You are on page 1of 16

1 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 1-7 Jawaban: E.

Menurunnya populasi E
penduduk dunia akan menurunkan
permintaan produksi daging olahan.
Pembahasan:
Berdasarkan teks tersebut,
pernyataan yang benar adalah
proyeksi meningkatnya populasi
penduduk dunia akan mendorong
permintaan dan peningkatan
produksi daging olahan.

Pada masa mendatang, permintaan daging olahan dunia


diproyeksi meningkat seperti yang termuat dalam rilis Fortune
Business Insights untuk pasar 2019 dan prediksi 2026.
Penyebabnya dipicu naiknya permintaan makanan siap saji,
karena kesibukan kian mendera banyak orang. Perkiraan itu juga
ditopang dengan proyeksi meningkatnya populasi penduduk
dunia akan mendorong permintaan dan peningkatan produksi
daging olahan—khususnya daging domba, sapi, dan unggas.
Kemudian faktor urbanisasi dan turunnya biaya karena
penggunaan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan.
Namun, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang
diolah Lokadata, menunjukkan penurunan. Khususnya untuk
daging olahan dan produk turunannya, seperti dendeng, abon,
daging dalam kaleng (kornet), sosis, nugget, bakso atau jenis yang
daging diawetkan lainnya. Pada 2017 rasio pengeluaran nasional
untuk jenis daging olahan terhadap total pengeluaran mencapai
0,20 persen. Sedangkan pada 2018 angkanya turun drastis
menjadi 0,04 persen. Jika dikalkulasi secara nasional, rata-rata
konsumsi mencapai 1,8 potong per orang setiap bulannya dengan
pengeluaran rata-rata sekitar Rp2.351.
Meski daging olahan identik makanan praktis dan instan,
uniknya malah banyak dikonsumsi di luar wilayah kota besar
Indonesia. Konsumsi tertinggi di Kabupaten Gunung Mas, rata-
rata 11,5 potong atau dengan pengeluaran sekitar Rp13.132 per
bulannya. Berikutnya Kabupaten Bima (8,7 potong/orang/bulan),
Kota Payakumbuh (5,7 potong/orang/bulan), Kabupaten
Kepulauan Seribu (3,2 potong/orang/bulan). Sedangkan untuk
wilayah administrasi kota, Kota Denpasar, menjadi kota dengan
tingkat konsumsi daging olahan terbanyak, yakni 3
potong/orang/bulan atau dengan pengeluaran sekitar Rp4.900.
Namun, optimistis pasar daging olahan bisa saja terkendala
perdebatan isu kesehatan. Pada 2015, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menuding daging olahan sebagai salah satu
penyebab penyakit kanker. Terutama karena menggunakan unsur
pengawet dan pengubah rasa. Dalam laporan WHO,
mengonsumsi 50 gram daging olahan sehari atau kurang dari dua
irisan daging meningkatkan 18 persen kemungkinan terkena
kanker kolorektal. Juga diakui, mengkonsumsi daging merah segar
sekalipun memungkinkan terkena kanker akibat zat karsinogenik,
meski masih minim bukti saat itu.
Ada yang berpandangan, makan daging merah dan daging
olahan bisa saja tidak berbahaya bagi kesehatan. Lainnya
meminta membatasi atau mengurangi konsumsi, tiga porsi daging
merah seminggu dan menghindari daging olahan sama sekali.
Alasan lain di luar argumen kesehatan, mengurangi makan daging
merah karena kondisi darurat iklim dan gas rumah kaca yang
berasal dari peternakan.
Sumber: lokadata.id

Berdasarkan pemahaman kamu terhadap bacaan tersebut.


Manakah pernyataan yang tidak tepat?

A. Pada masa mendatang, permintaan daging olahan dunia


diproyeksi meningkat.

B. Permintaan daging olahan meningkat disebabkan


kesibukan yang mendera banyak orang.

C. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menuding daging


olahan sebagai salah satu penyebab penyakit kanker.

D. Rata-rata konsumsi mencapai 1,8 potong per orang setiap


bulannya.

E. Menurunnya populasi penduduk dunia


akan menurunkan permintaan produksi daging olahan.

