You are on page 1of 15

28 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

Penapisan Tiga Puluh Tujuh Genotipe Tomat dan Seleksi Primer


RAPD untuk Toleransi terhadap Layu Bakteri (Ralstonia
solanacearum)

Screening of Thirty Seven Tomatoes Genotypes and RAPD Primer Selection


for Ralstonia solanacearum Tolerance

Eriana Adeputri1, Rustikawati2*, Dotti Suryati2 dan Catur Herison2


1
Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu.
2
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
*: rustikawati@unib.ac.id

ABSTRACT
Bacterial wilt (Ralstonia solanacearum) is the most important tomato diseases which can reduce
tomato yield up to 100%. One most prospective control measure is the development of high yielding varieties
tolerance to bacterial wilt. Donor parent carrying bacterial wilt controlling gene(s) is required to develop
such varieties. The objectives of this study were to screen thirty-seven tomato genotypes for tolerance to R.
solanacearum and to obtain RAPD markers of resistance to bacterial wilt. The experiment was arranged
without the experimental design. Each tomato genotypes consisting of 5 control uninoculated plants and
10 plants were inoculated with R. solanacearum with a concentration of 106 cfu / ml inoculum of 10 mL
per plant. Scoring was done on the severity of disease symptom; and the plants were grouped according to
scoring class. Molecular analysis was done by using Bulk Segregant Analysis (BSA). The results showed
there were six genotypes considerd very tolerant i.e. genotype Pearl, Opal, Cung, Syu and Kudamati I;
tolerant genotypes consisting of five genotypes; medium tolerant groups consisting of eight genotypes;
medium sensitives groups consisting of 14 genotypes; and sensitive class consisting of four genotypes,
namely Aceh Local Tomatoes I, Tanah Datar Local Tomato, Tomato Meranti I and Tomato Meranti II. Of
the 20 primers used only 8 primers showed visible DNA bands, they were E1, E7, E10, H2, H5, H13, H16
and H19. However there no polymorphics bands observed for bacterial wilt tolerance.

Key word: BSA, genotipe tomat, layu bakteri, penapisan, RAPD

ABSTRAK

Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) dapat menurunkan produktivitas tanaman tomat
hingga 100%. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan merakit varietas unggul toleran layu
bakteri. Untuk itu, diperlukan jenis tomat toleran layu bakteri. Hal tersebut dapat diperoleh dengan cara
penapisan tanaman koleksi dan analisis molekuler gen penanda sifat ketahanan terhadap layu bakteri.
Penelitian ini bertujuan menyeleksi tiga puluh tujuh genotipe tomat untuk toleransi terhadap R. solanacearum
dan mendapatkan primer RAPD penanda ketahanan terhadap layu bakteri. Percobaan disusun tanpa
rancangan percobaan. Masing-masing genotipe tomat terdiri dari 15 tanaman yaitu 5 tanaman kontrol dan
10 tanaman yang diinokulasi R. solanacearum dengan konsentrasi 106 cfu/mL sebanyak 10 mL inokulum
per tanaman. Skoring tanaman dilakukan menurut Winstead dan Kelman (1952). Berdasarkan data skoring
tanaman dikelompokkan sesuai kelasnya dengan metode Tiwari dkk (2012). Analisis molekuler dilakukan
Akta Agrosia Vol. 19 No. 1 hlm 28 - 42 Januari - Juni 2016 29

dengan teknik Bulk Segregant Analysis (BSA). Hasil penelitian menunjukkan terdapat lima kelas toleransi
yaitu kelas Sangat Toleran yang terdiri dari 6 genotipe yaitu tomat Mutiara, Opal, Cung, Syu dan Tomat
Lokal Kudamati I, kelas Toleran terdiri dari 5 genotipe, kelas Agak Toleran terdiri dari 8 genotipe, kelas
Agak Peka terdiri dari 14 genotipe dan kelas Peka terdiri dari 4 genotipe yaitu Tomat Lokal Aceh I, Tomat
Lokal Tanah Datar, Tomat Meranti I dan Tomat Meranti II. Dari 20 primer yang digunakan hanya 8 primer
yang terlihat pita DNAnya yaitu E1, E7, E10, H2, H5, H13, H16 dan H19 namun tidak ditemukan yang polimorfik.

Kata kunci: BSA, genotipe tomat, layu bakteri, penapisan, RAPD

PENDAHULUAN runan hasil tomat akibat serangan R. sola-


nacearum bisa mencapai 5-100 %. Dengan
Tomat (Lycopersicon esculentum potensi kerugian terbesar di daerah dataran
Mill.) merupakan komoditi sayuran yang rendah (Direktorat Perlindungan Hortikul-
cukup penting selain cabai, bawang dan tura, 2012). Pada suhu udara dan suhu ta-
kentang. Tomat kaya akan likopen yang nah yang tinggi gejala layu bakteri terjadi
berfungsi sebagai antioksidan serta vita- lebih cepat (Mew dan Ho, 1977).
min A dan C untuk mencegah sariawan dan Tanaman yang terinfeksi R. solana-
rabun (Siagian, 2005). Selain dikonsumsi cearum mengalami penyumbatan pembu-
segar, tomat juga diolah menjadi berbagai luh pengangkut, sehingga tanaman mem-
macam produk seperti saus, jus dan ma- bentuk akar samping pada batang bagian
nisan sehingga permintaannya selalu me- bawah yang mengakibatkan tanaman ker-
ningkat. Pada tahun 2011 produksi tomat dil dan mengalami klorosis (Hartman dan
dalam negeri mencapai 954 064 ton namun Elphinstone, 1994). Pada daerah dengan
masih dilakukan impor tomat sebanyak 10 suhu harian tinggi, gejala serangan akan le-
639 ton (BPS, 2012). Tingkat produktivi- bih cepat terlihat seperti daun termuda layu
tas tomat yang belum optimal disebabkan berlanjut ke bagian lain tanaman, jika ba-
berbagai faktor, diantaranya rendahnya po- tang dipotong maka akan terlihat warna ke-
tensi genetik varietas yang dibudidayakan coklatan dan keluar lendir yang merupakan
dan tingginya serangan penyakit terutama massa bakteri (European and Mediteranian
pada musim hujan. Untuk hasil tomat di- Plant Production Organization, 2004).
perlukan varietas unggul yang sesuai loka- Produktivitas tanaman yang relatif
si penanaman, teknik budidaya yang tepat, rendah dan serangan layu bakteri adalah
pemupukan berimbang serta pengendalian persoalan utama yang menyebabkan ren-
hama dan penyakit yang efektif (Purwati, dahnya produksi tomat nasional. Pende-
2008). katan yang dapat dilakukan adalah melalui
Salah satu penyakit tanaman yang program pemuliaan guna merakit varietas
penting dalam budidaya tomat adalah layu yang memiliki potensi hasil tinggi sekali-
bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia gus toleran terhadap layu bakteri. Untuk
solanacearum. Bakteri tersebut menyebab- merakit varietas yang demikian diperlukan
kan layu pada tanaman tomat yang mampu plasma nutfah dengan sumber gen hasil
bertahan di tanah hingga bertahun-tahun tinggi dan toleran layu bakteri. Tomat-
dan menyebar bersama-sama dengan run tomat lokal yang dikoleksi dari berbagai
off. Perkembangbiakan R. solanacearum provinsi di Indonesia diduga memiliki po-
yang optimal adalah pada suhu berkisar tensi kedua sifat tersebut akibat adaptasi
24ºC-35ºC (Stansburry et al., 2001). Penu- pada lingkungan masing-masing. Untuk
30 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

