You are on page 1of 11

Penerapan Prinsip Non-Refoulement sebagai Jus Cogens

di Negara yang bukan Peserta Konvensi Genewa 1951


Fina Afrillia Surbakti 1, Reni Berlian Silalahi ² , Reh Bungana Beru Parangin-angin ³

1 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan


E-mail: fifinsurbakti112@gmail.com
2 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan

E-mail: reniberlian14@gmail.com
³ Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
E-mail: rehbungana@gmail.com

ABSTRACT
The occurrence of resistance and the closure of borders carried out by several countries for refugees and
asylum seekers made it difficult for them. There is no reason for the state to do this because it cannot
accommodate refugees or asylum seekers for fear of terrorists, their own economic difficulties and the
potential to disrupt national security. The concept of non-refoulement prohibits the prohibition and
sending of refugees or asylum seekers to areas where their freedom and life are threatened for certain
reasons. The principle that is recognized as jus cogens, there is no justification for deviating from the non-
refoulement principle for any reason. This article aims to find out how the Non-Refoulement principle is
applied in countries that are not participants in the Geneva convention. Using the juridical-normative
research method. The principle of applying non-refoulement in countries that are not parties to the Geneva
Convention is not justified in attacking and expelling asylum seekers and refugees unless the presence of
asylum seekers and refugees threatens the stability and security of the country, not only the receiving
country must be able to guarantee life and fulfill human rights refugees in their country.
Keywords: Non-Refoulement, Asylum Seeker/Refugee and Country.

ABSTRAK
Terjadinya penolakan dan menutup perbatasan yang dilakukan oleh beberapa negara pada para
pengungsi dan pencari suaka membuat kesulitan bagi mereka.Tidak tanpa alasan negara melakukan hal
tersebut karena tidak dapat menampung pengungsi atau pencari suaka karena takut terhadap teroris,
kesulitan ekonomi mereka sendiri dan berpotensi mengganggu keamanan negara. Konsep non-
refoulement melarang penolakan dan pengiriman pengungsi atau pencari suaka ke wilayah di mana
kebebasan dan kehidupan mereka terancam karena alasan tertentu. Asas yang diakui sebagai jus cogens,
tidak ada pembenaran untuk menyimpang dari asas non-refoulement dengan alasan apapun. Artikel
bertujuan mengetahui bagaimana penerapan prinsip Non-Refoulement di negara yang bukan peserta
konvensi genewa. Menggunakan metode penelitian yudiris-normatif. Penerapan prinsip Non-
Refoulement di negara yang bukan Peserta Konvensi Genewa tidak dibenarkan melakukan penolakan dan
pengusiran kepada pencari suaka dan pengungsi kecuali dengan kehadiran pencari suaka dan pengungsi
mengancam stabilitas dan keamanan negara, tidak hanya itu Negara penerima haruslah dapat menjamin
kehidupan serta terpenuhinya hak asasi manusia para pengungsi di negara mereka.
Kata Kunci: Non-Refoulement, Pencari suaka/Pengungsi dan Negara.

