You are on page 1of 30

1

OPTIMALISASI PERLINDUNGAN TERHADAP


KREDITUR MELALUI PERUMUSAN P2PL ACCESS
DALAM PENERAPAN FINTECH
PEER TO PEER LENDING

Ahmad Muzaki, Desrian Saputri, Reza Pratiwi


Email: rezapratiwi611@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, Tembalang, Kec. Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah 50275

ABSTRACT
The digitalization era has encouraged the acceleration of technology, it has been proven
by the increasing use of Peer to Peer Lending (P2PL) in Indonesia as an effective and efficient
loan provider. Nevertheless, on the implementation, there are challenges, such as the lack of
protection for creditors against Non Performing Loans. This is contrary to Article 28D paragraph
(1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which can result in unequal treatment of
creditors. The study uses a normative juridical method. The approach used was legislation,
conceptual, comparison, and case studies. The type of data used is qualitative data with secondary
data sources. The method of collecting data used was the literature study. In this study, the
authors found that there was still a lack of protection against creditors in the application of P2PL.
Hence, it takes optimum systems and policies in the application of P2PL through a scoring system
and the formation of a P2PL Access Website. With this effort, it is hoped to provide security for
creditors in the P2PL arrangement.
Keywords: Non Performing Loan; Peer to Peer Leanding; Creditors Protection.

ABSTRAK
Era digitalisasi telah mendorong akselerasi kemajuan teknologi, dibuktikan dengan meningkatnya
penggunaan layanan Peer to Peer Lending (P2PL) di Indonesia sebagai penyedia jasa pinjam
meminjam yang efektif dan efisien. Namun, pada implementasinya terdapat permasalahan, seperti
kurangnya perlindungan terhadap kreditur dalam menghadapi Non Performing Loan. Hal tersebut
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 karena dapat memicu perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum bagi
kreditur. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan yaitu
perundang-undangan, konseptual, perbandingan, dan studi kasus. Jenis data yang digunakan yaitu
data kualitatif dengan sumber data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah
studi kepustakaan. Dalam penelitian ini, penulis menemukan masih lemahnya perlindungan
terhadap kreditur dalam penerapan P2PL. Maka, diperlukan optimalisasi sistem dan kebijakan
dalam penerapan P2PL melalui Scoring System dan pembentukan Website P2PL Access. Dengan
upaya tersebut, diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan bagi kreditur dalam
penyelenggaraan P2PL.
Kata Kunci: Non Performing Loan; Peer to Peer Lending; Perlindungan Kreditur.
2

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ruang jamah teknologi digital telah meluas ke seluruh aspek dan bidang
kehidupan manusia, termasuk bidang keuangan. Salah satu inovasi dalam bidang
keuangan adalah financial technology (fintech),1 di mana terjadi pengalihan
kegiatan dan layanan keuangan dari bentuk konvensional ke bentuk digital yang
memungkinkan masyarakat untuk dapat melakukan transaksi secara real time,
dengan prospek kenyamanan, kelancaran, kecepatan, dan kemudahan.
Berdasarkan laporan publikasi CCAF (Cambridge Centre for Alternative
Finance) dalam The 2nd Asia Pacific Region Alternative Finance Industry
Report-Cultivating Growth, pada tahun 2016 terdapat sembilan jenis layanan
keuangan online,2 satu di antaranya adalah Peer to Peer Lending (P2PL) yang
berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diawasi pula
oleh Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Adapun regulasi
yang menjadi payung hukum kegiatan P2PL di Indonesia saat ini adalah Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, serta peraturan turunan berupa
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 18/SEOJK.02/2017
tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
menjelaskan terkait definisi P2PL yang isinya:3
“Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah
penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi

1
Adi Setiadi Saputra, ‘Perlindungan Pemberi Pinjaman Selaku Konsumen dan Tanggung Jawab
Penyelenggara Peer to Peer Lending dalam Kegiatan Peer to Peer Lending di Indonesia’ (2019) 5
Jurnal Vej.[239].
2
Muhammad Afdi Nizar, ‘Financial Technology (Fintech): It’s Concept and Implementation in
Indonesia’ (MPRA, 2020) <https://mpra.ub.uni-muenchen.de/98486/>, diakses pada 6 Oktober
2021.
3
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Pasal 1 angka 3.
3

pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian


pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem
elektronik dengan menggunakan jaringan internet”.
Dalam definisi lain, P2PL diartikan sebagai metode baru yang memungkinkan
seseorang meminjam dana melalui aplikasi atau situs pengajuan pinjaman tanpa
jaminan (agunan).4
Proses pinjam meminjam dalam layanan P2PL jauh lebih sederhana jika
dibandingkan dengan bank konvensional. Syarat-syarat yang diperlukan relatif
mudah dan peminjaman tidak memerlukan agunan (jaminan). Di samping itu,
layanan P2PL juga lebih fleksibel karena dapat mengalokasikan dana kepada
siapa saja, dalam jumlah nilai berapa pun, serta dengan bunga yang ringan.5
Faktor tersebut menyebabkan layanan pinjaman online atau P2PL berkembang
pesat di kalangan masyarakat Indonesia.
Namun, terlepas dari kelebihan tersebut, pemberian kredit pinjaman pada
layanan P2PL harus berhadapan dengan risiko atau masalah yang tidak jauh
berbeda dengan pinjaman pada bank konvensional. Risiko utama dalam layanan
P2PL adalah kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). Kreditur yang
bertindak sebagai pemberi pinjaman memiliki tingkat risiko yang sangat tinggi,
hal ini dikarenakan kreditur memberikan pinjaman tanpa agunan dan tidak
mengenal langsung peminjam,6 di mana kreditur hanya sebatas mengetahui
informasi debitur melalui data-data yang terlampir di dalam platform P2PL. Hal
ini tentunya akan menghambat kreditur dalam melakukan penagihan kepada
debitur yang mengalami NPL maupun wanprestasi.
Dalam fakta di lapangan, banyak kasus terkait kredit macet atau NPL.
Merujuk pada data yang dirilis OJK, jumlah kredit macet yang tidak dibayarkan
lebih dari 90 hari pada periode Agustus 2021 mencapai Rp 462 miliar. Kendati
pelaksanaan layanan P2PL telah memiliki payung hukum, yakni Peraturan

4
Adi Setiadi Saputra, ‘Perlindungan Pemberi Pinjaman Selaku Konsumen dan Tanggung Jawab
Penyelenggara Peer to Peer Lending dalam Kegiatan Peer to Peer Lending di Indonesia’, Loc.cit.
5
Regita Wijayani, ‘Perlindungan Hak Konsumen Selaku Debitur dan Kreditur pada Tansaksi Peer
to Peer (PTP) Lending Financial Technology’ (Tesis, Magister Universitas Gajah Mada 2017).[4].
6
Adi Setiadi Saputra, Op.Cit.[241].
4

