You are on page 1of 86

Analisis Nāsikh-Mansūkh dalam Hadits

(Studi Kasus Hadits Nikah Mut’ah)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Anisul Fahmi

NIM 1112034000138

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M.

i
ii
TRANSLITERASI

Transliterasi yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada

Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali

diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan

Library Congress (LC).

A. Konsonan Tunggal dan Vokal

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris


‫ا‬ A A ‫ط‬
‫ب‬ B B ‫ظ‬
‫ت‬ T T ‫ع‬ ‘
‫ث‬ Ts Th ‫غ‬ Gh Gh
‫ج‬ J J ‫ف‬ F F
‫ح‬ ‫ق‬ Q Q
‫خ‬ Kh Kh ‫ك‬ K K
‫د‬ D D ‫ل‬ L L
‫ذ‬ Dz Dh ‫م‬ M M
‫ر‬ R R ‫ن‬ N N
‫ز‬ Z Z ‫و‬ W W
‫س‬ S S ‫ه‬ H H
‫ش‬ Sy Sh ‫ء‬ ’ ’
‫ص‬ ‫ي‬ Y Y
‫ض‬ ‫ة‬ H H
Vocal Panjang

‫َا‬ Ā Ā ْ‫أُو‬ Ū Ū
ْ‫إِي‬ Ī Ī

B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah.

‫ﻣﺆﺳﺴﺔ‬ Mu’assasah

‫ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ‬ Muta‘addidah
C. Tā’ Marbū ah.

‫ﺻﻼﺓ‬ alāh Bila dimatikan

‫ﻣﺮﺃﺓ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ‬ Mir’āt al-zamān Bila I āfah

D. Singkatan.

Swt : Sub ānahū wa ta‘ālā

Saw : allā Allāhu ‘alayh wa sallam

M : Masehi

H : Hijriyah

QS : Qur’ān Surat

HR : Hadis Riwayat
Kata Pengantar

Segala puji hanya milik-Mu. Dzat yang telah memberikan nikmat

iman dan Islam. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada nabi pamungkas

manusia sempurna sepanjang masa, Nabi Muhammad saw, dan keluarganya.

Para sahabat, para tabiin, tabi‟ tabiin, dan para ulama yang telah menjadi

bagian dari pewaris pengetahuan kepada umat manusia hingga kini.

Alḥamdulillāh, berkat rahmat dan inayah Allah swt. penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak akan terwujud

tanpa adanya keterlibatan berbagai pihak.

Kepada beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya sembari menengadahkan doa; semoga

menjadi amal ibadah beliau semua dan dibalas oleh Allah swt. Melalui

upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan karunia-Nya

lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Selama proses penulisan yang cukup terbilang lama dan meletihkan

ini banyak kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam

penyusunan skripsi ini. Dengan berbagai hambatan alḥamdulillāh dapat

teratasi berkat arahan serta bimbingan-Nya dan bantuan sepercik do’a dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis ingin

menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer Dekan Fakultas Ushuluddin

iii
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis

yang tak bosan-bosan memberikan arahan, bimbingan serta do’a

4. Ibu Dra. Banun Binaningrum, M. P.d selaku Sekretaris Jurusan Tafsir

Hadis.

5. Bapak Zuhdi Zaini, MA., selaku pembimbing yang selalu meluangkan

waktunya untuk meneliti, mengkaji dan diskusi bersama beliau.

6. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., yang selalu meluangkan

waktunya untuk penulis melalui mengaji dan diskusi bersama beliau.

Rumahnya yang selalu terbuka bagi penulis untuk dijadikan tempat

konsultasi dan bimbingannya. Juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru,

pemikiran baru, sehingga penulis ada gairah semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dedikasinya

dalam mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta

pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan, khususnya

kepada bapak Dr. Abdul Moqsith Ghazali, MA. Maulana, M.Ag, Dr.

Atiatul Ulya, Anwar Syarifudin, MA. dan dosen-dosen lainnya yang

telah memberikan “warna pengetahuan” bagi penulis selama menjadi

mahasiswanya.

8. Kepada kedua orang tua penulis; Ibu Nur Aini dan Bapak Saifullah.

Adik-adik penulis; mba Inayah, mas Noval, dan mas In’am. Yang selalu

memberikan motivasi kepada anak dan kakaknya, khususnya dalam

merampungkan kuliah. Nyuwun agunge pangampunten Ma, Pa, Kulo

katah kelepatan dereng saged nopo-nopo kagem panjenengan. Dek

iv
Inayah dan Dek Noval, terus semangat Tafaquh Fiddin di Ponpes

Lirboyo Kediri, mugi-mugi dados tiyang ingkang manfa’at kagem

masyarakat.

9. Kepada Segenap Keluarga Besar Formal (Forum Mahasiswa Santri dan

Alumni Lirboyo) di Jakarta; Pak Satria, Pak Rosyid, Kang Fauzi, Bang

Bandi, kang Idris, kang Huda, kang Aray, Mbah Sofyan, Bang Bohal,

Mas Kurhi, Pak Latif, Kang Akay yang selalu setia menemani penulis

belajar.

10. Kepada Segenap Keluarga Besar Pusat Studi dan Pengembangan

Pesantren (PSPP), Pak Afifi, Pak Guru, Gus Jamal, Gus Asif, Kang

Rouf, Guz Alam, Guz Mumu, mang Akrom, kang Adib, dan aktivis-

aktivis PSPP lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

11. Kepada Bubuh, yang dengan sabar dan telaten serta tanpa henti

memberi motivasi dan menyalurkan energi semangatnya kepada penulis

yang mewujud menjadi mata untuk membaca literatur, mengendapkan

dan menulis.

12. Sahabat-sahabat dan Kawan-kawan TH angkatan 2012; Herman,

Anggit, Sukoi, Umi Faridoh, Mas Arif, Guz Fajar dkk. Yang telah sudi

menjadi teman diskusi, curhat, dll sejak awal kuliah dan Teman-teman

KKN Infijar 2015; Barkah, Diyas, Fiqih, Taufiq, Imas, dll.

13. Kepada kawan-kawan Insan Cendekia Institut; Bang Jarwo, Teh Lail,

Cika Firman, Kang Arip, Kang Cengho, sahabat-sahabati PMII,

Kawan-kawan HMI, GMI dan Keluarga Besar KPMDB Wilayah

Jakarta.

v
14. Seluruh pihak yang telah membantu proses kuliah penulis dan proses

skripsi ini yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu.

Jazaakumullah Ahsanal Jazaa.

Terakhir, penulis berharap semoga skripsi ini sedikit banyak dapat

bermanfaat bagi pembaca dan menjadi awal untuk memotivasi penulis untuk

terus berkarya. Dan semoga Allah swt. selalu memberikan limpahan berkah

dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu

dalam proses penyelesaian skripsi ini. Āmīn yā Rabb al-Ālamīn.

Ciputat, 19 Maret 2016

vi
ABSTRAK

Anisul Fahmi “Analisis Nāsikh Mansūkh Dalam Hadits” (Studi Kasus Hadits Nikah
Mut’ah) Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2016.

Perdebatan hukum nikah mut’ah telah berlangsung sejak lama sehingga


memunculkan dua mainstream pemikiran dalam wacana hukum Islam, yaitu yang
melarang dan yang membolehkannya. Dalam masalah ini kelompok yang melarang
adalah jumhur ulama Ahl as-Sunnah, sedangkan kelompok yang membolehkan adalah
syi’ah. secara faktual nikah mut’ah tercatat dalam lintas sejarah umat Islam. Hadits-
hadits yang membolehkannya tertuang dalam kitab-kitab Ahl as-Sunnah seperti dalam
kitab Shahih Bukhari dan Muslim.

Namun disisi lain, hadis-hadis yang melarang tentang nikah muth’ah tidak
sedikit jumlahnya dibeberapa kitab hadis. Seperti Imam Muslim dalam kitabnya
memberi judul “bab nikah al muth’ah, dan penjelasan tentang dibolehkannya, kemudian
dinasakh, kemudian dibolehkan lagi, kemudian dinasakh lagi, lalu ditetapkan
keharamannya hingga hari kiamat”. Secara positif semua itu memberi kesan dinamisasi
hukum Islam, namun disisi lain, tema itu memberi isyarat perbedaan yang sangat alot
para ulama dalam menggali dan merumuskan hukum nikah muth’ah.

Penelitian ini mencoba untuk melacak hadits-hadits nikah mut’ah dengan teori
nasakh dalam diskursus ilmu hadits. nasakh merupakan bagian dari teori yang secara
eksplisit membahasa hadits-hadits mukhtalif, lebih intens lagi penelitian ini mencoba
menggali lebih dalam hadits-hadits nikah mut’ah dengan menguak fakta sejarah
munculnya hadits pada tahun terjadinya, sehingga memudahkan untuk menentukan
status hadits tersebut apakah ia nasikh atau mansukh.

vii
DAFTAR ISI

TRANSLITERASI
KATA PENGANTAR ........................................................ ................................. i
ABSTRAK ........................................................................................................... v
DAFTAR ISI......................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Indentifikasi Masalah, Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ...... ... 10
1. Identifikasi Masalah .......................................................................... 10
2. Batasan Masalah ............................................................................... 11
3. Rumusan Masalah ............................................................................ 11
C. Telaah Pustaka ...................................................................................... 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 14
1. Tujuan Penelitian .............................................................................. 14
2. Manfaat Penelitian ............................................................................ 14
E. Metodologi Penelitian ........................................................................... 15
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data .................................................... 15
2. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 16
3. Langkah Operasional Penelitian dan Sistematika Pembahasan ......... 16

BAB II TEORI NĀSIKH MANSŪKH


A. Definisi Nāsikh Mansūkh ...................................................................... 18
B. Kriteria Nāsikh ...................................................................................... 19
1. Kriteria yang sudah disepakati ......................................................... 19
2. Kriteria yang belum disepakati ........................................................ 29
3. Nas-nash yang tidak menerima nasakh ............................................ 29
C. Klasifikasi Nasakh ................................................................................ 30
1. Perbedaan Nasakh dan Takhsis ....................................................... 33
D. Kehujahan Nāsikh dan Mansūkh .......................................................... 34
E. Nāsikh Mansūkh Lebih Dari Satu Kali ................................................. 34
F. Kritik Ulama Kontemporer ................................................................... 34

BAB III HADIS HADITS NIKAH MUT’AH


A. Hadis Hadits Mansūkh........................................................................... 40
B. Hadis Hadits Nāsikh ............................................................................. 44

BAB IV ANALISIS NĀSIKH MANSŪKH DALAM HADITS


A. Analisis Nāsikh Mansūkh Dalam Hadits ................................... .......... 52
B. Melacak Fakta Sejarah Waktu Munculnya hadits ................................ 60

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 77
B. Saran-saran ............................................................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam literatur khazanah Islam, kitab Suci al-Qur’ân yang diturunkan untuk

Nabi merupakan misi Tuhan bagi umat manusia untuk menemukan nilai-nilai luhur

uluhiyah, proses perjalanan waktu, kultur dan budaya teks-teks suci mengalami

perwujudan menjadi komunitas agama sebagai identitas ideologi, ideologi suci

sebagai spirit hidup untuk menuju titik pencerahan. Namun disatu sisi ideologi

yang dibangun oleh Tuhan tak seluruhnya terjamah oleh umat manusia. Teks al-

Qur’ân hadir bukan sekedar lembaran kertas yang bersifat dogmatis dan oleh umat

bersifat apatis. Bayan Ilahi tak cukup memberikan penjelasan problem umat

sehingga diperlukan bayan Nabawi yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw.

Hadits berperan menjelaskan sekaligus penawar kegelisahan atas permasalahan

permasalahan umat dari kultur dan budaya yang berbeda, walau terkadang hadits

hadir di tengah umat, kandas di tengah jalan.

Hadits biasa didefinisikan sebagai perkataan, perbuatan dan persetujuan yang

disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.1 Ia merupakan teks berita yang berasal

dari Nabi. Ia juga biasa dikenal dengan istilah lain, seperti sunnah, khabar dan atsar.

Di antara ketiga istilah ini, sunnah lebih banyak digunakan dari yang lain, sehingga

hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah Nabi. `

Dalam beberapa literatur, ditemukan bahwa sunnah berasal dari sumber yang

sama dengan al-Qur’ân. Perbedaan keduanya hanya dari segi redaksi dan

1
Taqrir adalah masdar (kata benda jadian) dari kata kerja qarrara. Menurut bahasa, taqrir dapat
diartikan penetapan, pengakuan atau persetujuan. Lihat: Muhammad bin Mukarram bin Manzhur, Lisan
al-‘Arab, (Kairo: Al-Dar al-Mishriyyah, t.th) Juz IV, hal. 394.

1
2

carapenyampaiannya. Sunnah merupakan wahyu yang tidak mathlu’ (terbaca).2

Dalam metodologi pengambilan dan penetapan hukum Islam (istinbâth), secara

hirarkis hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân. Argumentasinya, seperti

yang dinyatakan dalam ushul fiqh, bahwa hukum Islam adalah hukum Allah Swt.

Hukum Allah Swt harus bersumber dari rujukan wahyu dan kalam-Nya. Wahyu

yang langsung, primer dan pasti akurat (mutawâtir) adalah al-Qur’ân.

Sementara hadits adalah penjelas terhadap wahyu. Kalaupun hadits dianggap

wahyu, maka ia wahyu yang tidak langsung, sekunder dan dalam beberapa hal

akurasinya tidak terjamin. Tidak persis seperti al-Qur’ân yang purna terjamin. al-

Qur’ân dipastikan sebagai wahyu yang akurat, karena pada jalur transmisi

(riwâyah), ia diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasi (mutawâtir).

Sementara kebanyakan teks-teks hadits, ditransmisikan secara lebih sederhana, oleh

satu orang (ahâd), yang masih menyisakan adanya kemungkinan salah dan alpa,

bahkan bohong (ihtimâl al-khata’ wa an-nisyân wa al-kidzb). Karena itu, hadits

menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân dalam penempatan sebagai sumber

hukum Islam.

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, 150-204H/820M), dalam analisisnya

menyatakan bahwa hadits termasuk dalam katagori ‘berita personal’ (al-khabar al-

khâsh), yang hanya didengar dan ditransmisikan oleh kalangan tertentu, bahkan

terkadang oleh satu orang saja. Tidak seperti al-Qur’ân, sebagai ‘berita publik’ (al-

khabar al-‘amm), ia didengar, disaksikan dan ditransmisikan secara publik,

sehingga diterima oleh setiap muslim. Karena sifat hadits yang personal, ia tidak

bisa dipaksakan untuk diyakini kebenarannya oleh setiap muslim. Kwalitas

2
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) jilid VII .h. 271
3

pengetahuan yang dimilikinya hanya bersifat praduga kuat (ẓanni), bukan

aksiomatika agama (al-‘ilm al-ḍarûri). Karena itu, Imam Syafi’i menyatakan

“Kami tidak berhak meminta bertaubat kepada orang yang ragu dengan kebenaran

suatu hadits” (man syakka fîhi lam naqul lahû tubb)3 .

Perbedaan hirarkis hadits dari al-Qur’ân tentu melahirkan perbedaan otoritas

(hujjiyah). Otoritas hadits berada di bawah otoritas al-Qur’ân. Sekalipun demikian,

hadits tetap memiliki otoritas yang cukup kuat jika dibandingkan Ijmâ’ (konsensus

ulama) dan Qiyâs (analogi). Karena hadits merupakan perkataan Nabi Saw.

penerima wahyu, sehingga ia menjadi media yang otoritatif bagi penjelasan (bayân)

dan perincian (tafshîl) makna-makna yang terkandung dalam wahyu Allah Swt, al-

Qur’ân.

Hadits dalam hal ini, bisa bersifat konfirmatif (ta’kîd) terhadap wahyu (al-

Qur’ân), bisa interpretatif (tafsîr) dan bisa juga afirmatif (ityân bi al-jadîd) dengan

mendukung hal baru yang tidak disebutkan oleh wahyu, tetapi sesuai dengan

semangat dasar yang diusungnya. Dalam hal ini, Imam Syafi’i (150-204H)

menyatakan bahwa hadits merupakan ‘pengetahuan bijak’ (al-hikmah), yang juga

diamanatkan untuk disampaikan, sebagaimana dalam al-Qur’ân surat Al-Baqarah:

‫ﺖ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻚ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻛﱢﻴﻬﹺﻢ‬‫ﺰ‬‫ﻳ‬‫ﺔﹶ ﻭ‬‫ﻜﹾﻤ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺏ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻜ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﺎﺗ‬‫ ﺁﻳ‬‫ﻬﹺﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹸﻮ ﻋ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻮﻟﹰﺎ ﻣ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻴﻬﹺﻢ‬‫ﺚﹾ ﻓ‬‫ﻌ‬‫ﺍﺑ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ﺭ‬

(129) ‫ﻴﻢ‬‫ﻜ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺰﹺﻳﺰ‬‫ﺍﻟﹾﻌ‬

“Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka
sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Mu dan mengajarkan

3
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risâlah, tahqiq Abd al-Fattah bin Zhafir Kabbarah, (Beirut-
Libanon, Dar an-Nafa’is, 1999) h. 235.
4

kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah
yang mahaperkasa, mahabjaksana.”
Lebih jauh lagi, bahwa penerimaan otoritas hadits merupakan bentuk

implementatif dari kewajiban beriman kepada Allah Swt yang mewajibkan beriman

kepada Nabi Saw. Implementasinya, adalah menerima dan mengamalkan hadits,

sebagai pengamalan dari keimanan kepada Nabi Saw4. Bisa disimpulkan bahwa

otoritas hadits diterima oleh mayoritas ulama, tidak oleh seluruh ulama. Sementara

otoritas al-Qur’ân diterima bulat oleh seluruh ulama. Karena itu, wilayah cakupan

otoritas hadits tak hanya sebagai rujukan pengamalan dalam beragama (lil a’mâl),

dan rujukan keyakinan beragama (lâ lil ‘aqâ’id). Hal ini dinyatakan oleh Ibn ash-

Shalâh (577-643H), an-Nawawî (631-676H) dan as-Suyûthi (849-911H) dan

ulama-ulama Hadits yang lain5. Amalan agama, seperti cara beribadah; shalat,

puasa, zakat atau haji dan cara-cara pergaulan; relasi keluarga, bertetangga, atau

kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sementara keyakinan agama; seperti sifat-

sifat Allah Swt, malaikat, kisah-kisah hari kiamat atau berita surga dan neraka.

Bagaimanapun juga dalam pergolakan dunia pemikir muslim, tak terhindar dari

perdebatan atas dasar pemahaman yang berbeda baik dalam hal ushuli maupun

furu’ sehingga banyak madzhab yang tumbuh semakin subur, tentunya menjadi

sebuah keniscayaan akan keluasan konsep, pemahaman dan dasar-dasar pola pikir,

lebih khusus dalam diskursus hadist, perbedaan ini sangat kental sekali bagaimana

ulama mengartikan konsep nasakh mansukh.

Sebagaimana dalam literatur kitab-kitab hadits banyak menjumpai hadits-hadits

Nabi akan syarat perbedaan, baik secara redaksi, arti dan substansi, sehingga

4
Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, ar-Risâlah, tahqiq Abd al-Fattah bin Zhafir Kabbarah, (Beirut-
Libanon, Dar an-Nafa’is, 1999) h. 236.
5
Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwi fi Syarh Taqrîb an-Nawawi, tahqiq Ahmad
Umar Hisyam, (Beirut, Libanon Dar al-Kitab al-‘Arabi,1989) jilid I, h. 54.
5

terkesan dualisme pemahaman dan hukum yang tampak. Tak jarang para ulama

memberikan banyak komentar perihal tersebut, seperti Ali Nayyif Biqa’i,

menuangkan pendapatnya, apabila kehadiran teks hadits nampak bertentangan

dengan hadits yang lain, maka yang harus dilakukan menggunakan metode-metode

kusus, sebagai langkah awal menuju proses penyatuan makna dan hukum, ada tiga

poin yang menjadi catatan Ali Nayyif Biqa’i 6:

1. Berusaha memadukan atau kompromi antara hadis yang bertentangan, dengan

cara mengambil faktor substansial yang memicu terjadinya perbedaan.

2. Apabila tidak ada hasil dalam proses kompromi, maka langkah selanjutnya

nasakh mansukh, oleh sebab itu secara substansi akan berdampak pada hukum,

a. Hadits yang setatusnya nasakh (menghapus) hukum diberlakukan.

b. Hadits yang setatusnya mansukh (terhapus) hukum tidak diberlakukan.

3. Namun apabila langkah nasakh mansukh secara dalil tidak cukup kuat, maka

langkah yang harus ditempuh Tarjih, mengunggulkan salah satu hadis

berdasarkan pertimbangan riwayat-riwayat dan lain sebagainya 7.

Terlepas dari itu, penulis sedikit mengulas tentang nasakh mansukh dalam

kajian hadits. Nasakh dalam bahasa artinya an-naql memindah atau attahwil

artinya merubah, atau at-tabdil artinya mengganti, sedangkan menurut istilah

nasakh ialah: Membatalkan suatu hukum dengan dalil yang datangnya

kemudian.8 Dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa antara yang

menghapus dengan yang dihapus terdapat suatu masa yang didalam masa

6
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah) 1997, h. 328
7
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah) 1997, h. 328
8
Wahbah Azzuhaili, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2004) h.
379.
6

berlaku hukum yang dinasakh, artinya jika nasakh tidak dijumpai, maka secara

pasti hukum yang telah ada tetap berlaku. Oleh pakar hadits menyikapi teori

nasakh mansukh, tentang status hadits sebagai nasakh terhadap sebagian hukum

yang telah ditetapkan al-Qur’an, yaitu:

1. Kelompok ulama yang menolak

Kelompok ini, seperti Imam Syafi’i dan sebagian besar madzhab

dhahiriy dan kelompok Khawarij, berpendapat bahwa terjadinya nasakh itu

lantaran adanya dalil syara’ yang mengubah ketentuan, sekalipun sudah

jelas bahwa berlakunya hukum tersebut telah habis atau tidak bisa

diamalkan lagi atau syara’ sudah menurunkan ayat tentang tidak berlakunya

lagi untuk selama-lamanya atau temporal9.

Oleh sebab itu, semua ketentuan yang datangnya kemudian, dapat

menghapuskan ketentuan yang datangnya terdahulu lantaran yang kemudian

dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan masyarakat, sehingga

ketidakberlakuannya hukum dalam nāsikh mansūkh harus memiliki kriteria

yang telah ditentukan.

2. Kelompok yang menerima.

Kelompok yang menerima nasikh mansukh ialah kelompok Mu’tazilah,

Hanafiyah, Madzhab Ibn Hazm al-Dlahiri, sekalipun Mu’tazilah

membatasinya hanya pada wilayah hadits mutawatir. Kelompok Hanafiyah

bersikap lebih terbuka tanpa mensyaratkan harus mutawatir, sehingga hadits

9
Hamadah, Abbas Mutawaliy, al-Sunnah al-Nabawiyyah Wa Makanatuha Fi al-Tasyri’, Tahqiq
Muhammad Abu Zahrah, (Kairo, Mathba’ah Dar al-Qamiyyah, tth) h 169-170
7

masyhur tidak jadi masalah, bahkan Ibn Hazm memposisikan nāsikh

mansūkh termasuk kelompok bayan al-Qur’an10.

Demikian perbedaan pendapat terkait kehujjahan nāsikh mansūkh,

sehingga bisa dapat disimpulkan teks yang lahir dan tertuang dalam literatur

hadits tidak serta merta langsung dikaji dengan teori nāsikh mansūkh.

