Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
The process of resolving narcotics abuse cases through restorative justice by Bengkulu
Police investigators during 2022, was applied to only 3 (three) cases out of a total of 56 (fifty
six) cases of narcotics handled in the same year. From this, it is interesting to find out how the
settlement process and what obstacles were faced by Bengkulu Police investigators. This study
aims to analyze and describe the settlement of narcotics abuse cases through restorative justice
by Bengkulu Police investigators and the obstacles in the settlement process. The research
method used is empirical research or juridical-sociological research with a non-doctrinal
approach. Sources of research in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials.
Methods of collecting legal materials by means of interviews and document studies. Data
processing method with the stages of data checking (editing) and data tagging (coding). The
analytical method used is a qualitative method. The research results obtained show that: (1)
The settlement of narcotics abuse cases through restorative justice by Bengkulu Police
investigators has been carried out as regulated by Police Regulation Number 8 of 2021. The
procedures carried out by police investigators have also referred to other laws and regulations
that become the legal basis for the implementation of restorative justice for the settlement of
narcotics crimes, such as SEMA number 4 of 2010, Joint Regulation of 2014 and also the
Narcotics Law; (2) There are 4 (four) obstacles that occur in the process of resolving narcotics
abuse cases through restorative justice, the first Police Regulation Number 8 of 2021 does not
explicitly regulate the weight limit of narcotics as evidence which is a requirement for resolving
narcotics cases through restorative justice by investigators, delays in the Integrated
Assessment Team when conducting an assessment of narcotics abuse cases constrained by a
short period of time, lack of human resources assigned to carry out assessments within the
Integrated Assessment Team and fourthly, the lack of a budget provided by the government to
finance the rehabilitation process for abusers who get restorative justice.
Keyword : Narcotics Abuse, Restorative Justice, Investigation
2
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang
menyumbang sebagian besar narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Intensitas kejahatan narkotika sangat tinggi dan selalu naik hampir setiap tahunnya pada
tiap daerah di Indonesia. Indonesia pada tahun 90-an hanya dijadikan sebagai tempat
transit bagi barang terlarang tersebut, namun di zaman sekarang, Indonesia menjadi
tempat transaksi jual beli dari berbagai macam jenis narkoba, bahkan sudah menjadi
salah satu negara produsen.1
1
Soekedy, Menyiram Bara Narkoba ‘Semakin Tahu Akibatnya, Semakin Siap Menolaknya’, PT. Dyatama
Milenia, Jakarta, 2003, hlm 59
3
2
Viva Budy Kusnandar, Penghuni Lapas dan Rutan Kelebihan Kapasitas 109% pada Semptember 2022,
diakses pada 21 Desember 2022 pukul 15.17 WIB, pada laman web
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/23/penghuni-lapas-dan-rutan-kelebihan-kapasitas-109-
pada-september-2022
3
ibid
4
Pasal 1 ayat (3) Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan
Restoratif
4
Peraturan ini menjadi landasan hukum dan pedoman bagi penyidik dan penyidik
Polri melakukan penyidikan, memberikan jaminan perlindungan dan pengawasan
hukum. Hal ini sejalan dengan penerapan prinsip restorative justice dalam konsep
penyidikan pidana untuk memajukan kepentingan dan rasa keadilan masyarakat,
sehingga terjadi keseragaman pemahaman dan penerapan keadilan restoratif di
kepolisian. Penanganan kejahatan berdasarkan keadilan restoratif merupakan tahapan
kepolisian dalam mewujudkan penyelesaian perkara dengan mengutamakan rasa
keadilan yang menekankan pada pemulihan hingga keadaan semula dan menjamin
keseimbangan antara perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana
tanpa bertujuan untuk memberikan pemidanaan.
