You are on page 1of 13

TUGAS RESUME ILMU NEGARA

RESUME VIDEO
KONFERENSI HUKUM TATA NEGARA KE-7 TAHUN
PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

NAMA

Ilham agusyanda
NPM

B1A022007
KELAS

G
DOSEN PENGAMPU

Beni Kurnia Illahi, S.H., M.H.

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
FIRST SPEAKER
Profesor Rosalind Dixon

In Indonesia’s 20 years of constitutionalism reform, reform affects the politics


and the court. A court should take count democracy as a value in the constitutional
process of construction. Democracy should be taken as a guide. The Court of
Indonesia’s constitutional court are well positioned as the protector and promoter
the democracy. Indonesian constitutional court can be an adaption of responsive
law/regulation ideas- not directly to the applicant. A court function is a very
important thing, courts can help counter three broad sources of democratic
Dysfunction Through their decisions :
 Electoral and institutional monopoly power.
 Democratic burdens of inertia.
 Democratic blind spot.
The constitutional court can maintain the balance of the politic so that the power
can be distributed. And the court can maintain checks and balances. A court can see
if there is a law norm that does not match the constitutional norm.
Courts can also create or contribute to new sources of dysfunction and must be
mindful of this in engaging in a constitutional judicial review such as :
 Reverse burdens.
 Democratic backlash.
 Democratic debilitation.
Jurisprudential implications :
 Variable scope and intensity of judicial review.
 Mahfud Court: As long as the statutory text brings a sense of justice, the court
will rely on it in the decision-making process. But if the statutory text will not
render justice, the court could ignore it and then make its own decision. That
is the essence.
 of responsive law or progressive law.
 Variable legitimacy of implications :
1. Protecting the democratic minimum core legitimate.
2. Responding to serious and irreversible threats to human dignity.
- Calibrated proportionality – as US- European hybrid
Strong/weak or weak/strong judicial review
 Dimensions- design and doctrine things like
1. suspended declaration.
2. Delayed effect.
3. Conditional constitutionality.
 Functions
1. Safety valve.
2. Disagreement.
3. Practical adjustment.
There is a difference between Weak-Strong, not Weak Review
 The problem of persistent inertia
- Persistent and complex inertia – eg Simultaneous and presidential IX case
 Crafting weak-strong reviews and penalty defaults
- Lobbying defaults and independent candidate case
 Democratic dialogue v backsliding- compare the Agus Rahardj case
( dismissing a challenge to anti-corruption law), the Islamic University of
Indonesia case (partially upholding through conditional constitutionality)
Responsive Judging and Judicial Statecraft
 Weak-strong remedies, engagement and civil society.
 Author and judicial voice.
 Tone.
 Local and global/particularly v universal narratives.
Conclusion: A global or particularized theory?
 Potential global scope - civil and common law, consolidated and emerging or
fragile democracies, Global North and South, abstract and concrete review.
 Preconditions – judicial independence, support structure for review, judicial
remedies + legal culture/judicial role-conception.
 Judicial capacity – Who, how and how many judges
the scope and intensity of the judicial review mention that the problems of the
presidential election allow the courts to control the progressive essence of legal
decisions proposed by Rosalind Dixon, that in some ways judicial review is
carried out more rigorously than legislatively, so quickly against the risk of
dysfunctional democracy, one way minimize the risk of dysfunction or irreversible
risks to human dignity caused by democratic blind spots or burdens of inertia.
legal legitimacy which has scope is suggested to change the proportionate of
courts in a democratic context to counter democratic dysfunction by the judicial
review which can be carried out in several ways namely, deferred declaration,
delayed effect, and conditional constitutionality, so these three points strengthen
or weaken this judicial review. have functions such as, safeguard against
reactions of independent candidates, objectors right, and practical adjustments
improve justice for individuals with the best solutions in the political branch.

