You are on page 1of 15

1

MODUL PERKULIAHAN

W042100027 –
Cyber Culture
Gender in Cyberspace

Abstrak Sub-CPMK

Modul ini akan menjelaskan aspek Sub-CPMK 2


teoretis gender in cyberspace yang Mampu memahami definisi
meliputi definisi gender, gap gender gender, gap gender, gender fluid,
dalam dunia siber, gender fluidity, evolusi gender dan feminism.
evolusi gender dan feminisme.

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

07
Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. &
Fakultas Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi Tim Teaching
Pendahuluan
Modul ini akan membahas mengenai topik gender dalam konteks budaya siber. Kaitan
antara gender-teknologi mejadi salah satu hal yang perlu diperhatikan ketika mempelajari
lebih dalam mengenai cyberculture. Feminis mengkritik ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah mengeksplorasi isu ini dari banyak sudut pandang, dengan menfokuskan pada
teknologi yang beragam, termasuk juga teknologi reproduktif dan domestik (Wajcman,
1991).

IDENTITAS DALAM BUDAYA SIBER

Penggambaran diri dan identitas diri di dunia siber merupakan salah satu fenomena yang
terjadi dalam hubungan interpersonal. Penelitian tentang penggambaran diri di dunia siber
dan keterkaitannya dengan konstruksi identitas, representasi individu, fenomena budaya
siber, serta penggunaan situs jejaring sosial menjadi topik yang difokuskan oleh para
peneliti kajian budaya siber. Perkembangan Facebook pada tahun 2004 untuk kalangan
terbatas di Harvard University dan kemudian menjadi situs jejaring sosial yang bisa
diakses publik pada tahun 2006 memberi dampak pada pembentukan identitas diri dalam
ruang siber.
Sebagai pembuka diskusi, beberapa kajian terkait identitas diri dalam situs jejaring
sosial bisa dilihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mazer, Joseph, P., Murphy,
Richard E., dan Cheri J. Simonds dengan judul “Facebook: The Effects of Computer
Mediated Teacher Self-Disclosure on Student Motivation, Affective Learning, and
Classroom Climate” pada tahun 2007. Penelitian tersebut menggambarkan bagaimana
motivasi belajar siswa meningkat, pembelajaran lebih efektif dan meningkatkan suasana
positif dalam belajar ketika mengakses situs jaringan pertemanan sosial dengan gurunya
yang lebih mengungkapkan dirinya di Facebook berbanding guru yang sedikit
mengungkap tentang dirinya.
Selain itu, penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Graham Nichols Dixon
pada tahun 2008 dengan judul “Instant Validation: Testing Identity in Facebook”
menunjukkan hasil bahwa keberadaan siber dan kemunculan Facebook telah membawa
fokus baru tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang mengonstruksi identitas
mereka secara daring. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa identitas tidak hanya
sekadar proses atau bagian dari atribut seseorang, tetapi secara dramatis konstruksi
identitas tersebut tidak berada dalam kondisi statis; bermakna bahwa identitas itu secara
simultan terus menerus dikonstruksikan oleh individu.

2021 Cyber Culture


2 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Bercermin dari hasil penelitian tersebut, teori sosial yang dikembangkan oleh
Erving Goffman menyatakan bahwa setiap aktivitas individu pada dasarnya melibatkan
partisipan lain dan setiap individu memiliki keinginan untuk dampil sebaik-baiknya demi
pemenuhan kebutuhan dari partisipan tersebut. Dengan begitu, penelitian terkait
kehadiran Facebook yang dibahas di atas menyebabkan seseorang akan mendapatkan
pengakuan secara instan dalam wacana sosial; terkait foto yang dipublikasikan, individu
berharap ada komentar maupun timbal balik positif dari pengguna Facebook lainnya. Kita
juga bisa merefleksikannya pada berbagai media sosial yang ada pada saat ini; kehadiran
Instagran, tiktok dan lainnya.
Stuart Hall (1996) menegaskan bahwa perkembangan era modern kini telah
membawa pada perkembangan baru dan mentransformasikan bentuk-bentuk
individualisme; sebagai “tempat” di mana konsepsi baru mengenai subjek individu dan
bagaimana identitas itu bekerja. Ada transformasi yang terjadi dalam individu modern di
mana mereka mencoba untuk melepaskan diri dari tradisi maupun struktur sosial yang
selama ini ada, dan dianggap membelenggu. Salah satu ciri modernitas yang diduga kuat
mengubah tatanan sosial yang ada, menurut Hall, adalah penemuan dan perkembangan
mesin di mana Hall (1990) menempatkan identitas sebagai berikut:
“...there are two kinds of identity, identity as being (which offers a sense of unity
and commonality) and identity as becoming (or a process of identification, which
shows the discontinuity in our identity formation).”

