You are on page 1of 4

Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan 23/01/24 16.

29

! Beranda > artikel

Selasa, 06 September 2022 13:21 WIB Artikel Lain

Depresi dan Bunuh Diri


" # $

Pencegahan Manfaat Jalan


Kanker Kaki untuk…
Payudara

Apa Sebenarnya Pola Makan


Pola Makan… yang
dianjurkan…

BERANDA PROFIL ! Apa Kandungan


INFORMASI PUBLIK ! Apa itu HUKUM
PRODUK KONTA

% 31951 Bawang Hitam? Dismenorea


dr.Agung Frijanto, Sp.KJ, MH. - RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta pada…

Menyambut Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention


Day 2022) pada 10 September 2022, World Health Organization (WHO)

mengambil tema Creating Hope Through Action. Dalam upaya mencegah


bunuh diri perlu kiranya kita memahami penyebab utama bunuh diri yaitu

kondisi depresi pada individu. Depresi merupakan problem kesehatan


masyarakat yang cukup serius. WHO menyatakan bahwa depresi berada

pada urutan nomor 4 penyakit di dunia, dan diprediksikan akan menjadi


masalah gangguan kesehatan yang utama. Bunuh diri menjadi isu kesehatan

masyarakat serius saat ini. Menurut WHO, 2019, sekitar 800.000 orang
meninggal akibat bunuh diri per tahun, di dunia. Angka bunuh diri lebih tinggi

pada usia muda. Di Asia Tenggara, angka bunuh diri tertinggi terdapat di
Thailand yaitu 12.9 (per 100.000 populasi), Singapura (7,9), Vietnam (7.0),

Malaysia (6.2), Indonesia (3.7), dan Filipina (3.7). Perilaku bunuh diri (ide bunuh
diri, rencana bunuh diri, dan tindakan bunuh diri) dikaitkan dengan berbagai

gangguan jiwa, misalnya gangguan depresi. Gejala depresi, misalnya merasa

tidak berguna, tidak ada harapan atau putus asa merupakan faktor risiko
bunuh diri. Sebanyak 55% orang dengan depresi memiliki ide bunuh diri.

Depresi ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung dan iritabilitas.


Pasien mengalami distorsi kognitif seperti mengkritik diri sendiri, timbul rasa

menyalahkan diri sendiri, perasaan tidak berharga, kepercayaan diri turun,


pesimis dan putus asa. Terdapat pula rasa malas, tidak bertenaga, retardasi

psikomotor, dan menarik diri dari hubungan sosial. Pasien mengalami

gangguan tidur seperti sulit masuk tidur atau terbangun dini hari. Nafsu
makan berkurang, begitu pula dengan gairah seksual. Pada stadium depresi

yang berat tidak jarang individu dapat menjadi frustasi dan putus asa hingga
muncul ide untuk menyakiti diri sendiri bahkan sampai ide untuk bunuh diri.

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1450/depresi-dan-bunuh-diri Page 1 of 4
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan 23/01/24 16.29

Kondisi memprihatinkan ini juga didukung oleh data dari WHO yang

menyatakan bahwa angka bunuh diri akibat depresi bisa mencapai angka
sekitar satu juta pertahun di seluruh dunia.

Di kalangan awam banyak yang berpendapat bahwa depresi terjadi hanya

karena stresor psikososial yang berat yang menimpa seseorang dan orang
tersebut tidak mampu mengatasinya. Depresi merupakan salah satu
gangguan emosi karena itulah maka banyak orang juga menduga bahwa

gangguan tersebut hanya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman


pribadi yang buruk seperti masalah ekonomi, keluarga, pekerjaan serta
masalah psikososial lainnya. Sehingga tidak jarang masyarakat menilai

bahwa individu yang stress kemudian depresi dan bunuh diri adalah akibat
semata-mata hanya karena ’lemah mental’ hingga’lemah iman’. Sangat
sedikit orang yang mengetahui bahwa pada depresi terdapat gangguan
neurobiologik dan neurokimiawi di otak. Padahal menurut pendekatan Psikiatri

terdapat beberapa faktor penyebab depresi, yaitu mulai dari faktor genetik
sampai dengan faktor non-genetik. Faktor genetik, seperti gangguan
neurokimiawi, gangguan neuroendokrin , hingga perubahan neurofisiologi .

Sedangkan faktor non-genetik (psikososial) adalah seperti kehilangan obyek


yang dicintai, hilangnya harga diri, distorsi kognitif serta ketidakberdayaan
yang dipelajari (pola asuh keluarga yang depresif).

Adapun faktor-faktor risiko depresi adalah pertama jenis kelamin yaitu pada

wanita angka depresi lebih tinggi dibanding pria, kemungkinan hal ini
dipengaruhi ketidakseimbangan hormonal misalnya adanya depresi prahaid,
pasca melahirkan dan postmenopause. Kedua adalah usia, yaitu depresi lebih

sering terjadi pada usia muda. Frekuensi tertinggi pada usia produktif sekitar
20-40 tahun. Meskipun demikian, depresi juga dapat terjadi pada anak-anak
dan lanjut usia. Ketiga adalah status perkawinan, yaitu depresi lebih sering
dialami individu yang bercerai atau berpisah bila dibandingkan dengan yang

menikah atau lajang. Faktor keempat adalah letak geografis, dimana


masyarakat kota menurut penelitian memiliki angka depresi yang lebih tinggi
dibandingkan masyarakat pedesaan. Faktor berikutnya adalah latar belakang

keluarga yang memiliki riwayat hidup depresif, bunuh diri dan pecandu
alkohol. Selanjutnya adalah faktor kepribadian, yaitu individu dengan
kepribadian yang lebih tertutup, mudah cemas, hipersensitif, serta lebih
bergantung pada orang lain sehingga akan lebih rentan terhadap depresi.