2 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 1-7 Jawaban: A. Rp4.900/bulan A
Pembahasan:
Berdasarkan teks tersebut,
pengeluaran untuk daging olahan di
Kota Denpasar sebesar
Rp4.900/bulan
Pada masa mendatang, permintaan daging olahan dunia
diproyeksi meningkat seperti yang termuat dalam rilis Fortune
Business Insights untuk pasar 2019 dan prediksi 2026.
Penyebabnya dipicu naiknya permintaan makanan siap saji,
karena kesibukan kian mendera banyak orang. Perkiraan itu juga
ditopang dengan proyeksi meningkatnya populasi penduduk
dunia akan mendorong permintaan dan peningkatan produksi
daging olahan—khususnya daging domba, sapi, dan unggas.
Kemudian faktor urbanisasi dan turunnya biaya karena
penggunaan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan.
Namun, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang
diolah Lokadata, menunjukkan penurunan. Khususnya untuk
daging olahan dan produk turunannya, seperti dendeng, abon,
daging dalam kaleng (kornet), sosis, nugget, bakso atau jenis yang
daging diawetkan lainnya. Pada 2017 rasio pengeluaran nasional
untuk jenis daging olahan terhadap total pengeluaran mencapai
0,20 persen. Sedangkan pada 2018 angkanya turun drastis
menjadi 0,04 persen. Jika dikalkulasi secara nasional, rata-rata
konsumsi mencapai 1,8 potong per orang setiap bulannya dengan
pengeluaran rata-rata sekitar Rp2.351.
Meski daging olahan identik makanan praktis dan instan,
uniknya malah banyak dikonsumsi di luar wilayah kota besar
Indonesia. Konsumsi tertinggi di Kabupaten Gunung Mas, rata-
rata 11,5 potong atau dengan pengeluaran sekitar Rp13.132 per
bulannya. Berikutnya Kabupaten Bima (8,7 potong/orang/bulan),
Kota Payakumbuh (5,7 potong/orang/bulan), Kabupaten
Kepulauan Seribu (3,2 potong/orang/bulan). Sedangkan untuk
wilayah administrasi kota, Kota Denpasar, menjadi kota dengan
tingkat konsumsi daging olahan terbanyak, yakni 3
potong/orang/bulan atau dengan pengeluaran sekitar Rp4.900.
Namun, optimistis pasar daging olahan bisa saja terkendala
perdebatan isu kesehatan. Pada 2015, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menuding daging olahan sebagai salah satu
penyebab penyakit kanker. Terutama karena menggunakan unsur
pengawet dan pengubah rasa. Dalam laporan WHO,
mengonsumsi 50 gram daging olahan sehari atau kurang dari dua
irisan daging meningkatkan 18 persen kemungkinan terkena
kanker kolorektal. Juga diakui, mengkonsumsi daging merah segar
sekalipun memungkinkan terkena kanker akibat zat karsinogenik,
meski masih minim bukti saat itu.
Ada yang berpandangan, makan daging merah dan daging
olahan bisa saja tidak berbahaya bagi kesehatan. Lainnya
meminta membatasi atau mengurangi konsumsi, tiga porsi daging
merah seminggu dan menghindari daging olahan sama sekali.
Alasan lain di luar argumen kesehatan, mengurangi makan daging
merah karena kondisi darurat iklim dan gas rumah kaca yang
berasal dari peternakan.
Sumber: lokadata.id
Berdasarkan teks tersebut, diketahui bahwa pengeluaran untuk
daging olahan di Kota Denpasar sebesar ...

A. Rp4.900/bulan
B. Rp1.618/bulan
C. Rp7.812/bulan
D. Rp2.109/bulan
E. Rp13.132/bulan
3 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 1-7 Jawaban: B. Permintaan daging B
olahan akan terus meningkat seiring
dengan adanya peningkatan jumlah
penduduk.
Pembahasan:
Kesimpulan untuk teks tersebut
selaras dengan ide pokok yang
menjelaskan permintaan daging
olahan akan terus meningkat seiring
dengan adanya peningkatan jumlah
penduduk.

Pada masa mendatang, permintaan daging olahan dunia


diproyeksi meningkat seperti yang termuat dalam rilis Fortune
Business Insights untuk pasar 2019 dan prediksi 2026.
Penyebabnya dipicu naiknya permintaan makanan siap saji,
karena kesibukan kian mendera banyak orang. Perkiraan itu juga
ditopang dengan proyeksi meningkatnya populasi penduduk
dunia akan mendorong permintaan dan peningkatan produksi
daging olahan—khususnya daging domba, sapi, dan unggas.
Kemudian faktor urbanisasi dan turunnya biaya karena
penggunaan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan.
Namun, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang
diolah Lokadata, menunjukkan penurunan. Khususnya untuk
daging olahan dan produk turunannya, seperti dendeng, abon,
daging dalam kaleng (kornet), sosis, nugget, bakso atau jenis yang
daging diawetkan lainnya. Pada 2017 rasio pengeluaran nasional
untuk jenis daging olahan terhadap total pengeluaran mencapai
0,20 persen. Sedangkan pada 2018 angkanya turun drastis
menjadi 0,04 persen. Jika dikalkulasi secara nasional, rata-rata
konsumsi mencapai 1,8 potong per orang setiap bulannya dengan
pengeluaran rata-rata sekitar Rp2.351.
Meski daging olahan identik makanan praktis dan instan,
uniknya malah banyak dikonsumsi di luar wilayah kota besar
Indonesia. Konsumsi tertinggi di Kabupaten Gunung Mas, rata-
rata 11,5 potong atau dengan pengeluaran sekitar Rp13.132 per
bulannya. Berikutnya Kabupaten Bima (8,7 potong/orang/bulan),
Kota Payakumbuh (5,7 potong/orang/bulan), Kabupaten
Kepulauan Seribu (3,2 potong/orang/bulan). Sedangkan untuk
wilayah administrasi kota, Kota Denpasar, menjadi kota dengan
tingkat konsumsi daging olahan terbanyak, yakni 3
potong/orang/bulan atau dengan pengeluaran sekitar Rp4.900.
Namun, optimistis pasar daging olahan bisa saja terkendala
perdebatan isu kesehatan. Pada 2015, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menuding daging olahan sebagai salah satu
penyebab penyakit kanker. Terutama karena menggunakan unsur
pengawet dan pengubah rasa. Dalam laporan WHO,
mengonsumsi 50 gram daging olahan sehari atau kurang dari dua
irisan daging meningkatkan 18 persen kemungkinan terkena
kanker kolorektal. Juga diakui, mengkonsumsi daging merah segar
sekalipun memungkinkan terkena kanker akibat zat karsinogenik,
meski masih minim bukti saat itu.
Ada yang berpandangan, makan daging merah dan daging
olahan bisa saja tidak berbahaya bagi kesehatan. Lainnya
meminta membatasi atau mengurangi konsumsi, tiga porsi daging
merah seminggu dan menghindari daging olahan sama sekali.
Alasan lain di luar argumen kesehatan, mengurangi makan daging
merah karena kondisi darurat iklim dan gas rumah kaca yang
berasal dari peternakan.
Sumber: lokadata.id
Kesimpulan yang tepat berdasarkan teks tersebut adalah ...