Penanganan dengan pendekatan keadilan restoratif dilaksanakan dengan
beberapa syarat dan ketentuan serta macam-macam tindak pidana apa saja yang dapat
diberikan penanganan melalui pendekatan keadilan restoratif. Tindak pidana narkotika
masuk kedalam salah satu tindak pidana yang dapat diberikan penanganan berdasarkan
keadilan restoratif pada tahap penyelidikan dan penyidikan, dengan memperhatikan
berbagai syarat, ketentuan dan prosedur yang harus dijalankan terlebih dahulu.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Nomor 04 Tahun 2010
tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial pada poin 2, salah satu
persyaratan suatu perkara tindak pidana narkotika diselesaikan dengan pendekatan
keadilan restoratif yaitu ketika pelaku tindak pidana narkotika tertangkap, dan positif
menggunakan narkoba, ditemukan barang bukti pemakaian satu hari berupa:
Tabel 1
Jenis Narkoba dan berat maksimum untuk Restorative Justice
1 “Kelompok Metamphetamine (Shabu)” : “1 gram”
2 “Kelompok MDMA (Ekstasi)” : “2,4 gram = 8 Butir”
3 “Kelompok Heroin” : “1,8 gram”
4 “Kelompok Kokain” : “1,8 gram”
5 “Kelompok Ganja” : “5 gram”
6 “Daun Koka” : “5 gram”
7 “Meskalin” : “5 gram”
8 “Kelompok Psilosybin” : “3 gram”
9 “Kelompok LSD” : “2 gram”
5
Gambar 1
Alur pemberian restorative justice pada Tahap Penyidikan
6
Dalam Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 pada Pasal 9 ayat (1) juga
disebutkan bahwasanya ketika ada pelaku penyalahgunaan narkotika dengan barang
bukti yang tidak melebihi batas ketentuan dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010, maka
dapat diberikan restorative justice kepadanya. Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021
disahkan pada tanggal 19 Agustus 2021 dan mulai diberlakukan mulai tanggal 20
Agustus 2021. Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak sebagaimana yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Nyatanya di lapangan masih ada
beberapa kasus penyalahgunaan narkotika dengan pemakaian dibawah batas yang telah
ditetapkan, dan seharusnya dapat diselesaikan dengan restorative justce, namun pelaku
tetap diberikan pidana penjara bertahun-tahun tanpa mendapatkan rehabilitasi baik
rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Sehingga, dengan hal tersebut, selain
akan menyebabkan overcapacity dalam Lembaga Pemasyarakatan, juga berdampak
buruk bagi penyalahgunaan narkotika yang baru pertama kali menggunakan dan/atau
baru pertama kali melakukan tindak pidana narkotika. Hal ini dapat dilihat dari data
per 19 September 2022, sebanyak 125.288 narapidana narkotika kategori pengguna 5.
Kasus penyalahgunaan narkotika di Kota Bengkulu juga masih banyak terjadi.
Kasus-kasus penyalahgunaan yang digunakan diri sendiri dalam jumlah kecil yang
mendapatkan pemidanaan pidana penjara bertahun-tahun. Berikut beberapa contoh
kasus penyalahgunaan narkotika yang diberikan pemidanaan pidana penjara pasca
disahkannya Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 20216 :
1) Perkara nomor 415/Pid.Sus/2021/PN.Bgl, yang dilakukan oleh pelaku bernama
Mawardi Saputra, berusia 28 Tahun. Pelaku tertangkap tangan oleh polisi pada
tanggal 19 September 2021, dan kedapatan membawa narkotika golongan I jenis
shabu seberat 0.08 gram. Pada saat dites urine, pelaku positif menggunakan
narkotika. Kasus perkara ini merupakan penyalahgunaan narkotika dan pelaku
dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun;7
2) Perkara nomor 429/Pid.Sus/2021/PN.Bgl, yang dilakukan oleh pelaku bernama
Supangat Dyanto, berusia 42 tahun. Pelaku tertangkap tangan pada 05 Oktober
2021, dan membawa narkotika golongan I jenis Shabu seberat 0.64 gram, dan tes
5
Viva Budy, Loc.Cit
6
Bersumber dari Direktori Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Kota Bengkulu, diakses pada laman
web https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html
7
Putusan dengan Nomor Register 415/Pid.Sus/2021/PN.Bgl,diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec6e82207e332cae09303634393331.html
7
8
Putusan dengan Nomor Register 429/Pid.Sus/2021/PN.Bgl, diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec7e39bca2a44c9b86303635313338.html
9
Putusan dengan Nomor Register 146/Pid.Sus/2022/PN.Bgl, diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaecf1bc46ee5e7a8fcc303634353438.html
8
Sebagaimana penjelasan berdasarkan data yang telah penulis dapatkan dari pra-
penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa penyelesaian perkara
penyalahgunaan narkotika di Bengkulu masih sangat rendah dengan membandingkan
data perkara yang diselesaikan di Pengadilan Negeri dengan jumlah perkara yang
diselesaikan melalui pendekatan restorative justice di tahap penyidikan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian skripsi
dengan judul “PENYELESAIAN PERKARA PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA MELALUI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK
POLRESTA BENGKULU”
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan penyelesaian perkara penyalahgunaan
narkotika melalui restorative justice oleh penyidik polresta Bengkulu.
