You are on page 1of 43

Case Report Session

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus

OLEH :

Dinda Pratiwi 1710070100069

PRESEPTOR:

dr. Fetri Faisal, Sp. A.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD M.NATSIR
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-

Nya kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tugas case ini yang berjudul

“Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus”. Case ini dibuat untuk memenuhi

syarat kepaniteraan klinik senior di Bagian Anak Rumah Sakit Umum Daerah

Mohammad Natsir Solok.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr. Fetri Faisal, Sp. A

selaku pembimbing penyusunan case ini dengan memberikan bimbingan dan

nasehat dalam penyelesaian case ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada

teman-teman serta staf bagian anak dan semua pihak yang telah membantu

dalam menyelesaikan case ini. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa masih

banyak kelemahan yang terdapat dalam penulisan case ini, kritik dan saran

sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan case selanjutnya. Semoga tulisan

ini bermanfaat.

Solok, Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

1.3 Manfaat Penulisan ................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4

2.1 Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus ......................................... 4

2.1.1 Definisi ........................................................................................ 4

2.1.2 Epidemiologi ............................................................................... 4

2.1.3 Etiologi ........................................................................................ 6

2.1.4 Faktor Risiko ............................................................................... 6

2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi ...................................................... 7

2.1.6 Manifestasi Klinis ....................................................................... 9

2.1.7 Diagnosis ..................................................................................... 14

2.1.8 Diagnosis Banding ...................................................................... 14

2.1.9 Penatalaksanaan .......................................................................... 17

2.1.10 Komplikasi dan Prognosis ......................................................... 21

2.1.12 Pencegahan ................................................................................ 21

BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................ 22

BAB IV ANALISA KASUS .......................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 40

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glomerulonefritis pasca-streptokokus akut (GNAPS) adalah penyebab

utama glomerulonefritis akut pada anak-anak yang sebagian besar disebabkan

oleh Streptokokus beta-hemolitik grup A (GABHS) terjadi terutama di negara

berpenghasilan rendah dan menengah. GNAPS terutama menyerang anak-anak

berusia antara 3 dan 12 tahun dan jarang terjadi pada anak di bawah usia 3 tahun.1

Gambaran yang paling umum dari GNAPS adalah hematuria, azotemia,

hipertensi, dan edema perifer.1,2 Spektrum klinis GNAPS dapat bervariasi sebagai

sindrom nefritik akut, sindrom nefrotik, dan glomerulonefritis progresif cepat

(GNPC). Oleh karena itu, tingkat keparahan GNAPS dapat bervariasi di antara

pasien, dan dapat muncul dengan penyakit subklinis hingga GNPC yang

memerlukan dialisis.

Estimasi kejadian global GNAPS adalah 472.000 kasus per tahun dengan

77% kasus berasal dari negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tingkat

GNAPS telah menurun selama beberapa dekade terakhir di negara-negara

berpenghasilan tinggi karena penggunaan antibiotik, peningkatan status sosial

ekonomi, dan peningkatan kebersihan. Namun, GNAPS tetap menjadi salah satu

penyebab penting cedera ginjal akut di antara populasi anak dan penyebab utama

rawat inap di negara berkembang. Estimasi kejadian tahunan GNAPS yang

dilaporkan adalah 9,3 kasus per 100.000 orang di negara berkembang.

1
Sebagian besar kasus GNAPS terjadi setelah faringitis dengan

streptokokus daripada infeksi kulit. Namun, sifat dari penyakit menular

sebelumnya tidak berhubungan dengan perjalanan klinis dan tingkat keparahan

GNAPS. Dua antigen utama yang berkontribusi terhadap patogenesis GNAPS

adalah nephritis-associated plasmin receptor (NAPlr) dan streptococcal

pyrogenic exotoxin B (SPeB). Infeksi mengaktifkan antibodi dan melengkapi

protein terhadap NAPlr dan SPEB, melalui mekanisme yang dimediasi oleh

kompleks imun yang menyebabkan agregasi pembuluh darah di glomerulus. C3

umumnya rendah dalam tes darah karena aktivasi jalur lengkap alternatif . Namun,

15%-30% pasien mungkin mengalami penurunan kadar C1 dan C3 dan 10%

memiliki kadar komplemen normal.1

Penatalaksanaan GNAPS terutama bersifat suportif dengan pembatasan

cairan, antihipertensi, diuretik, dan dialisis, bila perlu, karena penyakit ini dapat

sembuh sendiri. Gagal jantung kongestif, edema paru, dan ensefalopati akibat

hipertensi berat dapat terjadi selama fase akut GNAPS akibat hipervolemia.

GNAPS umumnya memiliki prognosis yang baik dengan hanya sebagian kecil

pasien dengan kelainan urin persisten, hipertensi persisten, dan penyakit ginjal

kronis setelah episode akut GNAPS. Penurunan kadar komplemen, peningkatan

protein C-reaktif, dan hipoalbuminemia berhubungan dengan keparahan penyakit.

Formasi crescent pada biopsi ginjal dan insufisiensi ginjal dapat menjadi prediktor

keparahan penyakit dan hasil yang buruk pada GNAPS pada anak-anak.1

1.2 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan menambah wawasan mengenai glomerulonefritis akut

pasca streptokokus pada anak.

2
2. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian ilmu

kesehatan anak RSUD M.Natsir Solok tahun 2023.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Sebagai informasi dan menambah wawasan mengenai glomerulonefritis

akut pasca streptokokus pada anak.

2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda untuk menjalankan

kepaniteraan klinik senior terutama di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD

M. Natsir Solok.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS)

2.1.1 Definisi3,9

GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara

histopatologi menunjukkan proliferasi & inflamasi glomeruli yang didahului oleh

infeksi group A 𝛽-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala

nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.

Sindrom nefritik akut (SNA) adalah suatu kumpulan gejala klinik berupa

proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria & hipertensi

(PHAROH) yang terjadi secara akut.

Glomerulonefritis akut (GNA) merupakan suatu istilah yang lebih bersifat

umum dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi &

inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik.

Dalam kepustakaan istilah GNA dan SNA sering digunakan secara

bergantian. GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan

SNA lebih bersifat klinik.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS, banyak penyakit

yang juga memberikan gejala nefritik seperti hematuria, edema, proteinuria

sampai azotemia, sehingga digolongkan ke dalam SNA.