Perdebatan ulama tak sekedar di wilayah nāsikh mansūkh, tentang status

hadits sebagai nasakh terhadap sebagian hukum yang telah ditetapkan al-

Qur’an, bahkan perdebatan muncul di wilayah sangat penting yaitu,

bagaimana status nāsikh mansūkh apakah bersifat qot’i ataukah dzani,

perdebatan ini mengundang respon ulama di kalangan ahli hadits dan di

kalangan ulama ushul fiqh, ada yang memposisikan nāsikh mansūkh sebagai

ijma’ sehingga secara otomatis setatusnya qot’i, ada pula pendapat yang

sangat menarik, memposisikan nāsikh mansūkh bersifat dzani oleh karena

itu konsep nāsikh mansūkh lahir atas dasar ijtihad oleh para ulama.11

Sedangkan Ibn Wazir lebih menyoroti tentang mansukh, dalam

keterangannya tak selamanya mansukh bersifat Mujma’ alaih, artinya status

mansūkh tak selamanya mendapat kesepakatan dari para ulama, sebab

masih ada mansūkh yang bersifat Mukhtalif Fih, artinya masih

diperselisihkan dan perlu dikaji ulang.12

Mukhtalif hadits bisa kita jumpai seperti dalam permasalahan hadits

nikah mut’ah, secara faktual nikah mut’ah tercatat dalam lintas sejarah umat

10
Hamadah, Abbas Mutawaliy, al-Sunnah al-Nabawiyyah Wa Makanatuha Fi al-Tasyri’, Tahqiq
Muhammad Abu Zahrah, (Kairo, Mathba’ah Dar al-Qamiyyah, tth) h 169-171
11
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah, 1997) h. 328
12
Ali Nayyif Biqa’i, al-Ijtihad Fi Ilm Hadits Wa Atsarihi Fi Fiqhil Islam, (Beirut: Dar al-Bsya’ir
al-Islamiyyah,) 1997, h. 361
8

Islam. Hadits-hadits yang membolehkannya tertuang dalam kitab-kitab Ahl

as-Sunnah seperti dalam kitab Shahih Al- Bukhari dan Muslim. Namun

disisi lain, hadis-hadis yang melarang tentang nikah muth’ah tidak sedikit

jumlahnya dibeberapa kitab hadis. Seperti Imam Muslim dalam kitabnya

memberi judul “bab nikah al muth’ah, dan penjelasan tentang

dibolehkannya, kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan lagi, kemudian

dinasakh lagi, lalu ditetapkan keharamannya hingga hari kiamat”13. Secara

positif semua itu memberi kesan dinamisasi hukum Islam, namun disisi lain,

tema itu memberi isyarat perbedaan yang sangat alot para ulama dalam

menggali dan merumuskan hukum nikah muth’ah.

Disisi lain, dalam konteks hukum perkawinan di Indonesia pelarangan

nikah mut’ah mendapat dukungan dari pihak pemerintah. Sebagai bukti,

dengan dirumuskannya definisi pernikahan, permanen (da’im) yang

termaktub dalam pasal 1 UU Perkawinan tahun 1974:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.”14

Secara eksplisit kata “kekal” dalam pasal di atas berarti pernikahan yang

bersifat permanen (da’im), lawan dari nikah temporer (mut’ah). Definisi

tersebut dimaksudkan untuk meniadakan hukum kebolehan pernikahan yang

hanya berlaku sementara (mut’ah).

13
Muslim bin al-Ḥajjâj al-Naisâburî. Ṣaẖîẖ Muslim , (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid.1, h.
640
14
Undang- Undang perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, hlm 5.
9

Bukti lain ialah dengan dikeluarkannya fatwa haram nikah mut’ah oleh

lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berikut bunyi teks penetapannya;

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
1. Nikah mut’ah hukumnya adalah HARAM.
2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
bila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan
diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.15

Berangkat dari fakta di atas, akan banyak sekali sudut pandang mengenai

tema nikah mut’ah yang harus diungkap. Oleh karena itu penulis menarik

untuk mengkaji dan meneliti hadits-hadist nikah mut’ah, lebih intens lagi

penulis ingin mengupas dengan pendekatan konsep nasakh-mansukh dalam

kajian hadits dalam bentuk karya ilmiah skripsi dengan judul: “Analisis

nāsikh mansūkh dalam hadits studi kasus nikah mut’ah”

B. Indentifikasi Masalah, Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis perlu

mengidentifikasi beberapa masalah berikut untuk kemudian diteliti lebih lanjut:

a. Bagaimana pemahaman nikah mut’ah dalam kitab-kitab hadits.

b. Bagaimana konsep nāsikh mansūkh menurut kajian hadits .

c. Bagaimana legalitas nāsikh mansūkh sebagai sumber hukum.

15
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003,) hlm 170-
173
10

d. Bagaimana implikasi konsep nāsikh mansūkh dalam memahami hadist

nikah mut’ah.

e. Mengapa hadis larangan nikah mut’ah dimuat dalam satu bab khusus dalam

kitab-kitab hadis.16

f. Bagaimana hukum nāsikh mansūkh yang terjadi lebih dari satu kali.

2. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis hanya akan mengkaji

pada poin a terkait bagaimana pandangan ulama hadis dalam memahami hadis

nikah mut’ah, serta hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan. Poin b meliputi

pengertian, pembagian nasak mansukh, kriteria nasakh-mansukh, cara

mengetahui nasakh mansukh, problem aktual dalam teori nasakh-mansukh,

dipoin c penulis mencoba melacak apakah betul teori nasakh mansukh mendapat

legalitas sebagai sumber hukum Islam, dipoin d dan f akan memaparkan

implikasi teori nasakh-mansukh dalam memahami hadits nikah mut’ah yang

terjadi lebih dari satu kali.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka masalah pokok yang akan

dijawab oleh penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut bagaimana

pemahaman nāsikh mansūkh dalam diskursus hadits dan bagaimana menentukan

nāsikh mansūkh dalam hadits nikah mut’ah.

C. Telaah Pustaka

Sepanjang penulusuran peneliti dari data daftar skripsi Jurusan Tafsir Hadits

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dari nomor 1 sampai 850, belum ada yang

16
Dalam Ṣahîh Muslim dicantumkan Bab Nikah Mut’ah. Muslim bin al-Ḥajjâj al-Naisâburî. Ṣaẖîẖ
Muslim , (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid.1, h. 640
11

membahas penelitian konsep nasakh-mansukh dalam kajian hadits studi kasus

hadits nikah mut’ah. Penulis memberikan judul ini hasil bacaan dan pengamatan

dari berbagai kitab ilmu hadits, ushul fiqh, buku, karya ilmiah, jurnal, data di

antaranya:

1. Makalah Zuhdi Zaini dengan judul “Syarah dan kritik dengan Metode Takhrij

Hadis Tentang Larangan Nikah Muth’ah dan memakan Daging Keledai Piaraan

Pada peperangan Khaibar” penulis makalah hanya menampilkan hadis yang

berkaitan tema, kemudian memaparkan takhrij hadits tentang larangan nikah

muth’ah, serta komentar para perawi, tidak sampai mengupas konsep nasakh

mansukh secara mendalam17.

2. Skripsi TELAAH HADITS NIKAH MUT’AH (Takhrij Terhadap Hadits

Kebolehan Nikah Mut’ah) yang disusun oleh Muhammad Arif Slamet Raharjo,

Penyusun skripsi memberikan ulasan perbedaan Ulama Ahl as-Sunnah dan

Syi’ah. Terlebih menyoroti kualitas hadits dari dua madzhab tersebut, Penulis

skripsi tidak menyinggung teori nasakh mansukh dalam penelitiannya.

3. Penelitian lain, diangkat oleh Masykur dengan mengambil judul Nikah Mut’ah

Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Nikah Mut’ah Menurut Syi’ah).

Dia mengungkap dalil al-Qur’an dan Hadits bertema nikah mut’ah yang menjadi

bahan perdebatan antara Mazhab Ahl as-Sunnah dan Syi’ah. Metode pengolahan

data yang digunakan adalah metode deduktif, induktif dan komparasi18.

4. Selanjutnya, Muhammad Hasyim dalam penelitiannya yang berjudul Nikah

Mut’ah Perspektif Keadilan Gender, mengungkap hubungan antara nikah mut’ah

17
. Makalah disusun oleh Zuhdi Zaini dipresentasikan diseminar kampus ICAS (Jakarta , 2012)
18
Masykur, Nikah Mut’ah dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Nikah Mut’ah Menurut
Syi’ah), Salatiga: Skripsi Diajukan Untuk Memperoleh Gelar S.Hi Pada Jurusan Syari’ah STAIN
Salatiga, 2004.
12

dengan konsep keadilan gender. Menurutnya, pelaku nikah mut’ah tidak

melakukan suatu bentuk diskriminasi. Hal ini lebih disebabkan karena salah satu

syarat terjadinya nikah mut’ah adalah terjadinya kesepakatan, yang tentunya

kedua belah pihak sama-sama tidak ingin terjadi permasalahan yang berakibat

fatal dikemudian hari. Kesimpulan yang didapat, bahwa nikah mut’ah harus

tetap didudukkan sebagai salah satu pembinaan bertahap yang biasa dilakukan

oleh Rasulullah saw dalam tugas mereformasi hukum, karena itu tidak pernah

dicontohkan secara pribadi oleh beliau.19

5. Kitab Mu’jam Ushul Fiqh Karangan Khaliq Romdhon Hasan, penyusun hanya

menjelaskan tema tema besar dalam kajian ushul fiqh, kemudian oleh penyusun

dipaparka secara sederhana sesuai abjad huruf seperti pengertian nasakh dan

mansukh.20

6. Muhammad Nashrul Haqqi dalam Jurnal Pemikiran Hukum Islam al-Ahkam,

mencoba untuk memetakan hadis hadis nikah mut’ah, perbedaan teologis yang

menjadi awal penyebab perdebatan akan hukum nikah mut’ah.21

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Mengetahui teori nāsikh mansūkh, serta alasan apa saja yang digunakan

dalam kajian hadits dan ushul fiqh. Mengetahui nikah mut’ah dalam kitab-kitab

Hadits. Analisa atas berbagai argumentasi untuk digunakan secara komparatif

memahami hadits nikah mut’ah.

19
Muhammad Hasyim, Nikah Mut’ah Perspektif Keadilan Gender, (Salatiga: Skripsi Diajukan
Untuk Memperoleh Gelar S.Hi Pada Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga , 2001.)
20
Khaliq Ramdhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (Beirut, Raudhah, 1998) h, 307.
21
Muhammad Nashrul Haqqi, “Pendekatan Epistemologi Dan Intersubjektif Atas Hadis-Hadis
Nikah Mut’ah” Volume 24 no. 2 (Oktober 2014)
13

2. Manfaat Penelitian

Terkait dengan manfaat/signifikansi yang terealisasi, penelitian ini dapat

dikelompokan kedalam dua kategori, yaitu secara teoritis dan praktis.

a. Pada tataran teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan

sumbangan pemikiran terhadap analisis metode pemahaman hadits

dikalangan muhadditsin dan fuqaha.

b. Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan

sumbangan informasi dan kontribusi pemikiran yang lebih mendalam dalam

kajian hadits, terutama pada hadis-hadis yang berkaitan dengan konteks

sekarang. Secara umum diharapkan dapat bermanfaat bagi khazanah ilmu

pengetahuan, serta terhadap konsep-konsep aktual terutama masalah-

masalah yang menyangkut pemahaman hadits dan teori nāsikh mansūkh.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Sumber Data

Jenis penelitian ini yang digunakan jenis penelitian pustaka (Library

research) sehingga sumber datanya berupa tulisan-tulisan yang berhubungan

dengan penelitian ini baik secara langsung maupun tidak. Sumber utama

penelitian ini yaitu hadits dalam kitab Ṣaẖiẖ Muslim, Ṣaẖiẖ Ibn Ḥiban, Sunan

al-Nasâ’i, Sunan Ibn Majah, Musnad Aẖmad Ibn Ḥanbal, Muwata’ Mâlik.

Sumber data sekundernya, perihal tentang teori nāsikh mansūkh, dalam hal

ini banyak merujuk dalam kitab al-Ijtihad Fi Ilmi al-Hadîts Wa Atsârîhî Fi al-

Fiqhi al-Islami, sumber data sekunder lain penelitian ini diambil dari buku al-

Nâsikh Wa al-Mansukh Li Ibni al-Mansuri al-Baghdadi, untuk menganalisis

hukum dengan pendekatan uṣūl fiqh karya dari Sheikh Wahbah al-Zuhailī.
14

2. Pendekatan Penelitian

Terkait dengan pendekatan yang dipakai, penelitian ini menggunakan

metode historis komparatif. Masing-masing digunakan secara bersamaan;

pertama menguraikan metode yang dikembangkan muẖadditsîn dalam teori

nāsikh mansūkh, kemudian membandingkan dengan metode yang

dikembangkan oleh Usuhuliyyin. Kedua, secara khusus, meberikan porsi yang

cukup pada pengetahuan tentang pemahaman hadits nikah mut’ah. Dengan

demikian, pendekatan ini akan mempermudah proses analisis dalam skripsi ini.

Peneliti juga menggunakan pendekatan metode induktif dengan

menempatkan teks, dalam hal ini Hadits, sebagai data empiris. Adapun pedoman

penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah Pedoman Akademik

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2012-201322.

3. Langkah-langkah Operasional Penelitian dan Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan

penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis dan ideal antara

pembahasan pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan

bab selanjutnya. Dalam penelitian ini membuat sistematika pembahasan sebagai

berikut:

Langkah pertama, merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan

mengenai dasar pemikiran, permasalahan yang meliputi identifikasi,

pembatasan, dan perumusan masalah, telaah pustaka, setelah itu dijelaskan

tujuan, manfaat, dan metode penelitian, supaya penelitian terarah dan sesuai

dengan permasalahan yang ingin diangkat. Langkah kedua, adalah pokok

22
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2012-2013 (Jakarta; Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012-2013).
15

pembahasan tentang pengertian nāsikh mansūkh, kriteria nasakh, klasifikasi

nasakh dan kehujahan nāsikh dan mansūkh. Langkah selanjutnya bab ketiga,

penulis akan menyajikan hadits hadits nikah mut’ah yang bersetatus mansukh

dan nasakh.

Langkah selanjutnya, tuangkan di bab IV membahas analisis teori nāsikh

mansūkh dalam diskursus hadits, sehingga diakhir bab ini akan ada kesimpulan

implikasi hukum nikah mut’ah. Dengan demikian akan ditemukan sebuah

kesimpulan yang akan dipaparkan dalam bab V yang merupakan bab penutup.
16

BAB II

TEORI NĀSIKH MANSŪKH

A. Definisi Nâsikh Mansukh

Abi Yahya Zakaria al-Anshari mengartikan nasakh secara etimologi al-Izâlah

yang berarti menghilangkan, sebagaimana ia menyatakan:

‫ﻧﺴﺨﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﺍﻟﻈﻞ ﺍﻯ ﺍﺯﻟﺘﻪ‬

“Bayangan dihilangkan oleh matahari”23

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata nāsikh secara bahasa memiliki

makna sesuatu yang menghilangkan, semantara kata mansūkh mempunyai arti

sesuatu yang dihilangkan.

Sedangkan menurut istilah nasakh adalah:

‫ﺍﻟﻨﺴﺦ ﻫﻮ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻧﺘﻬﺎﺀﺍﻣﺪ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺷﺮﻋﻲ ﻣﺘﺮﺍﺥ ﻋﻨﻪ‬

“Nasakh ialah menjelaskan tentang berakhirnya masa berlakunya suatu hukum


melalui dalil syar’i yang datang kemudian24.

‫ﺍﻟﻨﺴﺦ ﻫﻮ ﺭﻓﻊ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻜﻠﻒ ﲝﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻣﺜﻠﻪ ﻣﺘﺎﺧﺮ‬

" Nasakh ialah pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang
mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datangnya kemudian.25

‫ﺍﻟﻨﺴﺦ ﻫﻮ ﺭﻓﻊ ﺍﳊﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ ﻣﺘﺎﺧﺮ‬

“Nasakh ialah membatalkan suatu hukum dengan dalil yang datangnya


kemudian.26

23
al-Anshari, Abi Yahya Zakaria, Ghâyatul Whushûl, (Pati, Mabadi Sejahtera, 2012) h 297
24
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 934
25
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 935

16
17

Sedangkan dalam ilmu hadits para muhadditsin mengartikan nāsikh dan

mansūkh sebagaimana keterangan yang disampaikan Jalaluddin Suyuti. 27

‫ﻭﺍﳌﺨﺘﺎﺭ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺴﺦ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺣﻜﻤﺎ ﻣﻨﻪ ﻣﺘﻘﺪﻣﺎ ﲝﻜﻢ ﻣﻨﻪ ﻣﺘﺄﺧﺮ‬

“Penghapusan Syar’i terhadap suatu hukum yang datang duluan dengan hukum
yang datang belakangan “.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu nāsikh

mansūkh hadits adalah: ilmu yang membahas hadits-hadits yang tampak

berlawanan secara makna, yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi

hukum. Dan dari definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa antara yang

merusak dengan yang dirusak itu terdapat suatu masa yang di dalam masa

berlaku hukum di nāsakh, artinya jika nasakh tidak dijumpai, maka secara pasti

hukum yang telah ada tetap berlaku.

B. Kriteria Nāsikh Mansūkh

Mengenai masalah syarat-syarat yang harus ada pada unsur-unsur nāsikh, para

ahli ushul berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang pemikiran, dalam

masalah syarat apa saja yang harus ada pada unsur-unsur nāsakh tersebut,

1. Kriteria yang sudah disepakati, yaitu sebagai berikut: Nāsikh syaratnya ialah:

a) Nāsikh harus terpisah dari mansūkh.

b) Hukum yang pada nāsikh, harus lebih kuat dibanding dengan hukum yang

ada pada mansūkh.

c) Nāsikh harus berupa dalil syara’. Jika tidak, seperti kematian, maka hal ini

tidak disebut Nāsakh, sebab hukum pada kematian tidak ada28.

26
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 935
27
Jalaluddin al Suyuti, Tadrib al Rawi fi Syarhi Taqrib al Nawawi, (Riyadh: Dar al Toyyibah,
t.th), jilid 2, hlm. 642,
18

d) Keberadaan Nāsikh harus setelah mansūkh.29

e) Kualitas hukum yang ada didalam nāsikh, harus sama kuatnya dengan yang

ada pada mansūkh30. Karena itulah, nāsakh mansūkh bisa terjadi pada:

1) al-Qur’an dinasakh dengan al-Qur’an

Mayoritas ulama, memperbolehkan nāsakh al-Qur’an dengan al-Qur’an,

sebagaimana nāsakh terjadi pada ayat tentang masa ‘idah, masa

penantian istri yang ditinggal suaminya karena meninggal dunia, surat al-

Baqarah ayat 234

‫ﻦ‬‫ﻠﹶﻬ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹶﻐ‬‫ﺍ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺍ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﻋ‬‫ ﹴﺮ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﺔﹶ ﺃﹶﺷ‬‫ﻌ‬‫ﺑ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ﻔﹸﺴِﻬﹺﻦ‬‫ ﺑﹺﺄﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺼ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺍﺟ‬‫ﻭ‬‫ﻭﻥﹶ ﺃﹶﺯ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻥﹶ ﻣ‬‫ﻓﱠﻮ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻭ‬

(234) ‫ﺒﹺﲑ‬‫ﻠﹸﻮﻥﹶ ﺧ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﻑ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻔﹸﺴِﻬﹺﻦ‬‫ﻲ ﺃﹶﻧ‬‫ ﻓ‬‫ﻠﹾﻦ‬‫ﺎ ﻓﹶﻌ‬‫ﻴﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺡ‬‫ﻨ‬‫ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟ‬

234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan


meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah
habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.

Dināsakh dengan surat al-Baqarah ayat 24031

‫ﺮ‬‫ﻝﹺ ﻏﹶﻴ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺎﻋ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﺟﹺﻬﹺﻢ‬‫ﻭ‬‫ﺄﹶﺯ‬‫ﺔﹰ ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﺻ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺍﺟ‬‫ﻭ‬‫ﻭﻥﹶ ﺃﹶﺯ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻥﹶ ﻣ‬‫ﻓﱠﻮ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻭ‬

‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﻑ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻔﹸﺴِﻬﹺﻦ‬‫ﻲ ﺃﹶﻧ‬‫ ﻓ‬‫ﻠﹾﻦ‬‫ﺎ ﻓﹶﻌ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﻓ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺡ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﺍﺝﹴ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ﺇﹺﺧ‬

(240) ‫ﻴﻢ‬‫ﻜ‬‫ ﺣ‬‫ﺰﹺﻳﺰ‬‫ﻋ‬


240. dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada
dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
28
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 954
29
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 957
30
al-Anshari , Abi Yahya Zakaria, Ghâyatul Whushûl, (Pati, Mabadi Sejahtera, 2012) h 297
31
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 965
19

berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.

Menurut komentar Abu Muslim al-Asfahani didalam kitab Ushul al-Fiqh

al-Islami, bahwa ayat ini bukan dikategorikan nāsikh mansūkh melainkan

takhṣiṣ.32

2) Hadits dinasakh dengan hadits

Ulama uṣul sepakat boleh hadits dinasakh dengan hadits, mutawatir

dengan mutawatir, menurut pendapat ulama dikalangan madzhab

hanafiyyah boleh hadits mutawatir dinasakh dengan hadits masyhur,

hadits ahad dengan hadits mutawatir, sebagaimana nasakh terjadi pada

larangan ziarah kubur33.

‫ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ‬‫ ﻭ‬،‫ﻰ‬‫ﺜﹶﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮﹴ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻧ‬‫ ﺍﷲِ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻜﹾﺮﹺ ﺑ‬‫ﻮ ﺑ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

،‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺍﺭ‬‫ﺮ‬‫ ﺿ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻥ‬‫ﻨ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻞﹴ‬‫ﻴ‬‫ ﻓﹸﻀ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫ﺮﹴ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻧ‬‫ﺍﺑ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﻭ‬‫ﺄﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ﻟ‬

‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺪ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻦﹺ ﺑ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬،‫ﺛﹶﺎﺭﹴ‬‫ﻦﹺ ﺩ‬‫ﺎﺭﹺﺏﹺ ﺑ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬

‫ﺎ‬‫ﻭﻫ‬‫ﻭﺭ‬‫ﻮﺭﹺ ﻓﹶﺰ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﺒ‬‫ﺓ‬‫ﺎﺭ‬‫ ﺯﹺﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻬ‬‫ »ﻧ‬:‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻭ‬


Sedangkan hadits mutawatir dinasakh dengan hadits ahad, menurut

madzhab dahariyyah diperbolehkan namun tidak disepakati oleh

mayoritas ulama. Alasan ulama tidak sepakat, karena mengingat kualitas

hadits ahad lemah, sedangkan hadits mutawatir lebih kuat, sehingga

hadits yang kuat tidak bisa dinasakh dengan hadits yang lemah, begitu

32
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 966
33
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 967
20

juga hadits yang bersifat qat’i tidak bisa dinasakh dengan hadits yang

masih bersifat ẓanni.34

3) Hadits dinasakh dengan al-Qur’an

Dikalangan ulama uṣul berselisih terkait hadits dinasakh dengan al-

Qur’an, sebagian madzhab ẓahariyyah memperbolehkan, namun

madzhab Syafi’i melarang hal tersebut.

Madzhab ẓahariyyah memberikan contoh perihal hadits dinasakh

dengan al-Qur’an, sebagaimana keterangan dibawah ini:

             

            

            

144. sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,


Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-
orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.