menentukan keragaman jenis tomat koleksi tuk menyeleksi 37 genotipe tomat untuk
tersebut perlu dilakukan karakterisasi. Ka- toleransi terhadap R. solanacearum dan
rakterisasi secara molekuler sangat akurat mendapatkan primer RAPD penanda sifat
karena tidak dipengaruhi oleh lingkungan toleran layu bakteri.
dan fase pertumbuhan tanaman.
Salah satu teknologi untuk mengi-
dentifikasi molekuler tanaman yang umum METODE PENELITIAN
dilakukan adalah Random Amplified Pol-
ymorphic DNA (RAPD) (Waldron et al., Penelitian ini dilaksanakan pada bu-
2002). Marka molekuler yang dihasilkan lan September sampai Desember 2013 di
dapat mendeteksi keragaman tanaman Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan
pada tingkat DNA genom. Penanda RAPD Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu. Tomat
dihasilkan melalui proses amplifikasi DNA yang diuji sebanyak 37 genotipe yang ber-
menggunakan primer oligonukleotida (de- asal dari berbagai daerah di Indonesia. Tiap
ngan panjang 10 basa) yang sekuennya genotipe tomat ditanam 15 tanaman. Sepu-
dibuat secara acak. Genom hampir setiap luh tanaman diinokulasi bakteri R. solana-
organisme tersusun dari jutaan nukleotida, cearum dan lima tanaman sebagai kontrol.
yang secara teoritis akan banyak yang se- Inokulum R. solanacearum yang
kuen DNAnya sama dengan sekuen dari digunakan pada penelitian ini merupakan
random oligonukleotida primer. Jika ge- isolat yang diperoleh dari Kecamatan Ujan
nom tersebut dipakai sebagai templat un- Mas, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi
tuk reaksi PCR, maka DNA genom yang Bengkulu yang telah dimurnikan di Labo-
sekuennya sama dengan sekuen random ratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman
oligonukleotida primer yang orientasinya Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
berlawanan arah (inverted orientation) dan Isolat bakteri ini selanjutnya disuspensikan
yang hanya berjarak beberapa ratus atau dalam 1 L air sebagai inokulum dengan ke-
ribu pasang basa antara satu dengan yang pekatan 106 cfu/mL.
lain akan teramplifikasi. Berbagai ukuran Benih tomat disemai pada tray dan
potongan DNA hasil amplifikasi akan da- dipelihara selama 4 minggu. Bibit dipin-
pat dengan mudah dipisahkan berdasarkan dahkan ke polibag yang berisi media tanah
ukurannya dengan menggunakan teknik sebanyak 1 Kg. Tiga hari setelah pindah
elektroforesis dan hasilnya dapat dilihat tanam dilakukan inokulasi bakteri R. so-
sebagai pita-pita DNA dengan berbagai lanacearum dengan cara menyiram cairan
ukuran (Williams et al., 1990). Pengguna- inokulum sebanyak 10 mL per tanaman.
an RAPD mampu menghasilkan potongan- Sebelum inokulasi media tanaman ditusuk-
potongan DNA hasil pelipatgandaan yang tusuk dengan kayu agar terjadi pelukaan
masing-masing potongan DNA dapat di- pada bagian akar tanaman. Polibag-polibag
gunakan sebagai karakter untuk keperluan ini diletakkan dengan jarak antar polibag
analisis (Dumeke dan Adam, 1994). Pada 10 cm.
tomat, penanda RAPD berhasil diketahui Tanaman dipupuk dengan dosis seta-
terkait dengan gen pembawa sifat ketahan- ra dengan 200 kg urea ha-1, 200 kg SP36
an terhadap nematoda (Klein-Lankhorst et ha-1 dan 100 kg KCl ha-1. Pengairan dila-
al., 1991). Penanda RAPD juga terkait de- kukan pagi dan sore hari apabila tidak tu-
ngan gen Fom 2 untuk sifat ketahanan pada run hujan. Pengendalian gulma dilakukan
fusarium pada muskmelon MR1 (Wechter secara manual, sedangkan pengendalian
et al., 1995). Penelitian ini bertujuan un- terhadap hama dan jamur dilakukan secara
Akta Agrosia Vol. 19 No. 1 hlm 28 - 42 Januari - Juni 2016 31

kimiawi dengan mengaplikasikan insek- OPE, OPH dan OPM.


