You are on page 1of 26

1

Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Narkotika Melalui

Restorative Justice oleh Penyidik Polresta Bengkulu

Ardilafiza1, Antory Royan Adyan2, Ria Anggraeni Utami3


Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu
Email:
ardilafiza07@gmail.com , ar.adyan@unib.ac.id2, riaanggraeniutami@unib.ac.id3
1

ABSTRACT

The process of resolving narcotics abuse cases through restorative justice by Bengkulu
Police investigators during 2022, was applied to only 3 (three) cases out of a total of 56 (fifty
six) cases of narcotics handled in the same year. From this, it is interesting to find out how the
settlement process and what obstacles were faced by Bengkulu Police investigators. This study
aims to analyze and describe the settlement of narcotics abuse cases through restorative justice
by Bengkulu Police investigators and the obstacles in the settlement process. The research
method used is empirical research or juridical-sociological research with a non-doctrinal
approach. Sources of research in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials.
Methods of collecting legal materials by means of interviews and document studies. Data
processing method with the stages of data checking (editing) and data tagging (coding). The
analytical method used is a qualitative method. The research results obtained show that: (1)
The settlement of narcotics abuse cases through restorative justice by Bengkulu Police
investigators has been carried out as regulated by Police Regulation Number 8 of 2021. The
procedures carried out by police investigators have also referred to other laws and regulations
that become the legal basis for the implementation of restorative justice for the settlement of
narcotics crimes, such as SEMA number 4 of 2010, Joint Regulation of 2014 and also the
Narcotics Law; (2) There are 4 (four) obstacles that occur in the process of resolving narcotics
abuse cases through restorative justice, the first Police Regulation Number 8 of 2021 does not
explicitly regulate the weight limit of narcotics as evidence which is a requirement for resolving
narcotics cases through restorative justice by investigators, delays in the Integrated
Assessment Team when conducting an assessment of narcotics abuse cases constrained by a
short period of time, lack of human resources assigned to carry out assessments within the
Integrated Assessment Team and fourthly, the lack of a budget provided by the government to
finance the rehabilitation process for abusers who get restorative justice.
Keyword : Narcotics Abuse, Restorative Justice, Investigation
2

ABSTRAK

Proses penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice oleh


penyidik Polresta Bengkulu selama tahun 2022, diterapkan hanya pada 3 (tiga) kasus perkara
dari total kasus narkotika yang ditangani pada tahun yang sama sebanyak 56 (lima puluh enam)
kasus. Dari adanya hal tersebut menarik perhatian untuk mengetahui bagaimana proses
penyelesaian dan hambatan apa saja yang dihadapi oleh penyidik Polresta Bengkulu. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan penyelesaian perkara penyalahgunaan
narkotika melalui restorative justice oleh penyidik Polresta Bengkulu dan hambatan dalam
proses penyelesaian tersebut. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian empiris atau
penelitian yuridis-sosiologis dengan pendekatan non-doktrinal. Sumber penelitian berupa
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan bahan hukum dengan cara
wawancara dan studi dokumen. Metode pengolahan data dengan tahapan pemeriksaan data
(editing) dan penandaan data (coding). Metode analisis yang digunakan yaitu metode kualitatif.
Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa : (1) Penyelesaian perkara penyalahgunaan
narkotika melalui restorative justice oleh penyidik polresta Bengkulu sudah dilakukan
sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021. Prosedur yang dilakukan
oleh penyidik kepolisian juga sudah mengacu terhadap peraturan perundang-undangan lain
yang menjadi dasar hukum pelaksanaan restorative justice untuk penyelesaian tindak pidana
narkotika, seperti SEMA nomor 4 Tahun 2010, Peraturan Bersama Tahun 2014 dan juga
Undang-Undang Narkotika; (2) Terdapat 4 (empat) Hambatan yang terjadi pada proses
penyelesaian kasus perkara penyalahguna narkotika melalui restorative justice, yang pertama
Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tidak mengatur secara eksplisit terkait batasan berat
narkotika sebagai barang bukti yang menjadi syarat penyelesaian kasus perkara narkotika
melalui restorative justice oleh penyidik, terhambatnya Tim Assesment Terpadu pada saat akan
melakukan assessment terhadap perkara penyalahgunaan narkotika terkendala jangka waktu
yang singkat, kurangnya sumber daya manusia yang ditugaskan untuk melakukan assesment
di dalam Tim Assesment Terpadu dan yang keempat kurangnya anggaran yang disediakan
pemerintah untuk membiaya proses rehabilitasi bagi para penyalahguna yang mendapatkan
restorative justice.
Kata Kunci : Penyalahgunaan Narkotika, Restorative Justice, Penyidikan

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang
menyumbang sebagian besar narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Intensitas kejahatan narkotika sangat tinggi dan selalu naik hampir setiap tahunnya pada
tiap daerah di Indonesia. Indonesia pada tahun 90-an hanya dijadikan sebagai tempat
transit bagi barang terlarang tersebut, namun di zaman sekarang, Indonesia menjadi
tempat transaksi jual beli dari berbagai macam jenis narkoba, bahkan sudah menjadi
salah satu negara produsen.1

1
Soekedy, Menyiram Bara Narkoba ‘Semakin Tahu Akibatnya, Semakin Siap Menolaknya’, PT. Dyatama
Milenia, Jakarta, 2003, hlm 59
3

Data pada tahun 2022, Ditjenpas melaporkan jumlah narapidana di Lembaga


Pemasyarakatan per 19 September 2022 tercatat sebanyak 276.172 orang, dengan
rincian ada 139.839 narapidana narkotika. Dengan 125.288 narapidana kategori
pemakai, dan 14.551 narapidana kategori bandar, pengedar, penadah atau produsen
narkoba2. Dari data dapat dilihat, bahwasanya dikarenakan banyaknya kasus tindak
pidana narkotika yang diberikan hukuman pidana penjara baik itu terdakwa sebagai
pengguna atau sebagai oknum jaringan pengedar narkoba, sehingga menyebabkan
terjadinya overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan di berbagai daerah di Indonesia.
Seharusnya Lembaga Pemasyarakat diperuntukan hanya untuk 132.107 orang, akan
tetapi jumlah penghuninya mencapai 276.172 orang. Kelebihan kapasitas tersebut
mencapai 109%.3 Terkhusus narapidana narkotika yang menghuni lebih dari setengah
total keseluruhan jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan, hal tersebut
dimungkinkan terjadi karena setelah pelaku tindak pidana narkotika, baik itu
penyalahguna maupun sindikat narkotika yang telah dilakukan penangkapan
terhadapnya, kemudian kasus perkara masuk ke tahap penyidikan, lalu penuntutan
hingga ke persidangan, dan pada akhirnya pelaku narkotika mendapatkan pemidanaan
berupa pemberian pidana penjara tanpa mendapatkan rehabilitasi, yang menjadi alasan
mengapa lembaga pemasyarakatan paling banyak dihuni oleh narapidana narkotika..
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif merupakan model pendekatan
penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula 4. Salah satu aparat penegak
hukum yang dapat menerapkan restorative justice adalah Kepolisian Republik
Indonesia (Polri). Dari hal tersebut, dirumuskanlah peraturan kepolisian khusus terkait
penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif melalui Peraturan Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021, yang disahkan pada 19 Agustus
2021.

