You are on page 1of 11

Marine Fisheries ISSN 2087-4235

Vol. 2, No. 2, November 2011


Hal: 201–211

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP


BERBASIS RESOLUSI KONFLIK DI KALIMANTAN SELATAN
(Institutional of Capture Fishery Resources Management Based on Conflict
Resolution in South Kalimantan)

Oleh:

Rusmilyansari1*

1 Fakultas Perikanan Unlam


* Korespondensi: r_melyan@yahoo.com

Diterima: 18 Juli 2011; Disetujui: 26 Oktober 2011

ABSTRACT
Management of fishery resources can be hampered by destructive conflict. A fairly long period of
conflict, due to the institutional implications of conflict management is not effective, therefore this
studyaimed to 1) map the institutional management of fishery resources, 2) reveal on the role of
institutional management of fishery resources management, 3) develop a concept institutional
management of capture fisheries. This study used a qualitative descriptive approach and was analyzed
in narrative. The result showed that the institutions that played role in conflict management consisted of
formal, non formal and community institution of traditional societies. Institutions were in a synergy in
community based monitoring system of fisheries and marine resources - which consisted of society
groups and have a network ranging from district to central government levels. They played a role in
making operational policy for supervising and controlling fishery resources, coordinating and
harmonizing the programs and activities among institutions, as well as taking actions to follow up the
allegations based on the information from society groups.. Conflict resolution can be done effectively
with the negotiation and facilitation techniques known as ADR (Alternative Dispute Resolution). Thus,
conflict management was conducted cooperatively by prioritizing on acceptable and long term output. .
Application of ADR was conducted by involving the whole of law functionaries. Its application was
believed could smooth the various institutional functions.
Key words: capture fisheries, conflict, institutions, management, resolution

ABSTRAK
Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dapat terhambat karena adanya konflik yang
bersifat destruktif. Periode konflik yang cukup panjang dapat disebabkan oleh implikasi kelembagaan
pengelolaan konflik yang tidak efektif. Penelitian ini bertujuan untuk 1) memetakan kelembagaan
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, 2) mengungkapkan peran kelembagaan pengelolaan
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, 3) mengembangkan kelembagaan pengelolaan
perikanan tangkap. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan dianalisis secara
naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga yang berperan dalam pengelolaan konflik terdiri
dari lembaga formal, non formal serta kelembagaan masyarakat tradisional masyarakat. Kelembagaan
tersebut bersinergi dalam suatu sistem pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis
masyarakat yang terdiri dari kumpulan Pokmaswas dan memiliki jaringan mulai dari kabupaten sampai
tingkat pusat. Lembaga tersebut sangat berperan dalam menetapkan kebijakan operasional
pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan
202 Marine Fisheries 2 (2): 201-211, November 2011

menyelaraskan program dan kegiatan antar lembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk
menindaklanjuti dugaan pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas masyarakat. Resolusi
konflik dapat dilakukan secara efektif dengan teknik negosiasi dan fasilitasi yang dikenal dengan ADR
(Alternative Dispute Resolution). Dengan demikian pengelolaan konflik dilakukan secara kooperatif
dengan mengedepankan output dan outcome yang lebih dapat diterima oleh semua pihak yang
berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Penerapan ADR dilakukan dengan
melibatkan semua fungsionaris hukum secara keseluruhan. Dengan pengembangan kelembagaan
tersebut diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan.
Kata kunci: perikanan tangkap, konflik, kelembagaan, pengelolaan, resolusi

PENDAHULUAN yarakat setempat dalam pengambilan kebijakan


terutama yang bersifat lokal, adanya pengaturan
Pembangunan sektor kelautan dan peri- yang sunguh-sungguh dan melibatkan tokoh
kanan di Kalimantan Selatan pada khususnya masyarakat yang disegani dalam lingkungan
masih mengalami kelambanan yang disertai komunitas nelayan. Charles (2001) menyatakan
beberapa realitas kendala diantaranya adalah bahwa kelembagaan merupakan salah satu
berkembangnya konflik perikanan tangkap yang kriteria dan indikator sistem perikanan berkelan-
dapat menghambat pembangunan perikanan. jutan. Kelembagaan yang kuat merupakan
Pengelolaan perikanan tangkap tampaknya be- penguatan untuk melahirkan kebijakan yang
lum mendapat perhatian secara proporsional. sesuai dengan kebutuhan dan dapat mem-
Kondisi ini merupakan implikasi kebijakan yang perkuat implementasi hukum. Oleh karena itu
ditetapkan oleh pemerintah seringkali belum kebijakan yang baik dapat berfungsi efektif
mampu menampung dan menangani berbagai apabila dibarengi dengan implementasi hukum
permasalahan konflik perikanan antara lain anti- yang kuat.
sipasi perkembangan terhadap kebutuhan hukum
perikanan dan perkembangan teknologi dalam Dalam pengelolaan sumberdaya perikan-
rangka pengelolan sumberdaya perikanan. an tangkap terdapat berbagai kelembagaan
pemerintah yang terlibat baik formal maupun non
Pada kasus konflik perikanan tangkap formal. Purwaka (2003) menyatakan bahwa kare-
purse seine yang terjadi di perairan Kalimantan na kelembagaan dalam pengelolaan perikanan
Selatan telah ditemukan bahwa akar perma- sifatnya multi sektoral dan multidimensional. Ke-
salahannya, berdasarkan tipologi konflik dise- lembagaan-kelembagaan tersebut melakukan
babkan oleh yuridiksi perikanan, mekanisme kegiatan sesuai dengan mandat hukum masing-
pengelolaan dan alokasi internal. Permasalahan masing tetapi belum terkoordinasi dengan baik,
tersebut diselesaikan melalui sebuah pengelo- sehingga pembangunan yang dilaksanakan ber-
laan konflik dengan teknik resolusi berdasarkan sifat parsial dan seringkali menimbulkan ekster-
tingkatan eskalasi konflik yang terjadi, mulai dari nalitas negatif antara satu dengan lainnya.
membuat surat penyataan melalui negosiasi,
fasilitasi bahkan litigasi (Rusmilyansari 2010). Pengembangan kelembagaan pengelolaan
Pemilihan metode resolusi konflik sangat sumberdaya perikanan tangkap berbasis reso-
situasional sesuai dengan kondisi aktor lusi konflik dianggap penting karena implikasinya
sumberdaya dan lingkungannya, sehingga dapat dijadikan pedoman perumusan kebijakan
resolusi konflik pada setiap kasus dan pada pengelolaan konflik. Untuk itu, penelitian dilaku-
setiap tempat akan memungkinkan kan dengan cara menelusuri bagaimana kelem-
menggunakan teknik yang berbeda pula. Namun bagaan sosial masyarakat nelayan dan bagaima-
kelembagaan pengelola-an konflik perlu na peran kelembagaan tersebut serta bagaimana
dipersiapkan dan diberikan penguatan agar tidak kelembagaan yang dapat dikembangkan dalam
bersifat parsial dan bersi-fat ad hoc. pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap Pe-
nelitian ini bertujuan: 1) memetakan kelembaga-
Dalam Yurlikasari (2010) penelitiannya an pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap,
mengungkapkan bahwa pengembangan usaha 2) mengungkapkan peran kelembagaan pengelo-
perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di laan pengelolaan sumberdaya perikanan tang-
Perairan Bengkalis dapat dipertahankan apabila kap, 3) mengembangkan kelembagaan pengelo-
kelembagaan mediator tersebut melibatkan mas- laan perikanan tangkap.
Rusmilyansari – Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap 203

