You are on page 1of 13

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Struktur

Ada banyak batasan sintaksis yang telah dikemukakan oleh para linguis.

Crystal dalam buku Morfosintaksis mendefinisikan sintaksis sebagai telaah

tentang kaidah-kaidah yang mengatur cara kata-kata dikombinasikan untuk

membentuk kalimat dalam suatu bahasa. Dalam pemakaian ini, sintaksis

dikontraskan dengan morfologi, yaitu telaah tentang struktur kata. Suatu batasan

alternatif, sintaksis adalah telaah tentang hubungan antara unsur-unsur struktur

kalimat, dan telaah tentang kaidah - kaidah yang menguasai pengaturan kalimat

dalam gugus - gugus (kata). Kridalaksana dalam buku Morfosintaksis menyatakan

bahwa sintaksis adalah: (1) pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata,

atau dengan satuan - satuan yang lebih besar, atau antara satuan yang lebih besar

itu dalam bahasa; (2) subsistem bahasa yang mencakup hal tersebut (sering

dianggap bagian dari gramatika; bagian lain adalah morfologi); (3) cabang

linguistik yang mempelajari hal tersebut. Rusmadji dalam buku Morfosintaksis

mengatakan bahwa sintaksis adalah subsistem tata bahasa yang mencakup kelas

kata dan satuan-satuan yang lebih besar yaitu frasa, klausa, kalimat, dan

hubungan-hubungan di antara satuan-satuan sintaksis tersebut. (Muis, 2005 : 43).


2.1.1 Frasa

Pengertian frasa dapat dijelaskan dari dua sudut pandang, yaitu (1) frasa

sebagai suatu fungsi dan (2) frasa sebagai suatu bentuk. Sebagai suatu fungsi,

frasa adalah satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemandu kalimat (Samsuri

dalam Muis, 2005 : 58). Sebagai suatu bentuk, frasa adalah satuan gramatikal

yang berupa gabungan kata yang non-predikat (Kridalaksana dalam Muis, 2005 :

58). Bersifat non - predikat berarti bahwa hubungan kata - kata yang membentuk

frasa tidak menyebabkan fungsi subjek dan predikat dalam konstruksi tersebut.

Sejalan dengan pendapat ini, Keraf (dalam Rusyana dan Samsuri (Ed.) 1978 : 77)

mengatakan bahwa pada prinsipnya frasa adalah satuan yang terdiri dari dua kata

atau lebih yang secara gramatikal bernilai sama dengan sebuah kata yang tidak

bisa berfungsi sebagai subjek atau predikat dalam konstruksi itu. Sebaliknya, bila

satuan itu, yang termasuk dalam sebuah kalimat, memiliki subjek dan predikat

maka disebut klausa. (Ramlan dalam Muis, 2005 : 58) mengemukakan bahwa

frasa ialah satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak

melampaui batas fungsi (Muis, 2005 : 58).

2.2 Makna

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris

semantics, yang Yunaninya adalah sema (nomina) 'tanda' atau samaino (verba)

'menandai' 'berarti'. Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa untuk menyebut

bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna.Semantik merupakan bagian dari

tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfosintaksis), dan

semantik (Djadjasudarma, 1993 : 1).


2.2.1 Hakikat Makna

Menurut Ferdinand de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa

terdiri dari dua komponen,yaitu komponen signifian atau 'yang mengartikan' yang

wujudnya berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau 'yang diartikan'

yang wujudnya berupa pengertian atau konsep yang dimiliki oleh signifian).

Umpamanya tanda linguistik berupa (ditampilkan dalam bentuk ortografis)

,<meja> terdiri dari komponen signifian, yakni berupa runtunan fonem /m/ , /e/ ,

/j/ , /a/ ; dan komponen signifienya berupa konsep atau makna ' sejenis perabot

kantor atau rumah tangga. Tanda linguistik ini yang berupa runtunan fonem dan

konsep yang dimiliki runtunan fonem itu mengacu pada sebuah referen yang

berada di luar bahasa, yaitu "sebuah meja" (Chaer, 2007 : 285).

2.2.2 Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem tanpa

konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal 'sejenis

binatang berkaki empat yang biasa dikendarai', pensil bermakna leksikal 'sejenis

alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang'; dan air bermakna leksikal 'sejenis

barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari - hari' . Dengan contoh

itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya,

makna yang sesuai dengan hasil observasi indera atau makna apa adanya.

Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi

proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi.

Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan

makna gramatikal 'mengenakan atau memakai baju'; dengan dasar kuda


melahirkan makna 'mengendarai kuda'; dengan dasar rekreasi melahirkan makna

gramatikal 'melakukan rekreasi'.

Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di

dalam suatu konteks. Misalnya, makna kata kepala pada contoh berikut:

Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.

Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.

Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.

Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa.

Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.

Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat,

waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. Contoh pada kalimat berikut:

tiga kali empat berapa? Apabila dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu mata

pelajaran matematika berlangsung, tentu akan dijawab "dua belas". Namun, kalau

pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang foto di tokonya maka pertanyaan itu

mungkin akan di jawab "dua ratus" atau mungkin juga "tiga ratus", sebab

pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran tiga kali

empat centimeter (Chaer, 2007 : 289).

2.2.3 Makna Referensial dan Non- Referensial

Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada

referensnya atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah

termaksud kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya dalam dunia

nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan, karena adalah termasuk kata-
kata yang tidak bermakna referensial karena kata-kata itu tidak mempunyai

referens.

Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata, yang disebut dengan

deiksis, yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat

berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain. Yang termasuk kata-

kata deiktik ini adalah pronomina seperti dia saya dan kamu, kata-kata yang

menyatakan ruang seperti di sini, di sana, dan di situ; kata-kata yang menyatakan

waktu, seperti sekarang, besok, dan nanti; kata-kata yang disebut kata penunjuk

seperti ini dan itu (Chaer, 2007 : 291).

2.3 Numeralia

Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam

konstruksi sintaktis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain,

dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau sangat. Pada dasarnya dalam

bahasa Indonesia ada dua macam numeralia : (1) numeralia pokok, yang memberi

jawab atas pertanyaan "Berapa?" dan (2) numeralia tingkat yang memberi jawab

atas pertanyaan "yang keberapa?". Numeralia pokok disebut juga numeralia

kardinal, sedangkan numeralia tingkat disebut pula numeralia ordinal. Tiap

kelompok itu dapat pula dibagi lagi menjadi subbagian yang lebih kecil, seperti

yang akan terlihat di bagian berikut (Alwi dkk, 2003 : 275).

2.3.1 Numeralia Pokok Tentu (Takrif)

Numeralia pokok tentu adalah numeralia utama yang menyatakan jumlah

tentu. Secara keseluruhan dapat berdiri tanpa bantuan kata lain. Numeralia pokok
tentu mengacu pada bilangin pokok, yakni: satu, dua, tiga, empat, lima, enam,

tujuh, tiga ribu, tiga juta, dst (Alwi dkk, 2003 : 275).

2.3.2 Numeralia Ukuran

Bahasa Indonesia mengenal pula beberapa nomina yang menyatakaan

ukuran, baik yang berkaitan dengan berat, panjang pendek, maupun jumlah.

Misalnya lusin, kodi, meter, liter, atau gram. Nomina ini dapat didahului oleh

numeralia sehingga terciptalah numeralia gabungan. Perhatikan contoh berikut:

- Kalau ke toko, belilah dua lusin piring.

- Wanita itu membeli kemeja satu kodi.

- Saya akan memesan bahan baju batik dua meter.

- Berapa harga minyak itu per sepuluh meter?

- Mengapa Anda membeli emas hanya lima gram?

2.3.3 Numeralia Pecahan

Tiap bilangan pokok dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil yang

dinamakan numeralia pecahan.Cara membentuk numeralia itu adalah dengan

memakai kata per- di antara bilangan pembagi tersebut.Dalam bentuk huruf, per-

ditempelkan pada bilangan yang mengikutinya.Dalam bentuk angka, yang dipakai

garis yang memisahkan kedua bilangan itu. Lihatlah contoh berikut:


1
/2 - seperdua, setengah, separuh
1
/10- sepersepuluh
3
/5 - tiga perlima
7
/16 - tujuh perenam belas
Bilangan pecahan dapat mengikuti bilangan pokok. Contoh:

2 1/2 - dua setengah

7 6/10 - tujuh enam persepuluh

9 3/4 - sembilan tiga perempat

Bilangan campuran seperti di atas juga dapat ditulis dengan cara desimal

sebagai berikut:

2,5 - dua setengah atau dua koma lima

7,6 - tujuh enam persepuluh atau tujuh koma enam

9.75 - sembilan tiga perempat atau sembilan koma tujuh lima

(Alwi dkk, 2003, 281).