2
Viva Budy Kusnandar, Penghuni Lapas dan Rutan Kelebihan Kapasitas 109% pada Semptember 2022,
diakses pada 21 Desember 2022 pukul 15.17 WIB, pada laman web
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/23/penghuni-lapas-dan-rutan-kelebihan-kapasitas-109-
pada-september-2022
3
ibid
4
Pasal 1 ayat (3) Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan
Restoratif
4

Peraturan ini menjadi landasan hukum dan pedoman bagi penyidik dan penyidik
Polri melakukan penyidikan, memberikan jaminan perlindungan dan pengawasan
hukum. Hal ini sejalan dengan penerapan prinsip restorative justice dalam konsep
penyidikan pidana untuk memajukan kepentingan dan rasa keadilan masyarakat,
sehingga terjadi keseragaman pemahaman dan penerapan keadilan restoratif di
kepolisian. Penanganan kejahatan berdasarkan keadilan restoratif merupakan tahapan
kepolisian dalam mewujudkan penyelesaian perkara dengan mengutamakan rasa
keadilan yang menekankan pada pemulihan hingga keadaan semula dan menjamin
keseimbangan antara perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana
tanpa bertujuan untuk memberikan pemidanaan.
Penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif dilaksanakan dengan
beberapa syarat dan ketentuan serta macam-macam tindak pidana apa saja yang dapat
diberikan penanganan melalui pendekatan keadilan restoratif. Tindak pidana narkotika
masuk kedalam salah satu tindak pidana yang dapat diberikan penanganan berdasarkan
keadilan restoratif pada tahap penyelidikan dan penyidikan, dengan memperhatikan
berbagai syarat, ketentuan dan prosedur yang harus dijalankan terlebih dahulu.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Nomor 04 Tahun 2010
tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial pada poin 2, salah satu
persyaratan suatu perkara tindak pidana narkotika diselesaikan dengan pendekatan
keadilan restoratif yaitu ketika pelaku tindak pidana narkotika tertangkap, dan positif
menggunakan narkoba, ditemukan barang bukti pemakaian satu hari berupa:

Tabel 1
Jenis Narkoba dan berat maksimum untuk Restorative Justice
1 “Kelompok Metamphetamine (Shabu)” : “1 gram”
2 “Kelompok MDMA (Ekstasi)” : “2,4 gram = 8 Butir”
3 “Kelompok Heroin” : “1,8 gram”
4 “Kelompok Kokain” : “1,8 gram”
5 “Kelompok Ganja” : “5 gram”
6 “Daun Koka” : “5 gram”
7 “Meskalin” : “5 gram”
8 “Kelompok Psilosybin” : “3 gram”
9 “Kelompok LSD” : “2 gram”
5

10 “Kelompok PSD” : “3 gram”


11 “Kelompok Fentanil” : “1 gram”
12 “Kelompok Metadon” : “0,5 gram”
13 “Kelompok Morfin” : “1,8 gram”
14 “Kelompok Petidin” : “0,96 gram”
15 “Kelompok Kodein” : “72 gram”
16 “Kelompok Bufranorfin” : “32 mg”
Sumber : “SEMA Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu
Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial
Penjelasan di dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010, disebutkan apabila ada
suatu perkara tindak pidana narkotika dengan barang bukti tidak melebihi batas
ketentuan dalam tabel di atas, dan tidak tergabung dalam jaringan peredaran narkotika
(penjual, pengedar, produsen), maka perkara tersebut dapat diselesaikan melalui
keadilan restoratif berupa pemberian rehabilitas medis dan rehabilitasi sosial terhadap
pelaku.

Gambar 1
Alur pemberian restorative justice pada Tahap Penyidikan
6

Dalam Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 pada Pasal 9 ayat (1) juga
disebutkan bahwasanya ketika ada pelaku penyalahgunaan narkotika dengan barang
bukti yang tidak melebihi batas ketentuan dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010, maka
dapat diberikan restorative justice kepadanya. Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021
disahkan pada tanggal 19 Agustus 2021 dan mulai diberlakukan mulai tanggal 20
Agustus 2021. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak sebagaimana yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Nyatanya di lapangan masih ada
beberapa kasus penyalahgunaan narkotika dengan pemakaian dibawah batas yang telah
ditetapkan, dan seharusnya dapat diselesaikan dengan restorative justce, namun pelaku
tetap diberikan pidana penjara bertahun-tahun tanpa mendapatkan rehabilitasi baik
rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Sehingga, dengan hal tersebut, selain
akan menyebabkan overcapacity dalam Lembaga Pemasyarakatan, juga berdampak
buruk bagi penyalahgunaan narkotika yang baru pertama kali menggunakan dan/atau
baru pertama kali melakukan tindak pidana narkotika. Hal ini dapat dilihat dari data
per 19 September 2022, sebanyak 125.288 narapidana narkotika kategori pengguna 5.
Kasus penyalahgunaan narkotika di Kota Bengkulu juga masih banyak terjadi.
Kasus-kasus penyalahgunaan yang digunakan diri sendiri dalam jumlah kecil yang
mendapatkan pemidanaan pidana penjara bertahun-tahun. Berikut beberapa contoh
kasus penyalahgunaan narkotika yang diberikan pemidanaan pidana penjara pasca
disahkannya Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 20216 :
1) Perkara nomor 415/Pid.Sus/2021/PN.Bgl, yang dilakukan oleh pelaku bernama
Mawardi Saputra, berusia 28 Tahun. Pelaku tertangkap tangan oleh polisi pada
tanggal 19 September 2021, dan kedapatan membawa narkotika golongan I jenis
shabu seberat 0.08 gram. Pada saat dites urine, pelaku positif menggunakan
narkotika. Kasus perkara ini merupakan penyalahgunaan narkotika dan pelaku
dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun;7
2) Perkara nomor 429/Pid.Sus/2021/PN.Bgl, yang dilakukan oleh pelaku bernama
Supangat Dyanto, berusia 42 tahun. Pelaku tertangkap tangan pada 05 Oktober
2021, dan membawa narkotika golongan I jenis Shabu seberat 0.64 gram, dan tes

5
Viva Budy, Loc.Cit
6
Bersumber dari Direktori Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Kota Bengkulu, diakses pada laman
web https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html
7
Putusan dengan Nomor Register 415/Pid.Sus/2021/PN.Bgl,diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec6e82207e332cae09303634393331.html
7

urine pelaku positif memakai narkoba. Kasus ini merupakan penyalahgunaan


narkotika dan pelaku mendapatkan hukuman pidana penjara 2 (dua) tahun;8
3) Perkara nomor 146/Pid.Sus/2022/PN.Bgl, yang dilakukan oleh pelaku bernama
Yudi Kurniawan, seorang pria berusia 41 Tahun. Perkara tersebut terjadi pada 13
Februari 2022, dimana pelaku tertangkap tangan oleh polisi membawa narkotika
golongan I jenis shabu seberat 0.45 gram, dan pelaku saat dites urine terbukti
positif menggunakan narkotika. Kasus perkara ini merupakan penyalahgunaan
narkotika bagi diri sendiri dan pelaku dalam putusannya dijatuhi hukuman pidana
penjara 1 (satu) tahun dan 10 (sepuluh) bulan.9
Selain beberapa data di atas, penulis melakukan research terhadap sebagian
besar putusan tindak pidana narkotika di PN Bengkulu pada tahun 2021 - 2022 yang
pada setiap kasusnya masuk ke tahap penyidikan pasca Perpol Nomor 8 Tahun 2021
disahkan tanggal 20 Agustus 2021. Dari analisa awal penulis, penulis mendapati
sebanyak 35 kasus yang layak diberikan Restorative Justice berdasarkan fakta-fakta di
persidangan dalam berkas putusan di direktori Mahkamah Agung. Namun terhadap 35
kasus tersebut malah diberikan sanksi pidana penjara tanpa diberikan rehabilitasi medis
maupun rehabilitasi sosial.
Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari Polresta Bengkulu terkait laporan
tindak pidana narkotika selama tahun 2022 ini, hanya terdapat 3 (tiga) kasus saja yang
diselesaikan melalui restorative justice semenjak Perpol Nomor 8 Tahun 2021 berlaku
mulai tanggal 20 Agustus 2021 , dan sisanya diselesaikan sebagaimana proses
peradilan hingga diberikan sanksi pidana penjara di persidangan. Sama halnya dengan
data dari Kepolisian, pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) juga menerima laporan
atas 3 (tiga) kasus yang diselesaikan dengan restorative justice tersebut dan semua
pelaku diberikan rehabilitasi medis, yaitu 2 (dua) residen ditempatkan di Loka
Rehabilitasi Kalianda dan 1 (satu) residen lainnya ditempatkan di WIN Foundation.
Selain 3 (tiga) kasus diatas, BNN selama tahun 2022 mencatat ada sebanyak 97
(sembilan puluh tujuh) residen yang menjalani rehabilitasi dengan pembagian 94
(sembilan puluh tiga) residen diantaranya melakukan rawat jalan klinik BNNK
Bengkulu, dan 3 (tiga) residen lainnya menjalani rawat inap.