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, nyatanya, peraturan ini tidak


mengakomodasi skema pertanggungjawaban ketika terjadi NPL atau wanprestasi
dalam P2PL, mitigasi risiko dari NPL maupun wanprestasi dibebaskan kepada
pihak penyelenggara dalam perjanjian baku antara kreditur dan platform P2PL.7
Bahkan, di dalam setiap platform P2PL tercantum disclaimer yang sebagian
isinya memuat hal-hal berikut:8
a. Dalam Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi segala
risiko yang timbul dari kesepakatan perdata antara kreditur dengan debitur
ditanggung sepenuhnya oleh masing-masing pihak;
b. Risiko kredit macet atau gagal bayar sepenuhnya ditanggung oleh kreditur
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga atau otoritas negara
lainnya.
Fakta di atas menggambarkan bahwa upaya perlindungan terhadap kreditur
dalam layanan P2PL masih begitu minim. Selama ini publik hanya terkonsentrasi
kepada perjuangan hak-hak dan perlindungan debitur saja. Padahal, dalam Pasal
28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jelas
ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan perlindungan, kepastian dan
kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Berdasarkan fakta-fakta empiris yang telah dijabarkan sebelumnya, saat ini
dibutuhkan suatu konsep untuk mengoptimalkan perlindungan terhadap kreditur
dalam aktivitas layanan P2PL. Konsep ini merupakan suatu bentuk inovasi
berbasis teknologi yang akan menjadi sarana mewujudkan perlindungan kreditur
secara nyata. Dengan demikian penelitian ini mengangkat judul “Optimalisasi
Perlindungan Terhadap Kreditur Melalui Perumusan P2PL Access dalam
Penerapan Fintech Peer to Peer Lending”.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diangkat
yaitu sebagai berikut:

7
Adi Setiadi Saputra, Op.Cit.[240-241].
8
Ibid.,[241].
5

a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penerapan peer to


peer lending di Indonesia saat ini?
b. Bagaimana upaya perlindungan terhadap kreditur dalam penyelengaraan peer
to peer lending melalui perumusan Website P2PL Access dan Scoring
System?

Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penerapan
peer to peer lending di Indonesia saat ini.
b. Untuk menganalisis upaya perlindungan terhadap kreditur dalam
penyelengaraan peer to peer lending melalui perumusan Website P2PL
Access dan Scoring System.

Manfaat Penelitian
Penulisan ini diharapkan tidak hanya dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca, tetapi juga dapat memberikan kontribusi secara nyata bagi
pemerintah dalam upaya untuk mewujudkan perlindungan terhadap kreditur.
a. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi media edukasi serta sumber wawasan
bagi para pembaca mengenai upaya perlindungan kreditur dalam penerapan
fintech P2PL. Selain itu, penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan
sumbangsih bagi khazanah keilmuan dalam lapangan hukum di Indonesia
serta dalam bidang financial technology, khususnya P2PL.
b. Manfaat Praktis
Penulisan ini mengandung konsep dan ide yang dapat dijadikan rujukan bagi
pemerintah, terkait upaya peningkatan perlindungan kreditur dalam layanan
P2PL di Indonesia melalui gagasan inovasi berbasis teknologi.
6

Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu metode
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan sekunder atau bahan
kepustakaan.9 Hal ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan
menghubungkannya dengan permasalahan yang dibahas. Melalui metode yuridis
normatif, bahan kepustakaan atau bahan sekunder tersebut akan dikaji dari
berbagai aspek, seperti aspek teori, perbandingan, struktur/komposisi, penjelasan
umum dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa yang digunakan
adalah bahasa hukum. Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir
deduktif, yaitu cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu
yang sifatnya umum dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang
sifatnyakhusus.
Jenis Pendekatan
Penulisan ini menggunakan empat jenis pendekatan, yaitu pendekatan
undang-undang (legislation approach), pendekatan konseptual (conseptual
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan
kasus (case approach). Pendekatan undang-undang (legislation approach)
dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan
dengan isu hukum yang dibahas.10 Pendekatan konseptual (conseptual approach)
dilakukan dengan beranjak dari pemahaman terhadap doktrin yang berkembang
dalam ilmu hukum yang dapat menjadi landasan untuk membangun argumentasi
hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dibahas. Pendekatan perbandingan
(comparative approach) dilakukan dengan cara membandingkan cara kerja dan
sistem yang dimiliki oleh dua lembaga/instansi hukum yang ada di Indonesia dan
yang berada di luar negeri. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan
mengkaji berbagai kasus yang memiliki relevansi dengan isu hukum yang
dibahas.

9
Henni Muchtar, ‘Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak Asasi
Manusia’ (2015) XIV Humanus.[80].
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitan Hukum (Kencana 2005).[93].
7

Sumber Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan
menghimpun data-data melalui penelaahan dan pengkajian bahan kepustakaan
atau data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, baik
berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahan hukum tertulis atau data sekunder diperinci dalam berbagai macam
tingkatan, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan dan dokumen resmi negara.11 Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari peraturan perundang-
undangan yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik;
b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
c. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang
Inovasi Keuangan Digital;
d. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 tentang
Layanan PengaduanKonsumen di Sektor Jasa Keuangan;
e. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 tentang
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum;
f. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang
Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi; dan

11
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Pustaka
Pelajar 2009).[42].
8

g. Surat Penunjukan Otoritas Jasa Keuangan Nomor S-5/D.05/IKNB/2019


kepada Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum tertulis yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam
penulisan ini adalah buku, jurnal hukum dan bahan lainnya yang memiliki
relevansi dengan penulisan ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk ataupun
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan ini yaitu
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Teknik Pengumpulan Data
Penulisan ini menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan,
yaitu dengan melakukan penelusuran dan penelahaan bahan-bahan hukum yang
mempunyai relevansi dengan pokok permasalahan yang menjadi kajian dalam
penulisan ini. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan cara
mensistematiskan bahan-bahan hukum tertulis.12
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan ini berupa deskriptif
kualitatif, yaitu teknik untuk menganalisa data-data yang berupa uraian.
Selanjutnya, dilakukan pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokkan dalam
bagian-bagian tertentu terkait bahan hukum yang diperoleh untuk diolah menjadi
data informasi.

12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif (Rajawali Pers 2001).[251-
252].
9

BAB II
LANDASAN TEORI

Non Performing Loan (NPL)


Pada layanan jasa pinjam meminjam online, pemberian kredit pinjaman
akan dihadapkan pada risiko atau masalah yang tidak jauh berbeda dengan
pinjaman pada bank konvensional. Adapun masalah utama yang kerap kali
mengiringi pinjaman online, yaitu kredit macet atau NPL. Merujuk pada Pasal 1
angka 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor
40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, dijelaskan
bahwa:13
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga,
atau dalam bentuk lain termasuk cerukan berupa saldo negatif pada
rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari,
pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang, dan
pengambilalihan atau pembelian tagihan dari pihak lain”.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), macet berarti tidak
dapat berfungsi dengan baik, terhenti, atau tidak lancar.14
Para pakar Indonesia kemudian menggenapkan definisi dari kredit macet
atau NPL tersebut dengan berbagai pengertian. Menurut Mahmoedin, NPL
adalah kredit yang tidak menepati jadwal angsuran sehingga terjadi tunggakan.15
Kondisi demikian dijelaskan secara lebih konkret dalam pandangan Ismail.