Identitas dikaji oleh Hall dengan menjelaskannya sebagai tiga konsep subjek yang
berbeda sebagai berikut:
1. Enlightenment subject – bahwa secara konsep, manusia merupakan subjek
yang terpusat, individu yang menyatu, subjek secara fitrahnya mewarisi apa yang
dikatakan sebagai beragam alasan (reason), kesadaran (conciousness), dan aksi
(action) yang bagi Hall merupakan “whose ‘center’ consists of inner core which
first emerged when the subject was born, and unfolded with it while remaining
essentially the same—continuous or ‘identical’ with itself—troughout the individual
existence.” Pusat dari segala hal yang esensial menyangkut diri inilah yang
disebut sebagai ‘identitas’ seseorang. Bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki
keinginan di dalam dirinya untuk menentukan identitas dirinya dan bukan
kepasrahan untuk menerima identitas dirinya karena ada yang mendominasi.

2. Sociological subject – merupakan subjek (individu) yang dihasilkan dari relasi


yang terjadi di wilayah sosial atau disebut sebagai “significant others”. Identitas

2021 Cyber Culture


3 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
dalam konsep ini pada dasarnya menghubungkan apa yang di sebut “yang di
dalam” sebagai wilayah pribadi dan “yang di luar” sebagai wilayah sosial. Subjek
yang sebelumnya memiliki identitas yang stabil dan menyatu, selanjutnya akan
terfragmentasi tidak hanya menjadi satu melainkan beberapa identitas; yang
terkadang hal demikian menimbulkan kontradiksi atau “unresolved identities.”
Identitas yang pada akhirnya, yang tersusun dari aspek “the social landscapes out
there” dan yang memberikan rasa nyaman secara subjektif melalui kebutuhan
atau “need” yang objektif yang berasal dari kultur, akan terpecah-pecah sebagai
hasil dari perubahan struktur dan institusional.
Bahwa sesungguhnya proses dari identifikasi telah menjadi lebih terbuka,
bervariasi, dan problematik. Identitas terbentuk dari interaksi yang terjadi antara
diri seseorang dan lingkungan sosialnya; subjek pada dasarnya tetap memiliki
sesuatu yang esensi dalam diri mereka yang biasa disebut dengan “the real me”,
namun hal ini semakin terbentuk dan dimodifikasi karena ada proses dialogis yang
secara terus menerus terjadi dengan dunia kultural “yang di luar” serta identitas
yang ditawarkan kepadanya.

3. Post-modern subject – bahwa identitas itu merupakan definisi yang harus


didekati melalui historis dan bukan dengan pendekatan “ilmu” biologi. Subjek
diasumsikan memiliki identitas yang berbeda dalam waktu yang berbeda; identitas
bukanlah apa yang menyatu di dalam diri atau self itu sendiri; secara pemetaan
kultural, apa yang dinamakan kelas sosial, gender, seksualitas, etnisitas, ras dan
nasionalitas telah memberikan kenyataan tempat-tempat yang tegas bagi individu-
individu dalam kehidupan sosialnya, sebenarnya dibedakan atas dasar segala
sesuatu yang bersifat discontinuity, fragmentation, dan dislocation. Bagi Hall,
identitas yang dimiliki oleh diri dan dibawa sejak lahir sampai mati sebenarnya
adalah konstruksi diri kita sendiri dengan konstruksi pemahaman yang
memuaskan diri (construct a comforting story) atau “narrative of the self” tentang
diri kita sendiri.
Produksi dari subjek post-modern ini secara konseptual tidaklah pasti dan
sudah jadi, esensial atau identitas yang telah permanen. Identitas yang menyatu,
komplit, aman, dan koheren dianggap sebagai fantasi atau khayalan. Sebaliknya,
sebagai sebuah sistem dari makna dan representasi kultural yang berlipat ganda,
bahwa diri pada kenyataannya dikonfrontasikan dengan identitas yang
membingungkan; akibat dari kemunculan pilihan-pilihan identitas yang bisa dipakai
dan bersfiat temporal.