8
Putusan dengan Nomor Register 429/Pid.Sus/2021/PN.Bgl, diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec7e39bca2a44c9b86303635313338.html
9
Putusan dengan Nomor Register 146/Pid.Sus/2022/PN.Bgl, diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaecf1bc46ee5e7a8fcc303634353438.html
8

Sebagaimana penjelasan berdasarkan data yang telah penulis dapatkan dari pra-
penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa penyelesaian perkara
penyalahgunaan narkotika di Bengkulu masih sangat rendah dengan membandingkan
data perkara yang diselesaikan di Pengadilan Negeri dengan jumlah perkara yang
diselesaikan melalui pendekatan restorative justice di tahap penyidikan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi
dengan judul “PENYELESAIAN PERKARA PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA MELALUI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK
POLRESTA BENGKULU”

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative


justice oleh penyidik polresta Bengkulu?
2. Apa yang menjadi hambatan penyidik polresta Bengkulu dalam melaksanakan
penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan penyelesaian perkara penyalahgunaan
narkotika melalui restorative justice oleh penyidik polresta Bengkulu.
2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan hambatan penyidik polresta Bengkulu
dalam melaksanakan penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui
restorative justice.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris atau penelitian yuridis-sosiologis
dengan pendekatan non-doktrinal. Sumber penelitian berupa bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan bahan hukum dengan cara wawancara dan
studi dokumen. Metode pengolahan data dengan tahapan pemeriksaan data (editing) dan
penandaan data (coding). Metode analisis yang digunakan yaitu analisis yuridis kualitatif
yaitu berusaha untuk menemukan penjelasan mengenai suatu fenomena..

III. PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Narkotika Melalui Restorative Justice oleh
Penyidik Polresta Bengkulu
Penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice
merupakan suatu hal baru yang diterapkan dalam pelaksanaan hukum di Indonesia.
9

Setiap tahap proses hukum yang ada, dapat diterapkan didalamnya penyelesaian
melalui restorative justice, selagi belum masuk pada tahap persidangan, yaitu mulai
dari tahap penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Salah satu peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal tersebut yaitu Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun
2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan
tersebut menjadi pedoman penyidik kepolisian dalam menyelesaikan berbagai kasus
perkara melalui restorative justice, termasuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 7 Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 yang
berbunyi :

Persyaratan khusus sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b,


merupakan persyaratan tambahan untuk tindak pidana :
a. Informasi dan transaksi elektronik
b. Narkoba; dan
c. Lalu lintas

Berdasarkan muatan Pasal 7 tersebut, dapat dilihat bahwa jika suatu tindak
pidana penyalahgunaan narkotika dapat diselesaikan melalui restorative justice dengan
sebelumnya harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur pada peraturan yang
sama. Persyaratan khusus tersebut dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan
Polisi Nomor 8 Tahun 2021, yang berisi:
1. Persyaratan khusus untuk Tindak Pidana Narkoba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b, meliputi:
a. pecandu Narkoba dan korban penyalahgunaan Narkoba yang
mengajukan rehabilitasi;
b. pada saat tertangkap tangan:
1) ditemukan barang bukti Narkoba pemakaian 1 (satu) hari dengan
penggolongan narkotika dan psikotropika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
2) tidak ditemukan barang bukti Tindak Pidana Narkoba, namun hasil
tes urine menunjukkan positif Narkoba;
c. tidak terlibat dalam jaringan Tindak Pidana Narkoba, pengedar dan/atau
bandar;
d. telah dilaksanakan asesmen oleh tim asesmen terpadu; dan
e. pelaku bersedia bekerja sama dengan penyidik Polri untuk melakukan
Penyelidikan lanjutan.
2. Tim asesmen terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 9 ayat (1) poin b, menyebutkan bahwa pada saat tertangkap tangan,
haruslah ditemukan barang buki narkoba dengan pemakaian 1 (satu) hari dengan
10

penggolongannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hal


tersebut diatur secara eksplisit dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika dalam Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Selain daripada harus memenuhi persyaratan khusus dan ketentuan jenis serta
berat narkotika yang digunakan, proses penyelesaian perkara penyalahgunaan
narkotika melalui restorative justice harus melalui beberapa prosedur atau tahapan
yang wajib dilakukan penyidik kepolisian dan juga penyalahguna narkotika. Apabila
seluruh prosedur tersebut telah dilalui, maka dapat dilakukan penyelesaian melalui
restorative justice. Berikut adalah prosedur penyelesaian perkara penyalahgunaan
Narkotika melalui restorative justice oleh Penyidik Polresta Bengkulu:

1. Tahap pertama, Pelaku tertangkap tangan atas kasus Narkotika dengan barang
bukti kurang atau sama dengan ketentuan batas berat narkotika yang ditemukan.
(SEMA Nomor 04 Tahun 2010, pada poin 2 huruf a dan b)

Pada tahap pertama, ketika suatu kasus penyalahguna narkotika akan


diselesaikan melalui restorative justice, pelaku yang bersangkutan harus dan/atau
tertangkap tangan dengan ditemukan barang bukti bersamanya. Dalam prakteknya,
disampaikan oleh PS Kanit Lidik I Satuan Reserse Narkoba Polresta Bengkulu,
Aiptu Supardi, S.H, pada tanggal 09 Maret 2023, bahwa kasus perkara dugaan
tindak pidana narkotika yang tercatat di kepolisian bisa berasal dari hasil
tindaklanjut penyidik kepolisian terhadap pelaku-pelaku yang sudah dicurigai
sebelumnya, dan juga berasal dari pelaku yang tidak sengaja diperiksa oleh
kepolisian ketika sedang melakukan patroli di beberapa daerah. Pada Polresta
Bengkulu, tercatat bahwa para pelaku penyalahguna yang atas kasusnya
diselesaikan melalui restorative justice, kesemuanya tertangkap tangan dengan
membawa barang bukti narkotika berupa shabu-shabu.
Dari ketiga pelaku penyalahguna yang tertangkap, disampaikan oleh Aiptu
Supardi, bahwa jenis dan berat narkotika yang ditemukan pada masing-masing
pelaku sebagai berikut :
1) Nopri Mardian, dengan barang bukti berupa narkotika jenis shabu-shabu seberat
0.48 gram, dengan hasil test urine positif narkoba;
2) Tory Afrizal, dengan barang bukti berupa narkotika jenis shabu-shabu seberat
0.73 gram, dengan hasil test urine positif narkoba;
11

3) Rio Noprianto, dengan barang bukti berupa narkotika jenis shabu-shabu seberat
0.55 gram, dengan hasil test urine postifi narkoba.
Selain itu, para pelaku penyalahguna yang tertangkap tangan ini kemudian
di periksa oleh penyidik kepolisian untuk diketahui apakah ada kemungkinan
daripada mereka terlibat dalam jaringan pengedar narkotika. Apabila dari asil
pemeriksaan awal penyidik kepolisian mengatakan bahwa para pelaku ini tidak
termasuk kedalam jaringan pengedar narkotika, maka selanjutkan penyidik
kepolisian dapat melakukan tahap kedua.

