You are on page 1of 10

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM MALADMINISTRASI PADA SISTEM


PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA PADA STUDI KASUS
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH OKNUM POLRI

DOSEN PENGAMPU : MEIMA S.H, M.Hum.


ASISTEN DOSEN : DILIYA MIRIAM RINJANI S.H, M.H.

Kelas A2/4
Prodi Ilmu Hukum

Penulis :
Raisya Ghina Nabilah (41151010210066)

2023
ABSTRACT

Maladministration is a word that is closely related to the duties and functions of the
Ombudsman. This word has become popular in the community and has become a daily conversation
along with news about the performance of the Ombudsman of the Republic of Indonesia in overseeing
the ongoing bureaucratic reform. In general, people understand 'maladministration' as 'trivial'
administrative errors that are not too important (trivial matters). According to article 1 number 3 of Law
Number 37 of 2008 concerning the Ombudsman of the Republic of Indonesia. clearly stipulates the
duties and authorities of the Ombudsman of the Republic of Indonesia, namely receiving and
completing reports on alleged maladministration in the administration of public services. Writing this
article uses research methods from various articles and books on maladministration and various cases
of abuse of office which are problematic maladministration in Indonesia. In this article, we identify
several factors that contribute to maladministration, including corruption, lack of transparency, abuse
of authority, deviation of procedures, neglect of legal obligations, negligence, discrimination, lack of
information, and unprofessionalism. It is hoped that this article will become material for study and
become a reference in the implementation of public service practices, so that they can be even better
and encourage the implementation of public service apparatus to avoid maladministration.

Keyword : Ombudsman, Maladministration, Service

ABSTRAK

Maladministrasi merupakan salah satu kata yang sangat lekat dengan tugas dan fungsi
Ombudsman. Kata ini telah memasyarakat dan menjadi pembicaraan sehari-hari seiring dengan berita
tentang kinerja Ombudsman Republik Indonesia dalam mengawal berlangsungnya reformasi birokrasi.
Pada umumnya, masyarakat memahami ‘maladministrasi’ sebagai kesalahan administratif ‘sepele‘ yang
tidak terlalu penting (trivial matters). Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia. secara jelas menetapkan tugas dan wewenang Ombudsman
Republik Indonesia yakni menerima dan menyelesaikan laporan atas dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian dari berbagai
artikel dan buku tentang maladministrasi dan berbagai kasus penyalahgunaan jabatan yang menjadi
problematika maladministrasi di Indonesia. Dalam artikel ini, kami mengidentifikasi beberapa faktor
yang berkontribusi terhadap terjadinya maladministrasi, termasuk korupsi, ketidaktransparan,
penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, kelalaian,
diskriminasi, ketidakjelasan informasi, dan ketidak profesionalan. Artikel ini diharapkan menjadi bahan
kajian dan menjadi acuan dalam penyelenggaraan praktik pelayanan publik, untuk bisa menjadi lebih
baik lagi dan mendorong agar terselenggaranya aparatur pelayanan publik untuk tidak melakukan
maladministrasi.