PEMATERI KEDUA
Dr.Charles Simamora

Perfoma konstitusi 20 tahun pasca perubahan

Sebuah tradisi yang selalu dibangun saat pelaksanaan konferensi


hukum tata negara dan telah melakukan penelitian sebanyak 6 kali dan hasil
riset tersebut dijadikan ppt dengan judul performa konstitusi 20 tahun pasca
perubahan.Konstitusi ini kemudian diteliti dengan berbagai bantuan. Adapun
penilaian-penilaian terhadap performa konstitusi dengan menggunakan tiga
indikator, yang mana dua indikator yang digunakan yakni faktor eksternal dan
internal, namun ada tiga isu yang kemudian dimunculkan. pertama terkait
dengan hubungan eksekutif legislatif yang kedua terkait dengan
penyelenggaraan pemilu yang demokratis lalu lalu ketiga tarik ulur dengan
kewenangan Mahkamah kewenangan dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat.Didalam ppt ini juga kami masukan dari temuan-temuan kami dari
penelitian ketika melakukan wawancara dengan berbagai narasumber,yang
mana secara umum saat ini tahun 2022 MPR telah menyelesaikan perubahan
konstitusi.Kenapa kemudian dulu melakukan reformasi konstitusi,isu yang
pertama secara umum terjadi resentralisasi pasca undang-undang nomor 22
tahun 1999,undang-undang nomor 32 tahun 2004,undang-undang nomor 23
tahun 2014,undang-undang cipta kerja dan beberapa undang-undang sektoral
lainnya. 20 tahun otonomi daerah masih melahirkan Tarik menarik kebijakan
terutama dalam kerangka desentralisasi asimetris.banyak saat ini yang
seakan tidak menyetujui dari desentralisasi otonomi daerah ini.hal yang
terbarunya saat pengesahan otonomi daerah di papua,kemudian Sumatra
utara yang bertahun-tahun mengajukan pemekaran hingga saat ini tidak
dikabulkan atau tidak disetujui.namun provinsi papua dengan cepatnya telah
melakukan pemekaran dengan menambah 7 provinsi.lalu kemudian beberapa
waktu lalu sebelum undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah
atau hubungan keuangan pusat dan daerah yang telah diterima beberapa
provinsi Kalimantan Timur misalnya mengajukan yudisial review terkait
dengan perimbangan keuangan dan lahir juga beberapa undang-undang baru
penyesuaian terhadap pembentukan daerah provinsi di beberapa provinsi di
Indonesia,sampai provinsi Bali yang hingga saat ini masih berusaha
mendapatkan perimbangan keungan dengan potensi wisata yang
dimiliki,namun yang didapatkan bukanlah perlakuan khusus dari pemerintah
melainkan ekonomi khusus yang didapat,dan yang terakhir yaitu IKN yang
melahirkan model pemerintahan baru baik dalam sistem ketatanegaraan
maupun sistem daerah pemerintahan Indonesia.hal inilah yang dirasakan
diujung-ujung reformasi konstitusi bangsa Indonesia saat ini.Pembagian
urusan menjadi 3 lapis yakni pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau
kotadimana semula diberikan kepada kabupaten atau kota atau provinsi
perlahan-lahan ditarik menjadi wewenang pemerintah pusat.Pada contoh
kasus konkrit nya pada wewenang pertambangan mineral batubara dengan
undang-undang cipta kerja ditarik wewenang nya dan tiba-tiba diberikan
Kembali melalui peraturan presiden nomor 55 tahun 2022 hal ini menjadi
permasalahan yang kemudian diantaranya menyangkut perizinan,tata ruang,
hubungan keuangan pusat dan daerah,kepegawaian, penentuanNPSK,
penyusunan produk hukum,hingga saat ini masalah yang menyangkut honorer
saja,pemerintah pusat yang menentukan bagaimana pemerintah pusat
menghapuskan honorer walaupun ditolak keras oleh pemerintah daerah
setempat,termasuk juga produk hukum yang saat inijuga termasuk bagian
