Professional Documents
Culture Documents
Anisul Fahmi - Fuf
Anisul Fahmi - Fuf
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Anisul Fahmi
NIM 1112034000138
FAKULTAS USHULUDDIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M.
i
ii
TRANSLITERASI
diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan
َا Ā Ā ْأُو Ū Ū
ْإِي Ī Ī
ﻣﺆﺳﺴﺔ Mu’assasah
ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ Muta‘addidah
C. Tā’ Marbū ah.
D. Singkatan.
M : Masehi
H : Hijriyah
QS : Qur’ān Surat
HR : Hadis Riwayat
Kata Pengantar
iman dan Islam. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi pamungkas
Para sahabat, para tabiin, tabi‟ tabiin, dan para ulama yang telah menjadi
menjadi amal ibadah beliau semua dan dibalas oleh Allah swt. Melalui
ini banyak kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam
teratasi berkat arahan serta bimbingan-Nya dan bantuan sepercik do’a dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis ingin
Hidayatullah Jakarta.
iii
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis
Hadis.
kepada bapak Dr. Abdul Moqsith Ghazali, MA. Maulana, M.Ag, Dr.
mahasiswanya.
8. Kepada kedua orang tua penulis; Ibu Nur Aini dan Bapak Saifullah.
Adik-adik penulis; mba Inayah, mas Noval, dan mas In’am. Yang selalu
iv
Inayah dan Dek Noval, terus semangat Tafaquh Fiddin di Ponpes
masyarakat.
Alumni Lirboyo) di Jakarta; Pak Satria, Pak Rosyid, Kang Fauzi, Bang
Bandi, kang Idris, kang Huda, kang Aray, Mbah Sofyan, Bang Bohal,
Mas Kurhi, Pak Latif, Kang Akay yang selalu setia menemani penulis
belajar.
Pesantren (PSPP), Pak Afifi, Pak Guru, Gus Jamal, Gus Asif, Kang
Rouf, Guz Alam, Guz Mumu, mang Akrom, kang Adib, dan aktivis-
aktivis PSPP lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
11. Kepada Bubuh, yang dengan sabar dan telaten serta tanpa henti
dan menulis.
Anggit, Sukoi, Umi Faridoh, Mas Arif, Guz Fajar dkk. Yang telah sudi
menjadi teman diskusi, curhat, dll sejak awal kuliah dan Teman-teman
13. Kepada kawan-kawan Insan Cendekia Institut; Bang Jarwo, Teh Lail,
Jakarta.
v
14. Seluruh pihak yang telah membantu proses kuliah penulis dan proses
bermanfaat bagi pembaca dan menjadi awal untuk memotivasi penulis untuk
terus berkarya. Dan semoga Allah swt. selalu memberikan limpahan berkah
vi
ABSTRAK
Anisul Fahmi “Analisis Nāsikh Mansūkh Dalam Hadits” (Studi Kasus Hadits Nikah
Mut’ah) Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016.
Namun disisi lain, hadis-hadis yang melarang tentang nikah muth’ah tidak
sedikit jumlahnya dibeberapa kitab hadis. Seperti Imam Muslim dalam kitabnya
memberi judul “bab nikah al muth’ah, dan penjelasan tentang dibolehkannya, kemudian
dinasakh, kemudian dibolehkan lagi, kemudian dinasakh lagi, lalu ditetapkan
keharamannya hingga hari kiamat”. Secara positif semua itu memberi kesan dinamisasi
hukum Islam, namun disisi lain, tema itu memberi isyarat perbedaan yang sangat alot
para ulama dalam menggali dan merumuskan hukum nikah muth’ah.
Penelitian ini mencoba untuk melacak hadits-hadits nikah mut’ah dengan teori
nasakh dalam diskursus ilmu hadits. nasakh merupakan bagian dari teori yang secara
eksplisit membahasa hadits-hadits mukhtalif, lebih intens lagi penelitian ini mencoba
menggali lebih dalam hadits-hadits nikah mut’ah dengan menguak fakta sejarah
munculnya hadits pada tahun terjadinya, sehingga memudahkan untuk menentukan
status hadits tersebut apakah ia nasikh atau mansukh.
vii
DAFTAR ISI
TRANSLITERASI
KATA PENGANTAR ........................................................ ................................. i
ABSTRAK ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Indentifikasi Masalah, Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ...... ... 10
1. Identifikasi Masalah .......................................................................... 10
2. Batasan Masalah ............................................................................... 11
3. Rumusan Masalah ............................................................................ 11
C. Telaah Pustaka ...................................................................................... 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 14
1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 14
2. Manfaat Penelitian ............................................................................ 14
E. Metodologi Penelitian ........................................................................... 15
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data .................................................... 15
2. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 16
3. Langkah Operasional Penelitian dan Sistematika Pembahasan ......... 16
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 77
B. Saran-saran ............................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam literatur khazanah Islam, kitab Suci al-Qur’ân yang diturunkan untuk
Nabi merupakan misi Tuhan bagi umat manusia untuk menemukan nilai-nilai luhur
uluhiyah, proses perjalanan waktu, kultur dan budaya teks-teks suci mengalami
sebagai spirit hidup untuk menuju titik pencerahan. Namun disatu sisi ideologi
yang dibangun oleh Tuhan tak seluruhnya terjamah oleh umat manusia. Teks al-
Qur’ân hadir bukan sekedar lembaran kertas yang bersifat dogmatis dan oleh umat
bersifat apatis. Bayan Ilahi tak cukup memberikan penjelasan problem umat
sehingga diperlukan bayan Nabawi yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw.
permasalahan umat dari kultur dan budaya yang berbeda, walau terkadang hadits
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.1 Ia merupakan teks berita yang berasal
dari Nabi. Ia juga biasa dikenal dengan istilah lain, seperti sunnah, khabar dan atsar.
Di antara ketiga istilah ini, sunnah lebih banyak digunakan dari yang lain, sehingga
Dalam beberapa literatur, ditemukan bahwa sunnah berasal dari sumber yang
sama dengan al-Qur’ân. Perbedaan keduanya hanya dari segi redaksi dan
1
Taqrir adalah masdar (kata benda jadian) dari kata kerja qarrara. Menurut bahasa, taqrir dapat
diartikan penetapan, pengakuan atau persetujuan. Lihat: Muhammad bin Mukarram bin Manzhur, Lisan
al-‘Arab, (Kairo: Al-Dar al-Mishriyyah, t.th) Juz IV, hal. 394.
1
2
yang dinyatakan dalam ushul fiqh, bahwa hukum Islam adalah hukum Allah Swt.
Hukum Allah Swt harus bersumber dari rujukan wahyu dan kalam-Nya. Wahyu
wahyu, maka ia wahyu yang tidak langsung, sekunder dan dalam beberapa hal
akurasinya tidak terjamin. Tidak persis seperti al-Qur’ân yang purna terjamin. al-
Qur’ân dipastikan sebagai wahyu yang akurat, karena pada jalur transmisi
satu orang (ahâd), yang masih menyisakan adanya kemungkinan salah dan alpa,
hukum Islam.
menyatakan bahwa hadits termasuk dalam katagori ‘berita personal’ (al-khabar al-
khâsh), yang hanya didengar dan ditransmisikan oleh kalangan tertentu, bahkan
terkadang oleh satu orang saja. Tidak seperti al-Qur’ân, sebagai ‘berita publik’ (al-
sehingga diterima oleh setiap muslim. Karena sifat hadits yang personal, ia tidak
2
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) jilid VII .h. 271
3
“Kami tidak berhak meminta bertaubat kepada orang yang ragu dengan kebenaran
hadits tetap memiliki otoritas yang cukup kuat jika dibandingkan Ijmâ’ (konsensus
ulama) dan Qiyâs (analogi). Karena hadits merupakan perkataan Nabi Saw.
penerima wahyu, sehingga ia menjadi media yang otoritatif bagi penjelasan (bayân)
dan perincian (tafshîl) makna-makna yang terkandung dalam wahyu Allah Swt, al-
Qur’ân.
Hadits dalam hal ini, bisa bersifat konfirmatif (ta’kîd) terhadap wahyu (al-
Qur’ân), bisa interpretatif (tafsîr) dan bisa juga afirmatif (ityân bi al-jadîd) dengan
mendukung hal baru yang tidak disebutkan oleh wahyu, tetapi sesuai dengan
semangat dasar yang diusungnya. Dalam hal ini, Imam Syafi’i (150-204H)
ﺖ ﺃﹶﻧﻚ ﺇﹺﻧﻛﱢﻴﻬﹺﻢﺰﻳﺔﹶ ﻭﻜﹾﻤﺍﻟﹾﺤ ﻭﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜﻢﻬﻠﱢﻤﻌﻳ ﻭﻚﺎﺗ ﺁﻳﻬﹺﻢﻠﹶﻴﻠﹸﻮ ﻋﺘ ﻳﻢﻬﻨﻮﻟﹰﺎ ﻣﺳ ﺭﻴﻬﹺﻢﺚﹾ ﻓﻌﺍﺑﺎ ﻭﻨﺑﺭ
“Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka
sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Mu dan mengajarkan
3
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risâlah, tahqiq Abd al-Fattah bin Zhafir Kabbarah, (Beirut-
Libanon, Dar an-Nafa’is, 1999) h. 235.
4
kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah
yang mahaperkasa, mahabjaksana.”
Lebih jauh lagi, bahwa penerimaan otoritas hadits merupakan bentuk
implementatif dari kewajiban beriman kepada Allah Swt yang mewajibkan beriman
sebagai pengamalan dari keimanan kepada Nabi Saw4. Bisa disimpulkan bahwa
otoritas hadits diterima oleh mayoritas ulama, tidak oleh seluruh ulama. Sementara
otoritas al-Qur’ân diterima bulat oleh seluruh ulama. Karena itu, wilayah cakupan
otoritas hadits tak hanya sebagai rujukan pengamalan dalam beragama (lil a’mâl),
dan rujukan keyakinan beragama (lâ lil ‘aqâ’id). Hal ini dinyatakan oleh Ibn ash-
ulama-ulama Hadits yang lain5. Amalan agama, seperti cara beribadah; shalat,
puasa, zakat atau haji dan cara-cara pergaulan; relasi keluarga, bertetangga, atau
kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sementara keyakinan agama; seperti sifat-
sifat Allah Swt, malaikat, kisah-kisah hari kiamat atau berita surga dan neraka.
Bagaimanapun juga dalam pergolakan dunia pemikir muslim, tak terhindar dari
perdebatan atas dasar pemahaman yang berbeda baik dalam hal ushuli maupun
furu’ sehingga banyak madzhab yang tumbuh semakin subur, tentunya menjadi
sebuah keniscayaan akan keluasan konsep, pemahaman dan dasar-dasar pola pikir,
lebih khusus dalam diskursus hadist, perbedaan ini sangat kental sekali bagaimana
Nabi akan syarat perbedaan, baik secara redaksi, arti dan substansi, sehingga
4
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risâlah, tahqiq Abd al-Fattah bin Zhafir Kabbarah, (Beirut-
Libanon, Dar an-Nafa’is, 1999) h. 236.
5
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwi fi Syarh Taqrîb an-Nawawi, tahqiq Ahmad
Umar Hisyam, (Beirut, Libanon Dar al-Kitab al-‘Arabi,1989) jilid I, h. 54.
5
terkesan dualisme pemahaman dan hukum yang tampak. Tak jarang para ulama
dengan hadits yang lain, maka yang harus dilakukan menggunakan metode-metode
kusus, sebagai langkah awal menuju proses penyatuan makna dan hukum, ada tiga
2. Apabila tidak ada hasil dalam proses kompromi, maka langkah selanjutnya
nasakh mansukh, oleh sebab itu secara substansi akan berdampak pada hukum,
3. Namun apabila langkah nasakh mansukh secara dalil tidak cukup kuat, maka
Terlepas dari itu, penulis sedikit mengulas tentang nasakh mansukh dalam
kajian hadits. Nasakh dalam bahasa artinya an-naql memindah atau attahwil
kemudian.8 Dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa antara yang
menghapus dengan yang dihapus terdapat suatu masa yang didalam masa
6
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah) 1997, h. 328
7
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah) 1997, h. 328
8
Wahbah Azzuhaili, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2004) h.
379.
6
berlaku hukum yang dinasakh, artinya jika nasakh tidak dijumpai, maka secara
pasti hukum yang telah ada tetap berlaku. Oleh pakar hadits menyikapi teori
nasakh mansukh, tentang status hadits sebagai nasakh terhadap sebagian hukum
jelas bahwa berlakunya hukum tersebut telah habis atau tidak bisa
diamalkan lagi atau syara’ sudah menurunkan ayat tentang tidak berlakunya
9
Hamadah, Abbas Mutawaliy, al-Sunnah al-Nabawiyyah Wa Makanatuha Fi al-Tasyri’, Tahqiq
Muhammad Abu Zahrah, (Kairo, Mathba’ah Dar al-Qamiyyah, tth) h 169-170
7
sehingga bisa dapat disimpulkan teks yang lahir dan tertuang dalam literatur
hadits tidak serta merta langsung dikaji dengan teori nāsikh mansūkh.
hadits sebagai nasakh terhadap sebagian hukum yang telah ditetapkan al-
kalangan ulama ushul fiqh, ada yang memposisikan nāsikh mansūkh sebagai
ijma’ sehingga secara otomatis setatusnya qot’i, ada pula pendapat yang
itu konsep nāsikh mansūkh lahir atas dasar ijtihad oleh para ulama.11
nikah mut’ah, secara faktual nikah mut’ah tercatat dalam lintas sejarah umat
10
Hamadah, Abbas Mutawaliy, al-Sunnah al-Nabawiyyah Wa Makanatuha Fi al-Tasyri’, Tahqiq
Muhammad Abu Zahrah, (Kairo, Mathba’ah Dar al-Qamiyyah, tth) h 169-171
11
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah, 1997) h. 328
12
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah,) 1997, h. 361
8
as-Sunnah seperti dalam kitab Shahih Al- Bukhari dan Muslim. Namun
disisi lain, hadis-hadis yang melarang tentang nikah muth’ah tidak sedikit
positif semua itu memberi kesan dinamisasi hukum Islam, namun disisi lain,
tema itu memberi isyarat perbedaan yang sangat alot para ulama dalam
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
Esa.”14
Secara eksplisit kata “kekal” dalam pasal di atas berarti pernikahan yang
13
Muslim bin al-Ḥajjâj al-Naisâburî. Ṣaẖîẖ Muslim , (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid.1, h.
640
14
Undang- Undang perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, hlm 5.
9
Bukti lain ialah dengan dikeluarkannya fatwa haram nikah mut’ah oleh
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
1. Nikah mut’ah hukumnya adalah HARAM.
2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
bila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan
diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.15
Berangkat dari fakta di atas, akan banyak sekali sudut pandang mengenai
tema nikah mut’ah yang harus diungkap. Oleh karena itu penulis menarik
untuk mengkaji dan meneliti hadits-hadist nikah mut’ah, lebih intens lagi
kajian hadits dalam bentuk karya ilmiah skripsi dengan judul: “Analisis
1. Identifikasi Masalah
15
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003,) hlm 170-
173
10
nikah mut’ah.
e. Mengapa hadis larangan nikah mut’ah dimuat dalam satu bab khusus dalam
kitab-kitab hadis.16
f. Bagaimana hukum nāsikh mansūkh yang terjadi lebih dari satu kali.
2. Batasan Masalah
pada poin a terkait bagaimana pandangan ulama hadis dalam memahami hadis
nikah mut’ah, serta hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan. Poin b meliputi
dipoin c penulis mencoba melacak apakah betul teori nasakh mansukh mendapat
3. Rumusan Masalah
C. Telaah Pustaka
Sepanjang penulusuran peneliti dari data daftar skripsi Jurusan Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dari nomor 1 sampai 850, belum ada yang
16
Dalam Ṣahîh Muslim dicantumkan Bab Nikah Mut’ah. Muslim bin al-Ḥajjâj al-Naisâburî. Ṣaẖîẖ
Muslim , (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid.1, h. 640
11
hadits nikah mut’ah. Penulis memberikan judul ini hasil bacaan dan pengamatan
dari berbagai kitab ilmu hadits, ushul fiqh, buku, karya ilmiah, jurnal, data di
antaranya:
1. Makalah Zuhdi Zaini dengan judul “Syarah dan kritik dengan Metode Takhrij
Hadis Tentang Larangan Nikah Muth’ah dan memakan Daging Keledai Piaraan
muth’ah, serta komentar para perawi, tidak sampai mengupas konsep nasakh
Kebolehan Nikah Mut’ah) yang disusun oleh Muhammad Arif Slamet Raharjo,
Syi’ah. Terlebih menyoroti kualitas hadits dari dua madzhab tersebut, Penulis
3. Penelitian lain, diangkat oleh Masykur dengan mengambil judul Nikah Mut’ah
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Nikah Mut’ah Menurut Syi’ah).
Dia mengungkap dalil al-Qur’an dan Hadits bertema nikah mut’ah yang menjadi
bahan perdebatan antara Mazhab Ahl as-Sunnah dan Syi’ah. Metode pengolahan
17
. Makalah disusun oleh Zuhdi Zaini dipresentasikan diseminar kampus ICAS (Jakarta , 2012)
18
Masykur, Nikah Mut’ah dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Nikah Mut’ah Menurut
Syi’ah), Salatiga: Skripsi Diajukan Untuk Memperoleh Gelar S.Hi Pada Jurusan Syari’ah STAIN
Salatiga, 2004.
12
melakukan suatu bentuk diskriminasi. Hal ini lebih disebabkan karena salah satu
kedua belah pihak sama-sama tidak ingin terjadi permasalahan yang berakibat
fatal dikemudian hari. Kesimpulan yang didapat, bahwa nikah mut’ah harus
tetap didudukkan sebagai salah satu pembinaan bertahap yang biasa dilakukan
oleh Rasulullah saw dalam tugas mereformasi hukum, karena itu tidak pernah
5. Kitab Mu’jam Ushul Fiqh Karangan Khaliq Romdhon Hasan, penyusun hanya
menjelaskan tema tema besar dalam kajian ushul fiqh, kemudian oleh penyusun
dipaparka secara sederhana sesuai abjad huruf seperti pengertian nasakh dan
mansukh.20
mencoba untuk memetakan hadis hadis nikah mut’ah, perbedaan teologis yang
1. Tujuan Penelitian
Mengetahui teori nāsikh mansūkh, serta alasan apa saja yang digunakan
dalam kajian hadits dan ushul fiqh. Mengetahui nikah mut’ah dalam kitab-kitab
19
Muhammad Hasyim, Nikah Mut’ah Perspektif Keadilan Gender, (Salatiga: Skripsi Diajukan
Untuk Memperoleh Gelar S.Hi Pada Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga , 2001.)
20
Khaliq Ramdhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (Beirut, Raudhah, 1998) h, 307.