13
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/POJK.03/2019 tentang
Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Pasal 1 angka 9.
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI, 2021) <https://kbbi.web.id> diakses pada 9 Oktober
2021.
15
Samsul Amri, ‘Pengukuhan Kredit Bermasalah terhadap Likuiditas PT. Pegadaian Nasional
Produk Syari’ah’ (Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
2017).[42].
10

Menurut Ismail, kredit bermasalah yaitu suatu keadaan di mana nasabah sudah
tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti
yang telah diperjanjikan.16 Dalam definisi lainnya, Hermanto menjelaskan bahwa
kredit macet adalah piutang tak tertagih atau kredit yang mempunyai kriteria
kurang lancar, diragukan karena mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya
faktor-faktor tertentu.17
NPL dapat digunakan sebagai parameter atau indikator untuk mengetahui
tingkat risiko kredit di suatu lembaga keuangan. Semakin rendah tingkat rasio
NPL, maka akan semakin rendah tingkat kredit bermasalah yang terjadi. Menurut
Riyanto, semakin tinggi rasio NPL, maka mengindikasikan bahwa semakin buruk
kualitas kredit.18
NPL dapat terjadi karena banyak faktor. Menurut Hariyani, kredit macet
dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal penyebab
kredit macet yaitu:19
1. kebijakan perkreditan yang ekspansif;
2. menyimpang dalam pelaksanaan prosedur perkreditan;
3. itikad kurang baik dari pemilik;
4. pengurus atau pegawai lembaga keuangan; dan
5. lemahnya sistem informasi kredit macet.
Sedangkan faktor eksternal penyebab kredit macet yaitu:
1. kegagalan usaha debitur;
2. pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur; serta
3. menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.

16
Luh Dina Puspita dan I Ketut Mustanda, ‘Pengaruh Capital Adequacy Ratio, Loan To Depocit
Ratio, dan Non Performing Loan terhadap Profitabilitas LPD’, (2019) 8 E-Jurnal
Manajemen.[4028].
17
Sari Mukhsinati, ‘Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet pada Bank “X” di
Kabupaten Jember’ (Skripsi Sarjana Universitas Jember 2011).[1].
18
Octa Artarinadan Gregorius N. Masdjojo, ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rentabilitas pada
BPR di Kabupaten Blora’ (2013) 2 Dinamika Akuntansi, Keuangan, dan Perbankan.[45].
19
Andi Nursyahriana, et., al, ‘Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet’ (2017) 19
Forum Ekonomi.[2].
11

Peer to Peer Lending Atau Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis


Teknologi Informasi
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada regulasi kuat yang mengatur terkait
P2PL secara khusus. Demi menghilangkan kekosongan hukum yang ada, OJK
membentuk sebuah peraturan tingkat instansi yang mengatur terkait P2PL.
Regulasi tersebut adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi dan Surat Edaran OJK Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata Kelola
dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi.20
Berkaitan dengan definisi dari P2PL, tercantum di dalam Pasal 1 angka 3
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, menyatakan bahwa:21
“Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah
penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi
pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian
pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem
elektronik dengan menggunakan jaringan internet”.
Selain itu, beberapa ahli juga turut memberikan definisi terkait P2PL ini,
diantaranya ialah Ge, Feng, Gu, & Zhang, yang menyatakan bahwa peer to peer
lending merupakan sebuah proses menjalankan peminjaman uang antara dua
individual yang tidak bersangkutan secara langsung melalui platform online, tanpa
campur tangan dari para perantara keuangan yang tradisional seperti bank.22
Merujuk pada kedua definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, P2PL
merupakan sebuah platform yang digunakan untuk melakukan kegiatan pinjam
meminjam uang secara online tanpa memerlukan perantara. Sistem kerja layanan

20
Salsabila Yuharnita, ‘Kebijakan Restrukturisasi Pinjaman Pada Peer to Peer Lending’ (2021) 4
Media Iuris.[93].
21
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Pasal 1 angka 3.
22
Mahendra Galih Prasaja, ‘Tantangan dan Masa Depan Financial Technology Terhadap
Perkembangan Industri Keuangan Syariah di Era RevolusiIndustri 4.0’ (2020) 16 Jurnal
Manajmen dan Bisnis.[73].
12

P2PL ini sering disamakan dengan marketplace, yaitu hanya melalui sebuah
platform online debitur dapat dipertemukan dengan kreditur untuk selanjutnya
melakukan transaksi pinjam meminjam uang secara online. P2PL ini tidak sama
dengan layanan keuangan lainnya, selain dapat dilakukan dengan mudah dan
praktis karena hanya membutuhkan smartphone dalam pelaksanaannya, P2PL
juga tidak menetapkan agunan atau jaminan dalam prosesnya, sehingga hal inilah
yang dapat menarik minat masyarakat dan membuat banyak penyedia layanan
pinjam meminjam online bermunculan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
OJK, sampai dengan 29 Juni 2021 terdapat sekitar 124 perusahaan Financial
Technology Lending atau P2PL yang telah terdaftar.23
Di samping semua kepraktisan yang berhasil ditawarkan oleh P2PL
tersebut, masyarakat juga harus tetap berhati-hati dalam melakukan peminjaman
secara online melalui platform P2PL. Hal ini dikarenakan saat ini terdapat banyak
P2PL yang berjalan tanpa mengantongi izin dari OJK (ilegal). Dikutip dari situs
Investor.Id, terdapat 172 penyelenggara fintech lending ilegal yang berhasil
ditutup oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) per Juli 2021.24 Angka ini tentu
bukan angka yang kecil, bahkan angka ini menunjukkan bahwa lebih banyak
jumlah P2PL ilegal dibandingkan P2PL legal yang ada di Indonesia. Maka dari
itu, masyarakat diharapkan hanya menggunakan fintech lending yang telah
terdaftar di OJK guna dapat menjamin keamanan bertransaksi pinjam meminjam
secara online yang dilakukan, serta guna menghindari hal-hal lainnya yang dapat
merugikan masyarakat.

Perlindungan Kreditur
Kata perlindungan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan
sebagai tempat berlindung, memperlindungi. Sedangkan kata kreditur dalam

23
Otoritas Jasa Keuangan, ‘Penyelenggara Fintech Lending Terdaftar dan Berizin di OJK per 29
Juni 2021’ (Otoritas Jasa Keuangan, 2021) <https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/financial-
technology/Pages/Penyelenggara-Fintech-Lending-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-29-Juni-
2021.aspx>, diakses pada 9 Oktober 2021.
24
Prisma Ardianto, ‘Tambah 172 Entitas, Satgas Waspada Investasi Tindak 3.365 Fintech Lending
Illegal’ (Investor.Id, 2021) <https://investor.id/finance/255749/tambah-172-entitas-satgas-
waspada-investasi-tindak-3365-fintech-lending-ilegal>, diakses pada 9 Oktober 2021.
13