2. Tahap Kedua, Polisi meminta kepada Tim Assesment Terpadu untuk menganalisis
kasus tersebut, apakah pelaku termasuk penyalahguna, pengedar atau korban. (Pasal
9 ayat (2) Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi tahun 2014)

Ketika penyidik polisi telah melakukan tahap pertama, lalu penyidik dapat
mengirimkan permohonan kepada Tim Asessment Terpadu untuk ditindaklanjuti
dengan melakukan assessment lebih lanjut terkait kasus tersebut. Disampaikan juga
oleh salah satu penyalahguna yang atas kasusnya diselesaikan melalui restorative
justice, Nopri Mardian mengatakan bahwa penyidik polisi juga mengkonfirmasi
kepadanya dan keluarga bahwa kasus perkara Nopri dapat diselesaikan melalui
restorative justice karena dari hasil pemeriksaan awal, Nopri dimungkinkan untuk
mendapatkan restorative justice, yang nantinya berupa pelaksanaan rehabilitasi
medis yang akan dilakukan oleh Nopri.
Apabila permohonan penyidik polisi telah disampaikan kepada Tim
Assesment Terpadu, yang dalam hal menerima permohonan adalah salah satu Tim
Assesment yaitu Pihak BNN, maka dalam waktu 3x24 jam permohonan tersebut
haruslah mendapatkan jawaban dari Tim Assesment Terpadu. Hal tersebut
disampaikan pula oleh Analis Intelejen Taktis, Bapak Hendra Rusdiato, saat
wawancara tanggal 01 Maret 2023, setelah permohonan untuk melakukan
Assesment itu masuk yang salah satunya dari penyidik polisi, pihak BNN akan
menghubungi para anggota yang termuat dalam Tim Assesment Terpadu untuk
dikonfirmasi terkait hal tersebut, seperti apakah semua anggota pada hari dan
tanggal yang ditentukan dapat melakukan assessment, begitupula konfirmasi
kesediaan seluruh anggota untuk hadir dalam agenda assessment tersebut.
12

Sebagaimana yang diketahui, bahwasanya Tim Assesment Terpadu ini


merupakan perpaduan antara beberapa instansi seperti penyidik Badan Narkotika
Nasional (BNN), penyidik Kepolisian RI, Kejaksaan, dan BAPAS (apabila terduga
pelaku tindak pidana narkotika berusia dibawah umur) yang berasal dari Tim
Hukum, dan dokter serta Psikolog yang ditunjuk untuk berperan sebagai Tim
Medis. Seluruh perwakilan dari berbagai macam instansi tersebut akan dikonfirmasi
untuk melakukan assessment, karena perlau diketahui bahwa Tim Assesment
Terpadu ini sudah memiliki anggota yang ditetapkan secara sah, yang berarti tidak
bisa diganti atau dimandatkan tugas dan kewajiban tersebut kepada orang lain.
Maka dari itu, diberikan waktu maksimal selama 3x24 jam untuk setelah dapat
diberikan jawaban atas permohonan untuk dilakukan assessment tersebut.

3. Tahap Ketiga, Hasil Assesment keluar paling lama 6 (enam) hari sejak diterimanya
permohonan dari penyidik, yang berisi apakah pelaku termasuk
pengedar/penyalahguna, apakah dapat rehab, seberapa parah pengaruh narkotika
terhadap pelaku. (Pasal 4 ayat (5), Pasal 9 ayat (3) Peraturan Bersama tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi tahun 2014)

Apabila jawaban permohonan penyidik polisi untuk dilakukan assessment


terhadap suatu kasus sudah diberikan, dan Tim Assesment menyetujuinya, maka
Tim Assesment akan diberikan waktu paling lama 6 (enam) hari semenjak
permohonan tersebut dijawab. Selama waktu yang diberikan, Tim Assesment
Terpadu akan melakukan assessment bersama untuk membahas kasus perkara
penyalahgunaan narkotika tersebut. Telah disebutkan sebelumnya, bahwa Tim
Assesment Terpadu tergabung dari berbagai macam instansi, hal tersebut bertujuan
untuk melihat apakah memang valid bahwa pelaku penyalahguna narkotika tersebut
memang tidak termasuk dalam jaringan pengedar.
Dijelaskan pula oleh Bapak Hendra Rusdianto pada 01 Maret 2023, beliau
juga sekaligus bagian dari Tim Assesment Terpadu, pada saat melakukan
assessment, para perwakilan instansi akan membawa DPO atau Daftar Pencarian
Orang masing-masing dari instansinya untuk disandingkan bersama apakah nama
pelaku yang sedang assessment termuat dalam salah satu DPO yang ada dalam
beberapa instansi tersebut. Karena, beliau sampaikan ada beberapa perkara yang
ternyata pelaku penyalahguna narkotika ini merupakan salah satu DPO penyidik
13

kejaksaan, apabila demikian dapat dipastikan bahwa pelaku penyalahguna tersebut


tidak akan menerima tindakan rehabilitasi dan/atau sejenisnya.
Setelah Tim Assesment Terpadu selesai melakukan assessment maka
didapatkan berupa hasil assessment yang kemudian diberikan kepada pemohon
assessment, yang dalam hal ini adalah penyidik polisi. Dijelaskan oleh Aiptu
Supardi, bahwa atas ketiga penyalahguna yang diselesaikan kasusnya melalui
restorative justice didapati hasil assessment sebagai berikut :
a) Nopri Mardian
Hasil assessment terhadap Nopri dengan barang bukti berupa narkoba jenis
shabu-shabu seberat 0.48 gram yang didapati pada saat Nopri ditangkap, Tim
Assesment Terpadu menyatakan bahwa atas kasus perkara Nopri dapat
dilakukan rehabilitasi medis selama 6 (enam) bulan di Balai Rehabilitasi BNN.
Nopri dinyatakan tidak terlibat dalam jaringan pengedar narkotika, dan
dikualifikasi sebagai pengguna coba-coba saja, karena Nopri mulai memakai
narkoba jenis shabu-shabu kurang lebih sebulan terakhir sebelum akhirnya
ditangkap pada akhir bulan Agustus 2022.
b) Tory Afrizal
Dengan barang bukti berupa narkoba jenis shabu-shabu seberat 0.73 gram yang
ditemukan pada saat Tory ditangkap pada bulan September 2022, Tim
Assesment Terpadu menyatakan bahwa Tory dapat diberikan Rehabilitasi
Medis selama 6 (enam) bulan di Balai Rehabilitasi BNN. Dari hasil
assessment,Tory dikualifikasi sebagai pengguna pemula dan tidak terikat
sebagai jaringan pengedar narkoba.
c) Rio Noprianto
Rio tertangkap oleh penyidik kepolisian sesaat setelah memakai narkoba jenis
shabu-shabu dirumahnya. Dari penangkapan tersebut, Rio didapati memiliki
narkoba jenis shabu-shabu seberat 0.55 gram. Penyidik kepolisian dari analisis
awal dari keterangan yang didapat, selanjutnya mengajukan untuk dilakukannya
assessment terhadap kasus perkara Rio kepada Tim Assesment Terpadu. Hasil
assessment menyatakan bahwa Rio tidak terlibat kedalam jaringan pengedar
narkotika, dan mendiagnosis Rio masuk kedalam pengguna tingkat pemula.
Tim Assesment Terpadu menyatakan bahwa Rio dapat dilakukan Rehabilitasi
Medis di Balai Rehabilitasi BNN selama 6 (enam) bulan.
14

4. Tahap Keempat, Dari hasil assessment, penyalahguna dapat mengajukan


permohonan kepada penyidik agar kasus mereka diselesaikan melalui restorative
justice. (Pasal 9 ayat (1) Perpol Nomor 8 Tahun 2021).

