You are on page 1of 14

1

MODUL PERKULIAHAN

W042100027 –
Cyber Culture
Sejarah Filsafat Sosial, Revolusi
Industri, Transformasi dunia
siber, Globalisasi

Abstrak Sub-CPMK

Modul ini membahas Cyber Sub-CPMK 1


Culture dari aspek Mampu memahami konsep Cyber
fenomenologi yang meliputi Culture dari segi aspek fenomenologis,
sejarah berpikir manusia sejarah filsafat sosial, revolusi industri,
yaitu filsafat sosial,
kemudian revolusi industry transformasi dunia siber, globalisasi
hingga transformasi dunia
siber dan Globalisasi

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

01
Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. &
Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi Tim Teaching
Pendahuluan
Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi realitas dalam kehidupan sehari-
hari yang tidak bisa lagi kita abaikan. Perkembangan media berteknologi internet telah
melahirkan era digital sebagai media komunikasi online yang berperan besar dalam
menyalurkan keragaman persepsi masyarakat maya kepada khalayak yang heterogen
secara cepat, luas, tanpa demarkasi ruang, dan sulit dikendalikan dengan waktu
sekalipun. Melalui media digital tersebut, unsur-unsur budaya yang dimiliki seseorang
seperti kepercayaan, nilai, sikap, pandangan dunia, organisasi sosial, tabiat manusia,
orientasi kegiatan, persepsi tentang diri dan orang lain pun bisa termediasikan secara
global kepada orang lain di belahan dunia mana pun yang berlatar belakang budaya yang
berbeda (Wazis, 2017). Pada Modul 1 ini akan mengkaji Cyber Culture dari aspek
fenomenologis diawali dengan mengkaji mengenai sejarah filsafat sosial. Hal ini perlu
dilakukan untuk memberikan pemahaman mendasar mengenai proses terbentuknya
pengetahuan dimana dalam berpikir ada beberapa fase yang dilalui oleh manusia untuk
bisa sampai pada tahap yang disebut sebagai masyarakat postmodern. Secara umum,
dengan mempelajari modul ini maka mahasiswa diharapkan dapat memahami Cyber
Culture dari segi aspek fenomenologi yang meliputi:
1. Ketepatan dalam menjelaskan Sejarah Filsafat Sosial secara lengkap
2. Ketepatan dalam menjelaskan Revolusi Industri secara lengkap
3. Ketepatan dalam menjelaskan Transformasi Dunia Siber secara lengkap
4. Ketepatan dalam menjelaskan Globalisasi secara lengkap

Sejarah Filsafat Sosial


Dalam Everyman’s Encyclopaedia (1958: 409) disebutkan bahwa filsafat sosial adalah
“aspek filsafat yang memakai metode filosofis untuk membahas masalah-masalah
kehidupan sosial dan sejarah sosial.” Sedangkan dari The Cambridge Dictionary of
Philosophy (1995), kita dapatkan definisi sebagai berikut: “Filsafat sosial, secara umum
berarti filsafat tentang masyarakat, di dalamnya termasuk filsafat ilmu sosial filsafat politik,
kebanyakan dari apa yang kita kenal sebagai etika, dan filsafat hukum” (Rahman, 2018).

Perkembangan filsafat sosial mengikuti perubahan penting dalam pandangan filosof.