2.3.4 Frasa Numeralia

Pada umumnya, frasa numeralia dibentuk dengan menambahkan kata

penggolong. Contoh :

dua ekor (kerbau)

lima orang (penjahat)

tiga buah (rumah)

(Alwi dkk, 2003 : 282).

2.3.5 Penggolong Nomina : Orang, Buah, Ekor

Bahasa Indonesia memiliki sekelompok kata yang membagi - bagi

maujud nomina dalam kategori tertentu. Manusia, misalnya, disertai oleh

penggolong orang, binatang oleh penggolong ekor, dan surat oleh penggolong

pucuk. Penggolong seperti itu semata-mata didasarkan pada konvensi masyarakat


yang memakai bahasa itu. Manusia dan binatang mendapat kedudukan khusus

dengan adanya penggolong orang dan ekor. Maujud lain disertai penggolong yang

berbeda-beda. Berikut adalah beberapa kata penggolong dalam bahasa Indonesia :

orang untuk manusia

ekor untuk binatang

buah untuk buah-buahan atau hal lain yang ada di luar golongan

manusia dan binatang

batang untuk pohon, rokok, atau barang lain yang berbentuk bulat

panjang

bentuk untuk cincin, gelang, atau barang lain yang dapat

dibengkokkan atau dilenturkan

bidang untuk tanah, sawah, atau barang lain yang luas dan datar

belah untuk mata, telinga, atau benda lain yang berpasangan

Tampaknya, orang mulai mengelompokkan maujud dunia menjadi tiga

kategori, yakni manusia, binatang, dan yang bukan manusia dan binatang. Dengan

demikian, sering kita temukan penggolong sebuah yang dipakai untuk apa saja

kecuali manusia dan binatang. Perhatikan kalimat berikut:

a. Pak Anton mempunyai dua orang anak.

b. Pak Anton mempunyai dua anak.

a. Dia baru saja menjual dua ekor sapinya.

b. Dia baru saja menjual dua sapinya.

a. Dibelinya dua buah buku kemarin.

b. Dibelinya dua buku kemarin.

a. Hari itu saya menulis tiga buah surat.


b. Hari itu saya menulis tiga surat.

a. Dua buah kain batik halus dikirimkan kemarin.

b. Dua kain batik halus dikirimkan kemarin.

Pemakaian penggolong yang asli atau penggantiannya dengan orang,

ekor, dan buah, serta penghapusan penggolong lain dalam kalimat dibenarkan

dalam bahasa Indonesia yang baku, kecuali jika hal itu menimbulkan perbedaan

atau pergeseran arti (Alwi dkk, 2003 : 282).

2.3.6 Konsep Tunggal, Jamak, dan Generik

Dalam kebanyakan bahasa konsep tunggal, jamak, dan generik itu ada.

Dalam bahasa Indonesia konsep tunggal itu ditandai oleh pemakaian kata seperti

satu, suatu, atau esa, se- , sedangkan konsep jamak umumnya dinyatakan dengan

perulangan. Jika kata yang merujuk pada konsep ketunggalan itu dipandang

sebagai kumpulan, nominanya dapat berbentuk reduplikasi seperti batu-batuan

atau diwatasi di depannya dengan kata para atau kaum.

Contoh:

Tunggal Jamak

meja meja - meja

suatu orang orang - orang

suatu jawaban jawaban - jawaban

daun daun - daunan

sayur sayur - sayuran

Kecuali dalam bentuk seperti dicontohkan di atas, pada umumnya dapat

dikatakan bahwa nomina bahasa Indonesia tidak menunjukkan ciri - ciri bentuk
tunggal/ singularis dan bentuk jamak/pluralis, seperti yang dapat dilihat pada kata

pungutan Arab dan Latin yang berikut: muslim - muslimin dan alumnus - alumni.

Kata anjing dapat mengacu ke satu anjing, banyak anjing, atau semua anjing. Hal

ini bergantung pada konteks kalimatnya. Perhatikan kata - kata yang dicetak

miring pada contoh berikut:

(1) Anjing suka tulang.

(2) Seorang murid sedang membaca buku.

(3) Seorang murid sedang membaca sebuah buku.

(4) Murid-murid sedang membaca buku.

(5) Murid-murid sedang membaca sebuah buku.

