You are on page 1of 28

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2024


UNIVERSITAS NUSA CENDANA

SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI BARU LAHIR

Disusun Oleh

Alfonso Jacob Latuperissa, S.Ked

1708010050

Pembimbing :

dr. Tince sarlin Nalle, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
2024

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh :

Nama : Alfonso Jacob Latuperissa,S.Ked

NIM : 1708010050

Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana


RSUD Prof DR W.Z. Johannes Kupang.
Referat ini disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat yang diperlukan untuk mengikuti ujian akhir di Bagian Ilmu Penyakit
THT- KL Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana RSUD W.Z.
Johannes Kupang.

Pembimbing Klinik

1. dr. Tince Sarlin Nalle, Sp.THT-KL 1……………………

Ditetapkan di : Kupang
Hari/tanggal : Maret 2024

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB 1.............................................................................................................5
PENDAHULUAN..........................................................................................5
BAB 2.............................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran......................................................6
2.2 Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak......................................11
2.3 Epidemiologi........................................................................................11
2.4 Etiologi................................................................................................12
2.5 Penegakkan Diagnosis.....................................................................13
2.5.1 Anamnesis........................................................................................13
2.5.2 Pemeriksaan Fisik............................................................................13
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang...................................................................14
Pencitraan.....................................................................................................14
2.5.4 Pengujian Laboratorium...................................................................15
2.5.5 Pengujian Genetik............................................................................15
2.6 Tatalaksana.......................................................................................16
2.6.1 Alat bantu dengar dan implan koklea..............................................16
2.6.2 Terapi Gen........................................................................................17
2.6.3 Pengobatan infeksi sitomegalovirus.................................................17
2.7 Skrining Pendengaran......................................................................18
2.7.1 BERA/ABR......................................................................................19
2.7.2 Otoaccoustic Emission (OAE).........................................................19
2.7.3 BOA.................................................................................................20
2.7.4 Audiometri.......................................................................................20
BAB 3...........................................................................................................21
KESIMPULAN............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................22

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran (ketulian) yang terjadi pada masa


neonatus (pre lingual deafness) menyebabkan hambatan
perkembangan bicara, berbahasa, kognitif, emosi dan komunikasi
sosial. Dengan demikian perlu dilakukan deteksi dini ketulian
neonatus dan segera menghabilitasi pendengaran secara audiovisual
dengan memasang alat bantu dengar mengingat periode optimal
perkembangan bicara pada anak usia sembilan bulan sampai tiga
tahun 1.
Sehubungan dengan hal tesebut diatas perlu dilakukan deteksi
dini ketulian pada neonatus sedangkan pelaksanaan lebih efektif bila
diketahui dulu faktor risiko sebagai penyebab ketulian neonatus.
Beberapa faktor risiko yang telah diindikasi penyebab kelutian
neonatus antara lain genetik, prematuritas, TORCH, berat badan lahir
rendah dan ikterus neonatorum. The Joint Committee on Infant
Hearing tahun 2007 merekomendasikan skrining pendengaran
neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah
diberikan sebelum usia 6 bulan, dan terutama pada bayi dengan faktor
risiko 1.
Ketulian atau penurunan kemampuan mendengar pada bayi
yang menyebabkan ketidakmampuan mendengar dengan atau tanpa
alat pengeras suara akan memberikan dampak yang besar pada
perkembangan anak. Faktor risiko gangguan pendengaran sensori
neural antara lain infeksi meningitis, bayi prematur, berat badan lahir
rendah, ikterus, maupun bayi dengan perawatan di NICU. Deteksi dini
gangguan pendengaran pada bayi memerlukan peranan aktif dari
semua bidang tenaga kesehatan dan masyarakat, tetapi dokter spesialis
anak dan spesialis telinga hidung tenggorok merupakan ujung
tombaknya 1.

5
Salah satu faktor risiko gangguan pendengaran adalah BBLR.
Tuli pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
antara lain hipoksia dan perkembangan organ yang tidak sempurna.
Faktor risikonya antara lain adalah kadar bilirubin yang tinggi
(jaundice),prematuritas atau bayi berat lahir rendah (BBLR), obat-
obat ototoksik, ventilasi mekanik yang lama, apgar score rendah dan
meningitis. WHO mendefinisikan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang usia gestasi. Joint Committee of Infant Hearing
menyatakan bahwa berat badan lahir < 1500 gram merupakan faktor
risiko terjadinya gangguan fungsi pendengaran bayi baru lahir 1.
Gangguan pendengaran banyak dijumpai pada anak-anak, baik
yang disebabkan gangguan sistem saraf pendengaran maupun tuli
konduksi akibat serumen, cairan telinga tengah maupun perforasi
membran timpani. Menurut perkiraan terakhir, 31,5 juta orang di
Amerika Serikat mengalami gangguan pendengaran. Sekitar 6 dari
setiap seribu bayi baru lahir memiliki beberapa jenis gangguan
pendengaran unilateral atau bilateral.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran

Gambar 2.1 Anatomi Telinga 3


Telinga terdiri dari 3 komponen utama yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar memiliki fungsi
utama mengumpulkan dan memindahkan gelombang suara ke
telinga tengah. Telinga luar terdiri dari beberapa truktur yaitu Pinna
yang terdiri dari lempeng tulang rawan yang terbungkus dan terletak
di kedua sisi kepala. Pinna berfungsi mengumpulkan gelombang
suara dan menyalurkan ke saluran telinga yang berperan dalam
lokalisasi suara 2.
Meatus auditorius externa merupakan saluran dari eksterior
melalui tulang temporalis ke membran timpani, berfungsi dalam
mengarahkan gelombang suara ke membran timpani, mengandung
rambut-rambut penyaring dan mengsekresikan kotoran telinga (ear
wax) untuk menangkap partikel-partikel asing. Membran timpani
merupakan membran tipis yang memisahkan telinga luar dan
tengah, bergetar secara sinkron dengan gelombang suara yang

7
mengenainya, menyebabkan tulang-tulang pendengaran telinga
tengah bergetar.

Gambar 2.1 Telinga tengah 3

Telinga tengah terdiri dari 3 buah tulang yaitu maleus, inkus


dan stapes merupakan tulang yang dapat bergerak yang berjalan
melintasi rongga telinga tengah. Maleus melekat ke membrane
timpani dan stapes melekat ke jendela oval. Tulang tersebut
memindahkan getaran membran timpani ke cairan di koklea, dalam
prosesnya memperkuat energi suara 2.

8
Gambar 2.1 Telinga dalam 3

Telinga dalam terdiri dari koklea dan apparatus vestibularis.


Koklea berfungsi dalam proses fisiologi pendengaran dan apparatus
vestibularis berfungsi dalam proses fisiologi keseimbangan. Koklea
terdiri dari jendela oval, skala vestibule, skala timpani, duktus
koklealis (skala media), membran basilaris, organ corti, membran
tektorial dan jendela bundar.
Jendela oval merupakan membran tipis di pintu masuk koklea
yang memisahkan telinga tengah dan skala vestibule. jendela oval
bergetar bersama dengan gerakan stapes yang melekat padanya.
Gerakan jendela oval menyebabkan perilimfe koklea bergerak.

9
Skala vestibule merupakan komponen atas koklea dan skala timpani
merupakan komponen bawah koklea mengandung perilimfe yang
dibuat bergerak oleh gerakan jendela oval yang didorong oleh
gerakan tulang-tulang telinga tengah. Skala media merupaka n
komponen tengah koklea yang mengandung endolimfe, tempat
membran basilaris. Membran basilaris membentuk lantai duktus
koklearis yang bergetar bersama dengan gerakan perilimfe
mengandung organ corti, organ indera untuk mendengar. Organ
korti terletak di bagian atas dan disepanjang membran basilaris yang
mengandung sel rambut, reseptor untuk suara, yang mengeluarkan
potensial reseptor sewaktu tertekuk akibat gerakan cairan koklea 2.
Membran tektorial merupakan membran stasioner yang
tergantung di atas organ corti dan tempat sel-sel rambut reseptor
permukaan terbenam di dalamnya menekuk dan membentuk
potensial reseptor ketika membran basilaris yang begetar terhadap
membran tektorial yang stasioner. Jendela bundar merupakan
membran tipis yang memisahkan skala timpani dari telinga tengah
yang bergerak bersama dengan cairan di perilimfe untuk meredam
tekanan di dalam koklea 2.

Gambar 2.1 Vaskularisasi pada koklea 3


Telinga bagian dalam memperoleh perdarahan dari arteri
auditoris interna (arteri labirintin) yang berasal dari arteri serebeli

10
inferior anterior atau langsung dari arteri basilaris yang merupakan
end artery (terminal artery) dan tidak mempunyai pembuluh darah
anastomosis. Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini
bercabang 3 yaitu; 1. Arteri vestibularis anterior yang nantinya
mendarahi makula utrikuli, sebagian makula sakuli, krista ampularis,
kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus
dan sakulus; 2. Arteri vestibulokoklearis, mendarahi makula sakuli,
kanalis semisirkularis posterior, bagian inferior utrikulus dan sakulus
serta putaran basal dari koklea; 3. Arteri koklearis yang memasuki
modiolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri spiral yang
mendarahi organ Corti, skala vestibule dan skala timpani sebelum
berakhir pada stria vaskularis 2.
Aliran vena pada telinga dalam melalui 3 jalur utama. Vena
auditorisinterna mendarahi putaran tengah dan apikal koklea. Vena
akuaduktus koklearis mendarahi putaran basiler koklea, sakulus serta
utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akuaduktus
vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena
ini mengikuti duktus endolimfatikus dan masuk ke sinus sigmoid.
Arteri auditori interna, memperdarahi koklea, pada umumnya berasal
dari arteri cerebellum anterior inferior dan terkadang dari arteri
cerebellum posterior inferior bercabang dari arteri vertebra rostral atau
arteri basilar kaudal, anastamosis utama antara AICA dan PICA
umumnya berbeda. AICA keluar dari salah satu sisi arteri basilar
kaudal. Banyak perbedaan yang terkait dengan AICA dan PICA yang
berasal dari arteri vertebrobasilar, dan percabangan dari AICA
memiliki anasmosis yang multiple dari arteri medulla lateral.
Mesikipun, arteri telinga dalam merupakan arteri akhir. Pons
diperdarahi oleh anterior, lateral dan bagian posterior dan arteri
basilar, arteri cerebellum superior dan AICA memperdarahi daerah
tersebut.
Arteri auditori interna bercabang dua yang umumnya adalah