tisida berbahan aktif Deltamethrin 2.5 g/l Metode amplifikasi DNA dengan
dan fungisida berbahan aktif Mankozeb 80 program PCR adalah satu siklus pre PCR
% sebanyak dua kali seminggu. pada suhu 94º C selama 5 menit, 45 siklus
Penentuan kelas toleransi pada ma- terdiri atas denaturasi pada suhu 94º C se-
sing-masing genotipe dilakukan pada saat lama 5 detik, annealling pada suhu TM-4
tanaman berumur 5 minggu. Nilai skoring selama 30 detik, elongation pada suhu 72º
intensitas serangan layu bakteri ditentu- C selama 1 menit dan satu siklus stop PCR
kan menurut Winstead dan Kelman (1952) pada suhu 72º C selama 10 menit. Visuali-
yang dicantumkan pada Tabel 1. Dari nilai sasi hasil PCR dilakukan dengan elektrofo-
skoring kemudian ditentukan tingkat tole- resis pada gel agarose 0.6 gram mengguna-
ransi tanaman terhadap R solanacearum kan bufer TAE 1x sebanyak 40 mL, pada
mengikuti Tiwari et al (2012) dicantumkan voltase konstan sebesar 100 volt selama 60
pada Tabel 2. menit. Staining dilakukan dengan cara me-
Seleksi primer dilakukan dengan me- rendam gel dalam larutan etidium bromida
tode BSA (Bulk Segregant Analysis) yaitu (0.5 mg/l) selama 10 detik, kemudian di-
dengan menggabungkan seluruh tanaman rendam aquades selama 30 menit. Pola pita
yang tergolong dalam satu kelas kriteria pada gel selanjutnya didokumentasikan
toleransi. Bagian tanaman yang diguna- menggunakan Gel Documentation.
kan adalah daun pada tanaman kontrol tiap Sebagai variabel pendukungnya ada-
genotipe yang berada pada kelas toleransi lah rata-rata hari inkubasi , jumlah daun ,
yang sama untuk selanjutnya dilakukan luas daun, tingkat kehijauan daun, kerap-
isolasi DNA. Isolasi DNA dari tanaman atan stomata dan bobot kering brangkasan.
masing-masing kelas toleransi dilakukan Data yang diperoleh disajikan dalam ben-
mengikuti metode Herison et al. (2012). tuk diagram batang menurut kelas toleran-
Pada tahapan ini, random primer yang di- sinya.
gunakan sebanyak 60 primer dari operon

Tabel 1. Skoring gejala serangan R. solanacearum menurut Winstead dan Kelman (1952)
Intensitas Serangan Gejala
0 Tidak ada gejala
1 Satu daun layu
2 Dua atau tiga daun layu
3 Semua daun layu kecuali dua atau tiga daun teratas
4 Semua daun layu
5 Tanaman mati

Tabel 2. Kelas toleransi menurut Tiwari et al. (2012)


Index Penyakit (%) Kriteria Toleransi
0 Sangat Toleran
1-10 Toleran
11-25 Agak Toleran
26-50 Agak Peka
51-75 Peka
76-100 Sangat Peka
32 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

HASIL DAN PEMBAHASAN dan Ho (1977) menyebutkan bahwa faktor


lingkungan seperti kelembaban serta suhu
Masa Inkubasi masing-masing Genotipe tanah dan udara, sangat mempengaruhi laju
Tomat serangan layu bakteri. Pada suhu tanah dan
Masa inkubasi dipengaruhi oleh suhu udara yang tinggi, gejala layu bakteri
umur tanaman, konsentrasi bakteri, vi- dapat menjadi lebih parah. Kultivar-kulti-
rulensi inokulum dan faktor lingkungan. var yang tahan dapat menjadi peka apabila
Semakin lama masa inkubasi bakteri pada ditanam di daerah yang memiliki kelemba-
klon tertentu maka semakin kecil kemam- ban dan suhu tinggi. Dengan demikian, ge-
puan bakteri menginfeksi tanaman tersebut notipe yang tahan terhadap layu bakteri di
(Sastra, 2013). Semakin muda umur tanam- daerah asalnya belum tentu menunjukkan
an, lebih mudah diinfeksi R. solanacearum sifat toleransi yang sama apabila ditanam
atau sebaliknya (Nurhayati dan Serliana, di daerah lain. Selain faktor lingkungan,
2011). Hal ini disebabkan karena sel-sel genetik juga menentukan ketahanan ta-
tanaman muda belum memiliki dinding sel naman tomat. Rostiana et al. (2010) dalam
yang kuat sehingga bakteri lebih mudah penelitiannya menggunakan gen penyandi
masuk dan cepat menginfeksi tanaman. Se- sifat tahan terhadap R. solanacearum (gen
makin tinggi konsentrasi larutan inokulum RRS1-R) untuk menginduksi sifat keta-
maka populasi bakteri juga semakin besar hanan tanaman jahe terhadap penyakit layu
sehingga bakteri lebih cepat menyebar dan bakteri.
menimbulkan gejala yang terlihat pada ta-
naman. Kemampuan bakteri menginfeksi Toleransi Genotipe Tomat terhadap R.
juga berperan penting. Virulensi tanaman solanacearum
dapat diujicoba dengan menguji langsung Serangan bakteri R. solanacearum
pada tanaman atau secara in vitro menggu- pada tanaman tomat umumnya dicirikan
nakan media TZC (Tetrazolium Chloride), dengan gejala layu pada daun (USDA,
yaitu media khusus mengisolasi R. solana- 2009). Keparahan gejala layu daun dapat
cearum. Tingkat virulensi bakteri ditandai digunakan untuk mengidentifikasi kriteria
dengan tumbuhnya koloni bakteri berwar- toleransi tomat terhadap layu bakteri. Win-
na merah (USDA, 2009). stead dan Kelman (1952) mendapatkan
Grafik masa inkubasi yang dipero- teknik skoring untuk mengukur tingkat to-
leh pada penelitian ini menunjukkan bah- leransi tanaman tomat terhadap layu bak-
wa garis standar error pada kelas sangat teri berdasarkan kondisi daun tanaman to-
toleran dan toleran tidak bersinggungan mat. Pada penelitian ini, genotipe-genotipe
dengan garis standar error pada kelas tole- tomat koleksi yang telah diinveksi inoku-
ransi lain. Sedangkan kelas toleransi agak lum bakteri R. solanacearum menunjukkan
toleran, agak peka, dan peka garis-garis gejala layu. Hasil skoring dihitung menjadi
standard errornya masih bersinggungan persen indeks penyakit agar dapat diba-
bila ditarik garis lurus. Hal ini menyatakan gi menjadi kelas-kelas. Berdasarkan hasil
bahwa pada variabel rata-rata masa inku- pengamatan diketahui terdapat 5 kelas to-
basi pada kelas sangat toleran dan kelas to- leransi tomat terhadap layu bakteri yaitu
leran berbeda dengan kelas toleran lainnya kelas sangat toleran, kelas toleran, kelas
secara statistik (Gambar 1). agak toleran, kelas agak peka, dan kelas
Respon tanaman yang berbeda-beda peka. Hasil identifikasi menunjukkan bah-
terhadap infeksi layu bakteri dipengaruhi wa tidak ada genotipe yang tergolong da-
oleh faktor lingkungan dan genetik. Mew lam kelas sangat peka. Hal ini karena tidak
Akta Agrosia Vol. 19 No. 1 hlm 28 - 42 Januari - Juni 2016 33