METODE HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli Lembaga pengelolaan sumberdaya
tahun 2011, berlokasi di desa pesisir Kabupaten perikanan tangkap
Kotabaru. Pemilihan desa atau daerah penelitian
dilakukan secara purposive yaitu wilayah yang Pemerintah dan pihak terkait lainnya
merupakan basis aktor yang terlibat dalam kon- menyusun suatu langkah-langkah rencana dalam
flik perikanan tangkap, yaitu Desa Dirgahayu dan melakukan pengelolaan perikanan tangkap.
Desa Hilir Muara. Penelitian dilakukan dengan Apabila terjadi konflik, perlu dilakukan pemetaan
pendekatan kualitatif. terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penye-
lesaian konflik. Pemetaan lembaga penyelesaian
Data yang dikumpulkan meliputi data konflik merupakan suatu cara untuk menggam-
primer dan sekunder terhadap kasus konflik antar barkan contoh secara grafis, menghubungkan
pengguna alat tangkap purse seine yang mema- pihak-pihak dengan masalah dan pihak lainnya.
suki wilayah perairan Kalimantan Selatan. Data Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memahami
sekunder diperoleh dari studi kepustakaan, konflik dengan baik dan melihat hubungan
instansi terkait, maupun kliping surat kabar yang diantara berbagai pihak yang berkonflik secara
terdiri dari dokumentasi surat kesepakatan serta lebih jelas sehingga metode pendekatan dan
kelembagaan sosial masyarakat baik formal langkah-langkah penyelesaian konflik yang akan
maupun non formal. Data primer dikumpulkan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepa-
melalui wawancara mendalam (indepth interview) katan yang menguntungkan kedua belah pihak.
dengan menggunakan pedoman wawancara
(interview guide). Wawancara mendalam dilaku- Keterkaitan antar stakeholders pada kasus
kan terhadap beberapa orang tertentu (key purse seine dijelaskan pada peta lembaga yang
informan) yang terdiri atas personal dari DKP, berperan dalam penyelesaian konflik (Gambar 1).
Lanal, Polair, DPR, PPI, kemudian juga Kepala Pelaku utama konflik pada kasus purse seine
Desa, tokoh masyarakat, nelayan lokal yang adalah nelayan mini purse seine (Kotabaru) yang
terdiri atas pemilik kapal, ABK, pedagang penam- semi modern, berorientasi substensi dan pasar
pung, nelayan andon, anggota organisasi nela- lokal dengan nelayan purse seine (Jawa Tengah)
yan (POKMASWAS, INSAN, AMNES, HNSI), yang lebih modern dan berorientasi industri.
anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (WAL Perseteruan antara kedua nelayan tersebut
HI), serta akademisi. Data primer terdiri dari jenis menyebabkan hubungan yang tidak harmonis
dan bentuk kelembagaan yang berperan dalam (konflik sekunder) antara DKP (kabupaten, pro-
penyelesaian konflik, peran kelembagaan dalam vinsi) dan KKP (Kementerian Kelautan dan
tahapan penyelesaian konflik perikanan serta Perikanan), aparat hukum, organisasi nelayan
teknik penyelesaian yang digunakan dalam serta industri perikanan. Konflik sekunder anta-
penyelesaian konflik. ra nelayan purse seine dengan DKP Pusat (seka-
rang KKP) karena telah memberi izin melakukan
Data dinanalisis secara deskriptif dengan penangkapan di sekitar perairan Kotabaru, aki-
model alir (Miles dan Huberman 2007) dengan batnya nelayan mini purse seine Kotabaru
proses sebagai berikut: (i) masa pengumpulan merasakan ketidakadilan terhadap tindakan KKP
data, (ii) reduksi data, (iii) penyajian data, (iv) yang berpihak kepada nelayan purse seine
penarikan kesimpulan/verifikasi data. Selama Jateng.
tahap (iii) sampai (iv) tersebut dapat dikatakan
sebagai tahap analisis. Data yang terkumpul HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indo-
dianalisis secara naratif. Menurut Indarwasih et nesia) merupakan tenaga pendamping masya-
al. (2008) analisis naratif membantu mengiden- rakat, namun karena keberpihakannya saat me-
tifikasi hubungan kausal sebuah fenomena lakukan persetujuan bahwa nelayan purse seine
sehingga didapatkan gambaran yang rinci sebu- tetap bisa beroperasi di perairan sekitar Kotabaru
ah fenomena. Analisis data juga dibandingkan maka terjadi konflik sekunder antara nelayan
dengan teori-teori yang dijadikan acuan pene- Kotabaru dan HNSI Kal-Sel.
litian ini. Pengembangan kelembagaan mengacu
Keberadaan DPRD dan aparat yang
pada pendekatan Uphoff (1986) yang menekan-
terkesan lamban bertindak sampai akhirnya ter-
kan pada proses untuk memperbaiki kemampuan
jadi unjuk rasa dan pembakaran kapal. Setelah
lembaga dalam mengefektifkan penggunaan
konflik terbuka dan berdampak kekerasan dan
sumberdaya manusia dan keuangan yang ada.
204 Marine Fisheries 2 (2): 201-211, November 2011