A. Daging merah tidak akan cukup untuk memenuhi


kebutuhan manusia.

B. Permintaan daging olahan akan terus meningkat seiring


dengan adanya peningkatan jumlah penduduk.

C. Permintaan produksi daging olahan terus ada jika orang-


orang semakin sibuk.

D. Teknologi akan terus berkembang jika permintaan daging


olahan meningkat.

E. Daging olahan sangat berbahaya bagi manusia.


4 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 1-7 Jawaban: D. Kota Ternate mengalami D
kenaikan konsumsi daging olahan
sebanyak 2 potong/orang/bulan.
Pembahasan:
Berdasarkan grafik tersebut
Kabupaten Kepulauan Seribu akan
menempati posisi lima jika Kota
Ternate mengalami kenaikan
konsumsi daging olahan sebanyak 2
potong/orang/bulan menjadi 3,3
potong/orang/bulan.
Pada masa mendatang, permintaan daging olahan dunia
diproyeksi meningkat seperti yang termuat dalam rilis Fortune
Business Insights untuk pasar 2019 dan prediksi 2026.
Penyebabnya dipicu naiknya permintaan makanan siap saji,
karena kesibukan kian mendera banyak orang. Perkiraan itu juga
ditopang dengan proyeksi meningkatnya populasi penduduk
dunia akan mendorong permintaan dan peningkatan produksi
daging olahan—khususnya daging domba, sapi, dan unggas.
Kemudian faktor urbanisasi dan turunnya biaya karena
penggunaan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan.
Namun, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang
diolah Lokadata, menunjukkan penurunan. Khususnya untuk
daging olahan dan produk turunannya, seperti dendeng, abon,
daging dalam kaleng (kornet), sosis, nugget, bakso atau jenis yang
daging diawetkan lainnya. Pada 2017 rasio pengeluaran nasional
untuk jenis daging olahan terhadap total pengeluaran mencapai
0,20 persen. Sedangkan pada 2018 angkanya turun drastis
menjadi 0,04 persen. Jika dikalkulasi secara nasional, rata-rata
konsumsi mencapai 1,8 potong per orang setiap bulannya dengan
pengeluaran rata-rata sekitar Rp2.351.
Meski daging olahan identik makanan praktis dan instan,
uniknya malah banyak dikonsumsi di luar wilayah kota besar
Indonesia. Konsumsi tertinggi di Kabupaten Gunung Mas, rata-
rata 11,5 potong atau dengan pengeluaran sekitar Rp13.132 per
bulannya. Berikutnya Kabupaten Bima (8,7 potong/orang/bulan),
Kota Payakumbuh (5,7 potong/orang/bulan), Kabupaten
Kepulauan Seribu (3,2 potong/orang/bulan). Sedangkan untuk
wilayah administrasi kota, Kota Denpasar, menjadi kota dengan
tingkat konsumsi daging olahan terbanyak, yakni 3
potong/orang/bulan atau dengan pengeluaran sekitar Rp4.900.
Namun, optimistis pasar daging olahan bisa saja terkendala
perdebatan isu kesehatan. Pada 2015, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menuding daging olahan sebagai salah satu
penyebab penyakit kanker. Terutama karena menggunakan unsur
pengawet dan pengubah rasa. Dalam laporan WHO,
mengonsumsi 50 gram daging olahan sehari atau kurang dari dua
irisan daging meningkatkan 18 persen kemungkinan terkena
kanker kolorektal. Juga diakui, mengkonsumsi daging merah segar
sekalipun memungkinkan terkena kanker akibat zat karsinogenik,
meski masih minim bukti saat itu.
Ada yang berpandangan, makan daging merah dan daging
olahan bisa saja tidak berbahaya bagi kesehatan. Lainnya
meminta membatasi atau mengurangi konsumsi, tiga porsi daging
merah seminggu dan menghindari daging olahan sama sekali.
Alasan lain di luar argumen kesehatan, mengurangi makan daging
merah karena kondisi darurat iklim dan gas rumah kaca yang
berasal dari peternakan.
Sumber: lokadata.id
Berdasarkan grafik tersebut, Kabupaten Kepulauan Seribu akan
menempati posisi kelima jika ...

