You are on page 1of 20

Jurnal Hukum & Pembangunan

Volume 51 Number 4 Article 7

12-30-2021

PERKEMBANGAN KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)


DALAM PENGUJIAN ADMINISTRATIF DI PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA DAN UJI MATERI DI MAHKAMAH AGUNG
Oce Madril
Faculty of Law Universitas Gadjah Mada, ocemadril@ugm.ac.id

Jery Hasinanda
Faculty of Law Universitas Gadjah Mada, jeryhasinanda@gmail.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp

Part of the Administrative Law Commons, and the Constitutional Law Commons

Recommended Citation
Madril, Oce and Hasinanda, Jery (2021) "PERKEMBANGAN KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
DALAM PENGUJIAN ADMINISTRATIF DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UJI MATERI DI
MAHKAMAH AGUNG," Jurnal Hukum & Pembangunan: Vol. 51: No. 4, Article 7.
DOI: 10.21143/jhp.vol51.no4.3296
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol51/iss4/7

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Jurnal Hukum & Pembangunan by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 4 (2021): 952-970
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PERKEMBANGAN KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DALAM


PENGUJIAN ADMINISTRATIF DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
DAN UJI MATERI DI MAHKAMAH AGUNG

Oce Madril*, Jery Hasinanda


* Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Korespondensi: ocemadril@ugm.ac.id; jeryhasinanda@gmail.com
Naskah dikirim: 16 Nopember 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 18 Februari 2021

Abstract
Legal standing is one of the most important aspect accordance citizen legal protection
from government act which is general or concrete . In implementation at Indonesia,
there are many changes in the legal standing rule. Nevertheless, this changes of rule is
considered not to clarify related legal standing aspect that has impact to citizen who
are having trouble for access to justice through Administratif Judicial at Administratif
Court and Judicial Review at Supreme Court. Plus, the emergence of many judge
decision from Administrative Court and Supreme Court Judge that sometimes
expanding the meaning of legal standing, but sometimes restricting the meaning of
legal standing.
Keywords: Legal Standing, Administratif Judicial, Judicial Review, and Citizen Legal
Protection.

Abstrak
Kedudukan hukum merupakan salah satu aspek yang penting berkaitan dengan
perlindungan hukum warga negara atas perbuatan baik yang bersifat kongkrit ataupun
umum yang dilakukan oleh Pemerintah. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, terdapat
banyak perubahan ketentuan yang mengatur terkait kedudukan hukum tersebut.
Namun, perubahan ketentuan a quo dianggap tidak memberikan ketentuan yang rigid
terkait aspek kedudukan hukum yang berdampak terhadap warga negara yang
mengalami kesulitan untuk access to justice melalui Pengujian Administratif di
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hak Uji Materi di Mahkamah Agung. Ditambah
lagi, munculnya putusan-putusan dari Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Agung yang kadang-kala memperluas pemaknaan kedudukan hukum, akan
tetapi di sisi lain juga tidak jarang mempersempit pemaknaan kedudukan hukum.
Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Pengujian Administratif, Hak Uji Materi, dan
Perlindungan Hukum Warga Negara.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no4.3296
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 953

I. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara hukum harus memberikan jaminan perlindungan


terhadap hak yang dimiliki oleh warga negaranya baik berupa hak asasi manusia dan
hak konstitusionalitas. Perlindungan oleh negara tersebut merupakan konsekuensi dari
negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Hal ini didasarkan pada Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan secara expresiv verbiis bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Menurut Frederich J Stahl, salah satu ciri negara hukum yaitu
setiap perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan
perundang-undangan. 1 AV Dicey menambahkan ciri negara hukum berupa adanya
perlindungan hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara baik melalui putusan
pengadilan maupun peraturan perundang-undangan. 2 Untuk mencegah tidak
terpenuhinya kedua hal a quo, P Hadjon berpendapat bahwa negara harus membentuk
suatu peradilan yang khusus untuk menguji perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah
yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tidak terpenuhinya
perlindungan hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara.3
Sejalan dengan hal yang diatas, Indonesia sebagai negara hukum telah
memberikan sarana perlindungan hukum melalui mekanisme peradilan. Perlindungan
hukum itu dapat diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada mekanisme
perlindungan hukum melalui Mahkamah Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung memiliki kewenangan pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagaimana diatur di
dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Kemudian, Peradilan Tata Usaha
Negara memiliki wewenang pengujian keputusan dan perbuatan yang dilakukan oleh
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara serta Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
Warga negara yang merasa hak-haknya oleh negara atau pemerintah, maka dapat
mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung dan gugatan ke Peradilan
Tata Usaha Negara. Namun, peraturan perundang-undangan memberikan syarat-syarat
kepada warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar dan hendak mengajukan
permohonan atau gugatan. Syarat-syarat tersebut berupa warga negara harus
memenuhi kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan permohonan atau
gugatan. Hal ini sesuai dengan adagium “legitima persona standi in judicio” atau
“point d’interest point d’ action”. 4 Menurut Soedikno Mertokusumo, asas point
d’interest point d’ action memiliki arti bahwa barangsiapa yang mempunyai
kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak atau gugatan. 5 Kepentingan disini