2.1.2 Epidemiologi

GNAPS mengikuti infeksi tenggorokan atau kulit oleh strain

"nephritogenic" tertentu dari grup A β-hemolytic streptococci. Epidemi dan

kelompok kasus rumah tangga (kamp, militer) terjadi di seluruh dunia, dan 97%

4
kasus terjadi di negara kurang berkembang. Insiden keseluruhan telah menurun di

negara-negara industri, sebagai akibat dari peningkatan kondisi higienis dan

pemberantasan pioderma streptokokus. GNAPS biasanya mengikuti faringitis

streptokokus selama bulan-bulan cuaca dingin dan infeksi kulit streptokokus atau

pioderma selama bulan-bulan cuaca hangat. Meskipun epidemi nefritis telah

dijelaskan berhubungan dengan infeksi tenggorokan (serotipe M1, M4, M25, dan

beberapa strain M12) dan kulit (serotipe M49), penyakit ini paling sering bersifat

sporadis.4

GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok usia namun lebih sering

ditemukan pada kelompok usia 2-15 tahun, sangat jarang terjadi pada anak dengan

usia di bawah dua tahun dan dua kali lebih sering terjadi pada anak laki–laki
5
dibandingkan dengan anak perempuan.

WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya

secara global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan

di Sri Manakula Vinayagar Medical College and Hospital India pada periode

waktu Januari 2012–Desember 2014 ditemukan 52 anak dengan diagnosis

GNAPS. Dari 52 pasien ditemukan 46 anak (88,4%) dengan GNAPS, usia pasien

berkisar antara 2,6 – 13 tahun, 27 anak (52%) pada kelompok usia 5-10 tahun.5

Di Indonesia pengamatan mengenai GNA pada anak di sebelas universitas

di Indonesia pada tahun 1997-2002, lebih dari 80% dari 509 anak dengan GNA

mengalami efusi pleura, kardiomegali serta efusi perikardial, dan 9,2% mengalami

ensefalopati hipertensif. Selama 5 tahun sejak 1998-2002, didapatkan 45 pasien

GNA (0,4%) yaitu diantara 10.709 pasien yang berobat di Departemen Ilmu

Kesehatan Anak RSCM. Empat puluh lima pasien ini terdiri dari 26 laki–laki dan

5
19 perempuan yang berumur antara 4-14 tahun, dan yang paling sering adalah 6–

11 tahun. Angka kejadian ini relatif rendah, tetapi menyebabkan morbiditas yang

bermakna. Dari seluruh kasus, 95% diperkirakan akan sembuh sempurna, 2%

meninggal selama fase akut dari penyakit, dan 2% menjadi glomerulonefritis

kronis.5

2.1.3 Etiologi

GNAPS didahului oleh infeksi saluran napas atas (serotipe M1, M4, M25,

M12) atau infeksi kulit (serotipe M49) oleh strain "nefritogenik" dari group A 𝛽-

hemolytic streptococci (GABHS).4

Gambar 2.1 Streptococcus pyogenes (Grup A Streptokokus) pada pewarnaan


gram.

2.1.4 Faktor Resiko6

Faktor risiko GNAPS pada anak ialah jenis kelamin laki - laki, usia ≥5

tahun, status sosial ekonomi rendah, status gizi, dan musim hujan. GNAPS sering

terjadi pada anak usia 5-12 tahun, jarang pada anak di bawah 3 tahun.

Penyebabnya karena pada usia 5-12 tahun merupakan usia sekolah, di mana

mudah terpapar dengan agen infeksi. Sekitar 97% kasus GNAPS terjadi di negara

berkembang dan berkurang di negara industri atau negara maju. Terbukti selama

2-3 dekade terakhir, kejadian GNAPS telah menurun di Amerika Serikat dan juga

6
di negara lain, seperti Jepang, Eropa Tengah, Inggris Raya dan Korea Selatan. Hal

ini berkaitan dengan kondisi higiene yang baik, lingkungan yang sehat, serta

penggunaan antibiotik. Umumnya GNAPS terjadi pada daerah beriklim tropis dan

biasanya berdampak pada anak-anak dengan tingkat ekonomi yang rendah.

Penyakit ini biasanya terjadi secara sporadik tetapi peningkatan insidensi kasus

terjadi secara epidemik pada tempat dengan komunitas yang memiliki populasi

tempat tinggal di lingkungan yang padat penduduk, higiene kurang baik, kondisi

dengan insidens malnutrisi yang tinggi. Indonesia merupakan negara beriklim

tropis. Sebanyak 68,9% penderita GNAPS berasal dari keluarga dengan sosial

ekonomi yang rendah dan 82% pada keluarga berpendidikan rendah. Musim juga

merupakan faktor yang dapat memengaruhi kejadian GNAPS sebab infeksi

tenggorokan lebih sering terjadi pada musim dingin, awal musim semi, dan

musim hujan sedangkan pioderma lebih sering terjadi pada akhir musim panas dan

musim gugur. Pasien yang berjenis kelamin laki-laki memiliki perbandingan yang

lebih tinggi di bandingkan perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena anak

laki-laki lebih sering berada di luar rumah sehingga rentan terpapar dengan kuman

penyebab infeksi.

2.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi

Infeksi dapat memicu cedera pada ginjal baik melalui perantara sistem

imun maupun non-imun. Virus dan parasit dapat memicu glomerulonefritis

pascainfeksi melalui imunitas yang diperantarai sel atau antibodi.

