Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh
1708010050
Pembimbing :
i
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 1708010050
Pembimbing Klinik
Ditetapkan di : Kupang
Hari/tanggal : Maret 2024
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB 1.............................................................................................................5
PENDAHULUAN..........................................................................................5
BAB 2.............................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran......................................................6
2.2 Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak......................................11
2.3 Epidemiologi........................................................................................11
2.4 Etiologi................................................................................................12
2.5 Penegakkan Diagnosis.....................................................................13
2.5.1 Anamnesis........................................................................................13
2.5.2 Pemeriksaan Fisik............................................................................13
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang...................................................................14
Pencitraan.....................................................................................................14
2.5.4 Pengujian Laboratorium...................................................................15
2.5.5 Pengujian Genetik............................................................................15
2.6 Tatalaksana.......................................................................................16
2.6.1 Alat bantu dengar dan implan koklea..............................................16
2.6.2 Terapi Gen........................................................................................17
2.6.3 Pengobatan infeksi sitomegalovirus.................................................17
2.7 Skrining Pendengaran......................................................................18
2.7.1 BERA/ABR......................................................................................19
2.7.2 Otoaccoustic Emission (OAE).........................................................19
2.7.3 BOA.................................................................................................20
2.7.4 Audiometri.......................................................................................20
BAB 3...........................................................................................................21
KESIMPULAN............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................22
iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
5
Salah satu faktor risiko gangguan pendengaran adalah BBLR.
Tuli pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai kondisi
antara lain hipoksia dan perkembangan organ yang tidak sempurna.
Faktor risikonya antara lain adalah kadar bilirubin yang tinggi
(jaundice),prematuritas atau bayi berat lahir rendah (BBLR), obat-
obat ototoksik, ventilasi mekanik yang lama, apgar score rendah dan
meningitis. WHO mendefinisikan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang usia gestasi. Joint Committee of Infant Hearing
menyatakan bahwa berat badan lahir < 1500 gram merupakan faktor
risiko terjadinya gangguan fungsi pendengaran bayi baru lahir 1.
Gangguan pendengaran banyak dijumpai pada anak-anak, baik
yang disebabkan gangguan sistem saraf pendengaran maupun tuli
konduksi akibat serumen, cairan telinga tengah maupun perforasi
membran timpani. Menurut perkiraan terakhir, 31,5 juta orang di
Amerika Serikat mengalami gangguan pendengaran. Sekitar 6 dari
setiap seribu bayi baru lahir memiliki beberapa jenis gangguan
pendengaran unilateral atau bilateral.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
7
mengenainya, menyebabkan tulang-tulang pendengaran telinga
tengah bergetar.
8
Gambar 2.1 Telinga dalam 3
9
Skala vestibule merupakan komponen atas koklea dan skala timpani
merupakan komponen bawah koklea mengandung perilimfe yang
dibuat bergerak oleh gerakan jendela oval yang didorong oleh
gerakan tulang-tulang telinga tengah. Skala media merupaka n
komponen tengah koklea yang mengandung endolimfe, tempat
membran basilaris. Membran basilaris membentuk lantai duktus
koklearis yang bergetar bersama dengan gerakan perilimfe
mengandung organ corti, organ indera untuk mendengar. Organ
korti terletak di bagian atas dan disepanjang membran basilaris yang
mengandung sel rambut, reseptor untuk suara, yang mengeluarkan
potensial reseptor sewaktu tertekuk akibat gerakan cairan koklea 2.
Membran tektorial merupakan membran stasioner yang
tergantung di atas organ corti dan tempat sel-sel rambut reseptor
permukaan terbenam di dalamnya menekuk dan membentuk
potensial reseptor ketika membran basilaris yang begetar terhadap
membran tektorial yang stasioner. Jendela bundar merupakan
membran tipis yang memisahkan skala timpani dari telinga tengah
yang bergerak bersama dengan cairan di perilimfe untuk meredam
tekanan di dalam koklea 2.
10
inferior anterior atau langsung dari arteri basilaris yang merupakan
end artery (terminal artery) dan tidak mempunyai pembuluh darah
anastomosis. Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini
bercabang 3 yaitu; 1. Arteri vestibularis anterior yang nantinya
mendarahi makula utrikuli, sebagian makula sakuli, krista ampularis,
kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus
dan sakulus; 2. Arteri vestibulokoklearis, mendarahi makula sakuli,
kanalis semisirkularis posterior, bagian inferior utrikulus dan sakulus
serta putaran basal dari koklea; 3. Arteri koklearis yang memasuki
modiolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri spiral yang
mendarahi organ Corti, skala vestibule dan skala timpani sebelum
berakhir pada stria vaskularis 2.