11
arteri koklear dan arteri vestibular anterior, kemudian percabangan
arteri koklear dan areteri vestibulokoklear bercabang menjadi arteri
vestivular posterior dan ramus koklear. Arteri koklear umumnya
memperdarahi tiga per empat bagian apeks koklea dan ramus koklear
memperdarahi daerah seperempat basal pada bagian ujung koklea.
Arteri vestibular anterior memperdarahi utrikulus, superior dari
sakulus, ampulla dan kanalis semisirkularis anterior dan horizontal.
Bagian sakulus inferior dan kanalis semisirkularis posterior mendapat
perdarahan dari arteri vestibular posterior 2.

2.2 Gangguan Pendengaran Bayi dan Anak


Gangguan pendengaran adalah dimana ketidakmampuan untuk
mendengar salah satu atau kedua telinga, sebagian atau seluruhnya.
Gangguan pendengaran (Hearing Loss) dapat terjadi pada semua usia
sejak lahir sampai usia lanjut, namun kadang-kadang tidak disadari,
apalagi jika terjadi pada bayi. Efek gangguan pendengaran tidak
hanya akan menghambat perkembangan wicara dan bahasa, tetapi
juga menghambat perkembangan akademis, perilaku emosional,
ketidakmampuan sosial dan kurangnya kesempatan memperoleh
pekerjaan. Deteksi dini gangguan pendengaran dan intervensi yang
tepat dapat mencegah hal itu terjadi 4.
Deteksi dini pendengaran dilakukan pada setiap bayi baru lahir
dalam waktu 24 jam setelah lahir atau sebelum bayi yang lahir di
rumah sakit dipulangkan. Jika tidak dirawat di rumah sakit saat lahir,
gangguan pendengaran harus diuji pada usia 1-3 bulan. Harus
memastikan bahwa bayi hingga usia 6 bulan memiliki pendengaran
yang normal atau tidak, intervensi untuk mengatasi masalah gangguan
pendengaran sudah harus dilakukan 4.

2.3 Epidemiologi
Kemampuan mendengar pada tahun-tahun awal kehidupan
sangat penting untuk perkembangan bicara, bahasa, dan kognisi. Studi

12
retrospektif terhadap program skrining pendengaran bayi baru lahir
secara universal menunjukkan bahwa gangguan pendengaran
permanen adalah salah satu kelainan paling umum yang terjadi saat
lahir. Pada tahun 1999, American Academy of Pediatrics Task Force
on Newborn and Infant Hearing menyatakan bahwa gangguan
pendengaran bilateral yang signifikan telah terbukti terjadi pada
sekitar 1 hingga 3 per 1000 bayi baru lahir di populasi penitipan bayi
yang sehat, dan pada sekitar 2 hingga 4 bayi baru lahir per 1000 bayi
di populasi unit perawatan intensif. [ 2 ] Data dari program pemeriksaan
pendengaran bayi baru lahir di Rhode Island, Colorado, dan Texas
menunjukkan bahwa 2-4 dari setiap 1000 neonatus mengalami
gangguan pendengaran. Sebuah studi retrospektif yang dilakukan oleh
Connolly dkk pada tahun 2005 menemukan bahwa 1 dari setiap 811
bayi tanpa faktor risiko dan 1 dari setiap 75 bayi dengan faktor risiko
mengalami gangguan pendengaran.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Neumann et al, program
NIHS menemukan prevalensi gangguan pendengaran permanen pada
masa kanak-kanak pada bayi berkisar antara 0,3–15,0 kasus (median
1,70) per 1000 bayi.

2.4 Etiologi
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak
dibedakan berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu
pada masa prenatal, perinatal dan postnatal .
2.4.1 Masa Pranatal
1. Generik heriditer;
2. Non genetik seperti gangguan/kelainan pada masa kehamilan, kelainan
struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi Jodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah
trimester pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi
pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi

13
bakteri maupun virus pada ibu hamil seperi Toksoplasmosis, Rubella,
cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk
pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat
ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses
organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat,
kina, neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat,
thalidomide dll.
Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia
liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.
2.4.2 Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran/ketulian
seperti; prematur, berat badan lahir rendah (< 2500 gram),
hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis). Umumnya ketulian
yang terjadi akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli
sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat berat.
2.4.3 Masa Postnatal
Adanya Infeksi bakteri atau virus seperti rubela. Campak,
parotis, infeksi otak (meningitis ensefalitis), perdarahan pada telinga
tengah, trauma temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli
konduktif.