1
Mahfud MD dan SF Marbun, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: PT
Liberty, 2009), hlm. 23.
2
Jimly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2005), hlm. 15.
3
Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1989), hlm. 24.
4
Moch Iqbal, Aspek Hukum Class Action dan Citizen Law Suit Serta Perkembangannya di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 1 (1), 2012, hlm. 91
5
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: PT Liberty, 2006),
hlm. 21.
954 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

bukanlah setiap kepentingan, akan tetapi kepentingan hukum secara langsung, yaitu
kepentingan yang dilandasi dengan adanya hubungan hukum yang timbul dan dampak
yang timbul atas hubungan hukum tersebut. 6 Hal ini bertujuan agar mempermudah
pengadilan dalam menentukan atau mengkualifikasi warga negara yang merasa hak
dan kepentingannya dilanggar.7
Adapun, pengaturan terkait kedudukan hukum untuk pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang atau Hak Uji Materiil di Mahkamah
Agung dan pengujian perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pengujian
Administratif di PTUN yang merupakan kamar dibawah Mahkamah Agung diatur
secara berbeda. Kedudukan hukum terkait Hak Uji Materiil diatur di dalam Undang-
Undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam Pasal 31 A
UU a quo, permohonan hak uji materiil hanya dapat dilakukan oleh perorangan,
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan Negara Kestuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang, badan hukum publik atau privat yang merasa haknya dirugikan oleh
keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan suatu Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Dalam Perma a
quo, Mahkamah Agung mengatur pihak yang dapat mengajukan permohonan hak uji
materiil berupa perorangan atau kelompok masyarakat yang merasa keberatan atas
berlakunya suatu perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
Dalam praktiknya, timbul permasalahan dalam hak uji materiil berupa
ketidakjelasan dalam kedudukan hukum. Ketidakjelasan ini timbul karena Peraturan
Mahkamah Agung tersebut yang membatasi pihak yang dapat mengajukan
permohonan keberatan atau hak uji materiil di Mahkamah Agung. Dampaknya, Badan
Hukum Publik atau Privat yang merasa haknya dilanggar atas keberlakuan suatu
peraturan perundang-undangan ditolak permohonan nya oleh Mahkamah Agung
karena tidak memenuhi kedudukan hukum sebagai pemohon keberatan. Ditambah
lagi, tidak ada pengaturan yang jelas terkait kerugian apa yang dilanggar oleh
peraturan perundang-undangan tersebut. Akibatnya, para pihak yang merasa hak nya
dilanggar atas keberlakuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
dapat dikualifisir sebagai pemohon keberatan selama merupakan orang atau kelompok
masyarakat. Berbeda dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi mensyaratkan
adanya kerugian konstitusional. Hal ini diatur di dalam Pasal 51 UU Mahkamah
Konstitusi berupa adanya hak atau wewenang konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945, hak/wewenang konstitusional pemohon telah dirugikan oleh undang-undang
yang diajukan, kerugian tersebut harus bersifat khusus dan actual atau paling tidak
bersifat potensial yang menurut penalarannya wajar dapat dipastikan terjadi, harus ada
hubungan sebab akibat antara undang-undang dan kerugian dan terdapat kemungkinan
bahwa jika permohonan dikabulkan, kerugian yang menimpa pemohon tidak terjadi
lagi.8 Ketiadaan ketentuan terkait hal ini di Mahkamah Agung berdampak terhadap
ketidakjelasan ketentuan terkait kedudukan hukum dalam hak uji materiil. Akibatnya,
timbul kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam hal tersebut.

