diterima”.43 Sehingga dengan
Dalam padangannya, tentang draf RUU
dasar putusan tersebut kedudukan
KPK Mahfud MD menyayangkan sikap
Ketetapan MPR/S tetap berada di bawah
DPR yang ingin mengebiri kewenangan
UUD, oleh karena itu penulis berpendapat
KPK, bahkan ingin “membunuh” lembaga
bahwa keberadaan dari Ketetapan MPR/S
yang menjadi harapan masyarakat dalam
dalam hierarki peraturan perudang-
pemberatasan korupsi. Seyogyanya para
undangan adalah sebagai bentuk untuk
Anggota Dewan membaca dulu Ketetapan
memberikan jaminan kepastian hukum
MPR tentang pendirian KPK sebelum
terhadap Ketetapan MPR/S maupun
membuat draf UU yang akhirnya malah
beberapa UU yang berlandaskan pada
menimbulkan kontroversi.41
Ketetapan MPR/S.
Dalam pemberitaan di media yang
B. Lembaga Yang Berwenang Menguji
menuai pro dan kontra terhadap pembatasan
Ketetapan MPR/S
kewenangan KPK, ada beberapa pasal
dalam draf RUU KPK yang diajukan DPR 1. Sejarah pengujian Norma Hukum
memang sangat bertentangan dengan
Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001. Gagasan pengujian norma hukum
Pasal-pasal yang bertentangan antara lain tersebut bukan merupakan hal yang baru
soal pembatasan umur KPK hanya menjadi dilakukan. Gagasan ini merupakan suatu
12 Tahun dan membuat KPK yang lebih gagasan yang telah lama diupayakan
fokus ke pencegahan Korupsi.42 sejak priode kolonial atau sejak jaman
prakemerdekaan. Dalam Praktik pengujian
Menurut penulis dengan berbagai peraturan oleh para hakim dipengadilan
pemberitaan media tentang pembatasan sebenarnya telah ada sejak jaman kolonial,
­kewenangan KPK, maka keberadaan Keteta- terutama masa pendudukan Belanda jauh
pan MPR/S dalam hierarki harus tetap ek- sebelum Muhammad Yamin mengemukakan
sis atau tercantum di dalam UU dan berlaku pemikiran itu dalam sidang pleno Badan
sebagai peraturan perundang­-undangan. Penyelidik Persiapan Kemerdekaan
Sehingga upaya-upaya pelemahan KPK (BPUPK) 1945. Hanya saja dalam sejarah
­tidak akan tercapai karena eksistensi dari Ketatanegaraan lajim dikatakan bahwa ide
pengujian peraturan itu muncul pertama
39
www.Parlementaria.com, RUU “Pembunuhan”
KPK Bertentangan dengan TAP MPR, Tanggal, 20-11-
2015 Pukul. 20.00 WITA 43
Lihat Putusan MK No. 86/PUU-XI/2013 Perihal
40
Ibid. Pengujian Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun
41
Ibid. 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-un-
42
bid. dangan terhadap UUD.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 135


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 136~142

kali saat yamin melontarkan dalam sidang Ayat (1) Mahakamah Konstitusi
BPUPK 1945 untuk menyiapkan rancangan berwenang mengadili pada tingkat
hukum dasar untuk Negara Republik pertama dan terakhir yang putusannya
Indonesia yang merdeka dan berdaulat bersifat final untuk memutus sengketa
sebagaimana yang dijanjikan kemaharajaan sengketa kewenangan lembaga Negara
Jepang pada 1944.44 yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus
Praktik pengujian peraturan perundang-
pembaharuan partai politik, dan memutus
undangan oleh badan peradilan pada masa
perselisihan tentang hasil pemilihan
kolonial berkaitan erat pada sistem hukum
umum.
pada masa itu.
Sebagaimana yang tertuang di dalam
2. Kewenangan Mahkamah Agung
Pasal 24C Ayat (1) jelas bahwa Mahkamah
(MA) dan Mahkamah Konstitusi
Konstitusi dapat menguji Undang-undang
(MK) Dalam Menguji Norma Hu-
terhadap UUD 1945. Pengujian terhadap
kum
Ketetapan MPR/S bukan merupakan
Produk hukum yang dapat di uji oleh MA kewenangan dari MK, karena kedudukan
dan MK tentu berbeda lingkup kewenangan dari Ketetapan MPR/S dalam hierarki
mengujinya sebagaimana yang tertuang di berada di atas Undang-undang sehingga
dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24A Ayat MK tidak dapat menguji Ketetapan
(1) dan Pasal 24C Ayat (1). Kewenangan MPR/S. Meskipun lembaga tersebut
tersebut dapat dilihat sebagai berikut : adalah lembaga pengawal konstitusi.