+ DKP Jateng
KKP

+
+ + +
DKP Kalsel
A
Industri
perikanan
+
+

POKMASWAS +
DPRD
C WAS
+
+ INSAN
+ +
+ +
+ B
Pedagang
AMNES pengumpul

+ +
+ +
HNSI Polair
TNI AL
+
+

Keterangan:
A : Nelayan purse seine berteknologi tinggi
B : nelayan mini purse seine (teknologi menengah)
C : nelayan tradisional

Gambar 1 Peta lembaga-lembaga yang berperan dalam penyelesaian konflik.

baru dilakukan tindak lanjut penyelesaian yang Sebagai wujud dalam pengelolaan peri-
difasilitasi oleh pemerintah. Konflik ini melibat- kanan tangkap secara administratif terdapat
kan stakeholder secara lebih luas seperti TNI berapa institusi yang telah dipersiapkan dian-
AL, Polairud, Polsek dan Polres di pihak peme- taranya institusi formal seperti DKP mulai dari
rintah dan LSM serta organisasi masyarakat tingkat kabupaten dan provinsi hingga KKP,
yang dengan kekuatan moral merupakan upaya demikian juga dengan peraturan formal dan
mandiri untuk mengatasi kerusakan laut dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan
mempertahankan keberlanjutan sumberdaya pemanfaatan sumberdaya alam. Keberadaan
perikanan. peraturan-peraturan tersebut baik peraturan
formal dan informal dibarengi dengan imple-
Dibentuknya Pokmaswas sesuai dengan
mentasi secara optimal.
kebutuhan riil masyarakat, dan peluang tum-
Kultur masyarakat yang merupakan stok
buhnya partisipasi aktif masyarakat lokal. Ter-
kapital masyarakat pesisir sekaligus sebagai
masuk dalam hal ini agar mampu melibatkan
wadah silaturahmi masyarakat dan sebagai
partisipasi aktif masyarakat lokal dan kelemba
kelembagaan masyarakat tradisional dapat
gaan tradisional yang ada yang diharapkan
memperkuat kelembagaan pengelolaan
mampu menurunkan konflik. Sebagai salah
sumberdaya perikanan tangkap di Kalimantan
satu elemen sentral dari ko-manajemen ini
Selatan. Secara historis, kultur masyarakat
adalah CBFM (community based fisheries
pesisir Kali-mantan Selatan yang sangat
management) yang digunakan sebagai langkah
beragam sangat menjunjung tinggi pendekatan
awal pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
konsensus. Dengan demikian alasan kultural
isu lokal.
dapat dijadi-kan sebagai eksistensi
Rusmilyansari – Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap 205