Hasil Assesment yang telah didapatkan oleh penyidik polisi, kemudian


disampaikan kepada penyalahguna. Dari kesaksiannya melalui wawancara yang
dilakukan penulis pada tanggal 03 April 2023, Nopri Mardian mengatakan bahwa
setelah ditunggu kurang lebih seminggu, Nopri didatangi lagi oleh penyidik polisi
dengan memberikan informasi bahwa hasil assesment yang telah dilakukan
menyatakan bahwa Nopri dapat diberikan rehabilitasi, yaitu di Balai Rehabilitasi
BNN selama 6 (enam) bulan.
Selain memberitahukan hal tersebut, penyidik polisi juga mengarahkan
penyalahguna untuk membuat surat permohonan penghentian penyidikan dan
pengajuan rehabilitasi, agar selanjutnya penyidik polisi dapat memproses berkas
penghentian penyidikan, dan melakukan gelar perkara bersama dengan Kapolres
dan jajarannya. Hal tersebut juga disampaikan oleh Aiptu Supardi, bahwa penyidik
polisi setelah menerima hasil assessment, maka selanjutkan akan menyampaikan
kepada penyalahguna dan diarahkan untuk membuat surat permohonan penghentian
penyidikan dan pengajuan rehabilitasi.
Surat permohonan tersebut dibuat oleh pelaku dan/atau keluarga pelaku
secara tertulis dan diajukan kepada Kepala Kepolisian Resor, yang dalam hal ini
Kapolres Bengkulu untuk dilakukan penghentian penyidikan terhadap kasus
perkara penyalahguna. Setelah tahap empat sudah dipenuhi oleh penyalahguna,
maka penyidik polisi dapat melakukan tahap selanjutnya.

5. Tahap Kelima, Penyidik menerima permohonan dan menyiapkan berkas serta


mengadakan gelar perkara untuk selanjutnya mengajukan permohonan penghentian
penyelidikan/penyidikan kepada Kapolsek/Kapolres/Kapolda. (Pasal 15 ayat (1)
dan (2), Pasal 16 Perpol Nomor 8 Tahun 2021)

Permohonan yang diajukan oleh penyalahguna akan segera diproses oleh


penyidik polisi dan disiapkan dokumen-dokumen pelengkap. Kemudian, penyidik
polisi akan melakukan pengajuan permohonan persetujuan untuk dilaksanakan
gelar perkara. Disampaikan oleh Aiptu Supardi pada wawancara tanggal 09 Maret
2023, pelaksanaan gelar perkara dihadiri oleh bagian Kanit dan Analis di Satuan
15

Reserse Narkoba Polresta Bengkulu, dan apabila dimungkinkan dihadiri oleh


Kapolres dan/atau Wakapolres. Teruntuk kasus penyalahguna atas nama Tory
Afrizal, Kapolres Polresta Bengkulu membersamai dalam agenda gelar perkara atas
kasus perkara Tory. Dalam kegiatan gelar perkara akan dibahas, dianalis dan diteliti
kembali keseluruhan dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, mulai dari
pemeriksaan awal hingga hasil assessment Tim Assesment Terpadu yang diberikan
kepada penyidik polisi. Dari gelar perkara yang telah dilakukan, penyidik polisi
kemudian melakukan penyusunan laporan hasil gelar perkara dan menyerahkannya
kepada Kapolresta Bengkulu.

6. Tahap Keenam. Kapolres menerima permohonan penghentian


penyelidikan/penyidikan, dan selanjutnya kasus diberhentikan dan akan dilanjutkan
pemberian rehabilitasi kepada penyalahguna. (Pasal 17, Pasal 18 ayat (3) Perpol
Nomor 8 Tahun 2021).

Laporan hasil gelar perkara telah disusun oleh penyidik polisi, kemudian
penyidik polisi akan menyerahkan laporan tersebut kepada Kapolres untuk disetujui
penghentian penyidikan atas kasus perkara yang akan diselesaikan melalui
restorative justice. Setelah Kapolres menyetujui penghentian penyidikan, kemudian
reserse narkoba akan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan surat
ketetapan penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum.
Disampaikan oleh Aiptu Supardi pada wawancara tanggal 09 Maret 2023,
Surat perintah dan surat ketetapan yang telah diterbitkan dan ditandatangani oleh
Kanit Reserse Narkoba Polrestas Bengkulu dan Kapolres Polresta Bengkulu,
selanjutnya akan digunakan untuk melakukan pencatatan di buku register Keadilan
Restoratif penghentiaan Penyidikan dan dihitung sebagai penyelesaian perkara.
Penghentian penyidikan ini kemudian dibuatkan surat pemberitahuannya dan
dikirimkan kepada jaksa penuntut umum bahwa atas kasus perkara tersebut telah
dilakukan penghentian penyidikan. Tidak lupa pula, hasil assessment para
penyalahguna tersebut akan selalu dilampirkan bersamaan dokumen-dokumen
tersebut. Selain berkas fisik, data penyelesaian kasus melalui keadilan restoratif dan
penghentian penyidikan ini akan dimasukkan ke sistem elektronik manajemen
penyidikan milik Polresta Bengkulu.
Seluruh proses pada tahap keenam ini telah dilakukan penyidik polisi, maka
kemudian penyidik polisi akan memberitahukan kepada penyalahguna bahwa
16

permohonan yang diajukan oleh penyalahguna sudah diproses yang disetujui untuk
dilakukan pengehentian penyidikan. Disampikan pula oleh Nopri Mardian, pada
tanggal 16 September 2022, Nopri diberitahu bahwa kasus perkaranya sudah
dikabulkan oleh Kapolres untuk diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif
(restorative justice). Di hari yang sama, Nopri juga diberitahu, tanggal 20
September 2022, Nopri akan diantarkan ke BNN Kota Bengkulu, untuk dilakukan
serah terima penyalahguna untuk mendapatkan rehabilitasi oleh pihak BNN.