2.5 Deteksi dini


Identifikasi gangguan pendengaran pada bayi baru lahir, saat
ini digunakan OAE (Otoacoustic Emission) dan AABR (Automated
Auditory Brainstem Response) yang merupakan tehnik pemeriksaan
baku emas dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif
dan sensitifitas mendekati 100%. Terdapat dua klasifikasi yang sering
digunakan dalam melakukan deteksi dini ketulian yaitu klasifikasi
Targeted Newborn Hearing Screening (TNHS) yaitu deteksi
dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai faktor resiko terhadap

14
ketulian. Faktor risiko ketulian menurut American Academy Joint
Committee on Infant Hearing Statement (2000) pada bayi usia 0–28
hari:
• Infeksi prenatal : TORCH
• Kelainan anatomi pada kepala dan leher
• Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
• Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram)
• Meningitis bakterialis
• Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
• Asfiksia berat
• Pemberian obat ototoksik
• Menggunakan alat bantu pernapasan/ventilasi
• mekanik lebih dari 5 hari di NICU
Klasifikasi kedua adalah Universal Newborn Hearing Screening
(UNHS) yaitu deteksi dilakukan pada semua bayi baru lahir baik
beresiko maupun tidak berisiko.
Di beberapa negara berkembang masih menggunakan deteksi
dengan klasifikasi pertama karena masalah keterbatasan tenaga medis
dan ketersediaan alat namun idealnya adalah dengan klasifikasi kedua
(UNHS). Data penelitian mengungkapkan 50% bayi dengan gangguan
pendengaran ternyata tidak memiliki
faktor resiko. Direkomendasikan deteksi dini dilakukan pada setiap
bayi baru lahir setelah 24 jam pertama kelahiran atau sesaat sebelum
keluar rumah sakit bagi bayi yang lahir di rumah sakit, sedangkan
yang lahir tidak di rumah sakit, harus dilakukan deteksi ketulian umur
1–3 bulan. Maksimal usia 6 bulan bayi harus dapat dipastikan
memiliki pendengaran yang normal atau tidak, tindakan intervensi
untuk mengatasi masalah gangguan pendengaran sudah harus
dilakukan.
Perhatian khusus diperlukan untuk melakukan deteksi dini tuli
kongenital ini dengan cara memantau perkembangan berbicara. Orang

15
tua hendaknya waspada terhadap gejala dini yang tampak pada anak,
seperti anak tidak menangis pada usia 3 minggu, anak tetap tidur lelap
saat pintu terbanting atau saat terjadi suara keras, anak tidak bereaksi
terhadap suara keras saat usia 3 bulan, anak tidak mengoceh berulang
(babbling) pada usia 5–6 bulan, anak tidak mengulang bunyi yang
bukan refleks pada usia 6–7 bulan, anak belum mampu mengucap
jargon (menggabungkan suku kata yang tidak mengandung arti) pada
usia 7–10 bulan, anak belum mampu meniru suara orang tua pada usia
9 bulan, anak juga belum meniru suara sendiri (echolalia) pada usia
10 bulan, anak belum menoleh ke sumber suara pada usia 12 bulan
dan anak belum mampu menirukan, menggunakan kata atau kalimat
singkat pada usia 12–18 bulan, serta anak belum mampu merangkai 2
kata yang bermakna pada usia 24 bulan. Keterlambatan mengetahui
diagnosis akan mempengaruhi tatalaksana dan berdampak pada
perkembangan selanjutnya.

2.6 Penegakkan Diagnosis


2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang cermat dapat mengungkap etiologi gangguan
pendengaran bawaan, terutama gangguan pendengaran bawaan non-
genetik. Penyebab-penyebab ini dapat dikelompokkan ke dalam
kategori luas yaitu infeksi, rawat inap prematur/NICU, dan penyebab
lainnya.
Infeksi sitomegalovirus kongenital (CMV) adalah penyebab
gangguan pendengaran non-genetik yang paling umum. Sekitar 10-
21% dari seluruh gangguan pendengaran bawaan disebabkan oleh
infeksi CMV bawaan. Infeksi ibu lain yang didapat sebelum lahir juga
dapat menyebabkan gangguan pendengaran bawaan termasuk rubella,
toksoplasmosis, herpes simpleks, dan sifilis.
Insiden gangguan pendengaran pada bayi NICU telah terbukti
berkisar antara 0,7 hingga 4,9% . Bayi NICU lebih cenderung