pengembangan ADR sebagai kelembagaan peraturan tersebut baik peraturan formal dan
pengelolaan konflik. Hal tersebut sejalan informal belum dibarengi dengan implementasi
dengan (Koesno 1979) menye-butkan tiga asas secara optimal. Upaya-upaya penyelesaian
kerja di dalam menyelesaikan perkara-perkara konflik yang dilakukan oleh Dinas Perikanan
adat, yaitu: (1) asas kerukunan yang dan Kelautan Kalimantan Selatan diantaranya
menekankan pada pandangan dari sikap orang adalah:
dalam menghadapi kehidupan sosial di dalam
Membentuk Pokmaswas
suatu lingkungan. Satu sama lain saling
bergantung, saling memerlukan, sehingga ma- Kabupaten Kotabaru mulai membentuk
sing-masing pihak memiliki komitmen untuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMAS
mewujudkan dan mempertahankan kehidupan WAS). Pokmaswas merupakan pelaksana
bersama. Asas kerukunan dituangkan dalam pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri
dua bentuk ajaran yaitu ajaran musyawarah dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
dan ajaran mufakat. (2) asas kepatutan yang adat, LSM, nelayan, petani ikan serta mas-
mengarah kepada usaha mengurangi jatuhnya yarakat maritim lainnya. Pokmaswas dibentuk
sesorang ke dalam alam rasa malu yang atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh
ditimbulkan oleh hasil resolusi konflik. (3) asas unsur seorang anggota masyarakat. POKMAS
keselarasan yang berhubungan dengan metode WAS berfungsi sebagai mediator antara mas-
resolusi konflik yang mempertimbangkan terpe- yarakat dengan pemerintah/petugas. Para nela-
nuhinya aspek perasaan estetis secara optimal. yan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap
Dalam hal ini, resolusi konflik dianggap meme- ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masya-
nuhi perasaan estetis jika dapat diterima oleh rakat maritim lainnya, dapat menjadi anggota
pihak-pihak yang berkepentingan maupun mas- kelompok masyarakat Pengawas. Kepengu-
yarakat yang bersangkutan. rusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat
dan terdaftar sebagai anggota. Pembentukan
Dalam mengawali rezim ko-manajemen
dan keanggotaan Pokmaswas perairan laut
perikanan di perairan Kalimantan Selatan, yaitu
Kalimantan Selatan sudah dibentuk di bebe-
dengan mengorganisasikan masyarakat sudah
rapa desa nelayan sejak tahun 2003. Sampai
dapat diimplementasikan oleh masyarakat de-
tahun 2005 di Kabupaten Kota-baru terdapat
ngan harapan dapat dicapai suatu kesepakatan
sepuluh kelompok Pokmaswas yaitu Putra
tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke
Celebes.
depan termasuk pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap. Ko-manajemen harus dili- Dalam upaya pemberdayan Pokmaswas,
hat sebagai strategi manajemen yang luwes, sesuai dengan kemampuan pemerintah/Dinas
dapat berfungsi sesuai dengan kebutuhan Perikanan memberikan bantuan sarana dan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian prasarana pengawas secara selektif serta
(Pomeroy 1998) ko-manajemen sebagai forum disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.
partisipasi, membuat aturan, manajemen kon- Bantuan tersebut berupa kamera digital, Hp
flik, pembagian kewenangan, dialog, pengam- dan stimulan lainnya berupa kelotok (kapal
bilan keputusan, belajar, tukar dan alih penge- motor), baju seragam, topi dan atribut lainnya.
tahuan. Banyak alasan dan pertimbangan se- Selain itu pemerintah dan atau pemerintah
belum memulai ko-manajemen. Begitu pula daerah memberikan pembinaan, bimbingan dan
dengan penelitian Abdullah et al. (1998) alasan pelatihan bagi peningkatan kemampuan
pemerintah Kanada untuk mendorong ko- POKMASWAS.
manajemen sebagai salah satu contoh adalah
Satuan pembina SISWASMAS (Sistem
untuk mengurangi konflik, keadilan alokasi pe-
Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Peri-
nangkapan, memperbaiki kualitas data, mema-
kanan Berbasis Masyarakat) memiliki tugas un-
jukan konservasi dan pemberdayaan masya-
tuk menetapkan kebijakan operasional penga-
rakat.
wasan dan pengendalian sumberdaya kelautan
dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan
Peran Kelembagaan Penyelesaian Konflik menyelaraskan program dan kegiatan antar
instansi/lembaga terkait, serta mengambil tinda-
Kelembagaan pemerintah
kan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran
Kalimantan Selatan secara administratif atas informasi dari kelompok pengawas mas-
telah memiliki institusi formal yang mengelola yarakat. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari
perikanan seperti Dinas Perikanan dan Kelaut- pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dibantu
an baik provinsi maupun kabupaten, demikian oleh Sekretariat yang bertugas mengumpulkan,
juga dengan peraturan formal dan informal mengolah dan menganalisa laporan dan infor-
yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaat- masi, serta melaporkan kegiatan dan perkem-
an sumberdaya alam. Keberadaan peraturan- bangan pelaksanaan SISWAS MAS dari daerah
206 Marine Fisheries 2 (2): 201-211, November 2011