yang tersentralisasi,dengan hal tersebut yang ditemukan adalah pemerintah
pusat tidak mau direpotkan dengan berbagai dinamika didaerah atau
karakteristik local yang ada, segala bentuk pemanfaatan sumber daya alam
yang ‘’strategis’’ ditentukan oleh pusat yang peruntukannya dengan bungkus
‘’proyek strategis nasional,hak-hak masyarakat jelas terpinggirkan dengan
berbagai proyek tersebut yang bisa dibuktikan hingga saat ini proyek strategis
nasional hamper sepenuhnya bermasalah yang menuai pro dan kontra
ditengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya,bagaimana dengan dinamika Lembaga negara,terjadi pelemahan
peran Lembaga-lembaga negara yang dibentuk paska amandemen baik yang
dibentuk atas dasar konstitusi maupun undang-undang,seperti KY, KPK, DPD,
MK, Komnas HAM, ombudsman.Lalu meminjam 3 model pelemahan yang
disampaikan oleh Tom Ginsburg terhadap Lembaga demokrasi termasuk
kekuasaan kehakiman ada gejala untuk melakukan yang biasa disebut
dengan 3 I yakni
 Ignore (pengabaian rekomendasi atau putusan)
 Intimidate(serangan fisik dan psikis,ancaman kriminalisasi
 Interfere( proses rekrutmen bahkan melalui jalur konstitusional)
Bahkan BI juga mau di intervensi oleh orang-orang partai,sehingga revisi
undang-undang BI artinya yang dapat disimpulkan yakni adanya penguatan
peran DPR dan memudarnya akuntabilitas dalam proses pengisian hamper
seluruh Lembaga negara.Gejala politisasi Lembaga-lembaga negara dengan
mengizinkan ‘’orang-orang partai politik’’mengisi Lembaga tersebut baik orang
partai sungguhan maupun orang yang terafiliasi oleh partai politik
tersebut.sungguh memprihatinkan terlebih banyak sekali kasus-kasus yang
menyangkut dari Lembaga negara di Indonesia saat ini.selanjutnya apa yang
ditemukan dari hubungan legislatif dan eksekutif Model koalisi mayoritarian
dan semakin menghilangnya oposisi di parlemen fungsi lembaga legislatif
hanya menjadi stempel penguasa,melemahnya fungsi pengawasan DPR
karena ketimpangan komposisi parlemen dan proses legislasi hanya menjadi
alat legitimasi adanya dugaan Pelanggaran atas sebuah undang-undang
hilang separuh dari hak DPR, hanya menjadi politik tanpa Memberikan
manfaat bagi publik. Berbagai proses legislasi lahir dengan model yang jauh
dari nilai konstitusionalisme bahkan seperti menyatakan sebagai salah satu
bentuk konstitusi Bagaimana dengan relaksasi proyek Mas dalam periode 4
terakhir
Realisasi Prolegnas dalam 4 periode terakhir
 2004-2009: 71,7%
 2010-2014: 29,54%
 2015-2019: 13,6%
 2020-2024: 8,37%
Terkait dengan penyelenggaraan pemilu juga mengalami permasalahan yang
dibuat oleh pemerintah permasalahan tersebut diantaranya
 Lembaga pemilu yang mengalami gejala 3i(ignore,intimidate,interfere)
sebagaimana dialami Lembaga lainnya
 Dominasi partai politik peserta pemilu yang hendak mengatur
komposisi penyelenggaraa termasuk menentukan hasil pemilu
 Presidential threshold masih menjadi tantangan tersendiri dalam
pilpres karena pada akhirnya membatasi hak pilih warga dan kompetisi
yang sehat dalam pemilu
 Gugatan atas hasil pemilu sehingga melahirkan berbagai model dan
instrument penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu
 Dorongan Kembali pada proporsional tertutup,kompetisi antar
penyelenggara pemilu,pemanfaatan teknologi dalam pemilu
 Tarikan pilkada tak langsung,gejala kotak kosong(calon tunggal atau
calon boneka)
 Melemahnya keterwakilan perempuan baik sebagai penyelenggara
maupun peserta pemilu