2021 Cyber Culture


4 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Identitas: antara virtual dan real
Tim Jordan (1999) menyatakan bahwa terdapat dua kondisi yang bisa menggambarkan
bagaimana keberadaan individu dan konsekuensinya dalam berinteraksi di internet, yaitu
(1) untuk melakukan koneksitas di ruang siber, setiap orang harus melakukan logging in
atau melakukan prosedur tertentu untuk bisa mengakses laman tertentu. Ketika prosedur
tersebut dilalui, maka individu akan mendapatkan ruang individu di mana mereka memiliki
laman khusus yang hanya akan bisa diakses sendiri dengan sebutan account, (2)
memasuki dunia virtual kadang kala juga melibatkan keterbukaan dalam identitas diri
sekaligus juga mengarahkan bagaimana individu tersebut mengidentifikasikan atau
mengkonstruksikan dirinya di dunia virtual tersebut.
Dalam penggunaan media sosial, contohnya, individu akan membangun jejaring
pertemanan, mengekspresikan pikiran dan perasaannya, serta melakukan aktivitas virtual
dengan pengguna lainnya. Interaksi virtual ini yang pada akhirnya dapat menghasilkan
self-definition dan menawarkan self-invention. Setiap individu memiliki kemampuan tanpa
batas untuk mengkreasikan siapa dirinya di dunia siber dan hasil kreasi itulah yang
nantinya akan mewakili individu dalam memainkan perannya serta berinteraksi di ruang
siber. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai tiga lemen dasar kekuatan
individu dalam dunia siber, yaitu identity fluidity, renovated hierarchies, dan information as
reality.
Identity fluidity bermakna sebuah proses pembentukan identitas secara virual dan
identitas yang terbentuk ini tidaklah mesti sama dengan identitasnya di dunia nyata
(offline identity). Sementara itu renovated hierarchies adalah proses di mana hierarki yang
terjadi di dunia nyata direka bentuk kembali (reconstructed) di dunia maya menjadi online
hierarchies. Hasil akhir dari identity fluidity dan renovated hierarchies inilah yang
kemudian disebut sebagai informational space atau information as reality yakni informasi
yang menggambarkan realita yang hanya berlaku di dunia virtual.

GENDER, TEKNOLOGI DAN BUDAYA SIBER

Gender dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana individu yang lahir secara biologis
sebagai laki-laki dan perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai
laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering
didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan
(Rosyidah & Nurwati, 2019). Lebih lanjut lagi disampaikan bahwa istilah gender seringkali
tumpang tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata tersebut memiliki makna
yang berbedad. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia

2021 Cyber Culture


5 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara
etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (dalam
Echols & Shadily, 1983, hlm. 265).
Kata gender bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dalam hal nilai dan perilaku (dalam Neufeldt, 1984, hlm. 561). Secara
terminologis, gender bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap lakilaki
dan perempuan (dalam Lips, 1993 hlm. 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh
Elaine Showalter. Menurutnya, gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat
dari konstruksi sosial budaya (dalam Showalter, 1989, hlm. 3). Gender bisa juga dijadikan
sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (dalam Umar,
1999, hlm. 34).
Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat (dalam Mulia, 2004, hlm. 4). Martin, Ruble, & Szkrybalo (2002, hlm.
67) menyatakan bahwa menurut teori kognitif sosial, gender berkembang melalui
mekanisme yang terdiri atas observasi, imitasi, penghargaan, dan hukuman. Sementara
itu, isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan
perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki
dan perempuan.
Gender diartikan sebagai konstruksi sosio-kultural yang membedakan karakteristik
maskulin dan feminim. Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan
maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat
bawaan dan bentukan budaya. Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan
tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial
dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Dari beberapa definisi di atas
dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial
dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis
lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama-sama
dengan sex, yaitu jenis kelamin (Echols dan Shadily, 1983, hlm. 517).
Konsep gender juga wujud dalam ruang siber, di mana ruang virtual menawarkan
dan mempromosikan kesetaraan dan fluiditas melalui interaksi virtual tanpa tubuh yang
berinteraksi secara langsung (body-free interactions) yang mendorong netralitas gender
(gender neutrality) (Haraway, 1992). Diakatakan bahwa kreasi tekstual dan interaksi yang
terjadi di ruang siber tidak menghapus keberadaan gender atau konstruksi makna gender

2021 Cyber Culture


6 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
di dunia maya, tetapi mengintensifkan lagi wujudnya. Kejelasan terkait gender
disampaikan melalui Bahasa, hubungan (connection) antara diri dan identitas daringnya
(Bury, 2005). Walaupun secara wujud, fisik tubuh tidak tampak secara visual, namun
tubuh baru diproduksi melalui kata-kata dan gambar dalam diskursus sosial, terutama
dalam komunitas siber (Thomas, 2004).