16
memiliki berat badan lahir rendah, riwayat hipoksia lahir,
hiperbilirubinemia, riwayat oksigenasi membran ekstrakorporeal,
riwayat sepsis, dan penggunaan obat-obatan ototoksik, yang
semuanya merupakan faktor risiko gangguan pendengaran.
Hiperbilirubinemia dapat dikaitkan dengan kerusakan neurologis pada
bayi dan kerusakan pada sistem pendengaran terutama melibatkan
batang otak dan saraf kranial VIII, yang secara klinis muncul sebagai
ASND. Farhat dkk membandingkan 2063 bayi NICU dengan 8724
kontrol sehat di ruang penitipan bayi dan menentukan bahwa 1,9%
bayi NICU dipastikan mengalami gangguan pendengaran
dibandingkan dengan 0,3% kontrol

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik kepala dan leher yang cermat dapat
membantu mengungkap penyebab anatomi gangguan pendengaran
konduktif seperti atresia saluran telinga, atau efusi telinga tengah.
Selain itu, malformasi yang umumnya mempengaruhi tuba eustachius
harus meningkatkan kecurigaan adanya efusi seperti bibir sumbing
atau langit-langit mulut, sindrom down, atau anomali kraniofasial
lainnya. Pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan dismorfisme yang
juga dapat membantu memandu perkembangan gangguan
pendengaran sensorineural sindromik, namun hal ini seringkali
memerlukan pendekatan multidisiplin karena terdapat lebih dari 400
sindrom yang teridentifikasi terkait dengan gangguan pendengaran
bawaan dan banyak di antaranya memiliki fenotipe yang kompleks.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pencitraan
Pencitraan diagnostik adalah salah satu tes diagnostik yang
paling berguna dalam pemeriksaan gangguan pendengaran bawaan.
Mafong dkk menetapkan bahwa 39% anak-anak dengan gangguan
pendengaran sensorineural (SNHL) memiliki kelainan pada CT scan

17
tulang temporal atau MRI. Preciado dkk menunjukkan bahwa hasil
diagnostik pencitraan dapat bervariasi sesuai dengan tingkat
keparahan SNHL; pasien dengan SNHL ringan memiliki hasil
diagnostik yang lebih rendah (21,1%) dibandingkan pasien dengan
gangguan pendengaran berat hingga berat (29,9%). Hasil diagnostik
pencitraan lebih besar untuk pasien dengan gangguan pendengaran
unilateral (36,7%) dibandingkan dengan gangguan pendengaran
bilateral (24,7%).
CT scan berguna untuk mengevaluasi anomali tulang, namun
melibatkan paparan radiasi. Tinjauan sistematis terhadap 50 penelitian
menunjukkan bahwa hasil diagnostik untuk CT scan tulang temporal
berkisar antara 7 hingga 74% dengan hasil diagnostik gabungan
sebesar 30% dan seterusnya; rata-rata empat pasien perlu menjalani
CT scan untuk menghasilkan satu hasil diagnostik yang relevan. Lin
dkk menemukan bahwa anomali pada tulang temporal ditemukan pada
18% anak dengan SNHL berat hingga berat dan anomali yang paling
banyak ditemukan adalah displasia koklea (10,2%), displasia kanalis
semisirkularis/displasia vestibular (10,2%), anomali IAC/CA (7,3%),
dan saluran air vestibular membesar (5,3%). Mathews dkk
menganalisis 10,9 juta orang dalam catatan Medicare Australia
menetapkan bahwa satu dari 4000 CT scan otak masa kanak-kanak
dapat menyebabkan tumor otak. Oleh karena itu, mengingat hasil
diagnostik CT scan, CT scan tulang temporal lebih mungkin
menghasilkan diagnosis dibandingkan menyebabkan keganasan.
Pemindaian MRI memberikan peningkatan resolusi jaringan
lunak. Tinjauan sistematis terhadap 25 penelitian penggunaan MRI
dalam mengevaluasi gangguan pendengaran anak melaporkan bahwa
hasil diagnostik berkisar antara 2 hingga 60%. Hasil diagnostik MRI
untuk evaluasi neuropati spektrum pendengaran adalah 34 hingga
100%. Lin dkk melaporkan bahwa 40% anak-anak dengan SNHL
berat hingga berat mempunyai temuan MRI abnormal dan 24%

18
memiliki temuan MRI yang dapat menjelaskan gangguan
pendengaran mereka. Hasil diagnostik MRI yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan harus diimbangi dengan peningkatan biaya
terkait MRI dan kebutuhan sedasi serta waktu tambahan dibandingkan
CT scan.