a. Kewenangan Mahkamah Agung (MA) 3. Lembaga Yang Berwenang Menguji


Menguji Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan MPR/S
di Bawah Undang-Undang Terhadap
Adanya sistem pengawalan yang
Undang-Undang
dilakukan oleh lembaga Judicial, tentu tidak
SesuaidenganlandasankonstitusiMA semua aturan dapat di uji oleh MK Maupun
bewenang Untuk menguji noma hukum, MA, Ini dapat dilihat dengan masih
Pasal 24A Ayat 1 yakni : diakuinya Ketetapan MPR/S dalam hierarki
peraturan perundang-undangan menurut
Ayat (1) Mahkamah Agung berwenang UU No. 12 Tahun 2011. Persoalan tersebut
mengadili pada tingkat kasasi, menguji yang menjadi topik inti dalam tulisan ini
peraturan perundang-undangan di yakni terjadinya kekosongan norma hukum
bawah undang-undang terhadap dalam pengujian Ketetapan MPR/S.
undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Berkaitan dengan tidak adanya lembaga
undang-undang.45 yang menguji atau terjadinya kekosongan
norma, namun di dalam praktiknya dikenal
b. Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) ada tiga macam norma hukum yang dapat
Menguji UU Terhadap UUD 1945 di uji yakni :
MK berwenang menguji UU terhadap 1. Keputusan hukum/Norma hukum yang
UUD seperti yang tertuang dalam UUD bersifat mengatur (regeling).
Tahun 1945 Pasal 24C yaitu :
2. Keputusan hukum/Norma hukum yang
44
Periksa Sartono Kartodirdjo sebagaimana dikutip bersifat penetapan (beschiking).
oleh Benny K. Harman, Mempertimbangkan Mahkamah
Konstitusi, Sejarah Pemikiran Pengujian UU, Op. Cit. 3. Keputusan Hukum/Norma hukum yang
Hal 146-147.
45
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
bersifat penghakiman (Vonnis).

