You are on page 1of 10

PELAKSANAAN SISTEM PEMILIHAN UMUM DARI MASA KE MASA SERTA KAJIAN

SISTEM PEMILIHAN UMUM SERENTAK TAHUN 2019


Ahnaf Nabil Oktavian

ABSTRAK

Pemilihan umum merupakan sarana pelaksana azas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota-
anggota PRESIDEN, DPR, DPRD. Pemilihan umum diselenggarakan setiap lima tahun sekali pada waktu
yang bersamaan dan berdasarkan pada Demokrasi Pancasila. Pemungutan suara diadakan secara
Langsung. Umum, Bebas dan Rahasia.

Meskipun pemilihan umum anggota legislatif serta pemilihan umum presiden dan wakil presiden sama-
sama termasuk dalam rezim pemilihan umum menurut UUD NRI Tahun 1945, namun dalam praktiknya,
keduanya diselenggarakan secara terpisah. Kondisi semacam ini menimbulkan sejumlah implikasi yang
kurang mendukung bagi upaya pelembagaan demokrasi itu sendiri. Lahirnya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan digelarnya pemilu secara serentak patut
diapresiasi dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan demokrasi di tanah air. Tulisan ini membahas
pemilihan umum di Indonesia khususnya pada tahun 2019 dan problematik-problematika yang
menyertainya Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis,
diperoleh kesimpulan bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan negara yang
demokratis dengan warga yang menggunakan hak pilih dengan cerdas.

Kata Kunci: Demokrasi, Rezim Pemilu, Pemilu Serentak

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilihan umum merupakan sarana pelaksana azas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasca orde Baru sistem pemilu Indonesia mengalami
berbagai pergeseran Sistem pemilu yang dianut di Indonesia saat ini adalah sistem pemilu yang
dilakukan dalam tahapan pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres) serta pemilihan kepala
daerah provinsi dan kabupaten/kota (pilkada). Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini
terus berlanjut. Dijalankannya konsep otonomi daerah di indonesia merupakan perwujudan riil dari
pelaksanaan asas desentralisasi.

Pemisahan sistem pemilu tersebut, dinilai kurang efektif dan efisien dalam pelaksanaan pemilu yang
menganut pemerintahan sistem presidensial, karena menimbulkan berbagai permasalahan, seperti
konflik yang terus terjadi antara berbagai kepentingan kelompok maupun individu, pemborosan
anggaran dalam penyelenggaraannya, maraknya politik uang, politisasi birokrasi, serta tingginya
intensitas pemilu di Indonesia. Intensitas penyelenggaraanpemilu, pilpres dan pilkada yang terlampau
sering tersebut berdampak pada rendahnya tingkatpartisipasi sebagai akibat kejenuhan publik.

Persoalan lain dari format pemilu tersebut adalah fakta bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif selalu
mendahului pemilu presiden, padahal pada saat yang sama kita sepakat untukmemperkuat sistem
presidensial. Pemilu legislatif yang mendahului pemilu presiden dalam skema presidensial jelas sebuah
anomali, mengingat di dalam sistem presidensial lembaga eksekutif terpisah dari lembaga legislatif. Di
sisi lain, penyimpangan ini beresiko pada implementasi sistem presidensial itu sendiri, baik dalam
praktek politik dan pemerintahan. Salah satu resiko itu adalah berlangsungnya pencalonan pilpres yang
"didikte" oleh hasil pemilihan legislatif. Artinya, tidaksemua parpol bisa mengajukan pasangan calon
untuk pemilihan umum presiden. Hanya parpolatau gabungan parpol yang memenuhi syarat ambang
batas perolehan suara atau kursi minimaltertentu yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan
wakil presiden. Untuk Pilpres 2009 dan 2014 misalnya, hanya parpol atau gabungan parpol yang
memperoleh suara sekurang kurangnya 25% atau perolehan kursi DPR sekurang-kurangnya 20% yang
dapat mengajukan pencalonan dalam pilpres.

Dengan demikian, nampak jelas bahwa baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (pilpres)
belum dirancang untuk memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan presidensial. Pileg
diselenggarakan hanya untuk sekedar mengisi keanggotaan lembaga-lembaga legislatif. Sementara
pilpres dengan seluruh prosesnya dilaksanakan hanya untuk memilih presiden dan wakilnya tanpa
dikaitkan dengan kebutuhan akan optimalisasi kinerja pemerintahan presidensial hasil pemilu itu
sendiri. Singkatnya, tujuan governability atau terbentuknya pemerintahan yang dapat memerintah
secara efektif, cenderung terabaikan dalam format pemilu-pemilu di Indonesia.

Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut, diperlukan adanya terobosan kebijakan solutif
berupa rumusan desain format pemilu dengan hasil yang mampu menjamin terlaksananya efektivitas
dan optimalisasi sistem presidensial yang responsif dan partisipatif. Selain itu dari segi teknis, desain
format tersebut mampu menjadi penawar atas kejenuhan publik. Sehingga pada akhirnya partisipasi
masyarakat dalam demokrasi elektoral pun meningkat dengan harapan pemilu akan menjadi
intermediant pewujudan demokrasi yang lebih substansial. Penelitian ini bertujuan untuk membahas
secara lebih lanjut sistem pemilihan umum di Indonesia dan problematikanya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang bersumber dari berbagai literatur dan buku baik yang berbentuk
peraturan perundang-undangan maupun yang menggambarkan sejarah ketatanegaraan serta politik
hukum di negara kesatuan Republik Indonesia, maka pemahaman yang lebih lanjut dalam jurnal ini
kirannya perlu dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan sistem pemilu di Indonesia?


2. Bagaimana peluang dan tantangan pemilu serentak di Indonesia sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-11/2013?

3. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 14/PUU-
11/2013 dalam pengujian Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian jurnal ini adalah:

1. Untuk mengetahui penerapan sistem pemilu di Indonesia.

2. Untuk memgetahui bagaimana pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia sesuai Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-11/2013.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai penyelengaraan pemilihan umum di Indonesia.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pemilu

Salah satu wujud demokrasi adalah dengan Pemilihan Umum. Dalam kata lain, Pemilu adalah
pengejawantahan penting dari "demokrasi prosedural" prosedur utama demokrasi adalah pemilihan
para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang bakal mereka pimpin. Selain itu, Pemilu sangat
sejalan dengan semangat demokrasi secara subtansi atau "demokrasi subtansial", yakni demokrasi
dalam pengertian pemerintah yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya,
rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi.

Berdasarkan uraian di atas, Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative
government), Secara sederhana, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai suatu cara atau sarana untuk
menentukan orang-orang yang akan mewakili rakyat dalam menjalankan pemerintahan.

2. Pemilihan Umum di Indonesia

I. Asas-asas Pemilihan Umum Meskipun Undang-Undang Politik tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)
dari Pemilu ke Pemilu beberapa kali mengalami perubahan, perubahan itu ternyata tidak bersifat
mendasar. Secara umum, asas-asas dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia dapat digambarkan sebagai
berikut

a) Langsung, yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung,
sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b) Umum, yaitu pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
undang-undang berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum menjamin kesempatan yang
berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.

c) Bebas, yaitu setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan
dan paksaan dari pihak manapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin
keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati muarani dan kepentingannya.

d) Rahasia, yaitu dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui
oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun Pemilih memberikan suaranya pada surat suara tanpa
dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

e) Jujur, yaitu setiap penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu,
pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai
dengan peraturan perundang- undangan.

f) Adil, yaitu setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari
kecurangan pihak mana pun

II. Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilihan Umum

a. Pemilu 1995

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada
tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun
1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif, beberapa daerah dirundung
kekacauan oleh DITHI (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam
keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di
daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan Pemilu akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu ini
bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.

b. Pemilu Orde Baru

1) Pemilu 1971

Pemilihan Umum pertama sejak orde baru atau Pemilu kedua sejak Indonesia merdeka yakni Pemilu
1971 diikuti oleh 10 Organisasi Peserta Pemilu (OPP), yakni 9 partai politik dan satu Golongan Karya.
Undang-undang yang menjadi landasan hukumnya adalah UU No. 15. tahun 1969 tentang Pemilihan
Umum dan UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan PR, DPR dan DPRD.

2) Pemilu 1977

Pemilu 1977 diselenggarkan dengan berlandaskan pada Undang- Undang No. 4 tahun 1975 tentang
Pemilihan Umum pengganti UU No. 15 tahun 1969, dan UU No. 5 tahun 1975 pengganti UU No. 16
tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan PR, DPR dan DPRD. Selain kedua UU tersebut. Pemilu 1977
juga menggunakan UU No. 3 tahun 1975 tentangy Partai Politik dan Golongan karya. Berdasarkan ketiga
UU itulah diselenggarakan Pemilihan Umum pada tanggal 3 Mei 1977 dengan diikuti oleh 3 Organisasi
Peserta Pemilu (OPP), yakni dua Partai Politik dan satu Golongan Karya.

3) Pemilu 1982

Dengan UU No. 2 tahun 1980 pengganti UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum, Indonesia
kembali menyelenggarakan Pemilihan Umumnya yang keempat pada tanggal 4 Mei 1982.