Kegagalan reformasi partai politik


Setelah 20 tahun amandemen konstitusi,ternyata partai politik menjadi satu-
satunya Lembaga yang gagal direformasi,meskipun secara jumlah terus
berkembang menjelang pemilu namun actor yang muncul tetaplah bagian dari
masa lalu.Keberadaan undang-undang partai politik sangat lemah dalam
mengintervensi proses demokratisasi partai politik.Partai politik Sebagian
besar menjadi Lembaga yang justru tidak demokratis,mekanisme demokrasi
internal hanya menjadi formalitas,dan pada kenyataanya partai politik
semakin terkonsolidasi dan jauh dari prinsip demokrasi,padahal mereka
paling menentukan arah gerak konstitusionalisme.
Munculnya gagasan dalam 20 tahun berkonstitusi atau yang biasanya disebut
dengan gagasan amandemen konstitusi
 Gagasan penataan secara substansial,redaksional maupun sistematika
konstitusi telah dimulai oleh komisi konstitusi namun hasilnya tak
pernah dijadikan rujukan
 DPD berjuang mengubah konstitusi untuk memperkuat peran
kelembagaanya agar berimbang dan bermanfaat seperti halnya DPR
 Masyarakat sipil mendorong perubahan konstitusi untuk memperkuat
kelembagaan negara independent seperti KPK,Ombudsman,penataan
penyelenggaraan pemilu termasuk mekanisme complain konstitusional.
MPR mencoba mendorong amandemen untuk mengakomodir PPHN(Pokok-
pokok Haluan Negara) utak atik masa jabatan presiden,pertanggungjawaban
presiden,pemilihan presiden bahkan Kembali menjadi Lembaga
tertinggi,bahkan ada yang menghendaki Kembali UUD sebelum
amandemen.yang mana hal tersebut menjadi berpindah Haluan yang berawal
dari keinginan masyarakat menjadi keinginan para elit.
Terakhir yakni temuan reflektif dari riset diantaranya
 Lembaga demokrasi yang ada harus tetap dipertahankan meskipun
menuju pada arah yang tidak baik.
 Pemilu yang demokratis menjadi kunci utama dalam menentukan arah
demokratisasi konstitusional.
 Partai politik harus dipaksan untuk mereformasi diri baik secara
internal maupun intervensi legislasi karena mereka kunci utama dalam
demokratisasi
 Membangun kelompok oposisi alternatif terutama oleh kalangan
akademisi dan masyarakat sipil agar konstitusionalisme tetap terjaga
Pendidikan politik bagi warga negara menjadi kunci menjaga
konstitusionalisme