2.6.4 Pengujian Laboratorium


Tes laboratorium memiliki kegunaan yang terbatas dalam
mengidentifikasi etiologi gangguan pendengaran bawaan. Deklerck
dkk menganalisis 191 pasien dengan gangguan pendengaran bawaan
dan menentukan bahwa hanya 45,5% pasien menerima tes
laboratorium dan dari jumlah tersebut, 13,7% memiliki hasil
abnormal, namun hanya 8,0% memiliki hasil relevan yang
berkontribusi pada pemeriksaan diagnostik. Preciado dkk menetapkan
bahwa tidak ada hasil pengujian ESR, FTA-ABS/VDRL, kolesterol,
trigliserida, hemoglobin, trombosit, panel kimia, urinalisis, atau fungsi
tiroid yang memiliki signifikansi diagnostik untuk 474 pasien yang
dianalisis. Daripada memerintahkan tes laboratorium baterai pada
setiap pasien dengan gangguan pendengaran bawaan, tes ini sebaiknya
digunakan untuk melengkapi pemeriksaan diagnostik pada pasien
tertentu.

2.6.5 Pengujian Genetik


Sekitar 70% dari gangguan pendengaran genetik adalah
nonsindromik, dan dari gangguan pendengaran nonsindromik,
mayoritas bersifat autosomal resesif (80%), diikuti oleh autosomal
dominan (15%) dan terkait-X (1%). Etiologi genetik paling umum
dari SNHL bawaan adalah mutasi pada GJB2, yaitu gen yang
mengkode connexin 26. Chan dkk melakukan tinjauan sistematis yang
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran terkait GJB2
biallelic di seluruh dunia adalah 17,3%. Tingkat gangguan
pendengaran biallelic terkait GJB2 pada semua pasien dengan

19
gangguan pendengaran bawaan, gangguan pendengaran
nonsindromik, dan gangguan pendengaran nonsindrom resesif
autosomal masing-masing adalah 16,9, 18,1, dan 21,3%. Di antara
pasien dengan gangguan pendengaran biallelic terkait GJB2, mutasi
35delG menyumbang 57% dari semua alel. Jika diduga terjadi
gangguan pendengaran nonsindromik, seseorang harus
mempertimbangkan pengujian gen tunggal untuk GLB2.
Pemeriksaan genetik pada gangguan pendengaran sindromik
harus didasarkan pada sindrom yang dicurigai. Penyebab paling
umum dari gangguan pendengaran sindromik adalah sindrom Usher,
yang berhubungan dengan kehilangan penglihatan, dan sindrom
Pendred, yang merupakan pembesaran saluran air vestibular yang
dapat dideteksi dengan pencitraan dan sering dikaitkan dengan
hipotiroidisme yang bermanifestasi pada masa remaja.
Ada kemajuan pesat dalam pengurutan throughput tinggi yang
sekarang memungkinkan pengurutan beberapa gen yang
menyebabkan SNHL. Seringkali penyedia layanan menggunakan
pendekatan dua tingkat di mana pengujian dimulai dengan tes tingkat
pertama yang mencakup gen paling umum yang terkait dengan SNHL,
termasuk GJB2 (connexin 26) dan GJB6 (connexin 30). Jika
pengujian tingkat pertama negatif, penyedia layanan dapat
melanjutkan ke pengujian tingkat kedua dengan pengurutan generasi
berikutnya untuk menyaring beberapa gen yang terkait dengan
gangguan pendengaran.

2.7 Tatalaksana
Keberhasilan pengobatan bergantung pada deteksi dini
gangguan pendengaran pada bayi baru lahir serta intervensi yang
cepat. Modalitas pengobatan utama dibahas di bawah ini.
2.7.1 Alat bantu dengar dan implan koklea
Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan bahasa pada

20
bayi tunarungu adalah deteksi dini dan intervensi. Sangat penting
untuk memulai intervensi pada bayi tunarungu pada usia 6 bulan
untuk penguasaan bahasa yang lebih baik. Pada usia ini, bayi
mendapatkan hasil yang serupa dengan bayi dengan pendengaran
normal.
Ada dua pilihan rehabilitasi bayi tunarungu, yaitu alat bantu
dengar dan implan koklea. Alat bantu dengar merupakan pengobatan
pilihan untuk SNHL kongenital ringan hingga sedang, sedangkan
pasien dengan SNHL berat hingga berat dapat memperoleh manfaat
dari implan koklea.

2.7.2 Terapi Gen


Karena perkembangan teknologi pengurutan genetik dalam
beberapa tahun terakhir, terdapat kemajuan signifikan dalam jalur
molekuler dan biokimia mengenai pengobatan gangguan pendengaran
bawaan. Setelah protokol persetujuan klinis pertama untuk terapi gen
manusia oleh Food and Drug Administration pada tahun 1990,
terdapat peningkatan yang signifikan dalam penerimaan terapi gen
manusia sebagai pilihan pengobatan untuk berbagai masalah klinis
termasuk gangguan pendengaran. Ada empat metode terapi gen
manusia; penekanan gen, penggantian sel, penggantian gen, dan
pengeditan gen yang ditargetkan. Penerapan metode ini pada kasus
gangguan pendengaran menghadapi kesulitan dalam pemberiannya ke
telinga bagian dalam karena strukturnya tidak mudah diakses dan
ditutupi oleh labirin tulang yang kuat. Selain itu, sebagian besar kasus
gangguan pendengaran yang diobati bersifat parah dan berhubungan
dengan kerusakan permanen pada sel-sel rambut (luar dan dalam).
Namun, banyak gen yang berhubungan dengan gangguan
pendengaran telah berhasil diobati dengan terapi gen kuratif pada
model hewan.
2.7.3 Pengobatan infeksi sitomegalovirus

