You are on page 1of 4

KEMERDEKAAN DALAM BINGKAI ISLAM

Bulan ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya. Semarak menyambutnya telah nampak sejak
jauh hari. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-
jalan raya. Semuanya menjadi semarak menyambut hari bersejarah itu.

Namun di balik kesemarakannya, masih terselip berbagai pertanyaan di benak kita; benarkah kita sudah merdeka secara
hakiki? apa makna kemerdekaan bagi kita? bagaimana kita mengisi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?

Sebelum kita melihat lebih jauh, ada baiknya kita mencoba mengingat kembali bagaimana kemerdekaan itu bisa hadir di
negeri tercinta ini.

Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa ini, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap
lembarannya. Ya, jejak perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan mengagungkan
nama Islam. Bahkan perjuangan kemerdekaan tersebut telah ada jauh sebelum terbayangnya sebuah komunitas
bernama Indonesia.

Dalam sejarah itu, kita dapat melihat bagaimana semangat jihad melebur ke dalam budaya masyarakat Indonesia, yang
memang menjadi mayoritas muslim kala itu. Tampilnya para pejuang Islam di beberapa wilayah seperti ; di Aceh dengan
Hikayat Perang Sabil-nya, di Jawa dengan dengan Pangeran Diponegoro yang hendak merdeka dan melawan penjajahan,
di Makassar dengan Sultan Alauddin yang berdiri tegak mempertahankan kesultanannya dari rongrongan VOC, dan
daerah-daerah lainnya, semuanya menjadi warna perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Bertumpuk-tumpuk badan telah
menjadi syahid, insyaaAllah. Bersahut-sahut takbir memanggil, mengantar nyawa mereka bercerai dari badannya, yang
dengannya mereka mempertanggungjawabkan jihadnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ketika
perjuangan beralih ke zaman setelah itu, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju
kemerdekaan. Tak heran, jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya
Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta
(Jakarta Charter), umat Islam mencoba menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka yang
bertauhid. Meskipun akhirnya pupus karena suatu sebab yang disesalkan para tokoh Islam waktu itu.

Makna Kemerdekaan

Manusia sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dianugerahi keistimewaan tersendiri yang tidak diperoleh
oleh makhluk-makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-
anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’ : 70). Selain
ilmu dan akal, di antara bentuk kemuliaan dan kelebihan manusia atas makhluk-makhluk lain, menurut sebagian para
mufassirin (ahli tafsir), adalah kecenderungannya untuk terbebas dari penindasan dan penjajahan (Lihat Tafsir Bahrul
Muhith 6/59).

Dengan kata lain, kemerdekaan merupakan kunci kemuliaan manusia. Manusia tak akan lebih utama dari makhluk-
makhluk lain dan menjadi mulia sebelum ia terbebas dari penjajahan.

Lalu pertanyaannya, kemerdekaan seperti apa yang akan menjadikannya mulia?

Dalam sebuah atsar (riwayat) disebutkan, ketika Rib’i bin Amir radhiyallahu anhu, salah seorang utusan pasukan Islam
dalam perang Qadishiyah ditanya tentang perihal kedatangannya oleh Rustum, panglima pasukan Persia, ia menjawab,
“Allah mengutus kami (Rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia kepada manusia menuju
penghambaan manusia kepada Rabb manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari
ketidakadilan agama-agama yang ada kepada keadilan Islam.” (Lihat Al-Jihad Sabiluna hal. 119).
Dari atsar di atas, nampak bahwa Islam, ternyata, memandang kemerdekaan bukan dari satu sisi saja, melainkan dari
semua sisi, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah, yakni kemerdekaan atau bebas dari penghambaan kepada selain
Allah Subhanahu wa Ta’ala menuju tauhid untuk ranah batiniyah dan kemerdekaan dari kesempitan dunia dan
ketidakadilan menuju kelapangan dan keadilan Islam dalam ranah lahiriyah. Sehingga bisa dikatakan bahwa makna
kemerdekaan dari ajaran Islam adalah kemerdekaan yang sempurna bagi umat manusia. Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah dalam Syarah Al-Aqidah Al-Washithiyyah berkata, “Ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah adalah
kemerdekaan yang hakiki, (sehingga) orang yang tidak menyembah kepada Allah semata, maka dia adalah hamba
(budak) bagi selain Allah”. Jika ia masih menjadi budak, tentu saja belum pantas disebut merdeka.