Pada keenam tahapan yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian, penyalahguna
narkotika dan seluruh pihak terkait yang termasuk ke dalam tahapan tersebut, maka
selanjutnya masuk ke prosedur selanjutnya, yaitu serah terima penyalahguna narkotika
dari pihak kepolisian kepada pihak BNN. Pada tanggal 20 September 2022, Nopri
diantarkan ke BNN Kota Bengkulu oleh penyidik polisi beserta keluarga Nopri untuk
serah terima kepada pihak BNN. Kemudian, Nopri langsung dibawa oleh pihak BNN
ke Balai Rehabilitasi Narkotika BNNP Bengkulu yang terletak di Padang Serai. Dalam
proses serah terima tersebut, dibuatkan berita acaranya yang kemudian ditandatangi
oleh penyidik polisi dan pihak BNN yang terlibat dalam proses serah terima tersebut.
Mulai dari tahap ini, penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui
restorative justice telah dilaksanakan, namun belum dikatakan telah selesai, karena
nantinya penyidik polisi setiap minggu akan menerima laporan perkembangan
rehabilitasi yang dilakukan oleh para penyalahguna.
Penyalahguna yang sudah menjalani prosedur rehabilitasi medis di Balai
Rehabilitasi BNN dan dinyatakan telah pulih oleh pihak BNN belum dapat dikatakan
penyelesaian kasus perkaranya melalui restorative justice telah selesai dilakukan.
Karena perlu diketahui, ketika seorang penyalahguna yang telah keluar dari pusat
rehabilitasi, selanjutnya harus melaporkan kepada penyidik polisi yang menangani
kasus perkaranya bahwa ia telah selesai menjalani proses rehabilitasi. Dari kesaksian
Nopri Mardian juga ia jelaskan, pada saat Nopri sudah pulang, Nopri masih harus
melaporkan kepada penyidik polisi yang menangani kasusnya bahwa Nopri sudah
selesai menjalani proses rehabilitasi di Balai Rehabilitasi BNNP Bengkulu, dan
dinyatakan telah bersih dari narkotika. Ketika seluruh urusan dengan penyidik
kepolisian selesai, barulah Nopri secara sah dianggap telah benar-benar selesai terkait
proses hukum yang dijalankannya. Maka dari itu, proses restorative justice akan
terpenuhi atau selesai dilaksanakan ketika penyalahguna yang telah melakukan
17

rehabilitasi medis melaporkan hasil rehabilitasinya kepada penyidik polisi yang


menangani kasus perkara, yang menandakan bahwa atas kasus perkaranya telah
dinyatakan selesai dalam proses hukumnya.
Berdasarkan analisis penulis dari hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa
prosedur yang dilakukan oleh penyidik kepolisian sudah sesuai sebagaimana yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan, terkhususnya Peraturan Polisi Nomor 8
Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keseluruhan tahapan yang harus dilakukan sudah terpenuhi mulai dari tertangkap
tangan penyalahguna hingga penyalahguna dinyatakan selesai menjalani rehabilitasi
medis sebagai bentuk restorative justice yang didapatnya. Dengan berkolaborasi
bersama beberapa pihak dalam proses assessment dan juga dengan pihak BNN dalam
melakukan rehabilitasi sebagai bentuk restorative justice yang didapatkan oleh
penyalahguna narkotika, proses penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika
melalui restorative justice telah dijalankan dengan baik dan sesuai dengan pedoman
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, melihat dampak dan/atau
hasil yang terlihat dari proses rehabilitasi yang dijalani oleh para penyalahguna yang
merupakan hasil dari restorative justice itu sendiri, membawa dampak baik bagi para
pihak terkait dalam kasus perkara penyalahguna narkotika. Terutama bagi
penyalahguna yang mendapatkan restorative justice. Selain penyalahguna yang tidak
dikenakan pemidanaan berupa pidana penjara, penyalahguna dapat memperbaiki
dirinya untuk lepas dan pulih dari pengaruh obat-obatan terlarang tersebut.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan dari restorative justice ini agar seluruh
pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara mendapatkan jalan keluar terbaik, baik
dari pihak pelaku maupun korban. Sehubungan dalam kasus penyalahgunaan narkotika
pelaku dan korban adalah satu orang yang sama, maka dari itu dengan kasus
penyalahguna ini diselesaikan melalui restorative justice, penyalahguna mendapatkan
jalan keluar terbaik untuk dirinya sendiri agar terlepas dari pengaruh narkotika yaitu
berupa pemberian rehabilitasi sebagai hasil dari proses penyelesaian perkaranya
melalui restorative justice. (LANJUTANNYA BELUM)
B. Hambatan Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Narkotika Melalui Restorative
Justice oleh Penyidik Polresta Bengkulu
Dari penelitian yang telah penulis lakukan, penulis menganalisis bahwa ada
beberapa hambatan yang terjadi pada penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika
18

melalui restorative justice oleh penyidik Polresta Bengkulu, penjelasannya sebagai


berikut :
a) Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tidak mengatur secara eksplisit terkait
batasan berat narkotika sebagai barang bukt yang menjadi syarat
penyelesaian kasus perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative
justice oleh penyidik.

Dalam Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak


Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dimuat dalam Pasal 7 bahwasanya tindak
pidana narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang dapat diselesaikan
melalui restorative justice dengan diharuskan memenuhi beberapa persyaratan
khusus yang diatur dalam peraturan yang sama. Persyaratan khusus yang dimaksud
diatur dan dijelaskan pada Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun
2021. Akan tetapi, pada ayat (1) poin b disebutkan bahwasanya pada saat
penyalahguna narkotika tertangkap tangan ditemukan barang bukti narkoba
pemakaian 1 (satu) hari dengan penggolongan narkotika dan psikotropika sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud pada Pasal 9
ayat (1) poin b adalah SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika dalam Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Sosial. Hal tersebut dikarenakan hanya dalam SEMA
Nomor 4 Tahun 2010 yang menyebutkan batasan berat narkotika yang ditemukan
pada saat tertangkap tangan untuk kemudian menjadi acuan dalam pemberian
rehabilitasi kepada penyalahguna tersebut. Permasalahannya adalah, mengapa
Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tidan mengatur secara eksplisit mengenai
batasan berat narkotika tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa SEMA
hanya mengikat ke dalam lingkungan peradilan saja, yang berarti Kepolisian RI
tidak diwajibkan untuk tunduk terhadap surat edaran yang menjadi produk hukum
dari Mahkamah Agung tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, dengan masih bergantungnya Perpol Nomor 8
Tahun 2021 terhadap SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dalam hal penetapan batasan
berat narkotika yang menjadi ketentuan untuk seseorang dapat menjalani
rehabilitasi atau tidak, menjadi salah satu hambatan dalam penyelesaian kasus
perkara narkotika melalui restorative justice oleh penyidik polisi. Seharusnya
19

Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 mengatur secara jelas dan terperinci
mengenai batasan berat narkotika tersebut, agar tidak menjadikan SEMA sebagai
dasar hukum dalam penentuan batasan berat narkotika guna memberikan
rehabilitasi sebagai bentuk hasil penyelesaian melalui restorative justice oleh
penyidik polisi dalam kasus perkara penyalahgunaan narkotika.
b) Penetapan jangka waktu yang relative singkat pada proses assessment yang
dilakukan kepada penyalahguna narkotika oleh Tim Assesment Terpadu
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa setelah
penyidik polisi melakukan pemeriksaan awal dan melakukan pengamatan terhadap
suatu kasus perkara penyalahgunaan narkotika, selanjutnya penyidik polisi akan
membuat keputusan awal bahwa kasus perkara tersebut dimungkinkan untuk
diselesaikan melalui restorative justice. Dengan kondisi dimana sudah memenuhi
beberapa ketetuan yang diatur dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021 dan SEMA
Nomor 4 Tahun 2010, yang salah satunya barang bukti narkotika yang ditemukan
beratnya tidak boleh melebihi ketentuan yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun
2010.
Penyidik kepolisian akan mengkonfirmasi kepada penyalahguna dan
keluarga bahwa kasus perkara tersebut dimungkinkan untuk dilakukan restorative
justice, namun memang hasil melalui proses assessment terlebih dahulu oleh Tim
Assesment Terpadu. Permohonan untuk dilakukan assessment terhadap kasus
perkara narkotika selanjutnya akan diberikan oleh penyidik polisi kepada pihak
BNN yang merupakan salah satu dari Tim Assesment Terpadu, dan dalam kurun
waktu paling lama 3x24 jam permohonan tersebut harus mendapatkan jawaban.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, ada satu kasus yang terjadi
keterlambatan pemberian jawaban oleh Tim Assesment Terpadu, yang seharusnya
paling lama 3x24 jam, namun jawaban tersebut dijawab pada hari keempat atau
dapat dikatakan terlambat 1 (satu) hari dari batas waktu yang ditentukan. Hal
tersebut juga dikonfirmasi oleh Aiptu Supardi saat wawancara tanggal 09 Maret
2023, beliau mengatakan untuk kasus perkara atas nama Tory Afrizal sedikit
mengalami keterlambatan dikarenakan ada perwakilan pihak dari BNN yang
seharusnya melakukan assesment sedang menjalani tugas dinas ke luar kota,
sehingga dari batas waktu yang ditentukan, akhirnya mengalami keterlambatan
dikarenakan menunggu kepulangan analais BNN ke Bengkulu.
20