21
Pengobatan yang direkomendasikan untuk infeksi
sitomegalovirus yang bergejala adalah penggunaan gansiklovir
parenteral atau valgansiklovir oral. Turunan trifosfat gansiklovir dapat
menghambat replikasi DNA sitomegalovirus. Uji klinis sebelumnya
pada tahun 2003 melaporkan bahwa terdapat gangguan pendengaran
pada bayi pada usia 6 bulan dan satu tahun setelah pengobatan dengan
gansiklovir untuk gejala infeksi sitomegalovirus pada bayi yang
menerima pengobatan selama periode neonatal. Penelitian ini juga
melaporkan bahwa 63% bayi (29/46 kelompok yang diobati)
mengalami neutropenia tingkat 3 atau 4 setelah pengobatan antiviral
dengan gansiklovir.
Baru-baru ini, tiga uji klinis terkontrol secara acak
mempelajari kemanjuran terapi antivirus valgansiklovir terhadap
tingkat keparahan dan perjalanan penyakit SNHL terkait
sitomegalovirus.

2.8 Skrining Pendengaran


Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah
menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin sehingga dapat
dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan
elektrofisiologik yang bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non
invasif. Di negara maju program skrining pendengaran sudah dimulai
sejak bayi berusia 2 hari atau sebelum keluar dari rumah sakit.
Program ini dilanjutkan dengan pemeriksa pendengaran ulangan pada
usia 1 bulan. Untuk bayi yang tidak lulus skrining harus melakukan
pemeriksaan ulang pada usia 3 bulan.
Gangguan pendengaran pada bayi sudah harus dipastikan pada
usia 3 bulan, sehingga bila diketahui bayi mengalami ketulian, upaya
habilitasi sudah dapat dimulai pada saat usia 6 bulan. Dengan
memastikan ketulian pada usia 3 bulan dan memberikan habilitasi
yang memadai diharapkan pada usia 36 bulan perkembangan bicara

22
anak yang mengalami ketulian tidak terlalu berbeda jauh dengan anak
yang pendengarannya normal. Di Indonesia beberapa rumah sakit
telah menjalankan program skrining pendengaran namun masih
bersifat sukarela. Sayangnya tidak semua rumah sakit yang
menjalankan program tersebut memiliki fasilitas yang memadai untuk
pemeriksaan pendengaran lanjutan. Kendala lainnya adalah belum
semua orang tua memahami maksud skrining pendengaran bayi
sehingga tidak melalukan pemeriksaan lanjutan.
Untuk bayi yang lulus skrining pendengaran, dengan perkataan
lain pendengarannya baik, tetap harus dilakukan evaluasi berkala.
Karena pada bayi yang lebih besar atau anak, dapat terjadi risiko lain
seperti infeksi telinga tengah, trauma ataupun terpapar dengan suara
keras (bising). Berdasarkan pertimbangan tersebut, dilakukan
pemeriksaan pendengaran berkala pada usia 4, 5, 6, 8 10, 12, 15 dan
18 tahun, ataupun setiap saat bila ada kecurigaan gangguan
pendengaran.
Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan
menjadi tes yang subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku
anak terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry,
visual re-inforcement audiometry) dan tes yang Non behavioral atau
obyektif dengan menggunakan alat elektrofisologik (Auditory
Brainstem Response/ABR, Auditory Steady State Response/ASSR,
Otoacoustic Emission / OAE).
2.8.1 BERA/ABR
Deteksi dini gangguan pendengaran pada anak secara
konvensional sulit dan biasanya tidak bisa dilakukan sampai anak
berumur 2 sampai 3 tahun. Namun sekarang dengan adanya
pemeriksaan Brainstem Evoked Response Auditory (BERA), deteksi
dini gangguan pendengaran sudah dapat dilakukan sejak bayi.
Pemeriksaan BERA adalah suatu pemeriksaan elektrofisiologik yang
obyektif, non invasif untuk menilai respons sistim auditorik termasuk