Pemikiran manusia yang pada awal perkembangannya menaruh harapan yang besar
terhadap Mitos, Logos, Dogma kemudian beralih pada Logos lagi (Bungin, 2019). Berikut
sejarah perkembangan filsafat sosial:
2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
2 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
1. Mitos (Sebelum Yunani Kuno)
Mitos atau mistik merupakan sebuah fenomena fisika yang berkaitan dengan
fenomena fisik alam semesta yang juga berhubungan dengan manusia dan
realitas kehidupan manusia. Dalam ilmu fisika modern, pikiran manusia bekerja
berdasarkan kesadarannya terhadap alam semesta yang ada. Kesadaran
manusia mengenai realitas tergantung pada kerja syaraf otak. Dengan demikian
Mitos atau Mistik adalah sebuah persoalan biologis manusia dalam menangkap
fenomena alam semesta (omnijektif). Pada tahap ini pengetahuan manusia
diperoleh dari “kebatinan” dan bersumber pada kesadaran manusia dalam
membaca pergerakan alam. Pada masa ini mistik adalah solusi dari semua
permasalahan sehingga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan
manusia. Apa yang sebagai disebut sebagai opinion leader pada masa ini adalah
para mistikus yang terdiri dari orang pintar, penguasa elit sehingga masyarakat
mengikuti pemikiran para pemimpin tanpa berpikir secara rasional.
2. Logos (Yunani Kuno)
Masa ini berada pada sekitar 600 SM dimana pemikiran Mitos mulai bergeser
dengan pengetahuan rasional yang disebut dengan Logos. Pada masa ini filsuf
alam mulai mencari penjelasan rasional atau prinsip – prinsip dasar yang
melandasi fenomena alam yang pada masa sebelumnya ditutupi dengan mistik.
Mereka mempertanyakan mengenai prinsip yang mengatur alam semesta.
Misalnya, Thales (sekitar 585 SM) mengatakan bahwa air adalah asas pertama
(arkhe) dari kehidupan. Thales berargumen bahwa air dapat mengambil berbagai
macam wujud, sementara keberadaannya dianggap sebagai kehidupan itu sendiri
yang selalu bergerak. Air diyakini sebagai dasar terbentuknya alam semesta.
Pada masa ini fenomena alam dikaji secara rasional. Para filsuf mengkultuskan
alam pikiran manusia sebagai sumber dari ilmu pengetahuan.
3. Dogma (Abad Pertengahan)
Pada abad ini para filsuf kehilangan otonominya. Pemikiran pada abad ini bersifat
Teosentris yaitu berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan. Para rohaniwan
berusaha untuk merekonsiliasi akal dan wahyu. Kebenaran wahyu dibuktikan tidak
berbeda jauh dengan kebenaran yang dihasilkan oleh akal. Santo Agustinus
bahkan tidak percaya akan kekuatan semata dalam mencapai kebenaran. Singkat
kata, rasionalitas mengalami deotonomisasi dari posisinya yang semula
independen di masa Yunani Kuno, menjadi “hamba” dari teologi dimana pemikiran
para filsuf digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


3 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
4. Renaisans (Filsafat Modern)
Setelah kurang lebih sepuluh abad pemikiran berpusat pada teosentris, muncul
sebuah semangat untuk membebaskan manusia dari belenggu teologi dan
mengembalikan rasionalisme. Semangat ini yang disebut dengan Renaisans.
Munculnya Renaisans tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sumbangan para
filsuf Islam dan menerjemahkan karya-karya klasik Yunani ke dalam Bahasa Arab.
Banyak karya-karya ilmiah yang berasal dari dunia Islam yang kemudian dibawa
ke dunia Barat untuk dipelajari dan dikembangkan. Renaisans menjadi titik tolak
modernism dimana ilmu pengetahuan, filsafat, dan ideologi berkembang dengan
demikian pesatnya. Kebangkitan rasionalisme tidak lepas dari pemikiran Rene
Descartes, seorang filsuf Perancis dengan diktumnya “Cogito Ergo Sum” yang
bermakna “Saya berpikir maka saya ada”. Pada masa ini Rasio adalah sumber
satu-satunya bagi pengetahuan. Descartes memelopori aliran filsafat yang cukup
besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan yaitu rasionalisme.
5. Aufklarung (Masa Pencerahan)
Masa setelah era kebangkitan rasionalitas diikuti dengan masa pencerahan. Pada
masa ini manusia memiliki optimisme tentang kemampuannya untuk menciptakan
kemajuan ilmu pengetahuan. Pada masa ini berkembang tiga aliran pemikiran
yaitu Positivisme, Alam Simbolis, dan Posmodernisme.

