You are on page 1of 40

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………... i
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. ii
Pendahuluan…………………………………………………………………….. 1
Metode…………………………………………………………………………... 11
Partisipan…………………………………………………………………….. 11
Instrumen……………………………………………………………………. 11
Prosedur Penelitian………………………………………………………….. 13
Analisis……………………………………………………………………….13
Hasil……………………………………………………………………………... 14
Verifikasi Asumsi…………………………………………………………….16
Uji Regresi Linear Sederhana……………………………………………….. 18
Uji Regresi Linear Berganda…………………………………………………22
Diskusi…………………………………………………………………………... 25
Limitasi……………………………………………………………………… 30
Kesimpulan……………………………………………………………………... 30
Saran………………………………………………………………………… 31
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
32
LAMPIRAN…………………………………………………………………….. 38

i
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data demografis………………………………………………………… 14


Tabel 2 Data analisis deskripsi………………………………………………….. 15
Tabel 3 Kategorisasi pembelian impulsif produk fashion di E-marketplace…… 15
Tabel 4 Kategorisasi FoMo……………………………………………………... 16
Tabel 5 Kategorisasi neuroticism……………………………………………….. 16
Tabel 6 Hasil regresi linear sederhana H1………………………………………. 18
Tabel 7 Koefisien regresi variabel FoMo……………………………………….. 19
Tabel 8 Hasil regresi linear sederhana H2………………………………………. 20
Tabel 9 Koefisien regresi variabel neuroticism…………………………………. 20
Tabel 10 Matriks Interkorelasi………………………………………………….. 22
Tabel 11 Hipotesis Simultan…………………………………………………….. 23
Tabel 12 Sumbangan Efektif……………………………………………………..23
Tabel 13 Koefisien Regresi Variabel……………………………………………. 24

ii
Peran Fear of Missing Out dan Neuroticism Terhadap Perilaku Pembelian
Impulsif Produk Fashion di E-Marketplace

Chairunnisa Azalia¹, Rahmat Hidayat²


Fakultas Psikologi UGM

Abstract: Online shopping has become a common thing, especially for the Z
Generation as a generation that is closely related to technology. One of the
products that are widely purchased on the internet is fashion products. The e-
marketplaces make it easier for people to transact. One of the behaviors that can
be influenced by the convenience of a shopping platform is impulse buying.
Several studies have linked neuroticism and impulse buying, but there have been
discrepancies in the results. Research on FoMo and impulse buying is also very
limited. On the other hand, FoMo and neuroticism are also often associated with
each other. Therefore, this study aims to find out the role of Fear of Missing Out
(FoMo) and the personality factor of neuroticism, and both simultaneously on the
impulsive buying behavior of fashion products in e-marketplaces in generation Z
aged 18-24 years. This study used a survey method for data collection. The results
show that both FoMo, and neuroticism, and both simultaneously have a positive
role on the impulsive buying behavior of fashion products in e-marketplaces.

Keywords: pembelian impulsif, Fear of missing out, neuroticism

Abstrak: Belanja daring menjadi hal yang biasa dilakukan masyarakat, terutama
bagi generasi Z sebagai generasi yang erat kaitannya dengan teknologi. Salah satu
produk yang banyak dibeli di internet adalah fashion. Medium berbelanja berupa
e-marketplace sangat memudahkan masyarakat dalam bertransaksi. Salah satu
perilaku yang dapat dipengaruhi kemudahan suatu situs adalah pembelian
impulsif. Beberapa penelitian telah mengaitkan neuroticism dan pembelian
impulsif namun terjadi perbedaan hasil. Penelitian terkait FoMo dan pembelian
impulsif juga masih sangat terbatas. Di sisi lain, FoMo dan neuroticism juga
sering dikaitkan satu sama lain. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mencari tahu peran Fear of Missing Out (FoMo) dan faktor kepribadian
neuroticism, serta keduanya secara simultan terhadap perilaku pembelian impulsif
produk fashion di e-marketplace pada generasi Z berumur 18-24 tahun. Penelitian
ini menggunakan metode survei untuk pengumpulan data. Hasil menunjukkan
bahwa baik FoMo, maupun neuroticism, serta keduanya secara simultan memiliki
peran positif terhadap perilaku pembelian impulsif produk fashion di e-
marketplace.

Kata kunci: pembelian impulsif, Fear of missing out, neuroticism

iii
1

Pendahuluan

Kegiatan transaksi jual-beli menjadi salah satu hal yang sangat terbantu

oleh pesatnya perkembangan teknologi. Belanja daring menjadi hal yang biasa

dilakukan masyarakat. Hasil pengolahan Lokadata.id atas Survei Sosial Ekonomi

Nasional (2019) menemukan bahwa, sekitar 13% jumlah pengguna internet di

Indonesia atau sebanyak 15 juta orang mengaku gemar berbelanja menggunakan

internet. Kegemaran tersebut terlihat pula dari survei yang dilakukan We Are

Social dan Hootsuite (2021) yang menunjukkan bahwa sebanyak 87% pengguna

internet di Indonesia membeli sesuatu di internet dalam satu bulan terakhir. Dapat

dikatakan bahwa perkembangan teknologi memberikan masyarakat banyak

pilihan produk sesuai kebutuhan mulai dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan

lainnya seperti jasa, rekreasi, hingga fashion.

Salah satu produk yang banyak dibeli masyarakat di internet adalah produk

fashion. Menurut data survei Katadata Insight Center & Kredivo (2020) yang

diambil dari satu juta pengguna e-marketplace terbesar di tahun 2020, produk

fashion menempati peringkat pertama jumlah transaksi, yaitu sebanyak 22%. Data

dari CNBC (2019) juga menyatakan bahwa industri fashion memberikan

kontribusi ekonomi kreatif kedua terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 116 triliun

rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat keterbatasan dalam

penjualan produk fashion secara daring (seperti tidak dapat mencoba dan melihat

secara langsung), teknologi yang tersedia tetap dapat memenuhi kebutuhan

konsumen dan menawarkan cara dalam mengatasi keterbatasan tersebut (Kawaf &
2

Tagg, 2012). Medium berbelanja berupa e-marketplace seperti Shopee,

Tokopedia, Lazada, dsb menawarkan kemudahan dan efisiensi waktu dengan

memberikan banyak pilihan produk, tidak terkecuali dalam produk fashion.

Kemudahan dalam transaksi jual beli tersebut dapat memengaruhi keputusan

pembelian masyarakat secara positif (Djan & Adawiyyah, 2020). Dalam Bismo

dkk (2020) dijelaskan lebih lanjut, bahwa kemudahan fungsional suatu situs dapat

memengaruhi perilaku pembelian impulsif.

Dalam konteks produk fashion, pembelian impulsif dapat terlihat dari data

survei First Internet Bank yang diadakan Onepoll (2019) bahwa, produk yang

paling banyak dibeli secara impulsif diisi oleh produk fashion yaitu peringkat

pertama dengan pakaian (62%), dan diikuti sepatu (56%) di peringkat ketiga.

Perilaku pembelian impulsif didefinisikan sebagai pembelian suatu produk yang

sangat spontan tanpa pemikiran secara mendalam (Thompson & Prendergast,

2015). Abdelsalam dkk (2020) menguraikan karakteristik dari pembelian impulsif,

yaitu: (1) tidak direncanakan, (2) tidak dinisiasi, (3) pembelian dilakukan tanpa

intensi sebelumnya, (4) keputusan dilakukan secara cepat (on the spot), (5)

hedonis, (6) thoughtless (tidak memikirkan kebutuhan pembelian yang sebenarnya

dan alternatif lain), (7) unreflective, (keputusan membeli terjadi secara instan dan

tidak mempertimbangkan konsekuensi) dan (8) dilakukan atas dasar respons

terhadap suatu stimuli. Penelitian terkait pembelian impulsif daring mulai banyak

dilakukan seiring dengan meningkatnya belanja daring. Dengan peran internet

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, belanja daring
3

memiliki potensi pembelian impulsif yang tinggi (Wu dkk, 2020). Hal ini

dikarenakan pembelian impulsif sangat berkaitan dengan konsumen spontanitas

tinggi dan kontrol diri rendah sehingga dalam konteks daring, konsumen jenis ini

akan merespon secara impulsif saat terkena stimulus online (Amos dkk, 2013).