23
batang otak terhadap bunyi, sehingga dapat diketahui ambang
pendengaran maupun letak lesi pada sistem auditorik tersebut. BERA
telah terbukti berguna dalam menentukan status pendengaran bahkan
pada pasien yang tidak kooperatif atau pasien yang masih sangat
muda. Respon terhadap stimulus auditorik berupa respon auditory
evoked Potential yang sinkron direkam Melalui elektroda permukaaan
(surface Electrode) yang ditempel pada kulit kepala. Respon auditory
evoked potential yang berhasil direkam kemudian diproses melalui
program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi
positif (gelombang I sampai V) yang terjadi Sekitar 2-12 ms setelah
stimulus Diberikan.
2.8.2 Otoaccoustic Emission (OAE)
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah
yang dihasilkan pada koklea yang normal, baik secara spontan
maupun respon dari rangsang akustik. Skrining pendengaran pada
bayi-bayi dapat dilakukan dengan menggunakan alat emisi otoakustik,
karena metoda ini obyektif, aman, tidak memerlukan prosedur yang
invasif atau pengobatan sebelum dilakukan pemeriksaan,
pemeriksaannya cepat, hanya memerlukan waktu beberapa detik
sampai menit; caranya mudah, tidak memerlukan keahlian khusus,
biaya alat yang relatif murah.
2.8.3 BOA
Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes
pendengaran secara pengamatan perilaku (Behavioral Observation
Audiometry/ BOA) harus menunggu sampai anak usia mampu
berbicara sehingga dapat mengikuti prosedur tes, yang sebenarnya
tidak demikian. Tes BOA sudah dapat dilakukan pada semua usia
mulai bayi baru lahir dengan mempertimbangkan usia dan status
perkembangan anak secara umum. Tes behavior cukup dapat
memberikan nilai ketepatan, efisiensi dan cukup obyektif apabila
dilakukan oleh klinikus yang berpengalaman. Selain itu tes BOA

24
cukup relibel, cukup menyenangkan bagi anak-anak, cukup efisien
dari segi waktu dan biaya. Tes BOA sederhana yang sering dilakukan
di rumah sakit adalah dengan menggunakan benda atau mainan yang
berbunyi seperti bel, terompet.
2.8.4 Audiometri
Anak yang cukup kooperatif, mau pakai headphone dan bisa
diajarkan bagaimana memberikan respons apabila mendengar suara
dapat dilakukan metode audiometri nada murni seperti tes pada orang
dewasa. Hanya metode respons apabila mendengar suara dilakukan
dengan mainan, seperti memasukkan kelereng ke dalam kotak setiap
mendengar suara.

25
BAB 3

KESIMPULAN

Kesehatan indera pendengaran merupakan syarat penting bagi


upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia karena sebagian
besar infomasi diserap melalui proses mendengar yang baik. Bagi
anak fungsi pendengaran berpengaruh dalam perkembangan bicara
dan berbahasa, sosialisasi dan perkembagan kognitifnya. Penilaian
fungsi pendengaran pada anak-anak memerlukan pemahaman, latihan
dan pengalaman klinis yang cukup luas. Hasil pemeriksaan
berdasarkan pengamatan tingkah laku anak terhadap stimulus suara
sangat dipengaruhi oleh keterbatasan perkembangan dan kematangan
bayi atau anak. Rehabilitasi bayi tunarungu dengan alat bantu dengar
atau implantasi koklea, terapi gen, dan terapi antivirus untuk infeksi
sitomegalovirus merupakan modalitas pengobatan yang
direkomendasikan untuk gangguan pendengaran.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Susyanto, B. E., & Widuri, A. (2015). Faktor Risiko Gangguan Pendengaran
pada Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan, 15(1), 30-36.
2. Sherwood Lauralee. Telinga: Pendengaran dan keseimbangan. Dalam:
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Indonesia: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2001. h.176-89.
3. Cho CS, Choi YJ. Prognostic factors in sudden sensorineural hearing loss:
Aretrospective study using interaction effects. Braz J Otorhinolaryngol.
2013;79(4):466–70.
4. Kasim, M., Pebriyani, U., Sulanto, A., & Jayanti, A. D. (2022). Hubungan
Usia Dan Pendidikan Dengan Pengetahuan Orang Tua Terhadap Deteksi
Dini Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit Mitra Husada
Pringsewu, Lampung. MAHESA: Malahayati Health Student Journal, 2(1),
74-81.
5. Buku THT-KL UI edisi ketujuh
6. Hidayat H, Edward Y, Hilbertina N. Gambaran Pasien Tuli Mendadak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas.
2016;5(2):416–20.
7. Novita S, Yuwono N. CONTINUING MEDICAL EDUCATION Diagnosis
dan Tata Laksana Tuli Mendadak. Cdk-210. 2013;40(11):85–90.
8. Mulyana S. Tuli mendadak akibat iskemik koklea. REFERAT. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2015.
9. Jantung PK. Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar.
10. Lin, RJ, Krall, R, Westerberg, BD, Chadha, NK, Chau, JK. Systematic
review and metaanalysis of the risk fac- tors for sudden sensorineural
hearing loss in adults. Laryngoscope. 2012;122(3):624-35.
11. Putra RM, Munilson J, Edward Y, Warto N, Rosalinda R. Injeksi

27
Kortikosteroid Intratimpani Sebagai Salvage Therapy pada Pasien Tuli
Mendadak. J Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 3):96.

28

You might also like