PENDAHULUAN

1
Prinsip non-refoulement pada dasarnya terkait dengan prinsip perlindungan
dalam hukum hak asasi manusia, khususnya perlindungan individu dari tindakan yang
diklasifikasikan sebagai penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat (hak asasi manusia atas larangan penyiksaan
atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat) Ini adalah masalah hukum internasional. Penelitian ini akan membahas
mengenai asas non-reaksi dan relevansinya dalam sistem hukum internasional, dengan
fokus pada tiga hal utama: eksistensi dan perkembangan asas non-reaksi, posisi asas
non-reaksi sebagai jus cogens, dan pengecualian penerapan asas non-reaksi. Salah satu
konsep fundamental dalam sistem perlindungan internasional bagi pengungsi dan
pencari suaka adalah prinsip non-respons dalam hukum pengungsi internasional. Prinsip
non-respons melarang atau tidak memperbolehkan negara untuk mengembalikan atau
memulangkan pengungsi (refugee) ke wilayah di mana mereka menghadapi persekusi
atau penganiayaan yang mengancam nyawa atas dasar ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau keyakinan politik. Prinsip non-refoulement
merupakan tulang punggung sistem perlindungan internasional bagi pengungsi dan
pencari suaka yang dilembagakan dalam berbagai instrumen hukum internasional dan
nasional. Kehadiran prinsip non-refoulement dalam kerangka hukum perlindungan
pengungsi dan pencari suaka juga sangat relevan dengan perlindungan hak asasi
manusia dalam konteks yang lebih luas. (Jurnal 1)
Prinsip non-refoulement, yang pada awalnya dikenal sebagai kerangka kerja
perlindungan pengungsi, melarang negara penerima untuk mendeportasi,
memindahkan, atau menolak individu yang bersangkutan ke daerah di mana ia dianiaya.
Dengan perkembangan hukum hak asasi manusia internasional, prinsip non-foulement
telah digunakan sebagai cara untuk mengimplementasikan dan melindungi salah satu
hak, yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat manusia, dari penyimpangan. Karena alasan ini, prinsip non-
foulement sering kali diterapkan tanpa terkecuali dan diperdebatkan hingga mencapai
status jus cogens, norma tertinggi dalam hirarki hukum internasional. Secara
konstitusional, perlakuan terhadap pencari suaka dan pengungsi saat ini belum diatur
secara khusus dalam undang-undang. Perlakuan terhadap pencari suaka dan pengungsi
hanya sebatas pada tahap awal dalam rangka penyaringan dan pemberian suaka. Oleh
karena itu, Pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016
tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri agar Pemerintah memiliki acuan baku
dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi. Penanganan pencari suaka atau
pengungsi oleh Pemerintah dimulai dari penemuan dan dilakukan melalui
penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian. Pengawasan keimigrasian
dilakukan dalam beberapa hal sebagai berikut: pemeriksaan ulang identitas, permintaan
informasi penahanan di Rudenim, penerbitan formulir pendataan dan kartu identitas
khusus bagi pengungsi. (jurnal 2 Hi)
Konvensi 1951 yang berkaitan dengan Status Pengungsi (Konvensi 1951)
mendefinisikan pengungsi sebagai orang di luar negara kewarganegaraannya atau
tempat tinggal biasa yang memiliki ketakutan yang beralasan akan persekusi karena
alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam suatu kelompok sosial. kelompok
tertentu atau memiliki pendapat politik tertentu. Secara umum, negara tidak diharuskan

2
mengizinkan orang asing masuk ke wilayahnya. Pengungsi adalah pengecualian dari
aturan ini. Prinsip non-refoulement yang diatur dalam pasal 33 Konvensi 1951 Berkaitan
dengan Status Pengungsi merupakan aspek mendasar dari hukum pengungsi yang
melarang negara mendeportasi atau memulangkan seseorang ke negara asalnya dimana
kehidupan dan kebebasannya akan terancam. .mengikat semua Negara pihak. Namun
seringkali dalam situasi terdesak, pengungsi langsung memilih meninggalkan negara
asalnya dan mencari perlindungan di negara yang mereka rasa aman tanpa tahu apakah
negara tersebut merupakan negara peserta Konvensi Tahun 1951 atau bukan. Tujuan
dari penulisan ini, di samping untuk mengetahui tentang prinsip non refoulement
sebagai dasar perlindungan pengungsi, juga untuk mengetahui apakah prinsip non
refoulement juga berlaku di negara yang bukan merupakan peserta Konvensi Tahun
1951.
Pengungsi adalah orang-orang yang berada dalam situasi yang sangat rentan.
Mereka tidak memiliki perlindungan dari negara mereka sendiri dan seringkali
pemerintah mereka sendiri mengancam untuk menganiaya mereka. Dalam situasi
seperti itu, komunitas internasional melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk
memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap dilindungi dan dihormati. Di bawah
status perlindungan internasional seperti itu, orang-orang yang berstatus pengungsi
wajib menerima perlindungan atas hak-hak asasi mereka. Pengungsi berhak atas
sejumlah hak, termasuk perlindungan dan bantuan yang disesuaikan dengan keadaan
masing-masing. Salah satu perlindungan yang paling mendasar dari perlakuan terhadap
pengungsi adalah bahwa pengungsi menikmati perlindungan dari pemulangan
sewenang-wenang ke negara tempat mereka menghadapi risiko penganiayaan. Prinsip
ini, yang sering disebut sebagai prinsip non-fuhrman, sering dianggap sebagai landasan
perlindungan internasional bagi para pengungsi. Hak ini secara khusus dijelaskan dalam
Pasal 33(1) Konvensi 1951 sebagai berikut: Tidak satupun dari Negara-negara Yang
Mengadakan Perjanjian akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan
cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana kehidupan atau kebebasannya akan
terancam oleh karena suku, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial
tertentu atau pendapat politiknya. (jurnal 3 hi)
Kebijakan integrasi yang dilakukan oleh otoritas negara penerima dan transit
pengungsi dan pencari suaka dapat dinilai sebagai inklusif atau eksklusif, tergantung
sejauh mana ketiga kategori tersebut diperhitungkan. Semakin banyak kategori yang
dapat diintegrasikan oleh sebuah masyarakat, semakin inklusif masyarakat tersebut.
Fenomena pergerakan lintas batas pengungsi dan pencari suaka telah mempengaruhi
pembentukan regulasi supranasional mengenai perlindungan, status dan hak-hak
mereka di negara penerima dan negara transit. Regulasi yang tertuang dalam konvensi
internasional ini memiliki kekuatan memaksa (jus cogens) yang mengharuskan semua
negara, baik yang menjadi penandatangan maupun tidak, untuk menerapkan prinsip-
prinsip dasar konvensi yang berlandaskan pada harkat dan martabat nilai-nilai
kemanusiaan. Penelitian ini menggunakan konsep integrasi melalui integrasi prosedur
atau kerjasama tertentu dengan negara lain, serta penolakan masuk di perbatasan.
Terlepas dari fenomena masuknya pengungsi dalam jumlah besar yang membuat negara
penerima pengungsi kesulitan mencari solusi, tidak ada pengecualian dalam penerapan
prinsip nonrefoulement. Penelitian ini menggunakan konsep-konsep asas