136 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

Ketiga bentuk norma hukum di atas sama- hak.47 Sehingga penulis memahami bahwa
sama dapat di uji kebenarannya melalui pengujian Ketetapan MPR/S tidak dapat
mekanisme peradilan (justisial) ataupun dilakukan oleh lembaga lain meskipun
mekanisme no-justisial. Jika pengujian itu kedudukan antar lembaga sama derajatnya.
dilakukan oleh lembaga peradilan, maka
Pengujian terhadap peraturan
proses pengujian itu disebut sebagai judicial
perundang-undangan, di dalam teori hukum
review. Namun jika pengujian itu bukan
apabila ada peraturan perundangan sudah
dilakukan oleh lembaga peradilan maka
jelas mengatur undang-undang diuji oleh
hal itu tidak dapat disebut sebagai judicial
MK, kemudian di bawah undang-undang
review.46
di uji oleh MA. Sekarang, kalau begitu TAP
Sebelum dibentuknya MK, MPR MPR itu memang tidak ada yang menguji
berwenang menguji UU dan Ketetapan (judicial review). Namun Kalau misalnya itu
MPR/S terhadap UUD 1945. Kewenangan perkembangan politik dan konstelasi politik
tersebut pernah diatur dalam Ketetapan yang ada di MPR yang terdiri dari DPR dan
MPR RI No. III/MPR/2000 Tentang DPD menganggap TAP MPR itu keliru,
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan otomatis mereka yang membuat, mereka
Perundang-Undangan yakni : yang mencabut.48 Dengan demikian, ketika
terjadinya kekosongan norma hukum yang
Pasal 5
mengatur tentang lembaga yang menguji
Ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat ketetapan MPR/S, maka satu-satunya
berwenang menguji Undang-Undang ter- cara untuk menjawab persoalan tersebut
hadap Undang-Undang Dasar, dan Keteta- adalah dengan mengajukan ke lembaga
pan Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR, mengapa demikian? karena MPR
adalah lembaga yang mengeluarkan produk
Dalam TAP III/MPR/2000 dikatakan hukum (ketetapan), berarti hanya MPR
dalam Pasal 5 apabila ada undang-undang yang berwenang untuk menilai/menindak
bertentangan dengan TAP MPR atau ber- lanjuti apakah produk hukumnya itu masih
tentangan dengan Undang-Undang Dasar, layak untuk diberlakukan sebagai peraturan
maka yang menguji MPR, Tapi apabila perundang-undangan atau tidak, dengan
peraturan di bawah undang-undang ber- kata lain apakah bertentangan dengan
tentangan dengan undang-undang maka UUD 1945 atau tidak. Jika bertentangan
diujinya ke Mahkamah Agung. Nah, pe- tentu Lembaga MPR dapat mencabut
rubahan konstitusi kemudian mengatakan Ketetapannya yang bersifat regeling, karena
Apabila ada undang-undang bertentangan secara teori norma yang ada di bawah tidak
dengan Undang-Undang Dasar maka diuji boleh bertentangan dengan norma yang
ke Mahkamah Konstitusi. Apabila ada pera- lebih tinggi, apabila bertentangan tentu
turan di bawah undang-undang bertentan-
gan dengan undang-undang maka diuji ke 47
Periksa Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung. Nah, sekarang apabila Perkara No. 86/PUU-XI/2013. Di dalam naskah asli
ada undang-undang bertentangan dengan risalah sidang tersebut ditulis TAP 1 Tahun 2003 Pas-
al 4, Kemungkinan terjadi kesalahan dalam penulisan.
TAP MPR ke mana? Kalau ada TAP MPR Maksud dari penulisan tersebut sebenarnya Ketetapan
bertentangan dengan Undang-Undang MPR/III/2000 Pasal 5. Sehingga penulis merubah den-
gan mengacu pada TAP III/2000 karena di dalam TAP
Dasar ke mana? Tentunya itu tidak diada- tersebut pada Pasal 5 mengatur kewenangan MPR men-
kan judicial review, pasti dengan political guji UU terhadap UUD dan Ketetapan MPR. Lihat juga
pada penulisan tersebut penulis menggunakan Istilah
review. Siapa yang berhak? Kalau kita lihat Political Review, karena menurut penulis istilah politi-
pada Pasal itu, maka MPR-lah yang ber- cal review lebih tepat karena MPR merupakan lembaga
politik. Dalam naskah asli di tulis dengan Constitutional
46
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Un- Review, Op. Cit. Hal. 4
dang-Undang, Op. Cit Hal. 1 48
Ibid. Hal. 11