21
Muhammad Nashrul Haqqi, “Pendekatan Epistemologi Dan Intersubjektif Atas Hadis-Hadis
Nikah Mut’ah” Volume 24 no. 2 (Oktober 2014)
13
2. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
dengan penelitian ini baik secara langsung maupun tidak. Sumber utama
penelitian ini yaitu hadits dalam kitab Ṣaẖiẖ Muslim, Ṣaẖiẖ Ibn Ḥiban, Sunan
al-Nasâ’i, Sunan Ibn Majah, Musnad Aẖmad Ibn Ḥanbal, Muwata’ Mâlik.
Sumber data sekundernya, perihal tentang teori nāsikh mansūkh, dalam hal
ini banyak merujuk dalam kitab al-Ijtihad Fi Ilmi al-Hadîts Wa Atsârîhî Fi al-
Fiqhi al-Islami, sumber data sekunder lain penelitian ini diambil dari buku al-
hukum dengan pendekatan uṣūl fiqh karya dari Sheikh Wahbah al-Zuhailī.
14
2. Pendekatan Penelitian
demikian, pendekatan ini akan mempermudah proses analisis dalam skripsi ini.
menempatkan teks, dalam hal ini Hadits, sebagai data empiris. Adapun pedoman
penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis dan ideal antara
berikut:
tujuan, manfaat, dan metode penelitian, supaya penelitian terarah dan sesuai
22
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2012-2013 (Jakarta; Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012-2013).
15
nasakh dan kehujahan nāsikh dan mansūkh. Langkah selanjutnya bab ketiga,
penulis akan menyajikan hadits hadits nikah mut’ah yang bersetatus mansukh
dan nasakh.
mansūkh dalam diskursus hadits, sehingga diakhir bab ini akan ada kesimpulan
kesimpulan yang akan dipaparkan dalam bab V yang merupakan bab penutup.
16
BAB II
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata nāsikh secara bahasa memiliki
" Nasakh ialah pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang
mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datangnya kemudian.25
23
al-Anshari, Abi Yahya Zakaria, Ghâyatul Whushûl, (Pati, Mabadi Sejahtera, 2012) h 297
24
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 934
25
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 935
16
17
ﻭﺍﳌﺨﺘﺎﺭ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺴﺦ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺣﻜﻤﺎ ﻣﻨﻪ ﻣﺘﻘﺪﻣﺎ ﲝﻜﻢ ﻣﻨﻪ ﻣﺘﺄﺧﺮ
“Penghapusan Syar’i terhadap suatu hukum yang datang duluan dengan hukum
yang datang belakangan “.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu nāsikh
berlawanan secara makna, yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi
hukum. Dan dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa antara yang
merusak dengan yang dirusak itu terdapat suatu masa yang di dalam masa
berlaku hukum di nāsakh, artinya jika nasakh tidak dijumpai, maka secara pasti
Mengenai masalah syarat-syarat yang harus ada pada unsur-unsur nāsikh, para
ahli ushul berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang pemikiran, dalam
masalah syarat apa saja yang harus ada pada unsur-unsur nāsakh tersebut,
1. Kriteria yang sudah disepakati, yaitu sebagai berikut: Nāsikh syaratnya ialah:
b) Hukum yang pada nāsikh, harus lebih kuat dibanding dengan hukum yang
c) Nāsikh harus berupa dalil syara’. Jika tidak, seperti kematian, maka hal ini
26
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 935
27
Jalaluddin al Suyuti, Tadrib al Rawi fi Syarhi Taqrib al Nawawi, (Riyadh: Dar al Toyyibah,
t.th), jilid 2, hlm. 642,
18
e) Kualitas hukum yang ada didalam nāsikh, harus sama kuatnya dengan yang
ada pada mansūkh30. Karena itulah, nāsakh mansūkh bisa terjadi pada:
penantian istri yang ditinggal suaminya karena meninggal dunia, surat al-
ﻦﻠﹶﻬ ﺃﹶﺟﻦﻠﹶﻐﺍ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺍ ﺑﺮﺸﻋ ﹴﺮ ﻭﻬﺔﹶ ﺃﹶﺷﻌﺑ ﺃﹶﺭﻔﹸﺴِﻬﹺﻦ ﺑﹺﺄﹶﻧﻦﺼﺑﺮﺘﺎ ﻳﺍﺟﻭﻭﻥﹶ ﺃﹶﺯﺬﹶﺭﻳ ﻭﻜﹸﻢﻨﻥﹶ ﻣﻓﱠﻮﻮﺘ ﻳﻳﻦﺍﻟﱠﺬﻭ
(234) ﺒﹺﲑﻠﹸﻮﻥﹶ ﺧﻤﻌﺎ ﺗ ﺑﹺﻤﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﻭﻑﺮﻌ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤﻔﹸﺴِﻬﹺﻦﻲ ﺃﹶﻧ ﻓﻠﹾﻦﺎ ﻓﹶﻌﻴﻤ ﻓﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺎﺡﻨﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟ
ﺮﻝﹺ ﻏﹶﻴﻮﺎ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﹾﺤﺎﻋﺘ ﻣﺍﺟﹺﻬﹺﻢﻭﺄﹶﺯﺔﹰ ﻟﻴﺻﺎ ﻭﺍﺟﻭﻭﻥﹶ ﺃﹶﺯﺬﹶﺭﻳ ﻭﻜﹸﻢﻨﻥﹶ ﻣﻓﱠﻮﻮﺘ ﻳﻳﻦﺍﻟﱠﺬﻭ
ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﻭﻑﺮﻌ ﻣﻦ ﻣﻔﹸﺴِﻬﹺﻦﻲ ﺃﹶﻧ ﻓﻠﹾﻦﺎ ﻓﹶﻌﻲ ﻣ ﻓﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺎﺡﻨ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟﻦﺟﺮﺍﺝﹴ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺧﺮﺇﹺﺧ
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
takhṣiṣ.32
ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻭ،ﻰﺜﹶﻨ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﺑﺪﻤﺤﻣ ﻭ،ﺮﹴﻴﻤﻦﹺ ﻧ ﺍﷲِ ﺑﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺤﻣ ﻭ،ﺔﹶﺒﻴ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺷﻦﻜﹾﺮﹺ ﺑﻮ ﺑﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪﺣ
،ﺓﹶﺮ ﻣﻦ ﺑﺍﺭﺮ ﺿﻮﻫ ﻭﺎﻥﻨ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳﻦ ﻋ،ﻞﹴﻴ ﻓﹸﻀﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣ:ﺮﹴ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍﻴﻤﻦﹺ ﻧﺍﺑﻜﹾﺮﹴ ﻭﺄﹶﺑﹺﻲ ﺑﻟ
ﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋﻮﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻﺳ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ: ﻗﹶﺎﻝﹶ، ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦ ﻋ،ﺓﹶﺪﻳﺮﻦﹺ ﺑﻦﹺ ﺍﺑ ﻋ،ﺛﹶﺎﺭﹴﻦﹺ ﺩﺎﺭﹺﺏﹺ ﺑﺤ ﻣﻦﻋ
hadits yang kuat tidak bisa dinasakh dengan hadits yang lemah, begitu
32
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 966
33
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 967
20
juga hadits yang bersifat qat’i tidak bisa dinasakh dengan hadits yang
34
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm , (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 461
35
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 970
21
ulama, pendapat Ibnu Hazm al-Ẓahiriy hal yang mungkin dan realistis al-
kepada ahli waris, hal ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180:
ﺑﹺﲔﺍﻟﹾﺄﹶﻗﹾﺮﻦﹺ ﻭﻳﺪﺍﻟﻠﹾﻮ ﹸﺔ ﻟﻴﺻﺍ ﺍﻟﹾﻮﺮﻴ ﺧﻙﺮ ﺇﹺﻥﹾ ﺗﺕﻮ ﺍﻟﹾﻤﻛﹸﻢﺪ ﺃﹶﺣﺮﻀ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺣﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺐﻛﹸﺘ
ﺰﹺﻳﺪ ﻳﻦﻦﹺ ﺑﻤﺣ ﺍﻟﺮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻮﺭﺎﺑﻦﹺ ﺷﺐﹺ ﺑﻴﻌ ﺷﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺎﺭﹴﻤ ﻋﻦ ﺑﺎﻡﺸﺎ ﻫﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺎﻗﹶﺔ ﻧﺖﺤﻲ ﻟﹶﺘ ﺇﹺﻧ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻚﺎﻟﻦﹺ ﻣﺲﹺ ﺑ ﺃﹶﻧﻦ ﻋ،ﺛﹶﻪﺪ ﺣﻪ ﺃﹶﻧﻴﺪﻌﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳ ﺑﻴﺪﻌ ﺳﻦ ﻋ،ﺎﺑﹺﺮﹴﻦﹺ ﺟﺑ
ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻟﹶﺎ،ﻘﱠﻪ ﺣﻖﻱ ﺣﻄﹶﻰ ﻛﹸﻞﱠ ﺫ ﺃﹶﻋ ﻗﹶﺪ " ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳﻪﺘﻌﻤﺎ ﻓﹶﺴﻬﺎﺑ ﻟﹸﻌﻠﹶﻲﺴِﻴﻞﹸ ﻋ ﻳﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺭ
" Sesungguhnya Allah memberikan hak setiap orang yang berhak, ingat
tidak ada wasiat untuk ahli waris”37
Namun menurut Imam Syafi’i tidak boleh al-Qur’an dinasakh dengan
36
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm , (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 477
37
Majah, Ibnu, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 4 h. 134
22
106. ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Secara esensial bahwa nasakh sepenuhnya ada di al-Qur’an dengan
itu bahwa hadits hanya berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur’an bukan
5) Nasakh Ijma’
dalil qat’i. Oleh sebab itu ketika terjadi dua ijma’ maka dipastikan
salahsatunya salah39.
ijma’ tidak mengalami proses nasakh mansūkh, sebab ijma’ bertumpu pada
maṣlahat, oleh karena itu ketika ijma’ tidak sesuai dengan nilai-nilai
38
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 972
39
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 974
23
Mu’tazilah dan Isa Bin Abban, memperbolehkan nasakh dengan ijma’, ada
sepenuhnya untuk memilih diantara dua pendapat, dan yang kedua dalil
yang bersifat kusus bisa menggunakan ijma’, oleh karena itu boleh pula
ﻲ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﻪ ﺃﹶﻧ- ﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻ- ﺒﹺﻲ ﺍﻟﻨﻦ »ﻋ- ﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿ ﺭ- ﺔﹶﺎﻭﹺﻳﻌ ﻣﻦﻋﻭ
ﺜﹶﺔﹶ ﺍﻟﺜﱠﺎﻟﺮﹺﺏ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ ﺛﹸﻢ،ﻭﻩﺪﻠ ﻓﹶﺎﺟﺮﹺﺏ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ ﺛﹸﻢ،ﻭﻩﺪﻠ ﻓﹶﺎﺟﺮﹺﺏ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ:ﺮﹺﻤﺎﺭﹺﺏﹺ ﺍﻟﹾﺨﺷ
ﺔﹸﻌﺑﺍﻟﹾﺄﹶﺭ ﻭ،ﺬﹶﺍ ﻟﹶﻔﹾﻈﹸﻪﻫ ﻭ،ﺪﻤ ﺃﹶﺣﻪﺟﺮ« ﺃﹶﺧﻘﹶﻪﻨﻮﺍ ﻋﺮﹺﺑﺔﹶ ﻓﹶﺎﺿﺍﺑﹺﻌ ﺍﻟﺮﺮﹺﺏ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ ﺛﹸﻢ،ﻭﻩﺪﻠﻓﹶﺎﺟ
.ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻦﺎ ﻋﺮﹺﳛﺩ ﺻﺍﻭﻮ ﺩ ﺃﹶﺑﻚ ﺫﹶﻟﺝﺮﺃﹶﺧ ﻭ،ﻮﺥﺴﻨ ﻣﻪﻠﹶﻰ ﺃﹶﻧﻝﱡ ﻋﺪﺎ ﻳ ﻣﻱﺬﻣﺮ ﺍﻟﺘﺫﹶﻛﹶﺮﻭ
ﺮﻤ ﺍﻟﹾﺨﺮﹺﺏ ﺷﻦ »ﻣ- ﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻ- ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ:ﺐﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶﻳﻦﹺ ﺫﹸﺅﺔﹶ ﺑ ﻗﹶﺒﹺﻴﺼﻦﻋ
ﺮﹺﺏ ﺷﻞﹴ ﻗﹶﺪﺟ ﺑﹺﺮﻲ ﻓﹶﺄﹸﺗ: ﻗﹶﺎﻝﹶ.ﻠﹸﻮﻩ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘﺔﺍﺑﹺﻌﻲ ﺍﻟﺮ ﻓﺮﹺﺏ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ ﺛﹸﻢ: ﺇﻟﹶﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ- ﻭﻩﺪﻠﻓﹶﺎﺟ
40
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 298
41
Muhammad Salim, Athiyah, Subulu al-Salam , (Beirut: Dar al-Ilm, 1996) hadis no 1163 jilid 2
h. 445
24
ﻩﻠﹶﺪﺔﹶ ﻓﹶﺠﺍﺑﹺﻌ ﺍﻟﺮ ﺑﹺﻪﻲ ﺃﹸﺗ ﺛﹸﻢﻩﻠﹶﺪ ﻓﹶﺠﺮﹺﺏ ﺷ ﻗﹶﺪ ﺑﹺﻪﻲ ﺃﹸﺗ ﺛﹸﻢ،ﻩﻠﹶﺪ ﻓﹶﺠﺮﹺﺏ ﺷ ﻗﹶﺪ ﺑﹺﻪﻲ ﺃﹸﺗ ﺛﹸﻢ،ﻩﻠﹶﺪﻓﹶﺠ
melebihi batas tiga kali maka harus dibunuh, namun hadits lain peminum
khamar yang melebihi batas tiga kali tidak dibunuh. Isa Bin Abban dan
ulama-ulama lain menyikapi dua hadits tersebut dinilai ada proses nāsikh
ﻟﹶﻪﺞﺘﺍﺣﻠﹾﻢﹺ ﻭﻞﹺ ﺍﻟﹾﻌ ﺃﹶﻫﻦﻴ ﺑﻴﻪ ﻓﻠﹶﺎﻑﺘﺎ ﻟﹶﺎ ﺍﺧﻤﻞﹺ( ﻣ ﺍﻟﹾﻘﹶﺘﺦﺴ ﻧﺮﹺﻳﺪﺬﹶﺍ )ﻳ ﻫ:ﻲﻌﺎﻓﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﺸﻭ
6) Nasakh Qiyas
Respon ulama cukup logis terkait proses nasakh dengan qiyas, dalam hal
memastikan tidak ada proses nāsikh mansūkh dalam kaitan qiyas, karena
memang legalitas hukum formal bisa dicapai ketika nabi Muhammad Saw,
mujtahid, yang tak mungkin ada mujtahid lain untuk menentukan. Oleh
karena itu ketika disaat nabi Muhammad Saw, masih hidup, maka boleh
42
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 298
25
mansukh.43
Hukum diperbolehkan ini dibatasi sampai terbitnya fajar. Jika fajar sudah
ﺍﻟﻠﱠﻪﻢﻠ ﻋﻦ ﻟﹶﻬﺎﺱﺒ ﻟﻢﺘﺃﹶﻧ ﻭ ﻟﹶﻜﹸﻢﺎﺱﺒ ﻟﻦ ﻫﻜﹸﻢﺎﺋﻓﹶﺚﹸ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻧﹺﺴﺎﻡﹺ ﺍﻟﺮﻴﻠﹶﺔﹶ ﺍﻟﺼ ﻟﹶﻴﻞﱠ ﻟﹶﻜﹸﻢﺃﹸﺣ
ﺎﻮﺍ ﻣﻐﺘﺍﺑ ﻭﻦﻭﻫﺮﺎﺷ ﻓﹶﺎﻟﹾﺂﻥﹶ ﺑﻜﹸﻢﻨﻔﹶﺎ ﻋﻋ ﻭﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺎﺏ ﻓﹶﺘﻜﹸﻢﻔﹸﺴﻮﻥﹶ ﺃﹶﻧﺎﻧﺘﺨ ﺗﻢﺘ ﻛﹸﻨﻜﹸﻢﺃﹶﻧ
ﺩﻮ ﺍﻟﹾﺄﹶﺳﻂﻴ ﺍﻟﹾﺨﻦ ﻣﺾﻴﻂﹸ ﺍﻟﹾﺄﹶﺑﻴ ﺍﻟﹾﺨ ﻟﹶﻜﹸﻢﻦﻴﺒﺘﻰ ﻳﺘﻮﺍ ﺣﺑﺮﺍﺷﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻭ ﻭ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺍﻟﻠﱠﻪﺐﻛﹶﺘ
ﺎﺟﹺﺪﺴﻲ ﺍﻟﹾﻤﻔﹸﻮﻥﹶ ﻓﺎﻛ ﻋﻢﺘﺃﹶﻧ ﻭﻦﻭﻫﺮﺎﺷﺒﻟﹶﺎ ﺗﻞﹺ ﻭ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻴﺎﻡﻴﻮﺍ ﺍﻟﺼﻤ ﺃﹶﺗﺮﹺ ﺛﹸﻢ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠﻦﻣ
(187) ﻘﹸﻮﻥﹶﺘ ﻳﻢﻠﱠﻬﺎﺱﹺ ﻟﹶﻌﻠﻨ ﻟﻪﺎﺗ ﺁﻳ ﺍﻟﻠﱠﻪﻦﻴﺒ ﻳﻚﺎ ﻛﹶﺬﹶﻟﻮﻫﺑﻘﹾﺮ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ ﺍﻟﻠﱠﻪﻭﺩﺪ ﺣﻠﹾﻚﺗ
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa.
43
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 974
26
Hal ini tidak bisa disebut nasakh, sebab hukum pertama dengan
c) Hukum pengganti harus lebih kuat dari pada hukum yang dibatalkan. 46
Naṣ-naṣ yang tidak boleh dinasakh dapat dikelompokan menjadi tiga macam,
yaitu47:
ﻟﹶﺎﺓﹰ ﻭﻠﹾﺪ ﺟﺎﻧﹺﲔ ﺛﹶﻤﻢﻭﻫﺪﻠﺍﺀَ ﻓﹶﺎﺟﺪﻬ ﺷﺔﻌﺑﻮﺍ ﺑﹺﺄﹶﺭﺄﹾﺗ ﻳ ﻟﹶﻢ ﺛﹸﻢﺎﺕﻨﺼﺤﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﻤﻣﺮ ﻳﻳﻦﺍﻟﱠﺬﻭ
44
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 938
45
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 955
46
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 957
47
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 954
27
5. Naṣ yang didalamnya berisi pemberitaan suatu kejadian, baik yang sudah
terjadi atau belum terjadi, seperti cerita tentang Nabi Musa dan raja
sebagainya.