Tabel.1 Perkembangan Filsafat Sosial


Mistik Logos Dogma Renaisans Aufklarung
Tunduk pada Akal manusia Kebenaran Gerakan Masa
kaum elite dan (rasio) sumber bersumber kembali ke akal pencerahan
penguasa ilmu pada wahyu pikiran manusia
pengetahuan Tuhan
Kebatinan Kemerdekaan Bergantung Penghargaan Akal manusia
akal pikiran pada elite dan pemujaan menjadi sumber
manusia gereja akan pikiran pencerahan
sebagai sumber dan peradaban
ilmu umat manusia
pengetahuan

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


4 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
Revolusi Industri
Revolusi Industri membawa perubahan besar, yakni tenaga manusia mulai digantikan
oleh tenaga mesin. Sejarah revolusi industri dimulai di Inggris pada awal abad 18 hingga
pertengahan abad 19. Dampak positif dari revolusi industri membawa Inggris ke arah
yang lebih maju dalam bidang teknologi dan pengetahuan untuk mencari informasi
misalkan pengunaan internet dan pesawat penelitian di angkasa yang mengikuti arah
globalisasi. Dampak negatifnya adalah kesejahteraan masyarakat berkurang karena
digantikannya tenaga manusia dengan mesin, sehingga berdampak pada stabilitas politik
menjadi kurang baik (Fajariah & Suryo, 2020). Dunia industri telah melalui empat tahap
revolusi yaitu Revolusi 1.0, Revolusi 2.0, Revolusi 3.0 dan Revolusi 4.0.

A. Revolusi 1.0
Revolusi Industri 1.0 ini dimulai ketika ditemukannya mesin uap di negara Inggris.
Hal ini ditandai dengan digunakannya mesin tenun mekanis bertenaga uap
pertama di dunia. Mesin tersebut digunakan untuk meningkatkan produktivitas
industri tekstil yang dulunya masih dikerjakan manual oleh tangan manusia.
Penggunaan mesin uap pun semakin berkembang ke ranah transportasi. Setelah
ditemukannya mesin uap pada tahun 1776 oleh James Watt, maka era
transportasi yang lama pun perlahan berakhir.Seiring berjalannya waktu, mesin
uap berkembang pula di berbagai industri lain. Mulai dari pertanian,
pertambangan, transportasi, sampai ke manufaktur pun mulai menggantikan
tenaga manual. Di era ini jugalah pertama kali kegiatan produksi massal terjadi.
Diketahui pendapatan per kapita negara-negara di dunia meningkat hingga 6 kali
lipat berkat terjadinya Revolusi Industri 1.0 ini.

B. Revolusi 2.0
Setelah era Revolusi Industri 1.0 berakhir pada tahun 1850-an, revolusi industri
pun masuk ke tahap selanjutnya yaitu Revolusi Industri 2.0 dengan ditemukannya
tenaga listrik. Berbeda dengan revolusi pertama yang lebih berfokus kepada
efisiensi mesin, Revolusi Industri 2.0 lebih berfokus kepada proses produksi
(assembly) itu sendiri. Salah satu contohnya adalah proses pembuatan mobil yang
pada awalnya tidak bisa dilakukan di tempat lain karena biaya yang sangat mahal,
kemudian diselesaikan dengan konsep Lini Produksi (Assembly Line) yang
memanfaatkan conveyor belt pada tahun 1913. Akibatnya proses perakitan mobil
bisa dilakukan lebih efisien oleh orang lain di tempat yang berbeda. Prinsip ini lalu
berkembang menjadi spesialisasi, dimana 1 orang hanya menangani 1 proses

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


5 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
perakitan. Dampak Revolusi Industri 2.0 lain yang paling terlihat adalah saat
Perang Dunia II, dimana kala itu produksi kendaraan perang seperti tank,
pesawat, dan senjata tempur lainnya diproduksi secara besar-besaran.