A. Kabupaten Bima mengalami penurunan konsumsi daging


olahan sebanyak 5 potong/orang/bulan.

B. Kota Payakumbuh mengalami penurunan konsumsi


daging olahan sebanyak 2,6 potong/orang/bulan.

C. Kota Denpasar mengalami penurunan konsumsi daging


olahan sebanyak 0,2 potong/orang/bulan.

D. Kota Ternate mengalami kenaikan konsumsi daging


olahan sebanyak 2 potong/orang/bulan.

E. Kabupaten Teluk Bintuni mengalami kenaikan konsumsi


daging olahan sebanyak 0,5 potong/orang/bulan.

5 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 1-7 Jawaban: E. Kota Payakumbuh akan E
menjadi peringkat ke-4 sebagai
wilayah pengkonsumsi daging
olahan tertinggi di Indonesia.
Pembahasan:
Jika Kota Kotamobagu mengalami
kenaikan jumlah konsumsi daging
olahan sebanyak 5
potong/orang/bulan, maka konsumsi
daging olahan di Kota tersebut akan
menjadi 6,5 potong/orang/bulan
yang menandakan Kota Payakumbuh
akan menempati posisi ke-4 sebagai
wilayah pengkonsumsi daging
tertinggi di Indonesia karena tergeser
Kota Kotamobagu yang naik ke
peringkat ke-3.

Pada masa mendatang, permintaan daging olahan dunia


diproyeksi meningkat seperti yang termuat dalam rilis Fortune
Business Insights untuk pasar 2019 dan prediksi 2026.
Penyebabnya dipicu naiknya permintaan makanan siap saji,
karena kesibukan kian mendera banyak orang. Perkiraan itu juga
ditopang dengan proyeksi meningkatnya populasi penduduk
dunia akan mendorong permintaan dan peningkatan produksi
daging olahan—khususnya daging domba, sapi, dan unggas.
Kemudian faktor urbanisasi dan turunnya biaya karena
penggunaan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan.
Namun, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang
diolah Lokadata, menunjukkan penurunan. Khususnya untuk
daging olahan dan produk turunannya, seperti dendeng, abon,
daging dalam kaleng (kornet), sosis, nugget, bakso atau jenis yang
daging diawetkan lainnya. Pada 2017 rasio pengeluaran nasional
untuk jenis daging olahan terhadap total pengeluaran mencapai
0,20 persen. Sedangkan pada 2018 angkanya turun drastis
menjadi 0,04 persen. Jika dikalkulasi secara nasional, rata-rata
konsumsi mencapai 1,8 potong per orang setiap bulannya dengan
pengeluaran rata-rata sekitar Rp2.351.
Meski daging olahan identik makanan praktis dan instan,
uniknya malah banyak dikonsumsi di luar wilayah kota besar
Indonesia. Konsumsi tertinggi di Kabupaten Gunung Mas, rata-
rata 11,5 potong atau dengan pengeluaran sekitar Rp13.132 per
bulannya. Berikutnya Kabupaten Bima (8,7 potong/orang/bulan),
Kota Payakumbuh (5,7 potong/orang/bulan), Kabupaten
Kepulauan Seribu (3,2 potong/orang/bulan). Sedangkan untuk
wilayah administrasi kota, Kota Denpasar, menjadi kota dengan
tingkat konsumsi daging olahan terbanyak, yakni 3
potong/orang/bulan atau dengan pengeluaran sekitar Rp4.900.
Namun, optimistis pasar daging olahan bisa saja terkendala
perdebatan isu kesehatan. Pada 2015, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menuding daging olahan sebagai salah satu
penyebab penyakit kanker. Terutama karena menggunakan unsur
pengawet dan pengubah rasa. Dalam laporan WHO,
mengonsumsi 50 gram daging olahan sehari atau kurang dari dua
irisan daging meningkatkan 18 persen kemungkinan terkena
kanker kolorektal. Juga diakui, mengkonsumsi daging merah segar
sekalipun memungkinkan terkena kanker akibat zat karsinogenik,
meski masih minim bukti saat itu.
Ada yang berpandangan, makan daging merah dan daging
olahan bisa saja tidak berbahaya bagi kesehatan. Lainnya
meminta membatasi atau mengurangi konsumsi, tiga porsi daging
merah seminggu dan menghindari daging olahan sama sekali.
Alasan lain di luar argumen kesehatan, mengurangi makan daging
merah karena kondisi darurat iklim dan gas rumah kaca yang
berasal dari peternakan.
Sumber: lokadata.id
Berdasarkan grafik tersebut, jika Kota Kotamobagu mengalami
kenaikan jumlah konsumsi daging olahan sebanyak 5
potong/orang/bulan, maka ...