Glomerulonefritis akut merupakan penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun

penderita itu sendiri melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Mekanisme yang

diketahui sampai saat ini adalah pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di

7
glomerulus, pembentukan kompleks imun langsung di glomerulus, aktivasi

komplemen akibat deposisi antigen Streptokokus di glomerulus, serta respon

autoimun terhadap komponen ginjal yang serupa dengan komponen Streptokokus

(molecular mimicry).7

Kompleks imun di glomerulus terjadi akibat kompleks imun yang beredar

di dalam tubuh lalu terdeposisi di glomerulus atau kompleks imun yang terbentuk

insitu di glomerulus. Deposisi kompleks imun tersebut, dengan aktivasi

komplemen, akan menarik sel-sel inflamasi yang kemudian memicu

glomerulonefritis. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mengapa

glomerulus menjadi tempat terdeposisinya kompleks imun, yaitu ukuran

kompleks imun, hubungan antigen-antibodi, jenis antibodi, dan efisiensi bersihan

sistem retikuloendotelial. Tidak terdapat korelasi antara jumlah kompleks imun

yang bersirkulasi dengan manifestasi klinis maupun karakter patologi

glomerulonephritis.7

Pembentukan kompleks imun in situ di glomerulus terjadi akibat antigen

yang terdeposisi di glomerulus memicu pembentukan kompleks imun. Hal ini

didasarkan pada antigen yang merupakan ion bermuatan negatif mudah tertarik

dan mempenetrasi membran basal glomerulus yang bermuatan negatif. Aktivasi

komplemen juga menjadi salah satu mekanisme patogenesis GNAPS. Aktivasi

komplemen terjadi akibat adanya protein pengikat immunoglobulin yang terdapat

di Streptokokus mengikat C4b binding protein yang mengaktifkan sistem

komplemen.7

Pada GNAPS, kedua ginjal tampak membesar secara simetris. Glomerulus

juga membesar dengan proliferasi sel-sel mesangial difus dan peningkatan matriks

8
mesangial. Terdapat pula infiltrasi leukosit polimorfonuklear ke glomerulus. Pada

pemeriksaan fluoresensi, tampak deposit immunoglobulin dan komplemen di

membran basal glomerulus dan mesangium.7

Gambar 2.2 Gambar glomerulus pasien dengan GNAPS pada mikroskop


dengan pembesaran 400 kali. Tampak proliferasi mesangial dan infiltrasi
leukosit.7

Gambar 2.3 Patofisiologi terjadinya beberapa keluhan pada pasien.8


2.1.6 Manifestasi Klinis3

GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) atau infeksi kulit (pioderma) dengan periode laten 1-2 minggu pada

ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari

bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik diketahui bila

terdapat kelainan sedimen utin terutama hematuria mikroskopik yang disertai

riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.

9
GNAPS simtomatik

1. Periode Laten: Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode

antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3

minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh

ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/pioderma. Periode

ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang

dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti

eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura

Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.

2. Edema : Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul,

dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di

daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi

cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna

(edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. Distribusi edema

bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh

sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena

adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang

pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi

karena gaya gravitasi. Kadang - kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang

tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan

berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan

masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke

kedudukan semula.

10
3. Hematuria : Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,

sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu

penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar

46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.

Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian

daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam

minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung

sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,

umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai

hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah

sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,

sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan

indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya

glomerulonefritis kronik.

4. Hipertensi : Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus

GNAPS. Didapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu

pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang

lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90

mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup

dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi

berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala

serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-

kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi

berkisar 4-50%.

11
5. Oliguria : Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS

dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m² LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi

ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala

sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang

bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa

pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat

dengan prognosis yang jelek.

6. Gejala Kardiovaskular : Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah

bendungan sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan

sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata

dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala

miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau

miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.

1) Edema paru

Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan

sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara

radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada

pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini

disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama

dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai

bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh

karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan

lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara

62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam

12
minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-

gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali,

edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena

pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan

Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).

Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura

81,6%. Bentuk yang tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali disertai

dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri

sendiri atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang

dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia

di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4%

kongesti paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik

paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari

bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki

basah dan edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru

pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari,

sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih

lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan radiologik paru dapat

membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik.

Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan oleh

hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.

7. Gejala lainnya: Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat,

malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan

13
jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang

berlangsung lama.

2.1.7 Diagnosis3

Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi

pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:

Gejala-gejala klinik :

1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown

case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang

merupakan gejala-gejala khas GNAPS.

2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium

berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa

adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.

3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus B

hemolitikus grup A.

Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen

urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan

penderita GNAPS.

2.1.8 Diagnosis Banding

Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti

GNAPS.3

1. Penyakit ginjal :

a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut

Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat

berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat

14
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat,

biasanya 1-3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan

ureum yang jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat

membantu diagnosis.

b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria

Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis

herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan

benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema

atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan

timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten

ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat.

c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)

RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.

Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase

akut dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B

meninggi pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal.

Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN.

Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan

penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal.

2. Penyakit-penyakit sistemik.

Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-

Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit

ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria,

proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok

15
negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri

abdomen dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian.

Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah,

yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema,

hipertensi atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan

GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit

tersebut umumnya bersifat fokal.

3. Penyakit-penyakit infeksi :

GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh

Group A 𝛽-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala

GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus

ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit

dasarnya.3

Tabel 2.1 Gambaran Klinis yang Membedakan Glomerulonephritides


Lain dan Penyakit Glomerular10

16
2.1.9 Penatalaksanaan1

Penatalaksanaan GNAPS terutama bersifat suportif karena penyakit ini

sembuh sendiri. Anak-anak dengan hipertensi, edema umum, atau gangguan

fungsi ginjal harus dirawat di rumah sakit untuk memantau tekanan darah dan

fungsi ginjal. GNAPS harus dikelola dengan pembatasan cairan, anti-hipertensi,

diuretik, dan terapi pengganti ginjal dengan dialisis bila diperlukan.

Antibiotik Profilaksis
Dua uji coba terkontrol acak menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam risiko pengembangan GNAPS antara cefuroxime selama 5 hari

dan penisilin V selama 10 hari sebagai profilaksis antibiotik. Selain itu, review

Cochrane dari 27 percobaan menunjukkan bahwa kemanjuran pengobatan

antibiotik dalam mencegah perkembangan GNAPS setelah infeksi tenggorokan

secara statistik tidak signifikan. Terapi antibiotik selama infeksi GABHS awal

dapat membantu mencegah penyebaran infeksi dan dengan demikian mencegah

perkembangan GNAPS. Namun, profilaksis antibiotik umumnya tidak diperlukan

pada GNAPS karena resolusi GNAPS dapat terjadi tanpa pemberantasan GABHS,

dan kekambuhan GNAPS jarang terjadi.