C. Klasifikasi Nasakh
Para ahli ushul yang mengakui keberadaan nasakh, membagi beberapa bagian,
yaitu:
1) Nasakh bacaannya, tetapi hukumnya tetap berlaku, seperti hukum ranjam bagi
laki-laki dan wanita tua yang telah menikah dan hal ini dinasakh dengan ayat
lain
“Laki-laki tua dan perempuan tua (sudah pernah kawin), apabila mereka
berzina, rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Tuhan”.48
2) Nasakh hukumnya, tetapi bacaannya masih ada, seperti nasakh terhadap
saudara menyusui dengan batasan sepuluh kali menjadi hanya lima kali,
ﻦ ﻋ،ﺓﹶﺮﻤ ﻋﻦ ﻋ،ﻜﹾﺮﹴﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ ﺍﷲِ ﺑﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﻚﺎﻟﻠﹶﻰ ﻣ ﻋﺃﹾﺕ ﻗﹶﺮ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻰﻴﺤ ﻳﻦﻰ ﺑﻴﺤﺎ ﻳﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺛﹸﻢ،ﻦﻣﺮﺤ ﻳﺎﺕﻠﹸﻮﻣﻌ ﻣﺎﺕﻌﺿ ﺭﺮﺸ ﻋ:ﺁﻥ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﻦﺰﹺﻝﹶ ﻣﺎ ﺃﹸﻧﻴﻤ " ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻓ:ﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖﻬ ﺃﹶﻧ،ﺔﹶﺸﺎﺋﻋ
48
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut, Dar al Ma’rifah, tt), Jilid II h
37-38.
49
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut, Dar al Ma’rifah, tt), Jilid II h
39.
28
ﻦﺃﹸ ﻣﻘﹾﺮﺎ ﻳﻴﻤ ﻓﻦﻫ ﻭ،ﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋﻮﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻﺳ ﺭﻓﱢﻲﻮ ﻓﹶﺘ،ﺎﺕﻠﹸﻮﻣﻌﺲﹴ ﻣﻤ ﺑﹺﺨ،ﻦﺴِﺨﻧ
" ﺁﻥﺍﻟﹾﻘﹸﺮ
4) Penambahan hukum dari hukum yang pertama, dalam masalah ini yang
proses nasakh, maksudnya jika naṣ tersebut bersifat qaṭ’i, maka tidak
50
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 299
51
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 300
29
rakaat pada ṣalāt subuh yang hanya dua rakaat. Hal ini berarti
orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 dera dan
Pada dasarnya nasakh dan takhṣiṣ memiliki persamaan dan perbedaan, untuk
hukum dari satu lafadz, hanya saja takhṣiṣ lebih spesifik, dalam takhṣiṣ
beriringan.
52
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 479
53
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm , (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 481
54
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 309
30
dan aqli.
kasus tersebut.
e) Nasakh tidak boleh mentakhṣiṣ suatu lafadz yang bersifat qaṭ’i kecuali
yang qaṭ’i dengan menggunakan dalil qiyas, hadits ahad dan dalil-dalil
yang mengakui adanya nasakh adalah: Ibn Khuzaymah, Ibn Salamah, Ibn Hilal,
Musthafa Zayd, Abu Ja’far, Ibn Zayd al-Qa’qa’, Abu Ja’far al-Nuhas, al-Zarkasyi,
Ibn Hazm,55 al-Syuyuti56. Sedangkan ulama yang menolak ialah: Muhammad Abu
55
Ahmad, Baidowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasakh Mansukh, (Bandung:
Nuansa, 2005), h. 82
56
Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Syuyuti, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an (al-
Madaniyah al-Munawarah; Markaz al-Dirasat al-Qur’aniyyah, 1426 H) juz 4, h. 1437
57
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat, Lentera Hati, 2013), h. 286.
31
Pada umumnya nāsikh dan mansūkh dalam berbagai kasus hanya terjadi satu
kali, namun hal ini berbeda pada kasus nikah mut’ah, sebagaimana keterangan yang
disampaikan oleh Abdullah bin Yusuf; ketika nasakh berulang-ulang, atau terjadi
lebih dari satu kali maka tidak ada pengaruh hukum secara signifikan dan nasakh
Kritik terhadap teori naskh dalam kajian hadits sebagai produk pemikiran
manusia, pada kurun waktu tertentu teori nasakh sering digunakan dan dianggap
hadits yang muncul lebih dahulu dan yang lebih akhir. Dengan bantuan ilmu
tawarikh al-mutun, teori ini dapat membantu menjelaskan aspek historis kapan dan
Sedangkan di antara kelemahan atau keterbatasan teori naskh antara lain bahwa
tidak semua hadis yang tampak saling bertentangan itu dapat dipahami dengan teori
ini. Hal ini dapat dipahami karena teori naskh terlalu bergantung pada harus adanya
tanda-tanda yang terdapat dalam hadis yang diteliti. Teori ini menimbulkan
58
Abdullah bin Yusuf. Taisir Ilmu Ushul al-fiq, Bab Thoriq Ma’arifat Nasakh (Bairut: Dār al-
Kutub, 1997), jilid 1 h. 369
59
‘Izz al-Din Husein al-Syaikh, Mukhtasar al-NaSikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 6.
60
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbar Fi Mansukh al-Akhbar,(Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988), h. 6.
32
Oleh karena itu, hadits dianggap nāsikh dapat diterima sedangkan hadits yang
sebagian nilai dan petunjuk yang terkandungnya pun tidak dipakai. Padahal, hadits-
hadits yang dinilai mansūkh itu mungkin saja kualitas sanad dan matannya sahih.
Kenyataan ini merupakan perbedaan yang mencolok dengan teori al-jam’u yang
menghendaki agar semua hadits yang terkesan kontradiktif dapat dipahami dengan
diabaikan.61
terlalu didominasi oleh tolok ukur waktu atau sejarah kemunculan hadis. Dalam
teori ini, logika kesejarahan lebih dilihat secara formal bahwa yang terbaru adalah
yang terbaik dan harus dipakai, sedangkan yang lama tidak layak lagi dipakai.
Memang ada yang menerapkan teori naskh dengan memperhatikan aspek kualitas
hadits-hadits yang bersangkutan. Akan tetapi penerapan naskh dengan cara yang
disebutkan belakangan ini akan tumpang tindih dengan teori tarjih dan membuka
Nabi tidak tersentuh oleh teori ini. Hal ini dikarenakan teori naskh lebih
seringkali tak terjangkau. teori ini telah membuka lebar peluang untuk secara
61
Husein al-Syaikh, ‘Izz al-Din. Mukhtasar al-Nasikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw.
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1993), h. 28.
62
. Yusuf al-Qardawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Terj. Muhammad al-Baqir
(Bandung: Karisma, 1993), h. 129.
33
dianggap sebagai nāsikh dan mansūkh itu sebagian besar tidak didasarkan atas
nasakh kembali. 63
63
Jassir Auddah. Naqd Nadzariyyah al-Naskh. (Beirut: Asyab’ah al-Arabiyyah. 2013), h. 70
34
BAB III
Secara faktual muth’ah atau nikah muth’ah telah eksis dalam lintas sejarah
shahih termasuk shahih Bukhari dan Muslim. Namun disisi lain, hadits-hadits
yang melarang tentang nikah muth’ah tidak sedikit jumlahnya dibeberapa kitab
hadits.
sebagai berikut:
ﺑﻦ ﻦﺴﻧﹺﻲ ﺍﻟﹾﺤﺮﺒ ﺃﹶﺧ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻊﻤ ﺳﻪ ﺃﹶﻧ،ﺔﹶﻨﻴﻴ ﻋﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻴﻞﹶﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﺑﻚﺎﻟﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻦﹺﺎﺑ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ،ﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺎ ﺭﻴﻠ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻮﻩﺃﹶﺧ ﻭ،ﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤﻣ
ﺮﺒﻴ ﺧﻦﻣ ﺯﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ﺔﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﻦﻰ ﻋﻬ ﻧﺒﹺﻲ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻨ:ﺎﺱﹴﺒﻋ
Telah menceritakan kepada kami Malik bin Sufyan, telah menceritakan
kepada kami Ibn Uyainah, bahwa dia mendengar al Zuhri berkata, al Hasan bin
Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad telah
mengkhabarkan kepadaku dari ayahnya, bahwa Ali ra berkata kepada Ibn
Abbas, sesungguhnya nabi melarang muth’ah dan memakan daging keledai
piaraan pada masa khaibar.64
Kedua, penasakhan muth’ah pada umrah qadha. Abdurrazak dalam
dihalalkan kecuali tiga kali yaitu pada umrah qada’, tidak pernah dihalalkan
64
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 12. No hadits 5115
34
35
ﺪﻴﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺔﹶﻴﻮ ﺃﹸﻣﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪﺣﺡ ﻭ.ﺎﺭﹺﺏﹴﻀ ﻣﻦﻨﹺﻲ ﺍﺑﻌﺍﻥﹸ ﻳﻴﺪﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻗﱢﻲ ﺍﻟﺮﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑﻔﹶﺮﻌﺎ ﺟﺛﹶﻨﺪﺣ
" ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﺖﻌﻤ ﺳ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻮﺏ ﺃﹶﻳﻦ ﻋ،ﺪﻳ ﺯﻦ ﺑﺎﺩﻤﺎ ﺣﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺍﺭﹺﻳﺮﹺﻱ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮﺍﻟﻠﱠﻪ
ﺪﻨ ﻋﻦﺤﻧ ﻭ، ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦ ﻋ،ﻞﹲﺟﺛﹶﻨﹺﻲ ﺭﺪ ﺣ:؟ ﻗﹶﺎﻝﹶﺛﹶﻚﺪ ﺣﻦ ﻣ:ﻗﹸﻠﹾﺖ." ﺢﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺘﺎﻡﺎﺀِ ﻋﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦﻰ ﻋﻬﻧ
ﺓﹶﺮﺒ ﺳﻦ ﺑﺑﹺﻴﻊ ﺍﻟﺮﻪ ﺃﹶﻧﺮﻤﻌ ﻣﻢﻋﺯ ﻭ:ﺎﺩﻤﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ.ﺰﹺﻳﺰﹺ ﺍﻟﹾﻌﺪﺒﻦﹺ ﻋ ﺑﺮﻤﻋ
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad al Raqqi, telah
menceritakan kepada kami Sidan yakni ibnu Mudharib dan telah menceritakan
kepada kami Abu Umayyah, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah al
Qawariri, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayub
berkata, aku mendengar al Zuhri berkata, bahwa Rasulallah saw melarang
muth’ah al nisa’ pada am al fath. Aku bertanya, siapa yang telah menceritakan
kepadamu? Dia menjawab, telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki dari
ayahnya, dan kami disisi Umar bin Abdul Aziz, Hammad berkata, Ma’mar
mengira bahwa dia adalah al Rabi’ bin Sabrah.65
menurut pendapat yang lain berbeda. Am al fath terjadi dibulan ramadhan sedang
ﺪﺍﺣ ﺍﻟﹾﻮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑﺲﻮﻧﺎ ﻳﺛﹶﻨﺪﻰ ﺣﻴﺤ ﻳﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣﺩﺍﻭ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺩﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻰ ﻓﺺﺧ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺒﹺﻰ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦﺔﹶ ﻋﻠﹶﻤﻦﹺ ﺳﺎﺱﹺ ﺑ ﺇﹺﻳﻦﺲﹴ ﻋﻴﻤﻮ ﻋﺛﹶﻨﹺﻰ ﺃﹶﺑﺪ ﺣﺎﺩ ﺯﹺﻳﻦﺑ
65
Ab Awanah, mustakhrij Abi Awanah, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) h. 45 no hadis. 324
36
yang diriwayatkan oleh al Hazami dari jalur Abbad bin Katsir dari Ibnu Uqail
dari Jabir. Keenam, penasakhan muth’ah saat haji wada’. Berdasarkan hadis yang
ﺮﻤ ﻋﺪﻨﺎ ﻋ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹸﻨﺮﹺﻯﻫﻦﹺ ﺍﻟﺰﺔﹶ ﻋﻴﻦﹺ ﺃﹸﻣﻴﻞﹶ ﺑﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﻋﺍﺭﹺﺙ ﺍﻟﹾﻮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﺪﻫﺮﺴ ﻣﻦ ﺑﺩﺪﺴﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻪﻠﹶﻰ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺃﹶﻧ ﻋﺪﻬﺓﹶ ﺃﹶﺷﺮﺒ ﺳﻦ ﺑﺑﹺﻴﻊ ﺭﻘﹶﺎﻝﹸ ﻟﹶﻪﻞﹲ ﻳﺟ ﺭﺎﺀِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪﺴﺔﹶ ﺍﻟﻨﻌﺘﺎ ﻣﻧﺬﹶﺍﻛﹶﺮﺰﹺﻳﺰﹺ ﻓﹶﺘ ﺍﻟﹾﻌﺪﺒﻦﹺ ﻋﺑ
.ﺍﻉﹺﺩ ﺍﻟﹾﻮﺔﺠﻰ ﺣﺎ ﻓﻬﻨﻰ ﻋﻬ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺙﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺭﺪﺣ
A. Hadits-Hadits Mansūkh
ﺖﻌﻤﺎﺭﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳﻳﻨﻦﹺ ﺩﺮﹺﻭ ﺑﻤ ﻋﻦﺔﹸ ﻋﺒﻌﺎ ﺷﺛﹶﻨﺪﻔﹶﺮﹴ ﺣﻌ ﺟﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺎﺭﹴ ﺣﺸ ﺑﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﻭﺣ
ﻮﻝﹺﺳﻱ ﺭﺎﺩﻨﺎ ﻣﻨﻠﹶﻴ ﻋﺝﺮﻉﹺ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺧﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮﺔﹶ ﺑﻠﹶﻤﺳ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ ﺟﻦﺙﹸ ﻋﺪﺤ ﻳﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑﻦﺴﺍﻟﹾﺤ
ﻨﹺﻲﻌﻮﺍ ﻳﻌﺘﻤﺘﺴ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺃﹶﺫ ﻗﹶﺪﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺭﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺍﻟﻠﱠﻪ
ِﺎﺀﺴﺔﹶ ﺍﻟﻨﻌﺘﻣ
66
Daruquthi, Sunan Daruquthni, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid, 8, hlm. 453 hadis yang
senada juga diriwayatkan dalam al Sunan al Kubra , jilid, 7, hlm. 204.
67
Abu Daud Slaiman al asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003)
jilid, 1, h.476
37
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Basyar ibn Dinar,
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Amr ibn Dinar berkata, aku mendengar al Hasan bin
Muhammad menceritakan dari Jabir ibn Abdullah dan Salamah ibn Akwa’,
keduanya berkata, telah keluar kepada kami penyeru Rasulallah saw seraya
berkata, sesungguhnya Rasulallah saw telah mengizinkan untuk melakukan
muth”ah nisa.68
ﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺎﺑﹺﺮ ﺟﻡﻄﹶﺎﺀٌ ﻗﹶﺪﺞﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋﻳﺮ ﺟﻦﺎ ﺍﺑﻧﺮﺒﺍﻕﹺ ﺃﹶﺧﺯ ﺍﻟﺮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﺍﻧﹺﻲﻠﹾﻮ ﺍﻟﹾﺤﻦﺴﺎ ﺍﻟﹾﺤﺛﹶﻨﺪﻭﺣ
ﺪﻬﻠﹶﻰ ﻋﺎ ﻋﻨﻌﺘﻤﺘ ﺍﺳﻢﻌﺔﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻧﻌﺘﻭﺍ ﺍﻟﹾﻤ ﺫﹶﻛﹶﺮﺎﺀَ ﺛﹸﻢﻴ ﺃﹶﺷﻦ ﻋﻡ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮﺄﹶﻟﹶﻪ ﻓﹶﺴﻪﺰﹺﻟﻨﻲ ﻣ ﻓﺎﻩﺍ ﻓﹶﺠﹺﺌﹾﻨﺮﻤﺘﻌ ﻣﺍﻟﻠﱠﻪ
ﻮﻝﹶﺳ »ﺃﹶﻥﱠ ﺭ،ِ ﺍﷲﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑﺟ ﻭ،ﻉﹺﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮﺔﹶ ﺑﻠﹶﻤ ﺳﻦ ﻋ،ﺪﻤﺤﻦﹺ ﻣﻦﹺ ﺑﺴﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻋ،ﺎﺭﹴﻳﻨﻦﹺ ﺩﺮﹺﻭ ﺑﻤﻋ
ﻦ ﻋ،ﻴﻞﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﻋ،ﺮﹴ ﺑﹺﺸﻦﺍﺑ ﻭ،ﻴﻊﻛﻭ ﻭ، ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﹶﺑﹺﻲ،ﺍﻧﹺﻲﺪﻤﺮﹴ ﺍﻟﹾﻬﻴﻤﻦﹺ ﻧ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺤﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣ
ﺃﹶﻟﹶﺎ:ﺎ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ،ٌﺎﺀﺎ ﻧﹺﺴ ﻟﹶﻨﺲ ﻟﹶﻴﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﻊﻭ ﻣﺰﻐﺎ ﻧ " ﻛﹸﻨ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﺖﻌﻤ ﺳ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺲﹴﻗﹶﻴ
68
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640
69
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640 no hadits 2496
70
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim, kitab
Al-Nikah Mut’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 5, h. 654 no hadits 3302
38
: ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺃﹶ ﻋ ﻗﹶﺮ ﺛﹸﻢ،ﻞﹴﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮﺮ ﺍﻟﹾﻤﺢﻜﻨﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ ﻟﹶﻨﺺﺧ ﺭ ﺛﹸﻢ،ﻚ ﺫﹶﻟﻦ ﻋ،ﺎﺎﻧﻬﻲ ﻓﹶﻨﺼﺨﺘﺴﻧ
،" ﻳﻦﺪﺘﻌ ﺍﻟﹾﻤﺐﺤ ﻻ ﻳﻭﺍ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺘﻌﻻ ﺗ ﻭ ﻟﹶﻜﹸﻢﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﺃﹶﺣ ﻣﺎﺕﺒﻮﺍ ﻃﹶﻴﻣﺮﺤﻮﺍ ﻻ ﺗﻨ ﺁﻣﻳﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬﻬﺄﹶﻳﻳ
Kami berperang bersama Rasulullah SAW dan kami tidak mempunyai istri,
maka kami berkata: bolehkah kami mengebiri (diri kami), maka beliau melarang
yang demikian (mengebiri) kemudian memberi keringanan (rukhsoh) kepada kami
untuk menikahi wanita dengan (mahar) baju sampai batas waktu tertentu, lalu
Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah), “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang dihalalkan Allah atas
kamu”.71
: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿ ﺭ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺲﹴ ﻗﹶﻴﻦ ﻋ،ﻴﻞﹶﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﻋ،ﺪﺎﻟﺎ ﺧﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻥﻮ ﻋﻦﻭ ﺑﺮﻤﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻚ ﹶﺫﻟﺪﻌﺎ ﺑ ﻟﹶﻨﺺﺧ ﻓﹶﺮ،ﻚ ﺫﹶﻟﻦﺎ ﻋﺎﻧﻬ ﻓﹶﻨ،ﻲﺼﺘﺨ ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻧ:ﺎ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ،ٌﺎﺀﺎ ﻧﹺﺴﻨﻌ ﻣﺲﻟﹶﻴ ﻭﺒﹺﻲ ﺍﻟﻨﻊﻭ ﻣﺰﻐﺎ ﻧ" ﻛﹸﻨ
" ﻟﹶﻜﹸﻢﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﺃﹶﺣ ﻣﺎﺕﺒﻮﺍ ﻃﹶﻴﻣﺮﺤﻮﺍ ﻻ ﺗﻨ ﺁﻣﻳﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬﻬﺄﹶﻳﺃﹶ ﻳ ﻗﹶﺮ ﺛﹸﻢ،ﺏﹺﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮﺮ ﺍﻟﹾﻤﺝﻭﺰﺘﺃﹶﻥﹾ ﻧ
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah
SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya,
“Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang
kami dari yang demikian itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami
sesudah itu, yaitu dengan cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu
dengan (imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang
baik yang dihalalkan Allah atas kamu”.72
ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﻊﻭ ﻣﺰﻐﺎ ﻧ ﻛﹸﻨ: ﻗﹶﺎﻝﹶ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺲﹴ ﻗﹶﻴﻦ ﻋ،ﻴﻞﹸﺎﻋﻤﺎ ﺇﹺﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺪﻴﺒ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻲ ﺃﹶﻥﹾ ﻓﺪﻌﺎ ﺑ ﻟﹶﻨﺺﺧ ﺭ ﺛﹸﻢ،ﻪﻨﺎ ﻋﺎﻧﻬﻲ؟ " ﻓﹶﻨﺼﺨﺘﺴ ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻧ،ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺎ ﺭ ﻳ:ﺎ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ،ٌﺎﺀﺎ ﻧﹺﺴ ﻟﹶﻨﺲﻟﹶﻴﻭ
ﻞﱠﺎ ﺃﹶﺣ ﻣﺎﺕﺒﻮﺍ ﻃﹶﻴﻣﺮﺤﻮﺍ ﻻ ﺗﻨ ﺁﻣﻳﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬﻬﺄﹶﻳ ﻳ: ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺃﹶ ﻋ ﻗﹶﺮ ﺛﹸﻢ،" ﻞﹴﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮﺮ ﺍﻟﹾﻤﺝﻭﺰﺘﻧ
71
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid II h. 1022-1023, dalam ”Kitab an-Nikah”, hadits no. 11.