Surat al-Baqarah ayat 144 menasakh hadits:

‫ﺍﻟﺘﻮﺟﻪ ﺍﱃ ﺑﻴﺖ ﺍﳌﻘﺪﺱ‬

" Hadapkanlah Kearah Baitil Muqoddas”35

34
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm , (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 461
35
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 970
21

4) Al-Qur’an dinasakh dengan hadits

Proses al-Qur’an dinasakh dengan hadits semakin membuka perdebatan

ulama, pendapat Ibnu Hazm al-Ẓahiriy hal yang mungkin dan realistis al-

Qur’an dinasakh dengan hadits36. Sebagaimana dalam kasus wasiat

kepada ahli waris, hal ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180:

‫ﺑﹺﲔ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﻗﹾﺮ‬‫ﻦﹺ ﻭ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻟ‬‫ﻠﹾﻮ‬‫ ﹸﺔ ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﺻ‬‫ﺍ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﺗ‬‫ﺕ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﻛﹸﺘ‬

(180) ‫ﲔ‬‫ﻘ‬‫ﺘ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻘ‬‫ ﺣ‬‫ﻭﻑ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬

“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan


(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”

Ayat diatas dinasakh dengan hadits berikut:

‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻦﹺ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻮﺭ‬‫ﺎﺑ‬‫ﻦﹺ ﺷ‬‫ﺐﹺ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﻌ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺎﺭﹴ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺸ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺎﻗﹶﺔ‬‫ ﻧ‬‫ﺖ‬‫ﺤ‬‫ﻲ ﻟﹶﺘ‬‫ ﺇﹺﻧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﺲﹺ ﺑ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺛﹶﻪ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺑﹺﺮﹴ‬‫ﻦﹺ ﺟ‬‫ﺑ‬

‫ ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻟﹶﺎ‬،‫ﻘﱠﻪ‬‫ ﺣ‬‫ﻖ‬‫ﻱ ﺣ‬‫ﻄﹶﻰ ﻛﹸﻞﱠ ﺫ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ " ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻓﹶﺴ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﻟﹸﻌ‬‫ﻠﹶﻲ‬‫ﺴِﻴﻞﹸ ﻋ‬‫ ﻳ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬

" ‫ﺍﺭﹺﺙ‬‫ﻮ‬‫ﺔﹶ ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﺻ‬‫ﻭ‬

" Sesungguhnya Allah memberikan hak setiap orang yang berhak, ingat
tidak ada wasiat untuk ahli waris”37
Namun menurut Imam Syafi’i tidak boleh al-Qur’an dinasakh dengan

hadits, meskipun status hadits tersebut mutawatir, atau masyhur, analisis

beliau berdasarkan ayat al-Qur’an.

36
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm , (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 477
37
Majah, Ibnu, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 4 h. 134
22

                  

 

106. ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Secara esensial bahwa nasakh sepenuhnya ada di al-Qur’an dengan

mempertimbangkan otoritas dan validitas dalil yang terkandung dalam al-

Qur’an sehingga tidak mungkin al-Qur’an dinasakh dengan hadits, selain

itu bahwa hadits hanya berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur’an bukan

menyalin al-Qur’an. Namun menurut Wahbah Zuhaili perbedaan antara

Ibnu Hazm al-Ẓhahiriy dengan Imam Syafi’i hanya ditataran istilah38.

5) Nasakh Ijma’

Mayoritas ulama berpendapat bahwa ijma’ tidak mengalami proses

nāsikh mansūkh, karena legalitas ijma’ terjadi setelah wafat nabi

Muhammad Saw, sedangkan legalitas nasakh terjadi sebelum wafat nabi

Muhammad Saw, secara analisis ijma’ sebagai konsensus paripurna

sehingga secara faktual tidak ada peluang untuk perbedaan dan

perselisihan. Produk hukum yang dihasilkan berdasarkan ijma’ menjadi

dalil qat’i. Oleh sebab itu ketika terjadi dua ijma’ maka dipastikan

salahsatunya salah39.

Wahbah Zuhaili sepakat dengan pendapat mayoritas ulama, bahawa

ijma’ tidak mengalami proses nasakh mansūkh, sebab ijma’ bertumpu pada

maṣlahat, oleh karena itu ketika ijma’ tidak sesuai dengan nilai-nilai

38
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 972
39
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 974
23

maṣlahat maka proses nasakh mansukh rentan terjadi. Lain halnya

madzhab al-Zahiriyyah, madzhab Hanafi, madzhab Hanbali, madzhab

Mu’tazilah dan Isa Bin Abban, memperbolehkan nasakh dengan ijma’, ada

beberapa alasan diantaranya, yang pertama hak seorang pelaksana hukum

sepenuhnya untuk memilih diantara dua pendapat, dan yang kedua dalil

yang bersifat kusus bisa menggunakan ijma’, oleh karena itu boleh pula

nasakh menggunakan ijma’,40 sebagaimana contoh kasus dibawah ini.

‫ﻲ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬- ‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬- ‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ »ﻋ‬- ‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ ﺭ‬- ‫ﺔﹶ‬‫ﺎﻭﹺﻳ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬

‫ﺜﹶﺔﹶ‬‫ ﺍﻟﺜﱠﺎﻟ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ‬:‫ﺮﹺ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺭﹺﺏﹺ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﺷ‬

‫ﺔﹸ‬‫ﻌ‬‫ﺑ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬‫ ﻭ‬،‫ﺬﹶﺍ ﻟﹶﻔﹾﻈﹸﻪ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻪ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫« ﺃﹶﺧ‬‫ﻘﹶﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻮﺍ ﻋ‬‫ﺮﹺﺑ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﺎﺿ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ﻓﹶﺎﺟ‬

.‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺮﹺﳛ‬‫ﺩ ﺻ‬‫ﺍﻭ‬‫ﻮ ﺩ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺧ‬‫ ﻭ‬،‫ﻮﺥ‬‫ﺴ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹶﻧ‬‫ﻝﱡ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻱ‬‫ﺬ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﺫﹶﻛﹶﺮ‬‫ﻭ‬

“Dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda perihal orang yang


meminum khamar, ketika seseorang meminum khamar maka ia harus
dijilid, kemudian ketika ia meminum kembali maka ia harus dijilid,
kemudian ketika ia meminum kembali yang ketiga maka ia harus dijilid,
kemudian ketika ia meminum kembali yang keempat maka pukulah
lehernya”41

Perbandingan dengan redaksi hadits dibawah ini:

‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ »ﻣ‬- ‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬- ‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬:‫ﺐﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻳ‬‫ﻦﹺ ﺫﹸﺅ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ ﻗﹶﺒﹺﻴﺼ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬

‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺷ‬‫ﻞﹴ ﻗﹶﺪ‬‫ﺟ‬‫ ﺑﹺﺮ‬‫ﻲ‬‫ ﻓﹶﺄﹸﺗ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬.‫ﻠﹸﻮﻩ‬‫ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘ‬‫ﺔ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ﻲ ﺍﻟﺮ‬‫ ﻓ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺇﺫﹶﺍ ﺷ‬‫ ﺛﹸﻢ‬:‫ ﺇﻟﹶﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬- ‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ﻓﹶﺎﺟ‬

40
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 298
41
Muhammad Salim, Athiyah, Subulu al-Salam , (Beirut: Dar al-Ilm, 1996) hadis no 1163 jilid 2
h. 445
24

‫ﻩ‬‫ﻠﹶﺪ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﺠ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻲ‬‫ ﺃﹸﺗ‬‫ ﺛﹸﻢ‬‫ﻩ‬‫ﻠﹶﺪ‬‫ ﻓﹶﺠ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺷ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻲ‬‫ ﺃﹸﺗ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻩ‬‫ﻠﹶﺪ‬‫ ﻓﹶﺠ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ ﺷ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ ﺑﹺﻪ‬‫ﻲ‬‫ ﺃﹸﺗ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻩ‬‫ﻠﹶﺪ‬‫ﻓﹶﺠ‬

«‫ﺔﹰ‬‫ﺼ‬‫ﺧ‬‫ ﺭ‬‫ﺖ‬‫ﺎﺱﹺ ﻓﹶﻜﹶﺎﻧ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻞﹸ ﻋ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﺘ‬‫ﻊ‬‫ﻓ‬‫ﻓﹶﺮ‬


Dari kedua hadits diatas memberikan arti peminum khamar yang

melebihi batas tiga kali maka harus dibunuh, namun hadits lain peminum

khamar yang melebihi batas tiga kali tidak dibunuh. Isa Bin Abban dan

ulama-ulama lain menyikapi dua hadits tersebut dinilai ada proses nāsikh

mansūkh yang secara jelas status sebelumnya sebagai ijma’ ulama.

Namun menurut Imam Syafi’i, permasalahan tersebut tidak berstatus

ijma’, berikut keterangannya.

‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺞ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺣ‬‫ﻠﹾﻢﹺ ﻭ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﻠﹶﺎﻑ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻟﹶﺎ ﺍﺧ‬‫ﻤ‬‫ﻞﹺ( ﻣ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﺘ‬‫ﺦ‬‫ﺴ‬‫ ﻧ‬‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ﺬﹶﺍ )ﻳ‬‫ ﻫ‬:‫ﻲ‬‫ﻌ‬‫ﺎﻓ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﺸ‬‫ﻭ‬

‫ﺎﻉﹺ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺈﹺﺟ‬‫ﻡ‬‫ﺪ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻋ‬‫ﺍﺩ‬‫ﻭ‬


“ Imam Syafi’i berkata: yang dimaksud ialah menghapus hukum dibunuh,
dan hal ini tidak ada perbedaan diantara para ilmuan, dan tidak termasuk
kategori ijma’42

6) Nasakh Qiyas

Respon ulama cukup logis terkait proses nasakh dengan qiyas, dalam hal

ini ulama madzhab al-Ẓhahariyyah dan mayoritas ulama madzhab Syafi’i

memastikan tidak ada proses nāsikh mansūkh dalam kaitan qiyas, karena

memang legalitas hukum formal bisa dicapai ketika nabi Muhammad Saw,

setelah wafat. Disamping itu, qiyas sebagai dalil paripurna independen

mujtahid, yang tak mungkin ada mujtahid lain untuk menentukan. Oleh

karena itu ketika disaat nabi Muhammad Saw, masih hidup, maka boleh

42
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 298
25

dan dimungkinkan qiyas mengalami perubahan wujud menjadi nasakh atau

mansukh.43

Sedangkan Syarat Mansukh ialah:

a) mansūkh harus tidak dibatasi oleh suatu waktu, misalnya:

Hukum diperbolehkan makan dan minum dimalam hari bulan puasa.

Hukum diperbolehkan ini dibatasi sampai terbitnya fajar. Jika fajar sudah

terbit, maka hukum boleh hilang dengan sendirinya, sebagaimana dalam

surat al-Baqarah :187

‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺒ‬‫ ﻟ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺒ‬‫ ﻟ‬‫ﻦ‬‫ ﻫ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺎﺋ‬‫ﻓﹶﺚﹸ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻧﹺﺴ‬‫ﺎﻡﹺ ﺍﻟﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﺍﻟﺼ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﻞﱠ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺃﹸﺣ‬

‫ﺎ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ ﻓﹶﺎﻟﹾﺂﻥﹶ ﺑ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻔﹶﺎ ﻋ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺏ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﻮﻥﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺎﻧ‬‫ﺘ‬‫ﺨ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﻛﹸﻨ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺃﹶﻧ‬

‫ﺩ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﺳ‬‫ﻂ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺾ‬‫ﻴ‬‫ﻂﹸ ﺍﻟﹾﺄﹶﺑ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ﺣ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺍﺷ‬‫ﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺐ‬‫ﻛﹶﺘ‬

‫ﺎﺟﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻔﹸﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺎﻛ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻞﹺ ﻭ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺗ‬‫ﺮﹺ ﺛﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬

(187) ‫ﻘﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻠﱠﻬ‬‫ﺎﺱﹺ ﻟﹶﻌ‬‫ﻠﻨ‬‫ ﻟ‬‫ﻪ‬‫ﺎﺗ‬‫ ﺁﻳ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ﺎ ﻛﹶﺬﹶﻟ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺑ‬‫ﻘﹾﺮ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻭﺩ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻠﹾﻚ‬‫ﺗ‬
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa.

43
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 1 h. 974
26

Hal ini tidak bisa disebut nasakh, sebab hukum pertama dengan

sendirinya hilang karena waktu yang disebutkan sudah habis.44

b) Mansukh harus berupa hukum syar’i, sebab yang bisa menghapus

hanyalah hukum syara’.45

2. Kriteria yang belum disepakati ialah sebagai berikut:

a) Nasakh mansukh, harus tidak satu jenis.

b) Terciptanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan.

c) Hukum pengganti harus lebih kuat dari pada hukum yang dibatalkan. 46

3. Naṣ-Naṣ yang tidak menerima nasakh.

Naṣ-naṣ yang tidak boleh dinasakh dapat dikelompokan menjadi tiga macam,

yaitu47:

a. Naṣ yang didalamnya berisi hukum-hukum pokok, seperti:

1. Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepercayaan atau peribadatan.

2. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah fadlail atau keutamaan,

seperti keadilan, kejujuran dan sebagainya.

3. Hukum-hukum yang berhubungan dengan larangan perbuatan-perbuatan

hina, seperti membunuh, mencuri, dan sebagainya.

4. Naṣ yang didalamnya berisi hukum-hukum yang sifatnya abadi, seperti

dalam surat al-Nur :4 yaitu:

‫ﻟﹶﺎ‬‫ﺓﹰ ﻭ‬‫ﻠﹾﺪ‬‫ ﺟ‬‫ﺎﻧﹺﲔ‬‫ ﺛﹶﻤ‬‫ﻢ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ﺍﺀَ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺑ‬‫ﻮﺍ ﺑﹺﺄﹶﺭ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬‫ ﺛﹸﻢ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﺼ‬‫ﺤ‬‫ﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻭ‬

(4) ‫ﻘﹸﻮﻥﹶ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺎﺳ‬‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ﻚ‬‫ﺃﹸﻭﻟﹶﺌ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺓﹰ ﺃﹶﺑ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻢ‬‫ﻠﹸﻮﺍ ﻟﹶﻬ‬‫ﻘﹾﺒ‬‫ﺗ‬

44
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 938
45
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 955
46
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 957
47
Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid II h. 954
27

dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat


zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan
mereka Itulah orang-orang yang fasik.

5. Naṣ yang didalamnya berisi pemberitaan suatu kejadian, baik yang sudah

terjadi atau belum terjadi, seperti cerita tentang Nabi Musa dan raja

Fir’aun atau datangnya hari kiamat dan siksa-siksa akhirat dan

sebagainya.

C. Klasifikasi Nasakh

Para ahli ushul yang mengakui keberadaan nasakh, membagi beberapa bagian,

yaitu:

1) Nasakh bacaannya, tetapi hukumnya tetap berlaku, seperti hukum ranjam bagi

laki-laki dan wanita tua yang telah menikah dan hal ini dinasakh dengan ayat

lain

“Laki-laki tua dan perempuan tua (sudah pernah kawin), apabila mereka
berzina, rajamlah keduanya sebagai hukuman dari Tuhan”.48
2) Nasakh hukumnya, tetapi bacaannya masih ada, seperti nasakh terhadap

kewajiban sedekah kepada orang miskin.49

3) Nasakh hukum dan bacaannya sekaligus, seperti hukum haramnya menikah

saudara menyusui dengan batasan sepuluh kali menjadi hanya lima kali,

sebagaimana dalam hadits sebagai berikut:

‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻜﹾﺮﹴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ ﺍﷲِ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻠﹶﻰ ﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﺃﹾﺕ‬‫ ﻗﹶﺮ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻰ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻠﹸﻮﻣ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻋ‬:‫ﺁﻥ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬‫ﻦ‬‫ﺰﹺﻝﹶ ﻣ‬‫ﺎ ﺃﹸﻧ‬‫ﻴﻤ‬‫ " ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻓ‬:‫ﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‬‫ﻬ‬‫ ﺃﹶﻧ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﺸ‬‫ﺎﺋ‬‫ﻋ‬

48
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut, Dar al Ma’rifah, tt), Jilid II h
37-38.
49
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut, Dar al Ma’rifah, tt), Jilid II h
39.
28

‫ﻦ‬‫ﺃﹸ ﻣ‬‫ﻘﹾﺮ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻴﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﻦ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬،‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻓﱢﻲ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﺘ‬،‫ﺎﺕ‬‫ﻠﹸﻮﻣ‬‫ﻌ‬‫ﺲﹴ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﺨ‬،‫ﻦ‬‫ﺴِﺨ‬‫ﻧ‬

" ‫ﺁﻥ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬
4) Penambahan hukum dari hukum yang pertama, dalam masalah ini yang

menjadi persoalan adalah: Apakah tambahan itu dianggap sebagai nasakh

atau hanya sebagai penjelas terhadap naṣ.

Dalam hal ini para ahli berbeda pandangan, yaitu:

a) Kelompok Hanafiyyah berpendapat bahawa tambahan itu termasuk

proses nasakh, maksudnya jika naṣ tersebut bersifat qaṭ’i, maka tidak

dapat dinasakh dengan hadits ahad. Namun jika tambahan tersebut

terdapat pada hadits ahad, maka berakibat tambahan tersebut

ditinggalkan dan tidak boleh dipakai50.

b) Mayoritas ulama, dari kelompok Syafi’i, Maliki, dan Hanbali

berpendapat bahawa tambahan itu merupakan penjelas dari naṣ, bukan

nasakh, sekalipun mereka tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) Jika hukum tambahan tidak termasuk nasakh, karena keduanya

terpisah, seperti penambahan kewajiban ṣalāt pada ayat yang

menerangkan kewajiban zakat, sehingga perintah ṣalāt tidak

berpengaruh pada zakat.51

2) Jika hukum yang di nasakh itu berkaitan dengan hukum yang

ditambah, maka tambahan itu namanya nasakh, seperti penambahan

50
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 299
51
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 300
29

rakaat pada ṣalāt subuh yang hanya dua rakaat. Hal ini berarti

mengubah esensi dari ṣalāt itu sendiri.52

3) Jika penambahan itu mempengaruhi pada bilangan, tetapi tidak

mempengaruhi esensi hukum semula, seperti: Hukum dera bagi

orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah 80 dera dan

ditambah dengan 20 pukulan, dalam hal ini terjadi perbedaan

pendapat, yaitu: Jumhur ulama berpendapat tidak dinamakan nasakh,

karena esensinya masih tetap. Kelompok Hanafiyah berpendapat

termasuk nasakh, karena hukum asalnya sudah berubah.53

1. Perbedaan Nasakh dan Takhṣiṣ

Pada dasarnya nasakh dan takhṣiṣ memiliki persamaan dan perbedaan, untuk

persamaan nasakh dan mansukh sebagaimana penjelasan berikut:

a) Keduanya berfungsi untuk membatasi kandungan hukum.

b) Keduanya berfungsi untuk mengkhususkan sebagian kandungan

hukum dari satu lafadz, hanya saja takhṣiṣ lebih spesifik, dalam takhṣiṣ

bermuara pada pembatasan berlakunya hukum yang sifatnya umum, kalau

dalam nasakh menekankan pada pembatasan hukum pada masa tertentu54.

Sedangkan perbedaan antara nasakh dan takhṣiṣ berikutnya ialah:

a) Nasakh mutlak hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang datangnya

kemudian, sedangkan takhṣiṣ bisa diberlakukan pada lafadz yang

datangnya belakangan dan bisa pula pada lafadz yang datangnya

beriringan.

52
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 479
53
Hazm, Ibnu, al-Ihkam Ibn Hazm , (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) jilid 4 h. 481
54
Shadiq, Ahmad, al-Naskhu Fi Syari’at al-Islamiyai, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) jilid 1 h. 309
30

b) Nasakh hanya bisa diberlakukan dengan menggunakan dalil naqli saja,

sedangkan takhṣiṣ bisa diberlakukan dengan menggunakan dalil naqli

dan aqli.

c) Nasakh berlaku pada kasus perintah (amr) yang didalamnya hanya

mengandung satu perintah saja, sedangkan takhṣiṣ tidak berlaku pada

kasus tersebut.

d) Lafadz yang sudah mengalami proses nasakh tidak berlaku lagi,

sedangkan takhsis lafadz yang mengalami proses takhṣiṣ, tetap berlaku

sesuai dengan keumumannya sekalipun sudah ditakhṣiṣ.

e) Nasakh tidak boleh mentakhṣiṣ suatu lafadz yang bersifat qaṭ’i kecuali

dengan lafadz yang qaṭ’i, sedangkan takhṣiṣ boleh mentakhṣiṣ lafadz

yang qaṭ’i dengan menggunakan dalil qiyas, hadits ahad dan dalil-dalil

syara’ yang lain, sekalipun pandangan ini masih diperselisihkan.

D. Kehujahan Nāsikh dan Mansūkh

Perihal kehujahan nāsikh mansūkh, banyak perdebatan ulama berikut ulama

yang mengakui adanya nasakh adalah: Ibn Khuzaymah, Ibn Salamah, Ibn Hilal,

Musthafa Zayd, Abu Ja’far, Ibn Zayd al-Qa’qa’, Abu Ja’far al-Nuhas, al-Zarkasyi,

Ibn Hazm,55 al-Syuyuti56. Sedangkan ulama yang menolak ialah: Muhammad Abu

Zahra, Muhammad al-Ghazali, Muhammad Husain al-Dzahabi, dan yang paling

terkenal menolak nasakh adalah Abu Muslim al-Asfahani.57

55
Ahmad, Baidowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasakh Mansukh, (Bandung:
Nuansa, 2005), h. 82
56
Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Syuyuti, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an (al-
Madaniyah al-Munawarah; Markaz al-Dirasat al-Qur’aniyyah, 1426 H) juz 4, h. 1437
57
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat, Lentera Hati, 2013), h. 286.
31

E. Nāsikh dan Mansūkh Lebih Dari Satu Kali

Pada umumnya nāsikh dan mansūkh dalam berbagai kasus hanya terjadi satu

kali, namun hal ini berbeda pada kasus nikah mut’ah, sebagaimana keterangan yang

disampaikan oleh Abdullah bin Yusuf; ketika nasakh berulang-ulang, atau terjadi

lebih dari satu kali maka tidak ada pengaruh hukum secara signifikan dan nasakh

tetap sebagaimana fungsinya.58

F. Kritik Nasakh Ulama Kontemporer

Kritik terhadap teori naskh dalam kajian hadits sebagai produk pemikiran

manusia, pada kurun waktu tertentu teori nasakh sering digunakan dan dianggap

penting dalam memahami hadits-hadits yang tampak kontradiktif. Ini dianggap

memiliki kekuatan di samping kelemahan atau keterbatasan. Kekuatan teori ini

terutama terletak pada kemampuannya untuk memahami petunjuk atau kandungan

hadits yang muncul lebih dahulu dan yang lebih akhir. Dengan bantuan ilmu

tawarikh al-mutun, teori ini dapat membantu menjelaskan aspek historis kapan dan

di mana suatu petunjuk hadits muncul.59

Sedangkan di antara kelemahan atau keterbatasan teori naskh antara lain bahwa

tidak semua hadis yang tampak saling bertentangan itu dapat dipahami dengan teori

ini. Hal ini dapat dipahami karena teori naskh terlalu bergantung pada harus adanya

tanda-tanda yang terdapat dalam hadis yang diteliti. Teori ini menimbulkan

impliksi teoritis dengan menghasilkan hadits-hadits yang dianggap sebagai nāsikh,

dan hadis-hadis yang dianggap mansūkh.60

58
Abdullah bin Yusuf. Taisir Ilmu Ushul al-fiq, Bab Thoriq Ma’arifat Nasakh (Bairut: Dār al-
Kutub, 1997), jilid 1 h. 369
59
‘Izz al-Din Husein al-Syaikh, Mukhtasar al-NaSikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 6.
60
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbar Fi Mansukh al-Akhbar,(Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988), h. 6.
32

Oleh karena itu, hadits dianggap nāsikh dapat diterima sedangkan hadits yang

dianggap mansūkh diabaikan. Adanya pengabaian terhadap sebagian hadits berarti

sebagian nilai dan petunjuk yang terkandungnya pun tidak dipakai. Padahal, hadits-

hadits yang dinilai mansūkh itu mungkin saja kualitas sanad dan matannya sahih.

Kenyataan ini merupakan perbedaan yang mencolok dengan teori al-jam’u yang

menghendaki agar semua hadits yang terkesan kontradiktif dapat dipahami dengan

cara menggabungkan atau mengkompromikannya, tanpa ada hadits yang

diabaikan.61

Pengabaian hadits-hadits yang dianggap mansūkh terjadi karena teori naskh

terlalu didominasi oleh tolok ukur waktu atau sejarah kemunculan hadis. Dalam

teori ini, logika kesejarahan lebih dilihat secara formal bahwa yang terbaru adalah

yang terbaik dan harus dipakai, sedangkan yang lama tidak layak lagi dipakai.