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 137


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 138~142

norma yang ada di bawah tersebut harus Berkaitan dengan peran asas hukum
dicabut. untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi,
maka penulis mengutip pendapat “Satjipto
Untuk melihat bahwa, MPR berwenang
Raharjo” sebagaimana dikutip dari bukunya
untuk menilai Ketetapan MPR/S yang
Sirajuddin, Fakthurohman & Zulkarnain:
merupakan produk hukumnya sendiri, maka
Satjipto Raharjo menyatakan bahwa, asas
di dalam asas “Contrarius Actus” dalam
hukum merupakan “jantungnya” peraturan
hukum administrasi Negara adalah asas
hukum. Karena menurut Satjipto, asas
yang menyatakan badan atau pejabat tata
hukum merupakan landasan yang paling
usaha Negara yang menerbitkan keputusan
luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.
tata usaha Negara dengan sendirinya juga
Ini berarti, peraturan-peraturan hukum
berwenang untuk membatalkannya. Asas
itu pada akhirnya bisa dikembalikan
ini berlaku meskipun dalam keputusan tata
pada asas-asas tersebut. Kecuali disebut
usaha Negara tersebut tidak ada klausula
landasan, asas hukum layak disebut sebagai
pengaman yang lazimnya berbunyi : Apabila
alasan bagi lahirnya peraturan hukum,
dikemudian hari ternyata ada kekeliruan
atau merupakan ratio legis dari peraturan
atau kekhilafan maka keputusan ini akan
hukum. Asas hukum tidak akan habis
ditinjau kembali.49
kekuatannya dengan melahirkan suatu
“Asas Contrarius Actus” ini berlaku tidak peraturan hukum, melahirkan akan tetap
hanya untuk Keputusan Administrasi saja ada akan melahirkan peraturan-
Negara, namun juga asas peraturan pe- peraturan selanjutnya.52
rundang-undangan. Sehingga yang ber- Asas hukum sangat berperan penting
hak mencabut adalah pembentuknya itu untuk menjawab persoalan yang terjadi
sendiri dan tidak dapat dilakukan oleh dalam penulisan ini. Oleh karena itu, hal
peraturan atau lembaga yang lebih ren- lain yang dapat pula penulis berikan contoh
dah.50 Dengan demikian apabila suatu yang berkaitan dengan adanya ketentuan
Ketetapan dianggap bertentangan dengan yang mengatur bahwa MPR dapat menilai
UUD, maka pengajuannya harus ke lem- produk hukum yang dikeluarkannya maka,
baga MPR, Karena berdasarkan asas Con- seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yakni :
trarius Actus MPR memiliki kewenangan
untuk menilai produk hukumnya sendiri. Ayat (1)  Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan
Asas ini juga sering digunakan sebagai
Undang-Undang Dasar.
dasar putusan pengadilan tidak dapat
mencabut dan membatalkan berlaku Ini artinya hanya MPR yang dapat
mengikatnya sebuah peraturan perundang- menafsirkan UUD 1945, berarti MPR
undangan. Asas ini dahulu digunakan pun dapat pula menilai dan menafsirkan
sebagai dasar oleh Mahkamah Agung dalam Ketetapan MPR/S, Karena keduanya sama-
pengujian peraturan di bawah Undang- sama merupakan produk hukum dari MPR
undang (UU) dan hanya berwenang dan sama-sama berada di dalam tatanan
menyatakan tidak sah, sedangkan yang hierarki, dimana di dalam UU No. 12 Tahun
berwenang mencabut dan membatalkan 2011 pada Pasal 7 Ayat (1) kedudukan
adalah pembentuknya sendiri.51 UUD 1945 berada pada urutan pertama
dan Ketetapan MPR/S berada pada urutan
49
http://www.miftakhulhuda.com/Contrarius Ac- 52
Sirajuddin, Fatkhurohman, et all. Legislatif Draft-
tus. di akses pada Tanggal 27 Desember 2015 ing Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentu-
50
Ibid. kan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta : Setara
51
Ibid. Press, 2015). Hal. 30