FEMINISME DAN TEKNOLOGI

Gerakan feminisme awal merupakan sebagai usaha-usaha untuk menghadapi patrarki


antara tahun 1550- 1700 di Inggris (Hodgson-Wright, 2006). Fokus perjuangan feminisme
awal adalah melawan pandangan patriarkis mengenai posisi subordinat perempuan
karena dianggap sebagai mahluk yang lebih lemah, lebih emosional dan tidak rasional
(Jenainati dan Groves, 2007: 9). Pemikiran ini dimungkinkan karena berkembangnya
Pencerahan di Inggirs yang mempengaruhi pemikiran mengenai perempuan sebagai
bagian dari masyarakat yang turut berperan bagi perkembangan masyarakat (O’Brien,
2009).
Menurut Hodgson-Wright (2006), perjuangan feminisme awal melalui tiga cara.
Pertama melalui usaha untuk merevisi esensials subordinasi perempuan dalam ajaran
gereja. Kedua dengan menentang berbagai buku panduan bersikap yang cenderung
mengekang perempuan pada jaman tersebut. Ketiga, dengan membangun solidaritas
antar penulis perempuan. Solidaritas ini membangun kepercayaan diri dan dukungan
finansial di kalangan penulis perempuan. Pendidikan inteketual yang diberikan kepada
anak-anak perempuan dalam keluarga-keluarga yang dipengaruhi oleh Pencerahan pada
gilirannya menerbitkan inspirasi mengenai pentinganya pendidikan perempuan menjadi
dasar bagi pergerakan yang lebih politis dalam feminisme gelombang pertama (Ross,
2009).
Gerakan feminisme dibagi dalam beberapa gelombang terkait perkembangannya;
Feminisme gelombang pertama ditandai dengan tulisan Mary Wollstonecraft The
Vindication of the Rights of Woman (1792) hingga perempuan mencapai hak pilih pada
awal abad keduapuluh (Sanders, 2006). Tulisan Wolstonecraft dilihat Sanders sebagai
tonggak gerakan feminisme modern Wollstonecraft menyerukan pengembangan sisi
rasional pada perempuan dan menuntut agar anak perempuan dapat belajar di sekolah
pemerintah dalam kesetaraan dengan anak laki-laki. Pendidikan ini diharapkan
Wolstonecfrat akan mengembangkan intelektualitas perempuan sehingga mampu
berkembang menjadi individu yang mandiri, terutama secara finansial (Richardson, 2002).
Feminisme gelombang pertama juga sudah diwarnai oleh usaha beberapa perempuan

2021 Cyber Culture


7 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
untuk memperjuangkan hak perempuan setelah menikah dan hak asuh anak setelah
perceraian.
Feminisme gelombang kedua dimulai pada tahun 1960an yang ditandai dengan
terbitnya The Feminine Mystique (Freidan, 1963), diikuti dengan berdirinya National
Organization for Woman (NOW, 1966) dan munculnya kelompok-kelompok conscious
raising (CR) pada akhir tahun 1960an (Thompson, 2010). Feminisme gelombang kedua
dinilai sebagai feminisme yang paling kompak dalam paham dan pergerakan mereka
(Thornham, 2006). Feminisme gelombang kedua bertema besar bertema women’s
liberation yang dianggap sebagai gerakan kolektif yang revolusionis. Gelombang ini
muncul sebagai reaksi ketidakpuasan perempuan atas berbagai diskriminasi yang mereka
alami meskipun emansipasi secara hukum dan politis telah dicapai oleh feminisme
gelombang pertama. Untuk itu, feminisme gelombang kedua lebih memusatkan diri pada
isu-isu yang mempengaruhi hidup perempuan secara langsung: reproduksi, pengasuhan
anak, kekerasan seksual, seksualitas perempuan, dan masalah domestisitas (Gillis, et.al.,
2004).
Pada feminism gelombang ketiga, dikotomi antara feminisme gelombang ketiga
dan postfeminisme dalam perkembangan feminisme pasca gelombang kedua merupakan
salah satu permasalahan mendasar yang dialami mengenai penamaan perkembangan
feminisme pasca 1970an. Jika keduanya dianggap sebagai perkembangan feminisme
yang berbeda, maka keduanya merupakan perkembangan yang berlangsung pada waktu
yang hampir bersamaan. Jika keduanya dianggap perkembangan yang sama, ada
usahausaha definitif dari beberapa feminis yang mendefinisikan diri mereka sebagai
feminis gelombang ketiga dan atau sebaliknya postfeminist. Lebih jauh, kedua istilah tidak
hanya sering dimaknai secara bertentangan, keduanya juga memiliki banyak definisi yang
terkadang saling tumpang tindih dan saling bertentangan.
Feminisme gelombang ketiga juga memiliki banyak definisi yang berbeda dan
terkadang saling bertentangan. Para pencetus feminisme gelombang ketiga secara
sistematis menyatakan diri mereka sebagai reaksi atas postfeminisme. Mereka memiliki
pandangan negatif terhadap postfeminisme. Para pelopor feminisme gelombang ketiga
seperti Iyvonne Tasker dan Diane Negra memiliki pandangan negatif terhadap
postfeminisme dan menarik dikotomi antara feminisme gelombang ketiga dan
postfeminisme dalam hubungannya dengan budaya popular (Genz dan Brabon, 2009).
Postfeminisme dinilai sebagai feminisme aras utama yang dimotori berbagai kepentingan
komersial tanpa aktivitas ataupun agenda feminis yang jelas. Dalam hal ini, feminisme
gelombang ketiga menyatakan diri sebagai feminisme yang berkembang di dunia
akademik, bersifat sistematis, dan bersifat lebih kritis.