Aliran vena pada telinga dalam melalui 3 jalur utama. Vena
auditorisinterna mendarahi putaran tengah dan apikal koklea. Vena
akuaduktus koklearis mendarahi putaran basiler koklea, sakulus serta
utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akuaduktus
vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena
ini mengikuti duktus endolimfatikus dan masuk ke sinus sigmoid.
Arteri auditori interna, memperdarahi koklea, pada umumnya berasal
dari arteri cerebellum anterior inferior dan terkadang dari arteri
cerebellum posterior inferior bercabang dari arteri vertebra rostral atau
arteri basilar kaudal, anastamosis utama antara AICA dan PICA
umumnya berbeda. AICA keluar dari salah satu sisi arteri basilar
kaudal. Banyak perbedaan yang terkait dengan AICA dan PICA yang
berasal dari arteri vertebrobasilar, dan percabangan dari AICA
memiliki anasmosis yang multiple dari arteri medulla lateral.
Mesikipun, arteri telinga dalam merupakan arteri akhir. Pons
diperdarahi oleh anterior, lateral dan bagian posterior dan arteri
basilar, arteri cerebellum superior dan AICA memperdarahi daerah
tersebut.
Arteri auditori interna bercabang dua yang umumnya adalah
11
arteri koklear dan arteri vestibular anterior, kemudian percabangan
arteri koklear dan areteri vestibulokoklear bercabang menjadi arteri
vestivular posterior dan ramus koklear. Arteri koklear umumnya
memperdarahi tiga per empat bagian apeks koklea dan ramus koklear
memperdarahi daerah seperempat basal pada bagian ujung koklea.
Arteri vestibular anterior memperdarahi utrikulus, superior dari
sakulus, ampulla dan kanalis semisirkularis anterior dan horizontal.
Bagian sakulus inferior dan kanalis semisirkularis posterior mendapat
perdarahan dari arteri vestibular posterior 2.
2.3 Epidemiologi
Kemampuan mendengar pada tahun-tahun awal kehidupan
sangat penting untuk perkembangan bicara, bahasa, dan kognisi. Studi
12
retrospektif terhadap program skrining pendengaran bayi baru lahir
secara universal menunjukkan bahwa gangguan pendengaran
permanen adalah salah satu kelainan paling umum yang terjadi saat
lahir. Pada tahun 1999, American Academy of Pediatrics Task Force
on Newborn and Infant Hearing menyatakan bahwa gangguan
pendengaran bilateral yang signifikan telah terbukti terjadi pada
sekitar 1 hingga 3 per 1000 bayi baru lahir di populasi penitipan bayi
yang sehat, dan pada sekitar 2 hingga 4 bayi baru lahir per 1000 bayi
di populasi unit perawatan intensif. [ 2 ] Data dari program pemeriksaan
pendengaran bayi baru lahir di Rhode Island, Colorado, dan Texas
menunjukkan bahwa 2-4 dari setiap 1000 neonatus mengalami
gangguan pendengaran. Sebuah studi retrospektif yang dilakukan oleh
Connolly dkk pada tahun 2005 menemukan bahwa 1 dari setiap 811
bayi tanpa faktor risiko dan 1 dari setiap 75 bayi dengan faktor risiko
mengalami gangguan pendengaran.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Neumann et al, program
NIHS menemukan prevalensi gangguan pendengaran permanen pada
masa kanak-kanak pada bayi berkisar antara 0,3–15,0 kasus (median
1,70) per 1000 bayi.
2.4 Etiologi
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak
dibedakan berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu
pada masa prenatal, perinatal dan postnatal .
2.4.1 Masa Pranatal
1. Generik heriditer;
2. Non genetik seperti gangguan/kelainan pada masa kehamilan, kelainan
struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi Jodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah
trimester pertama sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi
pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi
13
bakteri maupun virus pada ibu hamil seperi Toksoplasmosis, Rubella,
cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis (TORCHS) dapat berakibat buruk
pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis obat
ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu proses
organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat,
kina, neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat,
thalidomide dll.
Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti atresia
liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.
2.4.2 Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran/ketulian
seperti; prematur, berat badan lahir rendah (< 2500 gram),
hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis). Umumnya ketulian
yang terjadi akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli
sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat berat.
2.4.3 Masa Postnatal
Adanya Infeksi bakteri atau virus seperti rubela. Campak,
parotis, infeksi otak (meningitis ensefalitis), perdarahan pada telinga
tengah, trauma temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli
konduktif.
14
ketulian. Faktor risiko ketulian menurut American Academy Joint
Committee on Infant Hearing Statement (2000) pada bayi usia 0–28
hari:
• Infeksi prenatal : TORCH
• Kelainan anatomi pada kepala dan leher
• Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
• Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram)
• Meningitis bakterialis
• Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
• Asfiksia berat
• Pemberian obat ototoksik
• Menggunakan alat bantu pernapasan/ventilasi
• mekanik lebih dari 5 hari di NICU
Klasifikasi kedua adalah Universal Newborn Hearing Screening
(UNHS) yaitu deteksi dilakukan pada semua bayi baru lahir baik
beresiko maupun tidak berisiko.
Di beberapa negara berkembang masih menggunakan deteksi
dengan klasifikasi pertama karena masalah keterbatasan tenaga medis
dan ketersediaan alat namun idealnya adalah dengan klasifikasi kedua
(UNHS). Data penelitian mengungkapkan 50% bayi dengan gangguan
pendengaran ternyata tidak memiliki
faktor resiko. Direkomendasikan deteksi dini dilakukan pada setiap
bayi baru lahir setelah 24 jam pertama kelahiran atau sesaat sebelum
keluar rumah sakit bagi bayi yang lahir di rumah sakit, sedangkan
yang lahir tidak di rumah sakit, harus dilakukan deteksi ketulian umur
1–3 bulan. Maksimal usia 6 bulan bayi harus dapat dipastikan
memiliki pendengaran yang normal atau tidak, tindakan intervensi
untuk mengatasi masalah gangguan pendengaran sudah harus
dilakukan.
Perhatian khusus diperlukan untuk melakukan deteksi dini tuli
kongenital ini dengan cara memantau perkembangan berbicara. Orang
15
tua hendaknya waspada terhadap gejala dini yang tampak pada anak,
seperti anak tidak menangis pada usia 3 minggu, anak tetap tidur lelap
saat pintu terbanting atau saat terjadi suara keras, anak tidak bereaksi
terhadap suara keras saat usia 3 bulan, anak tidak mengoceh berulang
(babbling) pada usia 5–6 bulan, anak tidak mengulang bunyi yang
bukan refleks pada usia 6–7 bulan, anak belum mampu mengucap
jargon (menggabungkan suku kata yang tidak mengandung arti) pada
usia 7–10 bulan, anak belum mampu meniru suara orang tua pada usia
9 bulan, anak juga belum meniru suara sendiri (echolalia) pada usia
10 bulan, anak belum menoleh ke sumber suara pada usia 12 bulan
dan anak belum mampu menirukan, menggunakan kata atau kalimat
singkat pada usia 12–18 bulan, serta anak belum mampu merangkai 2
kata yang bermakna pada usia 24 bulan. Keterlambatan mengetahui
diagnosis akan mempengaruhi tatalaksana dan berdampak pada
perkembangan selanjutnya.
16
memiliki berat badan lahir rendah, riwayat hipoksia lahir,
hiperbilirubinemia, riwayat oksigenasi membran ekstrakorporeal,
riwayat sepsis, dan penggunaan obat-obatan ototoksik, yang
semuanya merupakan faktor risiko gangguan pendengaran.
Hiperbilirubinemia dapat dikaitkan dengan kerusakan neurologis pada
bayi dan kerusakan pada sistem pendengaran terutama melibatkan
batang otak dan saraf kranial VIII, yang secara klinis muncul sebagai
ASND. Farhat dkk membandingkan 2063 bayi NICU dengan 8724
kontrol sehat di ruang penitipan bayi dan menentukan bahwa 1,9%
bayi NICU dipastikan mengalami gangguan pendengaran
dibandingkan dengan 0,3% kontrol
17
tulang temporal atau MRI. Preciado dkk menunjukkan bahwa hasil
diagnostik pencitraan dapat bervariasi sesuai dengan tingkat
keparahan SNHL; pasien dengan SNHL ringan memiliki hasil
diagnostik yang lebih rendah (21,1%) dibandingkan pasien dengan
gangguan pendengaran berat hingga berat (29,9%). Hasil diagnostik
pencitraan lebih besar untuk pasien dengan gangguan pendengaran
unilateral (36,7%) dibandingkan dengan gangguan pendengaran
bilateral (24,7%).