138 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

kedua. Sehingga pengujian tersebut tidak (2) Panitia ad hoc MPR melaporkan
dapat dilakukan oleh lembaga MK secara pelaksanaan tugas sebagaimana
Judicial Review, melainkan hanya dengan dimaksud Pada Ayat (1) dalam siding
menilai dan mencabut yang dapat dilakukan paripurna MPR.
oleh Lembaga MPR yang merupakan
(3) Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah
Lembaga yang membuat produk Ketetapan
tugasnya selesai.
tersebut yang bersifat regeling.
Pada alat kelengkapan MPR tersebut
Seiring dengan tidak adanya lembaga
panitia Ad Hoc dapat mempersiapkan
Judicial yang mengujinya secara Judicial
bahan sidang, sehingga prosesnya dapat
Review, maka di masa yang akan datang
dilakukan pada lembaga MPR sebagai
jika ada masyarakat yang ingin mengaju-
lembaga satu-satunya yang dapat menilai
kan pengujian Ketetapan MPR/S terhadap
dan mempertimbangkan Ketetapan MPR/S
UUD 1945, tentu harus melalui Lembaga
yang bertentangan dengan UUD 1945 atau
MPR. Akan tetapi, menurut penulis tidak
tidak, karena Ketetapan MPR/S merupakan
dalam konteks menguji, melainkan Lemba-
produk hukumnya sendiri.
ga MPR hanya dapat menilai apakah Keteta-
pan MPR/S bertentangan dengan UUD Simpulan
1945 atau tidak. Jika bertetangan maka
MPR hanya dapat menilai Produk keteta- Berdasarkan apa yang telah diuraikan
pannya hingga mencabut produk yang ber- dalam tulisan ini tentang eksistensi
sifat regeling tersebut, karena saat ini pen- Ketetapan MPR/S dalam hierarki peraturan
gujian Ketetapan MPR/S tidak diatur lagi. perundang-undangan di Indonesia, maka
Sehingga prosesnya secara political review, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut
oleh karena itu lembaga MPR memiliki alat yaitu :
kelengkapan yang terdiri dari pimpinan
dan panitia ad hoc sebagaimana diatur da- 1. Ketetapan MPR/S dikeluarkan dan
lam UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, dicantumkan kembali dalam hierarki
DPR, DPD (MD3) yaitu:53 peraturan perundang-undangan di
Indonesia yaitu :
Pasal 14 Alat kelengkapan MPR terdiri atas :
- Dikeluarkannya Ketetapan MPR/S
a. Pimpinan ; dan pada tatanan hierarki peraturan
b. Panitia ad hoc MPR perundang-undangan menurut
UU No. 10 Tahun 2004 Tentang
Panitia Ad Hoc dapat melaksanakan
Pembentukan Peraturan Perundang-
tugasnya sebagaimana yang tertuang pada
undangan, pertimbangannya adalah
Pasal 22 yaitu dapat dilihat sebagai berikut
untuk menjaga konsistensi penyebutan
:54
peraturan perundang-undangan yang
Pasal 22 bersifat mengatur digunakan istilah
Ayat (1) Panitia ad hoc MPR bertugas : “Peraturan”. Hal ini dimaksudkan agar
tidak lagi terjadi atau timbul pertanyaan
a. Mempersiapkan bahan sidang MPR ; mengenai istilah “Keputusan” yang
dan bersifat mengatur ataupun yang
b. Menyusun rancangan putusan MPR. bersifat penetapan. Sehingga Ketetapan
MPR/S tidak tercantum dalam hierarki
Peraturan Perundang-undangan.
53
Indonesia, UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR,
DPR, DPD (MD3).
54
Ibid.