menyiapkan tindak lanjut. Struktur organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan Re-
sebagai koordinasi pelaksanaan SISWASMAS publik Indonesia dengan hasil bahwa
disajikan pada Gambar 2. nelayan Kotabaru bisa menerima nelayan
purse seine Propinsi Jawa Tengah tetapi
Kegiatan POKMASWAS selain pena-
tidak menggunakan lampu.
nganan konflik nelayan yaitu: 1) membantu
Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan 2) Tanggal 31 Mei 2005 dilaksanakan per-
pengawasan, patroli atau razia 2) membantu temuan antara DKP Propinsi Kal-Sel,
Dinas Kelautan dan Perikanan dalam menegak- Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
kan peraturan bidang perikanan dan membe- Jawa Tengah, Himpunan Nelayan Seluruh
rantas illegal fishing 3) melakukan kegiatan Indonesia (HNSI) Jawa Tengah dan Him-
sosialisasi UU No. 31 tahun 2004 dan punan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)
peraturan perikanan 4) penyebaran leaflet 5) Kotabaru, TNI-AL, instansi terkait lainnya
Secara intensif melakukan pertemuan-pertemu- yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah
an kelompok. Kabupaten Kotabaru bertempat di Kota-
baru, yang memperoleh kesepakatan
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya
sementara.
kelautan dan perikanan diharapkan dapat dila-
kukan secara terus menerus oleh Pokmaswas 3) Pertemuan stakeholder di Dinas Perikanan
dan didukung oleh semua pihak, baik oleh dan Kelautan Kal-Sel diikuti DKP Kota-
aparatur pemerintah (Pengawas Perikanan), baru, DKP Provinsi Kal-Sel dan DKP
Polisi Perairan dan Udara, TNI Angkatan Laut Provinsi Jateng (16 Juni 2005).
serta Dinas Perikanan dalam melakukan pene-
4) Tanggal 14 Juli 2005 dilaksanakan
gakan hukum di laut. Sistem pengawasan
sosialisasi hasil kesepakatan penyelesai-
sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis
an konflik nelayan Jawa Tengah dan Ka-
masyarakat dapat dilakukan oleh Kelompok
bupaten Kotabaru Kalimantan Selatan
Masyarakat Pengawas (POKMASWAS). Jaring-
dengan hasil bahwa nelayan Kotabaru
an kerja dan mekanisme POKMASWAS disaji-
menduga kesepakatan dimaksud sudah
kan pada Gambar 3.
menjadi ketetapan, sebenarnya ketetapan
Upaya pemberdayaan Pokmaswas, tersebut itu bersifat sementara yang diber-
pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Ke- lakukan uji coba selama 3 bulan, sehingga
lautan telah memberikan pendidikan/pelatihan/ nelayan Kotabaru tidak bisa menerima
studi banding untuk mengembangkan wasasan hasil kesepakatan dimaksud.
anggota pokmaswas ke provinsi lain seperti
5) Pertemuan evaluasi kesepakatan 7 Dinas
pulau Jawa, dan Sumatera. Antusias Pokmas-
Perikanan dan Kelautan provinsi serta
was yang tinggi untuk melaksanakan fungsinya
penyempurnaan RPP pelagis kecil laut
dengan baik mendapat perhatian serius oleh
Jawa di Semarang (13 Juli 2005)
pemerintah dengan diadakannya lomba mulai
tingkat kabupaten sampai ke tingkat provinsi 6) Pertemuan stakeholder di Surabaya diikuti
dan mendapatkan penghargaan tertinggi beru- oleh Ditjen PT, Ditjen P2SDKP, DKP Pro-
pa Adibhakti Mina Bahari yang diserahkan di vinsi Ja-Teng, Kal-Tim, Kal-Sel, Sul-Sel,
Jakarta. Pokmaswas dari Kali-mantan Selatan Ja-Bar, Ja-Tim, DKP Kota Balik-papan, Di-
termasuk 5 (lima) nominasi terbaik tingkat nas Pertanian-Peternakan dan Kelautan
Nasional. Kota Pekalongan, Wakil PUS KUD Mina
Baruna Ja-Teng, DKP Kabupaten Pati, Ba-
Mempertemukan pihak-pihak yang gian Hukum Pemkot Balik-papan, Ketua
berkonflik dan melayangkan surat Umum dan Sekjen DPP HNSI, Ketua DPD
peringatan dan sosialisasi HNSI Ja-Teng, Ja-Tim, Ja-Bar, Sul-Sel,
dan perwakilan nelayan Ja-Teng (asosiasi
Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan purse seine Indonesia) (24-25 Januari
kesepakatan antara pihak yang berkonflik. Di- 2006).
nas Perikanan dan Kelautan memfasilitasi Mengeluarkan regulasi dan pertemuan
beberapa konflik dan melakukan pertemuan lintas instansi
pihak-pihak yang berkonflik yaitu:
Pemerintah Kalimantan Selatan, dalam
1) Tanggal 28 Mei 2005 dilaksanakan perte-
melakukan pengelolaan sumberdaya perikan-
muan yang dihadiri oleh HNSI (Himpunan an, mengeluarkan beberapa regulasi yaitu:
Nelayan Seluruh Indonesia), DKP Pro- 1) Pembentukan Forum Koordinasi penangan
vinsi Kal-Sel, DKP Kabupaten Kotabaru, tindak pidana di bidang perikanan tingkat
Koramil, TNI-AL, Tokoh masyarakat dan provinsi Kalimantan Selatan dengan Kepu-
staf Pemda Kabupaten Kotabaru serta Staf
Rusmilyansari – Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap 207

tusan gubernur Kal-Sel No 188.44/053/


KUM/2007

Tingkat Pusat
Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan
Departemen
Sekretariat

Tingkat Daerah
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi

Tingkat Kabupaten
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten

POKMASWAS
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Seksi-seksi:
(Operasi, Keamanan,
Humas)

Gambar 2 Struktur organisasi dan koordinasi pembinaan SISWASMAS.

Jaringan kerja Tindakan

Pokmaswas Survai lapangan/informasi pelanggaran


dalam pengelolaan & pemanfaatan
sumberdaya

Penghentian, pemeriksaan,
APARAT Pelaporan pengejaran
PPNS-PPI-DKP-Satpol-AIRUD-
TNIAL-Karantina
Melakukan
koordinasi
Proses penyelidikan
Tembusan kepada Dinas Kabupaten/ & penyidikan
Dirjend Pengendalian Kota/Provinsi,
Sumberdaya Kelautan Instansi terkait
dan Perikanan

Operasi tindak
lanjut

Gambar 3 Jaringan dan mekanisme Pokmaswas.