Abdelsalam dkk (2020) melakukan studi kajian literatur terkait pembelian

impulsif daring dan mengklasifikasi semua faktor yang mempengaruhi perilaku

pembelian impulsif daring dalam empat kategori, yaitu website-related,

marketing-related, faktor sosial, dan karakteristik konsumen. Dalam penelitian ini,

faktor pembelian impulsif yang akan lebih banyak dibahas adalah karakteristik

konsumen.

Salah satu karakteristik konsumen yang menarik untuk dibahas lebih lanjut

adalah kelompok umur atau generasi. Perlstein (2017) menyatakan bahwa

konsumen di seluruh dunia akan terdiri dari 40% generasi Z, atau juga bisa disebut

disebut post-millennials, yang lahir pada tahun 1996 ke atas, mereka juga akan

menjadi segmen konsumen dominan berikutnya. Di sisi lain, generasi Z juga

diprediksi akan menjadi target konsumen yang paling sulit dicapai karena

kemampuan mereka dalam mencari dan membandingkan produk secara ekstensif

sebelum membuat final purchase decision (Thangavel dkk,2021; Prakash &

Tiwari, 2021). Sebuah survei yang dilakukan CreditsCard.com (2017)

menunjukkan bahwa sebanyak 44% orang dewasa berumur 18 tahun ke atas telah

melakukan pembelian impulsif di internet dalam 3 bulan terakhir. Berdasarkan

data Consumer Culture Report-5W (2020), persentase kecenderungan pembelian


4

impulsif tertinggi datang dari kelompok umur 18-34 tahun yang terdiri dari

generasi millenials dan generasi Z sebesar 64%. Penelitian juga menunjukkan

bahwa 40% konsumen generasi Z adalah pelaku pembelian impulsif (Djavarova &

Bowes, 2020). Di Indonesia sendiri, hasil Sensus Penduduk 2020 yang dirilis oleh

Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa generasi Z mendominasi jumlah

penduduk Indonesia dengan persentase 27,94% atau 74,93 juta jiwa. Generasi Z

juga berkaitan dengan produk fashion, mengingat kelompok umur yang lebih

muda membeli produk fashion dalam rangka mengekspresikan dirinya (Djavarova

& Bowes, 2020). Penelitian terkait perilaku konsumen generasi Z menjadi hal

yang menarik untuk diteliti karena ukuran, daya beli, dan pengaruh kuat orang tua

mereka (Thangavel, 2021). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan diteliti

pembelian impulsif produk fashion pada generasi Z dengan platform e-

marketplace.

Tidak hanya ditemukan memiliki tingkat pembelian impulsif yang tinggi,

generasi Z juga ditemukan menjadi generasi dengan tingkat rata-rata stres

tertinggi (APA, 2018). Rata-rata tingkat stres yang tinggi tentu dapat dipengaruhi

banyak hal, salah satunya adalah trait kepribadian seseorang. Magal dkk (2021)

dalam jurnalnya mengatakan bahwa trait kepribadian neuroticism dianggap

sebagai faktor risiko kerentanan stres seseorang. Neuroticism adalah salah satu

faktor Big Five Personality yang mengarah pada kerentanan dan ketidakstabilan

emosional (Shi dkk, 2018). Individu dengan neuroticism tinggi dicirikan

dengan
5

emotional instability, kecemasan, moodiness, iritabilitas, dan kesedihan

(Shahjehan, 2012).

Penelitian mengenai peran neuroticism terhadap perilaku konsumen telah

banyak dilakukan, salah satu contoh perilaku yang dikatikan dengan neuroticism

adalah pembelian impulsif yang menjadi variabel dependen penelitian ini. Farid

dan Ali (2018) melakukan penelitian mengenai pengaruh big five personality

terhadap pembelian impulsif di negara berkembang dan menemukan bahwa

neuroticism memainkan peran penting dalam pembelian impulsif di negara

berkembang. Gangai dan Agrawal (2016) menjelaskan bahwa pengaruh

neuroticism terhadap pembelian impulsif ditunjukkan dengan salah satu ciri

individu berkepribadian neuroticism, yaitu melakukan pembelian secara impulsif

sebagai upaya merubah emosi negatif dan self-esteem rendah yang dirasakan.

Meskipun penelitian mengenai peran neuroticism terhadap pembelian impulsif

banyak dilakukan, terdapat beberapa perbedaan hasil. Rehman dan Manjur (2018)

menemukan bahwa neuroticism memiliki pengaruh negatif yang signifikan

terhadap perilaku pembelian impulsif. Di sisi lain, hasil penelitian Farid dan Ali

(2018) menunjukkan bahwa neuroticism memiliki pengaruh positif terhadap

perilaku pembelian impulsif, sedangkan penelitian Badgaiyan & Verma (2014) di

India tidak menemukan adanya peran neuroticism terhadap perilaku pembelian

impulsif. Dengan perbedaan hasil penelitian seperti yang telah dijabarkan di atas,

peneliti ingin mengkaji lebih lanjut mengenai peran neuroticism terhadap

pembelian impulsif.
6

Tingginya tingkat stres di kalangan generasi Z juga diikuti tingkat FoMo

yang tinggi. JWT Intelligence (2012) menunjukkan bahwa 70% responden

berumur 18-34 tahun merasa relate dengan peristiwa FoMo dan sebanyak 36%

dari responden yang sama pernah atau sering merasakan FoMo. Di sisi lain, FoMo

juga diindikasikan berperan positif terhadap perilaku pembelian impulsif. Menurut

Dykman (2012), perasaan tertinggal (missing out) yang intens dapat

mempengaruhi keputusan pembelian seseorang. Hal ini dapat terlihat pada data

JWT Intelligence (2012) yang menunjukkan bahwa sebanyak 34% responden

berumur 18-34 tahun merasa tertinggal saat melihat teman sebaya membeli

sesuatu yang tidak mereka punya di media sosial. Sebuah studi yang dilakukan

oleh Compare Metrics dan The E-tailing Group (2014) juga mengungkapkan

bahwa 73% pelanggan yang melakukan belanja daring mengalami FoMo sambil

mencari produk. Kemudian, Citizen Relations Canada (2015) juga melaporkan

sebanyak 68% dari responden melakukan pembelian setelah melihat

pengalaman orang lain dalam jangka waktu 24 jam sebagai respon dari rasa

FoMo yang dirasakan. Data-data di atas dapat menunjukkan kesuksesan aplikasi

FoMo sebagai strategi pemasaran dalam meningkatkan daya tarik produk dan

meningkatkan penjualan (Hodkinson, 2019). Akan tetapi secara akademis,

penelitian yang membuktikan pengaruh FoMo terhadap pembelian impulsif masih

sangat terbatas. Salah satunya adalah Karapinar dkk (2019) yang menemukan

bahwa tendensi FoMo memengaruhi perilaku pembelian impulsif.


7

JWT Intelligence (2012) mendefinisikan FoMo sebagai rasa tidak nyaman

dan terkadang disertai perasaan tertinggal mengenai apa yang dilakukan,

diketahui, dan dimiliki teman sebaya secara terus menerus atau bahkan obsesif.

Penjelasan tersebut sejalan dengan pengertian Przybylski dkk (2013) bahwa FoMo

adalah ketakutan berkelanjutan tentang bagaimana orang lain mungkin mengalami

pengalaman berharga yang tidak ia miliki yang dicirikan dengan keinginan

seseorang untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain.

Berdasarkan teori SDT Przybylski dkk (2013) menjelaskan tiga kebutuhan dasar

psikologis yang berperan terhadap tingkat FoMo seseorang, yaitu (1) competence

(self authorship dan inisiasi diri), (2) autonomy (kebutuhan untuk menunjukkan

hasil yang diinginkan dan mengalami penguasaan terhadap suatu hal), dan (3)

relatedness (kebutuhan untuk menjalin kedekatan atau koneksi dengan orang

lain).