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 139


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 140~142

- Dengan dicantumkan kembali Konstitusionalisme Demokrasi


Ketetapan MPR/S dalam hierarki Pasca Amandemen UUD 1945, Cet.
peraturan perundang-undangan 1 (Malang : Setara Press).
dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang K. Harman Benny, 2013 Mempertimbangkan
Pembentukan Peraturan Perundang- Mahkamah Konstitusi, Sejarah
undangan dengan pertimbangan Pemikiran Pengujian UU Terhadap
untuk memberikan jaminan kepastian UUD, Cet. Ke 1 (Perpustakaan
hukum terhadap Ketetapan MPR/S Populer Gramedia).
yang bersifat mengatur (regeling), dan
sebagai wujud untuk menguatkan UU Purnama I Ketut Adi, 2011 Transparansi
yang berlandaskan pada Ketetapan Penyidikan dalam Kerangka
MPR/S. Sistem Peradilan Pidana Untuk
Membangun Kepercayaan
Lembaga yang berwenang menguji Masyarakat Terhadap Polri,
Ketetapan MPR/S di Indonesia pernah Disertasi, Universitas Katolik
diatur pada Pasal 5 Ketetapan MPR No. Parahyangan.
III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum
Ranggawidjaja Rosjidi, 1998 Pengantar Ilmu
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
Perundang-Undangan Indonesia,
undangan, dimana MPR berwenang untuk
Cetakan Ke. 1. (Bandung : Mandar
menguji Undang-undang terhadap Undang-
Maju).
Undang Dasar dan Ketetapan MPR,
tetapi Ketetapan MPR ini sudah dicabut Samsudin Aziz, 2013 Proses & Teknik
berdasarkan Ketetapan MPR RI No. I/ Penyusunan Undang-Undang,
MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Edisi Kedua Cetakan Ke. 1(Jakarta
Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS :Sinar Grafika).
dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Sirajuddin, Fatkhurohman, dan Zulkarnain,
Tahun 2002, sehingga terjadi kekosongan 2015 Legislatif Draftin,
norma terhadap lembaga yang menguji Pelembagaan Metode Parsitipatif
Ketetapan MPR/S. Namun berdasarkan Dalam Pembentukan Pembentukan
asas “contrarius actus”, MPR berwenang Peraturan Perundang-Undangan,
untuk menilai dan mencabut Ketetapan (Malang : Setara Press).
MPR/S yang merupakan produk hukumnya
sendiri. Zoelva Hamdan, 2011 Pemakzulan Presiden
di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta : Sinar
DAFTAR PUSTAKA Grafika).
Buku-buku Jurnal
Asshiddiqie Jimly, 2006 Hukum Acara Agustiwi Asri, Keberadaan Lembaga Negara
Pengujian Undang-Undang, Pasca Amandemen Undang-
(Jakarta : Konstitusi Press). Undang Dasar 1945 di Indonesia,
Asshiddiqie Jimly, 2014 Perihal Undang- Jurnal Rechstaat, Vol. 8 No. 1
Undang, Cetakan. 3 (Jakarta :Raja (Maret 2014).
Grafindo Persada). Mukhlis, “Kewenangan Lembaga-lembaga
Huda Ni’matul, 2014 Hukum Tata Negara Negara Dalam Memutus dan
Indonesia. Cet Ke 9 (Jakarta : Raja Menafsirkan UUD Setelah
Grafindo Persada). Amandemen Keempat Undang-
Undang Dasar 1945”, Jurnal Syiar
Hady Nuruddin, 2010 Teori Konstitusi
Hukum, Vol. 13 No. 1 (Maret 2011).
dan Negara Demokrasi Paham