208 Marine Fisheries 2 (2): 201-211, November 2011

2) Forum Koordinasi Pengelolaan Peman- Bahkan kemampuan sebagai warga masya-


faatan SDI (FKKPS) tahum 2004 di Mataram rakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi
NTB membahas tentang pengendalian dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk
pemanfaatan sumberdaya ikan yang mengatasi permasalahan. Keberadaan tradisi
disepakati oleh 7 (tujuh) DKP Provinsi (Ja- leluhur yang bernuansa kearifan lokal merupa-
teng, Jatim, Sulsel, Kaltim, Kalsel, Kalteng, kan stok kapital bagi pengelolaan sumberdaya
dan Kalbar) perikanan tangkap.
Pengetahuan lokal (indigenous know-
Lembaga formal lainnya ledge) merupakan varian pengetahuan yang
Lembaga formal yang selama ini ditemukan dan dikembangkan oleh suatu mas-
diharapkan dapat membantu dalam pengelo- yarakat dalam interaksi dengan lingkungan
laan sumberdaya perikanan melakukan sekitarnya. Pengetahuan lokal bersifat rinci,
menyelesaikan permasalahan pengamanan kaya dan spesifik sebagai hasil akumulasi
laut seperti Polairut dan TNI AL, dianggap pengalaman-pengalaman lokal yang bersifat
besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik unik. Keberadaan kelembagaan lokal dapat
sosial antar nelayan, seperti pada kasus purse dikembangkan melalui pendekatan CBRM
seine, pengambilan teripang dan kasus (community based fisheries management) yaitu
cantrang. Pengawasan pengelolaan suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya
sumberdaya ikan sudah mengikutsertakan alam dengan memanfaatkan berbagai inisiatif
lembaga formal yang ada yaitu PPNS, namun lokal yang dilakukan oleh masyarakat lokal
keter-sediaan personilnya masih dirasakan dengan menggunakan sumberdaya yang
kurang ketersediaanya. dimilikinya sambil tetap membuka diri bagi
kontribusi eksternal seperti pengetahuan atau
Kelembagaan lokal (non pemerintah) teknologi modern.
yang mendukung pengelolaan sumberdaya
perikanan memegang peranan penting dalam Sejauh ini kelembagaan yang berperan
keberlanjutan sumberdaya perikanan. Kelem- dalam pengelolaan konflik pada kasus purse
bagaan non pemerintah yang ikut membantu seine telah melakukan evaluasi, rencana tindak
nelayan dalam penanganan konflik di Kaliman- lanjut jangka menengah dan panjang yang
tan Selatan diantaranya Walhi (Wahana Ling- salah satunya adalah perlu dibentuk kelompok
kungan Hidup), HNSI (Himpunan Nelayan kerja (POKJA) Penanganan Konflik nelayan di
Seluruh Indonesia), AMNES (Aliansi Mas- setiap daerah dan tingkat Pusat, Provinsi
yarakat Nelayan Saijaan), INSAN (Ikatan Ne- sampai dengan Kabupaten/Kota dan menyusun
layan Saijaan). Keberadaan kelembagaan non pedoman umum penanganan konflik nelayan
pemerintah ini selain atas inisiatif sendiri juga antar daerah, namun implementasinya sampai
merupakan perwujudan dari keinginan para penelitian ini dilakukan hanya pada pemben-
nelayan itu sendiri yang peduli dan khawatir tukan dan penguatan peran POKMASWAS di
akan semakin menurunnya hasil tangkapan. setiap desa pesisir. Keberadaan POKMAS
WAS diharapkan akan terus berkembang
Kelembagaan non pemerintah yang melalui pembinaan bahkan kinerjanya dilomba-
mendukung pengelolaan sumberdaya perikan- kan hingga tingkat nasional. Sebagai lembaga
an di Kalimantan Selatan memang sudah ada, pengelolaan konflik yang tidak bersifat ad hoc
hal ini memperkuat posisi dan menyeim- lebih memiliki peran yang lebih fleksibel dalam
bangkan kekuatan nelayan di Kalimantan Se- mengikuti adanya eskalasi konflik atau dengan
latan. Pola kebiasaan masyarakat yang membentuk komite penasihat yang dapat
mencerminkan kerjasama yang sudah melem- memfasilitasi, menampung dan memberikan
baga merupakan dasar yang kuat untuk pertimbangan-pertimbangan sebelum terjadi
menerapkan pendekatan bottom-up yang dapat tindakan dan aksi massa sehingga begitu
mempertemukan aspirasi pemanfaatan muncul gejala konfrontasi tidak akan sampai
sumberdaya dan keinginan pemerintah dengan pada tahap krisis yang berdampak pada
meli-batkan stakeholder. anarkis seperti kekerasan fisik dan kerugian
Pola kebiasaan yang umum terdapat di materi akibat penenggelaman dan pembakaran
semua desa pesisir Kalimantan Selatan yang kapal.
merupakan tradisi leluhur masyarakat berbagai Kelembagaan dan organisasi yang ber-
etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan peran dalam pengelolaan konflik di Kalimantan
Selatan telah beradaptasi dengan ajaran aga- Selatan tampaknya mulai dapat berkomunikasi
ma. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dengan baik dan jelas serta mengetahui de-
dalam adat. Bagi masyarakat nelayan atau ngan baik sejarah budaya lokal, namun untuk
pesisir, terlaksananya tradisi yang konsisten lebih meningkatkan perannya agar berfungsi
dengan pola budaya menjadi kebanggaan. secara efektif dalam resolusi konflik, hendaknya
Rusmilyansari – Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap 209