Memang ada yang menerapkan teori naskh dengan memperhatikan aspek kualitas

hadits-hadits yang bersangkutan. Akan tetapi penerapan naskh dengan cara yang

disebutkan belakangan ini akan tumpang tindih dengan teori tarjih dan membuka

lebar peluang terjadinya klaim nāsikh mansūkh berdasarkan formalitas

perbandingan status hadits dan kurang memperhatikan substansinya.62

Pemaknaan terhadap rasionalitas kemunculan suatu hadits atas kebijakan

Nabi tidak tersentuh oleh teori ini. Hal ini dikarenakan teori naskh lebih

menitikberatkan pada sisi tekstualnya dan kurang melakukan interpretasi secara

kontekstual sehingga substansi yang terkandung nilai-nilai maslahah dalam hadits

seringkali tak terjangkau. teori ini telah membuka lebar peluang untuk secara

61
Husein al-Syaikh, ‘Izz al-Din. Mukhtasar al-Nasikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw.
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1993), h. 28.
62
. Yusuf al-Qardawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Terj. Muhammad al-Baqir
(Bandung: Karisma, 1993), h. 129.
33

mudah mengklaim hadits-hadits sebagai nāsikh dan mansūkh. Hadits-hadits yang

dianggap sebagai nāsikh dan mansūkh itu sebagian besar tidak didasarkan atas

bukti-bukti atau argumentasi yang kuat sehingga masih dimungkinkan terjadi

nasakh kembali. 63

63
Jassir Auddah. Naqd Nadzariyyah al-Naskh. (Beirut: Asyab’ah al-Arabiyyah. 2013), h. 70
34

BAB III

HADITS-HADITS NIKAH MUT’AH

Secara faktual muth’ah atau nikah muth’ah telah eksis dalam lintas sejarah

umat Islam. Hadits-hadits yang membolehkannya termaktub dalam kitab-kitab

shahih termasuk shahih Bukhari dan Muslim. Namun disisi lain, hadits-hadits

yang melarang tentang nikah muth’ah tidak sedikit jumlahnya dibeberapa kitab

hadits.

Ada sebanyak enam kali penghapusan atau penasakhan muth’ah ini.

pertama, saat terjadinya peperangan khaibar. Diantara hadits-hadits yang

menjelaskan tentang larangan nikah muth’ah pada peperangan khaibar adalah

sebagai berikut:

‫ﺑﻦ‬ ‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﻧﹺﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻴﻞﹶ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻦﹺ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻮﻩ‬‫ﺃﹶﺧ‬‫ ﻭ‬،‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬

‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬:‫ﺎﺱﹴ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬
Telah menceritakan kepada kami Malik bin Sufyan, telah menceritakan
kepada kami Ibn Uyainah, bahwa dia mendengar al Zuhri berkata, al Hasan bin
Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad telah
mengkhabarkan kepadaku dari ayahnya, bahwa Ali ra berkata kepada Ibn
Abbas, sesungguhnya nabi melarang muth’ah dan memakan daging keledai
piaraan pada masa khaibar.64
Kedua, penasakhan muth’ah pada umrah qadha. Abdurrazak dalam

Mushannafnya dari Ma’mar dan al Hasan berkata, tidak pernah muth’ah

dihalalkan kecuali tiga kali yaitu pada umrah qada’, tidak pernah dihalalkan
64
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 12. No hadits 5115

34
35

sebelumnya dan tidak pula sesudahnya.

Ketiga, pada saat penaklukan kota Mekah. Diantara hadis yang

menunjukkan diharamkannya nikah pada am al fath sebagai berikut:

‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻴ‬‫ﻮ ﺃﹸﻣ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬‫ﺡ ﻭ‬.‫ﺎﺭﹺﺏﹴ‬‫ﻀ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻨﹺﻲ ﺍﺑ‬‫ﻌ‬‫ﺍﻥﹸ ﻳ‬‫ﻴﺪ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻗﱢﻲ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻔﹶﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

" ‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻮﺏ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻳ‬‫ ﺯ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺍﺭﹺﻳﺮﹺﻱ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬

‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻞﹲ‬‫ﺟ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫؟ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺛﹶﻚ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬:‫ﻗﹸﻠﹾﺖ‬." ‫ﺢﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺎﺀِ ﻋ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻧ‬

‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺑﹺﻴﻊ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﻋ‬‫ﺯ‬‫ ﻭ‬:‫ﺎﺩ‬‫ﻤ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ‬.‫ﺰﹺﻳﺰﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻋ‬
Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad al Raqqi, telah
menceritakan kepada kami Sidan yakni ibnu Mudharib dan telah menceritakan
kepada kami Abu Umayyah, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah al
Qawariri, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayub
berkata, aku mendengar al Zuhri berkata, bahwa Rasulallah saw melarang
muth’ah al nisa’ pada am al fath. Aku bertanya, siapa yang telah menceritakan
kepadamu? Dia menjawab, telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki dari
ayahnya, dan kami disisi Umar bin Abdul Aziz, Hammad berkata, Ma’mar
mengira bahwa dia adalah al Rabi’ bin Sabrah.65

Keempat, penasakhan muth’ah terjadi pada ‘am al-auṭas. Sebagian

mengatakan yang dimaksud dengan ‘am al-auṭas yakni am al fath, namun

menurut pendapat yang lain berbeda. Am al fath terjadi dibulan ramadhan sedang

‘am al-auṭas terjadi di bulan syawal.

‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺲ‬‫ﻮﻧ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻰ ﺣ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺩ‬‫ﺍﻭ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻰ‬‫ ﻓ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭ‬‫ﺒﹺﻰ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹶ ﻋ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻦﹺ ﺳ‬‫ﺎﺱﹺ ﺑ‬‫ ﺇﹺﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺲﹴ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻮ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻰ ﺃﹶﺑ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﺯﹺﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺑ‬

.‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﺎﻡﹴ ﺛﹸﻢ‬‫ﻃﹶﺎﺱﹴ ﺛﹶﻼﹶﺛﹶﺔﹶ ﺃﹶﻳ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺎﺀِ ﻋ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻣ‬

65
Ab Awanah, mustakhrij Abi Awanah, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) h. 45 no hadis. 324
36

Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Abi Daud, telah


menceritakan kepada kami Muhammad ibn Yahya, telah menceritakan kepada
kami Yunus ibn Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdul wahid ibn
Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Umais dari Iyas ibn Salamah dari
ayahnya bahwa nabi saw memberikan dispensasi untuk muth’ah nisa pada am
authas tiga hari, kemudian beliau melarangnya.66

Kelima, penasakhan terjadi pada peperangan Tabuk. Berdasarkan hadist

yang diriwayatkan oleh al Hazami dari jalur Abbad bin Katsir dari Ibnu Uqail

dari Jabir. Keenam, penasakhan muth’ah saat haji wada’. Berdasarkan hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya.

‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹸﻨ‬‫ﺮﹺﻯ‬‫ﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ﺔﹶ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹸﻣ‬‫ﻴﻞﹶ ﺑ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﺭﹺﺙ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺩ‬‫ﺪ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺃﹶﻧ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺓﹶ ﺃﹶﺷ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺑﹺﻴﻊ‬‫ ﺭ‬‫ﻘﹶﺎﻝﹸ ﻟﹶﻪ‬‫ﻞﹲ ﻳ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬‫ﺎﺀِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﺴ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺬﹶﺍﻛﹶﺮ‬‫ﺰﹺﻳﺰﹺ ﻓﹶﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺑ‬

.‫ﺍﻉﹺ‬‫ﺩ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺔ‬‫ﺠ‬‫ﻰ ﺣ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺙﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, telah


menceritakan keapda kami Abdul waris dari Ismail bin Umayyah dari al Zuhri
berkata, kami bersama disis Umar bin Abdul Aziz, kami sedang mendiskusikan
tentang muth’ah al nisa’, lalu berkata seorang laki-laki yaitu Rabi bin Sabrah,
aku bersaksi atas ayahku bahwa dia telah menceritakan bahwa Rasulallah saw
telah melarang muth’ah nisa pada saat haji wada’.67

A. Hadits-Hadits Mansūkh

‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺭﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻦﹺ ﺩ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹸ ﻋ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﺣ‬‫ﻌ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺭﹴ ﺣ‬‫ﺸ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬

‫ﻮﻝﹺ‬‫ﺳ‬‫ﻱ ﺭ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﻉﹺ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺧ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺙﹸ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬

‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻌ‬‫ﻮﺍ ﻳ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﺫ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﺴ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻣ‬

66
Daruquthi, Sunan Daruquthni, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid, 8, hlm. 453 hadis yang
senada juga diriwayatkan dalam al Sunan al Kubra , jilid, 7, hlm. 204.
67
Abu Daud Slaiman al asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003)
jilid, 1, h.476
37

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Basyar ibn Dinar,
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan
kepada kami Syu’bah dari Amr ibn Dinar berkata, aku mendengar al Hasan bin
Muhammad menceritakan dari Jabir ibn Abdullah dan Salamah ibn Akwa’,
keduanya berkata, telah keluar kepada kami penyeru Rasulallah saw seraya
berkata, sesungguhnya Rasulallah saw telah mengizinkan untuk melakukan
muth”ah nisa.68

‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺑﹺﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﻡ‬‫ﻄﹶﺎﺀٌ ﻗﹶﺪ‬‫ﺞﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺍﻕﹺ ﺃﹶﺧ‬‫ﺯ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺍﻧﹺﻲ‬‫ﻠﹾﻮ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬

‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﻢ‬‫ﻌ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻧ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺫﹶﻛﹶﺮ‬‫ﺎﺀَ ﺛﹸﻢ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻡ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻪ‬‫ ﻓﹶﺴ‬‫ﻪ‬‫ﺰﹺﻟ‬‫ﻨ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺍ ﻓﹶﺠﹺﺌﹾﻨ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬

‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻋ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﻭ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬


Dan telah menceritakan kepada kami Al Hasan Al Hulwani telah
menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu
Juraij ia berkata, Atha` berkata, Jabir bin Abdullah kembali dari menunaikan
Umrah, lalu kami pun menemuinya di rumahnya, dan orang-orang pun bertanya
kepadanya tentang berbagai persoalan. Kemudian mereka pun menyebutkan
tentang nikah mut'ah, maka Jabir menjawab, ya, kami pernah melakukan nikah
mut'ah pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar. 69
‫ﻋﻦ‬ ،‫ﻢﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻨﹺﻲ ﺍﺑ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﺡ‬‫ﻭ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻊﹴ‬‫ﻳ‬‫ﺭ‬‫ ﺯ‬‫ﻦ‬‫ﻨﹺﻲ ﺍﺑ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻲ‬‫ﺸ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻄﹶﺎﻡ‬‫ ﺑﹺﺴ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹸ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺃﹸﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬

‫ﻮﻝﹶ‬‫ﺳ‬‫ »ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬،ِ‫ ﺍﷲ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬،‫ﻉﹺ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﻦﹺ ﺑ‬‫ﺴ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺭﹴ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻦﹺ ﺩ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ﻋ‬

«‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻥﹶ ﻟﹶﻨ‬‫ﺎ ﻓﹶﺄﹶﺫ‬‫ﺎﻧ‬‫ ﺃﹶﺗ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ﺍﷲِ ﺻ‬


“Sesungguhnya Rasulullah Saw, datang menemui kami dan mengizinkan
kami untuk bermut’ah.”70

‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻴﻞ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹴ‬‫ ﺑﹺﺸ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻭ‬،‫ﻴﻊ‬‫ﻛ‬‫ﻭ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﹶﺑﹺﻲ‬،‫ﺍﻧﹺﻲ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺮﹴ ﺍﻟﹾﻬ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻧ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣ‬

‫ ﺃﹶﻟﹶﺎ‬:‫ﺎ‬‫ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ‬،ٌ‫ﺎﺀ‬‫ﺎ ﻧﹺﺴ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺲ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻊ‬‫ﻭ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﻐ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ " ﻛﹸﻨ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺲﹴ‬‫ﻗﹶﻴ‬

68
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640
69
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640 no hadits 2496
70
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim, kitab
Al-Nikah Mut’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 5, h. 654 no hadits 3302
38

:‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶ ﻋ‬‫ ﻗﹶﺮ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻞﹴ‬‫ﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺢ‬‫ﻜ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ ﺭ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ﻲ ﻓﹶﻨ‬‫ﺼ‬‫ﺨ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﻧ‬

،" ‫ﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ ﻻ ﻳ‬‫ﻭﺍ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﻻ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ﻮﺍ ﻃﹶﻴ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻮﺍ ﻻ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺄﹶﻳ‬‫ﻳ‬
Kami berperang bersama Rasulullah SAW dan kami tidak mempunyai istri,
maka kami berkata: bolehkah kami mengebiri (diri kami), maka beliau melarang
yang demikian (mengebiri) kemudian memberi keringanan (rukhsoh) kepada kami
untuk menikahi wanita dengan (mahar) baju sampai batas waktu tertentu, lalu
Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah), “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang dihalalkan Allah atas
kamu”.71

Berikutnya hadist yang masih sama statusnya sebagai mansūkh.

:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ ﺭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺲﹴ‬‫ ﻗﹶﻴ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻴﻞﹶ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻥ‬‫ﻮ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻭ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻚ‬‫ ﹶﺫﻟ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ ﻓﹶﺮ‬،‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﻨ‬،‫ﻲ‬‫ﺼ‬‫ﺘ‬‫ﺨ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻧ‬:‫ﺎ‬‫ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ‬،ٌ‫ﺎﺀ‬‫ﺎ ﻧﹺﺴ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﺲ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻊ‬‫ﻭ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﻐ‬‫ﺎ ﻧ‬‫" ﻛﹸﻨ‬

" ‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ﻮﺍ ﻃﹶﻴ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻮﺍ ﻻ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺄﹶﻳ‬‫ﺃﹶ ﻳ‬‫ ﻗﹶﺮ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﺏﹺ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺝ‬‫ﻭ‬‫ﺰ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﻧ‬
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah
SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya,
“Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang
kami dari yang demikian itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami
sesudah itu, yaitu dengan cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu
dengan (imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang
baik yang dihalalkan Allah atas kamu”.72

‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻊ‬‫ﻭ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﻐ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ ﻛﹸﻨ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺲﹴ‬‫ ﻗﹶﻴ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻴﻞﹸ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺇﹺﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻲ ﺃﹶﻥﹾ‬‫ ﻓ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ ﺭ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ﻲ؟ " ﻓﹶﻨ‬‫ﺼ‬‫ﺨ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻧ‬،‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ ﻳ‬:‫ﺎ‬‫ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ‬،ٌ‫ﺎﺀ‬‫ﺎ ﻧﹺﺴ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺲ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ﻭ‬

‫ﻞﱠ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ﻮﺍ ﻃﹶﻴ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻮﺍ ﻻ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺄﹶﻳ‬‫ ﻳ‬:‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶ ﻋ‬‫ ﻗﹶﺮ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،" ‫ﻞﹴ‬‫ﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺝ‬‫ﻭ‬‫ﺰ‬‫ﺘ‬‫ﻧ‬

" ‫ﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ ﻻ ﻳ‬‫ﻭﺍ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﻻ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬


Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah

71
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid II h. 1022-1023, dalam ”Kitab an-Nikah”, hadits no. 11.
72
Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), V-VI: 228, dalam “Kitab at-Tafsir Surat al-Maa’idah”, hadits no. 4615.
39

SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya,
“Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang
kami dari yang demikian itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami
sesudah itu, yaitu dengan cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu
dengan (imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang
baik yang dihalalkan Allah atas kamu”73.
،‫ﺎﺏ‬‫ﺒ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻊ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ ﻛﹸﻨ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺲﹴ‬‫ ﻗﹶﻴ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺧ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻴﻊ‬‫ﻛ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺢ‬‫ﻜ‬‫ﻨ‬‫ﻲ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ ﺭ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﺎ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ﻲ؟ ﻓﹶﻨ‬‫ﺼ‬‫ﺨ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ " ﺃﹶﻟﹶﺎ ﻧ‬،‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ ﻳ‬:‫ﺎ‬‫ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ‬

‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺒ‬‫ﻮﺍ ﻃﹶﻴ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﻻ ﺗ‬:‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶ ﻋ‬‫ ﻗﹶﺮ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،" ‫ﻞﹺ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﺟ‬
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Kami pernah berperang bersama Rasulullah
SAW dan tidak ada wanita yang berserta kami. Kemudian kami bertanya,
“Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja ?”. Maka Rasulullah SAW melarang
kami dari yang demikian itu, kemudian beliau memberi keringanan kepada kami
sesudah itu, yaitu dengan cara mengawini wanita sampai batas waktu tertentu
dengan (imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud membaca (firman Allah),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang
baik yang dihalalkan Allah atas kamu”74.

‫ﻦﹺ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﻧﺎ ﺃﹶﺣ‬،‫ﻮﺭﹴ‬‫ﺼ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻜﱢﻲ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬،‫ﺮﹴ‬‫ﻦﹺ ﻃﹶﺎﻫ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺔﹶ ﻃﹶﺎﻫ‬‫ﻋ‬‫ﺭ‬‫ﻮ ﺯ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

،‫ﺪ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺧ‬‫ﻴﻞﹶ ﺑ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﻥﹸ‬‫ﺳﻔﹾﻴ‬ ‫ ﺃﻧﺎ‬،‫ﻲ‬‫ﻌ‬‫ﺎﻓ‬‫ ﺃﻧﺎ ﺍﻟﺸ‬،‫ﺑﹺﻴﻊ‬‫ ﺃﻧﺎ ﺍﻟﺮ‬،‫ﻘﹸﻮﺏ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﻧﺎ ﻣ‬،‫ﻲ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﺿ‬

‫ﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﺲ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻊ‬‫ﻭ ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﻐ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ ﻛﹸﻨ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬،‫ﻮﺩ‬‫ﻌ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺎﺯﹺﻡﹴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺣ‬‫ﺲﹺ ﺑ‬‫ ﻗﹶﻴ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬

‫ﻞﹴ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺢ‬‫ﻜ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ ﺭ‬‫ ﺛﹸﻢ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﻨ‬،‫ﻲ‬‫ﺼ‬‫ﺘ‬‫ﺨ‬‫ﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ‬‫ﻧ‬‫ﺩ‬‫ﺎﺀٌ ﻓﹶﺄﹶﺭ‬‫ﻧﹺﺴ‬

" ِ‫ﺀ‬‫ﻲ‬‫ﺑﹺﺎﻟﺸ‬
Ibnu Mas’ud berkata: dahulu kami bersama Rasulullah-shallalhu Saw, dalam
peperangan sementara tidak ada istri-istri yang bersama kami, maka kami ingin
berkebiri,namun Nabi melarang kami dari perbuatan itu, kemudian beliau
memberikan dispensasi kepada kami untuk menikahi wanita sampai beberapa
waktu dengan memberi sedikit mas kawin”75

73
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I, h. 420.
74
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I, h, 430.
75
. Muhammad bin Ahzami, Al Itibar Anasikh Wa Mansukh Li Ahzami, (Beirut: Dar al- Kutub al-
Islami, 1978), h, 120.
40

B. Hadits-hadits Nāsikh

Sebagaimana dikemukakan pada pendahuluan bahwa hadits-hadits yang

melarang atau menasakh kebolehan mut’ah banyak sekali, namun berikut hanya

akan ditulis hadits-hadits pelarangan muth’ah dan memakan daging keledai piaraan

pada peperangan khaibar, diantaranya sebagai berikut:

‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﻧﹺﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻴﻞﹶ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬:‫ﺎﺱﹴ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻮﻩ‬‫ﺃﹶﺧ‬‫ ﻭ‬،‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺑ‬

‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻧ‬


Telah menceritakan kepada kami Malik bin Sufyan, telah menceritakan kepada
kami Ibn Uyainah, bahwa dia mendengar al Zuhri berkata, al Hasan bin
Mhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad telah mengkhabarkan
kepadaku dari ayahnya, bahwa Ali ra berkata kepada Ibn Abbas, sesungguhnya
nabi melarang mth’ah dan memakan daging keledai piaraan pada zaman
khaibar.76

‫ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺏﹴ‬‫ﻬ‬‫ﻦﹺ ﺷ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻠﹶﻰ ﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﺃﹾﺕ‬‫ ﻗﹶﺮ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻰ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳ‬

،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺀِ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺃﹶﻥﹼ ﺭ‬:‫ﺐﹴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺑﻦ ﻋﻠﻲ‬

‫ﺔ‬‫ﺴِﻴ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﺃﹶﻛﹾﻞﹺ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬


Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya berkata, aku membaca dari
Malik, dari Ibn Syihab dari Abdullah dari al Hasan bin Mhammad bin Ali dari
ayahnya dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulallah saw melarang muth’ah nisa
pada hari khaibar dan memakan daging keledai piaraan.77

:‫ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ ﻭ‬،‫ﺎﺩ‬‫ﻨ‬‫ﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﺈﹺﺳ‬‫ ﺑﹺﻬ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺔﹸ‬‫ﺮﹺﻳ‬‫ﻳ‬‫ﻮ‬‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟ‬،‫ﻲ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺎﺀَ ﺍﻟﻀ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺳ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻭﺣﺪﺛﻨﺎﻩ ﻋ‬

‫ﻦﹺ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﺚ‬‫ﺪ‬‫ﺜﹾﻞﹺ ﺣ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻪ‬‫ﺎﺋ‬‫ﻞﹲ ﺗ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬‫ﻚ‬‫ ﺇﹺﻧ‬:‫ﻔﹸﻠﹶﺎﻥ‬‫ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻟ‬‫ ﻳ‬،‫ﺐﹴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺳ‬

76
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 12. No hadits 5115
77
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 643
41

‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻰ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬


Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma al Dhabai,
telah menceritakan kepada kami Juyariyah dari Malik dengan sanad ini dan
berkata, dia mendengar Ali bin Abi Thalib berkata kepada fulan, sesungguhnya
engkau seorang laki-laki yang sesat, Rasulallah saw melarang seperti hadis Yahya
bin Yahya dari Malik78.

‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ‬:‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻫ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺯ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻴﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺟ‬،‫ﺏﹴ‬‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻫ‬‫ﺯ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮﹴ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻜﹾﺮﹺ ﺑ‬‫ﻮ ﺑ‬‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﹶﺑ‬

" :‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﺴ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ ﻋ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻥﹸ ﺑ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺳ‬

‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻧﹺﻜﹶﺎﺡﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺃﹶﻥﹼ ﺍﻟﻨ‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ibn Numair dan
Zuhair bin Harb semuanya dari Ibn Uyainah berkata Zuhair, telah menceritakan
kepada kami Sufyan bin Uyainah dari al Zuhri dari al Hasan dari Abdullah bin
Muhammad Ali dari ayahnya dari Ali bahwa nabi melarang nikah muth’ah pada
hari khaibar dan memakan daging keledai piaraan.79

،‫ﺎﺏﹴ‬‫ﻬ‬‫ﻦﹺ ﺷ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬،‫ﺲ‬‫ﻮﻧ‬‫ﻧﹺﻲ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬،‫ﺐﹴ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻧﺎ ﺍﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ‬،‫ﻰ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺑ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺣ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮﹺ‬‫ﻮ ﺍﻟﻄﱠﺎﻫ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺃﹶﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬

‫ﻦ ﺃﹶﺑﹺﻲ‬ ‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻃﺎﻟﺐ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﺴ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻋ‬

‫ﺮﹺ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﺃﹶﻛﹾﻞﹺ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺀِ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﺭ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬:‫ﺎﺱﹴ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑ‬‫ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻟ‬‫ ﻳ‬،‫ﺐﹴ‬‫ﻃﹶﺎﻟ‬

" ‫ﺔ‬‫ﺴِﻴ‬‫ﺍﻟﹾﺈﹺﻧ‬
Telah menceritakan Abu al Thahir dan Harmalah bin Yahya berkata, telah
mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahab, telah menceritakan kepadaku Yusuf dari
Ibnu Syihab dari al Hasan dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
dari ayahnya bahwa dia mendengar berkata kepada Ibn Abbas, Rasulallah saw
melarang muth’ah nisa pada hari khaibar dan memakan daging keledai piaraan.80
‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﻥﹸ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﺎﺀِ ﻭ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺃﹶﻥﹼ ﺍﻟﻨ‬،‫ﺐﹴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬

78
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 646
79
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 645
80
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 644
42

Telah menceritakan kepada kami ibn Abi Umar, telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari al Zuhri dari Abdullah dan al Hasan ibn Mhammad bin Ali dari
ayahnya dari Ali bin Abi Thalib bahwa nabi melarang muth’ah nisa dan memakan
daging keledai piaraan pada masa khaibar.81

‫ﻦﹺ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺭﹺﻱ‬‫ﺼ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ﻦﹺ ﺳ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻲ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﻟﺜﱠﻘﹶﻔ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺎﺭﹴ‬‫ﺸ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻥﹸ ﺑ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺡ ﻭﺣ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺲﹴ‬‫ﺃﹶﻧ‬

‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﺎﺀِ ﺯ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﺭ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻭ‬

‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ﺧ‬


Telah menceritakan kepada kami Muhammab bin Basyar, telah menceritakan
kepada kami Abdul Wahab al Tsaqafi, dari yahya bin Said al Anshari dari Malik
bin Anas dari al Zuhri dan telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Umar, telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin yainah dari al Zuhri dari Abdullah dari al
Hasan ibn Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali berkata, Rasulallah saw
melarang muth’ah nisa pada masa khaibar dan memekan daging keledai piaraan.82

‫ﻦﹺ ﳘﺎ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﻥﹸ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻲ‬‫ﻭﻣ‬‫ﺰ‬‫ﺨ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺴﻦ‬
 ‫ﺎ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺿ‬‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﺰ‬،‫ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻳﻜﲎ ﺃﺑﺎ ﻫﺎﺷﻢ‬،‫ﺍﺑﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﺍﳊﻨﻔﻴﺔ‬

‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺿ‬‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶﺭ‬‫ﺔﹶ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﺮ‬‫ ﻭﻗﹶﺎﻝﹶ ﻏﹶﻴ‬،‫ﻩ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ ﻧ‬‫ ﻓﹶﺬﹶﻛﹶﺮ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬

‫ﻴﺢ‬‫ﺤ‬‫ ﺻ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﻳﺚﹲ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺬﹶﺍ ﺣ‬‫ ﻫ‬:‫ﻰ‬‫ﻴﺴ‬‫ﻮ ﻋ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬


Telah menceritakan kepada kami Said ibn Abdurahman al Mahzumi, telah
menceritakan keapda kami Sufyan dari al Zuhri dari Abdudllah dan al Hasan
keduanya anak Muhammad ibn al Hanafiyah dari Abdullah bin Muhammad yang
digelari Abu Hasyim berkata al Zuhri bahwa al Hasan ibn Muhammad senang
kepada keduanya, lalu dia menyebutkan seperti itu. Selain Said bin Abdurahman
berkata dari Ibnu Uyainah dan Abdullah bin Muhammad senang kepada
keduanya, Abu Isa berkta hadis ini hasan shahih.83

81
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I h, 220.
82
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 412.
83
.Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 646
43

‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺄﹶﻧ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﻧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟﹶﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺃﹶﺳ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺍﺀَﺓﹰ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﲔﹴ ﻗ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺭﹺﺙﹸ ﺑ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻦﹺ ﺍﺑﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺏﹴ‬‫ﻬ‬‫ﻦﹺ ﺷ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻢﹺ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﺳ‬

" ‫ﺔ‬‫ﺴِﻴ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺀِ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬،‫ﺐﹴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻋ‬
Muhammd bin Salamah telah mengkhabarkan kepada kami, dan al Harits ibn
Miskin yang membacakannya dan aku mendengar dengan lafad darinya berkata.
Ibn al Qasim mengkhabarkan kepada kami dari Malik dari Ibn Syihab dari
Abdullah dari al Hasan bin Muhammad Ali dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib
bahwa Rasulallah melarang muth’ah pada hari khaibar dan memakan daging
keledai piaraan.84

:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺎﺏﹺ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺄﹶﻧ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﻧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ‬،‫ﻰ‬‫ﺜﹶﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﺎﺭﹴ‬‫ﺸ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻭ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬،‫ﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺎﺏﹴ ﺃﹶﺧ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﺑ‬،‫ﺲﹴ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻧﹺﻲ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬،‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺳ‬

‫ﺐﹴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺃﹶﺑ‬،‫ﺍﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻭ‬

،‫ﻦﹴ‬‫ﻴ‬‫ﻨ‬‫ ﺣ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬:‫ﻰ‬‫ﺜﹶﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬،" ِ‫ﺎﺀ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﺭ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺭ‬

‫ﺎﺑﹺﻪ‬‫ﺘ‬‫ ﻛ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺏﹺ ﻣ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻜﹶﺬﹶﺍ ﺣ‬‫ ﻫ‬:‫ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻭ‬


Telah meneritakan kepada kami Amr bin Ali, Muhammad ibn Basyar dan
Muhammad ibn al Mutsanna, mereka berkata telah memberitahukan kepada kami
Abdul Wahab berkata, aku mendengan Yahya ibn Said berkata, telah
mengkhabarkan kepadaku Malik ibn Anas bahwa Ibn Syihab telah
mengkhabarkannya, bahwa Abdullah dan al Hasan bin Ali telah
mengkhabarkannya bahwa ayahnya Muhammad bin Ali telah mengkhabarkan
kepada keduanya bahwa Ali bin Abi Thalib ra berkata, Rasulallah saw pada hari
khaibar melarang muth’ah nisa. Ibnu al Mutsanna berkata pada hari Hunian dan
dia berkata ini telah diceritakan oleh Abdul Wahab dari kitabnya.85

‫ﻦﹺ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﻥﹶ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟﹶﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺃﹶﺳ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺍﺀَﺓﹰ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﲔﹴ ﻗ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺭﹺﺙﹸ ﺑ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬،‫ﻮﺭﹴ‬‫ﺼ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

‫ ﺇﹺﻥﱠ‬:‫ﺱ‬
‫ﺎ ﹴ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﻟ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﻦﹺ ﺑ‬‫ﺴ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ﺍﻟﺰ‬

84
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I h. 647
85
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I h. 221.
44

" ‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻧﹺﻜﹶﺎﺡﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬:‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺍﻟﻨ‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Manshur dan al Haris ibn
Miskin membacakan kepadanya dan aku mendengar dan lafadznya darinya. Dari
sufyan dari al Zuhri dari al Hasan bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad
dari ayahnya berkata, Ali berkata kepada Ibn Abbas sesungguhnya nabi melarang
nikah muth’ah dan memakan daging keledai piaraan pada hari khaibar.86

،‫ﺔﹸ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺃﹸﺳ‬‫ ﻭ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﺲ‬‫ﻮﻧ‬‫ﻧﹺﻲ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺐﹴ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺩ‬‫ﺍﻭ‬‫ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻥﹸ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺐﹴ ﺭ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﺴ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺏﹴ‬‫ﻬ‬‫ﻦﹺ ﺷ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ﻋ‬

" ‫ﺔ‬‫ﺴِﻴ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺀِ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﺭ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻋ‬
Sulaiman ibn Daud telah menceritakan kepada kami, berkata Abdullah ibn
Wahab berkata, telah menceritakan kepadaku Yunus, Malik dan Usamah dari Ibn
Syihab dari al Hasan dan Abdullah bin Muhammad dari ayahnya dari Ali bin Abi
Thalib ra berkata, Rasulallah telah melarang muth’ah nisa pada hari khaibar dan
memakan daging keledai piaraan.87

،‫ﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺏﹴ‬‫ﻬ‬‫ﻦﹺ ﺷ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺲﹴ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺑﹺﺸ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻰ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ " ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬:‫ﺐﹴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻭ‬

" ‫ﺔ‬‫ﺴِﻴ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺀِ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﻨ‬


Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Yahya, telah menceritakan
kepada kami Basyar ibn Umar, telah menceritakan kepada kami Malik bin Anas
dari Ibn Syihab dari Abdullah dan al Hasan bin Muhammad bin Ali dari ayahnya
dari Ali ibn Abi Thalib bahwa Rasulallah saw melarang mth’ah nisa pada hari
khaibar dan memakan daging keledai piaraan.88

‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺀِ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﺭ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬:‫ﺎﺱﹴ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬،‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬

86
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 422.
87
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 424.
88
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 427.
45

‫ﺔ‬‫ﺴِﻴ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻟﹸﺤ‬


Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Abdullah, telah menceritakan
kepada kami Malik dari Al Zuhri dari al Hasan dan Abdullah bin Muhammad dari
ayahnya bahwa Ali berkata kepada Ibn Abbas Rasulallah melarang muth’ah nisa
pada masa khaibar dan memakan daging keledai piaraan89.

‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺍﺑ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺎﻡ‬‫ ﻋ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،ِ‫ﺎﺀ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬:‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬:‫ﺎﺱﹴ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑ‬‫ﻘﹸﻮﻝﹸ ﻟ‬‫ ﻳ‬،‫ﺎ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﻋ‬

" ‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ﺧ‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada Ibn
Uyainah dari Zuhri, dari Abdullah dari ayahnya berkata, aku mendengar Ali
berkata kepada ibn Abbas sesngguhnya Rasulallah saw melarang muth’ah nisa dan
memakan daging keledai piaraan.90

‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﺑ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎﺏﹴ‬‫ﻬ‬‫ﻦﹺ ﺷ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬،‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻰ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺃﹶﻥﹼ ﺭ‬:‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺐﹴ ﺭ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺐﹴ‬‫ﻃﹶﺎﻟ‬

" ‫ﺔ‬‫ﺴِﻴ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺈﹺﻧ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﺃﹶﻛﹾﻞﹺ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬


Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibn Syihab dari Abdullah
dari al Hasan bin Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib dari ayahnya dari Ali ibn
Thalib bahwa Rasulallah saw melarang muth’ah nisa pada hari khaibar dan
memakan daging keledai piaraan.91

‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ﻦﹺ ﻭ‬‫ﺴ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻋ‬‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ﺎﻥﹸ ﻋ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻰ‬‫ﻬ‬‫ﻢ ﻧ‬ ‫ﻠﱠ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺎﺱﹴ ﺭ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺎﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬‫ﻔﹸﺴِﻨ‬‫ﻲ ﺃﹶﻧ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻫ‬‫ﺿ‬‫ﺃﹶﺭ‬

‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻧﹺﻜﹶﺎﺡﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬

89
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 428.
90
Muhammad bin Habban bin Ahmad bin Habban, Sahih Ibnu Hiban, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jilid I h. 429.
91
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid I, h, 226.
46

Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari al Zhri dari al Hasan dan
Abdullah, keduanya putra Muhammad ibn Ali dari ayahnya. Hasan senang kepada
kedua bahwa Ali berkata kepada ibn Abbas Rasulallah saw telah melarang nikah
nith’ah dan memakan daging keledai piaraan pada masa khaibar.92

‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻳ‬‫ ﺯ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻲ‬‫ﻣ‬‫ﻘﹶﺪ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬

‫ﺮﹺ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬


Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibn Abu Bakar al Muqaddami, telah menceritakan kepada kami
Hammad bin Zaid, telah menceritakan kepada kami Ma’mar al Zuhri dari
Abdullah ibn Mas’ud ibn Ali dari Ali bahwa nabi saw melarang pada hari khaibar
muth’ah dan memakan daging keledai.93
‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻥﹸ ﻋ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻮﻡﹺ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﺎﺀِ ﻭ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﱠﻠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺐﹴ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬

‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻳﺚﹸ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻰ ﺣ‬‫ﻴﺴ‬‫ﻮ ﻋ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻬ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺏ ﻋ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﻓ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬

‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﺻ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹾﻢﹺ ﻣ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ﺬﹶﺍ ﻋ‬‫ﻠﹶﻰ ﻫ‬‫ﻞﹸ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﺢ‬‫ﺤ‬‫ ﺻ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﻳﺚﹲ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺒﹺﺮ‬‫ﺚﹸ ﺃﹸﺧ‬‫ﻴ‬‫ ﺣ‬‫ﻪ‬‫ﻟ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻊ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬‫ ﺛﹸﻢ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﺔ‬‫ﺼ‬‫ﺧ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻦ‬‫ﺀٌ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﺎﺱﹴ ﺷ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻭﹺﻱ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﺮﹺﻫ‬‫ﻏﹶﻴ‬‫ﻭ‬

‫ﻙ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺭﹺﻱ‬‫ﻝﹸ ﺍﻟﺜﱠﻮ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺮﹺﱘﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻠﹶﻰ ﺗ‬‫ﻠﹾﻢﹺ ﻋ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮﹺ ﺃﹶﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺍﻟﻨ‬

‫ﻖ‬‫ﺤ‬‫ﺇﹺﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺃﹶﺣ‬‫ ﻭ‬‫ﻲ‬‫ﻌ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺍﻟﺸ‬‫ﻭ‬


Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari Az Zuhri dari Abdullah dan Al Hasan keduanya anak Muhammad
bin Ali, dari Bapaknya dari Ali bin Abu Thalib bahwa Nabi saw melarang nikah
mut'ah dan daging keledai jinak pada peristiwa Khaibar. (Abu Isa At Tirmidzi)
berkata, hadits semakna diriwayatkan dari Sabrah Al Juhani dan Abu Hurairah."
Abu Isa berkats. hadits Ali merupakan hadits hasan sahih. Kebanyakan ulama dari
kalangan sahabat Nabi saw dan yang lainnya mengamalkan hadits ini.
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas hadits yang memberi keringanan masalah

92
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid II, h. 64
93
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid II, h. 277.
47

nikah mut'ah, namun dia mencabut pendapatnya setelah diberi kabar dari Nabi
saw. Kebanyakan kalangan ulama berpendapat pengharaman nikah mut'ah. Ini
juga merupakan pendapat Ats Tsauri, Ibnu Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq".
(Sunan Tirmidzi 1040)
48

BAB IV

ANALISIS NĀSIKH MANSŪKH DALAM HADITS

A. Analisis Nāsikh Mansūkh Dalam Hadits

Sebagaimana pemaparan di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat

beberapa hadits Nabi yang satu dengan yang lainnya secara lahir tampak

bertentangan. Terhadap hadits-hadits tersebut, para ulama pakar hadits menyikapi

akan hal itu agar hilang kesan kontradiktifnya. Oleh karena itulah mereka telah

merumuskan berbagai teori. Teori yang pertama dan mendapat prioritas adalah teori

al-jam’u (teori kompromi dan akomodasi). Teori ini dapat digunakan apabila telah

memenuhi beberapa syarat; pertama, dua hadits yang bertentangan memiliki

kualitas yang sepadan. Kedua, kedua hadits yang kontradiktif memiliki nilai

kekuatan yang sama dalam hal hujjah. Ketiga, tidak dapat diketahui secara pasti

bahwa salah satu hadits yang bertentangan tersebut lahir lebih akhir dibanding yang

lainnya. Keempat, kedua hadits tersebut secara makna dapat dita’wil dengan benar.

Kelima, orang yang mengamalkan teori ini harus memiliki kemampuan dalam

bidang hadits, ushul fiqh, dan fiqh. Keenam, hasil rumusan dari jam’ al-riwayah

tidak sampai menyalahi atau merusak nash syariah.94

Namun dalam kenyataannya tidak semua hadits yang tampak kontradiktif itu

dapat diselesaikan dengan teori al-jam’u karena teori al-jam’u tidak selalu mampu

menyelesaikan hadits-hadits yang tampak kontradiktif, maka ditempuhlah teori-teori

alternatif lainnya.95 Di antara teori lain yang banyak diaplikasikan oleh ulama hadits

94
Abd al-Majīd Muḥammad Ismā‟īl, Manhaj al-Tawfīq wa al-Tarjīḥ Bayn al-Mukhtalif Ḥadīth wa
Ataruhu fī al-Fiqh al-Islāmī (Kairo: Dār Nafais, tt), h. 135-138.
95
Dadi Nurhaedi, “Teori Naskh dalam Kajian Hadis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis
Vol. 1, No. 1 Juli 2000, h. 90.

48
49

adalah teori naskh (penghapusan, pembatalan) dan teori tarjih (menentukan yang

terkuat).

Sebagaimana penjelasan di atas, teori ini tak lain untuk memahami kandungan

hadits-hadits Nabi yang tampak saling bertentangan. Pada prinsipnya cara kerja teori

ini adalah menentukan manakah hadits yang tergolong sebagai nasikh dan manakah

hadits yang tergolong hadits mansukh. Teori naskh yang banyak dipakai dan

dikembangkan dalam kajian hadits, sebenarnya bukanlah suatu teori yang secara

spesifik lahir dalam bidang ini. Namun pada mulanya merupakan teori yang dipakai

oleh para ulama ushul al-fiqh dalam memahamai dan menetapkan hukum (istinbat

al-hukm) dari teks-teks al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, diskursus tentang

studi naskh, selain dalam kajian hadits, banyak pula dalam studi dan literatur ushul

al-fiqh dan ‘ulum al-Qur’an.96

Aplikasi teori naskh khusus dalam kajian hadits, nampaknya dibangun atas

dasar asumsi bahwa perbedaan kandungan hadits disebabkan oleh faktor adanya

proses perkembangan atau perubahan kebijakan Nabi ke arah yang lebih maslahat.

Kebijakan Nabi yang termuat dalam hadits-haditsnya, dan lahir lebih belakangan

atau lebih akhir dalam permasalahan yang sama, dianggap sebagai bagian dari revisi

atas kebijakan sebelumnya. Karena itulah dianggap lebih tepat dan lebih benar.

Hadis-hadis dalam konteks ini biasa dikenal dengan nasikh. Sedangkan hadis-hadis

yang muncul sebelumnya dianggap tidak bisa dipakai, dan biasa disebut dengan

mansukh. Asumsi ini lebih didasarkan atas pertimbangan sejarah dan waktu

munculnya hadits.97

96
Dadi Nurhaedi, “Teori Naskh dalam Kajian Hadis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis
Vol. 1, No. 1 Juli 2000, h. 90.
97
Dadi Nurhaedi, “Teori Naskh dalam Kajian Hadis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis
Vol. 1, No. 1 Juli 2000, h. 90.
50

Sedangkan untuk mengetahui nāsikh dan mansūkh dalam hadits, terdapat

metode yang dikenal di kalangan para ulama hadits untuk mengetahui adanya nasikh

dan mansukh. Menurut para ulama hadits, suatu hadits dapat dinyatakan

mengandung kemungkinan adanya nasikh dan mansukh apabila terdapat tanda-tanda

(mu’arifat al-naskh) yang terdapat dalam teks atau matan hadits.

1. Penjelasan langsung dari Rasulullah Saw. seperti sabda beliau:

‫ﺄﹶﺑﹺﻲ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟ‬‫ ﻭ‬،‫ﻰ‬‫ﺜﹶﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﺮﹴ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻧ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻜﹾﺮﹺ ﺑ‬‫ﻮ ﺑ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺎﺭﹺﺏﹺ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺍﺭ‬‫ﺮ‬‫ ﺿ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻥ‬‫ﻨ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻞﹴ‬‫ﻴ‬‫ ﻓﹸﻀ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ‬،‫ﺮﹴ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻧ‬‫ﺍﺑ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﻭ‬‫ﺑ‬

‫ﺍ‬‫ﻭﻩ‬‫ﻭﺭ‬‫ﻮﺭﹺ ﻓﹶﺰ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﺒ‬‫ﺓ‬‫ﺎﺭ‬‫ ﺯﹺﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻬ‬‫ " ﻧ‬:‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺪ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻦﹺ ﺑ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺛﹶﺎﺭﹴ‬‫ﻦﹺ ﺩ‬‫ﺑ‬

“Dari Buraidah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku dahulu pernah
melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian
”.
Hadits diatas menjelaskan bahwasanya Rasulullah pernah melarang untuk

ziarah kubur, hingga ia sendiri yang kemudian menganjurkan untuk berziarah.

Bahkan dalam riwayat lain dijelaskan beberapa manfaat dari ziarah kubur

seperti dapat mengingatkan peziarah akan kematian dan menyiapkan diri untuk

menujunya.98

2. Penjelasan dari sahabat, contoh :

‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ‬،‫ﺍﻕﹺ‬‫ﺯ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﻴﻞﹸ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺇﹺﺳ‬‫ﺄﹶﻧ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﻧ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬،‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﻕ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﺇﹺﺳ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

:‫ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻦﹺ ﻗﹶﺎﺭﹺﻅ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺰﹺﻳﺰﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ﺍﻟﺰ‬

" ‫ﺎﺭ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺖ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ﺌﹸﻮﺍ ﻣ‬‫ﺿ‬‫ﻮ‬‫ " ﺗ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺳ‬

Hadits diatas mansūkh berdasarkan hadits yang juga diriwayatkan al Nasa’i :

98
‘Izz al-Din Husein al-Syaikh, Mukhtasar al-NaSikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 6.
51

‫ﺭﹺ‬‫ﻜﹶﺪ‬‫ﻨ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺑ‬‫ّﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﻴ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ّﺎﺵﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ‬‫ﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ّ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻮﺭﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ‬‫ﺼ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻭ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬

‫ّﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻮﺀِ ﻣ‬‫ﺿ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻷَﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺁﺧ‬: ‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺑﹺﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬

‫ّﺎﺭ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ّﺖ‬‫ﺴ‬‫ﻣ‬
Dari Muhammad bin Munkadir ia berkata: “Aku mendengar Jabir bin
Abdillah berkata: “Perkara yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah meninggalkan wudhu dari makanan
yang disentuh api.”

Kedua redaksi hadits menjelaskan tentang makanan yang disentuh api

(dipanggang), namun isi dari kedua hadits tersebut bertentangan, yang

pertama menerangkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan orang yang

makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih

dahulu sebelum melaksanakan ritual shalat, sedang hadits kedua

menerangkan kebolehan salat setelah memakan makanan yang disentuh api,

disini diketahui bahwa hadits yang kedua memposisikan diri sebagai nāsikh,

sedang hadits pertama mansūkh.99

Untuk tanda atau cara yang pertama dan kedua yaitu berdasarkan

penjelasan Nabi dan informasi dari sahabat, biasanya indikatornya relatif

lebih jelas dan mudah ditangkap sebagaimana tercermin pada teks atau

matan hadits. Sayangnya hadits-hadits yang termasuk dalam kedua kategori

itu jumlahnya terhitung sedikit, dan belum tentu secara substansial

merupakan nāsikh mansūkh.

3. Sejarah munculnya hadits.

Hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi tentang batalnya puasa orang yang

berbekam dan membekam.

