Professional Documents
Culture Documents
Modul 7 Cyber Culture
Modul 7 Cyber Culture
MODUL PERKULIAHAN
W042100027 –
Cyber Culture
Gender in Cyberspace
Abstrak Sub-CPMK
07
Engga Probi Endri, S.I.Kom., M.A. &
Fakultas Ilmu Komunikasi Ilmu Komunikasi Tim Teaching
Pendahuluan
Modul ini akan membahas mengenai topik gender dalam konteks budaya siber. Kaitan
antara gender-teknologi mejadi salah satu hal yang perlu diperhatikan ketika mempelajari
lebih dalam mengenai cyberculture. Feminis mengkritik ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah mengeksplorasi isu ini dari banyak sudut pandang, dengan menfokuskan pada
teknologi yang beragam, termasuk juga teknologi reproduktif dan domestik (Wajcman,
1991).
Penggambaran diri dan identitas diri di dunia siber merupakan salah satu fenomena yang
terjadi dalam hubungan interpersonal. Penelitian tentang penggambaran diri di dunia siber
dan keterkaitannya dengan konstruksi identitas, representasi individu, fenomena budaya
siber, serta penggunaan situs jejaring sosial menjadi topik yang difokuskan oleh para
peneliti kajian budaya siber. Perkembangan Facebook pada tahun 2004 untuk kalangan
terbatas di Harvard University dan kemudian menjadi situs jejaring sosial yang bisa
diakses publik pada tahun 2006 memberi dampak pada pembentukan identitas diri dalam
ruang siber.
Sebagai pembuka diskusi, beberapa kajian terkait identitas diri dalam situs jejaring
sosial bisa dilihat pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mazer, Joseph, P., Murphy,
Richard E., dan Cheri J. Simonds dengan judul “Facebook: The Effects of Computer
Mediated Teacher Self-Disclosure on Student Motivation, Affective Learning, and
Classroom Climate” pada tahun 2007. Penelitian tersebut menggambarkan bagaimana
motivasi belajar siswa meningkat, pembelajaran lebih efektif dan meningkatkan suasana
positif dalam belajar ketika mengakses situs jaringan pertemanan sosial dengan gurunya
yang lebih mengungkapkan dirinya di Facebook berbanding guru yang sedikit
mengungkap tentang dirinya.
Selain itu, penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 oleh Graham Nichols Dixon
pada tahun 2008 dengan judul “Instant Validation: Testing Identity in Facebook”
menunjukkan hasil bahwa keberadaan siber dan kemunculan Facebook telah membawa
fokus baru tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang mengonstruksi identitas
mereka secara daring. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa identitas tidak hanya
sekadar proses atau bagian dari atribut seseorang, tetapi secara dramatis konstruksi
identitas tersebut tidak berada dalam kondisi statis; bermakna bahwa identitas itu secara
simultan terus menerus dikonstruksikan oleh individu.
Identitas dikaji oleh Hall dengan menjelaskannya sebagai tiga konsep subjek yang
berbeda sebagai berikut:
1. Enlightenment subject – bahwa secara konsep, manusia merupakan subjek
yang terpusat, individu yang menyatu, subjek secara fitrahnya mewarisi apa yang
dikatakan sebagai beragam alasan (reason), kesadaran (conciousness), dan aksi
(action) yang bagi Hall merupakan “whose ‘center’ consists of inner core which
first emerged when the subject was born, and unfolded with it while remaining
essentially the same—continuous or ‘identical’ with itself—troughout the individual
existence.” Pusat dari segala hal yang esensial menyangkut diri inilah yang
disebut sebagai ‘identitas’ seseorang. Bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki
keinginan di dalam dirinya untuk menentukan identitas dirinya dan bukan
kepasrahan untuk menerima identitas dirinya karena ada yang mendominasi.
Gender dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana individu yang lahir secara biologis
sebagai laki-laki dan perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai
laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering
didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan
(Rosyidah & Nurwati, 2019). Lebih lanjut lagi disampaikan bahwa istilah gender seringkali
tumpang tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata tersebut memiliki makna
yang berbedad. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia
CYBERFEMINISM
*catatan: sebagian besar topik perbincangan ini diadopsi dari Alatas, S., & Susanto, V. (2019). Cyberfeminisme dan
Pemberdayaan Perempuan melalui Media Baru. Jurnal Komunikasi Pembangunan, 17(2), 165-176.
Dalam era media baru, setiap individu maupun kelompok-kelompok sosial, budaya,
ekonomi maupun politik harus meniscayakan dirinya untuk berinteraksi secara aktif
lingkungan media yang baru ini, bukan sekadar untuk mengekspresikan identitas individu
atau kelompok, namun yang lebih penting bagaimana kemudian setiap kelompok
menggunakan media baru sebagai wadah komunikasi untuk melakukan pemberdayaan
atau pun pembebasan dirinya, atau meminjam istilah Robert Samuel (2010) untuk
“celebrating the autonomous individual’s ability”. Dalam perspektif ini, menurut Samuel,
kekuatan terorganisir perempuan, etnis minoritas, pekerja, dan subyek kolonial semua
menuntut inklusi dalam pengertian modern mengenai kesetaraan.
Feminisme sebagai sebuah gerakan pembebasan kaum perempuan yang
berupaya untuk melawan subordinasi terhadap perempuan telah menerapkan new media
kedalam isu-isu penting. Salah satu yang menjadi perhatian penting adalah potensi media
baru dalam menawarkan sebuah gagasan tentang pembebasan dan pemberdayaan.
Cyberfeminism merupakan hasil penting dari penerapan tersebut. Dictionary of Media
Studies (2006: 58) menyebut Cyberfeminism sebagai “the study of new technology and its
effect on women’s issues”. Namun demikian, sejatinya, cyberfeminism bukan sekadar
studi teoritis ataupun kajian kritis, ia juga merupakan gerakan praksis yang menawarkan
ide-ide tetangn pembebasan kaum perempuan dari segala macam dominasi patriarkal.
Interaksi dengan new media telah memberikan sebuah wahana baru bagi kaum
perempuan untuk bangkit membebaskan dirinya dari dominasi dan subordinasi.
Berbeda dengan kebanyakan teknologi-teknologi lain yang cenderung didominasi
oleh kaum pria, new media lebih netral dan tidak memihak kepada maskulinitas. Dengan
demikian new media, dalam pandangan cyberfeminism, telah memberikan sebuah
wilayah yang besar, wilayah dengan arena tujuan dari cyber space, yaitu proses teknologi
yang di genderisasi, dengan cara pemberdayaan perempuan melalui techno-budaya.
Para cyberfeminist berpendapat bahwa perempuan secara alami cocok untuk
menggunakan new media, karena perempuan dan new media serupa by nature.
Keduanya, menurut para cyberfeminist merupakan replikasi diri sistem yang
bersangkutan dengan saling membuat koneksi. Mereka memiliki pendapat bahwa
Alatas, S., & Susanto, V. (2019). Cyberfeminisme dan Pemberdayaan Perempuan melalui
Media Baru. Jurnal Komunikasi Pembangunan, 17(2), 165-176.