Przybylski dkk (2013) menjelaskan fenomena FoMo sebagai

ketidaksempurnaan regulasi diri yang datang akibat defisit kepuasan kebutuhan

psikologis. Orang-orang dengan tingkat kepuasan rendah pada kebutuhan dasar

cenderung memiliki tingkat FoMo yang lebih tinggi, sama seperti orang-orang

dengan tingkat suasana hati dan kepuasan hidup yang rendah secara umum. FoMo

juga berkaitan dengan emosi negatif dan self-esteem (Siddik dkk, 2020;

Milyavskaya dkk, 2018). Uraian penelitian terdahulu di atas dapat menjelaskan

mengapa neuroticism dan FoMo dikaitkan satu sama lain, yaitu karena keduanya

berkaitan dengan emosi negatif dan kecemasan (Shahjehan, 2012; Ramdhani,


8

2015; Milyavskaya dkk, 2018). Dalam studi lain, Stead dan Bibby (2017) juga

menemukan bahwa emotional stability, oposisi dari neuroticism (Ramdhani,

2015), berkorelasi secara negatif dengan FoMo. Sedangkan dalam Rozgonjuk dkk

(2020), FoMo memiliki hubungan positif dengan neuroticism, serta kecemasan

dan depresi.

Secara klinis, pembelian impulsif dapat memberikan efek buruk. Darrat,

Darrat, dan Amyx (2016) menemukan adanya pengaruh pembelian impulsif

terhadap kecemasan konsumen. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

terdapat hubungan positif secara tidak langsung antara pembelian impulsif dan

pembelian kompulsif dengan kecemasan konsumen memegang peran kunci

sebagai mediator. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa pembelian

kompulsif berpengaruh secara positif terhadap kecemasan konsumen. Lalu

kecemasan konsumen ditunjukkan mempengaruhi pembelian kompulsif secara

positif. Darrat, Darrat, dan Amyx juga berargumen bahwa peningkatan pembelian

impulsif pada individu dapat dianggap sebagai sinyal hilangnya self control dan

shopping addiction.

Pembelian impulsif juga dapat menyebabkan beberapa konsekuensi

lainnya. Salah satunya adalah kekecewaan dan penyesalan terhadap barang yang

dibeli. Dalam penelitian Karapinar dkk (2019) dan Kumar dkk (2021),

ditunjukkan bahwa pembelian impulsif berpengaruh pada post-purchase regret.

Kumar menjelaskan bahwa pembeli sering berekspektasi lebih terhadap produk

sebelum membelinya, namun tidak mendapatkan hasil yang diharapkan sehingga


9

merasakan kekecewaan. Sebuah survei nasional dari Inggris juga mengkonfirmasi

peran regulasi emosi disfungsional pada pembelian impulsif dan menyatakan

bahwa pembelian impulsif merupakan perilaku disfungsional. Salah satu bentuk

disfungsionalitas yang disebabkan pembelian impulsif adalah dampak finansial

negatif, contohnya adalah kesulitan keuangan yang disebabkan pengorbanan

kesejahteraan finansial untuk rasa kesejahteraan emosi jangka pendek (Fenton-

O’Creevy dkk, 2018). Dijelaskan lebih lanjut, dampak finansial negatif ini bisa

menjadi pola yang terus-menerus dilakukan sehingga dapat meningkatkan

kerugian finansial hingga jumlah besar. Implikasi negatif di atas menandakan

bahwa penelitian mengenai faktor-faktor yang bermain peran terhadap pembelian

impulsif menjadi kajian yang perlu dikaji lebih lanjut agar pengetahuan dan

kesadaran masyarakat akan faktor apa saja yang berperan dalam pembelian

impulsif dan dapat melakukan tindakan preventif sehingga terhindar dari

konsekuensi negatif pembelian impulsif.

Atas dasar dampak-dampak yang terjadi akibat pembelian impulsif dan

tingginya pembelian produk fashion di e-marketplace, penelitian terkait

pembelian impulsif produk fashion menjadi hal yang penting untuk diteliti lebih

lanjut. Di sisi lain, penelitian akademis terdahulu mengenai peran FoMo terhadap

pembelian impulsif masih sangat terbatas. Salah satunya adalah penelitian

Karapinar dkk (2019) yang menunjukkan bahwa tendensi FoMo berpengaruh

terhadap pembelian impulsif. Namun, penelitian Karapinar dkk hanya melibatkan

partisipan perempuan di chain retail store, yang artinya partisipan

dalam
10

penelitian ini cukup terbatas. Sedikitnya penelitian, cakupan partisipan yang

terbatas, serta suksesnya aplikasi FoMo sebagai strategi pemasaran guna

meningkatkan daya tarik produk dan meningkatkan penjualan (Hodkinson, 2019)

mengindikasikan perlunya studi lanjut terkait peran FoMo pada pembelian

impulsif. Di sisi lain, ditemukan bahwa kecenderungan neurotic yang lebih tinggi

berkorelasi dengan Fear of Missing out (FoMo) yang lebih tinggi (Stead &

Bibby, 2017; Rozgonjuk dkk, 2020). Dapat dikatakan bahwa baik pembelian

impulsif, FoMo, maupun neuroticism memiliki hubungan antara satu sama lain.

Oleh karena itu, peran FoMo dan neuroticism secara simultan terhadap

pembelian impulsif juga perlu dikaji lebih lanjut. Atas studi-studi terdahulu yang

telah dijabarkan, penelitian ini akan meneliti tentang peran FoMo dan neuroticism

terhadap pembelian impulsif di e-marketplace dengan melibatkan partisipan yang

lebih luas, yaitu generasi Z, terhadap produk fashion.

Dapat dijelaskan secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu

bagaimana peran FoMo dan neuroticism terhadap pembelian impulsif produk

fashion di e-marketplace, baik secara bersamaan maupun terpisah, pada generasi

Z. Dengan begitu hipotesis penelitian yang akan diuji adalah:

1) H1: FoMo berperan secara positif terhadap pembelian impulsif produk

fashion di e-marketplace.

2) H2: Neuroticism berperan secara positif terhadap pembelian impulsif

produk fashion di e-marketplace.


11

3) H3: FoMo dan neuroticism secara simultan berperan positif terhadap

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace

Metode

Partisipan

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode survei.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengisi skala secara daring lewat

platform Google Form yang disebarkan lewat media sosial. Partisipan dari

penelitian ini dipilih secara non-random pada populasi yang ditentukan

kriterianya. Kriteria partisipan penelitian ini adalah individu generasi Z berusia

18-24 tahun yang menggunakan aplikasi e-marketplace Rekrutmen partisipan

dilakukan dengan cara membagikan poster rekrutmen di media sosial dan

mengarahkan partisipan menuju tautan form berisi informed consent dan alat ukur.

Partisipan yang bersedia dengan sukarela dapat mengisi form tersebut.

Instrumen

Penelitian ini melibatkan tiga variabel, yaitu fear of missing out (FoMo)

dan neuroticism sebagai variabel independen dan pembelian impulsif produk

fashion di e-marketplace sebagai variabel dependen. Penelitian ini menggunakan

tiga skala, yaitu: 1) Skala Pembelian Impulsif, 2) Skala Neuroticism, dan 3) Skala

Fear of Missing Out. Skala Pembelian Impulsif yang digunakan adalah skala

Mulianingsih (2018) yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Rook dan Fisher

(1995). Skala ini diadaptasi dan dimodifikasi agar sesuai dengan konteks

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace. Jumlah aitem skala adalah 8


12

yang dinilai dalam dalam 5 poin skala likert ( 1 = sangat tidak sesuai, 2 = tidak

sesuai, 3 = cukup sesuai, 4 = sesuai, 5 = sangat sesuai) dan dengan koefisien

Cronbach Alpha (α = 0.883).

Skala yang digunakan untuk mengukur neuroticism sebagai variabel

independen adalah International Personality Item Pool-Big Five Factor Marker

(IPIP-BFM-50), dikembangkan oleh Goldberg (1992), diadaptasi oleh Akhtar &

Azwar (2019). Jumlah aitem skala adalah 10 yang dinilai dalam dalam 5 poin

skala likert ( 1 = sangat tidak sesuai, 2 = tidak sesuai, 3 = cukup sesuai, 4 = sesuai,

5 = sangat sesuai) dan dengan koefisien Cronbach Alpha (α = 0.86).