2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan hambatan penyidik polresta Bengkulu
dalam melaksanakan penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui
restorative justice.
III. PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Perkara Penyalahgunaan Narkotika Melalui Restorative Justice oleh
Penyidik Polresta Bengkulu
Penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice
merupakan suatu hal baru yang diterapkan dalam pelaksanaan hukum di Indonesia.
9
Setiap tahap proses hukum yang ada, dapat diterapkan didalamnya penyelesaian
melalui restorative justice, selagi belum masuk pada tahap persidangan, yaitu mulai
dari tahap penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Salah satu peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal tersebut yaitu Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun
2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan
tersebut menjadi pedoman penyidik kepolisian dalam menyelesaikan berbagai kasus
perkara melalui restorative justice, termasuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 7 Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 yang
berbunyi :
Berdasarkan muatan Pasal 7 tersebut, dapat dilihat bahwa jika suatu tindak
pidana penyalahgunaan narkotika dapat diselesaikan melalui restorative justice dengan
sebelumnya harus memenuhi persyaratan khusus yang diatur pada peraturan yang
sama. Persyaratan khusus tersebut dimuat dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan
Polisi Nomor 8 Tahun 2021, yang berisi:
1. Persyaratan khusus untuk Tindak Pidana Narkoba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b, meliputi:
a. pecandu Narkoba dan korban penyalahgunaan Narkoba yang
mengajukan rehabilitasi;
b. pada saat tertangkap tangan:
1) ditemukan barang bukti Narkoba pemakaian 1 (satu) hari dengan
penggolongan narkotika dan psikotropika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
2) tidak ditemukan barang bukti Tindak Pidana Narkoba, namun hasil
tes urine menunjukkan positif Narkoba;
c. tidak terlibat dalam jaringan Tindak Pidana Narkoba, pengedar dan/atau
bandar;
d. telah dilaksanakan asesmen oleh tim asesmen terpadu; dan
e. pelaku bersedia bekerja sama dengan penyidik Polri untuk melakukan
Penyelidikan lanjutan.
2. Tim asesmen terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 9 ayat (1) poin b, menyebutkan bahwa pada saat tertangkap tangan,
haruslah ditemukan barang buki narkoba dengan pemakaian 1 (satu) hari dengan
10
1. Tahap pertama, Pelaku tertangkap tangan atas kasus Narkotika dengan barang
bukti kurang atau sama dengan ketentuan batas berat narkotika yang ditemukan.
(SEMA Nomor 04 Tahun 2010, pada poin 2 huruf a dan b)
3) Rio Noprianto, dengan barang bukti berupa narkotika jenis shabu-shabu seberat
0.55 gram, dengan hasil test urine postifi narkoba.