Kata Kunci : Maladministrasi, Ombudsman, Pelayanan


I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia


Mendefinisikan dengan jelas tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia yakni
menerima dan melengkapi laporan dugaan maladministrasi dalam pengelolaan pelayanan
publik. Kata-kata keluhan administrasi definisinya disebutkan secara terpisah untuk pertama
kalinya dalam Pasal 1 nomor 3 undang-undang no. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia. Ayat 3 Pasal 1 Regulasi ini tidak hanya mengatur tentang bentuk salah
urus perilaku/tindakan, tetapi juga terhadap keputusan dan peristiwa hukum, untuk melampaui
kewenangan, untuk menggunakan kewenangan untuk tujuan selain untuk mana otorisasi
tersebut dimaksudkan, termasuk kelalaian atau wanprestasi kewajiban yang timbul dari hukum
dalam penyelenggaraan pelayanan publik penyelenggara nasional dan pemerintah termasuk
orang-orang yang untuk membantu pemerintah memberikan pelayanan publik yang melahirkan
kerugian materiil dan/atau non materiil bagi masyarakat dan perorangan. Pokok-pokok banding
administratif diatur dalam UU No. 37 2008 oleh Ombudsman Republik Indonesia sebagai
sukses, karena sudah ada di banyak peraturan perundang-undangan mencantumkan berbagai
pengaduan administratif dan sanksi yang dapat dikenakan kepada pelakunya. Para penjahat
dalam hal ini adalah pejabat publik dan pemerintah baik pusat maupun daerah termasuk orang-
orang yang membantu pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Salah satu undang-
undang yang memberikan hukuman berat adalah undang-undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik Pasal 54 berisi sanksi pemecatan, pemberhentian dengan tidak
hormat, pemotongan gaji, dan lain-lain. Undang Ombudsman Republik No. 37 Tahun 2008
Indonesia baru saja mulai menawarkan layanan tersebut hubungan buruk yang disebabkan oleh
penyalahgunaan administrasi harus dicegah dan dihilangkan, Karena berbagai dan jumlah
pengumuman publik kesalahan administrasi dilakukan oleh pejabat atau penyedia layanan
publik, Ombudsman sebagai lembaga negara diberi kewenangan oleh undang-undang No.37
Tahun 2008 menerima dan melengkapi laporan masyarakat tentang salah urus. Ombudsman
wajib memberikan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat, para pemimpin
pemerintahan dan pemerintah, pegawai negeri, manajer dan perusahaan swasta pemerintah
dalam hal yang berkaitan dengan pelanggaran administratif.
B. Rumusan Masalah

• Apa definisi Maladministrasi menurut ombudsman Republik Indonesia dan apa


saja dasar hukum yang melandasinya
• Apa saja bentuk-bentuk maladministrasi di Indonesia
• Bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap oknum tindakan
maladministrasi

C. Tujuan Penelitian

• Mengetahui apa definisi Maladministrasi menurut ombudsman Republik


Indonesia dan apa saja dasar hukum yang melandasinya
• Mengetahui apa saja bentuk-bentuk maladministrasi di Indonesia
• Mengetahui bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap oknum tindakan
maladministrasi

II. Pembahasan

1. Definisi dan dasar hukum Maladministrasi Pelayanan Publik

Maladministrasi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata A malmahum yang berarti
buruk atau jelek dan administrare yang berarti layanan. Maka arti kata maladministrasi
adalah pelayanan yang buruk atau jelek. Penggunaan kata maladministrasi pada umumnya
berkaitan dengan layanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks
masyarakat demokrasi, maladministrasi mencerminkan kegagalan suatu pemerintahan dalam
memenuhi hak-hak sipil. Maksudnya tidak adanya peningkatan dan perbaikan kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik yang diharapkan oleh warga negaranya. Berkaca pada
jumlah pengaduan Ombudsman RI tahun 2020 hanya berjumlah 14.044 aduan, ini masih dalam
kategori yang kecil.

Secara umum, ketentuan maladministrasi sudah ada dan tersebar dalam banyak ketentuan
perundang-undangan pemerintah dan DPR. Peraturan perundang-undangan yang mencakup
berbagai salah urus, terutama tindakan pengaturan tersebut, perilaku, pengambilan keputusan
dan kejadian yang melanggar hukum dan etika penyelenggaraan negara dan lembaga negara,
pegawai negeri, manajer perusahaan swasta dan publik, orang yang membantu pemerintah
memberikan pelayanan publik. Tidak ada aturan tentang bentuk banding administratif secara
harfiah (langsung) sebagai salah urus. Pengaturan mengenai bentuk pelanggaran administratif
tersebar dalam berbagai bentuk undang-undang lain hanya berhubungan dengan tugas dan
tanggung jawab dasar lembaga yang menyediakan pelayanan publik. Landasan hukum yang
langsung menyebut tentang pencegahan dan penyelesaian maladministrasi adalah sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan
pencegahan praktek-praktek maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme.