2021 Cyber Culture


8 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Hubungan antara perempuan dan teknologi tidak pernah mudah, sebab persepsi
tradisional teknologi sangatlah bertentangan dengan perempuan. Sebagaimana dikatakan
Sarah Gamble (2010: 101), dalam kebanyakan kasus, penggambaran simbolis teknologi
menghasilkan stereotype bahwa perempuan itu bodoh dan tidak layak dalam bidang
teknologi. Kebanyakan peralatan teknologi cenderung dikategorikan berdasarkan gender.
Ada peralatan yang lebih cocok untuk laki-laki (misalnya, gergaji, truk, kunci inggris,
senapan); dan ada juga yang lebih cocok untuk perempuan (misalnya pembersih debu,
mesin ketik dan setrika). Namun demikian yang lebih penting, menurut Gamble, laki-
lakilah yang memegang kendali dalam teknologi, sebab perempuan biasanya dianggap
tidak paham tentang teknik dan prinsip-prinsip fisika tentang bagaimana mesin
dioperasikan. Kebanyakan definisi teknologi memiliki bias laki-laki.
Sebagaimana dikatakan oleh Judy Wajcman (2006: 722) dalam esainya “The
Gender Politics of Technology”, hal ini merupakan penekanan pada teknologi yang
didominasi oleh laki-laki yang berkonspirasi untuk mengurangi pentingnya teknologi
perempuan, seperti hortikultura, memasak, dan perawatan anak, dan sebagainya dan
kemudian mereproduksi stereotip perempuan sebagai bodoh dan tidak mampu secara
teknologi. Kekuatan abadi dari identifikasi antara teknologi dan kejantanan (manliness),
tidak melekat dalam perbedaan jenis kelamin biologis. Hal tersebut lebih merupakan hasil
darisejarah dan budaya konstruksi gender. Dengan demikian, menurut Wajcman, kita
perlu memahami teknologi sebagai budaya yang mengekspresikan dan
mengkonsolidasikan hubungan antara laki-laki.
Tulisan para feminis telah lama mengidentifikasi cara-cara di mana hubungan
teknologi dan gender terwujud tidak hanya dalam institusi tetapi jugadalam simbol-simbol
budaya, bahasa, dan identitas. Perempuan selalu dihubungkan dengan ketidakmampuan
untuk memahami prinsip-prinsip pengoperasian dan etos teknologi. Hal ini, menurut
Gamble (2010: 102), karena kemampuan teknis merupakan pusat persepsi dominan atas
maskulinitas yang melihat posisi ‘alami’ antaralaki-laki/perempuan, rasionalitas/emosi,
keras/lembut. Kontruksi sosial ini terbentuk dari sistem yang lebih luas atas stereotipe
seksual dalam budaya Barat yang mengidentifikasi laki-laki dengan budaya dan ilmu
pengetahuan dan perempuan dengan emosi dan intuisi. Meskipun perempuan sepanjang
sejarah telah aktif dalam mengembangkan teknologi baru, feminis berpendapat bahwa
teknologi masih dipandang sebagai ciptaan maskulin. Misalnya, meskipun perempuan
telah terlibat dalam pembuatan dan pengembangan komputer, kontribusi merekasebagian
besar terpinggirkan, dan partisipasi mereka seringkali diabaikan dan tidak ditulis dalam
sejarah. Oleh karena itu, para feminis seperti Judy Wacjman, seorang profesor sosiologi
the Australian National University di Canberra, dan Cynthia Cockburn, seorang sarjana

2021 Cyber Culture


9 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
independen dan aktivis di London, berpendapat bahwa teknologi perlu terus diinterogasi
dan di rekonseptualisasikan, dan bahwa perempuan perlu menjadi lebih aktif dalam
bidang dan memahaminya dengan baik.

CYBERFEMINISM
*catatan: sebagian besar topik perbincangan ini diadopsi dari Alatas, S., & Susanto, V. (2019). Cyberfeminisme dan
Pemberdayaan Perempuan melalui Media Baru. Jurnal Komunikasi Pembangunan, 17(2), 165-176.