Selain itu, para pelaku penyalahguna yang tertangkap tangan ini kemudian
di periksa oleh penyidik kepolisian untuk diketahui apakah ada kemungkinan
daripada mereka terlibat dalam jaringan pengedar narkotika. Apabila dari asil
pemeriksaan awal penyidik kepolisian mengatakan bahwa para pelaku ini tidak
termasuk kedalam jaringan pengedar narkotika, maka selanjutkan penyidik
kepolisian dapat melakukan tahap kedua.
2. Tahap Kedua, Polisi meminta kepada Tim Assesment Terpadu untuk menganalisis
kasus tersebut, apakah pelaku termasuk penyalahguna, pengedar atau korban. (Pasal
9 ayat (2) Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi tahun 2014)
Ketika penyidik polisi telah melakukan tahap pertama, lalu penyidik dapat
mengirimkan permohonan kepada Tim Asessment Terpadu untuk ditindaklanjuti
dengan melakukan assessment lebih lanjut terkait kasus tersebut. Disampaikan juga
oleh salah satu penyalahguna yang atas kasusnya diselesaikan melalui restorative
justice, Nopri Mardian mengatakan bahwa penyidik polisi juga mengkonfirmasi
kepadanya dan keluarga bahwa kasus perkara Nopri dapat diselesaikan melalui
restorative justice karena dari hasil pemeriksaan awal, Nopri dimungkinkan untuk
mendapatkan restorative justice, yang nantinya berupa pelaksanaan rehabilitasi
medis yang akan dilakukan oleh Nopri.
Apabila permohonan penyidik polisi telah disampaikan kepada Tim
Assesment Terpadu, yang dalam hal menerima permohonan adalah salah satu Tim
Assesment yaitu Pihak BNN, maka dalam waktu 3x24 jam permohonan tersebut
haruslah mendapatkan jawaban dari Tim Assesment Terpadu. Hal tersebut
disampaikan pula oleh Analis Intelejen Taktis, Bapak Hendra Rusdiato, saat
wawancara tanggal 01 Maret 2023, setelah permohonan untuk melakukan
Assesment itu masuk yang salah satunya dari penyidik polisi, pihak BNN akan
menghubungi para anggota yang termuat dalam Tim Assesment Terpadu untuk
dikonfirmasi terkait hal tersebut, seperti apakah semua anggota pada hari dan
tanggal yang ditentukan dapat melakukan assessment, begitupula konfirmasi
kesediaan seluruh anggota untuk hadir dalam agenda assessment tersebut.
12
3. Tahap Ketiga, Hasil Assesment keluar paling lama 6 (enam) hari sejak diterimanya
permohonan dari penyidik, yang berisi apakah pelaku termasuk
pengedar/penyalahguna, apakah dapat rehab, seberapa parah pengaruh narkotika
terhadap pelaku. (Pasal 4 ayat (5), Pasal 9 ayat (3) Peraturan Bersama tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi tahun 2014)
Laporan hasil gelar perkara telah disusun oleh penyidik polisi, kemudian
penyidik polisi akan menyerahkan laporan tersebut kepada Kapolres untuk disetujui
penghentian penyidikan atas kasus perkara yang akan diselesaikan melalui
restorative justice. Setelah Kapolres menyetujui penghentian penyidikan, kemudian
reserse narkoba akan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan surat
ketetapan penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum.
Disampaikan oleh Aiptu Supardi pada wawancara tanggal 09 Maret 2023,
Surat perintah dan surat ketetapan yang telah diterbitkan dan ditandatangani oleh
Kanit Reserse Narkoba Polrestas Bengkulu dan Kapolres Polresta Bengkulu,
selanjutnya akan digunakan untuk melakukan pencatatan di buku register Keadilan
Restoratif penghentiaan Penyidikan dan dihitung sebagai penyelesaian perkara.
Penghentian penyidikan ini kemudian dibuatkan surat pemberitahuannya dan
dikirimkan kepada jaksa penuntut umum bahwa atas kasus perkara tersebut telah
dilakukan penghentian penyidikan. Tidak lupa pula, hasil assessment para
penyalahguna tersebut akan selalu dilampirkan bersamaan dokumen-dokumen
tersebut. Selain berkas fisik, data penyelesaian kasus melalui keadilan restoratif dan
penghentian penyidikan ini akan dimasukkan ke sistem elektronik manajemen
penyidikan milik Polresta Bengkulu.
