You are on page 1of 12

Biasa Ternyata Gila

Halo, aku Raya dan aku ingin bercerita tentang hidupku yang biasa-biasa saja.

Hari ini seperti biasa aku bangun jam 4 pagi untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh aku
menanak nasi lalu kembali tidur. Aku bangun lagi jam 5 pagi. Menata bukuku, mandi, sarapan,
lalu berangkat sekolah. Terdengar sangat membosankan, memang. Lagipula aku hanya
perempuan mini dengan tampang biasa saja bahkan aku tidak menarik.

“Assalamualaikum. Pagi coyy!” sapaku tiap pagi sebelum masuk kelas.

Pagi ini seperti biasa baru 3 teman kelasku yang sudah datang dan seperti biasa aku
datang nomor 4. Aku duduk di tempat dudukku lantas menyalakan wifi lalu membuka aplikasi
game Mobile Legend. Main game sebentar tidak apa-apa, ‘kan?

“Pagi, Ray.” Salah satu temanku menyapa. Sebut saja Al.

Mendengar Al yang menyapaku, aku hanya membalas seadanya. Mengetahui hal itu
temanku lain yang baru datang menggoda Al.

“Cie cie~ Al sama Rayaa.”

Wajahku langsung masam. Aku tidak suka Al secara romantis begitupun dengan Al.
Kami hanya teman. Apa salahnya menyapa teman? Kenapa harus dicie-ciein? Menyebalkan
sekali, aku bahkan sudah pernah bilang kalau aku tidak suka diperlakukan seperti itu tapi, teman-
teman kelasku tetap melakukannya. Juga, kenapa Al tidak marah? Kenapa dia malah keliatan
salah tingkah dan terus-terusan mencoba mendekatiku?

Aku mencoba untuk abai. Memilih fokus dengan game di hadapanku. Aduh, musuhnya
susah banget kenapa sih?

“Pagi.” Mendengar suara yang familiar aku lantas mendongak. Netraku menangkap
sesosok lelaki yang aku suka, hehe.

“Damarrr! Selamat pagi,” sapaku bersemangat yang dibalas senyuman olehnya.


Wah wah wah, pelan-pelan Mas Damar. Senyumannya itu loh, manis sekali. Rasanya
ingin ku sukai dia secara brutal dan ugal-ugalan. Sudah ku lakukan, sih. Dia juga nampak tidak
risih jadi ya sudah ku lanjutkan saja. Selama bukan Damar sendiri yang bilang, aku tak akan
mundur. Pantang mundur sebelum janur melengkung!

“Lagi main, Ray? Main apa?”

Aku menunjukkan handphoneku lantas aku menjawab, “ML, Martis.”

Ia mengangguk lantas dengan jahil ia menekan tombol power handphoneku. Membuatku


marah karena mau tidak mau aku harus relogin ke game itu. Dengan kesal aku memukul bahu
Damar main-main. Tak keras, takut menyakiti seseorang yang aku suka, ea.

Setelahnya bel masuk pun berbunyi. Aku menang dalam game itu tadi. Epic comeback
coy, aku keren sekali. Setelahnya aku mengikuti pelajaran seperti biasa. Di sela-sela pelajaran
aku menyempatkan untuk curi-curi pandang ke Damar. Damar manis sekali aku suka. Entah apa
yang membuatku suka kepadanya. Dia jago main game, lumayan pintar, lebih tinggi dariku, dan
ia juga suka hal yang sama denganku. Dia bernapas saja tampan apalagi jika tidak bernapas, eh?

Selanjutnya jam kosong, aku segera mendekat ke Damar. Ku lihat ia sudah login ke
Mobile Legend. Saat Damar melihatku yang tengah melihat handphonenya ia bertanya, “Mau
ikut? Sama anak-anak.”

Aku mengangguk dengan cepat. Walau aku tidak terlalu jago ia mengerti kalau aku ingin
diajak main juga. Kami pun bermain bersama di jam kosong itu. Aduh, tier Mythic benar-benar
keras ya. Aku lumayan kewalahan dibuatnya. Rasanya musuhnya sangat susah. Aku harus benar-
benar jaga jarak dari musuh karena aku sudah mati tiga kali. Menyedihkan sekali. Tapi tak apa,
aku support, mati tiga kali tidak masalah. Toh, assist ku ada tujuh, hehe.