Gambar 2.4 Strategi manajemen untuk glomerulonefritis pasca-streptokokus


akut pada anak-anak.1

17
Agen Anti-Hipertensi
Diuretik tiazid efektif sebagai obat lini pertama pada GNAPS; namun,

diuretik loop dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan ginjal,

terutama mereka dengan estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR) < 30 mL/menit

per 1,73 m2 dan edema yang signifikan. Diuretik tiazid berhubungan dengan

kelainan elektrolit seperti hipokalemia, hiperglikemia, dan hiperkalsemia. Oleh

karena itu, kadar kalium dan kalsium serum harus dipantau saat tiazid digunakan.

Hipertensi pada GNAPS dapat dikelola dengan diuretik saja atau kombinasi

diuretik dan vasodilator seperti penghambat saluran kalsium untuk mengobati

hipervolemia dari retensi natrium dan air. Pasien edema atau hipertensi juga harus

diinstruksikan untuk diet rendah natrium dan mungkin memerlukan pembatasan

cairan.

Calcium channel blocker atau beta-blocker dapat dipertimbangkan pada

pasien dengan kebutuhan kontrol hipertensi yang lebih besar. Beberapa studi

menunjukkan bahwa nifedipin short-acting aman pada anak-anak dengan

hipertensi berat atau darurat hipertensi dan membutuhkan penurunan tekanan

darah yang cepat. Efek samping minor dari short-acting nifedipine termasuk

flushing, takikardia, edema, sakit kepala, pusing, mual dan muntah, pruritus, dan

nyeri gastrointestinal. Terjadinya efek samping utama seperti penurunan tekanan

darah lebih dari 40%, desaturasi oksigen, dan perubahan status neurologis jarang

terjadi pada populasi anak. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan

bahwa penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) memiliki kontrol tekanan

darah dan edema yang lebih baik pada GNAPS dibandingkan dengan diuretik.

Namun, penghambat ACE atau penghambat reseptor angiotensin biasanya

18
dihindari pada fase akut karena dapat memperburuk penurunan ultrafiltrasi

glomerulus dan hiperkalemia.

Restriksi Sodium dan Cairan serta Edema Paru

Pasien yang datang dengan edema umum akibat cedera ginjal akut atau

glomerulonefritis akut akibat GNAPS dapat memperoleh manfaat dari pembatasan

natrium. Diet pembatasan natrium antara 1 dan 2 mEq/kg·d dianjurkan untuk

mengurangi edema dan natriuresis positif. Pasien yang mematuhi pembatasan Na+

akan mengalami pembatasan cairan yang sembuh sendiri. Namun, pasien dengan

edema berat dapat diobati dengan restriksi cairan hingga dua pertiga dari

pemeliharaan atau setengah atau kurang dari output urin setelah diuresis cepat

tercapai. Pasien yang sedang dalam pembatasan cairan harus memiliki

pemantauan ketat terhadap input dan output cairan, elektrolit serum, dan tanda-

tanda vital.

Edema paru non-kardiogenik dapat terjadi akibat gagal ginjal pada pasien

GNAPS yang menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut. Manajemen

harus fokus pada mempertahankan oksigenasi yang memadai ke paru-paru dan

mengobati penyebab yang mendasarinya. Ventilasi tekanan positif non-invasif

dapat digunakan pada kasus ringan untuk mendukung pernapasan sementara

ventilasi mekanis konvensional dan ventilasi osilasi frekuensi tinggi dapat

digunakan pada kasus yang lebih parah sementara penyebab dasarnya diobati.

Manajemen farmakologis edema paru non-kardiogenik terbatas. Nitrat oksida

inhalasi (INO) dapat digunakan pada pasien dengan hipertensi pulmonal dan

disfungsi ventrikel kanan untuk mengurangi ketidaksesuaian ventilasi/perfusi.

Namun, kortikosteroid dan surfaktan tidak dianjurkan sebagai terapi rutin.

19
Imunosupressan dan Dialysis

Pasien mungkin memerlukan biopsi ginjal jika mereka mengalami cedera

ginjal akut berat yang tidak berdiferensiasi dan progresif cepat untuk

menyingkirkan penyebab penyakit ginjal lainnya yang mungkin memiliki

penatalaksanaan spesifik. Kortikosteroid intravena dosis tinggi dapat digunakan

pada pasien yang memiliki presentasi klinis berat yang membutuhkan biopsi

ginjal; namun, penggunaan kortikosteroid hanya didasarkan pada bukti anekdot.

Imunosupresi dengan kortikosteroid dengan atau tanpa agen alkylating dapat

digunakan pada pasien dengan glomerulonefritis crescentic berat (> 75% cresent)

untuk mengurangi peradangan ekstra-kapiler. Namun, beberapa penelitian juga

menunjukkan bahwa terapi immune suppressive tidak memiliki manfaat yang jelas

dalam jangka panjang.

Terakhir, dialisis direkomendasikan pada anak dengan gangguan ginjal

berat yang menyebabkan kelebihan volume dan kelainan elektrolit seperti

hiperkalemia atau asidosis. Renal replacement therapy (RRT) harus dimulai pada

pasien dengan kelebihan cairan yang jelas dengan kelebihan cairan kumulatif

lebih dari 20% atau lebih dari 10% dari berat badan dan tidak responsif terhadap

diuretik. Modalitas yang tersedia untuk RRT adalah intermitten hemodyalisis

(IH), continuous renal replacement therapy (CRRT), dan peritoneal dyalisis (PD)

pada pasien dengan cedera ginjal akut akibat GNAPS. IHD cocok untuk pasien

yang hemodinamiknya stabil sedangkan CRRT lebih cocok untuk pasien yang

hemodinamiknya kurang stabil, terutama di ICU. PD kurang cocok pada pasien

sakit kritis karena dialisis bergantung pada sirkulasi peritoneal dan ada

peningkatan risiko infeksi terkait kateter dan kebocoran cairan peritoneum.