C. Revolusi 3.0
Era teknologi disebut sebagai pemicu dimulainya Revolusi Industri 3.0. Di era ini,
peran manusia di industri pun mulai dikurangi, kemudian digantikan dengan
mesin-mesin pintar berteknologi khusus yang bisa memprediksi dan membuat
keputusan sendiri. Penggunaan komputer mulai menggantikan hal-hal yang
dulunya dilakukan oleh manusia. Seperti mengirim dokumen, menghitung formula
yang rumit, sampai membuat pencatatan keuangan. Dalam dunia manufaktur,
Revolusi Industri 3.0 bisa dibilang merupakan revolusi yang sangat penting.
Mengingat manufaktur menuntut ketepatan dan ketelitian yang sangat tinggi,
dimana dua hal tersebut sangatlah sulit dilakukan oleh manusia. Penggunaan
teknologi pun menjadi sebuah solusi yang tepat, sehingga produksi dalam jumlah
yang besar dapat dilakukan secara otomatis, cepat, dan juga berkualitas.

D. Revolusi 4.0
Revolusi Industri 4.0 dimana berfokus kepada perkembangan dunia digital dan
internet (Internet of Things). Berbagai inovasi seperti robot yang terhubung ke
internet, Artificial Intelligence (AI), cloud computing, dan sebagainya berkembang
sangat pesat di era ini. Teknologi baru yang belum pernah ada sebelumnya
seperti ojek online, tarik tunai lewat ponsel, sampai warung digital pun
bermunculan di era revolusi industri terbaru ini. Dalam skala industri, Revolusi
Industri 4.0 meningkatkan kemampuan software dan internet untuk meningkatkan
efisiensi perusahaan. Salah satu contohnya adalah pengumpulan data historis
mesin oleh software yang digunakan untuk menjadwalkan maintenance bulanan
secara otomatis. Data-data tersebut nantinya akan diproses oleh algoritma,
sehingga menghasilkan keputusan logis layaknya manusia. Bahkan pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Perindustrian, mencanangkan tajuk Making
Indonesia 4.0 agar Indonesia bisa lebih siap dalam menghadapi Revolusi Industri
4.0. Hal ini salah satunya ditandai dengan diperbaikinya berbagai infrastruktur
telekomunikasi Indonesia.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


6 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
Transformasi Dunia Siber (Cyber World)
Perubahan sebuah budaya diawali dengan perubahan masyarakatnya terlebih dahulu.
Dalam kajian sosiologi, perubahan sosial adalah proses yang dialami oleh anggota
masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua
tingkat kehidupan masyarakat secara sukarela dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal
dan meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial lama.

• Perubahan sosial budaya adalah suatu variasi dari cara hidup masyarakat yang
telah diterima, baik karena perubaha kondisi geografis, kultur, demografi, ideologi,
ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di masyarakat (John Luwis
Gillin & John Phillip Gillin).

• Perubahan sosial budaya sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola


kehidupan sosial yang disebabkan oleh baik faktor internal ataupun eksternal.
Faktor internal berasal dari dalam diri manusia. Sedangkan faktor eksternal
berasal dari luar diri manusia (Samuel Koenig).

Dari pengertian di atas, kita bisa simpulkan bahwa perubahan sosial budaya merupakan
perubahan pola perilaku dan unsur-unsur sosial budaya yang memengaruhi perubahan
sistem dan struktur sosial, disebabkan oleh berbagai kondisi termasuk perkembangan
teknologi informasi (Kemkominfo, 2019).

Dengan kecanggihan teknologi saat ini masyarakat dihadapkan pada banyaknya


Informasi yang beredar (banjir informasi) dan peredarannya sangat cepat, namun
kemudahan itu membawa perubahan kondisi di bidang ideologi politik, ekonomi, social,
budaya, pertahanan dan keamanan.

Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan sebuah "ruang baru" yang bersifat
artifisial dan maya, yaitu Cyberspace. Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas
manusia di "dunia nya" ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisialnya, sehingga apapun
yang dapat dilakukan di dunia nyata kini dapat dilakukan dalam bentuk artifisialnya di
dalam cyberspace. Tidak saja berbagai aktivitas manusia kini dilakukan dengan cara yang
baru, lebih dari itu, kini tengah berlangsung transformasi terminologis secara besar-
besaran yaitu pemberian awalan “cyber” untuk hampir seluruh bidang kehidupan nyata,
yang kini telah bertransformasi menjadi kehidupan maya (Piliang, 2012).

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


7 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
Istilah cyber yang di dalam dunia teknologi berarti “sistem pengontrolan yang
menggunakan komputer”. Istilah “cyber” itu pertamakali digunakan oleh Nobert Wiener
yang mengemukakan istilah itu tahun 1948. Sementara istilah cyberspace (ruang maya)
pertama kali digunakan oleh William Gibson melalui cerita pendeknya “Burning Chrome”
(1982). Cyberspace yang terbentuk oleh jaringan komputer dan informasi yang
terhubungkan secara global telah menawarkan bentuk-bentuk komunitas sendiri (virtual
community), bentuk "realitas" nya sendiri (virtual reality) dan bentuk "ruang"nya sendiri
(cyberspace).

Jika berbagai bentuk penemuan teknologi pada era revolusi industry (era modern) disebut
oleh Marshal McLuhan sebagai sistem perpanjangan anggota tubuh (sepeda, mobil
sebagai perpanjangan kaki, telpon perpanjangan pendengaran), maka penemuan
teknologi Informasi oleh Manuel Castell disebut sebagai “perpanjangan sistem saraf” kita.
Kita bisa memperluas pengetahuan kita tanpa batas melalui teknologi informasi yang ada
dihadapan kita. Gibson menyatakan ”revolusi informasi” telah mengubah status
pengetahuan dan mengubah semua aspek kebudayaan. Bahkan mengubah manusia itu
sendiri, mengubah kesadarannya.

Ben Agger mengemukakan konsep virtual self, yaitu satu konsep yang menantang
kesadaran model Freudian dan kesadaran psikologi modern yang statis, menjadi bentuk
kesadaran yang cair, sehingga dapat dibentuk oleh realitas virtual. Seperti orang yang
tiba-tiba secara global diasyikkan oleh pencarian “Pokemon” yang tiba-tiba mengubah
kesadaran dan tingkah laku generasi sekarang dengan cepat dan lalu menghilang.
Kesadaran modern yang statis, karakter yang dianggap sudah terbentuk, kini berubah
menjadi kesadaran yang cair, sehingga mudah diubah melalui realitas virtual itu (Lubis,
2017).

Budaya postmodern (postmodernity), telah melahirkan fenomena sosial-budaya baru


yang memberi harapan baru di satu sisi, akan tetapi menimbulkan banyak problem.
Rhenald Khasali menyatakan ciri-ciri era disrupsi sebagai berikut:

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


8 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
Francois Lyotard (1924-1998) menyatakan bahwa munculnya revolusi informasi, telah
dan akan melakukan perubahan besar dalam kebudayaan dan paradigm berpikir ilmiah
(Lyotard, 1979). Ia mengemukakan kelahiran era inforasi itu, sebagai saat kelahiran era
yang Ia sebut dengan Era Posmodern. Pierre Levy (2001) ahli komputer dan David Bell
Cs. (2007) menyatakan era informasi itu melahirkan apa yang mereka sebut dengan
“cyberculture” (Budaya Siber) dan internet-culture. Budaya Siber dan budaya internet,
adalah budaya yang lahir karena interaksi masyarakat dengan internet, sedangkan Bell
menyatakan bahwa budaya-siber itu adalah paradigma berpikir dan berintegrasi
masyarakat melalui teknologi informasi (Bell, 2007).