KBBI diartikan orang yang berpiutang, memberikan kredit, penagih. Dengan


demikian, perlindungan kreditur dapat diartikan sebagai upaya melindungi/tempat
berlindung terhadap orang yang berpiutang atau memberikan kredit.25
Perlindungan hukum terhadap kreditur dapat dibagi menjadi dua, yaitu
perlindungan preventif dan perlindungan represif. Perlindungan hukum preventif
merupakan perlindungan yang dilakukan sebagai bentuk pencegahan terhadap
suatu sengketa. Dalam perlindungan hukum preventif, subjek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan dan menyampaikan pendapatnya
sebelum ada keputusan pemerintah dalam bentuk final. Guna memberikan
batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban dan mencegah adanya
pelanggaran, perlindungan hukum preventif ini diterapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan. Dengan adanya perlindungan hukum
preventif, pemerintah diharapkan dapat bertindak lebih hati-hati dalam mengambil
suatu keputusan.26
Dalam penerapan peer to peer lending, kreditur juga memiliki hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum, karena kreditur melakukan suatu perbuatan
hukum berupa perjanjian pinjam meminjam secara online dengan bertindak
sebagai pihak yang memberikan kredit/pinjaman. Disebutkan dalam Pasal 29
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, penyelenggara wajib
untuk menerapkan prinsip-prinsip dasar dari perlindungan pengguna berupa
transparansi, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, perlakuan yang adil, dan
penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.27
Pada dasarnya, perlindungan hukum dalam suatu perjanjian dapat
diwujudkan dalam bentuk regulasi, yaitu perlindungan hukum melalui suatu
bentuk perundang-undangan tertentu yang sifatnya umum untuk setiap orang yang
melakukan perjanjian dan perlindungan hukum berdasarkan perjanjian yang
khusus dibuat oleh para pihak, dalam bentuk substansi/isi perjanjian antara

25
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI, 2021) <https://kbbi.web.id> diakses pada 9 Oktober
2021.
26
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia (Bina Ilmu 1987).[1-3].
27
Nadia Intan Rahmahanida, ‘Perlindungan Hukum Pihak Pemberi Pinjaman pada Layanan
Pinjaman Pendidikan Berbasis Teknologi Informasi terhadap Risiko Gagal Bayar’ (2020) 3 Jurist-
Diction.[553].
14

kreditur dan debitur.28 Dikaitkan dengan P2PL, bahwa sudah terdapat regulasi
terkait dengan perlindungan kreditur, salah satunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis
Teknologi Informasi. Namun, dalam penerapan P2PL saat ini, perlindungan
terhadap kreditur belum dilakukan secara efektif, hal tersebut didasari karena
masih tingginya angka kredit macet (NPL) oleh debitur. Tingginya NPL pada
penyelenggaraan P2PL mengakibatkan adanya kerugian pada pihak kreditur
sebagai pihak pemberi pinjaman.

28
Dikdik M, et., al, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Refika Aditama 2005).[158].
15

BAB III
PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum terhadap Kreditur dalam Penerapan Peer to Peer


Lending di Indonesia Saat Ini
Perkembangan globalisasi mendorong banyaknya penggunaan teknologi
dalam berbagai bidang, termasuk pada bidang ekonomi, yang mana menciptakan
suatu inovasi pada layanan jasa keuangan. Salah satu contohnya dapat dilihat pada
layanan P2PL sebagai layanan pinjam meminjam melalui media online yang telah
berlaku sejak tahun 2016. Berdasarkan regulasi yang ada, legalitas penerapan
P2PL didasari oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi atau yang
selanjutnya disebut sebagai POJK 77/POJK.01/2016 sebagai dasar hukum utama
terkait berlakunya P2PL di Indonesia.
Model penerapan P2PL yaitu menggambarkan bahwa dalam pengajuan
kredit tidak perlu memiliki rekening di perbankan terlebih dahulu, namun cukup
dengan pengajuan pinjaman kepada lembaga penyelenggara P2PL. Penawaran
yang diberikan oleh P2PL mendapat respon yang positif dari masyarakat karena
sistem ini dipandang lebih memberikan kemudahan, kecepatan, dan kepraktisan,
dengan dibuktikan dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Selain itu,
keunggulan lain dari penyelenggaraan P2PL yaitu adanya inovasi baru dengan
cara melakukan verifikasi nasabah tanpa memerlukan tatap muka dan tanpa kertas
atau paperless yang belum dapat dilakukan oleh bank k`onvensional di
Indonesia.29 Hal tersebut sejalan dengan pola pikir masyarakat yang selalu
menginginkan kemudahan terutama dengan adanya kemajuan teknologi saat ini.
Di samping manfaat tersebut, terdapat beberapa permasalahan dalam
penyelenggaraan fintech P2PL, salah satunya yaitu risiko adanya kredit macet
oleh debitur atau dikenal dengan istilah NPL. Permasalahan tersebut
menimbulkan kerugian bagi kreditur sebagai pihak peminjam.

29
Cheyzsa Mega Andhini S.P, ‘Problematika Hukum Pada Peer to Peer Lending di Indonesia
Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha’ (2019) 2 Jurnal Jurist-Diction.[2028].
16

Apabila melihat realita saat ini, banyaknya jumlah kredit macet


membuktikan bahwa perlindungan hukum terhadap kreditur belum maksimal.
Berdasarkan data yang dicatat oleh OJK, jumlah kredit macet yang tidak
dibayarkan lebih dari 90 hari pada periode Agustus 2021 mencapai Rp 462 miliar.
Dalam data tersebut, pinjaman dibagi menjadi dua, yaitu terhadap perseorangan
dan Badan Usaha. Total outstanding pinjaman milik perseorangan mencapai Rp
408 miliar, sedangkan Badan Usaha mencapai Rp 54 miliar. Adapun total jumlah
rekening penerima pinjaman aktif pada pinjaman yang macet lebih dari 90 hari
mencapai 286.227 rekening. Sebanyak 286.147 milik perseorangan dan 80 milik
Badan Usaha.30
Data di atas membuktikan bahwa dalam penyelenggaraan P2PL tidak hanya
debitur yang menanggung risiko, namun kreditur juga berlaku demikian.
Faktanya, perlindungan hukum terhadap kreditur dalam permasalahan kredit
macet masih minim. Hingga saat ini, regulasi yang berkaitan dengan perlindungan
terhadap kreditur hanya terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018
tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan yaitu tertera
dalam Pasal 14 yang menegaskan bahwa pelaku usaha jasa keuangan dalam hal
ini adalah penyelenggara layanan jasa pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi wajib melakukan tindak lanjut berupa melakukan pemeriksaan internal
atas pengaduan secara kompeten, benar dan obyektif, serta melakukan analisa
untuk memastikan kebenaran pengaduan.
Regulasi yang telah disebutkan di atas tidak dibarengi dengan penerapan
perlindungan kreditur yang maksimal dibuktikan dengan masih tingginya angka
kredit macet. Artinya, regulasi tersebut belum mampu memberikan perlindungan
kepada kreditur dalam menghindari permasalahan kredit macet. Data terkait kredit
macet (NPL) yang telah dicantumkan di atas menggambarkan perlunya kebijakan
dalam upaya perlindungan terhadap kreditur terkait dengan tingginya angka kredit