“Raya, hati-hati di rumput, itu ada hypernya nungguin.” Barka mengingatkanku. Aku
segera menjauh dari rumput agar tidak kegocek.

Di tengah permainan tiba-tiba aku miss positioning. Aku kegocek oleh musuk. Dengan
panik aku menekan-nekan skill heal agar aku tidak mati. Tiba-tiba saat aku hampir mati, Damar
menolongku. Ia membunuh tiga musuh yang berusaha untuk membunuhku. Aduh, dia keren
sekali. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku segera menjauh dari area war dan segera
recall.

“Terimakasih,” ujarku pelan, pelan sekali.

“Sama-sama, jangan miss position lagi.”

Damar mendengarnya?! Aduh malu sekali bjir?!

Selesainya bermain aku kembali ke tempat dudukku sendiri. Damar dan Barka
mengajakku untuk bermain lagi namun, aku menolak. Keburu malu. Mau ditaruh mana mukaku
nanti haduh jika aku berlama-lama dekat dengan Damar.

Dengan begitu bel pergantian jam pun berbunyi. Aku segera mengeluarkan buku
pelajaran di jam itu dan melanjutkan pelajaran.

***

Aku menunggu jemputan pulang. Sembari menunggu, aku mengobrol dengan Valen.
Kami bercanda beberapa menit sebelum ia berpamitan karena ia sudah dijemput. Sekarang, aku
sendiri di kelas. Tidak juga sih, ada Noah dan Al. Tapi, aku malas berbicara dengan mereka.
Nanti aku dikira centil, malas sekali. Gabut begini lebih baik aku mengganggu Damar. Dengan
usil, aku pun meneleponnya yang ajaibnya dijawab olehnya.

“Ada apa?” tanyanya di seberang sana.

Aku terkekeh pelan, dengan tanpa dosa aku bertanya balik, “Damar, udah pulang
belom?”

“Belom, mau bareng? Cepetan sini ke parkiran.”

Aku terdiam, kaget tentu saja. “Hah?” hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Cepetan, kalau ga cepet ku tinggal,” ujarnya.

Dengan cepat aku segera bangun dari dudukku dan segera menuju ke parkiran.
“Wowowowo ... santai boss, otw nih.”
Sesampainya aku di parkiran aku melihat Damar yang sudah menunggu di atas motornya
sembari menatap ke handphonenya. Ia menoleh ke arahku. Damn bro, Damar ganteng banget
(insert emot berapi-api).

“Naik, nih helm.” Damar memberikan helm yang sepertinya memang sengaja dia bawa.
Aku pun naik ke motornya. “Pegangan, jatuh gak aku tanggung,” peringatnya yang membuatku
memegangi seragamnya.

Ia pun mengantarkanku pulang. Ia sudah tahu kok arah rumahku, kami pernah
sekelompok dan kerja kelompok di rumahku. Perjalanan menuju rumahku terasa sangat sunyi,
hanya suara motor Damar yang mengisi kesunyian di antara kami. Aduh, Damar. Peka dong,
ajak aku bicara!

“Ray, kalau aku seandainya, seandainya banget ngerasa gak pantes sama kamu, gimana?”

Aku membatin. Pertanyaan macam apa itu bjir?!

“Kenapa ngerasa gak pantes? Siapa yang bilang gak pantes?” tanyaku.

Ia terdiam beberapa saat lantas menjawab, “Aku sendiri yang bilang. Aku gak ngerasa
ganteng, aku gak pantes sandingan sama kamu.”

“Kalau gamau sandingan yaudah sini ku pangku,” jawabku main-main. “Tapi serius,
sebenernya kamu tuh ganteng banget, kamu aja yang gak ngerasa. Kalau kamu gak ngerasa ya
gak apa-apa sih, ‘kan yang ngeliat aku. Aku tahu kamu ganteng, baik, pinter, jago main ML
pula.”

Damar hanya diam mendengar jawabanku. Ya sudah, aku bilang apa yang aku ingin
bilang. Apa yang aku katakan tidak ada salahnya. Aku hanya mengatakan kebenaran, lagipula
tidak sepatutnya ia merasa seperti itu. Ia harus lebih percaya dengan dirinya sendiri. Jika ia saja
tidak percaya dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia percaya dengan orang lain? Tapi ya
sudahlah, pasti ia punya alasannya sendiri.