Dalam era media baru, setiap individu maupun kelompok-kelompok sosial, budaya,
ekonomi maupun politik harus meniscayakan dirinya untuk berinteraksi secara aktif
lingkungan media yang baru ini, bukan sekadar untuk mengekspresikan identitas individu
atau kelompok, namun yang lebih penting bagaimana kemudian setiap kelompok
menggunakan media baru sebagai wadah komunikasi untuk melakukan pemberdayaan
atau pun pembebasan dirinya, atau meminjam istilah Robert Samuel (2010) untuk
“celebrating the autonomous individual’s ability”. Dalam perspektif ini, menurut Samuel,
kekuatan terorganisir perempuan, etnis minoritas, pekerja, dan subyek kolonial semua
menuntut inklusi dalam pengertian modern mengenai kesetaraan.
Feminisme sebagai sebuah gerakan pembebasan kaum perempuan yang
berupaya untuk melawan subordinasi terhadap perempuan telah menerapkan new media
kedalam isu-isu penting. Salah satu yang menjadi perhatian penting adalah potensi media
baru dalam menawarkan sebuah gagasan tentang pembebasan dan pemberdayaan.
Cyberfeminism merupakan hasil penting dari penerapan tersebut. Dictionary of Media
Studies (2006: 58) menyebut Cyberfeminism sebagai “the study of new technology and its
effect on women’s issues”. Namun demikian, sejatinya, cyberfeminism bukan sekadar
studi teoritis ataupun kajian kritis, ia juga merupakan gerakan praksis yang menawarkan
ide-ide tetangn pembebasan kaum perempuan dari segala macam dominasi patriarkal.
Interaksi dengan new media telah memberikan sebuah wahana baru bagi kaum
perempuan untuk bangkit membebaskan dirinya dari dominasi dan subordinasi.
Berbeda dengan kebanyakan teknologi-teknologi lain yang cenderung didominasi
oleh kaum pria, new media lebih netral dan tidak memihak kepada maskulinitas. Dengan
demikian new media, dalam pandangan cyberfeminism, telah memberikan sebuah
wilayah yang besar, wilayah dengan arena tujuan dari cyber space, yaitu proses teknologi
yang di genderisasi, dengan cara pemberdayaan perempuan melalui techno-budaya.
Para cyberfeminist berpendapat bahwa perempuan secara alami cocok untuk
menggunakan new media, karena perempuan dan new media serupa by nature.
Keduanya, menurut para cyberfeminist merupakan replikasi diri sistem yang
bersangkutan dengan saling membuat koneksi. Mereka memiliki pendapat bahwa

2021 Cyber Culture


10 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
meskipun feminis sebelumnya telah diyakini bahwa komputer pada dasarnya adalah “laki-
laki”, namun demikian kita malah harus melihatkomputer dan internet sebagai tempat bagi
perempuan untuk terlibat dalam bentuk-bentuk baru kerja, di mana
perempuandibebaskan dari kendala tradisional dan mampu bereksperimen dengan
identitas dan mendapatkan jalan baru untuk mengklaimkekuasaan dan otoritas.
Pandangan para feminis tentang cyberspace sebagai ruang, disambut dengan tangan
terbuka, di mana mereka dapat danharus merebut peluang untuk memajukan diri dan
menantang otoritas laki-laki (lihat Encyclopedia of New Media, Sage Reference).
Disamping itu yang terpenting, para cyberfeminist melakukan upaya untuk bekerja menuju
pemberdayaanperempuan melalui media barudengan melawan berbagai diskursus yang
didominasi laki-lakiyang mengelilingi penggunaan teknologi baru.
Cyberfeminist juga mencoba untuk merancang situs Web dan ruang online
elektronik lainnya untuk melawan konstruksi gender yang dominan sekaligus
memberdayakan perempuan di seluruh dunia. Para cyberfeminist umumnya juga percaya
bahwa new media adalah persoalan feminis. Antara lain, mereka tertarik pada
kemungkinanaktivisme dan penelitian dan melalui Internet. Apa yang paling mereka
pahami bersama adalah keyakinan bahwa perempuan harus mengambil alih dan
menggunakan dengan tepat cyber-teknologi dalam upaya untuk memberdayakan diri
sendiri.
Feminisme adalah sebuah gerakan pembebasan kaum perempuan yang berupaya
untuk melawan dominasi dan subordinasi terhadap perempuan. Selain sebagai gerakan
dan aktivisme politik, feminisme merupakan aktivitas intelektual dan filosofis. Asumsi
dasar dari feminisme adalah, bahwa telah terjadi ketidaksetaraan dan penindasan (peran)
gender dalam semua ranah kehidupan sosial, dengan cara merepresentasikan
perempuan secara tidak adil, tidak seimbang dan eksploitatif.
Kemunculan cyberfeminism menurut Sarah Kember (2003: 177) dapat
didefinisikan berkaitan dengan asal-usulnya dalam teori dan praktek feminis akhir 1980-
an dan awal 1990-an, yang berkaitan dengan kemunculan teknologi mengenai revolusi
informasi. Hal itu menjadi bagian dari respon terhadap politik anarkis cyberpunk.
Cyberfeminism kemudian menjadi mazhab penting dari studi cyberculture dan
feminisme, dan telah mengembangkan serangkaian perhatian utama, termasuk isu-isu
pemisahan tubuh/pikiran, visi masyarakat fokus yang pada isu-isu seperti identitas dan
komunitas sosial. Cyberfeminism kemudian menjadi strategi politik serta metode artistik
paling aktif di tahun 1990-an. Cyberfeminism muncul dari penggunaan media digital dan
teknologi komunikasi baru. Teknologi ini dianggap memiliki baik janji dan ancaman,
dengan potensi pemberdayaan simultan dan penindasan. Mereka menawarkan cara