20
2.1.10 Komplikasi dan Prognosis7

Komplikasi akut dari glomerulonefritis pasca-infeksi adalah hipertensi dan

disfungsi ginjal akut. Hipertensi terjadi pada 60% pasien dan berasosiasi dengan

ensfelopati hipertensif pada 10% kasus. Hipertensi dalam jangka panjang dapat

menyebabkan perdarahan intrakranial. Komplikasi GNAPS lainnya adalah gagal

jantung, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis, kejang, dan

uremia. Gagal ginjal akut dapat ditangani dengan hemodialisis.

Komplikasi yang dialami 72 pasien dengan GNPI diantaranya adalah AKI

(20,8%), krisis hipertensi (19,4%), gagal jantung (11,1%), ensefalopati (4,2%),

dan retinopati (1,4%). Dari 15 pasien yang menderita AKI, 20% diantaranya

masuk ke stadium 3 berdasarkan klasifikasi AKIN, dan 1 pasien membutuhkan

hemodialisis.

Penyembuhan secara menyeluruh dapat terjadi pada lebih dari 95% anak

dengan GNAPS. Rekurens terjadi sangat jarang. Tingkat mortalitas pada fase akut

dapat dicegah dengan tatalaksana serta pencegahan yang tepat terjadinya gagal

ginjal akut, gagal jantung, dan hipertensi. Pada kurang dari 2% kasus anak, fase

akut dapat berkembang menjadi glomerulosklerosis, dan penyakit ginjal kronik.

Tidak diketahui dengan pasti hubungan antara kejadian penyakit ginjal kronik

pada dewasa dengan kejadian GNAPS saat anak-anak.

2.1.11 Pencegahan11

Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat

tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS

berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian

hari.

21
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. RGAM


No.MR : 238543
Umur : 5 Tahun 9 Bulan
Tanggal Lahir : 14 Mei 2017
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Nan Balimo
Tanggal Kedatangan : 12 Februari 2023

Alloanamnesis dengan ibu pasien

Keluhan utama

Nyeri perut yang meningkat sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

• Sesak napas sejak 1 minggu yang lalu, sesak sesekali, sesak tidak menciut.
• Batuk berdahak sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai
nyeri tenggorokan.
• Nyeri perut sejak 5 hari dan nyeri meningkat sejak 3 jam sebelum masuk
rumah sakit, nyeri terasa pada bagian ulu hati dan perut dirasa kembung.
Nyeri perut berkurang dengan minum obat antibiotik.
• Muntah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi 3 kali
berisikan makanan yang dimakan dengan muntah sebanyak ± 1/2 gelas.
Muntah tidak berdarah.
• Wajah dan kaki bengkak sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Bengkak berkurang dengan minum obat. Ibu pasien tidak tahu nama
obatnya.
• Buang air kecil berwarna merah sejak 5 hari yang lalu. Nyeri BAK tidak
ada. Jumlah BAK tidak berkurang.

22
• Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, demam tidak disertai
keluhan menggigil dan kejang. Demam turun dengan minum obat
paracetamol.
• Pasien mengalami penurunan nafsu makan.
• Buang air besar dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Riwayat memiliki asma sejak 4 tahun yang lalu.
• Riwayat memiliki keluhan yang sama 1 tahun yang lalu. Disarankan untuk
rawat inap namun pasien menolak sehingga pasien hanya rawat jalan dan
keluhan menghilang.
• Riwayat nyeri menelan 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga :
• Terdapat riwayat asma pada keluarga pasien.
• Tidak terdapat keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


Lama hamil : 37 minggu
Cara lahir : SC
Berat lahir : 4000 gr
Saat lahir : Langsung menangis kuat
Ditolong oleh : Dokter
Indikasi : Letak sungsang
Kesan : Tidak ada morbiditas perinatal
Riwayat Makanan dan Minuman
• Bayi : Asi : Lahir - 12 bulan
Susu formula : 0 bulan
Bubur susu : 3 bulan
Buah biskuit : 3 bulan
Nasi tim : 6 bulan
• Anak : Makanan utama : 3x per hari menghabiskan 1 porsi
Daging : 3x/minggu
Ayam : 2x/minggu

23
Ikan : 0x/minggu
Telur : 7x/minggu
Sayur : 0x/minggu
Buah : 2x/minggu
Kesan : Kualitas kurang baik dan kuantitas baik

Riwayat Imunisasi:
IMUNISASI DASAR/UMUR Booster/umur
Hepatitis B -
1 0 bulan
2 2 bulan
3 3 bulan
4 4 bulan
Polio -
0 0 bulan
1 1 bulan
2 2 bulan
3 3 bulan
BCG 1 bulan -
DPT -
1 2 bulan
2 3 bulan
3 4 bulan

HIB 1 bulan
Campak 9 bulan -
Influenza - -
Kesan : Imunisasi dasar lengkap, booster belum ada

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat Perkembangan Umur
Ketawa 2 bulan
Miring 3 bulan
Tengkurap 3 bulan
Duduk 7 bulan
Merangkak 7 bulan
Berdiri 8 bulan
Lari 13 bulan
Gigi pertama 6 bulan
Bicara 12 bulan
Membaca 7 tahun
Prestasi sekolah Baik
Kesan : Riwayat perkembangan baik

24
Riwayat Keluarga
Nama Orang tua Usia Pendidikan Pekerjaan
Ayah : Darmawan 47 tahun SMA Pedagang
Ibu : Witri 38 tahun SMA Pedagang
Saudara Kandung :
Nama Saudara Kandung Usia Jenis Kelamin
1. An. A 17 Tahun Laki-laki
2. An. B 10 Tahun Laki-laki
Riwayat Perumahan dan Lingkungan
• Rumah tempat tinggal : Permanen
• Sumber air minum : Air galon
• Buang air besar : Jamban didalam rumah
• Pekarangan : Luas
• Sampah : Ke tempat pembuangan sampah
Kesan : Sanitasi Lingkungan baik
Pemeriksaan fisik :

Status Generalisata

• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

• Kesadaran : E4M6V5 (Compos mentis)

• Tekanan Darah : 100/70 mmHg

o Persentil tekanan darah:

§ P90: 106/65 mmHg

§ P95: 109/69 mmHg

§ P95+12: 121/81 mmHg

• Nadi : 152 x/ menit

• Nafas : 38 x/ menit

• Suhu : 360C

• Saturasi O2 : 97%

25
• Edema : Wajah dan kaki

• Ikterus : Tidak ada

• Berat badan : 18,6 kg

• Tinggi badan : 111 cm

• BB/U : 93% ( Berat badan baik )

• TB/U : 97,36% ( Perawakan normal )

• BB/TB : 93% ( Gizi baik )

• Status gizi : Gizi baik perawakan normal

Kulit : Turgor kulit kembali cepat

Kepala : Normocephal. Lingkar kepala 50 cm.

Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah dicabut.

Mata : Reflek cahaya ada, pupil isokor (2mm/2mm),

konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak

ada, edema palpebra tidak ada

Telinga : Simetris kanan dan kiri, tidak ditemukan kelainan

Hidung : Sekret tidak ada, deformitas tidak ada, perdarahan

tidak ada

Tenggorokan : Tonsil T3-T3 hiperemis, faring hiperemis tidak ada

Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab

Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB dan tiroid

COR

• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

26
• Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Batas kiri : RIC V sejajar linea midclavicula sinistra 2 jari ke arah
medial
- Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra

- Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra

• Auskultasi : Reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada

PULMO

• Inspeksi : Simetris dada kiri dan kanan, retraksi tidak ada


• Palpasi : Taktil fremitus sama kiri dan kanan
• Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
• Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
• Inspeksi : Distensi ada, venektasi tidak ada
• Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Palpasi : Nyeri tekan epigastrium ada, nyeri ketok CVA
tidak ada
• Perkusi : Hipertimpani, shifthing dullness tidak ada
Punggung : Tidak ada kelainan

Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas atas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema tidak ada,

turgor baik

Ekstremitas bawah : Akral hangat, CRT <2 detik, edema ada, turgor
baik

27
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium :
Darah Lengkap (12 Februari 2022)
Hemoglobin : 10,8 g/dl 9,5-14,1 g/dl
Eritrosit : 4.10 x 106/mm3 3.9-5.3 x 106/mm3
Hematokrit : 34% 30-40 %
MCV : 82.9 fl 70-84 fl
MCH : 26.3 pg/cell 23-29 pg/cell
MCHC : 31.8 g/dl 31-35 g/dl
RDW-CV : 16% H 11.5-14.5 %
Leukosit : 17.800 /mm3 5.0-19.0 x 103/mm3
Trombosit : 903.000 /mm3 H 150-450 x 103/ mm3
Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0% 0-1 %
Eosinofil : 1% 1-3%
Neutrofil : 39%(L) 50-70%
Limfosit : 51%(H) 46-76 %

28
Monosit : 9% (H) 2-8 %
ALC : 9078/𝝁L(H) 1500-4000
NLR : 0.76 <3,13
Kesan : Trombositosis, peningkatan RDW CV, Neutrofilia,
Limfositosis, Monositosis, peningkatan ALC
KIMIA KLINIK
Albumin : 3.46 g/dL 2.9 - 5.3
Glukosa Darah : 93 mg/dL 60 - 100
Ureum : 31 mg/dL 20 - 50
Kreatinin : 0.57 mg/dL 0.5 - 1.5
SEROLOGI
ASTO/ASO : Positif Negatif
URINALISA
Urine Lengkap
Makroskopik
Warna : Kemerahan Kuning muda Jernih
Blood (UL) : 3+ Negatif
Bilirubin : Negatif Negatif
Urobilinogen : 1 1
Keton : Negatif Negatif
Protein : 3+ Negatif
Nitrit : Negatif Negatif
Glukosa : Negatif Negatif
pH : 7.50 4.6 - 8.5
Berat Jenis : 1.015 1.003 - 1.029
Sedimen Urine
Eritrosit : 60-80 /LPB 0-4
Silinder : Negatif Negatif
Leukosit : 15-25 /LPB 0-3
Kristal : Negatif Negatif
Epitel : 2-3 /LPK 0-1

29
Kesan : Urinalisis warna urin kemerahan dengan darah 3+ dan
protein 3+, sedimen urin dengan eritrosit 60-80/LPB dan
leukosit 15-25/LPB

Diagnosis Kerja:
- GNAPS

Diagnosis Banding:
- Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria

Penatalaksanaan
• Ampicilin 4x500 mg (IV)
• Furosemide 2x10 mg (IV)
Tatalaksana Non-medikamentosa
• Diet Nefritik 1400 kalori
• Balance cairan / 6 jam
• TTV/ 6 jam
• Minum 1400cc/hari

Edukasi
• Menjelaskan tentang program KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi)
kepada anak dan keluarga
• Menggunakan obat secara tepat dan benar.
Rencana :
• Urinalisa / 3 hari

• USG Ginjal

• Kultur swab tenggorok

30
Asuhan Nutrisi Pediatrik
1. Assesment : menentukan status gizi dan masalah nutrisi

• BB/U : 93% (Berat badan baik)


• TB/U : 97,36 % (Perawakan normal)
• BB/TB: 93% (Gizi baik)
Kesan: Gizi baik perawakan normal

2. Penentuan kebutuhan nutrisi


Kebutuhan kalori:
Usia tinggi : 5 Tahun 4 Bulan
BBI : 20 kg
BB Ideal x RDA menurut usia tinggi : 20 x 90 = 1.800 kkal/hari

31
3. Cara pemberian:
Oral

4. Penentuan jenis makanan:


Usia 5 tahun 9 bulan = Makanan keluarga + Susu formula

5. Pemantauan dan evaluasi:


- Reaksi simpang : tidak ada
- Pertambahan BB : selama dirawat tidak ada penambahan BB
Follow up
13/02/2023 Hasil pemeriksaan Tatalaksana
S/ - Batuk (+) kering P/
- Nyeri Epigastrium (+) - Ampisilin
- BAK Berdarah (+) 4x500 mg
- Demam (-) (IV)
- Sesak (-) - Furosemide
- Muntah (-) 2x10 mg
O/ - KU: sakit sedang, Kesadaran: CMC (IV)
- TD jam 08:00 110/70 mmHg - BC : - 50
- TD jam 12:00 100/60 mmHg cc
- TD jam 18:00 85/60 mmHg - D: 5,8 cc/s
- TD jam 24:00 90/70 mmHg
- HR : 69x/i
- RR : 35x/i
- T : 35oC
- BB : 18,6 kg
- TB : 111 cm