30
Pitadata, ‘Duh, OJK Catat Kredit Macet di Fintech Lending Capai Rp 462 Miliar’ (Pitadata,
2021) <https://pitadata.com/duh-ojk-catat-kredit-macet-di-fintech-lending-capai-rp462-miliar/>,
diakses pada 7 Oktober 2021.
17

macet saat ini. Berbicara terkait kredit macet, kondisi pandemi yang terjadi saat
ini menjadi salah satu faktor meningkatnya angka kredit macet.
Contoh konkrit dari permasalahan di atas dapat dilihat pada perusahaan
P2PL “Modalku” yang mengalami jumlah kredit macet mencapai satu persen saat
awal pandemi, dimana sebelum pandemi hanya berkisar 0,5 persen.31 Seiring
dengan lamanya kondisi pandemi Covid-19, berdasarkan data yang didapatkan per
Juni 2021, tingkat kredit macet pada perusahaan Modalku mencapai 5,57 persen
dan tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman 90 hari (TKB90) di 94,43
persen.32 Kemudian, saat ini TKB90 di Modalku mencapai 95,46 persen, yang
artinya kredit macet berkisar 4,54 persen.33 Paparan data di atas menunjukkan
kondisi yang fluktuatif terkait jumlah kredit macet di Modalku, namun dari data
tersebut dapat dikatakan bahwa masih tingginya angka kredit macet pada
perusahaan Modalku yang menjadi salah satu perusahaan P2PL terbesar di
Indonesia karena wilayah operasinya mencakup Indonesia, Malaysia, Vietnam,
dan Singapura.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dalam Pasal 19
dan Pasal 20 yang mengatur perjanjian antara para pihak dalam P2PL tidak
mengatur adanya jaminan kredit dalam perjanjian pinjam meminjam. OJK sebagai
pihak pengawas penyelenggaraan P2PL di Indonesia seharusnya dapat
menginisiasi pemberian perlindungan hukum terhadap kreditur terkait dengan
permasalahan kredit macet atau NPL ini. Permasalahan kredit macet dapat
dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi, hal tersebut disebabkan karena salah
satu pihak (debitur) tidak melaksanakan kewajibannya, yaitu mengembalikan
pinjaman dalam tenggat waktu yang telah disepakati. Tindakan tersebut akan

31
Fahmi Ahmad Burhan, ‘Kredit Macet Melonjak Saat Pandemi, Fintech Modalku Perketat
Pinjaman’ (Katadata.co.id, 2020)
<https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/5f212ead799e3/kredit-macet-melonjak-saat-pandemi-
fintech-modalku-perketat-pinjaman>, diakses pada 7 Oktober 2021.
32
Aziz Rahardyan, ‘Mitigasi Risiko, Modalku Dorong Lender Diversifikasi Pembiayaan di
Berbagai Sektor’ (Finansial, 2021)
<https://finansial.bisnis.com/read/20210708/563/1415576/mitigasi-risiko-modalku-dorong-lender-
diversifikasi-pembiayaan-ke-berbagai-sektor>, diakses pada 9 Oktober 2021.
33 (Modalku, 2021) <https://modalku.co.id/>, diakses pada 9 Oktober 2021.
18

berujung terjadinya sengketa oleh kedua pihak. Dalam setiap perjanjian perlu
adanya klausul mengenai mekanisme penyelesaian sengketa apabila salah satu
pihak melakukan wanprestasi.34
Mengenai adanya mekanisme penyelesaian sengketa, hal tersebut telah
dijelaskan dalam Pasal 20 ayat (2) huruf l Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi bahwa dalam dokumen elektronik pinjam meminjam
berbasis online harus memuat mekanisme penyelesaian sengketa. Namun, masih
kurangnya perlindungan hukum terhadap kreditur menyebabkan penyelesaian
sengketa tersebut belum berjalan secara optimal. Hal tersebut dibuktikan dengan
tingginya jumlah kredit macet yang dapat memberikan kerugian kepada kreditur
sebagai pihak pemberi pinjaman. Berkaitan dengan hal tersebut, OJK sebagai
pihak pengawas belum merumuskan suatu kebijakan dalam rangka meminimalisir
angka kredit macet.
Dari adanya hal tersebut, penulis beranggapan bahwa terdapat urgensi
perumusan kebijakan konkrit terkait penerapan peer to peer lending yang
orientasinya untuk memberikan penguatan serta perlindungan terhadap pihak
kreditur dalam menghindari peningkatan angka kredit macet.

Upaya Perlindungan terhadap Kreditur dalam Penyelengaraan Peer to Peer


Lending (P2PL) melalui Perumusan Website P2PL Access dan Scoring System
Era globalisasi saat ini telah membawa teknologi dan informasi ke arah
yang lebih maju, dibuktikan dengan munculnya berbagai layanan elektronik,
misalnya layanan elektronik dibidang keuangan seperti peer to peer lending. Peer
to peer lending merupakan sebuah layanan pinjam meminjam online dibawah
pengawasan OJK yang dapat digunakan oleh semua masyarakat dengan mudah
dan praktis. Namun, disamping kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan,
masih dijumpai beberapa permasalahan dalam penyelenggaraannya, seperti

34
Salim HS., et., al, ‘Perancangan Kontrak & Memorandum Understanding (MoU) (Sinar Grafika
2017).[85].
19

kurangnya perlindungan terhadap kreditur dalam menghadapi NPL atau kredit


macet.
Kebijakan terkait peer to peer lending saat ini belum memberikan
perlindungan terhadap kreditur, serta belum memberikan rencana mitigasi yang
jelas untuk mengurangi angka NPL di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah solusi terkait pengawasan terhadap penyelenggaraan peer to peer lending
yang mampu mengurangi angka NPL sekaligus dapat memberikan perlindungan
kepada kreditur, terutama dalam menghadapi kasus kredit macet dalam
penyelenggaraan peer to peer lending di Indonesia.
Di Amerika Serikat, pengawasan terhadap penyelenggaraan financial
technology lending (fintech lending) dipegang secara langsung oleh Securities and
Exchange Comission (SEC).35 Dalam mengawasi seluruh penyelenggaraan fintech
lending, SEC menggunakan sebuah web platform yang dikhususkan bagi
penyelenggaraan P2PL. Melalui web platform tersebut, SEC mewajibkan
penyelenggara P2PL untuk memasukkan seluruh data materialnya ke publik
dengan batasan data yang luas melalui sistem Electronic Data Gathering,
Analysis and Retrieval (EDGAR),36 terutama data yang berkaitan dengan
peminjam, sehingga pemberi pinjaman dapat memeriksa informasi atau profil
terkait peminjam terlebih dahulu sebelum memastikan untuk memberikan
pinjaman.
Selain itu, web platform P2PL tersebut juga dapat membantu SEC untuk
menganalisa jenis pinjaman yang sekiranya ideal dan sudah tidak ideal lagi untuk
nantinya ditawarkan kepada masyarakat. Dengan adanya mekanisme seperti ini,
penyelenggaraan P2PL di Amerika Serikat menjadi lebih transparan, dikarenakan
pemberi pinjaman dan peminjam dapat saling menganalisis profil atau informasi
masing-masing terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat

35 Inda Rahadiyan dan Nikamh Mentari, ‘Keterbukaan Informasi Sebagai Mitigasi Risiko Peer to
Peer Lending (Perbandingan Antara Indonesia dan Amerika Serikat)’ (2021) 28 Ius Quia
Iustum.[338].
36
Arya Anggara Putra, ‘Uraian Singkat Pengaturan Mitigasi Risiko Peer-to-Peer Lending
Amerika Serikat’ (Linkedin, 2020) <https://id.linkedin.com/pulse/uraian-singkat-pengaturan-
mitigasi-risiko-lending-amerika-putra>, diakses pada 8 Oktober 2021.
20

sebuah perjanjian pinjam meminjam secara online.37 Mekanisme ini dapat


digunakan untuk mencegah sekaligus mengurangi angka kredit macet atau NPL,
sehingga dapat lebih menjamin keamanan dalam penyelenggaraan P2PL di
Amerika Serikat.
Berkaca pada web platform P2PL yang dimiliki oleh Amerika Serikat
tersebut, penulis menggagas pembentukan sebuah platform yang dikhususkan
untuk mengawasi penyelenggaraan P2PL terutama guna mengurangi angka kredit
macet, yakni Website P2PL Access. Website P2PL Access merupakan sebuah
wadah yang dibentuk oleh OJK bersama Kementerian Komunikasi dan Informasi
(Kemkominfo) guna mengawasi seluruh aktivitas pinjam meminjam online yang
dilakukan dalam P2PL. Melalui website ini, perlindungan kreditur terutama
terhadap praktik-praktik NPL menjadi lebih terjamin. Selain itu, website ini juga
menjamin perlindungan debitur terhadap P2PL ilegal sebab website ini hanya diisi
dan boleh diakses oleh P2PL yang telah terdaftar di OJK, yaitu P2PL yang telah
memiliki akun verifikasi dari OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informasi
untuk dapat mengakses Website P2PL Access ini. Dalam menjalankan fungsinya
itu, website ini didukung atau memiliki beberapa layanan di dalamnya, seperti:
a. menyediakan ruang untuk melakukan transaksi pinjam meminjam dengan
aman;
b. penyimpanan data pribadi milik debitur dan kreditur yang disertai notifikasi
pembaharuan data. Data pribadi tersebut dapat digunakan baik oleh debitur
maupun kreditur guna menjamin keamanan aktivitas pinjam meminjam
secara online;
c. menyediakan informasi terkait riwayat peminjaman sebelumnya yang
dilakukan oleh debitur;
d. menyimpan laporan keluhan baik dari kreditur maupun debitur jika salah satu
pihak merasa dirugikan dari adanya proses pinjam meminjam online tersebut;
e. meneruskan laporan kepada OJK untuk selanjutnya dapat diperiksa dan
diproses penyelesaiannya.

37
Inda Rahadiyan dan Nikamh Mentari, Op. Cit.[339].
21

Website P2PL Access ini menggunakan sistem Electronic Data Gathering,


Analysis and Retrieval (EDGAR) dalam penyimpanan datanya. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa kehadiran sistem EDGAR ini membuat
pelaksanaan transaksi dalam P2PL menjadi lebih transaparan dan mudah. Data
pribadi milik kreditur dan debitur yang disimpan dapat dilihat secara publik,
sehingga masing-masing pihak dapat saling melihat informasi satu sama lain
sebelum melakukan transaksi pinjam meminjam secara online. Data pribadi
tersebut harus diperbaharui enam bulan sekali, guna menghindari manipulasi data
dan menjamin keamanan aktivitas pinjam meminjam online yang dilakukan. Jika
waktu pembaharuan profil atau data pribadi telah tiba, secara otomatis sistem akan
mengirimkan notifikasi yang mengharuskan pengguna Website P2PL Access
memperbaharui profil atau data pribadinya.
Informasi berupa profil atau data pribadi yang tercantum di dalam website
tersebut dapat digunakan oleh debitur untuk mempertimbangkan P2PL atau
kreditur yang sekiranya dapat diajukan pinjaman. Melalui informasi tersebut pula,
kreditur dapat menganalisa profil milik debitur yang mengajukan pinjaman agar
dapat menentukan keputusan untuk memberikan pinjaman online kepada debitur
tersebut, sekaligus menentukan batasan maksimum pinjaman yang dapat diterima
oleh debitur. Selain itu, sistem EDGAR mampu menyimpan riwayat profil dan
transaksi, baik yang dilakukan oleh debitur maupun kreditur, sehingga selain
membantu debitur dan kreditur untuk saling menganalisis satu sama lain, sistem
EDGAR juga membantu OJK dalam melakukan pemeriksaan dan penyelidikan
terkait laporan baik dari kreditur maupun debitur.
Demi menjamin keamanan data pribadi milik debitur dan kreditur, agar
tidak terjadi kebocoran data pribadi, website ini menggunakan sistem keamanan
peer to peer dan sharing security. Peer to peer merupakan sistem keamanan yang
menggunakan beberapa server, yang juga pengaksesannya tidak hanya dapat
dilakukan oleh satu pihak saja. Dengan demikian, data yang tersimpan di dalam
website tersebut tidak hanya dapat dipegang dan diakses oleh OJK saja, tetapi juga
oleh Kemkominfo (Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik), serta pihak penyelenggara P2PL itu sendiri,
22

sehingga pengawasan terkait keamanan data ini dapat terjamin. Hal ini
dikarenakan, jika terjadi kebocoran data dalam satu server, maka server yang lain
dapat mencegahnya untuk selanjutnya menghentikan tindakan peretasan tersebut.
Sharing security merupakan sistem keamanan berlapis yang bertujuan untuk
mempersulit peretas masuk ke dalam sistem penyimpanan data website. Sharing
security bekerja layaknya banyak gembok yang digunakan dalam satu pintu, agar
dapat masuk dan mencuri data pribadi, peretas tidak hanya cukup melewati satu
pintu saja, tetapi juga harus melewati pintu-pintu yang lainnya, dimana tiap-tiap
pintu itu telah terkunci secara aman dengan kehadiran sistem peer to peer.
Untuk dapat mengakses Website P2PL Access, pihak penyelenggara P2PL
harus mempunyai izin yang dikeluarkan oleh OJK dan Lembaga Online Single
Submission (OSS) terlebih dahulu. Izin tersebut didapatkan melalui beberapa
prosedur yang digambarkan dalam bagan berikut.

Pengujian Sistem Pengajuan Surat


Pencatatan Sebagai
Layanan Melalui Rekomendasi kepada
Usaha IKD Kepada
Regulatory Sandbox AFPI
OJK
oleh OJK

Kemkominfo Memberikan
Pendaftaran Prizinan
Hak Untuk Dapat Masuk dan
P2PL ke OJK dan
Dapat Mengakses Website
Lembaga OSS
P2PL Access

Gambar 1. Prosedur Perizinan Akses Website P2PL Access

Penjelasan lebih jelas mengenai bagan di atas adalah sebagai berikut:38


a. Permohonan pencatatan sebagai usaha Inovasi Keuangan Digital (IKD).
Pencatatan ini merupakan tahap paling awal yang harus dilakukan untuk
dapat memenuhi tahapan perizinan selanjutnya. Pencatatan ini diajukan oleh
penyelenggara P2PL kepada OJK. Pengaturan terkait pencatatan P2PL