Kemerdekaan yang asasi adalah ketika manusia berada dalam fitrahnya, yaitu Islam dan tauhid. Setiap manusia yang
terlahir di muka bumi, sejatinya adalah manusia merdeka. Bagaimana bisa? Hal ini karena sejatinya tak seorang pun
yang terlahir ke dunia ini kecuali telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabbnya dan Islam adalah
agamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf : 172).

Ketika manusia tidak berada di atas fitrah tersebut, sekali lagi, sesungguhnya ia adalah manusia yang belum merdeka
dan masih terjajah. Kemerdekaan manusia yang asasi ini kemudian bisa terampas dari lingkungan dimana manusia itu
tumbuh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, selanjutnya orang
tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nashrani, atau majusi” (HR. Muslim).

Jadi, setiap muslim hendaknya memaknai kemerdekaan itu sebagai pembebasan dari segala bentuk kesyirikan yang
dapat menyimpangkannya dari jalan fitrahnya. Begitu pula, kemerdekaan oleh seorang muslim adalah terbebasnya
seorang hamba dari segala sistem kehidupan yang tidak bersumber dari aturan Islam dan sunnah NabiNya sebagai
wahyu Ilahi. Olehnya, ketika seorang hamba senantiasa komitmen akan hal ini, maka sejatinya ia adalah manusia
merdeka di sepanjang hidupnya. Wallahu a’lam.

Salah Kaprah

Pemahaman kemerdekaan yang sempit adalah ketika seorang hanya memandang bahwa kemerdekaan itu hanya ketika
pasukan musuh berhasil dipukul mundur dari wilayah perbatasan sebuah bangsa. Ya, itu memang adalah bagian dari
indikasi kemerdekaan, namun bukan esensi (pokok). Mengapa demikian? Hal ini karena penjajahan terhadap suatu
negeri, bukan hanya berupa penghancuran negeri tersebut oleh pasukan musuh, dirampasnya berbagai kekayaan alam
dan sumberdaya oleh para penjajah, dan semacamnya, melainkan dengan corak dan ragamnya yang banyak, dan bahkan
lebih buruk dari bentuk penjajahan fisik tersebut.

Seberapa besar keuntungan yang diraih dengan kepulangan pasukan musuh ke negerinya, jika sistem kehidupan para
penjajah (baca: Barat) yang bertentangan dengan Islam dan jatidiri bangsa masih diterapkan di negeri ini? Jika demikian
adanya, bukankah sebenarnya kita masih tetap dijajah, meski tidak dengan mesiu dan peluru? Memang, entah karena
tidak tahu, lupa atau disengaja, masalah ini kerap dilupakan oleh generasi saat ini.

Maka, penjajahan dalam arti yang sebenarnya adalah upaya untuk menjauhkan dan menghalangi manusia untuk
mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Dari sini, kemerdekan itu sejatinya bersifat bertingkat-tingkat,
antara satu individu atau komunitas dengan individu atau komunitas lainnya. Semuanya tergantung dari sejauh mana ia
mampu menerapkan Islam dan nilai-nilainya yang agung dan mulia dalam hidup dan kehidupannya. Wallahu a’lam.
Bentuk Penjajahan

Corak dan ragam penjajahan itu bermacam-macam.

Pertama, iblis adalah penjajah yang paling berbahaya bagi manusia. Bahayanya seperti apa? Ia senantiasa berupaya
untuk menyesatkan manusia dari jalan hidayah dan Islam hingga hari kiamat. Iblis berkata sebagaimana disebutkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-
halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS.
Al-A’raf : 17). Iblis menjajah manusia melalui bujuk rayunya yang dipoles dengan cover berbau ilmiyah, agar manusia
menjauhi dan bahkan memusuhi ajaran dan syari’at Islam. Hingga tak ayal lagi, sebagian besar umat manusia dari dulu
hingga sekarang telah tertipu oleh propagandanya. Maka, selayaknya kita menjadikannya sebagai musuh abadi. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya syetan itu musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (QS. Al-
Faathir : 6).