Seharusnya proses assessment dapat segera dilakukan apabila Tim


Assesment Terpadu dari pihak BNN sedang berada di Bengkulu. Dikarenakan
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 4 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (3) Peraturan
Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi tahun 2014, bahwa hasil sssesment
keluar paling lama 6 (enam) hari sejak diterimanya permohonan dari penyidik,
apabila keterlambatan seperti hal nya diatas terus berkelanjutan, pastinya
menghambat proses assessment terhadap penyalahguna narkotika.

c) Kurangnya Sumber Daya Manusia dalam Tim Assesment Terpadu


Dengan adanya keterlambatan proses assessment yang dikarenakan salah
satu anggota Tim Assesment Terpadu sedang menjalani dinas luar, hal tersebut
berarti adanya kekurangan SDM yang ditugaskan untuk melakukan assessment di
dalam Tim Assesment Terpadu. Jumlah anggota Tim Assesment Terpadu tidak
diatur secara eksplisit oleh undang-undang, namun disebutkan dalam Pasal 8 ayat
(2) Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi tahun 2014 yang
berbunyi :
(2) Tim Assesmen Terpadu yang dimaksud dalam ayat (1) diusulkan
oleh masing-masing pimpinan instansi terkait di tingkat Nasional,
Propinsi dan Kab/Kota dan ditetapkan oleh Kepala Badan
Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Propinsi, Badan
Narkotika Nasional Kab/Kota

Berdasarkan muatan Pasal 8 ayat (2), Tim Assesment Terpadu tidak


memiliki batas jumlah anggota yang diusulkan untuk menjadi Tim Assesment
Terpadu, karena itu merupakan wewenang dari masing-masing pemimpin instansi
terkait untuk mengusulkan anggotanya. Dari hasil penelitian penulis, antara intansi
yang ada di dalam Tim Assesment Terpadu mengusulkan nama anggota dengan
jumlah yang berbeda. Disampaikan oleh Aiptu Supardi pada wawancara tanggal 09
Maret 2023, dari Polrestas Bengkulu yang diusulkan untuk menjadi Tim Analis
dalam Tim Assesment Terpadu sebanyak 2 (dua) orang. Disampaikan pula oleh
Bapak Hendra Rusdianto pada wawancara tanggal 01 Maret 2023, pihak BNN
mengusulkan sebanyak 3 (tiga) orang untuk menjadi Tim Analis dalam Tim
Assesment Terpadu.
21

Dari jumlah anggota yang diusulkan dari masing-masing instansi, hal


tersebut masih dinilai kurang cukup untuk memaksimalkan kinerja dari Tim
Assesment Terpadu. Dengan melihat kejadian adanya salah satu dari anggota Tim
Assesment Terpadu sedang mejalani dinas luar, sehingga mengakibatkan
keterlambatan proses assessment. Penulis berpendapat, dikarenakan berdasaran
peraturan perundang-undangan bahwa kepala instansi diberikan wewenang untuk
mengusulkan nama-nama anggotanya untuk menjadi Tim Analisi di dalam Tim
Assesment Terpadu, ada baiknya diusulkan nama-nama yang ditetapkan sebagai
anggota Tim Assesment Terpadu dan juga nama-nama yang menjadi pengganti
dan/atau cadangan Tim Analisis untuk selanjutnya dapat dialihkan dan/atau
dimandatkan tugas analisis tersebut kepada mereka. Dengan pertimbangan, melalui
kebijakan tersebut, maka kinerja Tim Assesment Terpadu dapat berjalan dengan
baik dan sesuai peraturan perundang-undangan tanpa menimbulkan hambatan
seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya.
d) Ketidakterbukaan informasi terkait anggaran yang dipergunakan untuk
membiayai proses rehabilitasi penyalahguna Narkotika
Para penyalahguna narkotika yang menjalani rehabilitasi medis di Balai

Rehabilitasi BNN sebagai bentuk hasil dari penyelesaian kasus perkaranya melalui

restorative justice sama sekali tidak dipungut biaya apapun untuk proses

rehabilitasinya. Hal tersebut dikarenakan proses rehabilitasi tersebut dibiayai oleh

pemerintah untuk pelaksanaan. Pelimpahan anggaran tersebut menjadi tanggung

jawab Badan Narkotika Nasional selaku pihak yang akan melaksanakan proses

rehabilitasi tersebut.

Perlu diketahui, bahwa anggaran yang diberikan pemerintah kepada BNN

tersebut termasuk juga didalamnya untuk digunakan kepada penyalahguna dan/atau

pecandu narkotika yang berasal dari hasil pemeriksaan dari pihak BNN. Dapat

dikatakan bahwa anggaran tersebut tidak serta merta diperuntukan untuk

membiayai proses rehabilitasi yang dijalani oleh penyalahguna hasil dari proses

restorative justice. Jumlah anggaran yang diterima BNN untuk membiayai proses
22

rehabilitasi antar tiap daerah berbeda-beda. Sebagai contoh, pada tahun 2022

kemarin, pemerintah Provinsi Sumatera Utara menanggung biaya rehabilitasi 1.000

pecandu narkotika, dengan anggaran satu pasien Rp.2.000.000 untuk sebulan.

Dengan total biaya yang dialokasikan yaitu sebanyak Rp. 6 miliar.10 Namun, dari

wawancara penulis dengan pihak BNN, pihak BNN tidak memberitahu berapa total

anggaran yang disediakan pemerintah untuk membiayai proses rehabilitasi pecandu

narkotika di Kota Bengkulu.

Berdasarkan hal tersebut, disampaikan oleh Aiptu Supardi saat wawancara

tanggal 09 Maret 2023, bahwa memang untuk pelaksanaan rehabilitasi di Balai

Rehabilitasi BNN itu cukup terbatas, atau dapat dikatakan ada kuota tertentu yang

ditetapkan oleh BNN, dan untuk penyalahguna yang mendapatkan restorative

justice memakai biaya yang sama untuk menjalani proses rehabilitasi. Dengan

keadaan seperti itu, jika terdapat kasus perkara penyalahgunaan narkotika yang

diselesaikan melalui restorative justice, dan kemudian ternyata kuota untuk

mendapatkan rehabilitasi secara gratis oleh pemerintah sudah habis, maka

penyalahguna akan menggunakan biaya sendiri untuk menjalani proses rehabilitasi

tersebut.

Hal tersebut dinilai cukup tidak adil dan membebankan pihak penyalahguna,

karena ada beberapa penyalahguna yang digratiskan proses rehabilitasinya, namun

ada beberapa yang harus membayar secara mandiri proses rehabilitasinya. Tidak

ada jaminan juga penyalahguna tersebut mampu membiayai dirinya sendiri untuk

membayar proses rehabilitasi tersebut. Dengan kurangnya anggaran tersebut dinilai

menjadi hambatan dalam proses penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika

10
Gloria Setyvani Putri, Pemprov Sumut Tanggung Biaya Rehabilitasi 1.000 Pecandu Narkoba, Satu
Pasien Rp.2 Juta untuk Sebulan, diakses pada alamat link
https://medan.kompas.com/read/2022/06/28/070741678/pemprov-sumut-tanggung-biaya-rehabilitasi-1000-
pencandu-narkoba-satu-pasien-rp
23

melalui restorative justice oleh penyidik Polresta Bengkulu. Mengingat Polresta

Bengkulu tidak memiliki tempat rehabilitasi sendiri, maka harus bekerja sama

dengan BNN untuk melakukan proses rehabilitasi terhadap kepada penyalahguna.