Cybercultures merupakan istilah sederhana yang dipergunakan untuk menjelaskan


budaya yang meliputi jaringan, elektronik dan budaya nirkabel (Nayar. 2010: 1). Istilah
cyberculture sangat berhubungan erat dengan studi internet, budaya digital, media digital,
kultur jaringan, masyarakat informasi, teknologi dan jaringan (Ganggi, 2019).

Cyberculture adalah segala budaya yang telah atau sedang muncul dari penggunaan
jaringan komputer untuk komunikasi, hiburan, dan bisnis. Cyberculture juga mencakup
tentang studi berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan bentuk-
bentuk baru komunikasi jaringan lainnya, seperti komunitas online, game multiplayer
online, jejaring sosial, texting, dan segala hal yang berkaitan dengan identitas, privasi,
2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
9 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
dan pembentukan jaringan. Manifestasi dari cyberculture meliputi berbagai interaksi
manusia yang dimediasi oleh jaringan komputer. Hal-hal tersebut mencakup aktivitas,
kegiatan, permainan, tempat dan metafora, dan termasuk basis beragam aplikasi.
Beberapa didukung oleh perangkat lunak khusus dan bekerja pada protokol web umum
yang diterima (Murfianti, 2020). Contoh dari cyberculture adalah Blogs, Bulletin Board
Systems, Chat, E-Commerce, Games, Internet Memes, Peer-to-peer file sharing, Social
networks, Usenet, Virtual worlds.

Rulli Nasrullah dalam bukunya Teori dan Riset Media Siber (2016:139) memaparkan
bahwa budaya siber atau cyberculture secara sederhana melihat bagaimana budaya itu
berada di ruang siber. Memahami budaya maya (cyberculture) berarti mengabungkan
antara dunia maya “cyber” dan budaya culture. Christine Hine (2000) mengungkapkan
bahwa ruang maya sebagai suatu budaya dan menjadi artefak budaya. Pemahaman
mengenai cyberspace menuntut untuk melihat pada beberapa dimensi yang terkait di
dalamnya; sebagai material, secara simbolik dan dimensi experiental. Berangkat dari
pemahaman tersebut maka cyberspace merupakan konsepsi budaya cyberspace as
culture, dimana di dalamnya terdapat realitas yang hidup, dibangun dan dipelihara melalui
interaksi keseharian penggunanya. Realitas dan makna yang terbangun dalam ruang
inilah yang menjadi budaya dunia maya “cybercultures”. Sebagai sebuah artefak cultural,
realitas tersebut senantiasa berubah, berkembang dan sebagian lainnya hilang (Prasetyo,
2010).

Globalisasi
Budaya masyarakat yang berkembang diperkuat dengan perkembangan teknologi
menjadikan arus modernisasi layaknya mesin yang tidak bisa dihentikan lajunya, seperti
istilah “Juggernaut” yang dipakai oleh Anthony Giddens untuk menggambarkan dunia
modern (Ritzer, 2008). Francois Lyotard mengklaim bahwa kelahiran era informasi
sebagai kelahiran masyarakat postmodern. Era informasi menyatakan penyebab
pergeseran paradigma dari masyarakat modern kepada masyarakat postmodern dengan
simulasi, model, kode, dan komunikasi. Hal ini juga mengubah fenomena sosial-budaya
(Lubis, 2017).

Perkembangan globalisasi yang menyentuh setiap lini ke hidupan manusia juga


berdampak terhadap perubahan budaya. Seperti yang diketahui, globalisasi menjadi isu
yang mendapat per hatian besar sejak akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Dalam
proses globalisasi, batasan geografis suatu negara menjadi kabur se hingga proses

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


10 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
globalisasi dapat mengancam eksistensi budaya suatu bangsa karena budaya lain dapat
dengan mudah masuk dalam suatu
kehidupan bangsa.