Sedangkan untuk mengukur variabel independen FoMo, skala yang

digunakan adalah skala Fear of Missing Out. Skala ini merupakan skala

modifikasi yang disusun oleh Triani (2017) berdasarkan Skala Fear of Missing

Out yang disusun oleh Przybylski (2013) dengan koefisien Cronbach Alpha (α =

0.824). Skala ini terdiri dari empat aspek, yaitu: a) comparisons with friends, b)

being left out, c) missed experience, dan d) compulsions. Skala ini merupakan

skala Likert yang terdiri dari 16 aitem dengan lima pilihan jawaban (1 = sangat

tidak sesuai, 2 = tidak sesuai, 3 = cukup sesuai, 4 = sesuai, 5 = sangat sesuai).

Skala-skala di atas diberikan kepada partisipan penelitian menggunakan platform

Google Form yang disebarkan secara daring.


13

Prosedur Penelitian

Pengambilan data dilakukan secara berkelompok dengan tim penelitian

payung “Fenomena Pembelian Impulsif Produk Fashion Secara Daring di E-

marketplace”. Setelah membaca informed consent yang terdapat di halaman

pertama, partisipan dapat memilih untuk bersedia atau tidak bersedia

berpartisipasi dalam pengambilan data. Setelah partisipan memilih untuk bersedia,

partisipan akan diarahkan untuk mengisi tujuh skala dan beberapa pertanyaan

terkait demografi.

Analisis

Hipotesis penelitian diuji menggunakan metode analisis regresi linear

dengan menggunakan perangkat lunak IBM SPSS 23. H1 dan H2 akan diuji

menggunakan analisis regresi linear sederhana, yaitu analisis yang dilakukan

untuk memprediksi nilai variabel dependen (Y) dengan variabel independen (X)

(Kesumawati dkk, 2017). Sedangkan untuk H3 akan dianalisis menggunakan

regresi linear berganda, yaitu pengembangan analisis regresi sederhana yang

digunakan untuk memprediksi nilai variabel dependen (Y) dengan dua atau lebih

variabel independen (Kesumawati dkk, 2017). Analisis dibagi menjadi beberapa

tahap, didahului verifikasi asumsi sebagai syarat melakukan uji regresi dan

pengujian hipotesis dengan metode regresi linear sederhana serta regresi linear

berganda.
14

Hasil

Setelah melakukan pengambilan data dengan google form, didapatkan 313

responden. Pada tabel 1, dapat terlihat bahwa partisipan terdiri dari 245

perempuan (78,3%) dan 68 laki-laki (21,7%). Kemudian, untuk pengeluaran rata-

rata per bulan didominasi oleh kelompok dengan pengeluaran Rp. 501.000 - Rp.

1.500.000 (48,56%).

Tabel 1

Data demografis

Data Demografis Frekuensi Presentase

Jenis Kelamin

Laki-laki 68 21.7

Perempuan 245 78.3

Pengeluaran per bulan

Rp. 0 - Rp. 250.000 85 27.15

Rp. 501.000 - Rp. 1.500.000 152 48.56

Rp. 1.501.000 - Rp. 3.000.000 64 20.44

> Rp. 3.000.000 12 3,83


15

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan SPSS.

Berdasarkan analisis deskripsi yang dapat dilihat pada tabel 2, ditemukan bahwa

rata-rata dari variabel dependen pembelian impulsif produk fashion di e-

marketplace sebesar 19,62 dengan nilai minimum 8 dan nilai maksimum 38.

Selanjutnya variabel independen FoMo memiliki rata-rata 43.13 dengan nilai

minimum 16 dan nilai maksimum 76. Lalu, untuk variabel independen

neuroticism memiliki nilai rata-rata 32,74 dengan nilai minimum 16 dan nilai

maksimum 50.

Tabel 2 Data analisis deskripsi

Variabel Mean SD Min Max

Pembelian Impulsif 19.62 5.53 8 38


FoMo 43.13 10.04 16 76
Neuroticism 32.74 7.6 16 50

Dengan begitu, setiap variabel dapat dikategorikan sebagai berikut.

Tabel 3 Kategorisasi pembelian impulsif produk fashion di E-marketplace

Kategori Norma Frekuensi Persen

Tinggi X ≥ M + 1SD X ≥ 25.15 53 16.93

Sedang M – 1SD < X < M 14.09 < X < 193 69.64


+ 1SD 25.15
Rendah X < M – 1SD X < 14.09 67 13.41

Total 313 100


16

Tabel 4

Kategorisasi FoMo

Kategori Norma Frekuensi Persen

Tinggi X ≥ M + 1SD X ≥ 53.17 44 14.05

Sedang M – 1SD < X < 53.17 < X < 221 70.60


M + 1SD 33.09
Rendah X < M – 1SD X < 33.09 48 15.33

Total 313 100

Tabel 5

Kategorisasi neuroticism

Kategori Norma Frekuensi Persen

Tinggi X ≥ M + 1SD X ≥ 40.34 50 15.97

Sedang M – 1SD < X < 25.14 < X < 207 66.13


M + 1SD 40.34

Rendah X < M – 1SD X < 25.14 56 17.89

Total 313 100

Verifikasi Asumsi

Sebelum melakukan verifikasi hipotesis, data penelitian dianalisis dengan

melakukan verifikasi asumsi yang terdiri dari verifikasi normalitas residual,

verifikasi linearitas, verifikasi multikolinearitas, dan verifikasi heteroskedasitas

terlebih dahulu. Verifikasi normalitas dilakukan sebagai syarat sebelum

melakukan uji statistik lainnya, dengan kata lain harus ditunjukkan bahwa sampel
17

diambil dari populasi yang terdistribusi normal (HW, 2017). Berdasarkan

pengolahan data yang telah dilakukan, hasil verifikasi normalitas residual

Kolmogorov-Smirnov Test (KS-Z) sebesar 0,200 > 0,05. Dapat disimpulkan

bahwa residual data terdistribusi normal.

Kemudian dilakukan verifikasi linearitas dan hasilnya menunjukkan

bahwa antara variabel pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace dan

variabel FoMo dihasilkan nilai signifikansi linearitas p=0,00; p<0,05. Menurut

Widhiarso (2010), jika linearitas signifikan (p<0,05), maka data dapat

diasumsikan linier. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

linear antara pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace dan FoMo.

Kemudian, berdasarkan verifikasi linearitas variabel pembelian impulsif produk

fashion di e-marketplace dan neuroticism didapatkan nilai signifikansi linearitas

p=0,00; p<0,05 dengan nilai signifikansi deviation from linearity sebesar p=0,387;

p>0,05. Jika nilai signifikansi deviation from linearity p>0,05, maka data

berhubungan secara linear. Lalu dapat disimpulkan, terdapat hubungan linear

antara pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace dan neuroticism.

Kemudian, hasil verifikasi multikolinieritas yang telah dilakukan menunjukkan

nilai tolerance sebesar 0,909 > 0,10 dan nilai VIF 1,100 < 10,00. Dengan begitu,

dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinieritas di antara variabel.


18

Selanjutnya, proses verifikasi asumsi dilanjutkan verifikasi

heteroskedasitas dengan melakukan uji glejser. Ditemukan nilai signifikansi 0,845

dan 0,262, dengan kata lain nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Dapat

disimpulkan, tidak terjadi gejala heteroskedasitas dalam model regresi penelitian

ini sehingga syarat verifikasi asumsi telah terpenuhi.

Uji Regresi Linear Sederhana

Hasil analisis regresi linear sederhana menggunakan SPSS dapat terlihat

pada tabel di bawah.