A. Kabupaten Kepulauan Seribu akan menjadi peringkat ke-


6 sebagai wilayah pengkonsumsi daging olahan tertinggi
di Indonesia.
B. Kabupaten Teluk Bintuni akan menjadi peringkat ke-5
sebagai wilayah pengkonsumsi daging olahan tertinggi di
Indonesia.

C. Kota Denpasar akan menjadi peringkat ke-4 sebagai


wilayah pengkonsumsi daging olahan tertinggi di
Indonesia.

D. Kabupaten Bima akan menjadi peringkat ke-3 sebagai


wilayah pengkonsumsi daging olahan tertinggi di
Indonesia.

E. Kota Payakumbuh akan menjadi peringkat ke-4 sebagai


wilayah pengkonsumsi daging olahan tertinggi di
Indonesia.

6 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 1-7 Jawaban: C. sushi C
Pembahasan:
Daging olahan dan produk
turunannya, seperti dendeng, abon,
daging dalam kaleng (kornet),
sosis, nugget, bakso atau jenis yang
daging diawetkan lainnya.

Pada masa mendatang, permintaan daging olahan dunia


diproyeksi meningkat seperti yang termuat dalam rilis Fortune
Business Insights untuk pasar 2019 dan prediksi 2026.
Penyebabnya dipicu naiknya permintaan makanan siap saji,
karena kesibukan kian mendera banyak orang. Perkiraan itu juga
ditopang dengan proyeksi meningkatnya populasi penduduk
dunia akan mendorong permintaan dan peningkatan produksi
daging olahan—khususnya daging domba, sapi, dan unggas.
Kemudian faktor urbanisasi dan turunnya biaya karena
penggunaan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan.
Namun, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang
diolah Lokadata, menunjukkan penurunan. Khususnya untuk
daging olahan dan produk turunannya, seperti dendeng, abon,
daging dalam kaleng (kornet), sosis, nugget, bakso atau jenis yang
daging diawetkan lainnya. Pada 2017 rasio pengeluaran nasional
untuk jenis daging olahan terhadap total pengeluaran mencapai
0,20 persen. Sedangkan pada 2018 angkanya turun drastis
menjadi 0,04 persen. Jika dikalkulasi secara nasional, rata-rata
konsumsi mencapai 1,8 potong per orang setiap bulannya dengan
pengeluaran rata-rata sekitar Rp2.351.
Meski daging olahan identik makanan praktis dan instan,
uniknya malah banyak dikonsumsi di luar wilayah kota besar
Indonesia. Konsumsi tertinggi di Kabupaten Gunung Mas, rata-
rata 11,5 potong atau dengan pengeluaran sekitar Rp13.132 per
bulannya. Berikutnya Kabupaten Bima (8,7 potong/orang/bulan),
Kota Payakumbuh (5,7 potong/orang/bulan), Kabupaten
Kepulauan Seribu (3,2 potong/orang/bulan). Sedangkan untuk
wilayah administrasi kota, Kota Denpasar, menjadi kota dengan
tingkat konsumsi daging olahan terbanyak, yakni 3
potong/orang/bulan atau dengan pengeluaran sekitar Rp4.900.
Namun, optimistis pasar daging olahan bisa saja terkendala
perdebatan isu kesehatan. Pada 2015, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menuding daging olahan sebagai salah satu
penyebab penyakit kanker. Terutama karena menggunakan unsur
pengawet dan pengubah rasa. Dalam laporan WHO,
mengonsumsi 50 gram daging olahan sehari atau kurang dari dua
irisan daging meningkatkan 18 persen kemungkinan terkena
kanker kolorektal. Juga diakui, mengkonsumsi daging merah segar
sekalipun memungkinkan terkena kanker akibat zat karsinogenik,
meski masih minim bukti saat itu.
Ada yang berpandangan, makan daging merah dan daging
olahan bisa saja tidak berbahaya bagi kesehatan. Lainnya
meminta membatasi atau mengurangi konsumsi, tiga porsi daging
merah seminggu dan menghindari daging olahan sama sekali.
Alasan lain di luar argumen kesehatan, mengurangi makan daging
merah karena kondisi darurat iklim dan gas rumah kaca yang
berasal dari peternakan.
Sumber: lokadata.id
Berdasarkan teks di atas, berikut ini yang termasuk daging olahan
dan produk turunannya, kecuali ….