memiliki beberapa karakteristik seperti yang yarakat nelayan adalah penumbuhan usaha
dinyatakan oleh Ramirez (2002) yaitu: 1) diakui kemitraan yang saling menguntungkan antara
secara resmi sebagai lembaga yang berperan nelayan dengan pihak pengusaha perikanan,
sebagai mediator 2) dikenal oleh pihak yang kegiatan ini dimaksudkan untuk meminimalkan
berkonflik sebagai pihak yang netral dan memi- kemungkinan terjadinya konflik. Keseimbangan
liki legitimasi 3) menyetujui untuk bekerja dalam kekuatan antara nelayan harus didukung
sistem penyelesaian konflik, berdasar-kan dengan upaya pemberdayaan nelayan kecil.
mediasi dan kesepakatan oleh semua pihak 4) Perlindungan terhadap nelayan kecil bukan
mempunyai kemampuan dalam teknik mediasi bersifat independen, melainkan terkait dengan
5) memiliki kemampuan dan mengeta-hui rancangan kelembagaan secara kom-prehensif.
dengan baik perangkat hukum secara positif, Untuk itu pemberdayaan nelayan harus dite-
hukum adat dan isu-isu secara teknis 6) gaskan ke dalam bentuk peraturan pemerintah
berkualifikasi dan mengetahui metode partisi- yang mengakui hak penangkapan ikan tradi-
patory 7) berkomunikasi dengan baik dan jelas sional dengan penjelasan beberapa indikator
dan 8) mengetahui dengan baik sejarah budaya pokoknya sehingga memudahkan pemerintah
lokal, organisasi, lembaga politik dan kerangka daerah menterjemahkannya. Pemberian hak
kerja regulasi. penangkapan ini bisa mencontoh model Jepang
sebagaimana yang dinyatakan Uchida et al.
Pengembangan peran kelembagaan (2004) yaitu melalui Fishery Cooperative
Association (FCA). Pengakuan eksistensi hak
Peningkatan dan pengembangan kapasi- penangkapan ikan tradisional juga harus diikuti
tas kelembagaan diyakini akan memperlancar dengan devolusi kewenangan pengelolaan
jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik sumberdaya secara lebih luas sehingga tidak
fungsi-fungsi di bidang politik, ekonomi, sosial saja hak akses dan hak pengguna sumberdaya
budaya, pertahanan, keamanan, hukum mau- yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan dan
pun lingkungan hidup. hak ekslusif. Dengan hak kepemilikan
Berdasarkan penyelesaian konflik yang sumberdaya yang lengkap seperti itu, posisi
telah dilakukan yang pada awalnya dilakukan nelayan lokal menjadi kuat.
dengan teknik negosiasi kemudian berkembang Upaya pengelolaan perikanan tangkap
menjadi fasilitasi. Teknik fasilitasi memerlukan diharapkan untuk perkembangan ke depan
keikutsertaan beberapa lembaga dalam penye- dapat menerapkan delegated co-managemen
lesaian konflik, keberhasilan teknik tersebut karena menurut penelitian Pomeroy (2003)
menandakan bahwa peran kelembagaan ADR pada delegated co-management keputusan-
(Alternative Dispute Resolution) paling efektif keputusan pengelolaan perikanan dilakukan
diterapkan dalam pengelolaan konflik. Melalui oleh stakeholder sementara peran pemerintah
ADR penyelesaian dilakukan secara kooperatif di satu sisi akan menjadi sangat kecil. Merujuk
dengan mengedepankan output yang lebih kepada pengalaman Jepang, Thailand, Philipi-
dapat diterima oleh semua pihak yang berkon- na dan beberapa negara lain dalam pengelola-
flik dan hasilnya lebih berorientasi jangka an sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi
panjang. Penerapan ADR dilakukan dengan masyarakat memberikan kontribusi yang signifi-
melibatkan semua fungsionaris hukum secara kan dalam mewujudkan kelestarian
keseluruhan dan sinergi lembaga pengelolaan sumberdaya ikan (Hanna 1980).
konflik, karena suatu departemen tidak bisa
berdiri sendiri untuk mendirikan lembaga ADR Kelembagaan tradisional yang merupa-
yang berwibawa tapi melibatkan unit peme- kan stok kapital sosial merupakan wadah
rintah di bidang legislatif dan yudikatif. partisipasi atau silaturahmi masyarakat pesisir
merupakan dukungan kekuatan untuk mengem-
Pada kasus purse seine pengembangan bangkan peran kelembagaan pengelolaan kon-
kelembagaan ADR sudah terlihat dengan dila- flik. Untuk itu diperlukan peningkatan kualitas
kukannya yaitu melalui teknik fasilitasi dengan sumberdaya manusia (nelayan), sebagai modal
menciptakan konsensus yang memuaskan dasar yaitu kelembagaan tradisional yang dapat
semua pihak yang berkonflik dan berupaya dikembangkan sebagai landasan pendekatan
mempertemukan semua pihak yang berkonflik. dalam upaya peningkatan kelem-bagaan
Konsensus dan kompromi sesuai dengan pengelolaan konflik. Kelembagaan sosial
pendekatan musyawarah dan mufakat yang masyarakat berupa tradisi dan budaya
dipandang sebagai mekanisme penambilan setempat yang sudah melembaga dan meru-
keputusan resolusi konflik yang bersumber dari pakan perilaku yang ramah lingkungan perlu
masyarakat sendiri. didorong keikutsertaannya. Kelembagaan ter-
Upaya lain yang perlu dilaksanakan un- sebut merupakan peluang tumbuhnya parti-
tuk pengembangan peran kelembagaan mas- sipasi aktif masyarakat lokal, dalam hal ini perlu
210 Marine Fisheries 2 (2): 201-211, November 2011