Tabel

Hasil regresi linear

Variabel R R² F p

FoMo * Pembelian Impulsif 0.36 0.13 46.82 0.00

Neuroticism * Pembelian Impulsif 0.20 0.04 12.89 0.00

Berdasarkan hasil analisis di atas FoMo berperan positif terhadap

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace secara signifikan, F(1, 311) =

46,82, p < 0.00 dengan nilai R² = 0,13. Sedangkan neuroticism dikatakan juga

berperan positif pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace secara

signifikan, F(1, 311) = 12,89, p < 0.00 dengan nilai R² = 0,04.

Tabel 7
Koefisien regresi variabel FoMo

Parameter Unstandardized Koefisien Beta t p

Konstan 11.03 8.55 0.000


FoMo 0.20 6.84 0.000
18

Tabel 9
Koefisien regresi variabel neuroticism

Parameter Unstandardized Koefisien Beta t p

Konstan 14.908 11.052 0.000


Neuroticism 0.144 3.590 0.000

Dapat disimpulkan bahwa FoMo memberikan kontribusi positif terhadap

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace. Semakin tinggi tingkat

FoMo seseorang, maka semakin tinggi pula kecenderungan pembelian impulsif

produk fashion di e-marketplace. Kemudian jika nilai variabel FoMo seseorang

bernilai 0, maka kecenderungan pembelian impulsif produk fashion di e-

marketplace seseorang adalah 11,028. Kemudian variabel neuroticism

memberikan kontribusi positif terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-

marketplace. Semakin tinggi tingkat neuroticism seseorang, maka semakin tinggi

pula kecenderungan pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace.

Kemudian jika nilai variabel FoMo seseorang bernilai 0, maka kecenderungan

pembelian impulsif seseorang adalah 14,908.


20

Kemudian dilakukan uji regresi linear sederhana untuk menguji H2 dengan

variabel independen neuroticism. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat

diketahui nilai F=12,885 dengan nilai signifikansi sebesar p=0,00 (p<0,01)

sehingga dapat disimpulkan bahwa neuroticism memiliki kontribusi nilai R

terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace sebesar 0,199

(p<01) dengan nilai R² sebesar 0,40 atau dapat dijelaskan bahwa neuroticism

berperan terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace sebesar

4%, lalu sisanya sebesar merupakan peran variabel lain di luar penelitian ini.

Dengan nilai signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima. Nilai t yang

positif menandakan bahwa variabel neuroticism memiliki pengaruh positif

terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace secara signifikan.


21

Tabel 9 menunjukkan koefisien regresi variabel independen neuroticism

dengan variabel dependen pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace,

dengan begitu didapatkan persamaan regresi sebagai berikut.

Y = a + bX
Pembelian Impulsif = a + b(Neuroticism)
Pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace = 14,908+ 0,144
(Neuroticism)
22

Uji Regresi Linear Berganda

Tabel 10 menunjukkan nilai taraf signifikansi korelasi tiap variabel.

Tabel 10

Matriks Interkorelasi

Variabel Pembelian Impulsif FoMo Neuroticism

Sig. r Sig. r Sig. r

Pembelian Impulsif 0.000 0.362 0.000 0.199

FoMo 0.000 0.362 1.00 0.00 0.301

Neuroticism 0.000 0.199 0.00 0.301 1.00

Dapat terlihat bahwa korelasi tiap variabel memiliki nilai di bawah 0,01,

dengan begitu dapat disimpulkan bahwa data memiliki hubungan yang signifikan.

Selanjutnya berdasarkan nilai r, terlihat bahwa terdapat hubungan positif antara

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace dan FoMo (r=0,362; p<0,01),

serta terdapat juga hubungan positif antara pembelian impulsif produk fashion di

e-marketplace dan neuroticism (r=0,199; p<0,01).

Selanjutnya, analisis penelitian ini akan dilanjutkan dengan regresi linear

berganda untuk memprediksi nilai variabel dependen dengan dua variabel

independen dan mencari tahu pengaruh variabel independen terhadap variabel


23

dependen (Kesumawati, 2017). Hasil analisis regresi linear berganda

menggunakan SPSS dapat terlihat di tabel 11 berikut.

Tabel 11

Hipotesis Simultan

Variabel R R² F p

FoMo, Neuroticism * Pembelian Impulsif 0.374 0.140 25.203 0.00

Tabel 11 menunjukkan nilai F=25,203 dengan nilai signifikansi p=0,00

(p<0,01) sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi diterima. Hasil uji

hipotesis menunjukkan bahwa FoMo dan neuroticism secara bersama-sama

memiliki kontribusi nilai R terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-

marketplace sebesar 0,374 (p<01) dengan nilai R² sebesar 0,140. Dengan begitu,

dapat disimpulkan bahwa FoMo dan neuroticism secara bersama-sama berperan

terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace sebesar 14%, lalu

sisanya sebesar 86% merupakan peran variabel lain di luar penelitian ini.

Tabel 12 Sumbangan Efektif

Parameter Standardized Zero Sumbangan Efektif Sumbangan


Beta Order Efektif Total (%)

FoMo 0.332 0.362 0.120184 12.01

Neuroticism 0.100 0.199 0.0199 1.99


24

Berdasarkan tabel 12, dapat terlihat sumbangan efektif masing-masing

variabel independen terhadap dependen. Dapat disimpulkan bahwa sumbangan

efektif FoMo dalam memprediksi pembelian impulsif produk fashion di e-

marketplace adalah senilai 12,01% sedangkan sumbangan efektif neuroticism

dalam memprediksi pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace adalah

senilai 1,99%. Namun dengan demikian kontribusi neuroticism terhadap

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace tidak signifikan

Tabel 13

Koefisien Regresi Variabel

Parameter Unstandardized Koefisien t p


Beta

Konstan 9.386 5.959 0.000


FoMo 0.183 6.006 0.000
Neuroticism 0.072 1.803 0.072

Tabel 13 menunjukkan koefisien regresi variabel, dengan begitu

didapatkan persamaan regresi sebagai berikut.

Y = b0 + b1X1 + b2X2
Pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace = b0 + b1(FoMo) +
b2(Neuroticism)
Pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace = 9,386 + 0,183 (FoMo) +
0,072 (Neuroticism)
25

Baik FoMo maupun neuroticism memberikan kontribusi positif terhadap

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace. Dapat diketahui bahwa

setiap satu tingkat peningkatan FoMo akan meningkatkan pembelian impulsif

produk fashion di e-marketplace sebesar 0,183 dan setiap kenaikan satu tingkat

neuroticism akan terjadi peningkatan yang tidak signifikan terhadap pembelian

impulsif produk fashion di e-marketplace sebesar 0,072. Kemudian jika nilai

variabel FoMo dan neuroticism seseorang bernilai 0, maka kecenderungan

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace seseorang adalah 9,386.

Diskusi

Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana peran FoMo dan

neuroticism terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace, baik

secara bersamaan maupun terpisah, pada generasi Z. Berdasarkan uraian hasil

analisis yang telah dilakukan, dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat

FoMo, maka kecenderungan pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace

seseorang akan semakin tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa FoMo berperan

secara positif terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace

sebesar 13,1%. Dengan begitu, H1 yang menyatakan bahwa FoMo berperan

positif terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace diterima.

Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Karapinar dkk (2019) yang

menunjukkan bahwa FoMo berpengaruh terhadap pembelian impulsif. Penelitian

Karapinar hanya melibatkan partisipan perempuan. Dengan adanya penelitian ini,


26

pernyataan bahwa FoMo berpengaruh terhadap pembelian impulsif menjadi lebih

kuat karena penelitian ini melibatkan partisipan yang lebih luas, yaitu generasi Z.

Menurut Adrian dan Sahrani (2021), generasi Z adalah generasi dengan

penggunaan smartphone dan internet tertinggi. Data APA (2018) juga

menunjukkan bahwa 55% generasi Z mengatasi stres dengan membuka media

sosial. Adanya peran positif FoMo terhadap pembelian impulsif produk fashion di

e-marketplace sangat mungkin terjadi pada generasi Z yang sangat lekat dengan

media sosial karena media sosial sangat berhubungan dengan kedua hal tersebut.