PEMATERI TERAKHIR
Prof. Dr. Saldi Isra
poin-poin terkait dengan perkembangan demokrasi konstitusional
terutama 20 tahun setelah perubahan konstitusi, dua dekade perkembangan
demokrasi konstitusional di Indonesia pertama,gagasan-gagasan besar yang
pernah didorong beriringan dengan awal reformasi di Indonesia yang
kemudian berujung pada reformasi konstitusi,jika dilihat pada konteks awal
reformasi konstitusi sampai pada sebuah kesimpulan awal reformasi di
Indonesia yang kemudian berujung pada reformasi konstitusi jika dilihat di
konteks awal reformasi konstitusi Yang disuarakan oleh kelompok reformis
terutama yang berasal dari kalangan kampus ketika itu adalah bagaimana
mereka hingga pada sebuah kesimpulan bahwa kemendekan sistem
ketatanegaraan Indonesia di era sebelum adanya reformasi atau di era baik
itu orde lama maupun orde baru karena bertumpu pada satu poin, yakni
terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu tangan. Yang menjadi tempat
bertumpunya kekuasaan itu adalah Presiden maka dari itu ketika ada upaya
untuk mengubah undang-undang dasar mendorong untuk mengubah undang-
undang dasar, Sentral pembicaraannya adalah bagaimana mendesain ulang
posisi lembaga kepresidenan sehingga kemudian tidak menjadi posisi yang
paling Sentral atau yang paling menentukan dalam desain ketatanegaraan.
Misalnya undang-undang Dasar 1945 sebelum diubah,rumusnya sangat
fleksibel. Sistem presidensial di Indonesia terutama berkaitan dengan posisi
wakil presiden kajian-kajian yang terkait dengan kewenangan besarnya
kekuasaan presiden dalam praktek ketatanegaraan Indonesia baik pada masa
orde lama maupun Orde Baru itu karena memang konstitusi bangsa ini yakni
undang-undang dasar yang dibuat oleh para pendiri awal negara memang
memberikan semua kekuasaan pada presiden. Menjadi pertanyaan Apakah
menggunakan sistem pemerintahan presidensial, Apakah menggunakan
sistem parlementer atau sistem campuran diantara keduanya yang kalau
dilihat pada konteks-konteks awal penyusunan konstitusi pada tahun 1945,
para pendiri negara mengatakan ini adalah sistem sendiri sistem yang di
desain sendiri, jika dibandingkan misalnya pada proses perumusan penemuan
modal sistem pemerintahan dalam sistem Amerika Serikat yang menjadi
salah satu rujukan utama saat menjelaskan sistem presidensil di awal
perdebatan konstitusi Amerika Serikat juga dipikirkan oleh para pendiri
negara Amerika Serikat mendesain pola hubungan antar lembaga yang itu
memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada Presiden. Namun kemudian
para pendiri negaranya berpikir untuk memberikan kekuasaan besar kepada
Presiden tapi tidak menjadikan presiden otoriter tidak bisa dibatasi sama
sekali di desainlah mekanisme yang lebih cek and Balance. Tapi ada elemen
lain yang kemudian membuat desain pemerintahan dalam konstitusi ini
menjadi bermasalah ketika dilaksanakan, apa elemen lain itu yang dianggap
menjadi semacam kelemahan utama karena konstitusi yang dihasilkan oleh
para pendiri negara undang-undang Dasar 1945, sama sekali tidak pernah
menyebutkan Bagaimana kekuasaan presiden itu diisi dalam konteks
dikaitkan dengan daulat Raya kedaulatan yang terdapat pada undang-undang
Dasar 1945. Awal itu sama sekali tidak menyentuh ada yang namanya salah
satu institusi politik penting yaitu pemilu jadi dapat kembali di cek pada
undang-undang Dasar 1945 yang sama sekali tidak memiliki untuk mengatur
pembahsan tentang Pemilu. Ada proses pengisian presiden jabatan presiden
dan wakil presiden namun hal tersebut dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat hal tersebut lah yang sebenarnya menjadi salah
satu titik lemah ketika undang-undang Dasar 1945 dengan menerapkan
sistem pemerintahan yang di desain.Oleh karena itu ketika ada rencana ingin
mengubah undang-undang dasar 1945 fokusnya adalah Bagaimana
membatasi kekuasaan presiden namun Ketika ini dibahas muncullah
perdebatan-perdebatan, undang-undang Dasar 1945 kelima sebelum
dilakukan perubahan apa yang keliru itu yakni ketika menganut sistem
presidensil misalnya maka kemudian di situ tidak disebutkan ada pemilihan
langsung oleh rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Maka dari
itu kita kita fokus kepada penataan sistem pemerintahan di dalam periode
perubahan undang-undang Dasar 1945 hal tersebut terlihat sekali tahapan-
tahapan segmen-segmen dari proses perubahan sendiri mulai melihat betapa
besarnya kekuasaan presiden. Lalu disaat ingin membatasi kekuasaan
presiden itu tidak cukup dengan hanya melakukan atau menyentuh pasal-
pasal yang terkait dengan Presiden, mulailah hal tersebut muncul ke ranah
lain seperti membatasi kekuasaan legislatif, juga harus diperkuat. Bagaimana
dengan judicial power dan segala halnya, jadi perubahan mendasar Salah
satunya yang mendasar dari undang-undang Dasar 1945 itu adalah
mengadopsi atau menginjeksikan Model pengisian jabatan presiden dan
jabatan legislatif karena dengan begitu para pengubah undang-undang Dasar
1945 membuat kesepakatan bahwa kita akan mempertahankan sistem
presidensil maka tidak bisa tidak di karakteristik sistem presidensil itu, harus
diadopsi ke dalam kondisi.Pada bebrapa buku yang dibuat, mengatakan jika