Budaya bersifat dinamis serta dapat tumbuh dan berkem bang mengikuti perubahan
zaman, karena budaya dikontruksi dan direkontruksi oleh manusia. Namun, terdapat
budaya yang tidak dapat di ubah. Koentjaraningrat membagi budaya menjadi dua wu jud
budaya, yaitu fisik dan non-fisik. Bu daya yang berwujud fisik berbentuk produk dan sulit
mengalami pe rubahan, contohnya candi dan prasasti. Sedangkan budaya non-fisik
berbentuk ide-ide dan aktivitas manusia yang dinamis dan terbuka terhadap perubahan
serta menyesuaikan dengan konteks zaman.

Budaya non fisik berbentuk ide meliputi nilai, norma, gagasan, dan pesan moral.
Sedangkan budaya non-fisik berupa aktivitas meli puti ritual, adat istiadat, tarian dan
sebagainya. Budaya non fisik memiliki keterkaitan yang erat dengan globalisasi karena
sifatnya yang dinamis dan dapat berubah sesuai dengan zaman. Oleh karena itu, dalam
konteks globalisasi definisi budaya merujuk pada budaya non-fisik dalam bentuk ide dan
aktivitas.

Adanya akses internet telah memudahkan penyer apan kebudayaan karena hampir
semua orang terhubung dengan
jaringan internet. Media menjadi senjata utama dalam penyebaran budaya di era
globalisasi, mengingat media berperan sebagai agen penyebaran budaya yang masif
dengan menjadi jembatan antara agen dan konsumen. Media merupakan saluran yang
berpengaruh dalam distribusi kebudayaan global yang secara langsung memen garuhi
perubahan gaya hidup masyarakat dan menjadikan masyara kat sebagai konsumen
suatu budaya. Jika masyarakat telah menjadi konsumen dari suatu budaya baru, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan terhadap budaya yang ada di dalam masyarakat
tersebut.

Globalisasi dalam konteks budaya selama ini selalu dikait kan dengan dominasi negara-
negara Barat yang dikenal dengan istilah Westernisasi. Globalisasi dan Westernisasi
memiliki kerkaitan erat karena lobalisasi sendiri merupakan proses atau strategi negara-
negara Barat dalam melakukan ekspansi produk dan pen garuh termasuk dalam bidang
kebudayaa. Jadi, dapat dikatakan bahwa Westernisasi merupakan salah satu produk dari

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


11 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
globalisasi. Menurut Antony Black, Westernisasi dimulai sejak tahun 1700-an (Black
2006).

Para ahli juga menyebutkan bahwa globalisasi budaya menyebabkan peleburan budaya
yang dikenal dengan istilah “melting pot”. Dalam perspektif homogenisasi, terjadi
peningkatan interkoneksi antar negara dan budaya di mana kondisi ini berkontribusi
dalam pembentukan dunia yang lebih homogen dan mengadopsi nilai-nilai Barat.

Dalam bentuk homogenisasi yang lebih ekstrim, yang dikenal sebagai konvergensi,
diasumsikan bahwa budaya lokal dapat dibentuk oleh budaya lain yang lebih kuat atau
bahkan dapat dibentuk oleh budaya global (Ritzer 2010). Perspektif ini tercermin dalam
beberapa konsep seperti konsep budaya global (global culture), Amerikanisasi, dan
McDonaldisasi (Larasati, 2018).

Tomlison mengatakan bahwa budaya homogen berasaskan pada wujud globalisasi


merupakan usaha untuk menyeragamkan kebudayaan sehingga budaya di setiap tempat
lebih sama. Walaupun seseorang berada di tempat tinggalnya, melalui proses globalisasi
simbol budaya orang lain dapat dijangkau melalui perantara media.