99
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbar Fi Mansukh al-Akhbar, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988) h.
6.
52

‫ﻮﻡ‬‫ﺠ‬‫ﺤ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺟﹺﻢ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻓﹾﻄﹶﺮ‬‫ﻠﹶّﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﹶّﻰ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ّﺒﹺﻲﹺّ ﺻ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻳﺞﹴ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻦﹺ ﺧ‬‫ﻊﹺ ﺑ‬‫ﺍﻓ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬

Hadits diatas dimansūkh oleh hadits berikut yang juga diriwayatkan Imam

Tirmidzi:

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺑﺸﺮ ﺑﻦ ﻫﻼﻝ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﺍﺭﺙ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ ﻋﻦ‬

‫ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ ﺍﺣﺘﺠﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﳏﺮﻡ ﺻﺎﺋﻢ‬
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Syadad bin Aus

yang menyatakan: “Orang yang membekam dan dibekam hendaklah

berpuasa.” Menurut Imam Syafi’i hadits tersebut di naskh dengan hadits

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi dan al-

Nasa’i dari Ibnu ‘Abbas yang menyatakan bahwa Nabi pernah melakukan

praktik bekam sementara beliau sedang dalam keadaan ihram dan

berpuasa. Peristiwa itu terjadi ketika Ibnu ‘Abbas menyertai Nabi ketika

menunaikan ibadah haji wada’ tahun 10 H. Padahal pada sebagian sanad

hadits yang diriwayatkan oleh Syadad dinyatakan peristiwa itu terjadi pada

tahun ke 8 H.100

Ibn Hajar al-Asqalānī sebagaimana yang dikutip Ṭāhir Jawābī menilai

bahwa tanda kesepakatan adanya naskh yang ketiga ini sangat banyak.101

4. Berdasarkan konsensus (ijma’). Misalnya dalam hadits yang diriwayatkan

oleh Abu Dawud dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang menyatakan,

100
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbar Fi Mansukh al-Akhbar, (Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988). h.
34-35.
101
Muḥammad Ṭāhir al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddīthīn, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr,1995).h.
406-407.
53

،‫ﺋﹾﺐﹴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻲ‬‫ﻄ‬‫ﺍﺳ‬‫ﻭﻥﹶ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺎﺭ‬‫ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻲ‬‫ﻄﹶﺎﻛ‬‫ﻢﹴ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧ‬‫ﺎﺻ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

" ‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺭﹺﺙ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻋ‬

،" ‫ﻠﹸﻮﻩ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻋ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﻜﹶﺮ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﺳ‬‫ ﺛﹸﻢ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﻜﹶﺮ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﺳ‬‫ ﺛﹸﻢ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﻜﹶﺮ‬‫ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺳ‬

‫ ﺇﹺﺫﹶﺍ‬: ‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻋ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺳ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻳﺚﹸ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ‬‫ ﻭ‬:‫ﺩ‬‫ﺍﻭ‬‫ﻮ ﺩ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬

‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻞﹴ‬‫ﻴ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺚﹸ ﺳ‬‫ﺪ‬‫ﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ‬‫ ﻭ‬:‫ﺩ‬‫ﺍﻭ‬‫ﻮ ﺩ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬،‫ﻠﹸﻮﻩ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻋ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺪ‬‫ﻠ‬‫ ﻓﹶﺎﺟ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﺮﹺﺏ‬‫ﺷ‬

‫ﻦﹺ‬‫ﻳﺚﹸ ﺍﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ‬‫ ﻭ‬،‫ﻢ‬‫ﻠﹸﻮﻫ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﺮ‬‫ﺮﹺﺑ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﺷ‬: ‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻋ‬،‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺢﹴ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺻ‬

،‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ﺍﻟﺸ‬‫ ﻭ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮﹴﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻳﺚﹸ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻛﹶﺬﹶﺍ ﺣ‬‫ ﻭ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻋ‬،‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻢﹴ‬‫ﻌ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻧ‬

‫ ﺃﹶﻥﱠ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﺎﻭﹺﻳ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬:‫ﻲ‬‫ﻟ‬‫ﺪ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻳﺚ‬‫ﺪ‬‫ﻲ ﺣ‬‫ﻓ‬‫ ﻭ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ﻋ‬

‫ﻠﹸﻮﻩ‬‫ ﻓﹶﺎﻗﹾﺘ‬‫ﺔ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ ﺃﹶﻭﹺ ﺍﻟﺮ‬‫ﺜﹶﺔ‬‫ﻲ ﺍﻟﺜﱠﺎﻟ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻋ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ﺍﻟﻨ‬


”Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia
kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.102

Hadits ini dinaskh dengan ijma’ untuk tidak melakukannya.

Menurut Imam Nawawi, para ulama hadits telah menyepakati bahwa

petunjuk hadits tersebut telah di-naskh. Alasannya karena dalam hadits

lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi setelah kejadian tersebut, Nabi

pernah mendatangi seorang yang meminum khamr yang keempat

kalinya, Nabi hanya memukulnya dan tidak membunuhnya. Nawawi

juga menginformasikan bahwa al-Zuhri pun telah meriwayatkan hadits

Nabi yang serupa dari Qabisah bin Zu’aib. Karena itulah maka

102
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, kitab al-Hudud, bab Iza Tatabi’a fi al-Syurbu al-Khamri,
(Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd, 1994), h. 365.
54

dihapuslah ketentuan harus membunuhnya itu sehingga menjadi

dispensasi (rukhsah).103

Sedangkan menurut al-Shāfi‟ī, naskh bisa diidentifikasi melalui

khabar dari Nabi Saw. atau juga dengan data sejarah yang menunjukkan

adanya perbedaan rentang waktu antara dua hadits atau lebih dengan

hadits lainnya. Dari perbedaan waktu tersebut bisa disimpulkan bahwa

hadits yang datang lebih akhir adalah al-Nāsikh dan yang datang lebih

awal dikategorikan sebagai al-Mansūkh.104

Al-Hāzimī mengutip pendapat al-Ṭahāwī bahwa ulama kufah

menambahkan salah satu kriteria adanya naskh adalah Ḥusn al-Zān

(berbaik sangka) terhadap periwayat hadits. Sebagaimana hadits tentang

pembasuhan bejana yang terkena jilatan anjing. Hadits yang dinaskh

menyatakan bahwa bejana tersebut harus dibasuh tujuh kali, sementara

hadits riwayat Abū Hurayrah menyatakan bahwa bejana yang terkena

jilatan anjing hanya dibasuh tiga kali.

Ulama Kufah menyatakan bahwa hadits Abū Hurayrah menaskh

hadits pembasuhan tujuh kali, karena ber-ḥusn al-zān dan menganggap

bahwa Abū Hurayrah tidak mungkin menyalahi sabda Nabi Saw.105

Kendatipun secara teoritis ada ketetapan-ketetapan mengenai tanda-

tanda terjadinya naskh, namun secara praksis tidak selamanya

disepakati oleh seluruh sarjana.

103
‘Izz al-Din Husein al-Syaikh, Mukhtasar al-NaSikh wa al-Mansukh fi Hadis Rasulillah saw
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 6.
104
Al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddīthīn, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 406.
105
Al-Ḥāzimī, al-I‟tibār Fī al-Nāsikh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 10.
55

Ṭāhir al-Jawābī menyatakan bahwa ada beberapa naskh yang

telah disepakati dalam sebuah hadits, sedangkan sebagian besar banyak

naskh yang diperdebatkan, karena sebagian ulama menganggap telah

terjadi naskh, sementara sebagian yang lain menggunakan teori “Jam‟-

kompromi” atau teori “pengunggulan-tarjīḥ”.

Secara garis besar, hanya terdapat dua puluh tujuh kasus Ikhtilāf

al-Ḥadīts yang diselesaikan dengan teori naskh. Sementara jumlah

kasus diselesaikan secara naskh secara masyhur disepakati oleh seluruh

ulama dengan tanpa adanya perdebatan dan perbedaan hanya tiga belas

kasus. Naskh yang secara praksis banyak menuai perdebatan berjumlah

empat puluh delapan kasus.106

B. Melacak Fakta Sejarah Waktu Munculnya Hadits

Pada bagian ini penulis mencoba untuk menguak secara mendalam sejarah

waktu munculnya hadits-hadits terkait pengharaman atau penghapusan kebolehan

hukum nikah muth’ah. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa ulama tidak

sepakat kapan proses pengharaman atau penghapusan kebolehan hukum nikah

muth’ah terjadi. Sebagian berpendapat pada umrah qadha, sebagian lagi

berpendapat terjadi pada yaum authas dan yaum al fath. ada yang mengatakan

bahwa yaum authas dan yaum al fath bermakna sama karena peperangan itu

bersambung hingga dianggap satu, walau dari sisi nama berbeda. Bahwa hadits

pengharaman muth’ah pada yaum khaibar adalah shahih tidak ada yang

menolaknya karena perawinya shiqah, namun dalam riwayat Sufyan dijelaskan

106
Al-Ḥāzimī, al-I‟tibār Fī al-Nāsikh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 407-419.
56

bahwa pada yaum khaibar, nabi hanya melarang memakan daging keledai piaraan

saja dan tidak melarang nikah muth’ah.107

Sebagian ulama berpendapat tentang pengharaman muth’ah pada

peperangan khaibar tanaqud karena ada riwayat yang menjelaskan bahwa

pelarangan itu tidak ada pada masa khaibar. Penulis kitab al Ikmal menjawab,

anggapan itu salah, itu bukan tanaqud, hadis itu sah artinya bahwa telah ada

pengharaman nikah muth’ah, namun memang bukan pada waktu itu yakni bukan

pada masa khaibar tetapi pada waktu yang lain. Ahmad ibn Hambal meriwayatkan

bahwa pelarangan memakan daging keledai piaraan terjadi pada hari khaibar tanpa

menyebut pelarangan muth’ah.108

Lebih lanjut lagi, dalam hadis pelarangan itu tidak terjadi dusta dan tidak

pula tanaqud. Al Qadhi berkata, hadits yang menjelaskan tentang kebolehan

muth’ah itu diriwayatkan oleh banyak sahabat. Imam Muslim menyebutkan,

diantaranya Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Salmah al Akwa’, Jabir ibn Abdullah, Sabrah

bin Ma’bad al Juhni, mereka melakukannya bukan saat mukim tetapi saat terjadinya

peperangan dan dalam keadaan darurat, saat isteri mereka tidak ada, negeri mereka

panas dan kesabaran mereka sedikit.109 Mereka berkata bahwa pengharaman

muth’ah terjadi di Mekah sedangkan pengharaman memakan daging keledai

piaraan terjadi di Khaibar. Menurut mereka dalam hal ini tidak ada perbedaan

pendapat dikalangan ulama.

107
Abu al-Fadl, Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshobi Ikmal al Muallim syarah shahih muslim,
(kairo: Dar al-Islami, 1995), jilid, 4, h. 275
‫ﻩ‬ ‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ﻦﹺ ﻭ‬‫ﺴ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻋ‬‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺄﹶﻧ‬‫ﺒ‬‫ﺍﻕﹺ ﺃﹶﻧ‬‫ﺯ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬108 .
‫ ﺇﹺﻥﱠ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺐﹴ ﺭ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺀِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﻓ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ ﺭ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻐ‬‫ﺑ‬‫ﺎﺱﹴ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺐﹴ ﺭ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻃﹶﺎﻟ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻋ‬
‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬
109
Abu al-Fadl, Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshobi. Ikmal al Muallim syarah shahih muslim,
(kairo: Dar al-Islami, 1998), jilid, 4, h. 275
57

‫ﻦ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬‫ﻊ‬‫ﺎﻓ‬‫ﻧﹺﻲ ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺞﹴ ﺃﹶﺧ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﺃﹶﺧ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻥﹸ ﺑ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﻫ‬‫ﺪ‬‫ﻭ ﺣ‬

‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﹺﻦ ﻋ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻊﹴ ﻋ‬‫ﺎﻓ‬‫ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺲﹴ ﻋ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﻧ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻴﺴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻌ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻭ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺡ ﻭﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻋ‬

‫ﻮﺍ‬‫ﺎﺟ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺣ‬‫ﺎﺱ‬‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﺎﺭﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﻛﹾﻞﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻰ ﺭ‬‫ﻬ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻧ‬

‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺇﹺﻟﹶﻴ‬
Dan telah menceritakan kepadaku Harun ibn Abdullah, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibn Bakr, telah mengkhabarkan kepada kami ibn Juraij,
telah menceritakan kepadaku Nafi’ berkata, telah berkata ibn Umar telah
menceritakan kepada kami Ayahku Umar, telah menceritakan kepada kami Ayahku
dan Ma’an bin Isa dari Malik bin Anas berkata bahwa Rasulallah saw melarang
memakan daging khimar piaraan pada hari khaibar padahal manusia
membutuhkannya.110

Penulis Ibanat al ahkam Syarhu Bulugh al Maram berkata bahwa

pengharaman dan kebolehan nikah muth’ah terjadi dua kali. Awalnya nikah ini

dibolehkan sebelum terjadi peristiwa khaibar, kemudian diharamkan, kemudian

dibolehkan kembali pada saat am al fath atau am authas, kemudian diharamkan lagi

untuk selamanya.111 Apabila dicermati secara redaksional, maka akan diperoleh

informasi bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang pengharaman muth’ah dan

memakan daging keledai piaraan ada perbedaan redaksi. Terkadang kata yaum al

khaibar diletakkan di depan, terkadang ditengah dan tidak sedikit juga yang terletak

di akhir. Walaupun mungkin bukan persoalan substansial dalam pandangan ulama

hadits, namun dapat memberi isyarat tidak adanya konsistensi dalam penulisan

hadits. Dan itu dapat melahirkan interpretasi yang berbeda. Apakah titik tekan

larangan itu pada waktunya yakni pada peperangan khaibar atau pada obyek

larangan yaitu larangan muth’ah dan memakan daging keledai piaraan. Padahal

110
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid. 10 h. 85.
111
Abdullah Abdus Salam, ibanat al ahkam Syarh Bulugh al Maram, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1996), jilid,3, h. 272
58

menurut sebagian ulama bahwa pada peristiwa khaibar tidak ada larangan muth’ah

tetapi hanya larangan memakan keledai piaraan saja, berdasarkan hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad Ibnu Hanbal.

‫ﺎ ﻭ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻰ ﺃﹶﺧ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﻰ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻳ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﻴ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹸ ﺑ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ﻗﹸﺘ‬‫ ﻭ‬‫ﻲ‬‫ﻜ‬‫ﺘ‬‫ﺑﹺﻴﻊﹺ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻮ ﺍﻟﺮ‬‫ﺃﹶﺑ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ ﺃﹶﻥﱠ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺭﹴ ﻋ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻦﹺ ﺩ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻳ‬‫ ﺯ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺍﻥ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﺂﺧ‬

‫ ﹺﻞ‬‫ﻴ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻲ ﻟﹸﺤ‬‫ﻥﹶ ﻓ‬‫ﺃﹶﺫ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya dan Ab Rabi’ serta
Qutaibah ibn Said dan lafadz dari Yahya. Yahya berkata telah mengkhabarkan
kepada kami dan berkata yang lain telah menceritakan kepada kami Hammad ibn
Zaid dari Amr ibn Dinar dari Muhammad ibn Ali dari Jabir ibn Abdullah bahwa
Rasulallah saw melarang pada hari khaibar memakan daging keledai piaraan dan
beliau membolehkan memakan daging kuda.112

‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬: ‫ﺎﻥﹸ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬: ‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ ﺛﹸﻢ‬، ‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬: ‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺯ‬‫ﻳﺚﹶ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺎﻥﹶ ﻫ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻱ‬‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻯ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻭ‬‫ ﺭ‬‫ﻗﹶﺪ‬‫ﻭ‬

‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻨﹺﻲ ﻧﹺﻜﹶﺎﺡ‬‫ﻌ‬‫ ﻻﹶ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻷَﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻪ‬‫ﺃﹶﻧ‬
Dan sungguh al Humaidi meriwayatkan dari Sufyan hadis ini ada
tambahannya, pada masa khaibat kemudian dia berkata, Sufyan berkata, yakni
bahwa nabi saw melarang memakan daging keledai piaraan pada masa khaibar
dan tidak pernah melarang muth’ah.
Dari beberapa riwayat diperoleh informasi bahwa beberapa sahabat melakukan

muth’ah pada masa nabi dan masa berikutnya. Diantara hadits yang menjelaskan

tentang itu adalah sebagai berikut.

‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﹺﻦ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ﺠ‬‫ ﻟ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹸﻠﹾﺖ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺓﹸ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺎ ﻗﹶﺘ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻔﱠﺎﻥﹸ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻭ‬‫ﺰ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻱ‬‫ﺪ‬‫ﻠﹶﻰ ﻳ‬‫ﻲ ﻋ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟ‬‫ ﺑﹺﻬ‬‫ﺮ‬‫ﺄﹾﻣ‬‫ﺎﺱﹴ ﻳ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﺍﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺮﹺ ﺭ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﺑ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬

‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻲ ﻋ‬ ‫ﻟ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﻓﹶﻠﹶﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ﻊ‬‫ﻣ‬‫ﻔﱠﺎﻥﹸ ﻭ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻊ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﻳﺚﹸ ﺗ‬‫ﺪ‬‫ﻯ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ‬‫ﺟ‬

‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬‫ﺁﻥﹸ ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬‫ﻮ‬‫ﺁﻥﹶ ﻫ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬‫ﺎﺱ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻄﹶﺐ‬‫ ﺧ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺭ‬

112
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid, 10, h. 97
59

‫ﺞ‬‫ﺔﹸ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺪ‬‫ ﺇﹺﺣ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺇﹺﻧ‬‫ﻮﻝﹸ ﻭ‬‫ﺳ‬‫ﺍﻟﺮ‬

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﺴ‬‫ﺔﹸ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻯ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹸﺧ‬‫ﻭ‬


Telah menceritakan kepada kami Bahz dia berkata dan telah menceritakan kepada
kami 'Affan keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Hammam,telah
menceritakan kepada kami Qatadah dari Abu Nadlrah dia berkata, aku berkata
kepada Jabir Bin Abdullah bahwa Ibnu Az Zubair melarang menikah muth'ah
sedangkan Ibnu Abbas memerintahkannya, dia (Abu Nadlrah) berkata, kemudian
Jabir Bin Abdullah berkata kepadaku sesuai dengan alur pembicaraanku, kami
pernah melakukan nikah Mut'ah bersama Rasulullah saw. 'Affan berkata, dan
bersama Abu Bakar." Kemudian ketika Umar diangkat menjadi Khalifah, dia
berkhutbah di hadapan orang-orang seraya berkata, sesungguhnya Al Qur'an
adalah Al Qur'an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul, dan
sesungguhnya kedua Muth'ah telah terjadi pada masa Rasulullah saw yang satu
adalah muth'ah Haji (haji Tamattu') yang kedua adalah muth'ah wanita (nikah
Mut'ah)113

Imam Muslim mencatat ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa nabi

Muhammad Saw membolehkan dan mengizinkan melakukan muth’ah, diantaranya:

‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺭﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻦﹺ ﺩ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹸ ﻋ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﺣ‬‫ﻌ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺭﹴ ﺣ‬‫ﺸ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻭ ﺣ‬

‫ﻮﻝﹺ‬‫ﺳ‬‫ﻱ ﺭ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﻉﹺ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺧ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺙﹸ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬

‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻌ‬‫ﻮﺍ ﻳ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹶﺫ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺭ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﺴ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻣ‬
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Basyar ibn Dinar, telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami
Syu’bah dari Amr ibn Dinar berkata, aku mendengar al Hasan bin Muhammad
menceritakan dari Jabir ibn Abdullah dan Salamah ibn Akwa’, keduanya berkata,
telah keluar kepada kami penyeru Rasulallah saw seraya berkata, sesungguhnya
Rasulallah saw telah mengizinkan untuk melakukan muth”ah nisa.114

113
. Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. I, (Beirut: al- Maktab al-
Islami, 1978), jlid II, h . 278.
114
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640
‫‪60‬‬

‫ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﻣ‪‬ﺤ‪‬ﻤ‪‬ﺪ‪ ‬ﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﻋ‪‬ﺒ‪‬ﺪ‪ ‬ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﺑ‪‬ﻦﹺ ﻧ‪‬ﻤ‪‬ﻴ‪‬ﺮﹴ ﺍﻟﹾﻬ‪‬ﻤ‪‬ﺪ‪‬ﺍﻧﹺﻲ‪ ‬ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻭ‪‬ﻭ‪‬ﻛ‪‬ﻴﻊ‪ ‬ﻭ‪‬ﺍﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﺑﹺﺸ‪‬ﺮﹴ ﻋ‪‬ﻦ‪ ‬ﺇﹺﺳ‪‬ﻤ‪‬ﻌ‪‬ﻴﻞﹶ ﻋ‪‬ﻦ‪ ‬ﻗﹶﻴ‪‬ﺲﹴ‬

‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‪‬ﻤ‪‬ﻌ‪‬ﺖ‪ ‬ﻋ‪‬ﺒ‪‬ﺪ‪ ‬ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﻳ‪‬ﻘﹸﻮﻟﹸﺎ ﻛﹸﻨ‪‬ﺎ ﻧ‪‬ﻐ‪‬ﺰ‪‬ﻭ ﻣ‪‬ﻊ‪ ‬ﺭ‪‬ﺳ‪‬ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﺻ‪‬ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﻋ‪‬ﻠﹶﻴ‪‬ﻪ‪ ‬ﻭ‪‬ﺳ‪‬ﻠﱠﻢ‪ ‬ﻟﹶﻴ‪‬ﺲ‪ ‬ﻟﹶﻨ‪‬ﺎ ﻧﹺﺴ‪‬ﺎﺀٌ ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ‪‬ﺎ ﺃﹶﻟﹶﺎ‬

‫ﻧ‪‬ﺴ‪‬ﺘ‪‬ﺨ‪‬ﺼ‪‬ﻲ ﻓﹶﻨ‪‬ﻬ‪‬ﺎﻧ‪‬ﺎ ﻋ‪‬ﻦ‪ ‬ﺫﹶﻟ‪‬ﻚ‪ ‬ﺛﹸﻢ‪ ‬ﺭ‪‬ﺧ‪‬ﺺ‪ ‬ﻟﹶﻨ‪‬ﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻧ‪‬ﻨ‪‬ﻜ‪‬ﺢ‪ ‬ﺍﻟﹾﻤ‪‬ﺮ‪‬ﺃﹶﺓﹶ ﺑﹺﺎﻟﺜﱠﻮ‪‬ﺏﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟ‪‬ﻞﹴ ﺛﹸﻢ‪ ‬ﻗﹶﺮ‪‬ﺃﹶ ﻋ‪‬ﺒ‪‬ﺪ‪ ‬ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ :‬ﻳ‪‬ﺎ ﺃﹶﻳ‪‬ﻬ‪‬ﺎ‬

‫ﺍﻟﱠﺬ‪‬ﻳﻦ‪ ‬ﺁﻣ‪‬ﻨ‪‬ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗ‪‬ﺤ‪‬ﺮ‪‬ﻣ‪‬ﻮﺍ ﻃﹶﻴ‪‬ﺒ‪‬ﺎﺕ‪ ‬ﻣ‪‬ﺎ ﺃﹶﺣ‪‬ﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﻟﹶﻜﹸﻢ‪ ‬ﻭ‪‬ﻟﹶﺎ ﺗ‪‬ﻌ‪‬ﺘ‪‬ﺪ‪‬ﻭﺍ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﻟﹶﺎ ﻳ‪‬ﺤ‪‬ﺐ‪ ‬ﺍﻟﹾﻤ‪‬ﻌ‪‬ﺘ‪‬ﺪ‪‬ﻳﻦ‪‬‬
‫‪Muhammad ibn Abdullah ibn Numair al Hamdani telah menceritakan kepada‬‬
‫‪kami, telah menceritakan kepada kami Ayahku, Waki’ dan Ibn Basyar dari Islamil‬‬
‫‪dari Qais berkata, aku mendengan Abdullah berkata, kami berperang bersama‬‬
‫‪Rasulallah saw dan kami tidak membawa wanita, lalu kami bertanya boleh kami‬‬
‫‪dikebiri? Lalu beliau melarang kami melakukan itu, kemudian beliau memberi‬‬
‫‪keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan bayaran berupa pakaian‬‬
‫‪hingga waktu tertentu. Kemudian Abdulah membaca ayat: Hai orang-orang yang‬‬
‫‪beriman janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik yang telah dihalalkan‬‬
‫‪oleh Allah kepadamu. Dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah‬‬
‫‪tidak suka kepada orang-orang yang melampaui bagas.‬‬

‫ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﺃﹶﺑ‪‬ﻮ ﻛﹶﺎﻣ‪‬ﻞﹴ ﻓﹸﻀ‪‬ﻴ‪‬ﻞﹸ ﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﺣ‪‬ﺴ‪‬ﻴ‪‬ﻦﹴ ﺍﻟﹾﺠ‪‬ﺤ‪‬ﺪ‪‬ﺭﹺﻱ‪ ‬ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﺑﹺﺸ‪‬ﺮ‪ ‬ﻳ‪‬ﻌ‪‬ﻨﹺﻲ ﺍﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﻣ‪‬ﻔﹶﻀ‪‬ﻞﹴ ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﻋ‪‬ﻤ‪‬ﺎﺭ‪‬ﺓﹸ ﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﻏﹶﺰﹺﻳ‪‬ﺔﹶ‬

‫ﻋ‪‬ﻦ‪ ‬ﺍﻟﺮ‪‬ﺑﹺﻴﻊﹺ ﺑ‪‬ﻦﹺ ﺳ‪‬ﺒ‪‬ﺮ‪‬ﺓﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺃﹶﺑ‪‬ﺎﻩ‪ ‬ﻏﹶﺰ‪‬ﺍ ﻣ‪‬ﻊ‪ ‬ﺭ‪‬ﺳ‪‬ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﺻ‪‬ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﻋ‪‬ﻠﹶﻴ‪‬ﻪ‪ ‬ﻭ‪‬ﺳ‪‬ﻠﱠﻢ‪ ‬ﻓﹶﺘ‪‬ﺢ‪ ‬ﻣ‪‬ﻜﱠﺔﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻓﹶﺄﹶﻗﹶﻤ‪‬ﻨ‪‬ﺎ ﺑﹺﻬ‪‬ﺎ ﺧ‪‬ﻤ‪‬ﺲ‪‬‬