Sedangkan pembiayan proses rehabilitasi yang disediakan pemerintah disatukan

antara penyalahguna yang mendapatkan restorative justice dengan penyalahguna

dan/atau pecandu yang merupakan hasil dari pemeriksaan BNN (bukan hasil proses

restorative justice).

Berdasarkan analisis penulis, hambatan-hambatan yang terjadi dapat

mengganggu proses penyelesaian kasus perkara narkotika melalui restorative justice.

Mulai dari tidak diatur secara eksplisit terkait batasan berat narkotika yang menjadi

syarat kasus perkara narkotika dapat diselesaikan melalui restorative justice, hingga

menghambat beberapa tahapan dalam proses penyelesaiannya , yaitu pada tahap kedua

dan tahap ketiga. Tahap kedua dalam proses penyelesaian kasus perkara melalui

restorative justice yaitu penyidik polisi akan mengajukan permohonan kepada Tim

Assesment Terpadu untuk melakukan assessment terhadap kasus perkara narkotika

yang diajukannya. Tahap kedua ini memiliki tempo waktu selama 3x24 jam untuk

kemudian Tim Assesment Terpadu menjawab permohonan tersebut, akan tetapi dengan

waktu yang cukup singkat dan dengan adanya salah satu anggota tim assessment sedang

melakukan dinas luar, sehingga menyebabkan kertelambatan 1 (hari) dari batas waktu

yang ditentukan. Masih berkaitan yang tahap kedua, tahap ketiga dalam proses

penyelesaian yaitu hasil assessment harus keluar paling lama (6) hari sejak diterimanya

permohonan. Dengan kurangnya SDM dalam Tim Assesment Terpadu, menyebabkan

keterlambatan dalam proses assessment dan akan menghambat tahap ketiga ini untuk

dilaksanakan. Dalam hasil assessment juga dimuat mengenai tempat dan lama waktu

rehabilitasi. Berkaitan dengan hambatan ketiga, bahwa kurangnya anggaran yang


24

disediakan untuk mengakomodasi proses rehabilitasi para penyalahguna menyebabkan

adanya penyalahguna yang nantinya akan membiayai proses rehabilitasinya sendiri

tanpa mendapatkan akomodasi dari pemerintah. Dari hal tersebut akan menyebabkan

ketidakadilan bagi penyalahguna yang mendapatkan restorative justice namun harus

membayar sendiri proses rehab yang akan dijalaninya.

IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada hasil penelitian serta penjelasan pada bab sebelumnya, maka
ada beberapa poin inti yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice oleh


penyidik polresta Bengkulu sudah dilakukan sebagaimana yang diatur oleh
Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021. Prosedur yang dilakukan oleh penyidik
kepolisian juga sudah mengacu terhadap peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukum pelaksanaan restorative justice yang dilakukan oleh penyidik.
Keenam tahapan yang harus dilakukan dalam proses penyelesaian perkara
penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice sudah berjalan dengan baik,
mulai dari pelaku tertangkap tangan, penyidik polisi mengajukan permohonan
assessment, assessment oleh Tim Assesment Terpadu, pengajuan permohonan
penghentian penyelidikan oleh penyalahguna, penyidik menerima permohonan dan
menyiapkan berkas untuk gelar perkara, hingga disetujuinya proses penyelesaian
perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice oleh Kapolres
Bengkulu.
2. Terdapat 4 (Empat) Hambatan yang terjadi pada proses penyelesaian kasus perkara
penyalahguna narkotika melalui restorative justice, yaitu :
1) Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tidak mengatur secara eksplisit terkait
batasan berat narkotika sebagai barang bukti yang menjadi syarat penyelesaian
kasus perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice oleh
penyidik.
2) Terhambatnya Tim Assesment Terpadu pada saat akan melakukan assessment
terhadap perkara penyalahgunaan narkotika terkendala jangka waktu yang
singkat, yaitu hanya dalam waktu 3x24 jam untuk menjawab permohonan, dan
6x24 jam untuk melakukan assessment sejak permohonan dikabulkan.
25

3) Kurangnya sumber daya manusia yang ditugaskan untuk melakukan assesment


di dalam Tim Assesment Terpadu
4) Kurangnya anggaran yang disediakan pemerintah untuk membiaya proses
rehabilitasi bagi para penyalahguna yang mendapatkan restorative justice.
B. SARAN
Berikut beberapa saran yang penulis berikan berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dalam skripsi ini :

1. Diharapkan di masa yang akan datang, Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 dapat
diperbaiki dan/atau direvisi agar mengatur secara eksplisit terkait batasan berat
narkotika yang menjadi syarat suatu perkara narkotika dapat diselesaikan melalui
restorative justice;
2. Diharapkan bagi Kepala Instansi yang termasuk ke dalam Tim Assesment Terpadu
untuk melakukan reorganisasi terkait anggotanya yang diusulkan untuk menjadi tim
analis pada Tim Assesment Terpadu. Agar keterlambatan proses assessment tidak
terjadi lagi untuk kedepannya;
3. Diharapkan bagi Pemerintah, agar dapat memisahkan pembiayaan antara anggaran
rehabilitasi untuk Badan Narkotika Nasional dengan anggaran rehabilitasi untuk
penyalahguna yang mendapatkan restorative justice. Supaya dapat memberikan
kepastian dan jaminan, bahwa penyalahguna narkotika yang menjalani rehabilitasi
sebagai hasil dari proses restorative justice tidak dikenakan biaya sama sekali
26

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Soekedy, Menyiram Bara Narkoba ‘Semakin Tahu Akibatnya, Semakin Siap
Menolaknya’, PT. Dyatama Milenia, Jakarta, 2003

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif

SEMA Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban


Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis
dan Rehabilitasi Sosial

Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban


Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi tahun 2014

C. WEBSITE/INTERNET

Direktori Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Bengkulu, diakses pada laman web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html

Gloria Setyvani Putri, Pemprov Sumut Tanggung Biaya Rehabilitasi 1.000 Pecandu
Narkoba, Satu Pasien Rp.2 Juta untuk Sebulan, diakses pada alamat link
https://medan.kompas.com/read/2022/06/28/070741678/pemprov-sumut-
tanggung-biaya-rehabilitasi-1000-pencandu-narkoba-satu-pasien-rp
Putusan dengan Nomor Register 415/Pid.Sus/2021/PN.Bgl,diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec6e82207e332cae09
303634393331.html

Putusan dengan Nomor Register 429/Pid.Sus/2021/PN.Bgl, diakses pada lama web


https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec7e39bca2a44c9b86
303635313338.html

Putusan dengan Nomor Register 146/Pid.Sus/2022/PN.Bgl, diakses pada lama web


https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaecf1bc46ee5e7a8fcc3
03634353438.html

Viva Budy Kusnandar, Penghuni Lapas dan Rutan Kelebihan Kapasitas 109% pada
Semptember 2022, diakses pada 21 Desember 2022 pukul 15.17 WIB, pada
laman web https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/23/penghuni-
lapas-dan-rutan-kelebihan-kapasitas-109-pada-september-2022

You might also like