Instagram sebagai media sosial paling digemari generasi Z (Survei

GlobalWebIndex, 2021) juga ditemukan menjadi media sosial yang paling

berpengaruh terhadap pembelian impulsif fashion (Djavarova & Bowes, 2020).

Aragoncillo dan Orus (2018) menjelaskan peran media sosial dalam

menstimulasi pembelian impulsif secara daring, yaitu dengan cara saling berbagi

pendapat, gambar, dan rekomendasi suatu barang sehingga dalam konteks daring,

konsumen dengan spontanitas tinggi dan kontrol diri rendah akan merespon secara

impulsif stimulus tersebut (Amos dkk, 2013). Przybylski (2013) juga menjelaskan

bahwa FoMo memiliki peran kunci yang penting sebagai mediator hubungan

antara tiga kebutuhan dasar (relatedness, incompetence, dan autonomy) dengan

keterlibatan media sosial. Kim dkk (2020) menjelaskan bahwa FoMo dapat

mendorong perilaku seseorang untuk menghilangkan kekhawatiran sosial dari

risiko defisit kebutuhan relatedness dan incompetence. Sehingga dalam konteks


27

pembelian impulsif, FoMo dapat memengaruhi keputusan pembelian seseorang

sebagai usaha mereka tetap terkoneksi dan tidak merasa tertinggal dari lingkungan

sosialnya. Sebelumnya, Hodkinson (2019) juga menjelaskan bahwa FoMo dapat

memengaruhi pembelian seseorang dalam konteks pembelian kelompok,

partisipasi sosial, dan experiential consumption. Dijelaskan lebih lanjut bahwa

FoMo telah sukses diaplikasikan sebagai strategi pemasaran dalam meningkatkan

daya tarik produk serta meningkatkan penjualan.

Kemudian, melihat uraian hasil analisis yang telah dilakukan, dapat

dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat neuroticism, maka kecenderungan

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace seseorang akan semakin

tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa neuroticism berperan secara positif

terhadap pembelian impulsif sebesar 4%. Dengan begitu, H1 yang menyatakan

bahwa neuroticism berperan positif terhadap pembelian impulsif produk fashion

di e-marketplace diterima. Hasil ini mendukung penelitian terdahulu (Shahjehan,

2012; Gangai & Agrawal, 2016; Farid & Ali, 2018; Philippov, 2020).

Gangai dan Agrawal (2016) menjelaskan bahwa pengaruh neuroticism

terhadap pembelian impulsif ditunjukkan dengan salah satu ciri individu

berkepribadian neuroticism, yaitu melakukan pembelian secara impulsif sebagai

upaya merubah emosi negatif dan self-esteem rendah yang dirasakan. Kemudian

Shahjehan (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa neuroticism

berkorelasi dengan pembelian impulsif yang artinya individu dengan emotonal


28

instability, kecemasan, moodiness, iritabilitas, dan kesedihan lebih cenderung

menunjukkan perilaku pembelian impulsif. Farid dan Ali (2018) menjelaskan

lebih lanjut bahwa individu dengan neuroticism tinggi cenderung memiliki tingkat

stres tinggi dan mengalami perasaan negatif dan destruktif, sehingga mereka

memiliki stabilitas emosi yang rendah. Hal tersebut mendorong mereka untuk

berbelanja secara impulsif untuk menghibur diri mereka. Shehzadi dkk (2016)

juga menjelaskan bahwa orang dengan kepribadian neurotic memiliki emosi yang

tidak stabil sehingga sering mendorong mereka untuk membeli sesuatu tanpa

rencana dan dalam jumlah berlebihan sebagai bentuk mengurangi stres mereka.

Selain itu mengingat penelitian ini spesifik fokus pada pembelian impulsif produk

fashion, peran neuroticism dapat dikaitkan dengan social appearance anxiety.

Kang dkk (2013) menjelaskan bahwa neuroticism berhubungan dengan social

appearance anxiety. Dijelaskan lebih lanjut, partisipan penelitian dengan social

appearance anxiety menyetujui bahwa pakaian dapat digunakan sebagai alat

mengubah suasana hati mereka dengan memilih pakaian sesuai fungsi yang

dibutuhkan, contohnya adalah menutupi bagian tubuh yang tidak diinginkan atau

menciptakan rasa percaya diri.

Lalu, hasil analisis uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa FoMo dan

neuroticism secara simultan berperan terhadap pembelian impulsif produk fashion

di e-marketplace. Dengan begitu, H3 yang menyatakan bahwa FoMo dan

neuroticism secara simultan berperan positif terhadap pembelian impulsif produk

fashion di e-marketplace diterima. Baik Neuroticism dan FoMo berkaitan dengan


29

emosi negatif dan kecemasan (Shahjehan, 2012; Ramdhani, 2015; Milyavskaya

dkk, 2018). Dalam studi lain, Stead dan Bibby (2017) juga menemukan bahwa

emotional stability, oposisi dari neuroticism (Ramdhani, 2015), berkorelasi secara

negatif dengan FoMo. Sedangkan dalam Rozgonjuk dkk (2020), FoMo memiliki

hubungan positif dengan neuroticism, serta kecemasan dan depresi. Orang dengan

kepribadian neurotic sering membeli sesuatu untuk mengatasi ketidakstabilan

emosinya dan agar diterima oleh lingkungan sosialnya Shehzadi dkk (2016).

Motif ini sejalan dengan fenomena FoMo yang dapat mendorong perilaku

seseorang, salah satunya dalam konteks membeli sesuatu, untuk menghilangkan

kekhawatiran sosial dari risiko defisit kebutuhan relatedness dan incompetence

sebagai usaha mereka tetap terkoneksi dan tidak merasa tertinggal dari lingkungan

sosial mereka Kim dkk (2020).

Berdasarkan hasil penelitian dapat terlihat bahwa mayoritas partisipan

memiliki tingkat pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace sedang

(69,64%; N=193) dan diikuti tingkat tinggi (16,93%; N=53). Tingginya tingkat

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace dapat dikaitkan dengan

pengambilan data selama pandemi COVID-19 (Septalisma, 2021).

Kemenkominfo mengumumkan bahwa aktivitas belanja daring meningkat hingga

400% sekama pandemi COVID-19. Hal ini dijelaskan Wang dkk (2021) bahwa

pembelian impulsif dapat menciptakan kenyamanan psikologis maupun fisiologis

seseorang karena mengalihkan perhatian mereka untuk sementara waktu dari

ketakutan terhadap ancaman kematian (akibat COVID-19). Dijelaskan lebih


30

lanjut, selama pandemi COVID-19 masyarakat mengurangi sense of control

mereka dan mengalami peningkatan kecemasan sehingga dapat memicu

pembelian impulsif.

Limitasi

Penelitian ini hanya mengukur peran FoMo dan neuroticism terhadap

pembelian impulsif dalam konteks produk fashion dengan platform e-

marketplace. Selain itu, penelitian ini juga hanya melibatkan partisipan dengan

kelompok umur 18–24 tahun. Kemudian skala yang digunakan untuk mengukur

pembelian impulsif juga hanya mengukur tendensi pembelian impulsif dan

terbatas pada produk fashion di e-marketplace.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis uji hipotesis yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa FoMo berperan secara positif dengan nilai 13,1% terhadap

pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace. Kemudian, peran

neuroticism terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace secara

positif juga ditemukan dengan nilai 4%. Selanjutnya jika dianalisis secara

simultan, FoMo dan neuroticism berperan secara positif dengan nilai 14%

terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace. Dengan begitu, tiga

hipotesis dalam penelitian ini diterima.


31

Saran

Penelitian ini menunjukkan bahwa FoMo dan neuroticism berperan positif

terhadap pembelian impulsif produk fashion di e-marketplace. Oleh karena itu,

individu dengan tingkat FoMo dan neuroticism dianjurkan untuk lebih sadar akan

kemungkinan terjadinya pembelian tanpa rencana tersebut. Salah satu cara yang

bisa dilakukan adalah dengan mengontrol penggunaan media sosial, mengingat

pembelian impulsif secara daring sangat dipengaruhi oleh penggunaan media

sosial yang dapat menstimulasi seseorang untuk membeli sesuatu.