undang-undang Dasar 1945 itu diletakkan ke dalam karakteristik sistem
presidensil maka hampir semua karakteristik utama sistem presidensial itu
sudah diadopsi di dalam konstitusi Indonesia dalam undang-undang Dasar
1945. Hasil perubahan mulai dari penegasan soal posisi presiden yang
dualisme itu kepala negara dan kepala pemerintahan lalu tentang dipilih
langsung oleh rakyat, Bagaimana relasi dengan kekuasaan legislatif,
Bagaimana pertanggungjawaban, Bagaimana masa jabatan itu sudah diatur
sedemikian rupa jika ada yang sedikit menyimpang baik secara teks
konstitusinya saja. Pertanyaan dasar saat ini adalah bagaimana hal tersebut
setelah 20 tahun.Reduksi di undang-undang dan salah satu reduksi yang bisa
dilihat secara jelas itu yakni berkaitan dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden,dengan desain pemilihan presiden dan wakil presiden ada upaya
untuk kemudian memberikan pemaknaan baru terhadap cara pengisian
jabatan presiden terutama karena Pasal 6 telah menjelaskan bahwa
Pasangan calon presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilu hal tersebut kemudian berkembang terus-menerus dan
mengalami distorsi jika dilihat dari kajian hukum tata negara ada yang
namanya ambang batas pengajuan calon presiden yang dari pemilu 2004
kemudian membesar menjadi lebih besar lagi angka Pemilu Berikutnya. Ini
soal debat hukum tata negara yang sampai sekarang ini belum selesai masih
terus dibicarakan.Kemudian dikuatkan didalam Putusan sejak Pemilu
pemilihan langsung presiden 2004 sampai terakhir sekalipun setiap putusan
tersebut tidak didukung oleh 9 hakim konstitusi selalu hal tersebut ada yang
memiliki pandangan berbeda dibandingkan pandangan mayoritas tapi secara
hukum yang dianggap orang-orang atau Hakim yang pernah memiliki
pendapat berbeda itu bukan posisi hukum utama. Posisi hukum utamanya
dapat dilihat pada apa diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ini. Satu hal
yang dapat akan terus menjadi isu Sentral ketika menjelaskan soal
Bagaimana sistem presidensial ini di laksanakan setelah perubahan undang-
undang Dasar 1945 dan yang kedua yang terkait dengan desain sistem
presidensil dengan konstitusi undang-undang Dasar 1945 itu dalam hal relasi,
antara Presiden dengan pembantu presiden terutama dengan para menteri.
Konstitusi mengatakan bahwasannya menteri itu adalah pembantu presiden
yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden tapi kemudian dalam praktek
itu terjadi pergeseran-pergeseran.Jikalau dilihat presiden tidak menjadikannya
memiliki daulat yang sepenuhnya Untuk menentukan siapa yang akan jadi
menteri.di Amerika misalnya presiden juga tidak berdaulat Tapi lebih ke
halnya pada soal konfirmasi yang disampaikan. Jika dalam praktek yang
terjadi di Indonesia pada pengisian-pengisian posisi menteri sebagaimana
diatur dalam pasal 17 undang-undang Dasar 1945 yang kemudian selalu
terjadi upaya untuk mengkompromikan kewenangan presiden, kewenangan
konstitusional presiden terkait dengan partai politik yang secara praktek itu.
Kemudian memberikan support kepada Presiden, sehingga secara praktek
Ketika tidak bisa menghindari pada sistem presidensial ini maka sistem
multiple partai yang tidak dapat dikatakan sederhana, karena banyak sekali
jumlah partai politiknya yang kemudian partai-partai politik mendukung calon
presiden dan kompensasinya salah satunya presidensial baik itu harta-harta
atau benda-benda milik Presiden yang bisa digunakan untuk menopang
kekuasaan presiden itu adalah soal menentukan menteri dan posisi menteri di
Kabinet itu biasanya sesuatu yang kemudian sering sekali digantikan untuk
menopang kekuasaan presiden, yang kedua adalah yang menjadi perhatian
Bersama, yang ketiga yakni poin terakhir adalah soal fakta desain konstitusi
setelah perubahan undang-undang dasar itu memang membatasi kekuasaan
legislatif untuk kemudian dengan kekuasaan konstitusional presiden yang
dapat dilihat misalnya tidak ada lagi pertanggungjawaban presiden kepada
MPR karena itu mengkonsekusi logis dari sistem presidensial. Jadi presiden
tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan dan di luar itu presiden
juga tidak bisa diberhentikan oleh lembaga perwakilan kecuali karena sebab
yang ditentukan oleh konstitusi dan soal pemberhentian presiden dalam masa
jabatan dan sekarang memang sedang beralih Apakah kemudian akan
memberikan kewenangan ini kepada Presiden atau kepada lembaga
perwakilan, sehingga presiden memulainya tergantung dengan lembaga
perwakilan atau akan kembali ke titik tengah Dimana adanya bangunan check
and balance antara Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dengan
kekuasaan legislatif dalam hal ini harus hati-hati menjelaskan jika kemudian
legislatif mau mengambil peran sehingga nanti menimbulkan kesan presiden
menjadi seolah-olah bertanggung jawab lagi kepada lembaga perwakilan.
Maka sekalipun undang-undang Dasar 1945 telah mendesain sistem
presidensial dekat dengan karakteristik sistem presidensial yang murni,
namun membiarkan gejala ini berkembang terus-menerus kita akan kembali
mencampur adukkan antara praktek parlementer dengan praktek presidensil
di konstitusi Indonesia.

You might also like