Sedangkan faktor risiko yang terakhir adalah stresor psikososial yaitu suatu
keadaan yang dirasakan sangat menekan sehingga seseorang tidak dapat
beradaptasi dan bertahan. Peristiwa-peristiwa kehidupan misalnya,

pertengkaran yang kerap terjadi di tempat kerja atau di rumah tangga,


kesulitan keuangan, dan ancaman yang menetap terhadap keamanan
(tinggal di daerah yang berbahaya atau konflik) dapat pula mencetuskan
depresi.

Upaya Pencegahan dan Pengobatan

Pada individu yang sehat mentalnya selain tidak memiliki faktor risiko depresi

secara genetik, mereka juga mempunyai mekanisme pertahanan diri yang


baik dalam menghadapi stresor, yaitu mempunyai kepribadian yang matang,

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1450/depresi-dan-bunuh-diri Page 2 of 4
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan 23/01/24 16.29

fleksibel, terbuka dan memiliki kehidupan yang religius.

Oleh karena itu, manajemen gejala depresi perlu dioptimalkan, untuk

mengurangi risiko bunuh diri dan mencegah bunuh diri pada orang dengan
depresi. Namun, beberapa kendala sering ditemui, misalnya keengganan
orang dengan depresi mengungkapkan adanya ide bunuh diri karena faktor
budaya, agama dan ketakutan akan distigma. Asesmen yang akurat tentang

bunuh diri sangat diperlukan agar tatalaksana yang tepat segera dapat
diberikan. Ide bunuh diri akan bertransisi menjadi rencana bunuh dan
akhirnya tindakan bunuh diri. Esketamin intranasal, obat baru, efektif untuk

mengatasi perilaku bunuh diri.

Lalu bagaimana peran keluarga, lingkungan dan tenaga medis dalam


mengantisipasi situasi tersebut? Yang terpenting adalah segera mengenali

perubahan perilaku yang terjadi pada individu yang mengalami gejala awal
depresi. Biasanya individu tersebut mulai banyak keluhan fisik yang tidak
kunjung sembuh, perilaku yang menarik diri dari pergaulan sosial, menjadi
pendiam serta mudah tersinggung (iritabilitas) akibat emosi yang tidak stabil.
Usahakan tidak bersikap menghakimi atau menyalahkan, namun langkah
terbaik adalah bersikap empati dengan mendengar segala keluh kesahnya

sambil terus berupaya menyarankan individu tersebut untuk datang berobat


ke pelayanan kesehatan terdekat.

Disamping itu salah satu upaya dalam Ilmu Kedokteran Jiwa adalah
pendekatan komunitas. Yaitu upaya maksimal untuk memberikan edukasi,
advokasi dan berbagai upaya preventif lainnya untuk mengurangi dampak
akibat gangguan jiwa. Upaya yang dirasakan sangat efektif dan efisien

adalah deteksi dini gangguan depresi di masyarakat. Dengan memberikan


pelatihan dan ketrampilan mendiagnosis depresi secara cepat serta tepat
kepada dokter umum di pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas/klinik
umum), diharapkan dapat menekan angka kematian akibat depresi berat
yaitu bunuh diri. Tidak kalah pentingnya adalah advokasi kepada para tokoh
masyarakat dan keluarga untuk mengenal gejala dini dari berbagai
gangguan jiwa, khususnya depresi. Sehingga jika ada anggota keluarganya
yang mulai tampak terjadi perubahan perilaku ke arah berbagai gejala

depresi, maka sesegera mungkin membawanya ke pusat pelayanan


kesehatan. Dengan pengobatan yang komprehensif dan holistik, yaitu biologi
(obat-obatan), psikosoial (psikoterapi/konseling) dan spiritual, maka insya
Allah individu yang mempunyai kecenderungan memiliki kepribadian yang
rentan depresi akan dapat tertolong dengan mengetahuinya secara dini.
Sehingga dampak terhadap gangguan kesehatan jiwa akibat pandemi dan
kondisi perekonomian global yang berimbas hingga ke segenap lapisan

masyarakat, dapat dihindari dan diminimalisir

Referensi :

WHO, World Suicide Prevention Day, ” Creating Hope Through Action”, 2022.

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1450/depresi-dan-bunuh-diri Page 3 of 4
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan 23/01/24 16.29

Kok Yoon Chee, et.al,. A Southeast Asian expert consensus on the management
of major depressive disorder with suicidal behavior in adults under 65 years of
age, BMC Psychiatry, 2022.

Satuan Kerja Link Cepat


Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Beranda
Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kebijakan
Jl. HR. Rasuna Said Blok X-5 Kav. 4 - 9,
Kuningan, RT.1/RW.2, Kuningan, Kuningan Tim., Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer FAQ

Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Direktorat Tata Kelola Pelayanan Kesehatan Peta Situs
Jakarta 12950
Direktorat Fasilitas Pelayanan Kesehatan Hubungi Kami

humas.yankes@kemkes.go.id Direktorat Mutu Pelayanan Kesehatan

Unit Pelaksana Tugas Pelayanan Kesehatan


' ( " #

& 2011-2023 Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1450/depresi-dan-bunuh-diri Page 4 of 4

You might also like