72
Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), V-VI: 228, dalam “Kitab at-Tafsir Surat al-Maa’idah”, hadits no. 4615.
39
SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya,
“Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang
kami dari yang demikian itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami
sesudah itu, yaitu dengan cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu
dengan (imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang
baik yang dihalalkan Allah atas kamu”73.
،ﺎﺏﺒ ﺷﻦﺤﻧ ﻭﺒﹺﻲ ﺍﻟﻨﻊﺎ ﻣ ﻛﹸﻨ: ﻗﹶﺎﻝﹶ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺲﹴ ﻗﹶﻴﻦ ﻋ،ﺪﺎﻟﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺧ ﺍﺑﻦ ﻋ،ﻴﻊﻛﺎ ﻭﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮﺮ ﺍﻟﹾﻤﺢﻜﻨﻲ ﺃﹶﻥﹾ ﻧﺎ ﻓ ﻟﹶﻨﺺﺧ ﺭ ﺛﹸﻢ،ﺎﺎﻧﻬﻲ؟ ﻓﹶﻨﺼﺨﺘﺴ " ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻧ،ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺎ ﺭ ﻳ:ﺎﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ
ﻟﹶﻜﹸﻢﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﺃﹶﺣ ﻣﺎﺕﺒﻮﺍ ﻃﹶﻴﻣﺮﺤ ﻻ ﺗ: ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺃﹶ ﻋ ﻗﹶﺮ ﺛﹸﻢ،" ﻞﹺﺍﻟﹾﺄﹶﺟ
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah
SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya,
“Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang
kami dari yang demikian itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami
sesudah itu, yaitu dengan cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu
dengan (imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang
baik yang dihalalkan Allah atas kamu”74.
ﻦﹺﺴ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﺑﺪﻤ ﺃﻧﺎ ﺃﹶﺣ،ﻮﺭﹴﺼﻨ ﻣﻦ ﺑﻜﱢﻲﺎ ﻣﻧﺮﺒ ﺃﹶﺧ،ﺮﹴﻦﹺ ﻃﹶﺎﻫ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑﺮﺔﹶ ﻃﹶﺎﻫﻋﺭﻮ ﺯﺎ ﺃﹶﺑﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
،ﺪﺎﻟﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺧﻴﻞﹶ ﺑﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﻋ،ﺎﻥﹸﺳﻔﹾﻴ ﺃﻧﺎ،ﻲﻌﺎﻓ ﺃﻧﺎ ﺍﻟﺸ،ﺑﹺﻴﻊ ﺃﻧﺎ ﺍﻟﺮ،ﻘﹸﻮﺏﻌ ﻳﻦ ﺑﺪﻤﺤ ﺃﻧﺎ ﻣ،ﻲﺍﻟﹾﻘﹶﺎﺿ
ﺎﻨﻌ ﻣﺲﻟﹶﻴ ﻭﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﻊﻭ ﻣﺰﻐﺎ ﻧ ﻛﹸﻨ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳ،ﻮﺩﻌﺴ ﻣﻦ ﺍﺑﺖﻌﻤ ﺳ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺎﺯﹺﻡﹴﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺣﺲﹺ ﺑ ﻗﹶﻴﻦﻋ
ﻞﹴﺃﹶﺓﹶ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟﺮ ﺍﻟﹾﻤﺢﻜﻨﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ ﻟﹶﻨﺺﺧ ﺭ ﺛﹸﻢﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﻚ ﺫﹶﻟﻦﺎ ﻋﺎﻧﻬ ﻓﹶﻨ،ﻲﺼﺘﺨﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧﻧﺩﺎﺀٌ ﻓﹶﺄﹶﺭﻧﹺﺴ
" ِﺀﻲﺑﹺﺎﻟﺸ
Ibnu Mas’ud berkata: dahulu kami bersama Rasulullah-shallalhu Saw, dalam
peperangan sementara tidak ada istri-istri yang bersama kami, maka kami ingin
berkebiri,namun Nabi melarang kami dari perbuatan itu, kemudian beliau
memberikan dispensasi kepada kami untuk menikahi wanita sampai beberapa
waktu dengan memberi sedikit mas kawin”75
73
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I, h. 420.
74
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I, h, 430.
75
. Muhammad bin Ahzami, Al Itibar Anasikh Wa Mansukh Li Ahzami, (Beirut: Dar al- Kutub al-
Islami, 1978), h, 120.
40
B. Hadits-hadits Nāsikh
melarang atau menasakh kebolehan mut’ah banyak sekali, namun berikut hanya
akan ditulis hadits-hadits pelarangan muth’ah dan memakan daging keledai piaraan
ﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑﻦﺴﻧﹺﻲ ﺍﻟﹾﺤﺮﺒ ﺃﹶﺧ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻊﻤ ﺳﻪ ﺃﹶﻧ،ﺔﹶﻨﻴﻴ ﻋﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻴﻞﹶﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﺑﻚﺎﻟﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺒﹺﻲ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻨ:ﺎﺱﹴﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ،ﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺎ ﺭﻴﻠ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻮﻩﺃﹶﺧ ﻭ،ﻲﻠﻦﹺ ﻋﺑ
ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪﺴﺍﻟﹾﺤ ﻭ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺎﺏﹴﻬﻦﹺ ﺷﻦﹺ ﺍﺑ ﻋ،ﻚﺎﻟﻠﹶﻰ ﻣ ﻋﺃﹾﺕ ﻗﹶﺮ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻰﻴﺤ ﻳﻦﻰ ﺑﻴﺤﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳ
،ﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﺎﺀِ ﻳﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦﻰ ﻋﻬ " ﻧﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺃﹶﻥﹼ ﺭ:ﺐﹴﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ ﺑﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﺑﻦ ﻋﻠﻲ
:ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻭ،ﺎﺩﻨﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﺈﹺﺳ ﺑﹺﻬ،ﻚﺎﻟ ﻣﻦ ﻋ،ﺔﹸﺮﹺﻳﻳﻮ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟ،ﻲﻌﺒﺎﺀَ ﺍﻟﻀﻤﻦﹺ ﺃﹶﺳ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻭﺣﺪﺛﻨﺎﻩ ﻋ
ﻦﹺﻰ ﺑﻴﺤ ﻳﻳﺚﺪﺜﹾﻞﹺ ﺣ ﺑﹺﻤﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺎ ﺭﺎﻧﻬ ﻧﻪﺎﺋﻞﹲ ﺗﺟ ﺭﻚ ﺇﹺﻧ:ﻔﹸﻠﹶﺎﻥﻘﹸﻮﻝﹸ ﻟ ﻳ،ﺐﹴ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟﻦ ﺑﻲﻠ ﻋﻊﻤﺳ
76
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 12. No hadits 5115
77
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 643
41
ﺣﺪﺛﻨﺎ:ﺮﻴﻫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺯ،ﺔﹶﻨﻴﻴﻦﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﺑﺎ ﻋﻴﻌﻤ ﺟ،ﺏﹴﺮ ﺣﻦ ﺑﺮﻴﻫﺯ ﻭ،ﺮﹴﻴﻤ ﻧﻦﺍﺑ ﻭ،ﺔﹶﺒﻴ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺷﻦﻜﹾﺮﹺ ﺑﻮ ﺑﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﹶﺑ
" :ﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ، ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋ ﻭ،ﻦﹺﺴﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫﻦﹺ ﺍﻟﺰ ﻋ،ﺔﹶﻨﻴﻴ ﻋﻦﺎﻥﹸ ﺑﻔﹾﻴﺳ
ﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮ ﻳﺔﻌﺘ ﻧﹺﻜﹶﺎﺡﹺ ﺍﻟﹾﻤﻦﻰ ﻋﻬ ﻧﺒﹺﻲﺃﹶﻥﹼ ﺍﻟﻨ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ibn Numair dan
Zuhair bin Harb semuanya dari Ibn Uyainah berkata Zuhair, telah menceritakan
kepada kami Sufyan bin Uyainah dari al Zuhri dari al Hasan dari Abdullah bin
Muhammad Ali dari ayahnya dari Ali bahwa nabi melarang nikah muth’ah pada
hari khaibar dan memakan daging keledai piaraan.79
،ﺎﺏﹴﻬﻦﹺ ﺷﻦﹺ ﺍﺑ ﻋ،ﺲﻮﻧﻧﹺﻲ ﻳﺮﺒ ﺃﹶﺧ،ﺐﹴﻫ ﻭﻦﻧﺎ ﺍﺑﺮﺒ ﺃﹶﺧ: ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ،ﻰﻴﺤ ﻳﻦﻠﹶﺔﹸ ﺑﻣﺮﺣ ﻭ،ﺮﹺﻮ ﺍﻟﻄﱠﺎﻫﺛﹶﻨﹺﻲ ﺃﹶﺑﺪﻭﺣ
ﻦ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑﻲﻠ ﻋﻊﻤ ﺳﻪ ﺃﹶﻧ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ، ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻃﺎﻟﺐ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋ ﻭ،ﻦﹺﺴﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤﻋ
ﺮﹺﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﺃﹶﻛﹾﻞﹺ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﺎﺀِ ﻳﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦ ﻋﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﻰ ﺭﻬ " ﻧ:ﺎﺱﹴﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﻘﹸﻮﻝﹸ ﻟ ﻳ،ﺐﹴﻃﹶﺎﻟ
" ﺔﺴِﻴﺍﻟﹾﺈﹺﻧ
Telah menceritakan Abu al Thahir dan Harmalah bin Yahya berkata, telah
mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahab, telah menceritakan kepadaku Yusuf dari
Ibnu Syihab dari al Hasan dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
dari ayahnya bahwa dia mendengar berkata kepada Ibn Abbas, Rasulallah saw
melarang muth’ah nisa pada hari khaibar dan memakan daging keledai piaraan.80
ﻦ ﻋ،ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲﺴﺍﻟﹾﺤ ﻭ، ﺍﻟﱠﻠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻦ ﻋ،ﺎﻥﹸﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺮﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺮﺒﻴ ﺧﻦﻣ ﺯﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋﺎﺀِ ﻭﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦﻰ ﻋﻬ ﻧﺒﹺﻲ ﺃﹶﻥﹼ ﺍﻟﻨ،ﺐﹴﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ ﺑﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ
78
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 646
79
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 645
80
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 644
42
Telah menceritakan kepada kami ibn Abi Umar, telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari al Zuhri dari Abdullah dan al Hasan ibn Mhammad bin Ali dari
ayahnya dari Ali bin Abi Thalib bahwa nabi melarang muth’ah nisa dan memakan
daging keledai piaraan pada masa khaibar.81
ﻦﹺ ﺑﻚﺎﻟ ﻣﻦ ﻋ،ﺎﺭﹺﻱﺼ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧﻴﺪﻌﻦﹺ ﺳﻰ ﺑﻴﺤ ﻳﻦ ﻋ،ﻲﺎﺏﹺ ﺍﻟﺜﱠﻘﹶﻔﻫ ﺍﻟﹾﻮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺎﺭﹴﺸ ﺑﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻦ ﻋ،ﺔﹶﻨﻴﻴ ﻋﻦﺎﻥﹸ ﺑﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺮﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪ ﺡ ﻭﺣ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻦ ﻋ،ﺲﹴﺃﹶﻧ
ﻦﻣﺎﺀِ ﺯﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦ ﻋﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﻰ ﺭﻬ ﻧ: ﻗﹶﺎﻝﹶﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲﺴﺍﻟﹾﺤﻭ
ﻦﹺ ﳘﺎﺴﺍﻟﹾﺤ ﻭ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻦ ﻋ،ﺎﻥﹸﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻲﻭﻣﺰﺨﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤﻤﺣ ﺍﻟﺮﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﻴﺪﻌﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻦ ﺑﺴﻦ
ﺎ ﺍﻟﹾﺤﻤﺎﻫﺿﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶﺭ ﻭﺮﹺﻱﻫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﺰ، ﻭﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻳﻜﲎ ﺃﺑﺎ ﻫﺎﺷﻢ،ﺍﺑﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺍﳊﻨﻔﻴﺔ
ﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺎ ﻋﻤﺎﻫﺿﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶﺭﺔﹶ ﻭﻨﻴﻴﻦﹺ ﻋ ﺍﺑﻦ ﻋ،ﻦﹺﻤﺣ ﺍﻟﺮﺪﺒﻦﹺ ﻋ ﺑﻴﺪﻌ ﺳﺮ ﻭﻗﹶﺎﻝﹶ ﻏﹶﻴ،ﻩﻮﺤ ﻧ ﻓﹶﺬﹶﻛﹶﺮﺪﻤﺤﻣ
81
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I h, 220.
82
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 412.
83
.Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 646
43
ﻦﺎ ﺍﺑﺄﹶﻧﺒ ﺃﹶﻧ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟﹶﻪ ﻭﻊﻤﺎ ﺃﹶﺳﺃﹶﻧ ﻭﻪﻠﹶﻴﺍﺀَﺓﹰ ﻋﺮﲔﹴ ﻗﻜﺴ ﻣﻦﺎﺭﹺﺙﹸ ﺑﺍﻟﹾﺤ ﻭ،ﺔﹶﻠﹶﻤ ﺳﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
ﻦ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲﺴﺍﻟﹾﺤ ﻭ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺎﺏﹴﻬﻦﹺ ﺷ ﺍﺑﻦ ﻋ،ﻚﺎﻟ ﻣﻦ ﻋ،ﻢﹺﺍﻟﹾﻘﹶﺎﺳ
" ﺔﺴِﻴﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﺎﺀِ ﻳﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦﻰ ﻋﻬ ﻧﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ،ﺐﹴﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ ﺑﻲﻠﻋ
Muhammd bin Salamah telah mengkhabarkan kepada kami, dan al Harits ibn
Miskin yang membacakannya dan aku mendengar dengan lafad darinya berkata.
Ibn al Qasim mengkhabarkan kepada kami dari Malik dari Ibn Syihab dari
Abdullah dari al Hasan bin Muhammad Ali dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib
bahwa Rasulallah melarang muth’ah pada hari khaibar dan memakan daging
keledai piaraan.84
: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺎﺏﹺﻫ ﺍﻟﹾﻮﺪﺒﺎ ﻋﺄﹶﻧﺒ ﺃﹶﻧ: ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ،ﻰﺜﹶﻨ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﺑﺪﻤﺤﻣ ﻭ،ﺎﺭﹴﺸ ﺑﻦ ﺑﺪﻤﺤﻣ ﻭ،ﻲﻠ ﻋﻦﻭ ﺑﺮﻤﺎ ﻋﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ،ﻩﺮﺒﺎﺏﹴ ﺃﹶﺧﻬ ﺷﻦ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﺑ،ﺲﹴ ﺃﹶﻧﻦ ﺑﻚﺎﻟﻧﹺﻲ ﻣﺮﺒ ﺃﹶﺧ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳ،ﻴﺪﻌ ﺳﻦﻰ ﺑﻴﺤ ﻳﺖﻌﻤﺳ
ﺐﹴ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟﻦ ﺑﻲﻠ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ،ﺎﻤﻫﺮﺒ ﺃﹶﺧﻲﻠ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﻤﺎﻫ ﺃﹶﻥﱠ ﺃﹶﺑ،ﺍﻩﺮﺒ ﺃﹶﺧﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻲﻨ ﺍﺑﻦﺴﺍﻟﹾﺤﻭ
،ﻦﹴﻴﻨ ﺣﻡﻮ ﻳ:ﻰﺜﹶﻨ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ،" ِﺎﺀﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦ ﻋﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮ ﻳﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﻰ ﺭﻬ " ﻧ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺭ
ﻦﹺ ﻋ،ﺎﻥﹶﻔﹾﻴ ﺳﻦ ﻋ،ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟﹶﻪ ﻭﻊﻤﺎ ﺃﹶﺳﺃﹶﻧ ﻭﻪﻠﹶﻴﺍﺀَﺓﹰ ﻋﺮﲔﹴ ﻗﻜﺴ ﻣﻦﺎﺭﹺﺙﹸ ﺑﺍﻟﹾﺤ ﻭ،ﻮﺭﹴﺼﻨ ﻣﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
ﺇﹺﻥﱠ:ﺱ
ﺎ ﹴﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑ ﻟﻲﻠ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﺪﻤﺤﻦﹺ ﻣ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋ ﻭ،ﺪﻤﺤﻦﹺ ﻣﻦﹺ ﺑﺴﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫﺍﻟﺰ
84
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 647
85
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I h. 221.