Kata anjing dan tulang pada kalimat (1) tidak mengacu pada satu anjing

dan satu tulang. Kedua kata itu mengacu pada anjing dan tulang pada umumnya

dan di mana saja kedua maujud itu berada. Dengan kata lain yang diacu adalah

genus anjing dan genus tulang yang ada di dunia. Perujukan seperti ini adalah

perujukan yang bersifat generik. Kalimat yang berikut tidak dapat kita terima.

(6) *Anjing-anjing suka tulang.

*Anjing suka tulang-tulang.

*Anjing-anjing suka tulang-tulang.

Keberterimaan kalimat (1) dan ketakberterimaan kalimat (6) disebabkan

oleh kodrat bahasa kita yang mensyaratkan bahwa maujud yang generik harus

dinyatakan dalam bentuk yang tidak diulang.

Pada kalimat (2) kita lihat adanya penggolong seorang yang mendahului

murid dan tidak adanya penggolong yang mendahului buku. Seorang murid tidak

saja mengacu pada satu murid, tetapi juga mengacu pada satu murid tertentu.
Dengan kata lain, seorang murid pada kalimat itu tidak bersifat generik tetapi

spesifik. Kata buku pada kalimat itu sebenarnya dapat didahului oleh penggolong

sebuah. Akan tetapi, hal itu tidaklah perlu karena tanpa sebuah pun kita tahu

bahwa yang dibaca tidak mungkin lebih dari satu buku. Dengan demikian, kalimat

(2) dan (3) mempunyai arti yang sama.

Jika sekarang kita bandingkan buku pada kalimat (4) dan (5), kita pasti

merasakan bahwa buku yang dibaca murid - murid pada kalimat (4) lebih dari satu

- mungkin judulnya sama, tetapi jumlahnya banyak. Meskipun pengertian

kejamakannya terkandung pada kalimat (4), kita tidak dapat menyatakan dalam

bentuk jamak (Alwi dkk, 2003 : 284).

2.4 Definisi Kata

Kata penggolong Ling kata untuk menggolongkan nomina, biasanya mengikuti

bilangan.

Orang n kata penggolong untuk manusia.

Ekor n kata penggolong untuk binatang.

Buah n kata penggolong bermacam - macam benda.

Batang n kata penggolong bilangan bagi benda yang bentuknya panjang - panjang

atau bulat panjang.

Bentuk n kata penggolong bagi benda yang berkeluk (cincin, gelang, dsb).

Bidang p kata penggolong bagi barang-barang yang luas seperti tanah.

Biji n kata penggolong bagi bermacam-macam benda sebagai pengganti butir,

buah, batang, dsb.

Bilah n kata penggolong bagi sesuatu yang tipis dan panjang.

Butir n kata penggolong bagi barang yang bulat-bulat atau kecil-kecil.


Helai n kata penggolong untuk barang yang tipis atau halus.

Keping n kata penggolong bilangan (untuk barang yang pipih seperti papan atau

uang logam).

Kuntum n kata penggolong untuk bunga.

Laras n kata penggolong untuk senapan.

Patah n penggolong bilangan kata.

Potong n kata penggolong bilangan bagi berbagai-bagai benda (seperti baju, kain,

dan bungkusan).

Pucuk n penggolong bilangan bagi benda yang ujungnya runcing seperti jarum ,

surat, dan senjata api.

Tangkai n kata penggolong untuk bunga.

Unit n kata penggolong untuk barang selengkapnya dengan bagian - bagiannya.

Utas n kata penggolong untuk barang yang panjang (seperti tali, benang).

Gram n satuan ukur berat (massa) (disingkat g).

Meter n satuan dasar ukuran panjang 39,37 inci.

Liter n satuan dasar ukuran isi.

Pasang n dua benda yang kembar atau saling melengkapi, satuan jumlah dua buah.

Lusin n satuan jumlah dua belas buah.

Kodi n satuan jumlah dua puluh potong, helai, dsb.

Kantong n tempat membawa sesuatu (belanjaan, dsb) yang terbuat dari kain,

plastik, dsb.

Gelas n tempat untuk minum, berbentuk tabung terbuat dari kaca, dsb.

Cangkir n mangkuk kecil yang bertelinga (tempat air teh atau kopi yang hendak

diminum).
Kardus n karton tempat menyimpan sesuatu.

Karung n kantong besar dari goni yang kasar.

Kotak n peti kecil tempat barang perhiasan, barang kecil, dsb.

Sendok n alat yang digunakan sebagai pengganti tangan untuk mengambil sesuatu

(seperti nasi), bentuknya bulat, cekung, dan bertangkai (Moeliono,dkk

: 2008).

You might also like