A. Bakso
B. Kornet
C. Sushi
D. Sosis
E. Dendeng
7 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 8-14 Jawaban: B. Ikan lele lebih banyak B
sukai di Pulau Jawa dan Sumatra
Pembahasan:
Berdasarkan teks tersebut, ikan lele
lebih banyak disukai di Pulau Jawa
dan Sumatra. Khususnya Jawa Tengah
dan Jawa Timur, seperti Kabupaten
Madiun (350 gram/orang/bulan) dan
Kabupaten Klaten (255
gram/orang/bulan).
Meski menjadi negeri bahari, tingkat konsumsi ikan masih
rendah. Konsumsi ikan nasional mencapai 50,49 kilogram per
orang hingga Oktober 2019. Angka itu meleset dari target
sebelumnya, yakni sebesar 54 kilogram per orang. Jika
dibandingkan dengan sejumlah negara, masih kalah dengan Korea
Selatan (78,5 kilogram per tahun), Myanmar (59,9 kilogram per
tahun), Malaysia (58,6 kilogram per tahun), dan Jepang (58
kilogram per tahun).
Lokadata menelisik data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) 2018 untuk melihat jenis ikan yang paling banyak
dikonsumsi. Setidaknya ada enam jenis ikan paling banyak
dikonsumsi kurun setahun terakhir, yakni ikan lele, mas dan nila,
kembung, bandeng, dan mujair. Hasilnya, ikan lele paling banyak
dikonsumsi, mencapai 138 gram per bulan. Namun, jika
berdasarkan wilayah, ikan mas dan nila paling digemari. Tingkat
konsumsinya berada di 65 kabupaten/kota, mengalahkan
konsumsi ikan lele di 63 kabupaten/kota.
Terdapat segmentasi konsumsi jenis ikan berdasarkan
wilayah. Misalnya, ikan lele lebih banyak disukai di Pulau Jawa dan
Sumatra. Khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti
Kabupaten Madiun (350 gram/orang/bulan) dan Kabupaten
Klaten (255 gram/orang/bulan). Di Sumatra, ikan lele banyak
dikonsumsi di wilayah Lampung Timur (350 gram/orang/bulan)
dan Ogan Komering Ulu Timur (486 gram/orang/bulan).
Sedangkan konsumsi ikan mas dan nila cakupannya lebih luas.
Tersebar di Jawa Barat, sisi barat Sumatra, dan Kalimantan.
Misalnya di Kabupaten Bandung (380 gram/orang/bulan),
Kotawaringin Barat (313 gram/orang/bulan), dan Kabupaten
Solok (378 gram/orang/bulan).
Ikan bandeng lebih banyak dikonsumsi di wilayah
Sulawesi. Seperti di Kota Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Konsumsinya lebih dari setengah kilogram, mencapai 621
gram/orang/bulan. Lain hal dengan ikan kembung dan mujair,
lebih banyak dikonsumsi di Papua. Tingkat konsumsinya mencapai
satu kilogram per orang setiap bulannya di Kabupaten Merauke.
Begitu pula dengan konsumsi ikan kembung di Kabupaten
Kaimana, Papua Barat yang konsumsinya mencapai 1.422
gram/orang/bulan atau hampir 1,5 kilogram.
Gerakan gemar makan ikan yang digagas pemerintah
untuk memenuhi 60 persen asupan protein hewani. Mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
mengatakan, konsumsi ikan mampu mendorong tingkat
kecerdasan (IQ), karena kandungan protein dan omega 3.
Sumber: lokadata.id

Berdasarkan pemahaman kamu terhadap bacaan tersebut.


Manakah pernyataan yang tepat?

A. Konsumsi ikan mas dan nila mencakup 63


kabupaten/kota.

B. Ikan lele lebih banyak sukai di Pulau Jawa dan Sumatra


C. Ikan bandeng lebih banyak dikonsumsi di wilayah
Sumatera.

D. Setidaknya ada enam jenis ikan paling banyak dikonsumsi


kurun 5 tahun terakhir.

E. Tingkat konsumsi ikan lele berada di 65 kabupaten/kota.


8 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 8-14 Jawaban: B. 58 kg/tahun B
Pembahasan:
Berdasarkan teks tersebut, konsumsi
ikan Korea Selatan 78,5 kilogram per
tahun, Myanmar 59,9 kilogram per
tahun, Malaysia 58,6 kilogram per
tahun, dan Jepang 58 kilogram per
tahun.