4) Pemilu 1987

Dengan UU No. 1 tahun 1985 penggantinUU No. 2 tahun 1980, Indonesia menyelenggarakan Pemilihan
Umum yang kelima tahun 1987. Pemungutan suara Pemilu 1987 secara serentak dilaksanakan pada
tanggal 23 April 1987.

5) Pemilu 1992

Mengingat UU No. 1 yahun 1985 ini dianggap masih sesuai dengan perkebangan politik Orde Baru,
tahun 1992 diselenggarakan Pemilu keenam di Indonesia berdasarkan paying hokum yang sama dengan
paying hokum Pemilu sebelumnya. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9
Juni 1992.

6) Pemilu 1997

Dengan paying hokum (undang-undang Pemilu) yang sama dengan Pemilun sebelumnya, Indonesia
kembali menyelenggarakan Pemilu yang ketujuh.

c. Pemilu Era Reformasi

1) Pemilu 1999

Pemilihan Umum 1999 ditujukan untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pemungutan suaranya
dilaksanakan pada taggal 7 Juni 1999. Pemilu ini diikuti oleh 48 Partai dengan berlandaskan UU No. 2
tahun 1999 tentang Partai Politik dan Ubdang-Undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
Pemilu 1999 ini disebut oleh banyak kalangan sebagai Pemilu paling Demokratis setelah Pemilu 1955.
Cara pembagian kursi hasil Pemilu kali ini tetap menggunakan system proporsional dengan mengikuti
Varian Roget Dalam system ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang
diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.

2) Pemilu 2004

Pemilu ini berbeda dengan pemilu sebelumnya, termasuk Pemilu 1999. Hal ini dikarenakan selain
demokratis dan bertujuan memilih anggota DPR dan DPRD, Pemilu 2004 juga memilih Dewan Perwakilan
daerah (DPD) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah Pada Pemilu ini,
yang terpilih adalah pasangan calon (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden). Bukan calon
Presiden dan calon Wakil Presiden secara terpisah.
3) Pemilu 2009

Sama halnya dengan Pemilihan Umum 2004, Pemilihan Umum 2009 juga dibagi menjadi tiga tahapan:

a) Tahap pertama merupakan Pemilihan Umum yang ditujuan untuk memilih anggota DPR, DPD dan
DPRD, atau biasa disebut Pemilu Legislatif 2009. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai yang memenuhi criteria
untuk ikut serta dalam. Pemilihan Umum 2009. Pemilu ini diselenggarakan secara serentak di hamper
seluruh wilayah Indonesia pada Tanggal 9 April 2009, yang seharusnya dijadwalkan berlangsung tanggal
5 April 2009.

b) Tahap kedua atau Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran pertama adalah untuk memilih
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada
tanggal 8 Juli 2009.

c) Tahap ketiga atau Pemilu Presidan dan Wakil Presiden tahap puturan kedua adalah babak terakit yang
dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua, belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara
lebih dari 50% (bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan
diikutsertakan pada Pemilu Presiden putaran kedua. Akan tetapi apabila pada Pemilu Presiden putaran
pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon
tersebut akan langsung diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tahap ketiga ini dilaksanakan
pada taggal 8 September 2009.

3. Mahkamah Konstitusi Putuskan Pemilu Serentak Tahun 2019

Permohonan Koalisi Masyarakat Sipil untuk pemilu Serentak dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi.
Majelis membatalkan Pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan (2). Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No.
42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang mengatur pelaksanaan pilpres
tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias yang tidak serentak.

Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan Pasal 3 ayat 3 (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14
ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres, Menurut Mahkamah Penyelengaraan Pilpres dan Pileg tahun 2009
dan 2014 yang diselengarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap
dinyatakan sah dan Konstitusional.

Namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan ketentuan tidak serentak itu tidak serta merta
bisa diberlakukan pada pemilu 2014 tetapi berlaku pada Pemilu 2019. Alasannya semua tahapan
penyelengaraan pemilu 2014 sudah berjalan dan mendekati pelaksanaan. Mahkamah menyatakan
penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden terpaksa
harus bernegoisasi (Bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya
mempengaruhi roda Pemerintahan. Faktannya Tawar Menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis
dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang Dari sudut pandang original intent penyusun
perubahaan UUD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenal mekanisme penyelenggaraan
pemilihan Presiden diselenggarakan secara bersamaan dengan Pileg sesuai Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945
dan Penafsiran Sistematis Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sejalan dengan pemikiran itu, penyelenggaraan
Pilpres dan Pileg secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga Pembiayaan penyelenggaraan
lebih menghemat uang negara dan mengurangi gesekan horizontal masyarakat. Meski beralasan hukum,
Mahkamah Konstitusi menyatakan semua tahapan dan Persiapan Teknis pelaksanaan pemilihan umum
tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati pelaksanaan. Demikian pula seluruh Ketentuan
mengenai tata cara Pelaksanaan Pemilihan umum baik Pilpres Maupun Pileg telah dibuat dan
diimplementasikan sedimikian rupa.