‫ﻋ‪‬ﺸ‪‬ﺮ‪‬ﺓﹶ ﺛﹶﻠﹶﺎﺛ‪‬ﲔ‪ ‬ﺑ‪‬ﻴ‪‬ﻦ‪ ‬ﻟﹶﻴ‪‬ﻠﹶﺔ‪ ‬ﻭ‪‬ﻳ‪‬ﻮ‪‬ﻡﹴ ﻓﹶﺄﹶﺫ‪‬ﻥﹶ ﻟﹶﻨ‪‬ﺎ ﺭ‪‬ﺳ‪‬ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﺻ‪‬ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﻋ‪‬ﻠﹶﻴ‪‬ﻪ‪ ‬ﻭ‪‬ﺳ‪‬ﻠﱠﻢ‪ ‬ﻓ‪‬ﻲ ﻣ‪‬ﺘ‪‬ﻌ‪‬ﺔ‪ ‬ﺍﻟﻨ‪‬ﺴ‪‬ﺎﺀِ ﻓﹶﺨ‪‬ﺮ‪‬ﺟ‪‬ﺖ‪ ‬ﺃﹶﻧ‪‬ﺎ‬

‫ﻭ‪‬ﺭ‪‬ﺟ‪‬ﻞﹲ ﻣ‪‬ﻦ‪ ‬ﻗﹶﻮ‪‬ﻣ‪‬ﻲ ﻭ‪‬ﻟ‪‬ﻲ ﻋ‪‬ﻠﹶﻴ‪‬ﻪ‪ ‬ﻓﹶﻀ‪‬ﻞﹲ ﻓ‪‬ﻲ ﺍﻟﹾﺠ‪‬ﻤ‪‬ﺎﻝﹺ ﻭ‪‬ﻫ‪‬ﻮ‪ ‬ﻗﹶﺮﹺﻳﺐ‪ ‬ﻣ‪‬ﻦ‪ ‬ﺍﻟﺪ‪‬ﻣ‪‬ﺎﻣ‪‬ﺔ‪ ‬ﻣ‪‬ﻊ‪ ‬ﻛﹸﻞﱢ ﻭ‪‬ﺍﺣ‪‬ﺪ‪ ‬ﻣ‪‬ﻨ‪‬ﺎ ﺑ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪ ‬ﻓﹶﺒ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪‬ﻱ‬

‫ﺧ‪‬ﻠﹶﻖ‪ ‬ﻭ‪‬ﺃﹶﻣ‪‬ﺎ ﺑ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪ ‬ﺍﺑ‪‬ﻦﹺ ﻋ‪‬ﻤ‪‬ﻲ ﻓﹶﺒ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪ ‬ﺟ‪‬ﺪ‪‬ﻳﺪ‪ ‬ﻏﹶﺾ‪ ‬ﺣ‪‬ﺘ‪‬ﻰ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻛﹸﻨ‪‬ﺎ ﺑﹺﺄﹶﺳ‪‬ﻔﹶﻞﹺ ﻣ‪‬ﻜﱠﺔﹶ ﺃﹶﻭ‪ ‬ﺑﹺﺄﹶﻋ‪‬ﻠﹶﺎﻫ‪‬ﺎ ﻓﹶﺘ‪‬ﻠﹶﻘﱠﺘ‪‬ﻨ‪‬ﺎ ﻓﹶﺘ‪‬ﺎﹲﺓ ﻣ‪‬ﺜﹾﻞﹸ‬

‫ﺍﻟﹾﺒ‪‬ﻜﹾﺮ‪‬ﺓ‪ ‬ﺍﻟﹾﻌ‪‬ﻨ‪‬ﻄﹾﻨ‪‬ﻄﹶﺔ‪ ‬ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﻨ‪‬ﺎ ﻫ‪‬ﻞﹾ ﻟﹶﻚ‪ ‬ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‪‬ﺴ‪‬ﺘ‪‬ﻤ‪‬ﺘ‪‬ﻊ‪ ‬ﻣ‪‬ﻨ‪‬ﻚ‪ ‬ﺃﹶﺣ‪‬ﺪ‪‬ﻧ‪‬ﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‪ ‬ﻭ‪‬ﻣ‪‬ﺎﺫﹶﺍ ﺗ‪‬ﺒ‪‬ﺬﹸﻟﹶﺎﻥ‪ ‬ﻓﹶﻨ‪‬ﺸ‪‬ﺮ‪ ‬ﻛﹸﻞﱡ ﻭ‪‬ﺍﺣ‪‬ﺪ‪ ‬ﻣ‪‬ﻨ‪‬ﺎ ﺑ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪‬ﻩ‪‬‬

‫ﻓﹶﺠ‪‬ﻌ‪‬ﻠﹶﺖ‪ ‬ﺗ‪‬ﻨ‪‬ﻈﹸﺮ‪ ‬ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﺮ‪‬ﺟ‪‬ﻠﹶﻴ‪‬ﻦﹺ ﻭ‪‬ﻳ‪‬ﺮ‪‬ﺍﻫ‪‬ﺎ ﺻ‪‬ﺎﺣ‪‬ﺒﹺﻲ ﺗ‪‬ﻨ‪‬ﻈﹸﺮ‪ ‬ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻋ‪‬ﻄﹾﻔ‪‬ﻬ‪‬ﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺑ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪ ‬ﻫ‪‬ﺬﹶﺍ ﺧ‪‬ﻠﹶﻖ‪ ‬ﻭ‪‬ﺑ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪‬ﻱ ﺟ‪‬ﺪ‪‬ﻳﺪ‪‬‬

‫ﻏﹶﺾ‪ ‬ﻓﹶﺘ‪‬ﻘﹸﻮﻝﹸ ﺑ‪‬ﺮ‪‬ﺩ‪ ‬ﻫ‪‬ﺬﹶﺍ ﻟﹶﺎ ﺑ‪‬ﺄﹾﺱ‪ ‬ﺑﹺﻪ‪ ‬ﺛﹶﻠﹶﺎﺙﹶ ﻣ‪‬ﺮ‪‬ﺍﺭﹴ ﺃﹶﻭ‪ ‬ﻣ‪‬ﺮ‪‬ﺗ‪‬ﻴ‪‬ﻦﹺ ﺛﹸﻢ‪ ‬ﺍﺳ‪‬ﺘ‪‬ﻤ‪‬ﺘ‪‬ﻌ‪‬ﺖ‪ ‬ﻣ‪‬ﻨ‪‬ﻬ‪‬ﺎ ﻓﹶﻠﹶﻢ‪ ‬ﺃﹶﺧ‪‬ﺮ‪‬ﺝ‪ ‬ﺣ‪‬ﺘ‪‬ﻰ ﺣ‪‬ﺮ‪‬ﻣ‪‬ﻬ‪‬ﺎ‬

‫ﺭ‪‬ﺳ‪‬ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﺻ‪‬ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‪ ‬ﻋ‪‬ﻠﹶﻴ‪‬ﻪ‪ ‬ﻭ‪‬ﺳ‪‬ﻠﱠﻢ‪ ‬ﻭ ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺃﹶﺣ‪‬ﻤ‪‬ﺪ‪ ‬ﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﺳ‪‬ﻌ‪‬ﻴﺪ‪ ‬ﺑ‪‬ﻦﹺ ﺻ‪‬ﺨ‪‬ﺮﹴ ﺍﻟﺪ‪‬ﺍﺭﹺﻣ‪‬ﻲ‪ ‬ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﺃﹶﺑ‪‬ﻮ ﺍﻟﻨ‪‬ﻌ‪‬ﻤ‪‬ﺎﻥ‪‬‬

‫ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﻭ‪‬ﻫ‪‬ﻴ‪‬ﺐ‪ ‬ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨ‪‬ﺎ ﻋ‪‬ﻤ‪‬ﺎﺭ‪‬ﺓﹸ ﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﻏﹶﺰﹺﻳ‪‬ﺔﹶ ﺣ‪‬ﺪ‪‬ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺍﻟﺮ‪‬ﺑﹺﻴﻊ‪ ‬ﺑ‪‬ﻦ‪ ‬ﺳ‪‬ﺒ‪‬ﺮ‪‬ﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠ‪‬ﻬ‪‬ﻨﹺﻲ‪ ‬ﻋ‪‬ﻦ‪ ‬ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‪ ‬ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺧ‪‬ﺮ‪‬ﺟ‪‬ﻨ‪‬ﺎ ﻣ‪‬ﻊ‪ ‬ﺭﺳ‪‬ﻮﻝﹺ‬
61

‫ ﺫﹶﺍﻙ‬‫ﻠﹸﺢ‬‫ﺼ‬‫ﻞﹾ ﻳ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺯ‬‫ﺮﹴ ﻭ‬‫ ﺑﹺﺸ‬‫ﻳﺚ‬‫ﺪ‬‫ﺜﹾﻞﹺ ﺣ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻜﱠﺔﹶ ﻓﹶﺬﹶﻛﹶﺮ‬‫ﺢﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻣ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ﺎﻡ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬

‫ﺢ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ﺬﹶﺍ ﺧ‬‫ ﻫ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺑ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻓ‬‫ﻭ‬


Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil Fudlail bin Husain Al Jahdari
telah menceritakan kepada kami Bisyr yaitu Ibnu Mufadldlal telah menceritakan
kepada kami Umarah bin Ghaziyyah dari Ar Rabi' bin Sabrah bahwa ayahnya
pernah ikut perang Fathu Makkah bersama Rasulullah saw, dia berkata, Kami
tinggal di Makkah selama lima belas hari dan malam, lantas Rasulullah saw
memberikan izin kepada kami melakukan nikah mut'ah. Lalu saya bersama seorang
dari kaumku pergi mencari seorang wanita untuk kami nikahi secara mut'ah, saya
lebih tampan dari saudaraku yang memang dia agak jelek daripadaku. Masing-
masing dari kami membawa kain baju (untuk mas kawin), tetapi baju telah usang,
sedangkan baju sepupuku masih baru dan halus. Sesampainya kami di bawah kota
Makkah atau di atasnya, kami bertemu seorang wanita muda yang cantik dan
berleher panjang. Lantas kami bertanya kepadanya, maukah kamu menerima salah
satu dari kami untuk kawin mut'ah denganmu?" Dia menjawab, apa ganti
(maskawin) yang akan kalian berikan?" Lalu masing-masing dari kami
memperlihatkan baju yang telah kami siapkan sebelumnya, sementara itu, wanita
tersebut sedang memperhatikan kami berdua, saudara sepupuku melihat
kepadanya sambil berkata, sesungguhnya baju yang ini sudah usang, sedangkan
bajuku masih bagus dan halus. Wanita tersebut berkata, baju usang ini juga tak
masalah. Dia mengatakannya sampai tiga kali atau dua kali. Kemudian saya nikah
mut'ah dengannya. Saya tidak keluar dari (Makkah) sehingga Rasulullah saw
mengharamkannya. Dan telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Sa'id bin Shakhr
Ad Darimi telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man telah menceritakan
kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami 'Umarah bin Ghaziyyah
telah menceritakan kepadaku Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani dari Ayahnya dia
berkata, Kami pernah keluar bersama Rasulullah saw pada hari penaklukan kota
Makkah menuju Makkah, kemudian dia menyebutkan seperti haditsnya Bisyr
dengan menambahkan, Gadis itu berkata, apakah hal itu bolah? Dan ada juga
tambahan (kata sepupu Sabrah); "Sesungguhnya kain burdah yang ini sudah
using.115

‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﺑﹺﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﻡ‬‫ﻄﹶﺎﺀٌ ﻗﹶﺪ‬‫ﺞﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺍﻕﹺ ﺃﹶﺧ‬‫ﺯ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺍﻧﹺﻲ‬‫ﻠﹾﻮ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻭ ﺣ‬

‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﻢ‬‫ﻌ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻧ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺫﹶﻛﹶﺮ‬‫ﺎﺀَ ﺛﹸﻢ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻡ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﺄﹶﻟﹶﻪ‬‫ ﻓﹶﺴ‬‫ﻪ‬‫ﺰﹺﻟ‬‫ﻨ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺍ ﻓﹶﺠﹺﺌﹾﻨ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬

‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻋ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﻭ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬


Dan telah menceritakan kepada kami Al Hasan Al Hulwani telah menceritakan
kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata,
Atha` berkata, Jabir bin Abdullah kembali dari menunaikan Umrah, lalu kami pun
115
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992) , jilid. 1, h. 650, no hadits 2501
62

menemuinya di rumahnya, dan orang-orang pun bertanya kepadanya tentang


berbagai persoalan. Kemudian mereka pun menyebutkan tentang nikah mut'ah,
maka Jabir menjawab, ya, kami pernah melakukan nikah mut'ah pada masa
Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar. 116
‫ﻦ‬‫ﺓﹸ ﺑ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻧﹺﻲ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺎﺏﹴ ﺃﹶﺧ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬‫ﺲ‬‫ﻮﻧ‬‫ﻧﹺﻲ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺐﹴ ﺃﹶﺧ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻰ ﺃﹶﺧ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺑ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬

‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺼ‬‫ﻰ ﺃﹶﺑ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺃﹶﻋ‬‫ ﻛﹶﻤ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻪ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑ‬ ‫ﻰ ﺍﻟﻠﱠ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺃﹶﻋ‬‫ﺎﺳ‬‫ﻜﱠﺔﹶ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﻧ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﺮﹺ ﻗﹶﺎﻡ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺮﹺﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﺍﻟﺰ‬

‫ﺎﻡﹺ‬‫ﺪ ﺇﹺﻣ‬ ‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ﻞﹸ ﻋ‬‫ﻔﹾﻌ‬‫ﺔﹸ ﺗ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﺮﹺﻱ ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻌ‬‫ﺎﻑ‬‫ ﺟ‬‫ ﻟﹶﺠﹺﻠﹾﻒ‬‫ﻚ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻧ‬‫ﺍﻩ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻞﹴ ﻓﹶﻨ‬‫ﺟ‬‫ ﺑﹺﺮ‬‫ﺽ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬

‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹾﺘ‬‫ ﹶﻓﻌ‬‫ﻦ‬‫ ﻟﹶﺌ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻓﹶﻮ‬‫ﻔﹾﺴِﻚ‬‫ ﺑﹺﻨ‬‫ﺏ‬‫ﺮ‬‫ﺮﹺ ﻓﹶﺠ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﺑ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﲔ‬‫ﻘ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬

‫ﺲ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﺟ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻒ‬‫ﻴ‬‫ﻦﹺ ﺳ‬‫ﺎﺟﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻧﹺﻲ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺎﺏﹴ ﻓﹶﺄﹶﺧ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬‫ﺎﺭﹺﻙ‬‫ﺠ‬‫ ﺑﹺﺄﹶﺣ‬‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫ﺟ‬‫ﻟﹶﺄﹶﺭ‬

‫ﺎ‬‫ﻠﹰﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻣ‬‫ﻬ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺭﹺﻱ‬‫ﺼ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ ﺑﹺﻬ‬‫ﻩ‬‫ﺮ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻣ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ﺘ‬‫ﻞﹲ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬‫ﺎﺀَﻩ‬‫ﻞﹴ ﺟ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ﻋ‬

‫ﻠﹶﺎﻡﹺ‬‫ﻝﹺ ﺍﻟﹾﹺﺈﺳ‬‫ﻲ ﺃﹶﻭ‬‫ﺔﹰ ﻓ‬‫ﺼ‬‫ﺧ‬‫ ﺭ‬‫ﺖ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ﺓﹶ ﺇﹺﻧ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬‫ﲔ‬‫ﻘ‬‫ﺘ‬‫ﺎﻡﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺇﹺﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻲ ﻋ‬‫ ﻓ‬‫ﻠﹶﺖ‬‫ ﻓﹸﻌ‬‫ ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﻲ‬‫ﻫ‬

‫ﺎﺏﹴ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻳﻦ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻜﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﺰﹺﻳﺮﹺ ﺛﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻢﹺ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻟﹶﺤ‬‫ﻡﹺ ﻭ‬‫ﺍﻟﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻬ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ﻄﹸﺮ‬‫ ﺍﺿ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ﻟ‬

‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻲ ﻋ‬‫ ﻓ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺪ‬‫ﺎﻩ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺃﹶﺑ‬‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻬ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺑﹺﻴﻊ‬‫ﻧﹺﻲ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬‫ﻭ‬

‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﻦﹺ ﺛﹸﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺣ‬‫ﻳ‬‫ﺩ‬‫ﺮ‬‫ﺮﹴ ﺑﹺﺒ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻨﹺﻲ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺃﹶﺓﹰ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻣ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻭ‬

‫ﺲ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ﺰﹺﻳﺰﹺ ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺙﹸ ﺫﹶﻟ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ﺓﹶ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺑﹺﻴﻊ‬‫ ﺭ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺳ‬‫ﺎﺏﹴ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬
Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya telah mengabarkan
kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus. Ibnu Syihab berkata;
telah mengabarkan kepadaku 'Urwah bin Az-Zubair bahwa Abdullah bin Az-Zubair
tinggal di Makkah, lantas dia berkata, sesungguhnya Allah telah membutakan hati
orang-orang sebagaimana Dia membutakan penglihatan mereka, karena mereka
telah melakukan nikah mut'ah, tiba-tiba nampaklah seorang laki-laki sambil
menyerunya, sesungguhnya kamu orang yang bodoh, demi hidupku, sungguh nikah
mut'ah telah berlaku sejak zaman imam Muttaqin, maksudnya adalah Rasulullah
saw. Ibnu Umar pun berkata kepadanya, coba kamu lakukan, demi Allah jika kamu
melakukannya sungguh saya akan merajammu dengan bebatuan. Ibnu Syihab
berkata, telah mengabarkan kepadaku Khalid bin Muhajir bin Saifullah bahwa
ketika dia sedang duduk-duduk bersama seorang laki-laki, tiba-tiba seorang laki-
laki datang meminta fatwa kepadanya tentang nikah mut'ah. Dia (Khalid) pun

116
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640 no hadits 2496
63

membolehkannya, maka Ibnu Abi 'Amrah Al Anshari berkata kepadanya, tunggu


dulu!, lantas dia (Khalid) berkata, kenapa? Demi Allah hal itu pernah dilakukan di
masa Imamul Muttaqin (yaitu Rasulullah saw). Ibnu Abi 'Amrah berkata
kepadanya, Memang, nikah mut'ah pernah dibolehkan pada masa permulaan Islam
karena terpaksa, sebagaimana bolehnya memakan bangkai, darah dan daging babi
(dalam kondisi terpaksa), namun Allah telah menetapkan hukum dalam agama-Nya
dan melarang melakukannya. Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku
Rabi' bin Sabrah Al Juhani bahwa ayahnya berkata, sungguh saya pernah
melakukan nikah mut'ah di masa Rasulullah saw dengan wanita dari Bani 'Amir
dengan maskawin dua kain burdah berwarna merah, kemudian Rasulullah saw
melarang melakukan nikah mut'ah. Ibnu Syihab berkata, Saya mendengar Rabi' bin
Sabrah telah menceritakan hal itu kepada Umar bin Abdul Aziz sedangkan saya
duduk disampingnya.117

Imam al-Bukhari juga mencatat beberapa hadits yang menjelaskan

bahwa nabi saw telah mengizinkan melakukan nikah muth’ah dalam keadaan

tertentu. Diantara hadits yang mengisyaratkan dibolehkannya muth’ah adalah

sebagai berikut:

‫ﺑﻦﹺ‬ ‫ﺔﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﻦﹺ ﺑ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻭ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻥﹸ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻋ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻥﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺃﹸﺫ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﻪ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻧ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻮﻝﹸ ﺭ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﺎﻧ‬‫ﺶﹴ ﻓﹶﺄﹶﺗ‬‫ﻴ‬‫ﻲ ﺟ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻉﹺ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﻛﹸﻨ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮ‬

‫ﻋﻦ‬ ‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻉﹺ ﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻦ ﺳ‬ ‫ ﺑ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺇﹺﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺋﹾﺐﹴ ﺣ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫ‬‫ﻦ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬

‫ﺎ‬‫ﺒ‬‫ﺎﻝﹴ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺃﹶﺣ‬‫ﺎ ﺛﹶﻠﹶﺎﺙﹸ ﻟﹶﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﺓﹸ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﺍﻓﹶﻘﹶﺎ ﻓﹶﻌ‬‫ﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﺃﹶﺓ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻣ‬‫ﻞﹴ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬

‫ﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺒ‬‫ﻮ ﻋ‬‫ﺔﹰ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺎﺱﹺ ﻋ‬‫ﻠﻨ‬‫ ﻟ‬‫ﺔﹰ ﺃﹶﻡ‬‫ﺎﺻ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﺀٌ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻨ‬‫ﻲ‬‫ﺭﹺﻱ ﺃﹶﺷ‬‫ﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ﻛﹶﺎ ﻓﹶﻤ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺘ‬‫ﻛﹶﺎ ﺗ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺘ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﺍ ﺃﹶﻭ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻳ‬‫ﺰ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬

‫ﻮﺥ‬‫ﺴ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻭ‬
Telah menceritakan kepada kami Ali, telah menceritakan kepada kami
Sufyan, telah berkata Amru dari Al Hasan bin Muhammad dari Jabir bin
Abdullah dan Salamah bin Al Akwa' keduanya berkata, ketika kami berada
dalam suatu pasukan perang, Rasulullah saw mendatangi kami dan bersabda,
sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah Mut'ah, karena
itu lakukanlah. Ibnu Abu Dzi`b berkata, telah menceritakan kepadaku Iyas bin
Salamah bin Al Akwa' dari bapaknya dari Rasulullah saw Bilamana seorang
laki-laki dan perempuan telah bersepakat, maka batas maksimal antara mereka

117
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), , jilid. 1, h. 640 no hadits 2508.
64

berdua adalah tiga malam. Jika keduanya suka, maka keduanya boleh
menambah, atau pun berpisah. Aku tidak tahu, apakah perkara itu adalah
khusus bagi kami, ataukah juga orang lain secara umum. Abu Abdullah berkata,
Dan Ali menjelaskan dari Nabi Saw, bahwa perkara tersebut telah Mansukh
dihapus.118

‫ﻋﻦ‬ ‫ﻞﹶ‬‫ﺌ‬‫ﺎﺱﹴ ﺳ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹸ ﻋ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﻏﹸﻨ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺭﹴ ﺣ‬‫ﺸ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻩ‬‫ﻮ‬‫ﺤ‬‫ ﻧ‬‫ﻠﱠﺔﹲ ﺃﹶﻭ‬‫ﺎﺀِ ﻗ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﻨ‬‫ﻓ‬‫ ﻭ‬‫ﻳﺪ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻝﹺ ﺍﻟﺸ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻓ‬‫ﻚ‬‫ﺎ ﺫﹶﻟ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻟﹰﻰ ﻟﹶﻪ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ﺎﺀِ ﻓﹶﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻣ‬

‫ﻢ‬‫ﻌ‬‫ﺎﺱﹴ ﻧ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬


Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Ghundar, telah menceritakan kepada kami Syu'bah
dari Abu Jamrah ia berkata; Aku mendengar Ibnu Abbas ketika ia ditanya
mengenai nikah Mut'ah, lalu ia memberi rukhshah. Maka bekas budaknya pun
berkata, sesungguhnya yang demikiannya itu hanya boleh pada saat seseorang
memang berada dalam keadaan yang sangat memperihatinkan dan ketika
wanita sangat sedikit. Maka Ibnu Abbas berkata, ya, benar.119

Imam Muslim mencatat bahwa yang mengharamkan muth’ah adalah Umar

bin Khatab, berdasarkan hadits berikut ini.