3
nonrefoulement, norma kepastian, asas Jus Cogens dan integrasi kebijakan pemrosesan
pengungsi di Indonesia untuk menarik kesimpulan apakah norma-norma yang terdapat
dalam hukum internasional terinternalisasi dalam norma-norma ketentuan kebijakan
nasional tentang pemrosesan pengungsi di Indonesia. (jurnal 4 hi)

METODE

1. Pendekatan
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian yudiris normatif, yaitu penelitian
hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka dan
data sekunder belaka. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
konseptual dan filosofis. Pada Pendekatan konseptual menjelaskan unsur-unsur
mengenai penerapan prinsip Non-Refoulement sebagai Jus Cogens pada negara yang
tidak meratifikasi Konvensi 1951. Sedangkan pada pendekatan filosofis menjelaskan
mengenai latar belakang pemikiran yang mendasari pada penanganan pengungsi dan
pencari suaka.
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk teknik pengumpulan data berdasarkan jenis penelitian yang bersifat
yudiris normatif penulis menggunakan metode pengumpulan data sekunder untuk
mengumpulkan bahan hukum. Melakukan studi kepustakaan, di mana studi
kepustakaan merupakan metode tunggal dalam penelitian hukum normatif.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis data kualitatif deduktif. Pada metode kualitatif memusatkan perhatiannya pada
prinsip-prinsip umum mendasari perwujudan satuan gejala yang ada dalam kehidupan
manusia, atau pola-pola budaya yang menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. (Jurnal)
Bahwa apa yang dikaji dan diperoleh dari sebuah penelitian kualitatif adalah pemikiran,
makna cara pandang manusia mengenai gejala-gejala yang menjadi fokus penelitian.

PEMBAHASAN

Prinsip Non-Refoulement dalam Konvensi Internasional tentang Kemanusiaan


Prinsip non-refoulement merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum
internasional yang lazim. Oleh karena itu, beberapa ahli telah memposisikan prinsip
non-refoulement dalam konvensi kemanusiaan internasional sebagai bagian dari
kekuatan (Jus Cogens) dalam aturan internasional yang dapat diberlakukan (stricto
sensu). Prosedur yang mengikat semua negara dijelaskan dalam Hak dan Kewajiban
Komite Hak Asasi Manusia PBB, yang membahas klaim hak asasi manusia fundamental
yang terkandung dalam Konvensi Pengungsi serta perjanjian hak asasi manusia lainnya.
Hak asasi manusia yang mendasar meliputi hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan
seseorang; hak untuk mencari dan menikmati suaka; kebebasan dari penyiksaan,
perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
manusia; kebebasan dari perbudakan; pengakuan di depan hukum; kebebasan berpikir,