140 IUS Kajian Hukum dan Keadilan


M. Saoki Oktava|Eksistensi Ketetapan MPR/S Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.........

Solikhah Nur Amin, Problematika Hukum Undangana Terhadap Undang-


Undang-Undang No. 42 Tahun Undang Dasar Negara Republik
1999 Tentang Jaminan Fidusia Indonesia Tahun 1945.
Terkait Dengan Peraturan Menteri Putusan MK No. 86/PUU-XI/2013 Peri-
Keuangan Republik Indonesia hal Pengujian Pasal 7 Ayat (1)
No. 130/MPK. 010/2012. Jurnal huruf b UU No. 12 Tahun 2011
Repertorium, ISSN : 2355-2646, Tentang Pembentukan Peratu-
Edisi 3 Januari-Juni 2015 ran Perundang-undangan ter-
hadap Undang-Undang Dasar
Sri Nur Hari Susanto, “Pergeseran
Negara Republik Indonesia Ta-
Kekuasaan Lembaga Negara Pasca
hun 1945.
Amandemen UUD 1994”, Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Vol. 43 www.dpr.go.id, Layanan Informasi Publik,
No. 2 (April 2014). Pejabat Pengelola Informasi dan
Warsito, “Implikasi Amandemen UUD 1945 Dokumentasi (PPID) DPR-RI,
Terhadap Kedudukan, Fungsi, Proses Pembahasan, Rancangan
Tugas dan Wewenang Majelis Undang-Undang Republik
Permusyawaratan Rakyat (MPR)”
Supremasi Hukum, Vol. 11 No. 1 Indonesia Tentang Pembentukan
(Januari 2015). Peraturan Perundang-Undangan,
Arifin Hoesein Zainal, “Pembentukan Biro Persidangan Dewan
Hukum Dalam Perspektif Perwakilan Rakyat Republik
Pembaharuan Hukum”, Indonesia 2004, Sambutan
Jurnal Rechtsvinding, Media
Pemerintah atas Persetujuan
pembaharuan Hukum, Vol. 1 No. 3
(Desember 2012). Rancangan Undang-Undangan
Tentang pembentukan Peraturan
Internet-internet
Perundang-undangan dalam
www.Parlementaria.com, RUU
“Pembunuhan” KPK Bertentangan rapat paripurna terbuka Dewan
dengan TAP MPR. Perwakilan Rakyat Republik
h t t p : / / w w w. m i f t a k h u l h u d a . c o m / Indonesia.
Contrarius Actus. www.dpr.go.id, Layanan Informasi Publik,
http://www.herdi.web.id/kedudukan-tap- Pejabat Pengelola Informasi dan
mpr-dalam-sistem-perundang- Dokumentasi (PPID) Sekretariat
Jendral DPR-RI, Risalah Rapat
undangan-indonesia.
Panitia Khusus Rancangan Undang-
www.hukumonline.com, Hierarki Peraturan Undang Tentang Pembentukan
Perundang-undangan Berubah, Pertaturan Perundang-Undangan,
(Jum’at 22 Juli 2011). Jenis Rapat : Raker I Tanggal : 13
Mahkamah Konstitusi Republik Indone- Desember 2010.
sia, Risalah Sidang, Perkara www.dpr.go.id, Layanan Informasi Publik,
No. 86/PUU-XI/2013, Perihal Pejabat Pengelola Informasi dan
Pengujian Pasal 7 Ayat (1) hu- Dokumentasi (PPID) Sekretariat
ruf b Undang-Undang No. 12 Jendral DPR RI, Risalah Rapat
Tahun 2011 Tentang Pemben- Panitia Khusus Rancangan Undang-
tukan Peraturan Perundang- Undang Tentang Pembentukan

Kajian Hukum dan Keadilan IUS 141


Jurnal IUS | Vol V | Nomor 1 | April 2017 | hlm, 142~142

Peraturan Perundang-Undangan,
Jenis Rapat : Raker IV Tanggal 2
Maret 2011.
Peraturan-peraturan
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945,
2014 dilengkapi dengan Kabinet
Kerja Periode 2014-2019, Cet 1
(Yogyakarta : Pustaka Baru Press).
Indonesia, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia
Nomor. III/MPR/2000 Tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan.
Indonesia, Ketetapan MPR RI No.
VIII/2001 Tentang Rekomendasi
Arah Kebijakan Pemberantasan
dan Pencegahan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.
Indonesia, Ketetapan Majelis Permusya-
waratan Rakyat Sementara Re-
publik Indonesia Nomor. III/
MPR/2000 Tentang Sumber Hu-
kum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan.
Indonsia Majelis Permusyawaratan Rakyat
Indonesia, Ketetapan MPR RI
No. I/MPR/2003, Cet. Ke 10,
Sekretariat Jendral MPR RI 2011
Indonesia, UU No. 17 Tahun 2014 Tentang
MPR, DPR, DPD (MD3). LN No.
182 Tahun 2014 TLN No.5568
Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
LN No. 82 Tahun 2011, TLN No.
5234
Indonesia, Undang-undang No. 10 Tahun
2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
LN No. 53 Tahun 2004, TLN No.
4389.

142 IUS Kajian Hukum dan Keadilan

You might also like