Seluruh proses pada tahap keenam ini telah dilakukan penyidik polisi, maka
kemudian penyidik polisi akan memberitahukan kepada penyalahguna bahwa
16
permohonan yang diajukan oleh penyalahguna sudah diproses yang disetujui untuk
dilakukan pengehentian penyidikan. Disampikan pula oleh Nopri Mardian, pada
tanggal 16 September 2022, Nopri diberitahu bahwa kasus perkaranya sudah
dikabulkan oleh Kapolres untuk diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif
(restorative justice). Di hari yang sama, Nopri juga diberitahu, tanggal 20
September 2022, Nopri akan diantarkan ke BNN Kota Bengkulu, untuk dilakukan
serah terima penyalahguna untuk mendapatkan rehabilitasi oleh pihak BNN.
Pada keenam tahapan yang telah dilakukan oleh pihak kepolisian, penyalahguna
narkotika dan seluruh pihak terkait yang termasuk ke dalam tahapan tersebut, maka
selanjutnya masuk ke prosedur selanjutnya, yaitu serah terima penyalahguna narkotika
dari pihak kepolisian kepada pihak BNN. Pada tanggal 20 September 2022, Nopri
diantarkan ke BNN Kota Bengkulu oleh penyidik polisi beserta keluarga Nopri untuk
serah terima kepada pihak BNN. Kemudian, Nopri langsung dibawa oleh pihak BNN
ke Balai Rehabilitasi Narkotika BNNP Bengkulu yang terletak di Padang Serai. Dalam
proses serah terima tersebut, dibuatkan berita acaranya yang kemudian ditandatangi
oleh penyidik polisi dan pihak BNN yang terlibat dalam proses serah terima tersebut.
Mulai dari tahap ini, penyelesaian perkara penyalahgunaan narkotika melalui
restorative justice telah dilaksanakan, namun belum dikatakan telah selesai, karena
nantinya penyidik polisi setiap minggu akan menerima laporan perkembangan
rehabilitasi yang dilakukan oleh para penyalahguna.
Penyalahguna yang sudah menjalani prosedur rehabilitasi medis di Balai
Rehabilitasi BNN dan dinyatakan telah pulih oleh pihak BNN belum dapat dikatakan
penyelesaian kasus perkaranya melalui restorative justice telah selesai dilakukan.
Karena perlu diketahui, ketika seorang penyalahguna yang telah keluar dari pusat
rehabilitasi, selanjutnya harus melaporkan kepada penyidik polisi yang menangani
kasus perkaranya bahwa ia telah selesai menjalani proses rehabilitasi. Dari kesaksian
Nopri Mardian juga ia jelaskan, pada saat Nopri sudah pulang, Nopri masih harus
melaporkan kepada penyidik polisi yang menangani kasusnya bahwa Nopri sudah
selesai menjalani proses rehabilitasi di Balai Rehabilitasi BNNP Bengkulu, dan
dinyatakan telah bersih dari narkotika. Ketika seluruh urusan dengan penyidik
kepolisian selesai, barulah Nopri secara sah dianggap telah benar-benar selesai terkait
proses hukum yang dijalankannya. Maka dari itu, proses restorative justice akan
terpenuhi atau selesai dilaksanakan ketika penyalahguna yang telah melakukan
17
Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 mengatur secara jelas dan terperinci
mengenai batasan berat narkotika tersebut, agar tidak menjadikan SEMA sebagai
dasar hukum dalam penentuan batasan berat narkotika guna memberikan
rehabilitasi sebagai bentuk hasil penyelesaian melalui restorative justice oleh
penyidik polisi dalam kasus perkara penyalahgunaan narkotika.