Pasal 4 huruf d UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI Ombudsman bertugas:


1. menerima Laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik;
2. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik; 3. melakukan upaya pencegahan maladministrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI Ombudsman berwenang:

• meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain
yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
• memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor
ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
• meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari
instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
• melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
Laporan;
• menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
• membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
• demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.

Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang:

a) menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara
lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;

b) menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.
2. Bentuk-bentuk Maladministrasi

Terdapat sepuluh bentuk maladministrasi menurut Ombudsman RI berdasarkan Peraturan


Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman Nomor
26 tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaaan dan Penyelesaian Laporan,
sebagai berikut;
1. Penundaan berlarut merupakan kalimat terjemahan dari undue delay. Ciri-cirinya adalah
pelaksana layanan memberikan pelayanan dengan mengulur-ulur waktu penyelesaian
administrasi atau masalah tanpa adanya suatu keterangan yang jelas.
2. Tidak memberikan pelayanan, ciri-cirinya pelaksana layanan tidak mengerjakan
permohonan atau permintaan layanan padahal masyarakat sudah melengkapi semua
persyaratan yang diperlukan. Sudah semestinya kewajiban petugas pelayanan publik
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
3. Tidak kompeten, ciri-cirinya adalah pelaksana layanan publik memiliki kualifikasi yang
tidak sesuai dengan tugas dan fungsi pelayanan publik atau menugaskan petugas yang tidak
sesuai kompetensi untuk melaksanakan tugas atas perintah atasan secara langsung.
4. Penyalahgunaan wewenang, ciri-cirinya pelaksana layanan dengan sewenang-wenang
melanggar peraturan dalam memberikan layanan yang terhubung pada kepentingan pribadi
atau kelompok lainnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
5. Permintaan imbalan, ciri-cirinya petugas meminta uang atau barang kepada masyarakat agar
mendapatkan pelayanan yang baik, atau petugas menjalin kesepakatan dengan masyarakat
apabila mereka terdata dalam suatu program pemerintah mereka berhak
menerima fee (bonus). Selain itu, pelaksana pelayanan publik yang melakukan korupsi
sehingga berdampak pada kualitas pelayanan juga termasuk permintaan imbalan.
6. Penyimpangan prosedur, ciri-cirinya pelaksana layanan tidak mematuhi standar operasional
prosedur dalam memberikan pelayana publik yang memberikan keuntungan bagi dirinya
maupun orang lain.
7. Bertindak tidak patut, ciri-cirinya pelaksana layanan bertindak secara tidak wajar, tidak
sopan dan tidak pantas. Selain itu, kekerasan verbal dapat dikatakan perbuatan tidak patut,
seperti memberikan kalimat umpatan kepada pengguna layanan.
8. Berpihak, ciri-cirinya pelaksana layanan membuat keputusan atau tindakan dengan
menguntungkan pihak lain sehingga berujung pada pelanggaran standar operasional prosedur
yang ditentukan.
9. Konflik kepentingan, ciri-cirinya pelaksana layanan tidak dapat bekerja secara professional
karena memiliki kepentingan pribadi sehingga pelayanan diberikan tidak objektif dan tepat.
10. Diskriminasi, ciri-cirinya pelaksana pelayanan tidak memberika pelayanan secara
sebagian atau keseluruuhan kepada masyarakat karena perbedaan suku, agama, ras, jenis
kelamin, penyakit, dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, diharapkan masyarakat yang merasa korban maladministrasi
dapat menyampaikan aduannya kepada Ombudsman RI. Ombudsman RI akan
menindaklanjuti setiap aduan masyarakat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan pengaduan kepada
Ombudsman RI sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf g dan h Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