Kedua, penjajah manusia yang tidak kalah bahayanya adalah nafsu dan syahwatnya, yang selalu mengajak kepada
kejelekan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS.
Yusuf : 53). Nafsu di sini adalah nafsu lawwamah yaitu jiwa yang selalu goncang, yang jika tidak diarahkan, akan
mengantarkan manusia kepada keburukan. Nafsu dan syahwat seperti ini akan bisa diatasi di antaranya dengan ilmu
(agama) untuk memperkuat ruhiyah.

Ketiga, penjajah dalam rupa dunia, juga kerap menampakkan kedigyantaraannya dalam menjajah jiwa manusia.
Penjajah yang satu ini, tak puas-puas membuat ulah, padahal hampir semua darah yang tertumpah di permukaan bumi
atas namanya. Ya, cinta dunia adalah racun dalam kehidupan umat manusia. Karena seorang yang cinta dunia
dikhawatirkan akan membuang cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula sebaliknya, seseorang yang
cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan memberikan tempat bagi dunia itu menempel di hatinya. Di antara
racun dunia yang paling berbahaya bagi umat manusia adalah fitnah wanita, harta dan tahta. Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diminta oleh seseorang untuk menunjukkan suatu amal dimana pelakunya akan dicintai
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia,
niscaya engkau akan dicintai Allah dan bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimilki manusia, nsicaya engkau akan
dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah. Imam An-Nawawi men-hasan-kannya).

Keempat, penjajahan dalam bentuk ghazwul fikri (perang pemikiran), yaitu invasi nilai-nilai menyimpang yang bisa
mengganggu dan merusak keyakinan, moralitas dan pola pikir kaum muslimin agar jauh dari nilai-nilai agamanya. Model
penjajahan dan invasi ini juga tak kalah bahayanya karena ia datang dengan begitu halus dan tersembunyi melalui
media-media propaganda yang hadir di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin hari ini, seperti televisi, internet,
media cetak dan lainnya.

Mensyukuri Kemerdekaan

Kemerdekaan bangsa Indonesia dari rongrongan para penjajah terhadap hak dan kehormatan bangsa adalah sebuah
nikmat besar yang wajib untuk disyukuri. 71 tahun yang lalu ketika bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, para
pendiri bangsa telah menyatakan pengakuannya dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat Rahmat Allah
Yang Maha Kuasa…”. Sehingga jelas, bahwa kemerdekaan yang hingga saat ini kita rasakan adalah berkat Rahmat dan
nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib disyukuri. Jika diingkari, tidak menutup kemungkinan, Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan mencabut nikmat-Nya dan menggantinya dengan niqmah (adzab). Sebailiknya, jika disyukri maka kesyukuran
tersebut akan mengundang nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (kenikmatan tersebut) kepada kalian” (QS. Ibrahim: 7).
Mensyukuri kemerdekaan adalah mensyukurinya dengan lisan-lisan kita, dalam bentuk kalimat tahmid, berterima kasih
dan menyebut jasa serta mendoakan para pahlawan, semoga amalnya diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyebut
jasa baik tersebut juga menjadi bagian dari syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda, “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Abu
Daud. Di-shahih-kan oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi masa kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dalam berbangsa dan bernegara, bukan dengan mengisinya dengan kemaksiatan kepadaNya.
Dengan tegas Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi
kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 41,
”(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan.” Kalimat ”kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” dapat berarti suatu bentuk
kemerdekaan dari penjajahan.

Akhirnya, mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai
Islam yang tinggi dan cinta kepada negeri ini sebagai negeri Islam. Dengan itu, insyaaAllah kita akan mampu meraih
kejayaan di masa yang akan datang dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi sebuah “baldatun thayyibatun
warabbun ghafuur“ yaitu sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala selama-lamanya. Semoga. Wallahu a’lam. (Abu Mujahid)

You might also like