38
Smartlegal.Id, ‘Prosedur Perizinan Penyelenggara Peer to Peer Lending di Indonesia’
(Smartlegal.Id, 2019) <https://smartlegal.id/badan-usaha/2019/08/05/peer-to-peer-lending-
indonesia/>, diakses pada 8 Oktober 2021.
23

sebagai usaha IKD tertuang di dalam POJK No. 13/POJK.02/2018 tentang


Inovasi Keuangan Digital;
b. Setelah resmi tercatat sebagai jenis usaha IKD, selanjutnya P2PL harus
mengajukan surat permohonan pengujian Regulatory Sandbox kepada OJK.
Regulatory Sandbox bertujuan untuk menguji apakah IKD atau P2PL telah
memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh OJK dari segi model bisnis, sistem
penyelenggaraan pelayanan sampai kepada tingkat keamanan yang diberikan
oleh P2PL tersebut. Status yang kelayakan yang dikeluarkan dalam pengujian
Regulatory Sandbox berupa direkomendasikan, perbaikan atau tidak
direkomendasikan. Jika P2PL telah mendapatkan status “direkomendasikan”,
maka ia berhak melanjutkan ke tahap selanjutnya;
c. Sesuai dengan Surat Penunjukan OJK No. S-5/D.05/IKNB/2019, tahap
selanjutnya yang harus dilakukan oleh pihak P2PL agar bisa mendapatkan
izin usaha adalah mengikuti dan mendapatkan sertifikat seminar dari Asosiasi
Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang melalui surat penunjukan
tersebut telah menjadi mitra OJK dalam mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan P2PL di Indonesia;
d. Setelah melalui semua tahapan di atas, barulah P2PL dapat melakukan
pendaftaran perizinan usaha ke OJK dan Lembaga OSS. Jika dipastikan
bahwa P2PL telah melalui semua tahapan di atas dan telah memenuhi semua
persayaratan yang diajukan, baik oleh OJK maupun oleh Lembaga OSS,
maka P2PL akan mendapatkan surat tanda bukti usaha;
e. Melalui surat tanda bukti usaha dari Lembaga OSS dan OJK tersebut,
Kemkominfo dan OJK akan memberikan hak kepada P2PL untuk dapat
masuk dan dapat mengakses Website P2PL Access agar bisa menjalankan
usahanya sebagai layanan penyedia pinjam meminjam online.
Dalam rangka mengurangi angka kredit macet atau NPL yang ada di
Indonesia, selain menggunakan Website P2PL Access, OJK selaku lembaga yang
paling berwenang dalam mengawasi lembaga jasa keuangan termasuk di
dalamnya P2PL sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, juga berhak atau wajib
24

untuk menetapkan kebijakan terkait Scoring System dalam penyelenggaraan P2PL


yang ditujukan bagi seluruh pihak dalam penyelenggaraan P2PL. Scoring System
tersebut ditetapkan oleh OJK melalui Peraturan OJK agar memiliki sifat mengikat
dan langsung dapat diberlakukan oleh seluruh penyelenggara P2PL dalam
melakukan aktivitas pinjam meminjam secara online. Secara garis besar, isi dari
Scoring System yang ditetapkan tersebut meliputi:
1. Sebelum melakukan transaksi peminjaman online, nasabah atau debitur
diharuskan untuk menyerahkan data pribadi mereka, seperti Scan Kartu Tanda
Penduduk (KTP), Scan Kartu Keluarga (KK), Scan Kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), Scan slip gaji terbaru atau laporan penghasilan bulanan yang
telah ditandatangani dan diberikan stempel oleh Kepala Desa atau pejabat yang
berwenang sebagai tanda keaslian laporan (jika tidak memiliki slip gaji), serta
akun internet banking;
2. Bagi debitur yang hendak melakukan peminjaman online untuk keperluan
usaha, wajib untuk menyertakan surat izin usahanya atau bukti dari
keberjalanan usahanya;
3. Semua data pribadi tersebut akan disimpan dalam Website P2PL Access yang
diawasi langsung oleh OJK dan tiap-tiap pihak penyelenggara P2PL itu sendiri,
serta wajib diperbaharui oleh masing-masing debitur setiap enam bulan sekali
guna menghindari manipulasi data;
4. Sebelum melakukan peminjaman online, kreditur harus benar-benar
memastikan bahwa debitur belum memiliki ikatan utang piutang atau pinjam
meminjam yang belum dilunasi. Dengan kata lain, debitur hanya diperbolehkan
melakukan transaksi pinjam meminjam online satu kali saja. Debitur baru
dapat diperbolehkan untuk melakukan transaksi pinjam meminjam online lagi
apabila sudah dipastikan telah melunasi semua utangnya. Hal ini dapat
dibuktikan atau dilihat melalui riwayat transaksi debitur yang terdapat di dalam
Website P2PL Access;
5. Sebelum melakukan transaksi peminjaman online, pihak kreditur dan debitur
membuat surat perjanjian peminjaman online yang isinya menyangkut:
a. Jumlah uang yang dipinjamkan;
25

b. Tenggat waktu pembayaran beserta mekanismenya;


c. Penetapan bunga yang telah disepakati oleh masing-masing pihak, tentunya
harus sesuai dengan ketetapan yang dikeluarkan oleh OJK yaitu kisaran 0%
sampai 0,8%;
d. Kesepakatan kedua pihak jika terjadi wanprestasi; dan
e. Pernyataan terkait data pribadi yang disimpan merupakan data yang valid
dan paling terbaru.
Penerapan Website P2PL Access dan Scoring System diharapkan dapat
membantu pemerintah dan stakeholder terkait untuk dapat mengurangi angka
kredit macet atau NPL dalam penyelengaraan P2PL di Indonesia. Website P2PL
Access dan Scoring System juga dapat lebih menjamin keamanan bertransaksi
pinjam meminjam secara online, serta dapat memberikan perlindungan yang lebih
kepada kreditur, khususnya terhadap kasus kredit macet yang dilakukan oleh
debitur dalam pelaksanaan pinjam meminjam online.
26

BAB IV
PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
a. Perlindungan hukum terhadap pihak kreditur dalam penerapan peer to peer
lending di Indonesia belum dilakukan secara optimal, hal tersebut dibuktikan
dengan masih tingginya angka kredit macet atau Non Performing Loan.
Permasalahan ini menjadi suatu kerugian bagi kreditur sebagai pihak yang
memberikan pinjaman. Hal tersebut yang mendasari perlu adanya sistem dan
kebijakan yang berorientasi untuk meminimalisir angka kredit macet dalam
penerapan peer to peer lending di Indonesia.
b. Perlindungan terhadap kreditur dalam penyelenggaraan peer to peer lending
dilakukan dengan dua upaya, yaitu merumuskan sebuah Website P2PL Access
yang mana dibentuk dengan konsep yang komprehensif, serta melalui upaya
lain yaitu kebijakan Scoring System. Perumusan kebijakan tersebut ditujukan
untuk menjamin keamanan bertransaksi bagi semua pihak, khususnya bagi
kreditur dalam menghadapi permasalahan kredit macet.