Meski menjadi negeri bahari, tingkat konsumsi ikan masih


rendah. Konsumsi ikan nasional mencapai 50,49 kilogram per
orang hingga Oktober 2019. Angka itu meleset dari target
sebelumnya, yakni sebesar 54 kilogram per orang. Jika
dibandingkan dengan sejumlah negara, masih kalah dengan Korea
Selatan (78,5 kilogram per tahun), Myanmar (59,9 kilogram per
tahun), Malaysia (58,6 kilogram per tahun), dan Jepang (58
kilogram per tahun).
Lokadata menelisik data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) 2018 untuk melihat jenis ikan yang paling banyak
dikonsumsi. Setidaknya ada enam jenis ikan paling banyak
dikonsumsi kurun setahun terakhir, yakni ikan lele, mas dan nila,
kembung, bandeng, dan mujair. Hasilnya, ikan lele paling banyak
dikonsumsi, mencapai 138 gram per bulan. Namun, jika
berdasarkan wilayah, ikan mas dan nila paling digemari. Tingkat
konsumsinya berada di 65 kabupaten/kota, mengalahkan
konsumsi ikan lele di 63 kabupaten/kota.
Terdapat segmentasi konsumsi jenis ikan berdasarkan
wilayah. Misalnya, ikan lele lebih banyak disukai di Pulau Jawa dan
Sumatra. Khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti
Kabupaten Madiun (350 gram/orang/bulan) dan Kabupaten
Klaten (255 gram/orang/bulan). Di Sumatra, ikan lele banyak
dikonsumsi di wilayah Lampung Timur (350 gram/orang/bulan)
dan Ogan Komering Ulu Timur (486 gram/orang/bulan).
Sedangkan konsumsi ikan mas dan nila cakupannya lebih luas.
Tersebar di Jawa Barat, sisi barat Sumatra, dan Kalimantan.
Misalnya di Kabupaten Bandung (380 gram/orang/bulan),
Kotawaringin Barat (313 gram/orang/bulan), dan Kabupaten
Solok (378 gram/orang/bulan).
Ikan bandeng lebih banyak dikonsumsi di wilayah
Sulawesi. Seperti di Kota Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Konsumsinya lebih dari setengah kilogram, mencapai 621
gram/orang/bulan. Lain hal dengan ikan kembung dan mujair,
lebih banyak dikonsumsi di Papua. Tingkat konsumsinya mencapai
satu kilogram per orang setiap bulannya di Kabupaten Merauke.
Begitu pula dengan konsumsi ikan kembung di Kabupaten
Kaimana, Papua Barat yang konsumsinya mencapai 1.422
gram/orang/bulan atau hampir 1,5 kilogram.
Gerakan gemar makan ikan yang digagas pemerintah
untuk memenuhi 60 persen asupan protein hewani. Mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
mengatakan, konsumsi ikan mampu mendorong tingkat
kecerdasan (IQ), karena kandungan protein dan omega 3.
Sumber: lokadata.id
Berdasarkan teks tersebut, konsumsi ikan di negara Jepang
adalah ...

A. 54 kg/tahun
B. 58 kg/tahun
C. 58,6 kg/tahun
D. 59,9 kg/tahun
E. 78,5 kg/tahun
9 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 8-14 Jawaban: D. 31 kabupaten/kota D
Berdasarkan grafik tersebut, ikan
bandeng menjadi favorit 31
kabupaten/kota di Indonesia.

Meski menjadi negeri bahari, tingkat konsumsi ikan masih


rendah. Konsumsi ikan nasional mencapai 50,49 kilogram per
orang hingga Oktober 2019. Angka itu meleset dari target
sebelumnya, yakni sebesar 54 kilogram per orang. Jika
dibandingkan dengan sejumlah negara, masih kalah dengan Korea
Selatan (78,5 kilogram per tahun), Myanmar (59,9 kilogram per
tahun), Malaysia (58,6 kilogram per tahun), dan Jepang (58
kilogram per tahun).
Lokadata menelisik data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) 2018 untuk melihat jenis ikan yang paling banyak
dikonsumsi. Setidaknya ada enam jenis ikan paling banyak
dikonsumsi kurun setahun terakhir, yakni ikan lele, mas dan nila,
kembung, bandeng, dan mujair. Hasilnya, ikan lele paling banyak
dikonsumsi, mencapai 138 gram per bulan. Namun, jika
berdasarkan wilayah, ikan mas dan nila paling digemari. Tingkat
konsumsinya berada di 65 kabupaten/kota, mengalahkan
konsumsi ikan lele di 63 kabupaten/kota.
Terdapat segmentasi konsumsi jenis ikan berdasarkan
wilayah. Misalnya, ikan lele lebih banyak disukai di Pulau Jawa dan
Sumatra. Khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti
Kabupaten Madiun (350 gram/orang/bulan) dan Kabupaten
Klaten (255 gram/orang/bulan). Di Sumatra, ikan lele banyak
dikonsumsi di wilayah Lampung Timur (350 gram/orang/bulan)
dan Ogan Komering Ulu Timur (486 gram/orang/bulan).
Sedangkan konsumsi ikan mas dan nila cakupannya lebih luas.
Tersebar di Jawa Barat, sisi barat Sumatra, dan Kalimantan.
Misalnya di Kabupaten Bandung (380 gram/orang/bulan),
Kotawaringin Barat (313 gram/orang/bulan), dan Kabupaten
Solok (378 gram/orang/bulan).
Ikan bandeng lebih banyak dikonsumsi di wilayah
Sulawesi. Seperti di Kota Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Konsumsinya lebih dari setengah kilogram, mencapai 621
gram/orang/bulan. Lain hal dengan ikan kembung dan mujair,
lebih banyak dikonsumsi di Papua. Tingkat konsumsinya mencapai
satu kilogram per orang setiap bulannya di Kabupaten Merauke.
Begitu pula dengan konsumsi ikan kembung di Kabupaten
Kaimana, Papua Barat yang konsumsinya mencapai 1.422
gram/orang/bulan atau hampir 1,5 kilogram.
Gerakan gemar makan ikan yang digagas pemerintah
untuk memenuhi 60 persen asupan protein hewani. Mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
mengatakan, konsumsi ikan mampu mendorong tingkat
kecerdasan (IQ), karena kandungan protein dan omega 3.
Sumber: lokadata.id
Berdasarkan grafik tersebut, berapa wilayah yang menggemari
ikan bandeng?