Gambar 1. Rata-rata Masa Inkubasi Tiap Kelas Toleransi


Keterangan : ST = Sangat Toleran, T = Toleran, AT = Agak Toleran, AP = Agak Peka, P = Peka.

terdapat genotipe yang mengalami indeks Respon tanaman yang berbeda-beda


penyakit sebesar 76-100%. Persen indeks terhadap infeksi layu bakteri dipengaruhi
penyakit terbesar sebesar 60% ditunjukkan oleh faktor lingkungan dan genetik. Mew
oleh seluruh genotipe yang terdapat pada dan Ho (1977) menyebutkan bahwa faktor
kelas peka. lingkungan seperti kelembaban serta suhu
Pada kelas sangat toleran, empat dari tanah dan udara, sangat mempengaruhi laju
enam genotipe adalah genotipe tomat lo- serangan layu bakteri. Pada suhu tanah dan
kal. Keempat genotipe tomat lokal tersebut suhu udara yang tinggi, gejala layu bakteri
adalah tomat Cung, Syu, Kudamati I, dan dapat menjadi lebih parah. Kultivar-kulti-
Kefaminano XII (Tabel 3). Data ini me- var yang tahan dapat menjadi peka apabila
nunjukkan bahwa varietas lokal memiliki ditanam di daerah yang memiliki kelem-
kelebihan diantaranya ketahanan kethadap baban dan suhu tinggi. Di Australia, tomat
layu bakteri karena sudah beradaptasi lama Rodade dimanfaatkan sebagai sumber gen
sehingga diduga memiliki gen ketahanan toleran layu bakteri (Barnes dan Vawdrey,
terhadaap layu bakteri. Genotipe Kudamati 1993), namun di Florida tomat Rodade jus-
I dari Ambon dan tomat lokal Kefamina- tru menunjukkan sifat peka (Scott et al.,
no XIV dari NTT juga menunjukkan sifat 1993). Selain faktor lingkungan, genetik
sangat toleran meskipun ditanam bukan di juga sangat menentukan ketahanan tanam-
daerah aslinya. Sedangkan genotipe Mutia- an tomat. Rostiana et al. (2010) dalam pe-
ra dan Opal merupakan genotipe asal Balit- nelitiannya menggunakan gen penyandi
sa yang memiliki sifat toleran layu bakteri sifat tahan terhadap layu bakteri (gen RRS-
dan adaptif di dataran rendah. Purwati et 1-R) untuk menginduksi sifat ketahanan
al. (2001) menyebutkan bahwa genotipe tanaman jahe terhadap penyakit layu bak-
Opal memiliki tingkat toleransi terhadap teri. Monma dan Sakata (1993) melakukan
layu bakteri yang lebih tinggi dibanding- persilangan antara tomat toleran layu bak-
kan genotipe Ratna, Intan dan Mirah. Hal teri dengan tomat peka layu bakteri untuk
ini terbukti, pada kondisi lingkungan yang mempelajari pewarisan sifat toleran layu
berbeda, sifat toleran terhadap layu bakteri bakteri. Dari penelitian ini, genotipe yang
dapat terpatahkan. Genotipe Ratna tergo- tergolong pada kelas sangat toleran berpo-
long kelas Toleran dan genotipe Intan dan tensi untuk dijadikan sumber gen toleran
Mirah tergolong agak peka. layu bakteri R. solanacearum. Namun, ge-
34 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

Tabel 3. Kriteria toleransi genotipe tomat berdasarkan persen indeks penyakit


Kriteria Toleransi Genotipe
Sangat toleran Mutiara, Opal, Cung, Syu, Kudamati I, Kefaminano XII
Toleran Ratna, Berlian, Lombok I, Lombok II, Ranti Situbondo
Gelombang
Agak toleran CLN 4046, Kudamati II, Makassar I, Makassar II, Kefaminano
VI, Ranti Situbondo Bulat Kecil, Cherry, Kemir
Agak peka Intan, Mirah, Lombok III, Lombok IV, Kefaminano III,
Kefaminano VII, Kefaminano IX, Kefaminano XIV, Aceh III,
Aceh V, Situbondo, Bajawa, Gondol Lonjong, Kali Acai Abepura
Peka Aceh I, Tanah Datar, Meranti I, Meranti II