Mahkamah Konstitusi memandang apabila Putusan MK langsung diterapkan setelah Putusan ini di
ucapkan, Tahapan Pemilihan Umum tahun 2014 yang pada waktunnya sedang berjalan menjadi
terganggu atau terhambat dan akan kehilangan Dasar Hukum. Hal ini dapat menyebapkan Pelaksanaan
Pemilihan umum tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang
Justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945."

Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 merupakan putusan atas permohonan pemohon dalam pengujian


Undang-undang No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terhadap UUD 1945.

4. Tugas Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan I (satu) kewajiban sebagaimana diatur
dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan secara
eksplisit mengenai kewenangan tersebut, yaitu: (1) menguji UU terhadap UUD; (2) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran
partai politik; dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Selanjutnya kewajiban
Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C ayat (2) UUD yang menyatakan "Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau
wakil presiden menurut UUD".

Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus tahun 2003. Mahkamah Konstitusi telah
menangani memutus perkara yang berkaitan dengan kewenangan konstitusionalnya yaitu:

1. Menguji UU terhadap UUD;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara; dan

3. Memutus perselisihan hasil pemilu. Setelah lahimya UU No.12 tahun 2008 tentang perubahan kedua
UU No. 32 tahun 2004, kewenangan Mahkamh Konstitusi bertambah satu yaitu berwenang mengadili
perselisihan hasil pemilu Kepala Daerah (pasal 236 C UU No. 12 tahun 2008).

Dalam melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan diri sebagai lembaga
negara pengawal demokrasi (the guardian of democracy) yang menjunjung prinsip peradilan yang
menegakkan keadilan substansif dalam setiap putusannya. Mahkamah Konstitusi selalu berupaya
menegakkan keadilan substansif dalam pelaksanaan kewenangannya. Hal tersebut terlihat dari putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi yang diterima oleh para pihak yang berperkara, baik yang kalah maupun
yang menang. Bagi pihak yang kalah putusan Mahkamah Konstitusi diterima dan ditaati karena putusan
itu diambil dalam proses peradilan yang terbukti transparan, tidak memihak dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, bahkan secara ilmiah.

5. Pelaksanaan pemilu Serentak Tahun 2019 dan Landasannya

Pemilihan umum merupakan bagian menyeluruh dalam negara demokrasi. Landasan Pemilu di
Indonesia ialah demokrasi Pancasila yang dinyatakan secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila merupakan dasar utama kesepakatan berdirinya bangsa dan merupakan bagian dari
Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah karena selain merupakan modus vivendi la juga dapat
dianggap sebagai "akta kelahiran" negara yang menjamin kelangsungan bangsa dan negara Indonesia
dengan keutuhannya atau integrasinya yang selalu kokoh. Undang-Undang Dasar sebagai dasar aturan
main politik mengatur mekanisme ketatanegaraan yang demokratis yang juga menjamin integrasi
bangsa dan negara. Demokrasi disalurkan dengan adanya Pemilu atau pemilihan pejabat-pejabat publik
tertentu secara jujur dan adil. Pelaksanaan Pemilu secara serentak, yaitu menggabungkan Pemilu
Legislatif (Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD) dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam sistem
Pemilu baru yang dimiliki oleh Indonesia ini ada beberapa hal yang perlu dievaluasi karena baru pertama
kali diselenggarakan pada tahun 2019. Pemilu serentak dilaksanakan berdasarkan hasil Putusan MK22
yang mengabulkan permohonan Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak
terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. Beberapa pertimbangan MK dalam Putusan dimaksud, sebagaimana telah disebutkan di atas
adalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu
Legislatif akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di
masyarakat. Selain itu, hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada Pemilu serentak ini terkait
dengan hak warga negara untuk membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial
dengan keyakinannya sendiri. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa penyelenggaraan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif secara serentak akan lebih efisien, sehingga
pembiayaan penyelenggaraan bisa lebih menghemat uang negara. Dalam upaya mensukseskan hajat
bangsa untuk terselenggaranya Pemilu serentak tahun 2019, diperlukan kerjasama dan sinergitas semua
pihak untuk ikut mensukseskannya. Setidaknya ada aspek-aspek yang perlu dilakukan dalam upaya
suksesi pemilu serentak 2019, antara lain, perlunya undang-undang yang aspiratif dan aplikatif sebagai
payung hukum serta desain model Pemilu serentak 2019.