44
" ﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮ ﻳﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ﺔﻌﺘ ﻧﹺﻜﹶﺎﺡﹺ ﺍﻟﹾﻤﻦﻰ ﻋﻬ " ﻧ:ﺒﹺﻲﺍﻟﻨ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Manshur dan al Haris ibn
Miskin membacakan kepadanya dan aku mendengar dan lafadznya darinya. Dari
sufyan dari al Zuhri dari al Hasan bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad
dari ayahnya berkata, Ali berkata kepada Ibn Abbas sesungguhnya nabi melarang
nikah muth’ah dan memakan daging keledai piaraan pada hari khaibar.86
،ﺔﹸﺎﻣﺃﹸﺳ ﻭ،ﻚﺎﻟﻣ ﻭ،ﺲﻮﻧﻧﹺﻲ ﻳﺮﺒ ﺃﹶﺧ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺐﹴﻫ ﻭﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺩﺍﻭ ﺩﻦﺎﻥﹸ ﺑﻤﻠﹶﻴﺎ ﺳﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺐﹴ ﺭﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ ﺑﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﺪﻤﺤ ﻣﻲﻨ ﺍﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋ ﻭ،ﻦﹺﺴﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻋ،ﺎﺏﹴﻬﻦﹺ ﺷﻦﹺ ﺍﺑﻋ
" ﺔﺴِﻴﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﺎﺀِ ﻳﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦ ﻋﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﻰ ﺭﻬ " ﻧ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻪﻨﻋ
Sulaiman ibn Daud telah menceritakan kepada kami, berkata Abdullah ibn
Wahab berkata, telah menceritakan kepadaku Yunus, Malik dan Usamah dari Ibn
Syihab dari al Hasan dan Abdullah bin Muhammad dari ayahnya dari Ali bin Abi
Thalib ra berkata, Rasulallah telah melarang muth’ah nisa pada hari khaibar dan
memakan daging keledai piaraan.87
،ﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺎﺏﹴﻬﻦﹺ ﺷ ﺍﺑﻦ ﻋ،ﺲﹴ ﺃﹶﻧﻦ ﺑﻚﺎﻟﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﺮﻤ ﻋﻦ ﺑﺮﺎ ﺑﹺﺸﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻰﻴﺤ ﻳﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺔﻌﺘﻦ ﻣ ﻰ ﻋﻬ ﻧﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ " ﺃﹶﻥﱠ ﺭ:ﺐﹴﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ ﺑﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻲﻨﻦﹺ ﺍﺑﺴﺍﻟﹾﺤﻭ
ﻦ ﻋ،ﺪﻤﺤ ﻣﻲﻨ ﺍﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋ ﻭ،ﻦﹺﺴ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻦ ﻋ،ﻚﺎﻟﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺎ ﺃﹶﺣﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
ﻦﻋ ﻭ،ﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﺎﺀِ ﻳﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦ ﻋﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﻰ ﺭﻬ " ﻧ:ﺎﺱﹴﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟﻴﻠ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ،ﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ
86
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 422.
87
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 424.
88
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 427.
45
ﺖﻌﻤ ﺳ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋ ﻭ،ﻦﹺﺴ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻦ ﻋ،ﺔﹶﻨﻴﻴ ﻋﻦﺛﹶﻨﹺﻲ ﺍﺑﺪ ﺣﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺎﻡ ﻋﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ِﺎﺀﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣ:ﺔﻌﺘﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤﻰ ﻋﻬ ﻧﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ:ﺎﺱﹴﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﻘﹸﻮﻝﹸ ﻟ ﻳ،ﺎﻴﻠﻋ
" ﺮﺒﻴﺧ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada Ibn
Uyainah dari Zuhri, dari Abdullah dari ayahnya berkata, aku mendengar Ali
berkata kepada ibn Abbas sesngguhnya Rasulallah saw melarang muth’ah nisa dan
memakan daging keledai piaraan.90
ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻲﻨ ﺍﺑ،ﻦﹺﺴﺍﻟﹾﺤ ﻭ، ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺎﺏﹴﻬﻦﹺ ﺷﻦﹺ ﺍﺑ ﻋ،ﻚﺎﻟ ﻣﻦ ﻋ،ﻰﻴﺤﺛﹶﻨﹺﻲ ﻳﺪﺣ
ِﺎﺀﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦﻰ ﻋﻬ " ﻧﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺃﹶﻥﹼ ﺭ:ﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺐﹴ ﺭﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ ﺑﻲﻠ ﻋﻦ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﺐﹴﻃﹶﺎﻟ
ﻦﺴﻛﹶﺎﻥﹶ ﺣﺎ ﻭ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻲﻨ ﺍﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋﻦﹺ ﻭﺴﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻋﺮﹺﻱﻫﻦﹺ ﺍﻟﺰﺎﻥﹸ ﻋﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻰﻬﻢ ﻧ ﻠﱠﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺇﹺﻥﱠ ﺭﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺎﺱﹴ ﺭﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟﻴﻠﺎﺃﹶﻥﱠ ﻋﻔﹸﺴِﻨﻲ ﺃﹶﻧﺎ ﻓﻤﺎﻫﺿﺃﹶﺭ
89
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 428.
90
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 429.
91
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I, h, 226.
46
Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari al Zhri dari al Hasan dan
Abdullah, keduanya putra Muhammad ibn Ali dari ayahnya. Hasan senang kepada
kedua bahwa Ali berkata kepada ibn Abbas Rasulallah saw telah melarang nikah
nith’ah dan memakan daging keledai piaraan pada masa khaibar.92
ﺮﹺﻱﻫﻦﹺ ﺍﻟﺰ ﻋﺮﻤﻌﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣﺪﻳ ﺯﻦ ﺑﺎﺩﻤﺎ ﺣﺛﹶﻨﺪ ﺣﻲﻣﻘﹶﺪﻜﹾﺮﹴ ﺍﻟﹾﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑﻦ ﺑﺪﻤﺤﺛﹶﻨﹺﻲ ﻣﺪ ﺣﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺔﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﻋﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﻰ ﻳﻬ ﻧﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒﹺﻲ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨﻲﻠ ﻋﻦ ﻋﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤﻦﹺ ﻣ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦﻋ
ﻮﻡﹺ ﻟﹸﺤﻦﻋﺎﺀِ ﻭﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘ ﻣﻦﻰ ﻋﻬ ﻧﱠﻠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒﹺﻲﺐﹴ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ ﺑﻲﻠ ﻋﻦﺎ ﻋﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ
ﻲﻠﻳﺚﹸ ﻋﺪﻰ ﺣﻴﺴﻮ ﻋﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﺮﻳﺮﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ ﻭﻨﹺﻲﻬﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠﺮﺒ ﺳﻦﺎﺏ ﻋﻲ ﺍﻟﹾﺒﻓ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻭﺮﺒﻴ ﺧﻦﻣ ﺯﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﺍﻟﹾﺤ
ﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒﹺﻲﺎﺏﹺ ﺍﻟﻨﺤ ﺃﹶﺻﻦﻠﹾﻢﹺ ﻣﻞﹺ ﺍﻟﹾﻌ ﺃﹶﻫﺪﻨﺬﹶﺍ ﻋﻠﹶﻰ ﻫﻞﹸ ﻋﻤﺍﻟﹾﻌ ﻭﻴﺢﺤ ﺻﻦﺴﻳﺚﹲ ﺣﺪﺣ
ﻦ ﻋﺒﹺﺮﺚﹸ ﺃﹸﺧﻴ ﺣﻪﻟ ﻗﹶﻮﻦ ﻋﻊﺟ ﺭ ﺛﹸﻢﺔﻌﺘﻲ ﺍﻟﹾﻤ ﻓﺔﺼﺧ ﺍﻟﺮﻦﺀٌ ﻣﻲﺎﺱﹴ ﺷﺒﻦﹺ ﻋ ﺍﺑﻦ ﻋﻭﹺﻱﺎ ﺭﻤﺇﹺﻧ ﻭﻢﺮﹺﻫﻏﹶﻴﻭ
ﻙﺎﺭﺒﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤﺍﺑ ﻭﺭﹺﻱﻝﹸ ﺍﻟﺜﱠﻮ ﻗﹶﻮﻮﻫ ﻭﺔﻌﺘﺮﹺﱘﹺ ﺍﻟﹾﻤﺤﻠﹶﻰ ﺗﻠﹾﻢﹺ ﻋﻞﹺ ﺍﻟﹾﻌ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮﹺ ﺃﹶﻫﺮﺃﹶﻣ ﻭﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒﹺﻲﺍﻟﻨ
92
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid II, h. 64
93
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid II, h. 277.
47
nikah mut'ah, namun dia mencabut pendapatnya setelah diberi kabar dari Nabi
saw. Kebanyakan kalangan ulama berpendapat pengharaman nikah mut'ah. Ini
juga merupakan pendapat Ats Tsauri, Ibnu Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq".
(Sunan Tirmidzi 1040)
48
BAB IV
beberapa hadits Nabi yang satu dengan yang lainnya secara lahir tampak
akan hal itu agar hilang kesan kontradiktifnya. Oleh karena itulah mereka telah
merumuskan berbagai teori. Teori yang pertama dan mendapat prioritas adalah teori
al-jam’u (teori kompromi dan akomodasi). Teori ini dapat digunakan apabila telah
kualitas yang sepadan. Kedua, kedua hadits yang kontradiktif memiliki nilai
kekuatan yang sama dalam hal hujjah. Ketiga, tidak dapat diketahui secara pasti
bahwa salah satu hadits yang bertentangan tersebut lahir lebih akhir dibanding yang
lainnya. Keempat, kedua hadits tersebut secara makna dapat dita’wil dengan benar.
Kelima, orang yang mengamalkan teori ini harus memiliki kemampuan dalam
bidang hadits, ushul fiqh, dan fiqh. Keenam, hasil rumusan dari jam’ al-riwayah
Namun dalam kenyataannya tidak semua hadits yang tampak kontradiktif itu
dapat diselesaikan dengan teori al-jam’u karena teori al-jam’u tidak selalu mampu
alternatif lainnya.95 Di antara teori lain yang banyak diaplikasikan oleh ulama hadits
94
Abd al-Majīd Muḥammad Ismā‟īl, Manhaj al-Tawfīq wa al-Tarjīḥ Bayn al-Mukhtalif Ḥadīth wa
Ataruhu fī al-Fiqh al-Islāmī (Kairo: Dār Nafais, tt), h. 135-138.
95
Dadi Nurhaedi, “Teori Naskh dalam Kajian Hadis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis
Vol. 1, No. 1 Juli 2000, h. 90.
48
49
adalah teori naskh (penghapusan, pembatalan) dan teori tarjih (menentukan yang
terkuat).
Sebagaimana penjelasan di atas, teori ini tak lain untuk memahami kandungan
hadits-hadits Nabi yang tampak saling bertentangan. Pada prinsipnya cara kerja teori
ini adalah menentukan manakah hadits yang tergolong sebagai nasikh dan manakah
hadits yang tergolong hadits mansukh. Teori naskh yang banyak dipakai dan
dikembangkan dalam kajian hadits, sebenarnya bukanlah suatu teori yang secara
spesifik lahir dalam bidang ini. Namun pada mulanya merupakan teori yang dipakai
oleh para ulama ushul al-fiqh dalam memahamai dan menetapkan hukum (istinbat
al-hukm) dari teks-teks al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, diskursus tentang
studi naskh, selain dalam kajian hadits, banyak pula dalam studi dan literatur ushul
Aplikasi teori naskh khusus dalam kajian hadits, nampaknya dibangun atas
dasar asumsi bahwa perbedaan kandungan hadits disebabkan oleh faktor adanya
proses perkembangan atau perubahan kebijakan Nabi ke arah yang lebih maslahat.
Kebijakan Nabi yang termuat dalam hadits-haditsnya, dan lahir lebih belakangan
atau lebih akhir dalam permasalahan yang sama, dianggap sebagai bagian dari revisi
atas kebijakan sebelumnya. Karena itulah dianggap lebih tepat dan lebih benar.
Hadis-hadis dalam konteks ini biasa dikenal dengan nasikh. Sedangkan hadis-hadis
yang muncul sebelumnya dianggap tidak bisa dipakai, dan biasa disebut dengan
mansukh. Asumsi ini lebih didasarkan atas pertimbangan sejarah dan waktu
munculnya hadits.97
96
Dadi Nurhaedi, “Teori Naskh dalam Kajian Hadis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis
Vol. 1, No. 1 Juli 2000, h. 90.
97
Dadi Nurhaedi, “Teori Naskh dalam Kajian Hadis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis
Vol. 1, No. 1 Juli 2000, h. 90.
50
metode yang dikenal di kalangan para ulama hadits untuk mengetahui adanya nasikh
dan mansukh. Menurut para ulama hadits, suatu hadits dapat dinyatakan
ﺄﹶﺑﹺﻲﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟ ﻭ،ﻰﺜﹶﻨ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﺑﺪﻤﺤﻣ ﻭ،ﺮﹴﻴﻤﻦﹺ ﻧ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺤﻣ ﻭ،ﺔﹶﺒﻴ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺷﻦﻜﹾﺮﹺ ﺑﻮ ﺑﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺎﺭﹺﺏﹺﺤ ﻣﻦ ﻋ،ﺓﹶﺮ ﻣﻦ ﺑﺍﺭﺮ ﺿﻮﻫ ﻭﺎﻥﻨ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳﻦ ﻋ،ﻞﹴﻴ ﻓﹸﻀﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣ: ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ،ﺮﹴﻴﻤﻦﹺ ﻧﺍﺑﻜﹾﺮﹴ ﻭﺑ
ﺍﻭﻩﻭﺭﻮﺭﹺ ﻓﹶﺰ ﺍﻟﹾﻘﹸﺒﺓﺎﺭ ﺯﹺﻳﻦ ﻋﻜﹸﻢﺘﻴﻬ " ﻧ:ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ: ﻗﹶﺎﻝﹶ، ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦ ﻋ،ﺓﹶﺪﻳﺮﻦﹺ ﺑ ﺍﺑﻦ ﻋ،ﺛﹶﺎﺭﹴﻦﹺ ﺩﺑ
“Dari Buraidah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku dahulu pernah
melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian
”.
Hadits diatas menjelaskan bahwasanya Rasulullah pernah melarang untuk
Bahkan dalam riwayat lain dijelaskan beberapa manfaat dari ziarah kubur
seperti dapat mengingatkan peziarah akan kematian dan menyiapkan diri untuk
menujunya.98
ﻦ ﻋ،ﺮﻤﻌﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣ: ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ،ﺍﻕﹺﺯ ﺍﻟﺮﺪﺒﻋ ﻭ،ﻴﻞﹸﺎﻋﻤﺎ ﺇﹺﺳﺄﹶﻧﺒ ﺃﹶﻧ: ﻗﺎﻝ،ﻴﻢﺍﻫﺮ ﺇﹺﺑﻦ ﺑﺎﻕﺤﺎ ﺇﹺﺳﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
: ﻗﺎﻝ،ﺓﹶﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫﻦ ﻋ،ﻦﹺ ﻗﹶﺎﺭﹺﻅ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻦﹺ ﻋ ﺑﻴﻢﺍﻫﺮ ﺇﹺﺑﻦ ﻋ،ﺰﹺﻳﺰﹺ ﺍﻟﹾﻌﺪﺒﻦﹺ ﻋ ﺑﺮﻤ ﻋﻦ ﻋ،ﺮﹺﻱﻫﺍﻟﺰ
" ﺎﺭ ﺍﻟﻨﺖﺴﺎ ﻣﻤﺌﹸﻮﺍ ﻣﺿﻮ " ﺗ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﺖﻌﻤﺳ
98
‘Izz al-Din Husein al-Syaikh, Mukhtasar al-NaSikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 6.
51
ﺭﹺﻜﹶﺪﻨﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤ ﺑّﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﻋﺐﻴﻌﺎ ﺷّﺛﹶﻨﺪّﺎﺵﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣﻴ ﻋﻦّ ﺑﻲﻠﺎ ﻋّﺛﹶﻨﺪﻮﺭﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣﺼﻨ ﻣﻦﻭ ﺑﺮﻤﺎ ﻋﻧﺮﺒﺃﹶﺧ
ّﺎﻤﻮﺀِ ﻣﺿ ﺍﻟﹾﻮﻙﺮ ﺗﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﹶّﻪﺳ ﺭﻦﻦﹺ ﻣﻳﺮ ﺍﻷَﻣﺮ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺁﺧ: ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﻠﹶّﻪﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺎﺑﹺﺮ ﺟﺖﻌﻤﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ
ّﺎﺭ ﺍﻟﻨّﺖﺴﻣ
Dari Muhammad bin Munkadir ia berkata: “Aku mendengar Jabir bin
Abdillah berkata: “Perkara yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah meninggalkan wudhu dari makanan
yang disentuh api.”
makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih
disini diketahui bahwa hadits yang kedua memposisikan diri sebagai nāsikh,
Untuk tanda atau cara yang pertama dan kedua yaitu berdasarkan
lebih jelas dan mudah ditangkap sebagaimana tercermin pada teks atau
Hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi tentang batalnya puasa orang yang
99
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbar Fi Mansukh al-Akhbar, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988) h.
6.
52
ﻮﻡﺠﺤﺍﻟﹾﻤ ﻭﺎﺟﹺﻢ ﺍﻟﹾﺤ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻓﹾﻄﹶﺮﻠﹶّﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﹶّﻰ ﺍﻟﻠﹶّﻪّﺒﹺﻲﹺّ ﺻ ﺍﻟﻨﻦﻳﺞﹴ ﻋﺪﻦﹺ ﺧﻊﹺ ﺑﺍﻓ ﺭﻦﻋ
Hadits diatas dimansūkh oleh hadits berikut yang juga diriwayatkan Imam
Tirmidzi:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺑﺸﺮ ﺑﻦ ﻫﻼﻝ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺭﺙ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﻋﻦ
ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ ﺍﺣﺘﺠﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﳏﺮﻡ ﺻﺎﺋﻢ
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Syadad bin Aus
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi dan al-
Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas yang menyatakan bahwa Nabi pernah melakukan
berpuasa. Peristiwa itu terjadi ketika Ibnu ‘Abbas menyertai Nabi ketika
hadits yang diriwayatkan oleh Syadad dinyatakan peristiwa itu terjadi pada
tahun ke 8 H.100
bahwa tanda kesepakatan adanya naskh yang ketiga ini sangat banyak.101
oleh Abu Dawud dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang menyatakan,
100
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbar Fi Mansukh al-Akhbar, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988). h.