Secara garis besar, penyebutan kata-kata Maladministrasi tidak ditemukan di dalam Undang-
Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang ada hanyalah kata-kata
Penyelenggara pelayanan publik harus melaksanakan kewajiban dan tidak boleh melanggar
larangan, Pelaksana pelayanan publik harus memberi pelayanan yang sesuai dengan standar
pelayanan. Sementara itu, di dalam klausul lain ditetapkan bahwa Pelaksana pelayanan publik
dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
• adil dan tidak diskriminatif;
• cermat;
• santun dan ramah;
• tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
• profesional;
• tidak mempersulit;
• patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
• menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
• tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
• terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
• tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
• tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi
permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;

3. Pertanggungjawaban Hukum Maladministrasi

Dalam pasal 1 UU 25/2009 tentang Layanan Publik mencatat bahwa; “Pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
pelayanan setiap warga negara dan penduduk yang timbul karena undang-undang mengenai
barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.” Dan dari cakupan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pelayanan publik
merupakan amanat konstitusi yang terdapat dalam pembukaan dan isi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, pelayanan publik ini merupakan
hak konstitusional warga negara Indonesia, karena pelayanan publik merupakan janji
konstitusional negara Indonesia kepada seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, negara harus
menjamin terwujudnya hak-hak warga negaranya secara optimal. Namun, banyak pejabat
pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memenuhi janji konstitusi, terus
melakukan maladministrasi yang merugikan warga negara baik materiil maupun nonmateriil.
Padahal, lembaga administrasi publik memiliki kewajiban untuk melaksanakan hak-hak dasar
masyarakat dalam pelayanan publik, oleh karena itu penting untuk memastikan perlindungan
hukum bagi setiap warga negara yang menerima kerugian baik materiil maupun nonmateri
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu, pejabat publik harus mendapat jaminan
perlindungan hukum jika kegiatannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Menurut
Sjachran Basa, warga ditawari perlindungan jika sikap pejabat negara merugikan mereka. Pada
saat yang sama, perlindungan administrasi publik terjadi dari sikap kegiatannya yang benar dan
tepat menurut hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, melindungi
administrasi. negara karena melakukan pelanggaran hukum.

Dengan menganut konsep negara kesejahteraan, pemimpin negara atau lembaga negara
dibebani kewajiban untuk melayani kepentingan umum dan menyelenggarakan kesejahteraan
umum (bestuurszorg), di mana penyelenggara negara praktis banyak ikut campur dalam
kehidupan rakyat. kepada warga negara Campur tangan negara dalam pelaksanaan tugas publik
sering mengakibatkan kerugian baik langsung maupun tidak langsung bagi pihak mana pun,
terutama ketika kekuasaan diberikan oleh freires Ermessen. yang memiliki tanggung jawab
pemerintahan yang luas kepada warga negara atau pihak ketiga yang hampir semua negara
telah mengadopsi hukum. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan prinsip
negara hukum modern, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (1945) bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Hal itu
menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan konstitusi, yaitu Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (1945). Tanggung jawab hukum adalah tugas yang terkait
dengan otoritas atau tugas publik yang diberikan oleh otoritas administrasi publik.