notipe yang tahan terhadap layu bakteri di Hasil pengamatan ini mendukung
daerah asalnya belum tentu menunjukkan adanya sifat rentan pada genotipe-genotipe
sifat toleransi yang sama apabila ditanam dalam kelas peka yang menyebabkan pe-
di daerah lain. nurunan jumlah daun hingga hampir 80%.
Di lapangan, tanaman tomat dari kelas ini
Karakteristik Morfologi pada Tiap Ke- tetap menumbuhkan daun namun jarak an-
las Toleransi tar daun tidak rapat sehingga jumlah daun
Hasil pengamatan pada persen rata- berkurang dibandingkan jumlah daun pada
rata penurunan jumlah daun menunjukkan tanaman kontrol. Hal ini berlaku pada se-
bahwa kelas dengan persen penurunan ter- mua kelas toleransi, termasuk kelas sangat
besar sebesar 78.76% yaitu kelas peka dan toleran. Dengan demikian, infeksi layu
persen penurunan terkecil yaitu 35.69% bakteri menurunkan jumlah daun meski-
pada kelas toleran (Gambar 2). Pada ke- pun dari hasil skoring tanaman tergolong
las sangat toleran meskipun tanaman tidak sangat toleran.
menunjukkan gejala layu tetapi mengalami Zat hijau daun (klorofil) berperan
penurunan pada variabel jumlah daun sebe- bagi proses fotosintesis. Tingkat kehijau-
sar 47.12%. Tidak terdapat perbedaan yang an daun menjadi indikator jumlah klorofil
nyata antara kelas sangat toleran, toleran, yang dimiliki tanaman dan jumlah atau laju
agak toleran dan agak peka. Sedangkan ke- fotosintesis. Tingkat kehijauan daun juga
las peka satu-satunya kelas yang berbeda mengindikasikan kesuburan tanaman atau
dari kelas lainnya secara statistik. defisiensi terhadap suatu unsur. Semakin
Penurunan jumlah daun terjadi pada banyak klorofil maka semakin banyak ca-
tanaman terinfeksi dikarenakan layu bakte- haya yang diterima daun untuk melakukan
ri menyebabkan layu pada daun terutama fotosintesis (Adhitya et al., 2013).
daun teratas sehingga daun layu, mengu- Pada diagram penurunan tingkat ke-
ning, dan lama-kelamaan kering/mati, atau hijauan tanaman dari kelas sangat toleran
tanaman mengalami kerdil sehingga daun dengan persen penurunan terkecil 7.07%
tidak tumbuh sempurna (Martin dan Fren- meningkat terus hingga kelas peka dengan
ch, 1985). Hal lain yang juga berpotensi persen penurunan sebesar 64.19% (Gam-
menghambat tanaman dalam memproduk- bar 3). Secara statistik hanya kelas peka
si daun adalah karena tanaman membentuk yang berbeda tingkat penurunan kehijau-
akar adventif untuk menyerap air dan hara an daun dibandingkan kelas-kelas lainnya.
ke batang tanpa melalui pembuluh angkut Hal ini membuktikan bahwa semakin ren-
terinfeksi. tan tanaman terhadap layu bakteri maka se-
Akta Agrosia Vol. 19 No. 1 hlm 28 - 42 Januari - Juni 2016 35

Gambar 2. Rata-rata penurunan jumlah daun tiap kelas toleransi


Keterangan : ST = Sangat Toleran, T = Toleran, AT = Agak Toleran, AP = Agak Peka, P = Peka.

Gambar 3. Rata-rata penurunan kehijauan daun tiap kelas toleransi


Keterangan : ST = Sangat Toleran, T = Toleran, AT = Agak Toleran, AP = Agak Peka, P = Peka.

makin sedikit pula kandungan klorofilnya. al. (2013) bahwa pemberian naungan hing-
Akibatnya energi cahaya yang diterima un- ga 50% akan meningkatkan luas daun. Pe-
tuk melakukan fotosintesis berkurang, laju ningkatan luas daun terjadi agar tanaman
fotosintesis menurun, metabolisme tanam- dapat menangkap cahaya matahari secara
an terganggu dan tanaman lebih cepat ter- maksimal untuk melakukan fotosintesis.
lihat gejala serangannya. Sehingga, tingkat Hal ini berarti bahwa semakin luas daun
kehijauan daun dapat digunakan sebagai maka semakin banyak cahaya matahari
indikator tingkat kepekaan tanaman terha- yang diterima dan laju fotosintesis sema-
dap layu bakteri. kin tinggi. Demikian halnya dengan proses
Serangan layu bakteri yang menye- transpirasi. Pada saat suhu harian tinggi laju
rang daun sebagai indikator pertama gejala transpirasi akan meningkat, namun bakteri
penyakit menyebabkan daun layu dan ker- menyerang pembuluh angkut menghalangi
dil sehingga luasan daun berkurang. Luas- asupan air dari akar ke daun sehingga daun
an daun penting untuk proses fotosintesis menjadi layu atau luas daunnya berkurang
dan transpirasi. Hasil penelitian Adhitya et dibandingkan tanaman kontrol.
36 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