2021 Cyber Culture


11 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
untuk membuka ruang dan komunikatifmasyarakat, untuk terlibat dalam bermain dan
politik dan untuk mengakses informasi dan membuatjaringan.
Nicholas Stevenson dalam bukunya Understanding Culture melihat
cyberfeninisme sebagai gerakan akademis dan politik yang paling signifikan dari abad
informasi. Dalam pandangan Stevenson, cyberfenisme telah membawa transformasi
struktural yang besar, yang terkait dengan keprihatinan dengan perpecahan gender dan
cara berpikir maskulinis (Stevenson, 2002: 185). Cyberfeminism adalah istilah yang
diciptakan pada tahun 1994 oleh Sadie Plant, direktur Cybernetic Culture Research Unit
di Universitas Warwick, Inggris, untuk menggambarkan karya feminis yang tertarik
untukberteori, mengkritik, dan mengeksploitasi internet, cyber space, dan teknologi media
baru pada umumnya. Istilah dan gerakan ini berkembang darifeminisme gelombang
ketiga, gerakan feminis kontemporer yang mengikuti feminisme gelombang kedua pada
1970, yang berfokus pada hak-hak yang sama bagi perempuan, dan yang dengan
sendirinya mengikuti feminisme gelombang pertama pada awalabad ke-20, yang
berkonsentrasi pada hak pilih perempuan.
Cyberfeminism cenderung untuk memasukkan sebagian besar perempuan muda,
wanita yang cerdas secara teknologi dan orang-orang dari Barat, kulit putih, dan berlatar
belakang kelas menengah (Encyclopedia of New Media, Sage Reference). Sadie Plant
dalam Gamble (2010: 270-271) mendefinisikan cyberfeminism sebagai “suatu
pemberontakan atas bagian barang-barang dan material-material dari kemunculan
patriarkal yang terdiri atas mata rantai antara perempuan, perempuan dan komputer,
komputer dan jaringan-jaringan komunikasi, penghubung dan mesin-mesin penghubung.
Pendapat inilah, menurut Gamble, yang menandai adanya utopianisme cyberfeminism
yang mengatakan bahwa teknologi tidaklah membahayakan bagi perempuan, dan bahwa
perempuan seharusnya merebut kendali dari sistem informasi baru. Namun demikian,
menurut Gamble, dewasa ini, cyberfeminism memiliki banyak isu untuk bersaing dengan
tidak sekadar kebutuhan mengimbangi suatu agenda politis yang koheren dengan visi
utopia dari impian cyberspace. Keberagaman sumber dan jaringan yang dimiliki feminis
atas website, menurut Gamble, telah menunjukkan bahwa ada suatu kehadiran
perempuan didalam cyberspace, walaupun hal itu juga dipandang apakah ini akan
mendorong ke arah koalisikoalisi yang mendatangkan manfaat.
Ide mengenai cyberfeminism bermula dari gagasan Donna Haraway mengenai
“Cyborg Manifesto”. Dalam esai klasiknya “Cyborg Manifesto”, Donna Harraway (dalam
Gamble, 2012: 105) mengidentifikasi sebuah feminisme baru yang melibatkan citra
mengenai ‘cyborg’, sebuah organisme sibernetika, sebuah pencangkokan antara mesin
dan organisme. Visinya adalah bahwa pengaburan batas-batas antara manusia dan