Namun, terdapat pandangan yang menolak gagasan Westernisasi. Pandangan heterogen


berpendapat bahwa globalisasi menghasilkan suatu keadaan heterogen yang mengacu
pada satu struktur jaringan di mana budaya dapat terhubung satu sama lain dalam
dimensi tertentu (Matei 2006). Heterogenitas merepresentasikan proses menuju dunia
yang tampak lebih dalam karena intensifikasi aliran lintas budaya (Appadurai 1990). Oleh
karena itu, budaya lokal suatu bangsa mengalami transformasi dan penemuan ulang
terus menerus karena beberapa faktor dan kekuatan global. Namun, penting untuk
memperhatikan fakta bahwa menurut perspektif ini, inti budaya tetap utuh dan tidak
terpengaruh langsung, meski budaya non-fisik terpengaruh oleh arus global dan
globalisasi (Ritzer, 2010)

Pandangan ke-tiga mengenai Globalisasi adalah Hibridisasi. Asumsi utama dari


hi bridisasi budaya adalah proses pencampuran atau perpaduan budaya yang
berkesinambungan. Produk akhir dari globaliasasi budaya adalah integrasi dari budaya
global dan lokal (Cvetkovich & Kellner 1997) yang menghasilkan sebuah budaya hibrida
baru yang tidak memiliki kecenderungan terhadap budaya global maupun budaya lokal
(Ritzer 2010).

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


12 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
Adapun Robertson mengatakan bahwa globalisasi budaya adalah campuran kompleks
antara homegenisasi budaya global dan heterogenisasi budaya lokal (Robertson 2001).
Asumsi ini diperkuat dengan pendapat yang menyatakan bahwa interaksi budaya
cenderung menghasilkan hibridisasi budaya ketimbang homogenisasi budaya. Dengan
demikian, globalisasi mengarah pada penggabungan kreatif sifat budaya lokal dan global
(Appadurai 1996).

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


13 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching
Daftar Pustaka
Bungin, B. (2019). Sosiologi komunikasi. Kencana.

Fajariah, M., & Suryo, D. (2020). Sejarah Revolusi Industri di Inggris Pada Tahun 1760-

1830. HISTORIA : Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 8(1), 77.

https://doi.org/10.24127/hj.v8i1.2214

Ganggi, R. I. P. (2019). Cybrarian: Transformasi Peran Pustakawan dalam Cyberculture.

Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan dan Informasi, 3(2), 8.

Kemkominfo. (2019). TRANSFORMASI SOSIAL, BUDAYA DAN TEKNOLOGI DI ERA

DIGITAL.

http://www.pasca.ugm.ac.id/fotopost/ed9a815db8e7e0381471784311a20c0b.pdf

Larasati, D. (2018). Globalisasi Budaya dan Identitas: Jurnal Hubungan Internasional, 12.

Lubis, D. A. Y. (2017). MEMAHAMI BUDAYA-CYBER, SASTRA-CYBER. 12.

Murfianti, F. (2020). MEME DI ERA DIGITAL DAN BUDAYA SIBER. Acintya Jurnal

Penelitian Seni Budaya, 11(1), 45–50. https://doi.org/10.33153/acy.v11i1.2613

Piliang, Y. A. (2012). MASYARAKAT INFORMASI DAN DIGITAL: 14.

Prasetyo, H. (2010). Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Baru

Masyarakat Modern. Ultima Comm: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(2), 10.

Rahman, M. T. (2018). Pengantar Filsafat Sosial. LEKKAS.

http://digilib.uinsgd.ac.id/14484/1/Filsafat%20sosial%20full_pages_deleted.pdf

Ritzer, G. (2008). Modern Sociological Theory. Boston: McGraw-Hill, Higher Education, 7.

Wazis, K. (2017). PERTARUNGAN PERSEPSI BUDAYA MAYA DALAM MASYARAKAT

DIGITAL. Mediakom: Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 15.

2021 Cyber Culture Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU


14 Engga Probi Endri, S,I,Kom., M.A. & Tim http://pbael.mercubuana.ac.id/

Teaching

You might also like