4
hati nurani dan beragama; kebebasan dari penahanan dan penangkapan sewenang-
wenang; kebebasan dari kehidupan pribadi, keluarga dan kebebasan dari campur tangan
sewenang-wenang dalam kehidupan pribadi, keluarga dan rumah tangga; kebebasan
berpendapat dan berekspresi; hak atas pendidikan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan budaya masyarakat. Komite Hak Asasi Manusia PBB berkewajiban untuk
memastikan bahwa hak asasi manusia dilindungi di semua negara anggota Konvensi,
yang mana mereka tidak melakukannya. Prinsip nonrefoulement adalah prinsip yang
mencakup norma bahwa otoritas pemerintah tidak dibenarkan untuk mendeportasi,
mengusir, atau menolak masuknya pengungsi ke dalam wilayah yurisdiksinya, tanpa
memandang apakah mereka memiliki baik mereka yang telah menerima pengakuan
resmi atas status pengungsi dari UNHCR maupun mereka yang belum menerima
pengakuan resmi atas status pengungsi, dan menolak masuknya pengungsi ke dalam
yurisdiksi mereka. (jurnal 4 hi)
Konvensi 1951 menetapkan bahwa perlindungan pengungsi dibebankan kepada
Negara-negara Anggota Konvensi. Konvensi ini dirancang untuk mengatasi masalah
pengungsi setelah Perang Dunia Kedua. Namun, menyadari terbatasnya ruang lingkup
dan ruang gerak perlindungan yang terdapat dalam Konvensi, PBB melalui UNHCR
berinisiatif untuk merevisi Konvensi tersebut dengan menyusun rancangan protokol
pada tahun 1967. Hal yang membuat protokol 1967 berbeda dengan Konvensi 1951
adalah adanya perubahan yang cukup signifikan dalam hal perlindungan: Protokol 1967
Perlindungan yang dimaksud dalam Protokol 1967 tidak terbatas pada perpindahan
pengungsi di Eropa saja, tetapi meluas ke perpindahan pengungsi di seluruh dunia.
Protokol ini tidak membatasi penyebab pengungsi, sehingga apakah mereka pengungsi
dari konflik, bencana kemanusiaan akibat ulah manusia, atau bencana alam, mereka
berhak mendapatkan perlindungan. Konvensi Pengungsi merupakan bagian integral dari
peraturan internasional tentang nilai-nilai kemanusiaan. Kerangka peraturan yang
terkandung dalam Konvensi ini merupakan bagian integral dari perjanjian-perjanjian lain
yang berhubungan dengan hukum hak asasi manusia internasional: Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia 1948 dan Konvensi Jenewa Keempat tentang Hukum Humaniter
Internasional 1949 merupakan bagian dari sifat integral dari hukum internasional
tentang nilai-nilai kemanusiaan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.22 Oleh karena
itu, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum pengungsi juga dapat
ditemukan dalam ketentuan-ketentuan lain. Sebagai contoh, Konvensi 1951 memuat
prinsip nonrefoulement, yang juga terdapat dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia (CAT). (jurnal 4 hi)

Prinsip Non-Refoulement Sebagai Jus Cogens


Dalam sistem hukum internasional, konsep jus cogens, atau sering disebut
sebagai norma utama hukum internasional, adalah ketentuan hukum yang diterima dan
diakui oleh masyarakat internasional, yang tidak dapat dikesampingkan atau dipatahkan
oleh ketentuan hukum lainnya. Dalam diskursus hukum internasional klasik, konsep jus
cogens diperkenalkan pada abad ke-16 oleh para ahli hukum internasional seperti ahli
hukum Belanda Hugo Grotius (1583-1645) dan de Vattel. Pada tahun 1953, pelapor
khusus Komisi Hukum Internasional Hirsch Lauterpacht, memasukkan konsep jus cogens