A/ - GNAPS
14/02/2023 S/ - Demam (-) P/
- Batuk (-)
- Sesak (-) - -Ampisilin
- Oedem berkurang (+) 4x500 mg (IV)
O/ - KU: sakit sedang, Kesadaran : CMC - - Furosemide
- TD jam 06:00 100/60 mmHg 2x10 mg (IV)
- TD jam 12:00 95/60 mmHg - - BC: - 172 cc
- TD jam 18:00 100/65 mmHg - D: 3,66 cc
- TD jam 24:00 100/60 mmHg
- HR : 60x/i
- RR : 24x/i
- T : 35,9oC
- BB : 17,6 kg
- TB : 111 cm

A/ - GNAPS

32
15/02/2023 S/ - Demam (-) P/
- Batuk (-)
- Sesak (-) - Furosemide
- Nyeri perut (-) 2x10 mg
- Edema pada tungkai (-) - Ampisilin
- BAK merah (-) 4x500 mg
- Rencana
O/ - KU : sakit sedang USG hari
- Kesadaran: CMC ini
- TD jam 06:00 100/70 mmHg - BC : +430
- TD jam 12:00 110/70 mmHg cc
- TD jam 18:00 90/58 mmHg - D: 1,42 cc
- TD jam 24:00 100/50 mmHg
- HR : 75x/i
- RR : 23x/i
- T : 35,8oC
- BB : 17,6 kg
- TB : 111 cm

A/ - GNAPS
16/02/2023 S/ - Demam (-) P/
- Batuk (-)
- Sesak (-) - Ampisilin
- Edema (-) 4x500 mg
- Furosemide
O/ - KU sakit sedang 2x10 mg
- Kesadaran: CMC - Batas
- TD jam 06:00 83/40 mmHg minum
- TD jam 12:00 100/65 mmHg 1400cc
- HR : 97x/i - BC: -200
- RR : 21x/i cc
- T : 35,1oC - D: 2,84 cc
- BB : 17,6 kg
- TB : 111 cm
Pasien
Gambaran USG Ginjal diperbolehkan
pulang:
R/
-Amoxicillin
- Paracetamol

Kesan: Gambaran glomerulonephritis ginjal bilateral

Hasil swab tenggorok


Hasil pewarnaan presumtive gram:

33
-bakteri gram (+) : tidak ditemukan
-bakteri gram (-) : ditemukan, diplokokus dan batang
-jamur : tidak ditemukan

Kesan: Isolat yang tumbuh masih mungkin merupakan


flora normal pada rongga mulut atau saluran nafas atas.

A/ - GNAPS

34
BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada

kasus anak laki-laki 5 tahun 9 bulan di diagnosa GNAPS.

Dari anamnesis didapatkan keluhan dari pasien dengan bengkak pada wajah

dan kaki. Bengkak atau edema merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan

pada GNAPS, umumnya pertama kali timbul dan menghilang pada akhir minggu

pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra),

disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di

daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva). Distribusi

edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal.

Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol di pagi hari saat bangun

pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut. Edema akan

menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan

kegiatan fisik, hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Keluhan edema ini dapat

menyerupai sindroma nefrotik, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan

seperti pemeriksaan lipid serum, albumin, dan urinalisis ulang.

Selain bengkak pasien juga mengeluhkan urin berwarna kemerahan. Ada

dua macam hematuria yaitu hematuria mikroskopik dan hematuria makroskopik.

Hematuria makroskospik dapat dilihat dengan kasat mata sedangkan hematuria

mikroskopik hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan mikroskopik urin yang

ditemukan sel darah merah 3 atau lebih per lapang pandang. Hematuria kasus

berat mungkin berlangsung selama beberapa minggu, tapi hematuria mikroskopik

bisa berlanjut selama beberapa bulan.

35
GNAPS disebabkan oleh infeksi group A 𝛽 - hemolytic streptococci.

faringitis biasanya terjadi 1-2 minggu minggu sebelumnya muncul gejala,

sedangkan infeksi kulit biasanya terjadi 3 minggu sebelumnya. Pada pasien ini

didapatkan riwayat nyeri menelan 1 minggu sebelumnya, sesuai dengan teori pada

GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi

streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode laten antara infeksi

streptokokus dengan kelainan glomerulus karena adanya proses imunologis

dimana diduga terjadi respon yang berlebihan dari sistim imun pejamu pada

stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan

terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran basal

glomerulus.

Pasien juga memiliki riwayat keluhan serupa 1 tahun yang lalu. GNAPS

yang berulang jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi akibat infeksi streptokokus

dari strain nefritogenik yang berbeda.

Pada pemeriksaan fisik, status generalisata pasien yang bermakna hanya

didapatkan adanya edema pada wajah dan kaki. Tekanan darah pasien 100/70

mmHg yang menandakan pasien tidak mengalami hipertensi yang merupakan

salah satu gejala pada GNAPS. Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada

60-70% kasus GNAPS. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang

bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain.

GNAPS didiagnosa banding dengan penyakit ginjal dengan manifestasi

hematuria. Pada penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria ini dapat berupa

glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati

(Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini

36
tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya

berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten

ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat.

Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan darah tepi di dapatkan hasil :

Hb:10,8 g/dL, Eritrosit: 4.10 106/mm3, Hematokrit: 34%, MCV: 82,9 fL, MCH:

26,3 pg/cell, MCHC: 31.8 g/dL, Leukosit: 17,8 103/mm3, Trombosit: 903

103/mm3. Pada hasil pemeriksaan gambaran darah tepi didapatkan trombositosis,

peningkatan RDW CV, neutrofilia, limfositosis, monositosis, peningkatan ALC.

Pemeriksaan serologi ASTO pasien positif. Titer ASO merupakan reaksi serologis

yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80%

pada GNAPS. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah

infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 hingga 5 dan

mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO bisa normal atau tidak

meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan

dini titer ASO. Pada pemeriksaan urin lengkap didapatkan sebanyak 60-80

eritrosit per lapang padang. Hematuria terjadi karena berbagai penyebab atau

kelainan di sepanjang saluran kemih. Kelainan tersebut dikategorikan sebagai

kelainan ekstra renal, kelainan intra renal, kelainan sistemik, dan penyakit darah.