2021 Cyber Culture


12 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
mesin pada akhirnya akan membuat kategori laki-laki dan perempuan tidak terpakai, dan
membuka lebar jalan kepada sebuah dunia dengan kebebasan, di luar gender.
Lebih lanjut Harraway (dalam Gamble, 2010: 272) menyatakan bahwa kita hidup
dalam suatu dunia komunikasi elektronik cyborg, perbedaan antara yang artificial dan
yang alami tetap ambigu. Istilah ‘cyborg’ menurut Gamble, merupakan singkatan dari
‘cybernetic organism’ dan diciptakan oleh ilmuwan bidang penelitian ruang bernama
Manfred Clynes pada tahun 1960.Konsep cyborg dalam konteks cyberfeminism telah
membantu untuk mengatasi semua dikotomi termasuk perempuan/laki-laki dan
menjanjikan utopia genderless.
Manifestasi dari cyberfeminism dan narasi cyborg terlihat dalam dunia digital,
lingkungan yang dimediasi komputer (computer-mediated environments), seperti internet.
Cyberfeminis dari kekuatan Barat telah menunjukkan bahwa teknologi internet dapat
berfungsi sebagai 'great equalizers'dan dapat digunakan untuk pemberdayaan kelompok
terpinggirkan di seluruh dunia (Gajjala, 1999: 121). Dalam konteks ini, internet dapat
dikatakan sebagai sebuah teknologi yang menawarkan sebuah kekuatan dengan biaya
yang relatif rendah yang dapat menyamakanperbedaan yang dikenakan atas orang
karena gender mereka atau status ekonomi.
Perumpamaan cyborg menyatakan bahwa teknologi elektronik membuat pelarian
dari batas-batas tubuh menjadi mungkin, dan dari batasan-batasan yang telah
memisahkan bentuk organik dari hal-hal yang tidak organik. Oleh sebab itu, menurut
Gamble (2010: 105) saat manusia berhubungan dengan teknologi komputer, pribadinya
berubah menjadi sesuatu yang sepenuhnya baru, mengombinasikan teknologi dengan
identitas manusia. Dalam pola pikir ini, metaphor cyborg tersebut menyediakan sebuah
jalan untuk menyelesaikan pembagian antarfeminis dan Dunia Ketiga dalam sebuah
gerakan di mana penindasan digulingkan dan egalitarianism menjadi niscaya. Oleh sebab
itu, buka kebetulan bahwa banyak kelompok sosial merangkul komputer dan meluas ke
cyberspacesebagai ikon budaya di mana perbedaan fisik gender, ras, atau orientasi
seksual menjadi tak terpakai.
Salah satu respon feminis terhadap kemunculan komputer sebagai mediator
komunikasi berasal dari kalangan “liberal cyberfeminism”. Respons ini dipengaruhi oleh
diskusi-diskusi tentang ketidakstabilan gender yang diikuti oleh feminis dan teoritikus
queer. Pendekatan ini dalam pandangan Gamble (2010: 106), memandang komputer
sebagai sebuah pemerdekaan atas utopia yang berlangsung melampaui polaritas laki-
laki/perempuan, heteroseksual/ homoseksual, dan cyberculture sebagai batasan baru dari
aktivisme seksual dan pemberontakan.

2021 Cyber Culture


13 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Cyberfeminism liberal, yang telah dipengaruhi oleh feminisme liberal,
postmodernisme dan teori queer¸ telah memperluas gagasan cyberspace sebagai forum
demokratis di mana para pengguna dibebaskan dari paksaanpaksaan dunia fisik terhadap
seksualitas. Namun demikian, hal ini bukan satu-satunya cara di mana perempuan telah
merebut peluang yang disediakanoleh teknologi informasi untuk mengangkat bahu
melawan hambatan peran tradisional mereka. Judy Wajcman dalam esainya “The Gender
Politics of Technology” (2006: 715) menyatakan bahwa munculnya cyberfeminisme telah
memberikan suara pada aliran baru dari teori gender yang mencakup ide-ide utopis
cyberspace menjadi area bebas gender (gender-free) yang menjadi kunci bagi
pembebasan perempuan.
Cyberfeminist, menurut Wajcman, mengklaim bahwa internet menyediakan dasar
teknologi untuk membentuk masyarakat baru dan keragaman subjektivitas yang inovatif.
Teknologi digital memfasilitasi kaburnya batas-batas antara manusia dan mesin serta
batas-batas laki-laki dan perempuan, yang memungkinkan pengguna untuk memilih
mereka, penyamaran mereka dan menganggapnya sebagai identitas alternatif. Eksplorasi
Identitas ini kemudian menantang pengertian tentang subjektivitas dan mensubversi
fantasi maskulin yang dominan.

2021 Cyber Culture


14 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka

Alatas, S., & Susanto, V. (2019). Cyberfeminisme dan Pemberdayaan Perempuan melalui
Media Baru. Jurnal Komunikasi Pembangunan, 17(2), 165-176.

Bell, D. (2001). An introduction to cyberculture. London: Routledge

Guzzetti, B. J. (2008). Identities in Online Communities: A Young Woman’s Critique of


Cyberculture. E-Learning, 5(4), 457-474

O’Brien, K. (2009). Women and Elightenment in Eighteenth-Century Britain. Cambridge:


Cambridge University Press
Swastini, N. K. A. (2013). Perkembangan Feminisme Barat Dari Abad Kedelapanbelas
Hingga Postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoretis. Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora, 2(1), 198-208.

Richardson, A. (2002). Mary Wollstonecraft on Education in The Cambridge Companion


to Mary Wollstonecraft, Editor Claudia l. Johnson. Cambridge: Cambridge
University Press.
Rosyidah, F. N., & Nurwati, N. (2019). Gender dan Stereotipe: Konstruksi Realitas dalam
Media Sosial Instagram. Share: Social Work Journal, 9(1), 10-19
Sanders, V. (2006). First Wave Feminism in Cambridge Companion to Feminism and
Postfeminism, Editor Gamble, S. (2006).

2021 Cyber Culture


15 Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A.
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/

You might also like