5
sebagai prinsip tatanan hukum internasional (l’ordre public international) ke dalam
rancangan perjanjian internasional.21 Konsep jus cogens juga diperkenalkan pada tahun
1950-an dan 1960-an. Pada akhirnya, konsep jus cogens diterima oleh masyarakat
internasional dan dilembagakan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional. Penerimaan jus cogens dalam sistem hukum internasional kontemporer,
sebagaimana tercermin dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional (‘Konvensi Wina 1969’), mengindikasikan bahwa masyarakat internasional
telah mengakui dua jenis norma hukum yang berlaku dalam sistem hukum internasional:
jus dispositivum dan jus cogens.23 Jus dispositivum adalah norma hukum internasional
di mana negara-negara, sebagai anggota masyarakat internasional, diperbolehkan
untuk menyimpang dari ketentuan hukum berdasarkan situasi dan kondisi tertentu. (jrnl
hi)
Sebaliknya, jus cogens atau norma peremptory hukum internasional adalah
norma hukum internasional yang diakui dan diterima oleh masyarakat internasional
yang tidak dapat dilanggar oleh ketentuan hukum lainnya. Jus cogens diklasifikasikan
sebagai norma hukum yang lebih tinggi daripada norma jus dispositivum. Negara-negara
yang menjadi anggota masyarakat internasional tidak dapat, dengan alasan apa pun,
menyimpang dari norma hukum internasional yang dikategorikan sebagai jus cogens ini.
Jus cogens dianggap sebagai norma esensial bagi sistem hukum internasional dan setiap
pelanggaran terhadap norma esensial ini mengancam kelangsungan sistem hukum
internasional yang berlaku di masyarakat internasional Pelembagaan norma hukum
yang bersifat memaksa dalam Konvensi Wina 1969 merupakan indikasi yang jelas bahwa
negara-negara, dalam sistem hukum internasional diakui dan ditegaskan kepada
masyarakat internasional, dan khususnya kepada negara-negara, bahwa mereka tidak
dapat merumuskan aturan-aturan yang menyimpang dari jus cogens, baik dalam
hubungan mereka dengan negara lain maupun dalam kerangka hukum domestik
masing-masing negara. Dalam kaitan ini, perlu juga disebutkan bahwa penerapan jus
cogens tidak terbatas pada Konvensi Wina 1969, tetapi berlaku dalam sistem hukum
internasional secara umum. Sifat jus cogens yang wajib dan tidak dapat diubah
merupakan prinsip yang berlaku bagi perilaku semua negara sebagai anggota
masyarakat internasional dalam kerangka hukum internasional. Oleh karena itu, jus
cogens membatasi perilaku dan interaksi negara-negara dalam kerangka sistem
internasional.
Keberadaan asas non-reaksi jus cogens didukung oleh pendapat para ahli hukum
internasional29 . Pendapat para ahli hukum internasional mengenai eksistensi asas non-
reaksi tersebut memberikan bukti yang kuat dan faktual bahwa asas non-reaksi sebagai
salah satu sumber hukum internasional yang berstatus jus cogens diakui dan dijunjung
tinggi oleh para ahli hukum internasional. Pendapat-pendapat ahli hukum internasional
tersebut membuktikan eksistensi asas non-reaction sebagai salah satu sumber hukum
internasional, sesuai dengan rumusan sumber-sumber hukum internasional yang dianut
dalam Statuta Mahkamah Internasional.30 Diakui adanya pelanggaran terhadap asas
non-reaction dalam praktik penanganan masalah pengungsi dan pencari suaka oleh
Negara-negara. Hal ini juga dinyatakan oleh UNHCR yang menyatakan bahwa
pelanggaran yang terjadi terhadap hak-hak pengungsi yang diakui oleh masyarakat
internasional, termasuk pelanggaran terhadap prinsip nonrefoulement, merupakan

6
tindakan yang sangat memprihatinkan dan bahkan dapat merusak sistem perlindungan
internasional bagi pengungsi dan pencari suaka . Namun demikian, perlu ditekankan
pula bahwa terjadinya pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement tidak relevan dan
tidak dapat dijadikan argumen untuk menentang statusnya sebagai jus cogens dalam
sistem hukum internasional. (jrnl hi)