Saran
Perlindungan terhadap kreditur dalam penerapan peer to peer lending yang
masih lemah mendorong penulis untuk memberikan gagasan yaitu perumusan
sebuah Website dengan nama P2PL Access yang dikonsep dengan tatanan yang
lengkap dan terstuktur. Selain itu, diperlukan juga penetapan Scoring System
dalam penyelenggaraan P2PL. Penerapan website dan Scoring System tersebut
perlu untuk dijamin dalam sebuah regulasi agar mampu berlaku mengikat secara
umum. Maka dari itu, agar solusi di atas dapat diterapkan oleh seluruh
penyelenggara P2PL yang ada di Indonesia, penulis menyarankan dibentuk
sebuah regulasi bersifat mengikat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
terkait dengan gagasan yang diajukan.
27

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Dikdik M, et., al, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi (Refika Aditama
2005).
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris (Pustaka Pelajar 2009).
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana 2005).
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Bina Ilmu
1987).
Salim HS, et., al, Perancang Kontak & Memorandum Understanding (MoU)
(Sinar Grafika 2017).
Soerjono Soekanto dan Siti Mamuji, Penetian Hukum Normatif (Rajawali Pers
2001).
Jurnal:
Adi Setiadi Saputra, ‘Perlindungan Pemberi Pinjaman Selaku Konsumen dan
Tanggung Jawab Penyelenggara Peer To Peer Lending dalam Kegiatan
Peer To Peer Lending di Indonesia’ (2019) 5 Vej.
Andi Nursyahriana, et., al, ‘Analisis Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet’
(2017) 19 Forum Ekonomi.
Cheyzsa Mega Andhini, ‘Problematika Hukum Pada Peer to Peer Lending di
Indonesia Dalam Perspestif Hukum Persaingan Usaha’ (2019) 2 Jurist-
Diction.
Henni Muchtar, ‘Analisis Yuridis Normatif Singkronisasi Peraturan Daerah
dengan Hak Asasi Manusia’ (2015) XIV Humanus.
Inda Rahardyan dan Nikamh Mentari, ‘Keterbukaan Informasi Sebagai Mitigasi
Risiko Peer to Peer Lending (Pertandingan Antara Indonesia dan
Amerika Serikat)’ 28 Ius Quia Iustum.
Luh Dina Puspita dan I Ketut Mustanda, ‘Pengaruh Capital Adequacy Ratio, Loan
to Depocit Ratio, dan Non Performing Loan Terhadap Profitabilitas
LPD’ (2019) 8 E-Jurnal Manajemen.
28

Mahendra Galih Prasaja, ‘Tantangan dan Masa Depan Financial Technology


terhadap Perkembangan Industri Keuangan Syari’ah di Era Revolusi
Industri 4.0’ (2020) 16 Mnajemen dan Bisnis.
Nadia Intan Rahmahanida, ‘Perilindungan Hukum Pihak Pemberi Pinjaman Pada
Layanan Pinjaman Pendidikan Berbasis Teknologi Terhadap Risiko
Gagal Bayar’ (2020) 3 Jurist-Diction.
Octa Artarina dan Gregorius N. Masdjojo, ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Rentabilitas Pada BPR di Kabupaten Blora’ (2013) 2 Dinamika
Akuntansi, Keuangan, dan Perbankan.
Salsabila Yuharnita, ‘Kebijakan Restrukturisasi Pinjaman Pada Peer to Peer
Lending’ (2021) 4 Media Luris.
Skripsi/Tesis:
Regita Wijayani, ‘Perlindungan Hak Konsumen Selaku Debitur dan Kreditur pada
Transaksi Peer to Peer (P2P) Lending Financial Technology’ (Tesis,
Magister Universitas Gajah Mada 2017).
Samsul Amri, ‘Pengukuhan Kredit Bermasalah Terhadap Likuiditas PT.
Pegadaian Nasional Produk Syari’ah’ (Skripsi, Sarjana Universitas Islam
Indonesia Sultan Maulana Hasanuddin 2017).
Sari Mukhsinati, ‘Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet Pada
Bank “X” di Kabupaten Jember’ (Skripsi, Sarjana Universitas Jember
2011).
Internet:
Arya Anggara Putra, ‘Uraian Singkat Pengaturan Mitigasi Risiko Peer-to-Peer
Lending Amerika Serikat’ (Linkedin, 2020)
<https://id.linkedin.com/pulse/iuran-singkat-pengaturan-mitigasi-risiko-
lending-amerika-putra> diakses pada 8 Oktober 2021.
Aziz Rahardyan, ‘Mitigasi Risiko, Modalku Dorong Lender Diversifikasi
Pembayaran di Berbagai Sektor’ (Finansial, 2020)
<https://finansial.bisnis.com/read/202078/563/1415576/mitigasi-risiko-
modalku-dorong-lender-diversifikasi-pembiayaan-ke-berbagai-sektor>
diakses pada 7 Oktober 2021.
29

Fahmi Ahmad Burhan, ‘Kredit Macet Melonjak saat Pandemi, Fintech Modalku
Perketat Pinjaman’ (Katadata.co.id, 2020)
<https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/5f212ead799e3/kredit-
macet-melonjak-saat-pandemi-fintech-modalku-perketat-pinjaman>
diakses pada 7 Oktober 2021.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI, 2021) <https://kbbi.web.id> diakses pada
9 Oktober 2021.
Modalku, (Modalku, 2021) <https://modalku.co.id/> diakses pada 9 Oktober
2021.
Muhammad Afdi Nizar, ‘Financial Technologi (Fintech): It’s Concept and
Implementation in Indonesia’ (MPRA, 2020) <https://mpra.ub.uni-
muenchen.de/98486/> diakses pada 6 Oktober 2021.
Otoritas Jasa Keuangan, ‘Penyelenggaraan Fintech Lending Terdaftar dan Berizin
di OJK per Juni 2021’ (Otoritas Jasa Keuangan, 2021)
<https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/financial-
technology/Pages/Penyelenggara-Fintech-Lending-Terdaftar-dan-
Berizin-di-OJK-per-29-juni-2021.aspx> diakses pada 9 Oktober 2021.
Pitadata, ‘Duh OJK Cata Kredit Macet di Fintech Lending Capai RP 462 Miliar’
(Pidata, 2021) <https://pitadata.com/duh-ojk-catat-kredit-macet-di-
fintech-lending-capai-rp462-miliar/> diakses pada 7 Oktober 2021.
Prisma Ardianto, ‘Tambah 172 Entitas, Satgas Waspada Investasi Tindak 3.365
Fintech Lending Ilegal’ (Investor.Id, 2021)
<https://invertor.id/fiance/255749/tambah-172-entitas-satgas-waspada-
investasi-tindak-3365-fintech-lending-ilegal> diakses pada 9 Oktober
2021.
Smartlegal.Id, ‘Prosedur Perizinan Penyelenggara Peer to Peer Lending di
Indonesia’ (Smartlegal.Id, 2019) <https://smartlegal.id/badan-
usaha/2019/08/05/peer-to-peer-lending-indonesia/>, diakses pada 8
Oktober 2021.
Peraturan dan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
30

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, TLN
Nomor 5253).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
251, TLN Nomor 5952).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324, TLN Nomor 6005).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi
Keuangan Digital (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 135, TLN Nomor 6238).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 tentang Layanan
Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 151, TLN Nomor 6248).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 247, TLN Nomor 6440).
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata
Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Surat Penunjukan Otoritas Jasa Keuangan Nomor S-5/D.05/IKNB/2019 kepada
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia.

You might also like