***

Beberapa hari berlalu seperti biasa. Aku masih menggangu Damar. Saat aku asik
mengganggunya, tiba-tiba saja aku lihat notifikasi di handphonenya. Tidak sengaja, sungguh.
Namun, saat aku membaca isi pesan di notifikasi itu rasanya hatiku patah coyy. Di pesan itu
tertulis,

“Kamu mau nggak jadi pacarku?”

You break my heart break my hope. Rasanya hatiku hancur menjadi beribu kepingan.
Sakit sekali. Damar nampak panik saat ia melihat pesan itu. Dengan segera ia membalas pesan
itu. Aku menjauh dari tempat duduk Damar. Damar sepertinya tidak menyukaiku. Dia pasti
menyukai orang lain. Iya, benar. Dia hanya menanggapiku karena ia tahu aku menyukainya dan
merasa kasihan kepadaku.

Maaf ya aku gak sadar diri, this is cegil.

Semenjak kejadian itu aku mulai menjauhi Damar. Ia juga tidak terlihat untuk mencoba
menghubungiku. Sepertinya benar apa yang aku pikirkan. Ia tidak menyukaiku. Ia hanya
menanggapiku karena kasihan padaku.

Patah hati sedikit gak ngaruh.

***

Hari ini tiba-tiba saat aku membaca sebuah narasi, pemilik narasi itu mengikuti akunku.
Aku cukup terkejut. Lagian woi? Akunku bukan seperti akun orang bener. Aku melihat beberapa
tweet-nya. Entah mengapa aku merasa ia membicarakan tentangku. Ia orang yang lucu. Kami
berbicang beberapa menit setelah aku mengikutinya kembali. Kami cepat akrab seolah sudah
saling mengenal lama.

Tiba-tiba ia menanyaiki, berapakah umurku. Aku pun menjawab dengan jujur. Umurku
enam belas tahun. Lantas ia berkata bahwa ia kecewa. Ia pun izin untuk berhenti mengikutiku.
Aduh, setelah patah hati karena Damar sekarang karena penulis kesukaanku. Aku juga ikut
kecewa. Rasanya sedih sekali sampai sakit perut.

***

Sekarang aku tengah nebeng ke temanku untuk menuju tempat rapat. Aku anak
organisasi, sekolah rapat tipes, sekolah rapat tipes. Bukan manusia kuat karena disenggol sedikit
kena tipes. Aku merenung di perjalanan. Akhir-akhir ini aku merasa sedih terus. Seperti ada yang
salah dariku. Namun, cukup lazim kan sedih karena tertimpa lumayan banyak masalah dua bulan
ini. Kemarin saja tiada angin tiada hujan tiba-tiba orang tuaku bercerita bahwa aku hampir
diaborsi. Entah mengapa membuatku merasa aku anak yang tidak diinginkan.

Aku sampai di tempat rapat dan rapat segera dimulai. Aku lebih banyak diam di rapat kali
ini. Aku seperti tak ada tenaga untuk sekedar membuka suara. Semuanya terasa tidak ada artinya.
Sepanjang rapat aku banyak melamun hingga partner komisiku khawatir.

“Kamu gak apa-apa, Ray?” tanya Nashif padaku.

Aku hanya mengangguk. Merasa terlalu lelah untuk sekedar menjawab.

“Kamu gak makan?” tanyanya lagi.

Aku kembali menggeleng. Kali ini aku memaksakan diriku untuk menjawab, “Males
makan, Shif.”

Ia menatapku khawatir. “Kamu pucet loh, Ray. Keliatan lebih tirus juga, beneran gak
apa-apa?” tanyanya memastikan yang hanya ku jawab anggukan.

Maaf Nashif, aku sendiri juga tidak tahu apakah aku baik-baik saja atau tidak.

***

Bulan-bulan berlalu dengan cepat. Aku mendapati bahwa nilaiku akhir-akhir ini semakin
menurun. Aku tidak menaruh perhatian ke pengajaran guruku. Aku juga susah makan. Tidurku
tak nyenyak. Beberapa kali aku bahkan berpikir untuk mati saja. Aku mencoba membuang
pikiran buruk itu. Namun, semakin hari pikiran itu semakin buruk,

“Raya, coba kerjakan soal di depan.”

Aku maju ke depan. Aku hanya bisa diam. Otakku terasa penuh, tak bisa berpikir. Guru
yang menyuruhku ke depan berdecak lantas berujar, “Lain kali perhatikan penjelasan di depan,
jangan malah melamun.”