34-35.
101
Muḥammad Ṭāhir al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddīthīn, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr,1995).h.
406-407.
53
،ﺋﹾﺐﹴ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻲﻄﺍﺳﻭﻥﹶ ﺍﻟﹾﻮﺎﺭ ﻫﻦ ﺑﺰﹺﻳﺪﺎ ﻳﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻲﻄﹶﺎﻛﻢﹴ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧﺎﺻ ﻋﻦ ﺑﺮﺼﺎ ﻧﺛﹶﻨﺪﺣ
" ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺓﹶﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫﻦ ﻋ،ﺔﹶﻠﹶﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳﻦ ﻋ،ﻦﹺﻤﺣ ﺍﻟﺮﺪﺒﻦﹺ ﻋ ﺑﺎﺭﹺﺙﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤﻋ
،" ﻠﹸﻮﻩﺔﹶ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘﺍﺑﹺﻌ ﺍﻟﺮﺎﺩ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻋﻭﻩﺪﻠ ﻓﹶﺎﺟﻜﹶﺮ ﺇﹺﻥﹾ ﺳ ﺛﹸﻢﻭﻩﺪﻠ ﻓﹶﺎﺟﻜﹶﺮ ﺇﹺﻥﹾ ﺳ ﺛﹸﻢﻭﻩﺪﻠ ﻓﹶﺎﺟﻜﹶﺮﺇﹺﺫﹶﺍ ﺳ
ﺇﹺﺫﹶﺍ: ﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨ ﻋ،ﺓﹶﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫﻦ ﻋ، ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦ ﻋ،ﺔﹶﻠﹶﻤﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳ ﺑﺮﻤﻳﺚﹸ ﻋﺪﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ ﻭ:ﺩﺍﻭﻮ ﺩﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ
ﻦ ﻋ،ﻞﹴﻴﻬﻳﺚﹸ ﺳﺪﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ ﻭ:ﺩﺍﻭﻮ ﺩ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ،ﻠﹸﻮﻩﺔﹶ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘﺍﺑﹺﻌ ﺍﻟﺮﺎﺩ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻋﻭﻩﺪﻠ ﻓﹶﺎﺟﺮﻤ ﺍﻟﹾﺨﺮﹺﺏﺷ
ﻦﹺﻳﺚﹸ ﺍﺑﺪﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ ﻭ،ﻢﻠﹸﻮﻫﺔﹶ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘﺍﺑﹺﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺮﹺﺑ ﺇﹺﻥﹾ ﺷ: ﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨ ﻋ،ﺓﹶﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫﻦ ﻋ،ﺢﹴﺎﻟﺃﹶﺑﹺﻲ ﺻ
،ﺮﹺﻳﺪﺍﻟﺸ ﻭﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨ ﻋ،ﺮﹴﻭﻤﻦﹺ ﻋ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻳﺚﹸ ﻋﺪﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ ﻭﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨ ﻋ،ﺮﻤﻦﹺ ﻋ ﺍﺑﻦ ﻋ،ﻢﹴﻌﺃﹶﺑﹺﻲ ﻧ
Nabi yang serupa dari Qabisah bin Zu’aib. Karena itulah maka
102
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, kitab al-Hudud, bab Iza Tatabi’a fi al-Syurbu al-Khamri,
(Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd, 1994), h. 365.
54
dispensasi (rukhsah).103
khabar dari Nabi Saw. atau juga dengan data sejarah yang menunjukkan
adanya perbedaan rentang waktu antara dua hadits atau lebih dengan
hadits yang datang lebih akhir adalah al-Nāsikh dan yang datang lebih
103
‘Izz al-Din Husein al-Syaikh, Mukhtasar al-NaSikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 6.
104
Al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddīthīn, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 406.
105
Al-Ḥāzimī, al-I‟tibār Fī al-Nāsikh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 10.
55
Secara garis besar, hanya terdapat dua puluh tujuh kasus Ikhtilāf
ulama dengan tanpa adanya perdebatan dan perbedaan hanya tiga belas
Pada bagian ini penulis mencoba untuk menguak secara mendalam sejarah
berpendapat terjadi pada yaum authas dan yaum al fath. ada yang mengatakan
bahwa yaum authas dan yaum al fath bermakna sama karena peperangan itu
bersambung hingga dianggap satu, walau dari sisi nama berbeda. Bahwa hadits
pengharaman muth’ah pada yaum khaibar adalah shahih tidak ada yang
106
Al-Ḥāzimī, al-I‟tibār Fī al-Nāsikh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 407-419.
56
bahwa pada yaum khaibar, nabi hanya melarang memakan daging keledai piaraan
pelarangan itu tidak ada pada masa khaibar. Penulis kitab al Ikmal menjawab,
anggapan itu salah, itu bukan tanaqud, hadis itu sah artinya bahwa telah ada
pengharaman nikah muth’ah, namun memang bukan pada waktu itu yakni bukan
pada masa khaibar tetapi pada waktu yang lain. Ahmad ibn Hambal meriwayatkan
bahwa pelarangan memakan daging keledai piaraan terjadi pada hari khaibar tanpa
Lebih lanjut lagi, dalam hadis pelarangan itu tidak terjadi dusta dan tidak
diantaranya Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Salmah al Akwa’, Jabir ibn Abdullah, Sabrah
bin Ma’bad al Juhni, mereka melakukannya bukan saat mukim tetapi saat terjadinya
peperangan dan dalam keadaan darurat, saat isteri mereka tidak ada, negeri mereka
piaraan terjadi di Khaibar. Menurut mereka dalam hal ini tidak ada perbedaan
107
Abu al-Fadl, Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshobi Ikmal al Muallim syarah shahih muslim,
(kairo: Dar al-Islami, 1995), jilid, 4, h. 275
ﻩ ﺎ ﺃﹶﺑﻊﻤ ﺳﻪ ﺃﹶﻧﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻲﻨ ﺍﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻋﻦﹺ ﻭﺴﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻋﺮﹺﻱﻫﻦﹺ ﺍﻟﺰ ﻋﺮﻤﻌﺎ ﻣﺄﹶﻧﺒﺍﻕﹺ ﺃﹶﻧﺯ ﺍﻟﺮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣ108 .
ﺇﹺﻥﱠﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺐﹴ ﺭ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟﻦ ﺑﻲﻠ ﻋﺎﺀِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘﻲ ﻣ ﻓﺺﺧ ﺭﻪ ﺃﹶﻧﻪﻠﹶﻐﺑﺎﺱﹴ ﻭﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺐﹴ ﺭ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟﻦ ﺑﻲﻠﻋ
ﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﺎ ﻳﻬﻨﻰ ﻋﻬ ﻧ ﻗﹶﺪﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺭ
109
Abu al-Fadl, Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshobi. Ikmal al Muallim syarah shahih muslim,
(kairo: Dar al-Islami, 1998), jilid, 4, h. 275
57
ﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑﻊﺎﻓﻧﹺﻲ ﻧﺮﺒﺞﹴ ﺃﹶﺧﻳﺮ ﺟﻦﺎ ﺍﺑﻧﺮﺒﻜﹾﺮﹴ ﺃﹶﺧ ﺑﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦﻭﻥﹸ ﺑﺎﺭﺛﹶﻨﹺﻲ ﻫﺪﻭ ﺣ
ﺮﻤ ﹺﻦ ﻋ ﺍﺑﻦﻊﹴ ﻋﺎﻓ ﻧﻦﺲﹴ ﻋﻦﹺ ﺃﹶﻧ ﺑﻚﺎﻟ ﻣﻦﻰ ﻋﻴﺴ ﻋﻦ ﺑﻦﻌﻣﺎ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻭﺛﹶﻨﺪ ﺣﺮﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪ ﺡ ﻭﺣﺮﻤﻋ
ﻮﺍﺎﺟﺘ ﺍﺣﺎﺱﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻨ ﻭﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮ ﻳﻲﻠﺎﺭﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤ ﺃﹶﻛﹾﻞﹺ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻋﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﻰ ﺭﻬﻗﹶﺎﻝﹶ ﻧ
ﺎﻬﺇﹺﻟﹶﻴ
Dan telah menceritakan kepadaku Harun ibn Abdullah, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibn Bakr, telah mengkhabarkan kepada kami ibn Juraij,
telah menceritakan kepadaku Nafi’ berkata, telah berkata ibn Umar telah
menceritakan kepada kami Ayahku Umar, telah menceritakan kepada kami Ayahku
dan Ma’an bin Isa dari Malik bin Anas berkata bahwa Rasulallah saw melarang
memakan daging khimar piaraan pada hari khaibar padahal manusia
membutuhkannya.110
pengharaman dan kebolehan nikah muth’ah terjadi dua kali. Awalnya nikah ini
dibolehkan kembali pada saat am al fath atau am authas, kemudian diharamkan lagi
memakan daging keledai piaraan ada perbedaan redaksi. Terkadang kata yaum al
khaibar diletakkan di depan, terkadang ditengah dan tidak sedikit juga yang terletak
hadits, namun dapat memberi isyarat tidak adanya konsistensi dalam penulisan
hadits. Dan itu dapat melahirkan interpretasi yang berbeda. Apakah titik tekan
larangan itu pada waktunya yakni pada peperangan khaibar atau pada obyek
larangan yaitu larangan muth’ah dan memakan daging keledai piaraan. Padahal
110
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid. 10 h. 85.
111
Abdullah Abdus Salam, ibanat al ahkam Syarh Bulugh al Maram, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1996), jilid,3, h. 272
58
menurut sebagian ulama bahwa pada peristiwa khaibar tidak ada larangan muth’ah
tetapi hanya larangan memakan keledai piaraan saja, berdasarkan hadits yang
ﺎ ﻭ ﻗﹶﺎﻝﹶﻧﺮﺒﻰ ﺃﹶﺧﻴﺤﻰ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻳﻴﺤﻴﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟ ﻭﻴﺪﻌ ﺳﻦﺔﹸ ﺑﺒﻴﻗﹸﺘ ﻭﻲﻜﺘﺑﹺﻴﻊﹺ ﺍﻟﹾﻌﻮ ﺍﻟﺮﺃﹶﺑﻰ ﻭﻴﺤ ﻳﻦﻰ ﺑﻴﺤﺎ ﻳﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ ﺟﻦ ﻋﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤ ﻣﻦﺎﺭﹴ ﻋﻳﻨﻦﹺ ﺩﺮﹺﻭ ﺑﻤ ﻋﻦ ﻋﺪﻳ ﺯﻦ ﺑﺎﺩﻤﺎ ﺣﺛﹶﻨﺪ ﺣﺍﻥﺮﺍﻟﹾﺂﺧ
ﹺﻞﻴﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺨﻲ ﻟﹸﺤﻥﹶ ﻓﺃﹶﺫ ﻭﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦ ﻋﺮﺒﻴ ﺧﻡﻮﻰ ﻳﻬ ﻧﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺭ
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya dan Ab Rabi’ serta
Qutaibah ibn Said dan lafadz dari Yahya. Yahya berkata telah mengkhabarkan
kepada kami dan berkata yang lain telah menceritakan kepada kami Hammad ibn
Zaid dari Amr ibn Dinar dari Muhammad ibn Ali dari Jabir ibn Abdullah bahwa
Rasulallah saw melarang pada hari khaibar memakan daging keledai piaraan dan
beliau membolehkan memakan daging kuda.112
ﻨﹺﻲﻌ ﻳ: ﺎﻥﹸﻔﹾﻴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ: ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺛﹸﻢ، ﺮﺒﻴ ﺧﻦﻣ ﺯ: ﻴﻪ ﻓﺍﺩﺯﻳﺚﹶ ﻭﺪﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﺤﺎﻥﹶ ﻫﻔﹾﻴ ﺳﻦ ﻋﻱﺪﻴﻤﻯ ﺍﻟﹾﺤﻭ ﺭﻗﹶﺪﻭ
ﺔﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﻨﹺﻲ ﻧﹺﻜﹶﺎﺡﻌ ﻻﹶ ﻳﺮﺒﻴ ﺧﻦﻣ ﺯﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻷَﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻰ ﻋﻬ ﻧﻪﺃﹶﻧ
Dan sungguh al Humaidi meriwayatkan dari Sufyan hadis ini ada
tambahannya, pada masa khaibat kemudian dia berkata, Sufyan berkata, yakni
bahwa nabi saw melarang memakan daging keledai piaraan pada masa khaibar
dan tidak pernah melarang muth’ah.
Dari beberapa riwayat diperoleh informasi bahwa beberapa sahabat melakukan
muth’ah pada masa nabi dan masa berikutnya. Diantara hadits yang menjelaskan
ﺪﺒ ﹺﻦ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑﺠ ﻟﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹸﻠﹾﺖﺮﻀ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻧﻦﺓﹸ ﻋﺎﺩﺎ ﻗﹶﺘﺛﹶﻨﺪ ﺣﺎﻡﻤﺎ ﻫﺛﹶﻨﺪﻔﱠﺎﻥﹸ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻭﺰﻬﺎ ﺑﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻱﺪﻠﹶﻰ ﻳﻲ ﻋﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟ ﺑﹺﻬﺮﺄﹾﻣﺎﺱﹴ ﻳﺒ ﻋﻦﺇﹺﻥﱠ ﺍﺑ ﻭﺔﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﻦﻰ ﻋﻬﻨ ﻳﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺮﹺ ﺭﻴﺑ ﺍﻟﺰﻦ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﺑﺍﻟﻠﱠﻪ
ﺮﻤﻲ ﻋ ﻟﺎ ﻭﻜﹾﺮﹴ ﻓﹶﻠﹶﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑﻊﻣﻔﱠﺎﻥﹸ ﻭ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﻊﺎ ﻣﻨﻌﺘﻤﻳﺚﹸ ﺗﺪﻯ ﺍﻟﹾﺤﺮﺟ
ﻮ ﻫﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺇﹺﻥﱠ ﺭﺁﻥﹸ ﻭ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﻮﺁﻥﹶ ﻫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮﺎﺱ ﺍﻟﻨﻄﹶﺐ ﺧﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺭ
112
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid, 10, h. 97
59
ﺞﺔﹸ ﺍﻟﹾﺤﻌﺘﺎ ﻣﻤﺍﻫﺪ ﺇﹺﺣﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻪ ﺻﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﺪﻬﻠﹶﻰ ﻋ ﻋﺎﻥﺘﻌﺘﺎ ﻣﺘﺎ ﻛﹶﺎﻧﻤﻬﺇﹺﻧﻮﻝﹸ ﻭﺳﺍﻟﺮ
Imam Muslim mencatat ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa nabi
ﺖﻌﻤﺎﺭﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳﻳﻨﻦﹺ ﺩﺮﹺﻭ ﺑﻤ ﻋﻦﺔﹸ ﻋﺒﻌﺎ ﺷﺛﹶﻨﺪﻔﹶﺮﹴ ﺣﻌ ﺟﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺎﺭﹴ ﺣﺸ ﺑﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﻭ ﺣ
ﻮﻝﹺﺳﻱ ﺭﺎﺩﻨﺎ ﻣﻨﻠﹶﻴ ﻋﺝﺮﻉﹺ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺧﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮﺔﹶ ﺑﻠﹶﻤﺳ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ ﺟﻦﺙﹸ ﻋﺪﺤ ﻳﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑﻦﺴﺍﻟﹾﺤ
ﻨﹺﻲﻌﻮﺍ ﻳﻌﺘﻤﺘﺴ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺃﹶﺫ ﻗﹶﺪﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺭﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺍﻟﻠﱠﻪ
ِﺎﺀﺴﺔﹶ ﺍﻟﻨﻌﺘﻣ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Basyar ibn Dinar, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Amr ibn Dinar berkata, aku mendengar al Hasan bin Muhammad
menceritakan dari Jabir ibn Abdullah dan Salamah ibn Akwa’, keduanya berkata,
telah keluar kepada kami penyeru Rasulallah saw seraya berkata, sesungguhnya
Rasulallah saw telah mengizinkan untuk melakukan muth”ah nisa.114
113
. Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid II, h . 278.
114
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640
60
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺑﻦﹺ ﻧﻤﻴﺮﹴ ﺍﻟﹾﻬﻤﺪﺍﻧﹺﻲ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻭﻭﻛﻴﻊ ﻭﺍﺑﻦ ﺑﹺﺸﺮﹴ ﻋﻦ ﺇﹺﺳﻤﻌﻴﻞﹶ ﻋﻦ ﻗﹶﻴﺲﹴ
ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳﻤﻌﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻳﻘﹸﻮﻟﹸﺎ ﻛﹸﻨﺎ ﻧﻐﺰﻭ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻟﹶﻴﺲ ﻟﹶﻨﺎ ﻧﹺﺴﺎﺀٌ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨﺎ ﺃﹶﻟﹶﺎ
ﻧﺴﺘﺨﺼﻲ ﻓﹶﻨﻬﺎﻧﺎ ﻋﻦ ﺫﹶﻟﻚ ﺛﹸﻢ ﺭﺧﺺ ﻟﹶﻨﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧﻨﻜﺢ ﺍﻟﹾﻤﺮﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟﻞﹴ ﺛﹸﻢ ﻗﹶﺮﺃﹶ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ :ﻳﺎ ﺃﹶﻳﻬﺎ
ﺍﻟﱠﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗﺤﺮﻣﻮﺍ ﻃﹶﻴﺒﺎﺕ ﻣﺎ ﺃﹶﺣﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻭﻟﹶﺎ ﺗﻌﺘﺪﻭﺍ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻟﹶﺎ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﹾﻤﻌﺘﺪﻳﻦ
Muhammad ibn Abdullah ibn Numair al Hamdani telah menceritakan kepada
kami, telah menceritakan kepada kami Ayahku, Waki’ dan Ibn Basyar dari Islamil
dari Qais berkata, aku mendengan Abdullah berkata, kami berperang bersama
Rasulallah saw dan kami tidak membawa wanita, lalu kami bertanya boleh kami
dikebiri? Lalu beliau melarang kami melakukan itu, kemudian beliau memberi
keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan bayaran berupa pakaian
hingga waktu tertentu. Kemudian Abdulah membaca ayat: Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik yang telah dihalalkan
oleh Allah kepadamu. Dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah
tidak suka kepada orang-orang yang melampaui bagas.