Prinsip Non-Refoulement Sebagai Dasar Perlindungan Terhadap Pengungsi


Pengungsi berhak atas sejumlah hak seperti perlindungan dan bantuan yang
disesuaikan dengan keadaan masing-masing. Salah satu perlindungan yang paling
mendasar dari penanganan pengungsi adalah pengungsi dapat menikmati perlindungan
dari pemulangan yang sewenang-wenang ke negara dimana mereka menghadapi resiko
penganiayaan. Prinsip ini dikenal dengan prinsip non refoulement dan seringkali hal ini
disebut sebagai tonggak dari perlindungan internasional terhadap pengungsi. Hak ini
secara khusus dijelaskan dalam Pasal 33 ayat 1 dari Konvensi Tahun 1951, yaitu: Tidak
satupun dari Negara-negara Yang Mengadakan Perjanjian akan mengusir atau
mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah
dimana kehidupan atau kebebasannya akan terancam oleh karena suku, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya.

Pengungsi adalah orang-orang yang berada dalam situasi yang sangat rentan.
Mereka tidak memiliki perlindungan dari negara mereka sendiri dan seringkali
pemerintah mereka sendiri mengancam untuk menganiaya mereka.7 Dalam situasi ini,
komunitas internasional melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk memastikan
dan menjamin bahwa hak-hak dasar seseorang tetap dilindungi dan dihormati. Di bawah
status perlindungan internasional seperti itu, orang-orang yang berstatus sebagai
pengungsi berkewajiban untuk memastikan bahwa hak-hak asasi mereka dilindungi.
Pengecualian terhadap prinsip nonrefoulement didefinisikan secara sempit.
Pengecualian hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu, seperti yang dijelaskan
dalam Pasal 33(2) Konvensi 1951. Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut hanya
dapat diterapkan apabila pengungsi yang bersangkutan merupakan ancaman serius
terhadap keamanan Negara tempat suaka dimintakan, atau apabila ia telah dihukum
oleh pengadilan yang tidak dapat lagi mengajukan banding atas pelanggaran-
pelanggaran yang sangat serius, dan kemudian tetap menjadi ancaman bagi masyarakat
di Negara tempat suaka dimintakan. Penerapan klausul pengecualian ini memerlukan
penerapan prosedur untuk memastikan bahwa pemeriksaan yang ketat dilakukan.
Namun demikian, Pasal 33(2) Konvensi 1951 tidak dapat diterapkan apabila pemindahan
orang yang bersangkutan akan mengakibatkan perlakuan atau hukuman yang kejam,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Larangan refoulement merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang di bawah Pasal 3 Konvensi PBB Menentang Penyiksaan 1984, Pasal 7 Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966, dan hukum hak asasi manusia di
tingkat regional. (jurnal 5 hi)