Penurunan luas daun terkecil pada karena adanya penurunan luas daun. Se-
kelas toleransi agak toleran dan penurun- rangan layu bakteri menyebabkan penyem-
an luas daun terbesar pada kelas toleran- pitan luas daun sehingga jumlah stomata
si peka. Sedangkan kelas sangat toleran menjadi lebih rapat pada satu bidang pan-
mengalami penurunan hingga 50.82% dang dan jumlahnya terlihat lebih banyak.
(Gambar 4). Sedangkan secara statistik, Bobot brangkasan kering merupa-
seperti pada variabel kerapatan stomata kan penampilan jumlah bahan kering/non
dan kehijauan daun, kelas peka merupa- air yang dapat diserap dari dalam tanah
kan satu-satunya kelas yang berbeda. Hal atau dihasilkan tanaman selama hidup dan
ini mengindikasikan bahwa serangan layu berfotosintesis menjadi jaringan tanaman.
bakteri berdampak pada penurunan luas Pengukuran bobot brangkasan kering juga
daun termasuk terhadap tanaman sangat digunakan untuk mengetahui kadar air ta-
toleran dan terutama pada tanaman peka. naman. Pada variabel kerapatan stomata
Penurunan luas daun dapat dijadikan indi- disebutkan bahwa semakin banyak jumlah
kator serangan layu bakteri secara umum. stomata maka semakin sedikit bahan ke-
Suhu harian dan intensitas penyinar- ring yang terdapat pada tanaman.
an yang tinggi dapat memicu peningkatan Kandungan bahan kering pada ta-
suhu tanaman. Suhu tinggi tersebut dapat naman dipengaruhi oleh kerapatan sto-
merusak protein dan mengganggu meta- mata. Sumenda et al. (2011) menyatakan
bolisme tanaman. Transpirasi dilakukan bahwa semakin banyak stomata menye-
sebagai salah satu mekanisme tanaman babkan semakin sedikit bahan kering pada
terhadap suhu tinggi. Transpirasi terjadi tanaman. Hal ini terbukti pada pengamatan
di stomata pada daun dan lentisel pada ba- kerapatan stomata dan bobot kering brang-
tang. Dengan demikian, stomata berperan kasan, kelas yang menunjukkan respon
penting bagi kelangsungan hidup tanam- penurunan tertinggi adalah kelas toleran.
an. Kerapatan stomata merupakan perban- Sedangkan kelas sangat toleran mengalami
dingan jumlah stomata pada suatu luasan penurunan sebesar 39.36% dan kelas peka
bidang pandang tertentu. Jumlah stomata hanya sebesar 22.81% (Gambar 6). Secara
berbanding lurus dengan laju transpirasi statistik penurunan bobot brangkasan pada
pada daun. Semakin banyak stomata juga kelas sangat toleran tidak berbeda dengan
dapat menyebabkan semakin sedikit bahan kelas toleran, begitu pula kelas peka, agak
kering pada tanaman. Jumlah stomata di- peka, dan agak toleran tergolong seragam.
pengaruhi oleh genetik tanaman. Dengan demikian dari beberapa variabel di
Indikator infeksi R. solanacearum atas infeksi layu bakteri dapat menurunkan
secara visual salah satunya adalah gejala jumlah daun, luas daun dan bobot brangka-
layu pada daun. Kerapatan stomata rata- san kering pada kelas sangat toleran namun
rata pada tanaman terinfeksi di semua kelas tidak menunjukkan penurunan yang men-
lebih tinggi dibandingkan dengan kerapat- colok pada variabel kehijauan daun.
an stomata tanaman kontrol. Bahkan ke-
las toleran mencapai angka 87.43% lebih Seleksi primer RAPD untuk toleransi
rendah dibanding tanaman yang terinfeksi terhadap layu bakteri
(Gambar 5), sedangkan kelas sangat tole- Dari operon E, H dan M terdapat 10
ran menempati angka penurunan terkecil primer yang dapat mengamplifikasi DNA
dari kelas toleransi lainnya yaitu -28.41%. tomat. Ke sepuluh primer tersebut yaitu
Secara statistik hanya kelas toleran berbe- E1, E7, E10, H2, H5, H13 , H16, H19, dan M1
da dengan kelas lain. Hal ini diduga terjadi (Tabel 4). Dari 20 primer pada operon E,
Akta Agrosia Vol. 19 No. 1 hlm 28 - 42 Januari - Juni 2016 37

Gambar 4. Rata-rata penurunan luas daun tiap kelas toleransi


Keterangan : ST = Sangat Toleran, T = Toleran, AT = Agak Toleran, AP = Agak Peka, P = Peka.

Gambar 5. Kerapatan stomata pada tanaman terinfeksi layu bakteri dan tanaman kontrol tiap
kelas toleransi
Keterangan : ST = Sangat Toleran, T = Toleran, AT = Agak Toleran, AP = Agak Peka, P =
Peka.

Gambar 6. Rata-rata penurunan bobot brangkasan kering tiap kelas toleransi


Keterangan : ST = Sangat Toleran, T = Toleran, AT = Agak Toleran, AP = Agak Peka, P = Peka.
38 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

empat primer yang mengamplifikasi bulk muncul 9, 7, 8, 10, dan 8 pita DNA. Primer
DNA sangat toleran yaitu E1, E7, E10, dan M18 menghasilkan 8 pita DNA sehingga to-
E19 berturut-turut menghasilkan 11, 10, 14, tal 109 pita DNA pada bulk peka. Hal ini
dan 9 pita DNA. Sedangkan pada operon berarti primer E7, H2,dan H5 memunculkan
H, primer H2, H5, H13, H16, dan H19 masing- pita DNA yang polimorfis terhadap bulk
masing menghasilkan 8, 4, 8, 10, dan 8 peka.
pita DNA. Primer M18 menghasilkan 8 pita Rostiana et al. (2010) menyatakan
DNA (Tabel 5). Total jumlah pita DNA ada- bahwa bisa saja tidak terjadi amplifikasi ka-
lah 90 pita DNA, namun belum diperoleh rena sifat DNA yang spesifik. Primer hanya
polimorfisme dengan bulk sangat toleran. akan menempel pada bagian DNA single
Sedangkan terhadap bulk peka pita DNA strand yang cocok urutan basanya. DNA
yang muncul lebih banyak. Primer E1, E7, yang ditempeli primer akan menjadi DNA
E10, dan E19 masing-masing menghasilkan template dan berlipat jumlahnya sesuai ba-
11, 23, 14, dan 9 pita DNA. Pada primer nyak siklus yang dilakukan (amplifikasi).
H2, H5, H13, H16, dan H19 berturut-turut Hasilnya diperoleh copy DNA yang sama

Tabel 4. Urutan Basa pada Random Primer OPE, OPH dan OPM
No Operon Urutan Basa
1 OPE-1 CCCAAGGTCC
2 OPE-7 AGATGCAGCC
3 OPE-10 CACCAGGTGA
4 OPE-19 ACGGCGTATG
5 OPH-2 TCGGACGTGA
6 OPH-5 AGTCGTCCCC
7 OPH-13 GACGCCACAC
8 OPH-16 TCTCAGCTGG
9 OPH-19 CTGACCAGCC
10 OPM-18 CACCATCCGT