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﻮ ﻛﹶﺎﻣﻞﹴ ﻓﹸﻀﻴﻞﹸ ﺑﻦ ﺣﺴﻴﻦﹴ ﺍﻟﹾﺠﺤﺪﺭﹺﻱ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺑﹺﺸﺮ ﻳﻌﻨﹺﻲ ﺍﺑﻦ ﻣﻔﹶﻀﻞﹴ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻋﻤﺎﺭﺓﹸ ﺑﻦ ﻏﹶﺰﹺﻳﺔﹶ
ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﹺﻴﻊﹺ ﺑﻦﹺ ﺳﺒﺮﺓﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺃﹶﺑﺎﻩ ﻏﹶﺰﺍ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻓﹶﺘﺢ ﻣﻜﱠﺔﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﹶﺄﹶﻗﹶﻤﻨﺎ ﺑﹺﻬﺎ ﺧﻤﺲ
ﻋﺸﺮﺓﹶ ﺛﹶﻠﹶﺎﺛﲔ ﺑﻴﻦ ﻟﹶﻴﻠﹶﺔ ﻭﻳﻮﻡﹴ ﻓﹶﺄﹶﺫﻥﹶ ﻟﹶﻨﺎ ﺭﺳﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻓﻲ ﻣﺘﻌﺔ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀِ ﻓﹶﺨﺮﺟﺖ ﺃﹶﻧﺎ
ﻭﺭﺟﻞﹲ ﻣﻦ ﻗﹶﻮﻣﻲ ﻭﻟﻲ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻓﹶﻀﻞﹲ ﻓﻲ ﺍﻟﹾﺠﻤﺎﻝﹺ ﻭﻫﻮ ﻗﹶﺮﹺﻳﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻣﺎﻣﺔ ﻣﻊ ﻛﹸﻞﱢ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﺎ ﺑﺮﺩ ﻓﹶﺒﺮﺩﻱ
ﺧﻠﹶﻖ ﻭﺃﹶﻣﺎ ﺑﺮﺩ ﺍﺑﻦﹺ ﻋﻤﻲ ﻓﹶﺒﺮﺩ ﺟﺪﻳﺪ ﻏﹶﺾ ﺣﺘﻰ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻛﹸﻨﺎ ﺑﹺﺄﹶﺳﻔﹶﻞﹺ ﻣﻜﱠﺔﹶ ﺃﹶﻭ ﺑﹺﺄﹶﻋﻠﹶﺎﻫﺎ ﻓﹶﺘﻠﹶﻘﱠﺘﻨﺎ ﻓﹶﺘﺎﹲﺓ ﻣﺜﹾﻞﹸ
ﺍﻟﹾﺒﻜﹾﺮﺓ ﺍﻟﹾﻌﻨﻄﹾﻨﻄﹶﺔ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨﺎ ﻫﻞﹾ ﻟﹶﻚ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺴﺘﻤﺘﻊ ﻣﻨﻚ ﺃﹶﺣﺪﻧﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ ﻭﻣﺎﺫﹶﺍ ﺗﺒﺬﹸﻟﹶﺎﻥ ﻓﹶﻨﺸﺮ ﻛﹸﻞﱡ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻨﺎ ﺑﺮﺩﻩ
ﻓﹶﺠﻌﻠﹶﺖ ﺗﻨﻈﹸﺮ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﺮﺟﻠﹶﻴﻦﹺ ﻭﻳﺮﺍﻫﺎ ﺻﺎﺣﺒﹺﻲ ﺗﻨﻈﹸﺮ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻋﻄﹾﻔﻬﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺑﺮﺩ ﻫﺬﹶﺍ ﺧﻠﹶﻖ ﻭﺑﺮﺩﻱ ﺟﺪﻳﺪ
ﻏﹶﺾ ﻓﹶﺘﻘﹸﻮﻝﹸ ﺑﺮﺩ ﻫﺬﹶﺍ ﻟﹶﺎ ﺑﺄﹾﺱ ﺑﹺﻪ ﺛﹶﻠﹶﺎﺙﹶ ﻣﺮﺍﺭﹴ ﺃﹶﻭ ﻣﺮﺗﻴﻦﹺ ﺛﹸﻢ ﺍﺳﺘﻤﺘﻌﺖ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﹶﻠﹶﻢ ﺃﹶﺧﺮﺝ ﺣﺘﻰ ﺣﺮﻣﻬﺎ
ﺭﺳﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋﻠﹶﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻭ ﺣﺪﺛﹶﻨﹺﻲ ﺃﹶﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦﹺ ﺻﺨﺮﹴ ﺍﻟﺪﺍﺭﹺﻣﻲ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﺃﹶﺑﻮ ﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ
ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻭﻫﻴﺐ ﺣﺪﺛﹶﻨﺎ ﻋﻤﺎﺭﺓﹸ ﺑﻦ ﻏﹶﺰﹺﻳﺔﹶ ﺣﺪﺛﹶﻨﹺﻲ ﺍﻟﺮﺑﹺﻴﻊ ﺑﻦ ﺳﺒﺮﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠﻬﻨﹺﻲ ﻋﻦ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺧﺮﺟﻨﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝﹺ
61
ﺫﹶﺍﻙﻠﹸﺢﺼﻞﹾ ﻳﻫ ﻭ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖﺍﺩﺯﺮﹴ ﻭ ﺑﹺﺸﻳﺚﺪﺜﹾﻞﹺ ﺣ ﺑﹺﻤﻜﱠﺔﹶ ﻓﹶﺬﹶﻛﹶﺮﺢﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻣ ﺍﻟﹾﻔﹶﺘﺎﻡ ﻋﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺍﻟﻠﱠﻪ
ﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺎﺑﹺﺮ ﺟﻡﻄﹶﺎﺀٌ ﻗﹶﺪﺞﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋﻳﺮ ﺟﻦﺎ ﺍﺑﻧﺮﺒﺍﻕﹺ ﺃﹶﺧﺯ ﺍﻟﺮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﺍﻧﹺﻲﻠﹾﻮ ﺍﻟﹾﺤﻦﺴﺎ ﺍﻟﹾﺤﺛﹶﻨﺪﻭ ﺣ
ﺪﻬﻠﹶﻰ ﻋﺎ ﻋﻨﻌﺘﻤﺘ ﺍﺳﻢﻌﺔﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻧﻌﺘﻭﺍ ﺍﻟﹾﻤ ﺫﹶﻛﹶﺮﺎﺀَ ﺛﹸﻢﻴ ﺃﹶﺷﻦ ﻋﻡ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮﺄﹶﻟﹶﻪ ﻓﹶﺴﻪﺰﹺﻟﻨﻲ ﻣ ﻓﺎﻩﺍ ﻓﹶﺠﹺﺌﹾﻨﺮﻤﺘﻌ ﻣﺍﻟﻠﱠﻪ
ﻮﻥﹶﻔﹾﺘ ﻳﻢﻫﺎﺭﺼﻰ ﺃﹶﺑﻤﺎ ﺃﹶﻋ ﻛﹶﻤﻢﻬﻪ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑ ﻰ ﺍﻟﻠﱠﻤﺎ ﺃﹶﻋﺎﺳﻜﱠﺔﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﻧ ﺑﹺﻤﺮﹺ ﻗﹶﺎﻡﻴﺑ ﺍﻟﺰﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺮﹺﺃﹶﻥﱠ ﻋﻴﺑﺍﻟﺰ
ﺎﻡﹺﺪ ﺇﹺﻣ ﻬﻠﹶﻰ ﻋﻞﹸ ﻋﻔﹾﻌﺔﹸ ﺗﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﺖ ﻛﹶﺎﻧﺮﹺﻱ ﻟﹶﻘﹶﺪﻤ ﻓﹶﻠﹶﻌﺎﻑ ﺟ ﻟﹶﺠﹺﻠﹾﻒﻚ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻧﺍﻩﺎﺩﻞﹴ ﻓﹶﻨﺟ ﺑﹺﺮﺽﺮﻌ ﻳﺔﻌﺘﺑﹺﺎﻟﹾﻤ
ﺎﻬﻠﹾﺘ ﹶﻓﻌﻦ ﻟﹶﺌﺍﻟﻠﱠﻪ ﻓﹶﻮﻔﹾﺴِﻚ ﺑﹺﻨﺏﺮﺮﹺ ﻓﹶﺠﻴﺑ ﺍﻟﺰﻦ ﺍﺑ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﺮﹺﻳﺪ ﻳﲔﻘﺘﺍﻟﹾﻤ
ﺲﺎﻟ ﺟﻮﺎ ﻫﻨﻴ ﺑﻪ ﺃﹶﻧ ﺍﻟﻠﱠﻪﻒﻴﻦﹺ ﺳﺎﺟﹺﺮﹺ ﺑﻬ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﺑﺪﺎﻟﻧﹺﻲ ﺧﺮﺒﺎﺏﹴ ﻓﹶﺄﹶﺧﻬ ﺷﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑﺎﺭﹺﻙﺠ ﺑﹺﺄﹶﺣﻚﻨﻤﺟﻟﹶﺄﹶﺭ
ﺎﻠﹰﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻣﻬ ﻣﺎﺭﹺﻱﺼﺓﹶ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧﺮﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋﻦ ﺍﺑﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ ﺑﹺﻬﻩﺮ ﻓﹶﺄﹶﻣﺔﻌﺘﻲ ﺍﻟﹾﻤ ﻓﺎﻩﻔﹾﺘﺘﻞﹲ ﻓﹶﺎﺳﺟ ﺭﺎﺀَﻩﻞﹴ ﺟﺟ ﺭﺪﻨﻋ
ﻠﹶﺎﻡﹺﻝﹺ ﺍﻟﹾﹺﺈﺳﻲ ﺃﹶﻭﺔﹰ ﻓﺼﺧ ﺭﺖﺎ ﻛﹶﺎﻧﻬﺓﹶ ﺇﹺﻧﺮﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋﻦ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑﲔﻘﺘﺎﻡﹺ ﺍﻟﹾﻤ ﺇﹺﻣﺪﻬﻲ ﻋ ﻓﻠﹶﺖ ﻓﹸﻌ ﻟﹶﻘﹶﺪﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﻲﻫ
ﺎﺏﹴﻬ ﺷﻦﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑﻬﻨﻰ ﻋﻬﻧ ﻭﻳﻦ ﺍﻟﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪﻜﹶﻢ ﺃﹶﺣﺰﹺﻳﺮﹺ ﺛﹸﻢﻨﻢﹺ ﺍﻟﹾﺨﻟﹶﺤﻡﹺ ﻭﺍﻟﺪ ﻭﺔﺘﻴﺎ ﻛﹶﺎﻟﹾﻤﻬ ﺇﹺﻟﹶﻴﻄﹸﺮ ﺍﺿﻦﻤﻟ
ﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﺪﻬﻲ ﻋ ﻓﺖﻌﺘﻤﺘ ﺍﺳﺖ ﻛﹸﻨ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺪﺎﻩ ﺃﹶﻥﱠ ﺃﹶﺑﻨﹺﻲﻬﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠﺮﺒ ﺳﻦ ﺑﺑﹺﻴﻊﻧﹺﻲ ﺭﺮﺒﺃﹶﺧﻭ
ﻗﹶﺎﻝﹶﺔﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﻦ ﻋﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺎ ﺭﺎﻧﻬ ﻧﻦﹺ ﺛﹸﻢﻳﺮﻤﻦﹺ ﺃﹶﺣﻳﺩﺮﺮﹴ ﺑﹺﺒﺎﻣﻨﹺﻲ ﻋ ﺑﻦﺃﹶﺓﹰ ﻣﺮ ﺍﻣﻠﱠﻢﺳﻭ
ﺲﺎﻟﺎ ﺟﺃﹶﻧﺰﹺﻳﺰﹺ ﻭ ﺍﻟﹾﻌﺪﺒ ﻋﻦ ﺑﺮﻤ ﻋﻚﺙﹸ ﺫﹶﻟﺪﺤﺓﹶ ﻳﺮﺒ ﺳﻦ ﺑﺑﹺﻴﻊ ﺭﺖﻌﻤﺳﺎﺏﹴ ﻭﻬ ﺷﻦﺍﺑ
Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya telah mengabarkan
kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus. Ibnu Syihab berkata;
telah mengabarkan kepadaku 'Urwah bin Az-Zubair bahwa Abdullah bin Az-Zubair
tinggal di Makkah, lantas dia berkata, sesungguhnya Allah telah membutakan hati
orang-orang sebagaimana Dia membutakan penglihatan mereka, karena mereka
telah melakukan nikah mut'ah, tiba-tiba nampaklah seorang laki-laki sambil
menyerunya, sesungguhnya kamu orang yang bodoh, demi hidupku, sungguh nikah
mut'ah telah berlaku sejak zaman imam Muttaqin, maksudnya adalah Rasulullah
saw. Ibnu Umar pun berkata kepadanya, coba kamu lakukan, demi Allah jika kamu
melakukannya sungguh saya akan merajammu dengan bebatuan. Ibnu Syihab
berkata, telah mengabarkan kepadaku Khalid bin Muhajir bin Saifullah bahwa
ketika dia sedang duduk-duduk bersama seorang laki-laki, tiba-tiba seorang laki-
laki datang meminta fatwa kepadanya tentang nikah mut'ah. Dia (Khalid) pun
116
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640 no hadits 2496
63
bahwa nabi saw telah mengizinkan melakukan nikah muth’ah dalam keadaan
sebagai berikut:
ﺑﻦﹺ ﺔﹶﻠﹶﻤﺳ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ ﺟﻦ ﻋﺪﻤﺤﻦﹺ ﻣﻦﹺ ﺑﺴ ﺍﻟﹾﺤﻦﻭ ﻋﺮﻤﺎﻥﹸ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣﻲﻠﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺃﹸﺫ ﻗﹶﺪﻪ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻧﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﻮﻝﹸ ﺭﺳﺎ ﺭﺎﻧﺶﹴ ﻓﹶﺄﹶﺗﻴﻲ ﺟﺎ ﻓﻉﹺ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﻛﹸﻨﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮ
ﻋﻦ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦﻉﹺ ﻋﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮﺔﹶ ﺑﻠﹶﻤﻦ ﺳ ﺑﺎﺱﺛﹶﻨﹺﻲ ﺇﹺﻳﺪﺋﹾﺐﹴ ﺣ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫﻦﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑﻮﺍ ﻭﻌﺘﻤﺘﻮﺍ ﻓﹶﺎﺳﻌﺘﻤﺘﺴﺃﹶﻥﹾ ﺗ
ﺎﺒﺎﻝﹴ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺃﹶﺣﺎ ﺛﹶﻠﹶﺎﺙﹸ ﻟﹶﻴﻤﻬﻨﻴﺎ ﺑﺓﹸ ﻣﺮﺸﺍﻓﹶﻘﹶﺎ ﻓﹶﻌﻮ ﺗﺃﹶﺓﺮﺍﻣﻞﹴ ﻭﺟﺎ ﺭﻤ ﺃﹶﻳﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺭ
ﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪﺒﻮ ﻋﺔﹰ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﺎﻣﺎﺱﹺ ﻋﻠﻨ ﻟﺔﹰ ﺃﹶﻡﺎﺻﺎ ﺧﺀٌ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻨﻲﺭﹺﻱ ﺃﹶﺷﺎ ﺃﹶﺩﻛﹶﺎ ﻓﹶﻤﺎﺭﺘﻛﹶﺎ ﺗﺎﺭﺘﺘ ﻳﺍ ﺃﹶﻭﺪﺍﻳﺰﺘﺃﹶﻥﹾ ﻳ
ﻮﺥﺴﻨ ﻣﻪ ﺃﹶﻧﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒﹺﻲ ﺍﻟﻨﻦ ﻋﻲﻠ ﻋﻪﻨﻴﺑﻭ
Telah menceritakan kepada kami Ali, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, telah berkata Amru dari Al Hasan bin Muhammad dari Jabir bin
Abdullah dan Salamah bin Al Akwa' keduanya berkata, ketika kami berada
dalam suatu pasukan perang, Rasulullah saw mendatangi kami dan bersabda,
sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah Mut'ah, karena
itu lakukanlah. Ibnu Abu Dzi`b berkata, telah menceritakan kepadaku Iyas bin
Salamah bin Al Akwa' dari bapaknya dari Rasulullah saw Bilamana seorang
laki-laki dan perempuan telah bersepakat, maka batas maksimal antara mereka
117
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640 no hadits 2508.
64
berdua adalah tiga malam. Jika keduanya suka, maka keduanya boleh
menambah, atau pun berpisah. Aku tidak tahu, apakah perkara itu adalah
khusus bagi kami, ataukah juga orang lain secara umum. Abu Abdullah berkata,
Dan Ali menjelaskan dari Nabi Saw, bahwa perkara tersebut telah Mansukh
dihapus.118
ﻋﻦ ﻞﹶﺌﺎﺱﹴ ﺳﺒ ﻋﻦ ﺍﺑﺖﻌﻤﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳﺮﻤ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺟﻦﺔﹸ ﻋﺒﻌﺎ ﺷﺛﹶﻨﺪ ﺣﺭﺪﺎ ﻏﹸﻨﺛﹶﻨﺪﺎﺭﹴ ﺣﺸ ﺑﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶﻩﻮﺤ ﻧﻠﱠﺔﹲ ﺃﹶﻭﺎﺀِ ﻗﺴﻲ ﺍﻟﻨﻓ ﻭﻳﺪﺪﺎﻝﹺ ﺍﻟﺸﻲ ﺍﻟﹾﺤ ﻓﻚﺎ ﺫﹶﻟﻤ ﺇﹺﻧﻟﹰﻰ ﻟﹶﻪﻮ ﻣ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪﺺﺧﺎﺀِ ﻓﹶﺮﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘﻣ
ﺎﹺﺑﺮ ﺟﺖﻌﻤﺮﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳﻴﺑﻮ ﺍﻟﺰﻧﹺﻲ ﺃﹶﺑﺮﺒﺞﹴ ﺃﹶﺧﻳﺮ ﺟﻦﺎ ﺍﺑﻧﺮﺒﺍﻕﹺ ﺃﹶﺧﺯ ﺍﻟﺮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﻊﹴ ﺣﺍﻓ ﺭﻦ ﺑﺪﻤﺤﺛﹶﻨﹺﻲ ﻣﺪﺣ
ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﺪﻬﻠﹶﻰ ﻋ ﻋﺎﻡﻴﻖﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻳﻗﺍﻟﺪﺮﹺ ﻭﻤ ﺍﻟﺘﻦ ﻣﺔﻀ ﺑﹺﺎﻟﹾﻘﹶﺒﻊﺘﻤﺘﺴﺎ ﻧﻘﹸﻮﻟﹸﺎ ﻛﹸﻨ ﻳ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦﺑ
ﺚﻳﺣﺮ ﻦﹺﺮﹺﻭ ﺑﻤ ﻋﺄﹾﻥﻲ ﺷ ﻓﺮﻤ ﻋﻪﻨﻰ ﻋﻬﻰ ﻧﺘﻜﹾﺮﹴ ﺣﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ ﻭﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻋ
Muhammad Ibn Rafi’ telah menceritakan kepadaku, telah menceritakan
kepada kami Abdurrazak, telah mengkhabarkan kepada kami Juraij, telah
menceritakan kepadaku Ab al Zubair berkata, aku mendengar Jabir bin
Abdullah berkata, kami melakukan muth’ah dengan segenggam kurma dan
tepung beberapa hari pada masa Rasulallah saw dan Abu Bakar hingga Umar
melarangnya pada kasus Amr bin Huraits.120
118
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 13. No hadits 4725.