Aku kembali ke tempat dudukku. Rasanya benar-benar tak enak. Seolah aku tengah
tenggelam di sebuah lautan yang gelap. Sesak dan menakutkan. Kepalaku penuh, seolah banyak
orang yang ada di dalamnya. Membisikkan untukku mati, mati, dan mati. Aku menunduk,
kepalaku sakit sekali. Aku benci perasaan ini, benci sekali.
“Ray, kamu gak apa-apa? Mau ku antar ke UKS?” tawar Fai, ia tampak khawatir. Aku
menggeleng, meremas jariku sendiri. Begitu kuat, terlalu kuat hingga tanganku terluka karena
kuku panjangku.

Setelahnya Fai membawaku ke UKS, lukaku diobati namun rasa tak enak ini masih ada.
Sesuatu di kepalaku terus-terusan berbisik matilah, matilah, dan matilah. Aku disuruh pulang
oleh penjaga UKS karena aku nampak pucat dan banyak melamun. Aku memilih menurut, aku
sudah tak tahu harus melakukan apa.

***

Hari-hari berlalu dengan berat. Rasanya ingin lari dari semuanya. Aku tak suka sekolah
juga tak suka rumah. Keduanya terasa seperti neraka. Terdengar hiperbola namun, itulah yang
aku rasakan. Semakin hari aku semakin nampak pucat. Beberapa temanku bahkan mengatakan
aku seperti mayat hidup. Mereka menyarankan untukku pergi ke dokter. Aku menolak, hasilnya
akan sama saja. Mereka akan menghakimiku. Aku takut, aku benci.

Entah mengapa, hari ini Damar mengajakku berbicara. Setelah berbulan-bulan tak
berbicara denganku.

“Ray, kamu gak apa-apa?” tanyanya.

Aku menatapnya tak bersemangat lantas membuang pandanganku. Aku memilih untuk
menenggelamkan kepalaku ke dalam lipatan kedua tanganku. Aku tak punya cukup energi untuk
meladeni siapapun saat ini. Bahkan seorang Damar sekalipun yang notabenenya orang yang
pernah aku suka.

“Kalau kamu tak enak badan ayo ku antarkan pulang,” tawarnya yang entah mengapa
terdengar seperti terpaksa.

“Leave me alone, Dam. I don’t need your sympathy,” ujarku ketus.

***

Semenjak kejadian aku bersikap ketus kepada Damar, bukannya menjauh Damar semakin
mendekatiku. Saat ia menawarkan bantuan, aku selalu menolak. Gak dulu, makasih. Bukannya ia
punya pacar? Tak seharusnya ia mencoba dekat denganku seperti ini. Aku jadi kasihan kepada
kekasihnya.

“Raya, kamu mau makan sesuatu tidak? Nanti aku belikan.”

Aku menggeleng mendengar tawaran itu, tidak tertarik. Lagipula aku tidak lapar.

“Ayolah Raya, jangan bertingkah kekanakan. Tidak baik terus-terusan menolak tawaran
orang lain.”

Aku mendongak. Mendengar hal itu membuat kemarahanku tersulut. “Kekanakan? Kau
yang terus menawarkan di saat aku sudah menolak. Aku bahkan tidak memintamu untuk
melakukannya. Saat aku sudah bilang tidak, maka artinya tidak. Sesederhana itu, tidak bisakah
kau mengerti? Otakmu ketinggalan di jalan apa bagaimana hingga hal sesederhana ini saja kau
tidak mengerti?” ujarku panjang lebar setelah sekian lama.

Damar tertegun. “Apa kau jadi seperti ini karena notifikasi pesan dari seseorang yang
mengajakku pacaran? Dia itu temanku, Raya. Dia seorang lelaki, dia hanya bercanda.” Jelasnya.

Aku menghela napasku kasar. “Let me get this clear. Pertama, aku tidak seperti ini karena
melihat notifikasimu. Kedua, aku tidak peduli siapa yang mengajakmu berpacaran. Ketiga, aku
tak butuh penjelasanmu sama sekali karena aku bukan siapa-siapamu. Keempat, seperti yang ku
katakan. Leave me alone, I don’t need your sympathy.”