CT scan berguna untuk mengevaluasi anomali tulang, namun
melibatkan paparan radiasi. Tinjauan sistematis terhadap 50 penelitian
menunjukkan bahwa hasil diagnostik untuk CT scan tulang temporal
berkisar antara 7 hingga 74% dengan hasil diagnostik gabungan
sebesar 30% dan seterusnya; rata-rata empat pasien perlu menjalani
CT scan untuk menghasilkan satu hasil diagnostik yang relevan. Lin
dkk menemukan bahwa anomali pada tulang temporal ditemukan pada
18% anak dengan SNHL berat hingga berat dan anomali yang paling
banyak ditemukan adalah displasia koklea (10,2%), displasia kanalis
semisirkularis/displasia vestibular (10,2%), anomali IAC/CA (7,3%),
dan saluran air vestibular membesar (5,3%). Mathews dkk
menganalisis 10,9 juta orang dalam catatan Medicare Australia
menetapkan bahwa satu dari 4000 CT scan otak masa kanak-kanak
dapat menyebabkan tumor otak. Oleh karena itu, mengingat hasil
diagnostik CT scan, CT scan tulang temporal lebih mungkin
menghasilkan diagnosis dibandingkan menyebabkan keganasan.
Pemindaian MRI memberikan peningkatan resolusi jaringan
lunak. Tinjauan sistematis terhadap 25 penelitian penggunaan MRI
dalam mengevaluasi gangguan pendengaran anak melaporkan bahwa
hasil diagnostik berkisar antara 2 hingga 60%. Hasil diagnostik MRI
untuk evaluasi neuropati spektrum pendengaran adalah 34 hingga
100%. Lin dkk melaporkan bahwa 40% anak-anak dengan SNHL
berat hingga berat mempunyai temuan MRI abnormal dan 24%
18
memiliki temuan MRI yang dapat menjelaskan gangguan
pendengaran mereka. Hasil diagnostik MRI yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan harus diimbangi dengan peningkatan biaya
terkait MRI dan kebutuhan sedasi serta waktu tambahan dibandingkan
CT scan.
19
gangguan pendengaran bawaan, gangguan pendengaran
nonsindromik, dan gangguan pendengaran nonsindrom resesif
autosomal masing-masing adalah 16,9, 18,1, dan 21,3%. Di antara
pasien dengan gangguan pendengaran biallelic terkait GJB2, mutasi
35delG menyumbang 57% dari semua alel. Jika diduga terjadi
gangguan pendengaran nonsindromik, seseorang harus
mempertimbangkan pengujian gen tunggal untuk GLB2.
Pemeriksaan genetik pada gangguan pendengaran sindromik
harus didasarkan pada sindrom yang dicurigai. Penyebab paling
umum dari gangguan pendengaran sindromik adalah sindrom Usher,
yang berhubungan dengan kehilangan penglihatan, dan sindrom
Pendred, yang merupakan pembesaran saluran air vestibular yang
dapat dideteksi dengan pencitraan dan sering dikaitkan dengan
hipotiroidisme yang bermanifestasi pada masa remaja.
Ada kemajuan pesat dalam pengurutan throughput tinggi yang
sekarang memungkinkan pengurutan beberapa gen yang
menyebabkan SNHL. Seringkali penyedia layanan menggunakan
pendekatan dua tingkat di mana pengujian dimulai dengan tes tingkat
pertama yang mencakup gen paling umum yang terkait dengan SNHL,
termasuk GJB2 (connexin 26) dan GJB6 (connexin 30). Jika
pengujian tingkat pertama negatif, penyedia layanan dapat
melanjutkan ke pengujian tingkat kedua dengan pengurutan generasi
berikutnya untuk menyaring beberapa gen yang terkait dengan
gangguan pendengaran.