119
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 15. No hadits 4724.
120
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), jilid, 1, h. 641. no hadits 642
65
ﺪﻨ ﻋﺖﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹸﻨﺮﻀ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻧﻦﻢﹴ ﻋﺎﺻ ﻋﻦ ﻋﺪﺍﺣ ﺍﻟﹾﻮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﺍﻭﹺﻱﻜﹾﺮ ﺍﻟﹾﺒﺮﻤ ﻋﻦ ﺑﺪﺎﻣﺛﹶﻨﹺﻲ ﺣﺪﺣ
ﺎﹺﺑﺮﻦﹺ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺟﻴﺘﻌﺘﻲ ﺍﻟﹾﻤﻠﹶﻔﹶﺎ ﻓﺘﺮﹺ ﺍﺧﻴﺑ ﺍﻟﺰﻦﺍﺑﺎﺱﹴ ﻭﺒ ﻋﻦ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﺑ ﺁﺕﺎﻩ ﻓﹶﺄﹶﺗ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑﺟ
ﺎﻤ ﻟﹶﻬﺪﻌ ﻧ ﻓﹶﻠﹶﻢﺮﻋﻤ ﺎﻤﻬﻨﺎ ﻋﺎﻧﻬ ﻧ ﺛﹸﻢﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﻊﺎ ﻣﻤﺎﻫﻠﹾﻨﻓﹶﻌ
Telah menceritakan kepadaku Hamid Ibn Umar al Bakrawi, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahid dari ‘Ashim dari Abu Nadhrah berkata,
aku disisi Jabir ibn Abdullah lalu datang orang kepadanya, seraya berkata,
sesungguhnya ibn Abbas dan Ibn Zubair pada masa lalu melakukan muth’ah,
lalu Jabir berkata, kami melakukannya bersama Rasulallah saw kemudian
Umar melarangnya hingga kami tidak mengulanginya.121
khaibar, maka kita akan mendapatkan Sufyan yang mengatakan bahwa hadits-
hadits pelarangan muth’ah di khaibar tidak ada, yang ada di khaibar adalah
dalam hadits khaibar adalah tambahan saja, tidak berasal dari nabi Muhammad
saw. Maka apabila hadits-hadits itu mau dijadikan sebagai penasakh dari hadits-
layak karena bagaimana mungkin dapat menasakh suatu suatu hadits kalau
atau mengizinkan muth’ah dan kondisi obyektif bahwa pada masa Rasulallah
saw dan Abu Bakar ada sebagian sahabat melakukan muth’ah menunjukkan
muth’ah adalah Umar ibn Khattab dan sejak itulah nikah muth’ah menjadi
121
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), , jilid.1, h. 640 no hadits 642.
66
haram di dunia Islam.122 Muth’ah adalah dispensasi bagi umat Nabi Muhammad
،ﲔﹴﺼ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺣﻦ ﻋ،ﺲﺎ ﻗﹶﻴﺛﹶﻨﺪ ﺣ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﺎﻥﹶﻮ ﻏﹶﺴﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻴﻢﹴﻜﻦﹺ ﺣﺎﻥﹶ ﺑﺜﹾﻤ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺎ ﺃﹶﺣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺔﹰﺼﺧﺎ ﺭﺔﹸ ﻟﹶﻨﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﺖ ﻛﹶﺎﻧ:ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫﹶﺭﻦ ﻋ، ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦ ﻋ،ﻲﻤﻴ ﺍﻟﺘﻴﻢﺍﻫﺮ ﺇﹺﺑﻦﻋ
Telah menceritakan kepada kami Usman bin Hakim berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Gassan berkata, telah menceritakan kepada
kami Qais dari Abi Hushin dari Ibrahim al Timi dari ayahnya dari Ab Dzar
berkata, Muth’ah adalah ruskhsah (dispensasi) bagi kita.
Secara faktual bahwa diantara sahabat ada yang melakukan muth’ah baik
pada masa nabi maupun pada masa Abu Bakar. Muth’ah adalah rukhsah dalam
kondisi tertentu yang sangat genting dan tidak ada jalan lain kecuali muth’ah.
Ibn Umar ditanya, wahai Ibnu Umar, Rasulallah Saw telah membolehkan
ﹺﻦ ﺑﺮﻤ ﻋﻦﻠﹶﺔﹶ ﻋﺒﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ ﺍﺑﻦﻞﹲ ﻋﻘﻌﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣﻦﻴ ﺃﹶﻋﻦ ﺑﻦﺴﺎ ﺍﻟﹾﺤﺛﹶﻨﺪﺒﹺﻴﺐﹴ ﺣ ﺷﻦﺔﹸ ﺑﻠﹶﻤﺛﹶﻨﹺﻲ ﺳﺪﻭﺣ
ﻢ ﻠﱠﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦ ﻋﻨﹺﻲﻬﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠﺮﺒ ﺳﻦ ﺑﺑﹺﻴﻊﺎ ﺍﻟﺮﺛﹶﻨﺪﺰﹺﻳﺰﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ ﺍﻟﹾﻌﺪﺒﻋ
ﺌﹰﺎ ﻓﹶﻠﹶﺎﻴﻄﹶﻰ ﺷ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶﻋﻦﻣ ﻭﺔﺎﻣﻴﻡﹺ ﺍﻟﹾﻘﻮﺬﹶﺍ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻳ ﻫﻜﹸﻢﻣﻮ ﻳﻦ ﻣﺍﻡﺮﺎ ﺣﻬﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻟﹶﺎ ﺇﹺﻧ ﻭﺔﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﻦﻰ ﻋﻬﻧ
ﺬﹾﻩﺄﹾﺧﻳ
Dan telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib telah
menceritakan kepada kami Al Hasan bin A'yan telah menceritakan kepada kami
Ma'qil dari Ibnu Abi Ablah dari Umar bin Abdul Aziz dia berkata, telah
menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani dari ayahnya bahwa
Rasulullah saw melarang melakukan nikah mut'ah seraya bersabda, ketahuilah,
122
Sayyid Murthada al Askari, Ma’alim al Madrasatain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994)
jilid.2, hlm. 359
67
bahwa (nikah mut'ah) adalah haram mulai hari ini sampai hari Kiamat, siapa
yang telah memberi sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut'ah,
janganlah mengambilnya kembali123.
nikah mut’ah terdapat dalam beberapa kali waktu dan tempat. Hal ini tercermin
dari adanya hadits pelarangan mut’ah dalam berbagai versi, antara lain:
ﻦ ﺑﻦﺴﻧﹺﻲ ﺍﻟﹾﺤﺮﺒ ﺃﹶﺧ:ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻳ،ﺮﹺﻱﻫ ﺍﻟﺰﻊﻤ ﺳﻪ ﺃﹶﻧ،ﺔﹶﻨﻴﻴ ﻋﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻴﻞﹶﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﺑﻚﺎﻟﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻦﹺﺎﺑ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ،ﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲﺿﺎ ﺭﻴﻠ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ،ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤﻦ ﻋ،ﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻮﻩﺃﹶﺧ ﻭ،ﻲﻠﻦﹺ ﻋ ﺑﺪﻤﺤﻣ
ﺮﺒﻴ ﺧﻦﻣ ﺯﺔﻴﻠﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫﻤﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ ﻟﹸﺤﻦﻋ ﻭ،ﺔﻌﺘ ﺍﻟﹾﻤﻦﻰ ﻋﻬ ﻧﺒﹺﻲ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻨ:ﺎﺱﹴﺒﻋ
Telah menceritakan kepada kami Malik bin Sufyan, telah menceritakan
kepada kami Ibn Uyainah, bahwa dia mendengar al Zuhri berkata, al
Hasan bin Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad
telah mengkhabarkan kepadaku dari ayahnya, bahwa Ali ra berkata kepada
Ibn Abbas, sesungguhnya nabi melarang muth’ah dan memakan daging
keledai piaraan pada masa khaibar.124
2. Hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Umais, dari Iyas bin Salamah,
ﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﺪﻤﺤ ﻣﻦ ﺑﺲﻮﻧﺎ ﻳﺛﹶﻨﺪﻰ ﺣﻴﺤ ﻳﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪ ﺣﺩﺍﻭ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺩﻦ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪﺒﹺﻰ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦﺔﹶ ﻋﻠﹶﻤﻦﹺ ﺳﺎﺱﹺ ﺑ ﺇﹺﻳﻦﺲﹴ ﻋﻴﻤﻮ ﻋﺛﹶﻨﹺﻰ ﺃﹶﺑﺪ ﺣﺎﺩ ﺯﹺﻳﻦ ﺑﺪﺍﺣﺍﻟﹾﻮ
.ﺎﻬﻨﻰ ﻋﻬ ﻧﺎﻡﹴ ﺛﹸﻢﻃﹶﺎﺱﹴ ﺛﹶﻼﹶﺛﹶﺔﹶ ﺃﹶﻳ ﺃﹶﻭﺎﻡﺎﺀِ ﻋﺴ ﺍﻟﻨﺔﻌﺘﻰ ﻣ ﻓﺺﺧﻭﺳﻠﻢ ﺭ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Abi Daud, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibn Yahya, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibn Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdul
wahid ibn Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Umais dari Iyas ibn
Salamah dari ayahnya bahwa nabi saw memberikan dispensasi untuk
muth’ah nisa pada am authas tiga hari, kemudian beliau melarangnya.125
123
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), jilid.1, h. 640 no hadits 2509.
124
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 12. No hadits 5115
125
Daruquthi, Sunan Daruquthni, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid, 8, h. 453 hadis yang
senada juga diriwayatkan dalam al Sunan al Kubra , jilid, 7, hlm. 204.
68
dari kakeknya:
ﻚﻠ ﺍﻟﹾﻤﺪﺒ ﻋﻦ ﻋ،ﺪﻌ ﺳﻦ ﺑﻴﻢﺍﻫﺮﺎ ﺇﹺﺑﺛﹶﻨﺪ ﺣ،ﻡ ﺁﺩﻦﻰ ﺑﻴﺤﺎ ﻳﻧﺮﺒ ﺃﹶﺧ،ﻴﻢﺍﻫﺮ ﺇﹺﺑﻦ ﺑﺎﻕﺤﺎ ﺇﹺﺳﺛﹶﻨﺪﺣ
ﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋﻮﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻﺳﺎ ﺭﻧﺮ »ﺃﹶﻣ: ﻗﹶﺎﻝﹶ،ﻩﺪ ﺟﻦ ﻋ، ﺃﹶﺑﹺﻴﻪﻦ ﻋ،ﻨﹺﻲﻬﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠﺮﺒﻦﹺ ﺳﺑﹺﻴﻊﹺ ﺑﻦﹺ ﺍﻟﺮﺑ
«ﺎﻬﻨﺎ ﻋﺎﻧﻬﻰ ﻧﺘﺎ ﺣﻬﻨ ﻣﺝﺮﺨ ﻧ ﻟﹶﻢ ﺛﹸﻢ،ﻜﱠﺔﹶﺎ ﻣﻠﹾﻨﺧ ﺩﲔ ﺣ،ﺢﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺘﺎﻡ ﻋﺔﻌﺘ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤﻠﱠﻢﺳﻭ
“Rasulullah saw di hari Fatkhul Makkah mengizinkan kami melakukan
nikah mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah, kemudian kami tidak
keluar dari Makkah, sampai beliau melarang kami melakukan nikah
mut’ah.”126
4. Hadits diriwayatkan oleh Abdul Warits, dari Isma’il bin Umayyah, dari az-
Zuhri berkata:
ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹸﻨﺮﹺﻯﻫﻦﹺ ﺍﻟﺰﺔﹶ ﻋﻴﻦﹺ ﺃﹸﻣﻴﻞﹶ ﺑﺎﻋﻤ ﺇﹺﺳﻦ ﻋﺍﺭﹺﺙ ﺍﻟﹾﻮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﺪﻫﺮﺴ ﻣﻦ ﺑﺩﺪﺴﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ
ﺪﻬﺓﹶ ﺃﹶﺷﺮﺒ ﺳﻦ ﺑﺑﹺﻴﻊ ﺭﻘﹶﺎﻝﹸ ﻟﹶﻪﻞﹲ ﻳﺟ ﺭﺎﺀِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪﺴﺔﹶ ﺍﻟﻨﻌﺘﺎ ﻣﻧﺬﹶﺍﻛﹶﺮﺰﹺﻳﺰﹺ ﻓﹶﺘ ﺍﻟﹾﻌﺪﺒﻦﹺ ﻋ ﺑﺮﻤ ﻋﺪﻨﻋ
.ﺍﻉﹺﺩ ﺍﻟﹾﻮﺔﺠﻰ ﺣﺎ ﻓﻬﻨﻰ ﻋﻬ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺙﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺭﺪ ﺣﻪﻠﹶﻰ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺃﹶﻧﻋ
Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, telah
menceritakan keapda kami Abdul waris dari Ismail bin Umayyah dari al
Zuhri berkata, kami bersama disis Umar bin Abdul Aziz, kami sedang
mendiskusikan tentang muth’ah al nisa’, lalu berkata seorang laki-laki yaitu
Rabi bin Sabrah, aku bersaksi atas ayahku bahwa dia telah menceritakan
bahwa Rasulallah saw telah melarang muth’ah nisa pada saat haji
wada’.127
5. Ibnu Rusydi menulis, bahwa pelarangan nikah mut’ah juga terjadi pada
126
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid II h. 1022-1023, dalam ”Kitab an-Nikah”, hadits no. 22.
127
Abu Daud Slaiman al asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid, 1, h. 476
128
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibn Rusydi al- Qurthubi,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, (“tnp.”, “tkp.”, 1960), Juz I: 58, dalam “Kitab Nikah”.
69
kesimpulan bahwa nasakh nikah mut’ah, terjadi dalam lima kali tempat dan
hadits-hadits diatas, maka bisa disimpulkan bahwa hadits yang terjadi pada
peristiwa haji wada’ ialah statusnya sebagai nāsikh dan sekaligus hadits yang
totalitas atau penghapusan yang sifatnya permanen dan final atau hanya sekedar
129
Jasser Auda, Fiqh al-Maqasid (London; Internasional Institute Of Islamic Thought, 2006), h. 173
70
Kesan adanya dua hadits yang bertentangan dapat diselesaikan melalui cara
hadits Nabi Saw, terjadi dalam ruang dan waktu sosial yang berbeda dan dengan
begitu juga audien yang berbeda-beda. Disamping itu pula otoritas penuh
terjadinya nasakh disaat Nabi Saw, masih hidup tentunya hal ini menjadi
problem ketika Nabi Saw, wafat lantas kemudian apakah hukum mati,
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka kesimpulan utama dari
mut’ah dan juga memuat hadits-hadits yang bermatan larangan nikah mut’ah.
Adapun larangan tersebut terjadi dalam beberapa kali peristiwa dan masa yang
berbeda, yakni pada waktu Perang Khaibar, Fatkh Makkah, Haji Wada’, Umrah
al-Qadha’ dan Perang Authas. Hadits larangan nikah mut’ah yang paling
2. Teori nāsikh mansūkh merupakan analisis utama dalam penelitian skripsi ini,
hadits yang secara lahir kontradiktif, dengan pendekatan melacak fakta sejarah
waktu munculnya hadits-hadits nikah mut’ah maka setatus hadits tersebut bisa
diketahui. Dan pola nasakh hadits nikah mut’ah yang terjadi lebih dari satu kali
ternyata tidak mempengaruhi hukum. Hal ini merupakan jawaban dari rumusan
71
72
a. Saran-saran
Saran-saran yang penulis sampaikan dalam skripsi ini ialah bahwa penelitian ini
bukan merupakan hasil akhir. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan untuk diuji
kembali oleh para pakar ahli hadis, intelektual ahli hukum, ushul fiqh, khususnya
jurusan tafsir hadits karena dalam penelitian kecil ini penulis hanya mengkaji nasikh
mansukh yang terjadi pada hadits nikah mut’ah. Untuk itu penulis perlu sampaikan
1. Perlu dikaji secara mendalam nāsikh mansūkh hadits nikah mut’ah dengan
2. Melihat fakta sejarah terjadinya nikah mut’ah mayoritas dalam kondisi perang,
sikap nabi Muhammad Saw di saat itu memperbolehkan nikah mut’ah, namun
yang menarik untuk dikaji lebih lanjut kenapa nabi Muhammad Saw
memberikan solusi nikah mut’ah bukan dengan cara lain, misalkan poligami ?
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Faraj, Abdurrahman bin ‘Ali. An-Nasikh wal-Mansukh. Bairut: Dar al-
Basyâir al-Islami. 1993.
Al-Adlibī, Salāh al-Dīn. Manhaj Naqd Matn ‘Inda ‘Ulamā’ al-Ḥādīth al-Nabawī
Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīd, 1983.
Abū Dawūd, Ṣaḥīḥ Abū Dāwud. Beirut: Dār al-Kitāb al-Arābī, tt.
al-Baghdād, Abu Mansur Abdul Qahir ibn Tahir ibn Muhammad. al-Nâsikh Wa
al-Mansukh Li Ibni al-Mansuri al-Baghdadi. Bairut: Dar al-Basyâir al-
Islami. 1995.
al-Fattāḥ, ‘Abd. Abū Ghuddah. Ta’līqāt al-Manār al-Munīf. Kairo: Muassasah al-
Risalah, tt
al-Hindī, ‘Ālī bin Ḥisām al-Dīn al-Muttaqī. Kanz al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl
wa al-Af’āl, Beirut: Muassasah-Risālah, 1989.
Ḥajjāj, Muslim bin. Ṣa ḥīḥ Muslim, Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arābī, 1995.
Hanafi, Hasan. Min al-Naql ilā al-‘Aql; al-Jūz al-Thānī ‘Ulūm al-Ḥādith Min Naq
al-Sanad ila Naqd al-Matn. Kairo: Dār al-Amir, 2010
Al-Khaṭīb, Mu’taz. Radd al-Ḥadīth min Jihāt al-Matn; Dirāsah fī Manāhij al-
Muḥaddithīn wa al-Uṣūliyyīn, Beirut: al-Syabkah al-‘Arābiyyah li al-
Abḥāth wa al-Nashr, 2011.
Al-Na’īmī, Ḥamzah Abū al-Fatḥ bin Ḥusain Qāsim. al-Manhaj al-‘Ilmī lil
Ta’āmul ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah ‘Inda al-Muḥaddithīn, Jordan:
Dār al-Nafāis, 1999.