Secara khusus, kewajiban untuk menjelaskan dan membenarkan keputusan atau tindakan
yang diambil. Kita dapat menarik garis antara akuntabilitas dan demokrasi. Akuntabilitas
dalam negara demokrasi didasarkan pada prinsip rule of law, lembaga non-pemerintah dapat
mengontrol tugas-tugas pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut antara lain parlemen (Deputy
body), kehakiman (judiciary), atau ombudsman Indonesia. Lembaga independen lainnya.”
Kewajiban melapor diartikan sebagai wujud kewajiban melaporkan keberhasilan atau
kegagalan misi organisasi dalam mencapai maksud dan tujuan yang ditetapkan dengan
pelaporan berkala. Penjelasan UU No. 3 Ayat 7 .28 di 1999 Membersihkan kantor negara dan
Bebas dari korupsi, konspirasi dan nepotisme, mereka mengatakan apa yang mereka maksud
“Asas tanggung jawab” adalah asas yang menentukan bahwa setiap tindakan dan hasil akhir
operator Negara harus bertanggung jawab kepada publik atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Tujuan
akuntabilitas hukum adalah untuk memastikan bahwa tindakan pemerintah didasarkan pada
hukum yang mencakup pertimbangan rasional, ekonomis, efisien dan adil. Jika tindakan
otoritas publik memiliki konsekuensi terhadap hak dan kepentingan individu, akuntabilitas
juga mensyaratkan bahwa otoritas administrasi publik harus mengambil tindakan korektif yang
tepat terhadap korban maladministrasi. Diskresi dan praktik merupakan kegiatan lembaga
negara yang digunakan oleh penyelenggara negara dalam penyelenggaraan urusan negara
berdasarkan norma-norma UU Tata Negara. Pertimbangan dan kebijakan harus memasukkan
unsur mismanagement dalam pelayanan publik Pertanggungjawaban harus menjadi
kewenangan mutlak Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, UU PTUN hanya mengatur
penghukuman (beshikkind) terhadap keputusan pejabat publik berdasarkan Pasal 53(1) UU
PTUN No 5 Tahun 1986

4. Studi kasus penyalahgunaan Narkotika oleh oknum polisi

Kapolsek astana anyar, Kompol Yuni Purwanti, terjerat penyalahgunaan narkotika, Kasus ini
berdasarkan aduan masyarakat ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri
yang kemudian diteruskan ke Propam Polda Jabar. Ke-12 anggota tersebut kemudian
diamankan Propam Polda Jabar, dan dilakukan pendalaman. Eks Kapolsek Astana Anyar itu
pun sempat mengajukan banding ke Mabes Polri namun ditolak. Ia menegaskan, apabila ada
anggota yang menyalahgunakan narkoba akan dipecat atau di PTDH.

Hasil Analisa:

Dalam kasus tersebut terjadi penyalahgunaan wewenang, Penerapan diskresi Kepolisian


melalui pola penyelidikan yang bersifat khusus dan terkesan menyimpang dari pola-pola
penyelidikan yang biasa dilakukan pada tindak pidana konvensional. Langkah pengendalian
dan pengawasan tidak hanya mengendalikan pengawasan dari pribadi polisi untuk secara dini
melakukan seleksi atas tindakannya, tetapi juga sesama rekan sekerja dan keseriusan institusi
kepolisian menindak polisi yang menyalahgunakanan kewenangan diskresi, dengan dalih
apapun. Untuk itu standar-standar operasi menjadi lebih penting diwujudkan agar terdapat
ukuran untuk meminimalkan penyimpangan diskresi. Berdasarkan dari penjelasan tersebut,
maka diskresi Kepolisian dalam penyelidikan penyalahgunaan narkoba dapat dilaksanakan
karena hal tersebut telah diatur dalam UU Polri dan lebih khusus lagi Pasal 75 UU Narkoba,
pasal ini memuat materi bahwa Penyelidik berwenang melakukan penyelidikan dengan pola-
pola khusus.

III. PENUTUP

1. Kesimpulan

Pertanggungjawaban hukum tindakan maladminitrasi dalam pelayanan publik


merupakan tanggungjawab pribadi, hal ini dengan rasionalisasi bahwa maladminitrasi
merupakan pelanggaran terhadap norma perilaku aparat pemerintahan Perlu adanya
perluasan kompetensi absolute atas peradilan tata usaha Negara dalam hal mengadili atas
pelanggaran diskresi dan kebijakan yang berimplikasi terhadap tindakan maladministrasi
oleh penyelenggara pemerintahan dapat menimbulkan yang kerugiaadministrasi. secara
Argumentasi juridisnya bahwa tindakan yang dilakukan berdasarkan dalam ruang lingkup
hukum administrasi.
Daftar Pustaka

Marbun,Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,Yogyakarta ,FH-UII


Press, 2011.

Soenaryati Hartono, Panduan Investigasi Untuk: Ombudsman Indonsia. Komisi Ombudsman Nasional,
Jakarta,
2003,

You might also like