b) Penetapan jangka waktu yang relative singkat pada proses assessment yang
dilakukan kepada penyalahguna narkotika oleh Tim Assesment Terpadu
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa setelah
penyidik polisi melakukan pemeriksaan awal dan melakukan pengamatan terhadap
suatu kasus perkara penyalahgunaan narkotika, selanjutnya penyidik polisi akan
membuat keputusan awal bahwa kasus perkara tersebut dimungkinkan untuk
diselesaikan melalui restorative justice. Dengan kondisi dimana sudah memenuhi
beberapa ketetuan yang diatur dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021 dan SEMA
Nomor 4 Tahun 2010, yang salah satunya barang bukti narkotika yang ditemukan
beratnya tidak boleh melebihi ketentuan yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun
2010.
Penyidik kepolisian akan mengkonfirmasi kepada penyalahguna dan
keluarga bahwa kasus perkara tersebut dimungkinkan untuk dilakukan restorative
justice, namun memang hasil melalui proses assessment terlebih dahulu oleh Tim
Assesment Terpadu. Permohonan untuk dilakukan assessment terhadap kasus
perkara narkotika selanjutnya akan diberikan oleh penyidik polisi kepada pihak
BNN yang merupakan salah satu dari Tim Assesment Terpadu, dan dalam kurun
waktu paling lama 3x24 jam permohonan tersebut harus mendapatkan jawaban.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, ada satu kasus yang terjadi
keterlambatan pemberian jawaban oleh Tim Assesment Terpadu, yang seharusnya
paling lama 3x24 jam, namun jawaban tersebut dijawab pada hari keempat atau
dapat dikatakan terlambat 1 (satu) hari dari batas waktu yang ditentukan. Hal
tersebut juga dikonfirmasi oleh Aiptu Supardi saat wawancara tanggal 09 Maret
2023, beliau mengatakan untuk kasus perkara atas nama Tory Afrizal sedikit
mengalami keterlambatan dikarenakan ada perwakilan pihak dari BNN yang
seharusnya melakukan assesment sedang menjalani tugas dinas ke luar kota,
sehingga dari batas waktu yang ditentukan, akhirnya mengalami keterlambatan
dikarenakan menunggu kepulangan analais BNN ke Bengkulu.
20
Rehabilitasi BNN sebagai bentuk hasil dari penyelesaian kasus perkaranya melalui
restorative justice sama sekali tidak dipungut biaya apapun untuk proses
jawab Badan Narkotika Nasional selaku pihak yang akan melaksanakan proses
rehabilitasi tersebut.
pecandu narkotika yang berasal dari hasil pemeriksaan dari pihak BNN. Dapat
membiayai proses rehabilitasi yang dijalani oleh penyalahguna hasil dari proses
restorative justice. Jumlah anggaran yang diterima BNN untuk membiayai proses
22
rehabilitasi antar tiap daerah berbeda-beda. Sebagai contoh, pada tahun 2022
Dengan total biaya yang dialokasikan yaitu sebanyak Rp. 6 miliar.10 Namun, dari
wawancara penulis dengan pihak BNN, pihak BNN tidak memberitahu berapa total
Rehabilitasi BNN itu cukup terbatas, atau dapat dikatakan ada kuota tertentu yang
justice memakai biaya yang sama untuk menjalani proses rehabilitasi. Dengan
keadaan seperti itu, jika terdapat kasus perkara penyalahgunaan narkotika yang
tersebut.
Hal tersebut dinilai cukup tidak adil dan membebankan pihak penyalahguna,
ada beberapa yang harus membayar secara mandiri proses rehabilitasinya. Tidak
ada jaminan juga penyalahguna tersebut mampu membiayai dirinya sendiri untuk
10
Gloria Setyvani Putri, Pemprov Sumut Tanggung Biaya Rehabilitasi 1.000 Pecandu Narkoba, Satu
Pasien Rp.2 Juta untuk Sebulan, diakses pada alamat link
https://medan.kompas.com/read/2022/06/28/070741678/pemprov-sumut-tanggung-biaya-rehabilitasi-1000-
pencandu-narkoba-satu-pasien-rp
23
Bengkulu tidak memiliki tempat rehabilitasi sendiri, maka harus bekerja sama
dan/atau pecandu yang merupakan hasil dari pemeriksaan BNN (bukan hasil proses
restorative justice).