2.7 Tatalaksana
Keberhasilan pengobatan bergantung pada deteksi dini
gangguan pendengaran pada bayi baru lahir serta intervensi yang
cepat. Modalitas pengobatan utama dibahas di bawah ini.
2.7.1 Alat bantu dengar dan implan koklea
Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan bahasa pada
20
bayi tunarungu adalah deteksi dini dan intervensi. Sangat penting
untuk memulai intervensi pada bayi tunarungu pada usia 6 bulan
untuk penguasaan bahasa yang lebih baik. Pada usia ini, bayi
mendapatkan hasil yang serupa dengan bayi dengan pendengaran
normal.
Ada dua pilihan rehabilitasi bayi tunarungu, yaitu alat bantu
dengar dan implan koklea. Alat bantu dengar merupakan pengobatan
pilihan untuk SNHL kongenital ringan hingga sedang, sedangkan
pasien dengan SNHL berat hingga berat dapat memperoleh manfaat
dari implan koklea.
21
Pengobatan yang direkomendasikan untuk infeksi
sitomegalovirus yang bergejala adalah penggunaan gansiklovir
parenteral atau valgansiklovir oral. Turunan trifosfat gansiklovir dapat
menghambat replikasi DNA sitomegalovirus. Uji klinis sebelumnya
pada tahun 2003 melaporkan bahwa terdapat gangguan pendengaran
pada bayi pada usia 6 bulan dan satu tahun setelah pengobatan dengan
gansiklovir untuk gejala infeksi sitomegalovirus pada bayi yang
menerima pengobatan selama periode neonatal. Penelitian ini juga
melaporkan bahwa 63% bayi (29/46 kelompok yang diobati)
mengalami neutropenia tingkat 3 atau 4 setelah pengobatan antiviral
dengan gansiklovir.
Baru-baru ini, tiga uji klinis terkontrol secara acak
mempelajari kemanjuran terapi antivirus valgansiklovir terhadap
tingkat keparahan dan perjalanan penyakit SNHL terkait
sitomegalovirus.
22
anak yang mengalami ketulian tidak terlalu berbeda jauh dengan anak
yang pendengarannya normal. Di Indonesia beberapa rumah sakit
telah menjalankan program skrining pendengaran namun masih
bersifat sukarela. Sayangnya tidak semua rumah sakit yang
menjalankan program tersebut memiliki fasilitas yang memadai untuk
pemeriksaan pendengaran lanjutan. Kendala lainnya adalah belum
semua orang tua memahami maksud skrining pendengaran bayi
sehingga tidak melalukan pemeriksaan lanjutan.
Untuk bayi yang lulus skrining pendengaran, dengan perkataan
lain pendengarannya baik, tetap harus dilakukan evaluasi berkala.
Karena pada bayi yang lebih besar atau anak, dapat terjadi risiko lain
seperti infeksi telinga tengah, trauma ataupun terpapar dengan suara
keras (bising). Berdasarkan pertimbangan tersebut, dilakukan
pemeriksaan pendengaran berkala pada usia 4, 5, 6, 8 10, 12, 15 dan
18 tahun, ataupun setiap saat bila ada kecurigaan gangguan
pendengaran.
Pada prinsipnya metode tes pendengaran pada anak dibedakan
menjadi tes yang subyektif berdasarkan pada pengamatan perilaku
anak terhadap rangsang suara (behavioral observation audiometry,
visual re-inforcement audiometry) dan tes yang Non behavioral atau
obyektif dengan menggunakan alat elektrofisologik (Auditory
Brainstem Response/ABR, Auditory Steady State Response/ASSR,
Otoacoustic Emission / OAE).
2.8.1 BERA/ABR
Deteksi dini gangguan pendengaran pada anak secara
konvensional sulit dan biasanya tidak bisa dilakukan sampai anak
berumur 2 sampai 3 tahun. Namun sekarang dengan adanya
pemeriksaan Brainstem Evoked Response Auditory (BERA), deteksi
dini gangguan pendengaran sudah dapat dilakukan sejak bayi.