Pengaturan dan Penerapan Prinsip Non-Refoulement di Indonesia

7
Prinsip non-refoulement merupakan prinsip dasar yang diatur dalam Pasal 33
Konvensi 1951 untuk menjamin kelangsungan hidup pengungsi di negara penerima.
Nyawa mereka terancam. Meskipun asas ini merupakan asas yang mendasar, namun
pada praktiknya asas non-refoulement tetap menjadi milik hukum kebiasaan
internasional dan tidak ada sanksi yang berlaku bagi negara yang secara paksa
memulangkan pengungsi di wilayahnya. Selain itu, prinsip non-refoulement juga
menjadi masalah bagi negara-negara tujuan pengungsi, namun negara tujuan tersebut
secara ekonomi tidak mampu mendukung kehidupan pengungsi di perbatasannya. Hal
ini menjadi dilema bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menjadi
tujuan pengungsi.
Di Indonesia, terdapat lebih dari 10.567 pengungsi dan pencari suaka yang
terdaftar di UNHCR Indonesia. Jumlah ini terbagi atas 7.241 pencari suaka dan 3.326
pengungsi, dimana 8.320 di antaranya adalah laki-laki dan 2.247 perempuan. Karena
Indonesia belum menjadi negara pihak dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi
atau Protokol 1967, maka tidak ada kerangka hukum atau sistem untuk menentukan
status pengungsi. Oleh karena itu, UNHCR adalah lembaga di Indonesia yang memproses
permohonan status pengungsi.175 Diadaptasi dari situs resmi UNHCR Indonesia, UNHCR
melakukan proses penentuan status pengungsi (refugee status determination, RSD),
yang dimulai dengan pendaftaran pencari suaka. Setelah pendaftaran, UNHCR
melakukan wawancara individual dengan setiap pencari suaka, didampingi oleh
penerjemah yang kompeten. Proses ini menghasilkan keputusan yang beralasan yang
menentukan apakah permohonan status pengungsi seseorang diterima atau ditolak,
dan setiap orang diberi kesempatan (satu kali) untuk mengajukan banding jika
permohonannya ditolak. (jurnal 5 hhi
Menempatkan Pencari Suaka dan Pengungsi dalam Rudenim adalah sesuatu
yang melanggar hukum internasional, karena prinsipnya keberadaan mereka dalam
Rudenim mengurangi hak-hak mereka. Walaupun Pencari Suaka dan Pengungsi tersebut
masuk ke wilayah Indonesia dengan dokumen yang tidak sah atau tanpa dokumen,
mereka haruslah mendapatkaan perlakuan yang berbeda dengan immigran ilegal.
Imigran illegal tidak memiliki dasar yang kuat untuk meninggalkan negara asalnya, oleh
karenanya penempatan imigran ilegal di Rudenim serta mengembalikan Imigran ilegal
ke negara asalnya (deportasi) dapat diterma hukum internasional. Namun perlu
diperhatikan bahwa prinsip non-refoulement itu sendiri berbeda dengan pengusiran
(expulsion) atau deportasi ataupun juga pemindahan secara paksa (forced removal).
Pengusiran atau Deportasi ini terjadi ketika warga negara asing dinyatakan bersalah
karena melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan negara tersebut,
atau mereka tersangka perbuatan pidana di suatu negara dan melarikan diri dari proses
peradilan. Non –refoulement hanya dapat berlaku bagi Pengungsi dan Pencari Suaka.
Sehingga apabila warga asing yang datang ke suatu negara tanpa didasari alasan-alasan
yang mendasar seperti yang telah dijelaskan dalam Konvensi 1951, maka warga asing
tersebut tidak dapat disebut sebagai Pengungsi ataupun Pencari Suaka, sehingga warga
asing ersebut dapat dikembalikan ke negaranya tanpa takut adanya unsur pelanggaran
terhadap prinsip non-refoulement.

SIMPULAN

8
Menurut teori hukum alam yang ada dalam teori hukum internasional
menyebutkan bahwa, Aku minta nasional merupakan hukum alam yang mana hukum
ideal dikarenakan memiliki kedudukan tinggi daripada hukum negara, sehingga negara-
negara harus menaati dan menjunjung tinggi hukum internasional. Berkaitan dengan
itu, istilah jus Cogens. Prinsip Jus Cogens adalah prinsip yang membuat norma tertentu
dimana dalam pemberlakuannya tidak diperbolehkan melakukan pengecualian (which
no derogation is permitted) yang berlaku dalam hukum internasional terutama
mengenai kemanusiaan. Prinsip Non-Refoulement pada dasarnya terkait dengan prinsip
perlindungan dalam hukum hak asasi manusia khusus perlindungan individu dan
tindakan yang diklasifikasikan sebagai penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang
kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat ini merupakan salah satu masalah
hukum. Asas Non-Refoulement adalah asas larangan suatu negara untuk menolak atau
mengusir pengungsi ke negara asalnya atau ke suatu wilayah di mana fungsi tersebut
akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengancam serta membahayakan
kehidupan maupun kebebasannya. Tindakan suatu negara menolak pengungsi atau
bahkan memulangkan kembali mereka secara paksa merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip hukum internasional, serta merupakan bentuk
pengingkaran terhadap komitmen masyarakat internasional dalam memberikan
kontribusi terhadap penyelesaian masalah terkait pengungsi. Sebagai prinsip yang telah
diterima oleh masyarakat internasional dan diakui sebagai jus cogens, penyimpangan
prinsip non-refoulement atas dasar apapun tidak dapat dibenarkan. Permasalahan dan
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan asas non-refoulement
dalam Hukum Internasional dan penerapan asas non-refoulement dalam Perundang-
undangan di Indonesia. Dalam konvensi tahun 1951 disebutkan bahwa pengungsi tidak
boleh dikembalikanan dengan cara apapun ke negara asalnya ebebasannya terancam
dikarenakan ras, kebangsaan, agama, serta keanggotaan dalam kelompok sosial
tertentu atau pendapat politiknya hal tersebut merupakan prinsip dari non refoulement
dimana prisnisp ini berlaku atau sudah menjadi hukum kebiasaan internasional yang
berlaku bagi semua negara baik yang belum menjadi peserta ataupun yang belum
meratifikasinya.