Mulai dari tidak diatur secara eksplisit terkait batasan berat narkotika yang menjadi
syarat kasus perkara narkotika dapat diselesaikan melalui restorative justice, hingga
menghambat beberapa tahapan dalam proses penyelesaiannya , yaitu pada tahap kedua
dan tahap ketiga. Tahap kedua dalam proses penyelesaian kasus perkara melalui
restorative justice yaitu penyidik polisi akan mengajukan permohonan kepada Tim
yang diajukannya. Tahap kedua ini memiliki tempo waktu selama 3x24 jam untuk
kemudian Tim Assesment Terpadu menjawab permohonan tersebut, akan tetapi dengan
waktu yang cukup singkat dan dengan adanya salah satu anggota tim assessment sedang
melakukan dinas luar, sehingga menyebabkan kertelambatan 1 (hari) dari batas waktu
yang ditentukan. Masih berkaitan yang tahap kedua, tahap ketiga dalam proses
penyelesaian yaitu hasil assessment harus keluar paling lama (6) hari sejak diterimanya
keterlambatan dalam proses assessment dan akan menghambat tahap ketiga ini untuk
dilaksanakan. Dalam hasil assessment juga dimuat mengenai tempat dan lama waktu
tanpa mendapatkan akomodasi dari pemerintah. Dari hal tersebut akan menyebabkan
IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada hasil penelitian serta penjelasan pada bab sebelumnya, maka
ada beberapa poin inti yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Diharapkan di masa yang akan datang, Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 dapat
diperbaiki dan/atau direvisi agar mengatur secara eksplisit terkait batasan berat
narkotika yang menjadi syarat suatu perkara narkotika dapat diselesaikan melalui
restorative justice;
2. Diharapkan bagi Kepala Instansi yang termasuk ke dalam Tim Assesment Terpadu
untuk melakukan reorganisasi terkait anggotanya yang diusulkan untuk menjadi tim
analis pada Tim Assesment Terpadu. Agar keterlambatan proses assessment tidak
terjadi lagi untuk kedepannya;
3. Diharapkan bagi Pemerintah, agar dapat memisahkan pembiayaan antara anggaran
rehabilitasi untuk Badan Narkotika Nasional dengan anggaran rehabilitasi untuk
penyalahguna yang mendapatkan restorative justice. Supaya dapat memberikan
kepastian dan jaminan, bahwa penyalahguna narkotika yang menjalani rehabilitasi
sebagai hasil dari proses restorative justice tidak dikenakan biaya sama sekali
26
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Soekedy, Menyiram Bara Narkoba ‘Semakin Tahu Akibatnya, Semakin Siap
Menolaknya’, PT. Dyatama Milenia, Jakarta, 2003
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Polisi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif
C. WEBSITE/INTERNET
Direktori Mahkamah Agung di Pengadilan Negeri Bengkulu, diakses pada laman web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/search.html
Gloria Setyvani Putri, Pemprov Sumut Tanggung Biaya Rehabilitasi 1.000 Pecandu
Narkoba, Satu Pasien Rp.2 Juta untuk Sebulan, diakses pada alamat link
https://medan.kompas.com/read/2022/06/28/070741678/pemprov-sumut-
tanggung-biaya-rehabilitasi-1000-pencandu-narkoba-satu-pasien-rp
Putusan dengan Nomor Register 415/Pid.Sus/2021/PN.Bgl,diakses pada lama web
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec6e82207e332cae09
303634393331.html
Viva Budy Kusnandar, Penghuni Lapas dan Rutan Kelebihan Kapasitas 109% pada
Semptember 2022, diakses pada 21 Desember 2022 pukul 15.17 WIB, pada
laman web https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/23/penghuni-
lapas-dan-rutan-kelebihan-kapasitas-109-pada-september-2022