***

Semakin hari semakin banyak orang yang membuatku ingin marah hingga meledak.
Seolah dunia memang sengaja mengirim mereka hanya untuk membuatku marah. Semuanya
terasa menyebalkan dan berat sekali. Aku benci semuanya. Aku benci bagaimana aku harus
bangun setiap pagi. Aku benci bagaimana aku harus berangkat ke sekolah. Aku benci bagaimana
aku harus mengejar angka. Aku benci bagaimana aku harus terus hidup.

Hari ini aku secara tak sadar kembali melukai jari-jariku dengan kuku panjangku. Guru
pengajarku menyuruhku untuk pulang dan beristirahat saja di rumah. Aku menurut seperti biasa.
Kali ini aku diantar oleh Damar. Di perjalanan aku hanya diam. Damar beberapa kali mencoba
untuk membuka topik pembicaraan. Namun, semuanya berakhir ku acuhkan.
Sesampainya di rumah. Aku ditanyai kenapa pulang awal. Aku menjawab seadanya, tak
sengaja melukai diriku, begitu alibiku. Aku menuju kamarku, menguncinya. Merebahkan diriku.
Ku arahkan tanganku ke atas untukku lihat. Lantas ku lihat jari-jariku yang dibalut plester.
Menyedihkan. Bagaimana bisa aku jadi seperti ini? Masalahku tidak ada yang berat menurutku.
Kenapa aku menjadi sekacau ini?

Aku duduk di ranjang, menghadap ke cermin. Aku melihat diriku di pantulan cermin.
Nampak sangat menyedihkan. Aku mulai menutupi wajahku. Perlahan, aku menggaruk wajahku.
Lama-lama semakin kuat.

Aku benci wajahku.

Aku benci diriku.

Aku benci semuanya.

Mati.

Mati!

MATI!

Aku terus-terusan menggaruk wajahku hingga berdarah. Aku menoleh ke segala arah,
mencari benda yang bisa digunakan untuk mengakhiri hidupku. Aku melihat sebuat cutter
dengan tidak sabaran aku mengambilnya. Aku segera menggunakan cutter itu untuk mengiris
lengan kiriku tepat di nadi. Menggoresnya cukup kuat hingga mengeluarkan darah yang cukup
banyak. Ya, segini sudah cukup. Ku harap di saat aku bangun, aku akan berpindah alam.

***

Aku terbangun, mengernyit kala cahaya menyakiti netraku. Saat aku sepenuhnya sadar
diriku dipenuhi dengan rasa kecewa. Kecewa percobaan bunuh diriku gagal. Seingatku aku
sudah memotong nadiku cukup dalam. Kenapa aku bangun? Kenapa aku masih hidup?

Penyesalan demi penyesalan menghinggapi diriku. Rasanya aneh sekali. Orang normal
seharusnya senang jika mereka bisa kembali. Apa yang salah dariku?

Tiba-tiba Ibuku datang. Ia memelukku, menangis. “Alhamdulillah, Nduk.


Alhamdulillah!”
Disusul dengan Ayah, Kakak, dan Mbakku. Semuanya menangis. Kenapa mereka
menangis seolah begitu lega? Bukannya mereka tidak mengharapkanku ada? Bukankah mereka
mengharapkan aku hilang?

“Kamu mikirin apa toh, Nduk. Sampai kamu nyoba bunuh diri kamu sendiri?” tanya
Ibuku yang masih menangis.

Aku linglung. “Aku pikir, kalian gak ngeharapin aku ada. Aku pikir semua orang gak
butuh aku. Gak ada yang sayang sama aku,” ujarku.

“Ya Allah, Nduk. Kamu kepikiran cerita dari Ibuk? Ibuk bersyukur bisa lahirin kamu,
Ibuk gak pernah nyesel ataupun ngeharapin kamu hilang. Menurut Ibuk, kamu salah satu
anugerah dan titipan dari Allah yang perlu Ibuk dan Ayah jaga. Jangan mikir gitu, Nduk. Kami
semua sayang sama kamu.”

***

Semenjak hari itu, aku dibawa ke psikiater. Awalnya aku akan dimasukkan ke Rumah
Sakit Jiwa namun, karena keluargaku menghindari stereotip bahwa orang gila itu hanyalah
orang-orang yang hilang akalnya maka mereka memutuskan membawaku ke psikiater saja. Di
sana aku diberi obat untukku mudah tidur, menaikkan napsu makanku, juga obat agar kepalaku
tidak berisik. Aku juga dibawa ke psikolog untuk konseling mengenai masalahku.