REFERENSI

Buku
Isharyanto. (2017). Hukum Internasional Dalam Pusaran Politik Dan
Kekuasaan.Tanggerang. Pustakapedia.
Sakharina Karita, Kadarudin. (2016). Hukum Pengungsi Internasional. Makassar. Pustaka
Pena Press.
Jurnal
Ananta riyan, (2016). Perlindungann Terhadap Asylum Seeker Diluar Wilayah Suatu
Negara Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Negara Menurut Pasal 33 Ayat (1)
Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi Studi Kasus Australia-Indonesia. Jurnal
LEX Certa.

9
Brilianto fikri,dkk. (2022). Kedudukan Pengungsi Taliban Di Indonesia Ditinjau Dari Asas
Non-Refoulement.Jurnal USM Law Review.
Christyanti Lora, (2022). Jus Cogens Sebagai Dasar Mengikatnya Hukum Internasional.
Jurnal Yudispruden. Volume 5, Nomor 2.
Fitriyadi adi, (2020). Diferensiasi Pengungsi dan Pencari Suaka Dalam Hukum Pengungsi
Internasional dan Hubungannya dengan Prinsip Non-Refoulement. Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
Hamdani, Fauzia. (2021). Eksistensi Prinsip Non-Refoulement Sebagai Dasar
Perlindungan Bagi Pengungsi Di Indonesia Saat Pandemi Covid-19. Jurnal Hukum
Lex Generalis.
Hardjaloka loura, (2015). Studi Perbandingan Ketentuan Perlindungan Pencari Suaka
Dan Pengungsi Di Indonesia Dan Negara Lainnya (Comparative Study On Asylum
Seeker And Refugees Protection Regulation In Indonesia And Other Countries).
Kuningan,Jakarta Selatan.
Lukita gani. (2020). Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencari Suaka Internasional
Berdasarkan Prinsip Kemanusiaan (Studi Kasus Pencari Suaka Internasional Di
Kalideres Jakarta Barat). Jurnal hukum adigama.
Matulessy Krismansia,dkk. Penerapan Prinsip Non-Refoulment Kepada Pengungsi Etnis
Rohingnya Oleh Negara Asean. Jurnal Ilmu Hukum,ambon.
Rahman wahid. (2017). Pengaturan Dan Penerapan Prinisip Non-Refoulement Di
Indonesia Ditinjau Dari Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta.
Riyanto sigit. (2010).Prinsip Non-Refoulement Dan Relevansinya Dalam Sistem Hukum
Internasional. Jurnal Mimbar Hukum
Tarigan yosua (2021). Kondisi, Permasalahan, Dan Solusi Pencari Suaka Dan Pengungsi
Internasional Di Wilayah Indonesia Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan
Hukum Internasional. Journal of law and border protection.
Tobing Ignatia. 2014. Penerapan Prinsip Non-refoulement dalam Kasus Relokasi Pencari
SuakaIlegal Australia Ke Pulau Manus dan Pulau Nauru. Maryland Journal of
International Law.
Utomo Shabri. (2019). Implementasi Penegakan Hukum Pencari Suaka Dan Pengungsi
Di Indonesia Setelah Diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun
2016 Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Jurnal Ilmiah Kajian
Keimigrasian.
Yulianto adi, (2020). Integrasi Prinsip Non-Refoulement Dengan Prisnip Jus Cogenspada
Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia. Universitas Islam As-Syafiiyah.
Zahra inaya,dkk. (2013). Pemindahan Pencari Suaka (Transfer Of Asylum Seeker) Dalam
Hukum Internasional (Studi Kasus Pemindahan Pencari Suaka Dari Australia Ke
Malaysia Dan Papua Nugini). Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya.

10
11

You might also like