Gambar 7. Visualisasi penanda RAPD dengan primer E10 dan M18 menggunakan template
bulk DNA sangat tahan (ST), toleran (T), agak tahan (AT), agak peka (AP), peka (P)
dan marker (M)
Akta Agrosia Vol. 19 No. 1 hlm 28 - 42 Januari - Juni 2016 39

Tabel 5. Daftar hasil amplifikasi Bulk DNA sangat toleran dan Bulk DNA peka menggunakan 10
primer
Bulk Sangat Penanda RAPD Bulk Sangat
No Penanda RAPD (bp) Bulk Peka No Bulk Peka
Toleran (bp) Toleran
1 E1 300 1 1 56 E19 750 1 1
2 E1 350 1 1 57 E19 800 1 1
3 E1 550 1 1 58 E19 900 1 1
4 E1 750 1 1 59 E19 1000 1 1
5 E1 800 1 1 60 H2 300 1 1
6 E1 900 1 1 61 H2 500 1 1
7 E1 950 1 1 62 H2 550 1 1
8 E1 1000 1 1 63 H2 650 0 1
9 E1 1100 1 1 64 H2 850 1 1
10 E1 1150 1 1 65 H2 900 1 1
11 E1 1750 1 1 66 H2 1100 1 1
12 E7 300 0 1 67 H2 1150 1 1
13 E7 350 1 1 68 H2 1200 1 1
14 E7 400 1 1 69 H5 200 1 1
15 E7 450 1 1 70 H5 300 1 1
16 E7 500 1 1 71 H5 500 0 1
17 E7 550 1 1 72 H5 600 1 1
18 E7 600 0 1 73 H5 650 0 1
19 E7 650 0 1 74 H5 700 1 1
20 E7 700 1 1 75 H5 1100 0 1
21 E7 800 0 1 76 H13 200 1 1
22 E7 850 0 1 77 H13 350 1 1
23 E7 900 1 1 78 H13 450 1 1
24 E7 950 1 1 79 H13 550 1 1
25 E7 1000 1 1 80 H13 600 1 1
26 E7 1100 1 1 81 H13 750 1 1
27 E7 1150 0 1 82 H13 900 1 1
28 E7 1200 0 1 83 H13 1400 1 1
29 E7 1250 0 1 84 H16 200 1 1
30 E7 1300 0 1 85 H16 350 1 1
31 E7 1350 0 1 86 H16 450 1 1
32 E7 1400 0 1 87 H16 550 1 1
33 E7 1450 0 1 88 H16 800 1 1
34 E7 1500 0 1 89 H16 1000 1 1
35 E7 1600 0 1 90 H16 1100 1 1
36 E7 1700 0 1 91 H16 1300 1 1
37 E10 300 1 1 92 H16 1500 1 1
38 E10 350 1 1 93 H16 1600 1 1
39 E10 500 1 1 94 H19 400 1 1
40 E10 550 1 1 95 H19 500 1 1
41 E10 650 1 1 96 H19 900 1 1
42 E10 700 1 1 97 H19 950 1 1
43 E10 800 1 1 98 H19 1000 1 1
44 E10 850 1 1 99 H19 1100 1 1
45 E10 1000 1 1 100 H19 1200 1 1
46 E10 1100 1 1 101 H19 1400 1 1
47 E10 1500 1 1 102 M18 600 1 1
48 E10 1700 1 1 103 M18 700 1 1
49 E10 1900 1 1 104 M18 800 1 1
50 E10 2000 1 1 105 M18 1100 1 1
51 E19 200 1 1 106 M18 1200 1 1
52 E19 400 1 1 107 M18 1300 1 1
53 E19 450 1 1 108 M18 1400 1 1
54 E19 500 1 1 109 M18 1900 1 1
55 E19 650 1 1
Jumlah 40 55 50 54
Total 90 109

Keterangan: bp = pasang basa, 0 = tidak ada pita, 1= ada pita


40 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

dalam jumlah banyak. DNA kemudian die- Direktorat Perlindungan Hortikultura.


lektroforesis dan divisualisasi dengan sinar 2012. OPT Tanaman sayuran. Layu
ultraviolet (Pratiwi, 2001). Pita DNA yang bakteri. Kementrian Pertanian Direk-
muncul pada hasil visualisasi diamati. torat Jenderal Hortikultura. Jakarta.
Hasil visualisasi yang menunjukkan
bahwa pita DNA dari primer dan panjang Dumeke, T. dan R.P. Adam. 1994. The use
basa yang sama muncul di seluruh kelas of PCR-RAPD analysis plant taxo-
toleransi, berarti primer tersebut tidak poli- nomy and evolution. p. 179-191.
morfik terhadap bulk sangat toleran (Gam- In Griffin, H.G, and A.M. Griffin
bar 7). Artinya, urutan basa pada primer (Eds.). PCR Technology Current In-
tersebut tidak berpasangan dengan gen to- novations. CRC Press. Inc. London.
leran layu bakteri, melainkan gen lain yang
umum ada pada tanaman tomat. Primer European and Mediteranian Plant Produc-
disebut polimorfik apabila memunculkan tion Organization. 2004. Diagnostic
pita DNA spesifik pada bulk sangat toleran protocols for regulated pests: Rals-
namun tidak memunculkan pita DNA pada tonia solanacearum. EPPO Bulletin
bulk kelas toleransi lainnya. 34: 173-178.

Hartman, G.L. and J.G. Elphinstone. 1994.