A. 65 kabupaten/kota
B. 63 kabupaten/kota
C. 39 kabupaten/kota
D. 31 kabupaten/kota
E. 21 kabupaten/kota
10 Bacalah teks berikut untuk mengerjakan soal nomor 8-14 Jawaban: B. Urutan dilihat B
berdasarkan sebaran wilayah
konsumsi ikan favorit.
Pembahasan:
Jika urutan dilihat berdasarkan
sebaran wilayah konsumsi ikan
favorit, maka ikan mujair berada di
posisi ketiga.

Meski menjadi negeri bahari, tingkat konsumsi ikan masih


rendah. Konsumsi ikan nasional mencapai 50,49 kilogram per
orang hingga Oktober 2019. Angka itu meleset dari target
sebelumnya, yakni sebesar 54 kilogram per orang. Jika
dibandingkan dengan sejumlah negara, masih kalah dengan Korea
Selatan (78,5 kilogram per tahun), Myanmar (59,9 kilogram per
tahun), Malaysia (58,6 kilogram per tahun), dan Jepang (58
kilogram per tahun).
Lokadata menelisik data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) 2018 untuk melihat jenis ikan yang paling banyak
dikonsumsi. Setidaknya ada enam jenis ikan paling banyak
dikonsumsi kurun setahun terakhir, yakni ikan lele, mas dan nila,
kembung, bandeng, dan mujair. Hasilnya, ikan lele paling banyak
dikonsumsi, mencapai 138 gram per bulan. Namun, jika
berdasarkan wilayah, ikan mas dan nila paling digemari. Tingkat
konsumsinya berada di 65 kabupaten/kota, mengalahkan
konsumsi ikan lele di 63 kabupaten/kota.
Terdapat segmentasi konsumsi jenis ikan berdasarkan
wilayah. Misalnya, ikan lele lebih banyak disukai di Pulau Jawa dan
Sumatra. Khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti
Kabupaten Madiun (350 gram/orang/bulan) dan Kabupaten
Klaten (255 gram/orang/bulan). Di Sumatra, ikan lele banyak
dikonsumsi di wilayah Lampung Timur (350 gram/orang/bulan)
dan Ogan Komering Ulu Timur (486 gram/orang/bulan).
Sedangkan konsumsi ikan mas dan nila cakupannya lebih luas.
Tersebar di Jawa Barat, sisi barat Sumatra, dan Kalimantan.
Misalnya di Kabupaten Bandung (380 gram/orang/bulan),
Kotawaringin Barat (313 gram/orang/bulan), dan Kabupaten
Solok (378 gram/orang/bulan).
Ikan bandeng lebih banyak dikonsumsi di wilayah
Sulawesi. Seperti di Kota Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Konsumsinya lebih dari setengah kilogram, mencapai 621
gram/orang/bulan. Lain hal dengan ikan kembung dan mujair,
lebih banyak dikonsumsi di Papua. Tingkat konsumsinya mencapai
satu kilogram per orang setiap bulannya di Kabupaten Merauke.
Begitu pula dengan konsumsi ikan kembung di Kabupaten
Kaimana, Papua Barat yang konsumsinya mencapai 1.422
gram/orang/bulan atau hampir 1,5 kilogram.
Gerakan gemar makan ikan yang digagas pemerintah
untuk memenuhi 60 persen asupan protein hewani. Mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti
mengatakan, konsumsi ikan mampu mendorong tingkat
kecerdasan (IQ), karena kandungan protein dan omega 3.
Sumber: lokadata.id
Berdasarkan grafik tersebut, ikan mujair akan menempati posisi
ketiga jika...

A. Jumlah konsumsi ikan bandeng menurun 6 gram/bulan.


B. Urutan dilihat berdasarkan sebaran wilayah konsumsi
ikan favorit.

C. Ikan kembung digemari di 20 kabupaten/kota.


D. Jumlah konsumsi ikan kembung menurun 14 gram/bulan.
E. Ikan bandeng digemari di 19 kabupaten/kota.

You might also like