dilakukan pelatihan, penyuluhan dan pendam- pertemuan lintas instansi. Kelembagaan formal
pingan oleh tenaga pendamping dari Dinas lainnya yang berfungsi sebagai pengamanan
Perikanan dan Kelautan. laut dan sangat membantu ketika sudah terjadi
konflik yaitu Polairut dan TNI AL; 2) Lembaga
Budaya sebagai pedoman hidup mas-
non pemerintah yang ikut membantu nelayan
yarakat baik dalam bersikap maupun berting-
dalam pengelolaan konflik diantaranya WALHI
kah laku, terdiri atas nilai-nilai dan norma-
(Wahana Lingkungan Hidup), HNSI (Himpunan
norma yang tertib meliputi norma kesopanan
Nelayan Seluruh Indonesia), AMNES (Aliansi
dan norma hukum. Budaya tidak dapat dilepas-
Masyarakat Nelayan Saijaan) dan INSAN
kan dari masyarakat karena antara keduanya
(Ikatan Nelayan Saijaan); dan 3) Lembaga
erat hubungannya. Budaya tidak akan lahir
tradisional keagamaan merupakan stock ca-
tanpa adanya masyarakat, demikian pula
pital social.
sebaliknya. Sejalan dengan pendapat Michael
(2002) menyebutkan bahwa dalam kehidupan Pengembangan peran kelembagaan dila-
masyarakat manusia memerlukan pedoman, kukan dengan menciptakan jejaring komu-
yaitu budaya sebagai alat perangkat kebutuhan nikasi dan interaksi antar kelompok masyarakat
integratif. Begitu pula yang dinyatakan oleh dan terorganisir dalam bentuk Sistem Penga-
Ostrom (1993) bahwa tanpa adanya norma wasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
tersebut niscaya kehidupan akan penuh Berbasis Masyarakat dengan menerapkan
kekacauan, manusia akan kehilangan arah dan ADR. Dalam resolusinya penerapan Alternative
pedoman hidup, akibatnya manusia menjadi liar Dispute Resolution dikembangkan sebagai
dan hidup seperti hewan. Budaya sebagai lembaga pengelolaan konflik yang tidak bersifat
pedoman hidup dalam memenuhi kebutuhan ad hoc, lebih memiliki peran yang lebih fleksibel
sosial mencakup 1) perwujudan ide-ide, atau dengan membentuk komite penasihat
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan- yang dapat memfasilitasi, menampung dan
peraturan, dan hukum, 2) aktivitas dan tinda- memberikan pertimbangan-pertimbangan, yang
kan berpola dari manusia untuk masyarakat, intinya adalah membangun konsensus atau
dan 3) perwujudan semua hasil karya manu- kompromi sesuai dengan pendekatan mus-
sia. Berdasarkan latar beragamnya belakang yawarah dan mufakat yang bersumber dari
budaya yang terdapat di desa pesisir Kal-Sel masyarakat.
dapat dijadikan landasan dalam upaya pengen-
dalian pemanfaatan sumberdaya perikanan
dilakukan dengan sistem pengawasan oleh DAFTAR PUSTAKA
masyarakat (community based fisheries mana-
gement). Abdullah N.M.R., Kuperan K., Pomeroy R.S.
1998. Transaction cost and fisheries
management. Journal of Marine Resour-
KESIMPULAN ce Economic Vol. 13: 101-114

Lembaga yang berperan dalam penge- Charles A.T. 2001. Fishery conflicts: a unified
lolaan sumberdaya perikanan tangkap, terdiri framework. Journal of Marine Policy 16:
dari lembaga pemerintah sebagai adminis- 379-393. Hanna, Susan. 1998. Co-Mana-
trator, regulator dan fasilitator; lembaga non gement in Small-Scale Fisheries:
pemerintah sebagai inisiator, pelaksana dan Creating Effective Link Among Stake-
kontrol sosial; dan lembaga tradisonal sebagai holders. International CBNRM Work-
wadah silaturahmi dan elemen perekat mas- shop. Washington. 89 hlm.
yarakat. Pada tingkat desa telah dibentuk Indarwasih R., Wahyono A., Hadi A., editor.
Pokmaswas yang merupakan pelaksana di 2008. Konflik-konflik Kenelayanan; Distri-
tingkat lapangan dengan keanggotaan sukarela busi, Pola, Akar Masalah dan Resolu-
yang terdiri dari masyarakat pesisir dan LSM. sinya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indo-
Kelembagaan Pokmaswas ini bersinergi de- nesia. Jakarta. 138 hlm
ngan kelembagaan lokal dan kelembagaan
lainya untuk menciptakan jejaring komunikasi Koesno M. 1979. Catatan-catatan terhadap
dan interaksi antar kelompok masyarakat. hukum adat Dewasa ini. Surabaya. Air-
langga University Press. 45 hlm.
Peran lembaga dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap adalah: 1) Michael F. 2002. Local Communities as
Lembaga mempertemukan pihak-pihak yang Learning Organization: The Case of The
berkonflik dan melayangkan surat peringatan Village of Toro, Central Sulawesi. Indo-
dan sosiali-sasi dan mengeluarkan regulasi dan nesia. 124p
Rusmilyansari – Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap 211

Miles M.B., Huberman A.M. 2007. Analisis Konflik. Jurnal Marine Fisheries. Vol. 1:
Data Kualitatif. Universitas Indonesia. 177-187.
Jakarta. 490 hlm
Ramirez R. 2002. A Conceptual Map of Land
Pomeroy R.S. 1998. A Process for community- Conflict Management Organizing the
based fisheries co-management. Parts of Town Puzzles. Sustainable
AFSSR News. 256p Development Department FAO. 581p
Pomeroy R.S., Williams M.J. 2005. Fisheries Uchida H., James E., Wilen. 2004. Japanese
co-management and small scale Coastal Fisheries Management and
fisheries: A policy brief. Co-manage- Institutional Designs: A Descriptive
ment Project. ICLARM. 15 p. Analysis. LIFET 2004 Japan Proce-
dings. 46p
Purwaka. 2003. Bunga rampai Analisis Pe-
ngembangan Kapasitas Kelembagaan Uphoff N. 1986. Local Institutional Develop-
Kelautan dan Perikanan. Fakultas Peri- ment: An Analytical Source-book With
kanan dan Ilmu Kelautan. Program Cases. Kumarian Press. 49p
Pascasarjana. 46 hlm.
Yurlikasari T.E. 2010. Konflik Perikanan
Rusmilyansari, Wiryawan B., Haluan J., Tangkap di Perairan Kabupaten Beng-
Simbolon D. 2010. Model Pengelolaan kalis Provinsi Riau. Jurnal Marine
Perikanan Tangkap Berbasis Resolusi Fisheries Vol. 1: 123-132.

You might also like