KESIMPULAN Advances in the control of Pseu-
domonas solanacearum race 1 in
Dari 37 genotipe tomat yang diuji major food crops. Di dalam: Hay-
terdapat 6 genotipe yang tergolong sangat ward A.C., dan G.J. Hartman. (Eds.)
toleran yaitu tomat varietas Mutiara dan Bacterial wilt. The disease and its
Opal dari Balitsa, tomat lokal Cung dan causative agent, Pseudomonas sola-
Syu dari Bengkulu, tomat Lokal Kudamati nacearum. Wallingford CAB Inter-
I dari Ambon, dan Tomat lokal Kefamina- national:157-177.
no XIV dari Nusa Tenggara Timur. Tidak
ditemukan primer RAPD operon F yang Herison, C., S. Winarsih, M. Handayaning-
dapat mendeteksi gen penyandi sifat tole- sih, dan Rustikawati. 2012. DNA
ran terhadap layu bakteri R. solanacearum. marker assisted and morphological
selection on BC3 genotypes shortcut
the introgression of CMV tolerance
DAFTAR PUSTAKA genes on chili pepper. Agrivita 35:
215-224.
Adhitya, T., R. Rogomulyo, dan S. Waluyo.
Pengaruh tingkat naungan dan dosis Klein-Lankhorst, R. M, A. Vermunt, R.
pupuk urea terhadap pertumbuhan Weide, T. Liharska, and P. Zabel.
dan hasil sambiloto (Andrographis 1991. Isolation of molecular markers
paniculata Nees.). Fakultas Pertanian for tomato (L. esculentum) using
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. random amplified polymorphic DNA
(RAPD). Theor Appl Genet 83:108-
BPS. 2012. Statistik pertanian hortikultura. 114.
Produksi sayuran di Indonesia. Ba-
dan Pusat Statistik Republik Indone- Martin, C. dan E.R. French. 1985 Bacterial
sia. Jakarta. Wilt of Potato Ralstonia solanacea-
Akta Agrosia Vol. 19 No. 1 hlm 28 - 42 Januari - Juni 2016 41

rum. Technical Information Bulletin Scott, J.W., G.C. Somodi, dan J.B. Jones.
(13) : 1-8. 1993. Testing tomato genotypes and
breeding for resistance to bacterial
Mew, T.W., and W.C. Ho. 1977. Effect wilt in Florida. Dalam Hartman, G.L.
of soil temperature on resistance of dan A.C. Haywood (eds.). Bacteri-
omato cultivars to bacterial wilt. Ph- al Wilt Proceedings of International
ytopathology 67:909-911. Symposium Kaohsiung, Taiwan 28-
31 Oktober 1992. Prosiding ACIAR
Monma, S. dan Y. Sakata. 1993. Inheri- (45) : 126-131.
tance of resistance to Bacterial Wilt
in Tomato. Bacterial Wilt Procee- Siagian, A. 2005. Lycopene : senyawa fi-
dings of International Symposium tokimia pada tomat dan semangka.
Kaohsiung, Taiwan 28-31 Oktober USU e-Journal 9(2).
1992. Prosiding ACIAR (45) : 149-
153 Stansburry, C., S. McKirdy, A. Mackie,
dan G. Power. 2001. Bacterial wilt
Nurhayati, A., Mazid, dan Y. Serliana. Ralstonia solanacearum-race 3 Exo-
2011. Pengaruh umur tanaman dan tic threat to Western Australia. Fact
dosis pupuk kalium terhadap infeksi Sheet e-Journal (7) http://www.agric.
penyakit bulai. Majalah Ilmiah Sri- wa.gov.au/objtwr/imported_assets/
wijaya XIX (12): 682-686. content/pw/ph/dis/veg/fs00701.pdf
Diakses 30 Januari 2014.
Pratiwi, R. 2001. Mengenal metode elek-
troforesis. Oseana XXVI (1): 25-31. Sumenda, L., H.L. Ramped and F.R. Man-
tiri. 2011. Analisis kandungan kloro-
Purwati, E. 2008. Hubungan antara karakter- fil daun mangga (Mangifera indica
istik fenotipik buah tomat dengan jum- L.) pada tingkat perkembangan daun
lah biji. J. Agrivivor 7(3): 222-229. yang berbeda. J. Bioslogos 1(1): 20-
24
Purwati, E., B.A. H.P. Jaya, dan S. Sahat.
2001. Tiga varietas unggul baru to- Tiwari, J.K., N. Mehta, M.K. Singh, and
mat dataran rendah. J. Hortikultura P.S. Tiwari. 2012. Screening of to-
11(1): 71-75. mato genotypes against bacterial wilt
(Ralstonia solanacearum) under fi-
Rostiana, T., S.F. Chaidamsari, Syahid, W. eld condition for Chhattisgarh. Glo-
Hayudin, dan S. Aisyah. 2010. Iso- bal Journal of Bio-science and Bio-
lasi dan karakterisasi gen penyan- technology 1(2): 168-170.
di sifat tahan terhadap bakteri layu
pada jahe. Laporan Teknis Penelitian USDA-NRI. 2009. Bacterial wilt of tomato.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan R. solanacearum race 3 biovar 2: de-
Aromatik. Bogor. tection, exclusion and analysis of a se-
lect agent educational modules. 11 p.
Sastra, D.R. 2013. Masa inkubasi bakteri
patogenik Ralstonia solanacearum Waldron, J., C.P. Peace, I.R. Searle, A.
ras 3 pada beberapa klon kentang. J. Furtado, N. Wade, I. Findlay, M.W.
Agronomi 8(1): 63-67. Graham, and B.J. Carroll. 2002.
42 Eriana Adeputri, Rustikawati, Dotti Suryati dan Catur Herison : Penapisan Tiga Puluh

Randomly amplified DNA finger- Williams, J. G. K., A. R. Kubelik, K. J. Li-


printing: A culmination of DNA vak, J. A. Ravalski, and S.V. Tingey.
marker technologies based on arbi- 1990. DNA polymorphisms amplifi-
trarily-primed PCR amplification. J. ed by arbitrary primers are usefull as
Biomed Biotechnol 2(3): 141–150. genetic markers. Nucleic Acid Rese-
arch 18(22): 6531-6535.
Wechter, W.P., M.P. Whitehead, C.E. Tho-
mas, and R.A. Dean. 1995. Identifi- Winstead, N. N. dan A. Kelman. 1952. Ino-
cation of randomly amplified poly- culation techniques for evaluating re-
morphic DNA marker linked to the sistance to Pseudomonas solanacea-
Fom 2 Fusarium wilt resistance gene rum. Phytopathology 42: 628-634.
in muskmelon MR-1. The American
Phytopathological Society: 1245-
1249.

You might also like