‫ﺎﹺﺑﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺮﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻮ ﺍﻟﺰ‬‫ﻧﹺﻲ ﺃﹶﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺞﹴ ﺃﹶﺧ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺍﻕﹺ ﺃﹶﺧ‬‫ﺯ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻊﹴ ﺣ‬‫ﺍﻓ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻴﻖﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻳ‬‫ﻗ‬‫ﺍﻟﺪ‬‫ﺮﹺ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺔ‬‫ﻀ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﻘﹶﺒ‬‫ﻊ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﻘﹸﻮﻟﹸﺎ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺑ‬

‫ﺚ‬‫ﻳ‬‫ﺣﺮ‬ ‫ﻦﹺ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﺄﹾﻥ‬‫ﻲ ﺷ‬‫ ﻓ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻰ ﻧ‬‫ﺘ‬‫ﻜﹾﺮﹴ ﺣ‬‫ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻋ‬
Muhammad Ibn Rafi’ telah menceritakan kepadaku, telah menceritakan
kepada kami Abdurrazak, telah mengkhabarkan kepada kami Juraij, telah
menceritakan kepadaku Ab al Zubair berkata, aku mendengar Jabir bin
Abdullah berkata, kami melakukan muth’ah dengan segenggam kurma dan
tepung beberapa hari pada masa Rasulallah saw dan Abu Bakar hingga Umar
melarangnya pada kasus Amr bin Huraits.120

118
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 13. No hadits 4725.
119
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 15. No hadits 4724.
120
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), jilid, 1, h. 641. no hadits 642
65

‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹸﻨ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ﻢﹴ ﻋ‬‫ﺎﺻ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺍﻭﹺﻱ‬‫ﻜﹾﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺎﹺﺑﺮ‬‫ﻦﹺ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺟ‬‫ﻴ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﹶﻔﹶﺎ ﻓ‬‫ﺘ‬‫ﺮﹺ ﺍﺧ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬‫ﺎﺱﹴ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﺑ‬‫ ﺁﺕ‬‫ﺎﻩ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺗ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ‬‫ﺟ‬

‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﻧ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻋﻤ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ ﺛﹸﻢ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﻊ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻫ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻓﹶﻌ‬
Telah menceritakan kepadaku Hamid Ibn Umar al Bakrawi, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahid dari ‘Ashim dari Abu Nadhrah berkata,
aku disisi Jabir ibn Abdullah lalu datang orang kepadanya, seraya berkata,
sesungguhnya ibn Abbas dan Ibn Zubair pada masa lalu melakukan muth’ah,
lalu Jabir berkata, kami melakukannya bersama Rasulallah saw kemudian
Umar melarangnya hingga kami tidak mengulanginya.121

Para ulama telah berbeda pendapat dalam penetapan hukum muth’ah.

Apabila ditelusuri tentang hadits-hadits yang melarang muth’ah di peperangan

khaibar, maka kita akan mendapatkan Sufyan yang mengatakan bahwa hadits-

hadits pelarangan muth’ah di khaibar tidak ada, yang ada di khaibar adalah

pelarangan memakan keledai piaraan. Menurutnya bahwa pelarangan muth’ah

dalam hadits khaibar adalah tambahan saja, tidak berasal dari nabi Muhammad

saw. Maka apabila hadits-hadits itu mau dijadikan sebagai penasakh dari hadits-

hadits yang membolehkan atau memberikan dispensasi muth’ah, tentu tidak

layak karena bagaimana mungkin dapat menasakh suatu suatu hadits kalau

dikalangan ulama masih memperselisihkan keberadaannya.

Menurut Sayyid Murtadha al Askari hadits-hadits yang membolehkan

atau mengizinkan muth’ah dan kondisi obyektif bahwa pada masa Rasulallah

saw dan Abu Bakar ada sebagian sahabat melakukan muth’ah menunjukkan

bahwa muth’ah itu tetap disyariatkan. Menurutnya yang melakukan pelarangan

muth’ah adalah Umar ibn Khattab dan sejak itulah nikah muth’ah menjadi

121
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), , jilid.1, h. 640 no hadits 642.
66

haram di dunia Islam.122 Muth’ah adalah dispensasi bagi umat Nabi Muhammad

Saw dalam kondisi tertentu, sebagaimna keterangan hadits dibawah ini:

،‫ﲔﹴ‬‫ﺼ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺲ‬‫ﺎ ﻗﹶﻴ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺎﻥﹶ‬‫ﻮ ﻏﹶﺴ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻴﻢﹴ‬‫ﻜ‬‫ﻦﹺ ﺣ‬‫ﺎﻥﹶ ﺑ‬‫ﺜﹾﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺔﹰ‬‫ﺼ‬‫ﺧ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﺔﹸ ﻟﹶﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹶﺎﻧ‬:‫ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫﹶﺭ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻲ‬‫ﻤ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
Telah menceritakan kepada kami Usman bin Hakim berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Gassan berkata, telah menceritakan kepada
kami Qais dari Abi Hushin dari Ibrahim al Timi dari ayahnya dari Ab Dzar
berkata, Muth’ah adalah ruskhsah (dispensasi) bagi kita.

Secara faktual bahwa diantara sahabat ada yang melakukan muth’ah baik

pada masa nabi maupun pada masa Abu Bakar. Muth’ah adalah rukhsah dalam

kondisi tertentu yang sangat genting dan tidak ada jalan lain kecuali muth’ah.

Hadits-hadits yang membolehkan muth’ah adalah hadits-hadits shahih yang

diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagaimana dikemukakan diatas. Saat

Ibn Umar ditanya, wahai Ibnu Umar, Rasulallah Saw telah membolehkan

muth’ah namun ayahmu Umar ibn Khattab melarangnya bagaimana hukumnya?

Ibn Umar menjawab, kalau ada pendapat Umar dan

Rasulallah Saw tentu, pilihlah pendapat Rasulallah Saw.

‫ ﹺﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﻋ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻞﹲ ﻋ‬‫ﻘ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺒﹺﻴﺐﹴ ﺣ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹸ ﺑ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻲ ﺳ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻠﱠ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻬ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺑﹺﻴﻊ‬‫ﺎ ﺍﻟﺮ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺰﹺﻳﺰﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬
‫ﺌﹰﺎ ﻓﹶﻠﹶﺎ‬‫ﻴ‬‫ﻄﹶﻰ ﺷ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺃﹶﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻴ‬‫ﻡﹺ ﺍﻟﹾﻘ‬‫ﻮ‬‫ﺬﹶﺍ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻳ‬‫ ﻫ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻬ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻟﹶﺎ ﺇﹺﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ﻧ‬
‫ﺬﹾﻩ‬‫ﺄﹾﺧ‬‫ﻳ‬
Dan telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib telah
menceritakan kepada kami Al Hasan bin A'yan telah menceritakan kepada kami
Ma'qil dari Ibnu Abi Ablah dari Umar bin Abdul Aziz dia berkata, telah
menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Sabrah Al Juhani dari ayahnya bahwa
Rasulullah saw melarang melakukan nikah mut'ah seraya bersabda, ketahuilah,

122
Sayyid Murthada al Askari, Ma’alim al Madrasatain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994)
jilid.2, hlm. 359
67

bahwa (nikah mut'ah) adalah haram mulai hari ini sampai hari Kiamat, siapa
yang telah memberi sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut'ah,
janganlah mengambilnya kembali123.

Sehingga kalau dihimpun hadits-hadits yang menyebutkan, pelarangan

nikah mut’ah terdapat dalam beberapa kali waktu dan tempat. Hal ini tercermin

dari adanya hadits pelarangan mut’ah dalam berbagai versi, antara lain:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Al-Hasan bin Muhammad bin Ali

‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﻧﹺﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬،‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬،‫ﺔﹶ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻴﻞﹶ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻦﹺ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﻋ‬،‫ﺎ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻬﹺﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻮﻩ‬‫ﺃﹶﺧ‬‫ ﻭ‬،‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻣ‬

‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﺯ‬‫ﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻠ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻫ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻡﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻟﹸﺤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬:‫ﺎﺱﹴ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬
Telah menceritakan kepada kami Malik bin Sufyan, telah menceritakan
kepada kami Ibn Uyainah, bahwa dia mendengar al Zuhri berkata, al
Hasan bin Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad
telah mengkhabarkan kepadaku dari ayahnya, bahwa Ali ra berkata kepada
Ibn Abbas, sesungguhnya nabi melarang muth’ah dan memakan daging
keledai piaraan pada masa khaibar.124

2. Hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Umais, dari Iyas bin Salamah,

‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺲ‬‫ﻮﻧ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻰ ﺣ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺩ‬‫ﺍﻭ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬‫ﺒﹺﻰ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ﺔﹶ ﻋ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻦﹺ ﺳ‬‫ﺎﺱﹺ ﺑ‬‫ ﺇﹺﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺲﹴ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻮ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨﹺﻰ ﺃﹶﺑ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﺯﹺﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﺍﻟﹾﻮ‬

.‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﻧ‬‫ﺎﻡﹴ ﺛﹸﻢ‬‫ﻃﹶﺎﺱﹴ ﺛﹶﻼﹶﺛﹶﺔﹶ ﺃﹶﻳ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺎﺀِ ﻋ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻰ ﻣ‬‫ ﻓ‬‫ﺺ‬‫ﺧ‬‫ﻭﺳﻠﻢ ﺭ‬
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Abi Daud, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibn Yahya, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibn Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdul
wahid ibn Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Umais dari Iyas ibn
Salamah dari ayahnya bahwa nabi saw memberikan dispensasi untuk
muth’ah nisa pada am authas tiga hari, kemudian beliau melarangnya.125
123
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), jilid.1, h. 640 no hadits 2509.
124
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid 7 h. 12. No hadits 5115
125
Daruquthi, Sunan Daruquthni, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2003) jilid, 8, h. 453 hadis yang
senada juga diriwayatkan dalam al Sunan al Kubra , jilid, 7, hlm. 204.
68

3. Hadits yang diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani meriwayatkan dari ayahnya,

dari kakeknya:

‫ﻚ‬‫ﻠ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺇﹺﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬،‫ﻡ‬‫ ﺁﺩ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬،‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ ﺇﹺﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﻕ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﺇﹺﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ »ﺃﹶﻣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻩ‬‫ﺪ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ ﺃﹶﺑﹺﻴﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﻨﹺﻲ‬‫ﻬ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﺳ‬‫ﺑﹺﻴﻊﹺ ﺑ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺮ‬‫ﺑ‬

«‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻬ‬‫ﻰ ﻧ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺨ‬‫ ﻧ‬‫ ﻟﹶﻢ‬‫ ﺛﹸﻢ‬،‫ﻜﱠﺔﹶ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﺧ‬‫ ﺩ‬‫ﲔ‬‫ ﺣ‬،‫ﺢﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺘ‬‫ﺎﻡ‬‫ ﻋ‬‫ﺔ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻭ‬
“Rasulullah saw di hari Fatkhul Makkah mengizinkan kami melakukan
nikah mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah, kemudian kami tidak
keluar dari Makkah, sampai beliau melarang kami melakukan nikah
mut’ah.”126
4. Hadits diriwayatkan oleh Abdul Warits, dari Isma’il bin Umayyah, dari az-

Zuhri berkata:

‫ﺎ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹸﻨ‬‫ﺮﹺﻯ‬‫ﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ﺔﹶ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹸﻣ‬‫ﻴﻞﹶ ﺑ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﺭﹺﺙ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺩ‬‫ﺪ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺓﹶ ﺃﹶﺷ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺑﹺﻴﻊ‬‫ ﺭ‬‫ﻘﹶﺎﻝﹸ ﻟﹶﻪ‬‫ﻞﹲ ﻳ‬‫ﺟ‬‫ ﺭ‬‫ﺎﺀِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﺴ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺬﹶﺍﻛﹶﺮ‬‫ﺰﹺﻳﺰﹺ ﻓﹶﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻨ‬‫ﻋ‬

.‫ﺍﻉﹺ‬‫ﺩ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺔ‬‫ﺠ‬‫ﻰ ﺣ‬‫ﺎ ﻓ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻬ‬‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺙﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺃﹶﻧ‬‫ﻋ‬
Musaddad bin Musarhad telah menceritakan kepada kami, telah
menceritakan keapda kami Abdul waris dari Ismail bin Umayyah dari al
Zuhri berkata, kami bersama disis Umar bin Abdul Aziz, kami sedang
mendiskusikan tentang muth’ah al nisa’, lalu berkata seorang laki-laki yaitu
Rabi bin Sabrah, aku bersaksi atas ayahku bahwa dia telah menceritakan
bahwa Rasulallah saw telah melarang muth’ah nisa pada saat haji
wada’.127

5. Ibnu Rusydi menulis, bahwa pelarangan nikah mut’ah juga terjadi pada

waktu Umrah Qadha’,128 namun tidak dicantumkan sumber haditsnya.

126
Al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy an-Naisaburi, Shahih Muslim,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid II h. 1022-1023, dalam ”Kitab an-Nikah”, hadits no. 22.
127
Abu Daud Slaiman al asy’ats al Sajastani, Sunan Abi Daud, (Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam,
2003) jilid, 1, h. 476
128
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibn Rusydi al- Qurthubi,
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid, (“tnp.”, “tkp.”, 1960), Juz I: 58, dalam “Kitab Nikah”.
69

Dengan melihat informasi kelima hadits diatas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa nasakh nikah mut’ah, terjadi dalam lima kali tempat dan

waktu. Masing-masing, jika diurutkan tahunnya, adalah sebagai berikut:

1. Perang Khaibar, terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriyah. Nabi

Muhammad Saw memperbolehkan.

2. Umrah al-Qadha’, terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun 7 Hijriyah. Nabi

Muhammad Saw melarang.

3. Fatkh Makkah, terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijriyah. Nabi

Muhammad Saw memperbolehkan.

4. Perang Authas (Hunain), terjadi pada bulan Syawwal tahun 8 Hijriyah.

Nabi Muhammad Saw melarang.

5. Haji Wada’, terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah. Nabi

Muhammad Saw melarang.

Setelah mengkaji informasi tahun terjadinya pelarangan mut’ah riwayat

hadits-hadits diatas, maka bisa disimpulkan bahwa hadits yang terjadi pada

peristiwa haji wada’ ialah statusnya sebagai nāsikh dan sekaligus hadits yang

paling terakhir secara hitungan tahun terjadinya.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Jasser terkait nasakh nikah

mut’ah secara eksplisit hukum itu tidak diberlakukan lagi selamanya,

sebagaimana keterangan dalam kitabnya fiqh al-Maqasid.129

Terlepas dari perdebatan diatas, peneliti lebih mempertimbangkan hal yang

paling mendasar mengenai nâsikh tersebut apakah ia berarti pembatalan secara

totalitas atau penghapusan yang sifatnya permanen dan final atau hanya sekedar

129
Jasser Auda, Fiqh al-Maqasid (London; Internasional Institute Of Islamic Thought, 2006), h. 173
70

penghentian sementara dan karenanya masih terbuka kemungkinan untuk

dipertimbangkan kembali pemberlakuannya.

Kesan adanya dua hadits yang bertentangan dapat diselesaikan melalui cara

pandang historisitas teks atau pembacaan kontekstual. Mengingat bahwa hadits-

hadits Nabi Saw, terjadi dalam ruang dan waktu sosial yang berbeda dan dengan

begitu juga audien yang berbeda-beda. Disamping itu pula otoritas penuh

terjadinya nasakh disaat Nabi Saw, masih hidup tentunya hal ini menjadi

problem ketika Nabi Saw, wafat lantas kemudian apakah hukum mati,

sedangkan problem umat terus kompleks dan dinamis.


71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka kesimpulan utama dari

skripsi ini bahwa

1. Banyak ditemukan hadits-hadits yang secara substansi diperbolehkannya nikah

mut’ah dan juga memuat hadits-hadits yang bermatan larangan nikah mut’ah.

Adapun larangan tersebut terjadi dalam beberapa kali peristiwa dan masa yang

berbeda, yakni pada waktu Perang Khaibar, Fatkh Makkah, Haji Wada’, Umrah

al-Qadha’ dan Perang Authas. Hadits larangan nikah mut’ah yang paling

terakhir pada Peristiwa haji wada’ secara hitungan tahun terjadinya.

2. Teori nāsikh mansūkh merupakan analisis utama dalam penelitian skripsi ini,

sekaligus sebagai manhaj metodologi kerangka berfikir dalam menyikapi hadist-

hadits yang secara lahir kontradiktif, dengan pendekatan melacak fakta sejarah

waktu munculnya hadits-hadits nikah mut’ah maka setatus hadits tersebut bisa

diketahui. Dan pola nasakh hadits nikah mut’ah yang terjadi lebih dari satu kali

ternyata tidak mempengaruhi hukum. Hal ini merupakan jawaban dari rumusan

masalah yang ada di pendahuluan.

3. Nāsikh mansūkh bukan bagian dari solusi paripurna untuk menyelesaikan

hadits-hadits yang kontradiktif sehingga hukum yang statusnya mansūkh

berpotensi untuk lahir kembali dengan syarat maslahah.

71
72

a. Saran-saran

Saran-saran yang penulis sampaikan dalam skripsi ini ialah bahwa penelitian ini

bukan merupakan hasil akhir. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan untuk diuji

kembali oleh para pakar ahli hadis, intelektual ahli hukum, ushul fiqh, khususnya

jurusan tafsir hadits karena dalam penelitian kecil ini penulis hanya mengkaji nasikh

mansukh yang terjadi pada hadits nikah mut’ah. Untuk itu penulis perlu sampaikan

saran sebagai berikut:

1. Perlu dikaji secara mendalam nāsikh mansūkh hadits nikah mut’ah dengan

melacak sahabat, tabi’in, dan orang-orang terlibat dalam periwayatan hadits

terkait, untuk menentukan nāsikh dan mansūkh.

2. Melihat fakta sejarah terjadinya nikah mut’ah mayoritas dalam kondisi perang,

sikap nabi Muhammad Saw di saat itu memperbolehkan nikah mut’ah, namun

yang menarik untuk dikaji lebih lanjut kenapa nabi Muhammad Saw

memberikan solusi nikah mut’ah bukan dengan cara lain, misalkan poligami ?
DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Faraj, Abdurrahman bin ‘Ali. An-Nasikh wal-Mansukh. Bairut: Dar al-
Basyâir al-Islami. 1993.

Al-Adlibī, Salāh al-Dīn. Manhaj Naqd Matn ‘Inda ‘Ulamā’ al-Ḥādīth al-Nabawī
Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīd, 1983.

Abū Dawūd, Ṣaḥīḥ Abū Dāwud. Beirut: Dār al-Kitāb al-Arābī, tt.

Al-A’ẓāmī, Muṣṭāfā. Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muḥaddithīn, Jeddah: Maktabah


al-Kauthār, 1990.
al-Ahdal, Muḥammad Ḥasan Maqbūlī. Rusūkh al-Ahbār fī Mansūkh al-Akhbār,
Beirut: Maktabah al-Jīl al-Jadīd,1988.

Al-Amidī, al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām. Beirut: Dār Ibn Kathīr, tt.

al-Atsram, Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad, Nasikhul-Hadits wa


Mansukhihi, Bairut: Dar al-Basyâir al-Islami. 1994.

Abadī, Fairūz. Qamus al-Muḥīt, Maktabah Syamilah

Al-Bukhārī. Ṣa ḥīḥ al-Bukhārī, Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1987.

al-Baghdādī, al-Khatīb. al-Faqīh wa al-Mutafaqqih. Beirut; Dār al-Kitāb al-


‘Arabī. Bairut: Dar al-Basyâir al-Islami. 1996.

al-Baghdād, Abu Mansur Abdul Qahir ibn Tahir ibn Muhammad. al-Nâsikh Wa
al-Mansukh Li Ibni al-Mansuri al-Baghdadi. Bairut: Dar al-Basyâir al-
Islami. 1995.

al-Daminī, Musfīr ‘Azmullāh. Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, Riyāḍ: al-


Su’ūdiyyah, 1984.

al-Dārimī, ‘Abdullāh bin ‘Abd Raḥmān Abū Muḥammad. Sunan al-Dārimī,


tahqiq; Fawāz Aḥmad, Beirut; Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1986.

al-Fattāḥ, ‘Abd. Abū Ghuddah. Ta’līqāt al-Manār al-Munīf. Kairo: Muassasah al-
Risalah, tt

Al-Ghālī, Balqāsim. Min A’lām al-Zaytūnah; Syaikh al-Jāmi’ al-A’ẓām


Mu ḥammad al-Ṭāhir bin ‘Āshūr Ḥayātuhu wa Atharuhu, Beirut: Dār Ibn
Ḥazm, 1996.

Al-Ghazālī, al-Mustasfā, Beirut: Dār Ihyā’ Turāts al-Arābī, 1997.


Al-Ghazālī, Muḥammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna ahl al-Ḥādīth wa ahl
al-Fiqh, Kairo: Dār al-Syurūq, tt.

Al-Ḥāzimī, al-I’tibār fi al-Nāsikh Wa al-Mansūkh Min al-Atsār, Ḥams: Maṭba’ah


al-Andalūs, 1966.

al-Hindī, ‘Ālī bin Ḥisām al-Dīn al-Muttaqī. Kanz al-‘Ummāl fī Sunan al-Aqwāl
wa al-Af’āl, Beirut: Muassasah-Risālah, 1989.

Biqa’i, Ali Nâyyif. al-Ijtihad Fi Ilmi al-Hadîts Wa Atsârîhî Fi al-Fiqhi al-Islami,


Bairut: Dar al-Basyâir al-Islami. 1997.

Ḥajjāj, Muslim bin. Ṣa ḥīḥ Muslim, Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arābī, 1995.

Hanafi, Hasan. Min al-Naql ilā al-‘Aql; al-Jūz al-Thānī ‘Ulūm al-Ḥādith Min Naq
al-Sanad ila Naqd al-Matn. Kairo: Dār al-Amir, 2010

Khayyath, Usamah bin ‘Abdullāh. Mukhtalif al-Ḥādīth Bayn al-Muḥaddithīn wa


al-Uṣūliyyīn al-Fuqahā’; Dirasah Ḥadīthiyyah Uṣūliyyah Fiqhiyyah
Taḥlīlīyah” Riyādh; Dār Faḍilah, 2001.

Al-Khaṭīb, Mu’taz. Radd al-Ḥadīth min Jihāt al-Matn; Dirāsah fī Manāhij al-
Muḥaddithīn wa al-Uṣūliyyīn, Beirut: al-Syabkah al-‘Arābiyyah li al-
Abḥāth wa al-Nashr, 2011.

Khalāf, ‘Abd al-Raḥmān. Naqd Matn Baina Ṣina’āh al-Muḥaddithīn wa al-


Mustasyriqīn. Riyāḍ: Maktabah Ibn Rūshd, 1989.

Mahfudz, Muhammad Ahmad Sahal. Tharîqah al Hushûl ‘ala Ghâyah al Wushûl,


Surabaya: Diantama, 2000.

May, Asmal, Kontroversi Status Hukum Nikah Mut’ah (Analisis Terhadap


Pendapat Para Ulama) V, 46 no. I (Januari 2012) h. 15-20.

Muhsin, Masrukhin. Kritik Matan Hadis; Studi Perbandingan antara Manhaj


Muḥaddithīn Mutaqaddimīn dan Muta’akhkhirīn, Magelang: PKBM
Ngudi Ilmu, 2013.

Al-Na’īmī, Ḥamzah Abū al-Fatḥ bin Ḥusain Qāsim. al-Manhaj al-‘Ilmī lil
Ta’āmul ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah ‘Inda al-Muḥaddithīn, Jordan:
Dār al-Nafāis, 1999.

Al-Sharīf, Ḥātim bin ‘Ārif. Ikhtilāf al-Muḥaddith īn wa al-Uṣūliyyīn fī Manhaj


Naqd al-Sunnah; Waqfah Naqdiyyah li al-Fikrah, Jeddah: Markāẓ
Namā’ lil-Buḥūts wa al-Dirāṣāh, tt.

Al-Tahānawī, Ẓafar Aḥmad al-‘Ūthmanī. Qawāid fī ‘Ulūm al-Ḥadīth, Beirut:


Maktabah Nahḍah, 1972.

Al-Zuhailī, Wahbah. Ushūl Fiqh al-Islāmi, Beirut: Dār al-Fikr, 1986.

You might also like