Berdasarkan hasil penelitian ini, FoMo diketahui memiliki peran positif

terhadap pembelian impulsif, namun masih terbatas pada konteks produk fashion

di e-marketplace. Di sisi lain, penelitian terkait peran FoMo terhadap pembelian

impulsif masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai topik tersebut dengan partisipan yang lebih luas dan konteks yang lebih

umum. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode survei sehingga diharapkan

penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode lainnya terutama eksperimen

yang dapat memberikan kondisi nyata seseorang melakukan pembelian impulsif.


32

DAFTAR PUSTAKA

5W Public Relations. (2020). 5WPR 2020 Consumer Culture Report. Diakses


dari:
https://www.5wpr.com/new/wp-content/uploads/pdf/5W_consumer_cultur
e_report_2020final.pdf
Abdelsalam, Samah; Salim, Naomie; Alias, Rose Alinda; Husain, Omayma
(2020). Understanding online impulse buying behavior in social
commerce: A systematic literature review. IEEE Access, (), 1–1.
doi:10.1109/ACCESS.2020.2993671
Adrian, K., Sahrani, R. (2021). Relationship Between Fear of Missing Out
(FoMO) and Problematic Smartphone Use (PSU) in Generation Z with
Stress as a Moderator. Advances in Social Science, Education and
Humanities Research
Akhtar, H., Azwar, S. (2019). Indonesian Adaptation and Psychometric Properties
Evaluation of the Big Five Personality Inventory: IPIP-BFM-50. Jurnal
Psikologi, Vol 46
American Psychological Association. (2018). Stress in AmericaTM Generation Z.
https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2018
Amos, C., Holmes, G. R., & Keneson, W. C. (2014). A meta-analysis of consumer
impulse buying. Journal of Retailing and Consumer Services, 21(2), 86–
97. doi:10.1016/j.jretconser.2013.11.004
Aragoncillo, L. and Orus, C. (2018), Impulse buying behaviour: an online-offline
comparative and the impact of social media. Spanish Journal of Marketing
- ESIC, Vol. 22 No. 1, pp. 42-62. https://doi.org/10.1108/SJME-03-2018-
007
Badgaiyan, A. J., & Verma, A. (2014). Intrinsic factors affecting impulsive buying
behaviour—Evidence from India. Journal of Retailing and Consumer
Services, 21(4), 537–549. doi:10.1016/j.jretconser.2014.04.
Bismo, A., Putra, S., Sarjono, H., Nasrul, L. (2020). Effect of functional
convenience and representational delight on positive emotional effect and
impulse buying of discount group site users in Indonesia. Pertanika
Journal of Social Science and Humanities, Vol 28
Citizen Relations Canada. (2015). Millennials take on FoMo. Diakses dari:
https://www.youtube.com/watch?v=XpHrowtBRBk
Compare Metrics & The E-tailing Group. (2014). Shopper navigation and
discovery study. Businesswire. Diakses dari
https://www.businesswire.com/news/home/20140313005912/en/Compare-
Metrics-and-e-tailing-group-Study-Shoppers-Think-Online-Shopping-is-
%E2%80%9CBoring%E2%80%9D
33

CreditsCard.com. (2017). PSRAI survey of 1.003 U.S. adults. Diakses dari


https://www.creditcards.com/credit-card-news/impulse-buying-poll/
Darrat, Aadel A.; Darrat, Mahmoud A.; Amyx, Douglas (2016). How impulse
buying influences compulsive buying: The central role of consumer
anxiety and escapism. Journal of Retailing and Consumer Services, 31,
103–108. doi:10.1016/j.jretconser.2016.03.009
Djafarova, Elmira; Bowes, Tamar (2020). âInstagram made Me buy it: Generation
Z impulse purchases in fashion industry. Journal of Retailing and
Consumer Services. doi:10.1016/j.jretconser.2020.102345
Djan, I.; Adawiyyah, S.A. (2020). The Effect of Convenience and Trust to
Purchase Decision and Its Impact to Customer Satisfaction, International
Journal of Business and Economics Research. Vol. 9, No. 4 doi:
10.11648/j.ijber.20200904.23
Dykman, A. (2012, Maret 21). The Fear of Missing Out. Forbes.
http://www.forbes.com/sites/moneybuilder/2012/03/21/the- fear-of-
missing-out
Fenton-O'Creevy, Mark; Dibb, Sally; Furnham, Adrian (2018). Antecedents and
consequences of chronic impulsive buying: Can impulsive buying be
understood as dysfunctional self-regulation?. Psychology & Marketing,
35(3), 175–188. doi:10.1002/mar.2107
First Internet Bank & Onepoll. (2019). How much do people spend on
things they'll regret?. Diakses dari
https://vip.nypost.com/wp-content/uploads/sites/2/2019/10/shopregretsrese
arch-1.jpg?
quality=90&strip=all&_ga=2.243345602.674215271.1642528043-
2089669631.1642528043
Gangai, KhagendraNtah & Agrawal, Rachna. (2016). The Influence of Personality
Traits on Consumer Impulsive Buying Behaviour. International Journal of
Marketing and Business Communication, Volume 5 Issue
GlobalWebIndex. (2021). Pilihan media sosial favorit Generasi Z. Databoks.
Goldberg, L. R. (1992). The development of markers for the Big Five factor
structure. Psychological Assessment, 4(1), 26
Hodkinson, C. (2019). Fear Of Missing Out’(Fomo) Marketing Appeals: A
Conceptual Model. Journal Of Marketing Communications, 25(1), 65-88.
doi:10.1080/13527266.2016.1234504
HW, Slamet. (2018). Statistika Deskriptif – Parametri - Korelasi.
Surakarta:Muhammadiyah University Press
iPrice. (2021). 10 E-Commerce dengan Pengunjung Situs Bulanan Tertinggi
(Kuartal I-2021). Databoks. Diakses dari
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/11/jumlah-
pengunjung-tokopedia-kalahkan-shopee-pada-kuartal-i-2021#
34

Iyer, G.R., Blut, M., Xiao, S.H. et al. (2020). Impulse buying: a meta-analytic
review. J. of the Acad. Mark. Sci. 48, 384–404. Diakses dari
https://doi.org/10.1007/s11747-019-00670-w
JWT Intelligence. (2012). FOMO: The fear of missing out. DIakses dari
https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-
march-2012-update
Kaloeti, D.V.S., Kurnia S, A. & Tahamata, V.M. Validation and psychometric
properties of the Indonesian version of the Fear of Missing Out Scale in
adolescents. Psicol. Refl. Crít. 34, 15 (2021).
https://doi.org/10.1186/s41155-021-00181-0
Kang, J. Y. M., Johnson, K. K. P., & Kim, J. (2013). Clothing functions and use
of clothing to alter mood. International Journal of Fashion Design,
Technology and Education, 6(1), 43-52.
https://doi.org/10.1080/17543266.2012.762428
Karapinar, I., Eru, O., & Cop, R. (2019). The Effects of Consumers’ FoMo
Tendencies On Impulse Buying and The Effects of Impulse Buying on
Post- Purchase Regret: An Investigation on Retail Stores*. BRAIN. Broad
Research in Artificial Intelligence and Neuroscience, 10(3), 124-138.
Diakses dari
https://lumenpublishing.com/journals/index.php/brain/article/view/2189
Katadata Insight Center (KIC) & Kredivo. (2020). Riset KIC-Kredivo:
Produk Busana Paling Laris di E-Commerce.
https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/5f297aa120d79/riset-kic-
kredivo-produk-busana-paling-laris-di-e-commerce
Kawaf, F., & Tagg, S. (2012). Online shopping environments in fashion
shopping: An S-O-R based review. The Marketing Review, 12(2), 161-
180. https://doi.org/10.1362/146934712x13366562572476
Kim J, Lee Y, Kim M-L (2020) Investigating ‘Fear of Missing Out’ (FOMO) as
an extrinsic motive affecting sport event consumer’s behavioral intention
and FOMO-driven consumption’s influence on intrinsic rewards, extrinsic
rewards, and consumer satisfaction. PLoS ONE, 15(12).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0243744
Kumar, A., Chaudhuri, S., Bhardwaj, A., Mishra, P. (2021). Emotional
Intelligence and its Impact on Team Building through Mediation of
Leadership Effectiveness. International Journal of Management, 11(12),
2020, pp 614- 624.
Kutz, M. (2016). Introduction to E-Commerce: Combining Business and
Information Technology. Bookboon.com.
35

Lokadata.id (2019). Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik.