Pemeriksaan BERA adalah suatu pemeriksaan elektrofisiologik yang
obyektif, non invasif untuk menilai respons sistim auditorik termasuk
23
batang otak terhadap bunyi, sehingga dapat diketahui ambang
pendengaran maupun letak lesi pada sistem auditorik tersebut. BERA
telah terbukti berguna dalam menentukan status pendengaran bahkan
pada pasien yang tidak kooperatif atau pasien yang masih sangat
muda. Respon terhadap stimulus auditorik berupa respon auditory
evoked Potential yang sinkron direkam Melalui elektroda permukaaan
(surface Electrode) yang ditempel pada kulit kepala. Respon auditory
evoked potential yang berhasil direkam kemudian diproses melalui
program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi
positif (gelombang I sampai V) yang terjadi Sekitar 2-12 ms setelah
stimulus Diberikan.
2.8.2 Otoaccoustic Emission (OAE)
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah
yang dihasilkan pada koklea yang normal, baik secara spontan
maupun respon dari rangsang akustik. Skrining pendengaran pada
bayi-bayi dapat dilakukan dengan menggunakan alat emisi otoakustik,
karena metoda ini obyektif, aman, tidak memerlukan prosedur yang
invasif atau pengobatan sebelum dilakukan pemeriksaan,
pemeriksaannya cepat, hanya memerlukan waktu beberapa detik
sampai menit; caranya mudah, tidak memerlukan keahlian khusus,
biaya alat yang relatif murah.
2.8.3 BOA
Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes
pendengaran secara pengamatan perilaku (Behavioral Observation
Audiometry/ BOA) harus menunggu sampai anak usia mampu
berbicara sehingga dapat mengikuti prosedur tes, yang sebenarnya
tidak demikian. Tes BOA sudah dapat dilakukan pada semua usia
mulai bayi baru lahir dengan mempertimbangkan usia dan status
perkembangan anak secara umum. Tes behavior cukup dapat
memberikan nilai ketepatan, efisiensi dan cukup obyektif apabila
dilakukan oleh klinikus yang berpengalaman. Selain itu tes BOA
24
cukup relibel, cukup menyenangkan bagi anak-anak, cukup efisien
dari segi waktu dan biaya. Tes BOA sederhana yang sering dilakukan
di rumah sakit adalah dengan menggunakan benda atau mainan yang
berbunyi seperti bel, terompet.
2.8.4 Audiometri
Anak yang cukup kooperatif, mau pakai headphone dan bisa
diajarkan bagaimana memberikan respons apabila mendengar suara
dapat dilakukan metode audiometri nada murni seperti tes pada orang
dewasa. Hanya metode respons apabila mendengar suara dilakukan
dengan mainan, seperti memasukkan kelereng ke dalam kotak setiap
mendengar suara.
25
BAB 3
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Susyanto, B. E., & Widuri, A. (2015). Faktor Risiko Gangguan Pendengaran
pada Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan, 15(1), 30-36.
2. Sherwood Lauralee. Telinga: Pendengaran dan keseimbangan. Dalam:
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Indonesia: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2001. h.176-89.
3. Cho CS, Choi YJ. Prognostic factors in sudden sensorineural hearing loss:
Aretrospective study using interaction effects. Braz J Otorhinolaryngol.
2013;79(4):466–70.
4. Kasim, M., Pebriyani, U., Sulanto, A., & Jayanti, A. D. (2022). Hubungan
Usia Dan Pendidikan Dengan Pengetahuan Orang Tua Terhadap Deteksi
Dini Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit Mitra Husada
Pringsewu, Lampung. MAHESA: Malahayati Health Student Journal, 2(1),
74-81.
5. Buku THT-KL UI edisi ketujuh
6. Hidayat H, Edward Y, Hilbertina N. Gambaran Pasien Tuli Mendadak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas.
2016;5(2):416–20.
7. Novita S, Yuwono N. CONTINUING MEDICAL EDUCATION Diagnosis
dan Tata Laksana Tuli Mendadak. Cdk-210. 2013;40(11):85–90.
8. Mulyana S. Tuli mendadak akibat iskemik koklea. REFERAT. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2015.
9. Jantung PK. Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar.
10. Lin, RJ, Krall, R, Westerberg, BD, Chadha, NK, Chau, JK. Systematic
review and metaanalysis of the risk fac- tors for sudden sensorineural
hearing loss in adults. Laryngoscope. 2012;122(3):624-35.
11. Putra RM, Munilson J, Edward Y, Warto N, Rosalinda R. Injeksi
27
Kortikosteroid Intratimpani Sebagai Salvage Therapy pada Pasien Tuli
Mendadak. J Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 3):96.
28