Terhadap pelaksanaan Pemilu serentak dimaksud, ada beberapa catatan terkait dengan pelaksanaan
Pemilu serentak dimaksud. Ada beberapa tokoh dan pakar yang berpendapat bahwa perlu dilakukan
evaluasi terhadap Pemilu serentak tersebut. Salah satunya adalah mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie,
mengusulkan agar Pemilu dipisahkan dalam beberapa tingkatan, yakni Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden bisa digelar bersamaan dengan Pemilu Legislatif untuk Pemilihan Umum Anggota DPR,
Pemilihan Gubernur dengan Pemilihan Umum Anggota DPRD Provinsi, dan Pemilihan Bupati/Walikota
dengan Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu Wakil Presiden Jusuf Kala, juga
menegaskan mengenai pemisahan Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif. Beliau menilai pemisahan
tersebut akan mengurangi beban Penyelenggaraan Pemilu." Implikasi yang diharapkan dari adanya
Pemilu serentak adalah efisiensi pelaksanaan Pemilu disertai efektivitas yang mengikutinya, yang dapat
menekan pengeluaran dana negara dalam Pemilu. Dengan Pemilu serentak, maka partai politik dituntut
untuk menyederhanakan sistem parpol dengan multi partai sederhana, sehingga tingkat relevansinya
antara sistem Pemilu dan sistem parpol dapat berjalan beriringan dengan penguatan terhadap sistem
presidensial.

PENUTUP

Kesimpulan

Sistem Pemilu di Indonesia telah mengalami perubahan yaitu yang semula penyelenggaran Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan dalam waktu
yang berbeda kini diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan atau secara serentak. Penyelenggaraan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD secara serentak lebih
efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan Pemilu lebih menghemat uang negara (Anggaran
Pendapatan Belanja Negara) yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam
serta sumber daya ekonomi lainnya. Hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan negara untuk
mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain untuk
memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
juga mengurangi pemborosan waktu karena tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Selain itu, hak warga negara untuk memilih secara cerdas pada Pemilu serentak terkait dengan hak
warga negara untuk membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensial dengan
keyakinannya sendiri.

Untuk itu warga negara dapat mempertimbangkan sendiri mengenai penggunaan pilihan untuk memilih
anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan
secara serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara cerdas dan efisien.
Namun demikian penyelenggaraan Pemilu serentak yang telah dilaksanakan mempunyai beberapa
catatan yang perlu diperhatikan untuk memperbaikan kekurangan dalam penyelenggaraan Pemilu
serentak 2019, antara lain terkait dengan waktu penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dengan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian persoalan-persoalan teknis dalam tahapan
penyelenggaran Pemilu yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum.
Dengan demikian diharapkan ke depan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diselenggarakan secara serentak sejalan dengan prinsip-prinsip yang
terkandung di dalam UUD 1945 yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih secara cerdas serta dapat mewujudkan Pemilu
serentak yang berintegritas sebagai upaya dalam pembaruan demokrasi di Indonesia.

Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, 2008. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Asshiddiqie, Jimly, 2006. Parpol dan Pemilu sebagai Instrumen Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3,
Nomor 4, Desember 2006.

Asshiddiqie, Jimly, 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional,
Jakarta: Mahkamah Konsitusi RI, 2005.

Azyumardi Azra. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Mayarakat Madani, Prenada Kencana, Jakarta, 2000.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-
Quran, Jakarta, 1995. Eep Syaifulloh Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, 1998.

Georg Serensen, Demokrasi dan Demokratisasi, PustakaPelajar. Yogyakarta, 2003.

Luky Sandra Amalia (editor), Evaluasi Pemilu Legislatif 2014: Analisis Proses dan Hasil. Pustaka Pelajar,
Cetakan 1, Yogyakarta, 2016.

M. Rusli Karim Pemilihan Umum Demokratis Kompetitif. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999.

Mariam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Gramedia, Jakarta, 1982. Mutia Farida, Pemilu di
Indonesia dalam Sejarah Universitas Pasundan, Bandung, 2010.

Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Fajar Media Press, Yogyakarta,
2011.

Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Kemitraan,
Jakarta, 2008.

Septi Nur Wijayanti dan Nanik Prasetyoningsih, Politik Ketatanegaraan, Lab Hukum Fakultas Hukum
UMY, Yogyakarta, 2009. Sub-Bagian Pemutakhiran Data dan Informasi, Buku Kerja Pantarlih, KPU RI,
Jakarta, 2018.

You might also like