Diakses dari https://lokadata.id/artikel/pasar-e-commerce-terbesar-
indonesia-dari-milenial
Magal, N., Hendler, T., Admon, R. (2021). Is neuroticism really bad for you?
Dynamics in personality and limbic reactivity prior to, during and
following real-life combat stress. Neurobiology of Stress.
https://doi.org/10.1016/j.ynstr.2021.100361
McCrae RR, Costa PT. (1987). Validation of the Five-Factor model of personality
across instruments and observers. J Pers Soc Psychol. 52:81–90. doi:
10.1037/0022-3514.52.1.81
Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing
out: prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FOMO.
Motivation and Emotion. doi:10.1007/s11031-018-9683-5
Overmyer, K (2016). How the FoMo phenomenon is driving new trends in
marketing. Skyworld.com. Diakses dari
https://Www.Skyword.Com/Contentstandard/Marketing/
Patel, A. (2010). Concept of Mobile Agent-Based Electronic Marketplace – Safety
Measures. In I. Lee (Eds.), Encyclopedia of E-Business Development and
Management in the Global Economy. IGI Global. http://doi:10.4018/978-
1-61520-611-7.ch025
Perlstein, J. (2017, November 27). Engaging Generation Z: Marketing to a New
Brand of Consumer. Diakses dari http://www.adweek.com/digital/josh-
perlstein-response-media-guest-post-generation-z/
Philippov, G. (2020). The Influence of The Big Five Personality Traits on
Consumer Impulsive Buying Behaviour (Doctoral dissertation). Business
Administration Program, School of Economic Sciences and Business,
Neapolis University Pafos.
Prakash, K., & Tiwari, P. (2021). Millennials and Post Millennials: A Systematic
Literature Review. Publishing Research Quarterly, 37(1), 99–116.
doi:10.1007/s12109-021-09794-w
Prashar, Sanjeev; Parsad, Chandan; Sai Vijay, T. (2015). Application of neural
networks technique in predicting impulse buying among shoppers in India.
DECISION, 42(4), 403–417. doi:10.1007/s40622-015-0109-x
Prasya, I. (2020, September 2). Apa itu Marketplace, e-Commerce, Online Shop?
(Beda + Contoh). Plug in Ongkos Kirim. Diakses dari
https://pluginongkoskirim.com/marketplace-ecommerce-olshop/
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V.
(2013).Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of
36

missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.


http://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014
Ramdhani, N. (2015). Adaptasi bahasa dan budaya dari skala kepribadian Big
Five. Jurnal Psikologi
Rehman, H.U., & Manjur, K.I. (2018). Effects of Personality traits (Neuroticism,
Agreeableness, Extraversion, Conscientiousness) on online impulse buying
: Moderating role of hedonic motivation. (Thesis). http://www.diva-
portal.se/smash/get/diva2:1244955/FULLTEXT02.pdf
Rook, D.W. & Fisher, R. (1995). Normative influences on impulsive buying
behavior. Journal of Consumer Research, Vol 22
Rozgonjuk, D., Sindermann, C., Elhai, J. D., & Montag, C. (2020). Individual
differences in Fear of Missing Out (FoMO): Age, gender, and the Big Five
personality trait domains, facets, and items. Personality and Individual
Differences, 110546. doi:10.1016/j.paid.2020.110546
Septalisma, B. (2020, Juli 7). Belanja Online Naik 400 Persen Saat Musim
Corona. CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200707172450-92-521925/bela
nja-online-naik-400-persen-saat-musim-corona
Septini, H.D. (2017). Kepercayaan merek (brand trust) e-commerce dengan
pembelian impulsif (impulse buying) (Skripsi).
http://eprints.umm.ac.id/43579/1/jiptummpp-gdl-hestidwise-48799-1-
%5B2013102-i.pdf
Schipperus, M. (2017, Januari 9). Online marketplace: Friend or foe. Sana
Commerce. Diakses dari https://www.sana-commerce.com/blog/online-
marketplaces-friend-foe/
Shahjehan, A., Jaweria, Qureshi, L., Zeb, F., & Saifullah, K. (2012). The effect of
personality on impulsive and compulsive buying behaviors. African
Journal of Business Management, 6, 2187-2194.
Shakaib Farid, Dania; Ali, Mazhar (2018) : Effects of Personality on Impulsive
Buying Behavior: Evidence from a Developing Country, Marketing and
Branding Research. Canadian Institute for Knowledge Development,
Vancouver, Vol. 5, Iss. 1, pp. 31-43
Shehzadi, K., Ahmed, M., Cheema, A.M., Ahkam, A. (2016). Impact of
Personality Traits on Compulsive Buying Behavior: Mediating Role of
Impulsive Buying. Journal of Service Science and Management
09(05):416-432
Shi, J., Yao, Y., Zhan, C., Mao, Z., Yin, F., & Zhao, X. (2018). The Relationship
Between Big Five Personality Traits and Psychotic Experience in a Large
Non-clinical Youth Sample: The Mediating Role of Emotion Regulation.
Frontiers in psychiatry, 9, 648. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2018.00648
37

Siddik, S., Mafaza, M., & Sembiring, L.S. (2020). Peran Harga Diri terhadap Fear
of Missing Out pada Remaja Pengguna Situs Jejaring Sosial. Jurnal
Psikologi Teori dan Terapan, Vol. 10, No. 2, 127-138. doi:
10.26740/jptt.v10n2.p127-138
Sofi, S. A., & Nika, F. A. (2016). The Role of Personality in Impulse Buying
Behavior. Jindal Journal of Business Research, 5(1), 26–50.
doi:10.1177/2278682116674079
Stead, H., & Bibby, P. A. (2017). Personality, fear of missing out and problematic
internet use and their relationship to subjective well-being. Computers in
Human Behavior, 76, 534–540. https://doi.org/10.1016/j.chb.2017.08.016
Thangavel, Packiaraj & Pathak, Pramod & Chandra, Bibhas. (2021). Millennials
and Generation Z: a generational cohort analysis of Indian consumers.
Benchmarking: An International Journal ahead-of-print. 10.1108/BIJ-01-
2020-0050.
Thompson, Edmund R.; Prendergast, Gerard P. (2015). The influence of trait
affect and the five-factor personality model on impulse buying.
Personality and Individual Differences, 76(), 216–221.
doi:10.1016/j.paid.2014.12.025
Verplanken, B., & Herabadi, A. (2001). Individual Differences in Impulsive
Buying Tendency: Feeling and No Thinking. European Journal of
Personality, 71- 83.
Wang, S., Liu, Y., Du, Y., & Wang, X. (2021). Effect of the COVID-19 Pandemic
on Consumers' Impulse Buying: The Moderating Role of Moderate
Thinking. International journal of environmental research and public
health, 18(21), 11116. https://doi.org/10.3390/ijerph182111116
We are Social & Hootsuite. (2021). Digital 2021: The latest insights into the state
of digital. Diakses dari: https://wearesocial.com/blog/2021/01/digital-
2021-the-latest-insights-into-the-state-of-digital
Wishiarso, W. (2010). Uji Linieritas Hubungan. Manuskrip tidak dipublikasikan
Wu, Ing-Long; Chiu, Mai-Lun; Chen, Kuei-Wan (2020). Defining the
determinants of online impulse buying through a shopping process of
integrating perceived risk, expectation-confirmation model, and flow
theory issues. International Journal of Information Management, (),
102099–. doi:10.1016/j.ijinfomgt.2020.102099
Zheng, X.B., J.Q. Men, F. Yang, and X.Y. Gong. 2019. Understanding impulse
buying in mobile commerce: An investigation into hedonic and utilitarian
browsing. International Journal of Management 48: 151–160.

You might also like