Kelainan dalam ginjal dibagi dua, yaitu pada glomerolus dan non-glomerolus.

Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan hematuria, antara lain: olahraga yang

berlebihan, aktivitas seksual, menstruasi dan laserasi pada organ genitalia pada

perempuan dan disirkumsisi pada laki-laki, infeksi saluran kemih, trauma, dan

keganasan. Akan tetapi pada pasien ini tidak ditemukannya riwayat trauma, nyeri

daerah pinggang, nyeri saat buang air kecil ataupun penurunan berat badan yang

37
signifikan sehingga kemungkinan hematuria dikarenakan penyebab-penyebab lain

seperti trauma, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, dan keganasan dapat

disingkirkan.

Penatalaksaan yang diberikan pada pasien dengan GNAPS terbagi menjadi

2 yaitu non-medikamentosa dan medikamentosa. Tatalaksana non-medikamentosa

meliputi istirahat yang cukup, diet rendah garam dan protein. Sedangkan terapi

medikamentosa dapat diberikan antibiotik dan obat-obat untuk terapi

simptomatik. Pada pasien diberikan terapi antibiotik ampisilin 4x500mg.

Ampilicin merupakan golongan antibiotik penisilin yang dapat digunakan untuk

mengobati beberapa kondisi akibat infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran

kemih, meningitis, salmonelosis, dan endokarditis. Pengobatan antibiotik pada

GNAPS bertujuan untuk eradikasi infeksi kuman streptokokus yang menyerang

tenggorokan atau kulit sebelumnya. Pemberian antibiotika dalam kasus ini tidak

mempengaruhi beratnya manifestasi yang ditimbulkan pada glomerulonefritis,

melainkan hanya mengurangi menyebarnya infeksi streptokokus yang mungkin

masih ada. Meskipun demikian, pengobatan antibiotik dapat mencegah

penyebaran bakteri. Pada pasien juga diberiksan lasix 2x10mg. Lasix merupakan

obat yang mengandung furosemide dan merupakan obat yang digunakan untuk

mengeluarkan cairan berlebih pada kondisi edema pada penderita gagal ginjal

ataupun gagal jantung.

Untuk prognosis quo ad vitam, angka kematian pada GNAPS bervariasi

antara 0-7%. WHO memperkirakan kasus GNAPS terjadi kira- kira 472.000 kasus

setiap tahunnya secara global dengan 5000 kematian setiap tahunnya. Dalam

beberapa kasus, kematian dini dapat terjadi akibat keterlambatan identifikasi atau

38
penyediaan tindakan pendukung. Kematian terutama terjadi pada gagal ginjal

akut, edema paru akut, atau ensefalopati hipertensi. Faktor-faktor yang dapat

meningkatkan morbiditas dan mortalitas GNAPS yaitu sosial ekonomi yang

rendah, faktor ras dan berat badan lahir rendah (BBLR) mempengaruhi prognosis

pada anak dengan GNAPS. Faktor risiko tersebut tidak didapati pada pasien

sehingga prognosis quo ad vitam pasien ini bonam. Untuk prognosis quo ad

functionam, prognosis jangka pendek pada GNAPS cukup baik. Sebagian besar

pasien dengan GNAPS akan sembuh dalam 6 minggu, bersamaan dengan kembali

normalnya fungsi ginjal. Beberapa pasien akan terus mengalami hematuria

mikroskopik hingga 5 tahun, namun sebagian besar memperlihatkan

penyembuhan yang cepat dan prognosis jangka panjang yang baik. Prognosis

yang baik pada GNAPS disebabkan karena tingkat kesembuhan penderita GNAPS

dapat mencapai hingga 95%. Hanya kurang dari 1% akan mengalami RPGN.

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu hipertensi krisis atau ensefalopati, gangguan

ginjal akut, retinopati dan edema paru. Komplikasi tidak didapati pada pasien

sehingga prognosis quo ad functionam pada pasien ini bonam. Untuk quo ad

sanationam, GNAPS yang berulang jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi akibat

infeksi streptokokus dari strain nefritogenik yang berbeda sehingga quo ad

sanationam pada pasien ini bonam.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Ong LT. Management and outcomes of acute post-streptococcal


glomerulonephritis in children. World J Nephrol. 2022;11(5).

2. Rawla P, Padala SA, Ludhwani D. Poststreptococcal Glomerulonephritis.


Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022.

3. Rauf S, Albar H, Aras J. Konsensus glomerulonefritis akut pasca


streptokokus. UKK Nefrologi IDAI. 2012.

4. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson
textbook of pediatrics, twentieth edition. Philadelphia (PA): Elsevier; 2016.

5. Hidayani ARE, Umboh A, Gunawan S. Profil glomerulonefritis akut pasca


streptokokus pada anak yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP
Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic. 2016;4(2).

6. Tatipang PC, Umboh A, Salendu P. Analisis faktor risiko glomerulonefritis


akut pasca streptokokus pada anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic. 2017;5(2).

7. Subanada IB, Sidiartha IGL, Wati KDK, Arimbawa IM, Windiani IGAT.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Ilmu Kesehatan Anak XXI.
Denpasar (Bali): Udayana University Press Jimbaran.

8. Arsid R, Praja A, Sabir M, Dian T V. Glomerulonefritis akut pasca


streptococcus. Jurnal MedPro. 2019;1(2).

9. Pardede SO, Suryani DK. Diagnosis dan tata laksana gloemrulonefritis


streptokokus akut pada anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
Jakarta dalam Majalah Kedokteran UKI. 2016;32(3).

10. VanDeVoorde III RG. Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis: The Most


Common Acute Glomerulonephritis. Pediatrics in Review. 2015;36(1).

11. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus pada anak. Sari
Pediatri. 2003;5(2).

12. Nur S, Albar H, Daud D. Prognostic factors for mortality in pediatric


poststreptococcal glomerulonephritis. Paediatrica Indonesiana. 2016;56(3).

13. Jayanti RR, Widyastuti E, Kurniawan B. Glomerulonefritis akut pasca


streptokokal dengan hipertensi pada anak. J AgromedUnila. 2017;4(2).

40

You might also like