Aku diizinkan orang tuaku untuk tidak bersekolah dahulu. Mengingat alasan awal aku
mendapatkan masalah ialah dari sekolah. Salah satu teman kelasku yang sempat aku sukai. Entah
mengapa aku merasa bersalah padanya karena telah ketus padanya. Tanpa banyak pikir aku pun
segera meneleponnya.

“Halo, Damar.”

Suara gedubrak di seberang sana terdengar. “H-halo, Raya. Apa kabar? Sudah sebulan
kamu tidak datang sekolah. Bagaimana keadaanmu, sudah lebih baik? Apakah kamu sudah
makan? Bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak?”

Aku terkekeh pelan. “Lebih baik dari sebelumnya. Aku sudah tidak menyakiti diriku
sendiri.”
Sunyi menyelimuti kami berdua dalam beberapa menit kemudian. Aku memutuskan
untuk menyuarakan tujuanku menelepon.

“Damar, aku minta maaf jika kata-kataku dulu nyakitin kamu.”

Damar tak langsung menjawab. “Aku yang harusnya minta maaf. Jika dulu aku segera
menjelaskan kepadamu mungkin kamu tidak akan sampai seperti ini. Jika dulu aku tidak
menjadi pengecut. Jika saja dulu aku berani dengan perasaanku, mungkin semua akan berubah.
Maaf, maafkan aku. Aku merasa bertanggungjawab atas keadaanmu sekarang. Aku ingin
memperbaiki semuanya. Aku benar-benar menyesal. Aku bingung dengan diriku, bingung
dengan perasaanku. Aku menyukaimu, Raya. Hanya saja aku pengecut, aku tak berani
mengatakannya. Aku takut bersanding denganmu. Aku takut aku tidak sepadan denganmu.
Hingga hari itu aku melihatmu yang seolah menjadi mayat hidup. Rasa penyesalan terus-
terusan menggerogoti dadaku. Maaf, maafkan aku yang pengecut ini.”

“Aku sudah memaafkanmu, Damar. Namun, maaf. Perasaanmu tak bisa ku balas. Bukan
pesan hari itu yang membuat rasaku hilang namun, kata-katamu di saat aku berada di titik
terendahku yang membuatnya hilang. Maaf.”

Damar terdiam di seberang sana. Menyadari bahwa luka yang ia toreh kepada hatiku
sedalam itu hingga perasaan suka dalam diriku kepada Damar menghilang.

“Baiklah, aku menghargai keputusanmu. Segeralah pulih dan kembali ke sekolah, Raya.
Aku akan menunggumu.”

Aku menutup sambungan telepon setelah Damar mengatakan hal itu. Jujur, aku senang
ada orang yang menungguku. Menunggu untuk kembali beraktivitas seperti dahulu. Jauh
sebelum aku divonis mengidap depresi akut.

Pada akhirnya, semuanya memang terdengar biasa saja. Hal-hal yang kau anggap biasa,
bisa saja menjadi awal dari hal yang tak pernah kau pikirkan. Masalah kecil yang terus menerus
kau pendam bisa saja suatu hari akan menjadi bumerang. Kunci dalam hidup adalah komunikasi.
Bagaimanapun perasaanmu, berusahalah untuk menyampaikannya. Senang, sedih, marah,
kecewa. Suarakan semuanya. Kau diberi hak bersuara dalam hidupmu. Lawan bicaramu berhak
tahu bagaimana perasaanmu saat berbicara dengan mereka. Jangan pernah berpikir bahwa
perasaanmu itu hanya menyulitkan orang lain. Asal kau menyuarakannya dengan sopan dan di
waktu yang tepat, semua pasti akan mengerti.

Jika kamu memiliki masalah dalam hidup, usahakan untuk menyelesaikannya. Jangan
kabur, jangan dipendam. Jika dirasa tak bisa menyelesaikannya sendiri maka mintalah bantuan
orang lain. Kau tidak hidup sendiri. Kamu punya orang tuamu, saudaramu, temanmu, sahabatmu,
gurumu, dan banyak orang lain. Jika dirasa masalahmu mulai berat beranilah untuk meminta
bantuan orang profesional. Jangan pernah merasa sendiri. Jika kau merasa sendiri, ingatlah ada
Tuhan yang menemanimu selalu. Sampaikan kepada-Nya keluh kesahmu. Tuhan-lah tempat
terbaik untuk mengadu.

You might also like