6
Ibid.
7
Ibid.
8
Laica Marzuki, Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 1 (3),
2004, hlm.4.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 955

Sedangkan pengujian terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah atau


pengujian administratif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pasal a quo, PTUN diberikan kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutus sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha
negara didefinisikan sebagai suatu sengketa yang timbul antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Jadi, dalam
pengujian administratif ini membatasi para pihak hanya orang atau badan hukum
perdata dan objek pengujian nya merupakan keputusan tata usaha negara.
Dalam praktiknya, timbul dua permasalahan atas pengujian administratif
tersebut. Pertama, pembatasan pihak yang mengajukan permohonan pengujian
administratif hanya berupa orang atau badan hukum perdata. Akibat dari pembatasan
ini, pihak-pihak diluar orang atau badan hukum perdata seperti Badan Hukum Publik
atau Kelompok Masyarakat Hukum Adat tidak memiliki kedudukan hukum untuk
menjadi pihak dalam mengajukan pengujian administratif di PTUN. Kedua,
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan yang memperluas definisi Keputusan Tata Usaha Negara. Dampak dari
perluasan ini, keputusan tata usaha negara menjadi sangat luas penafsirannya.
Akibatnya, setiap KTUN sebagaimana diatur di dalam Pasal 87 UU Adpem dapat
dijadikan sebagai objek pengujian administratif. Tentunya, hal ini akan memperluas
kedudukan hukum pemohon dalam melakukan pengujian terhadap KTUN tersebut.
Apabila hal diatas dikaitkan dengan jumlah perkara yang ditangani oleh
Mahkamah Agung, tentunya akan berpotensi menimbulkan banyaknya perkara yang
diajukan ke Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan luasnya pemaknaan kedudukan
hukum baik itu pemaknaan terhadap kualifikasi pemohon maupun objek yang diajukan
permohonan. Pada tahun 2018, Mahkamah Agung telah menangani sebanyak 18.544
pokok perkara. 9 Pada tahun selanjutnya yakni tahun 2019, Mahkamah Agung telah
menangani sebanyak 19.370 pokok perkara.10 Tentunya, dengan luasnya pemaknaan
tersebut akan berakibat terhadap peningkatan pokok perkara yang masuk ke
Mahkamah Agung. Bisa dibayangkan akan terjadi tumpukan perkara yang semakin
banyak di lembaga tinggi negara tersebut.
Penelitian ini berfokus kepada kedudukan hukum dalam pengujian administratif
di PTUN dan uji materiil (keberatan) atas peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang di Mahkamah Agung. Ada dua fokus pembahasan dalam penelitian
ini, pertama, terkait dengan pengaturan dan perkembangan kedudukan hukum (legal
standing) pengujian administratif di PTUN. Kedua, pengaturan dan perkembangan
legal standing dalam pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki,


penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan khusus pada
ilmu hukum.11 Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian hukum normatif.

9
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Era Baru Peradilan Modern Berbasis
Teknologi Informasi: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2018, (Jakarta: MARI, 2018), hlm. 78.
10
Azizah, Sepanjang MA RI Berdiri, Tahun 2019 adalah Rekor Terbaik Pencapaian
Penyelesaian Perkara, www.mahkamahagung.go.id/berita/3943/sepanjang-ma-ri-berdiri-tahun-2019-
adalah-rekor-pencapaian-penyelesaian-perkara, diakses pada 09 Mei 2020.
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Kencana, 2011), Hlm 25.
956 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan berikut. Pertama, pendekatan perundang-


undangan (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah
peraturan perundang-undangan tentang pengujian peraturan perundang-undangan dan
pengujian adminsitratif, khususnya ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
kedudukan hukum dalam beracaranya. Kedua, pendekatan konseptual (conceptual
approach). Pendekatan ini menggunakan pandangan-pandangan, doktrin-doktrin, dan
konsep-konsep serta asas-asas yang berkembang di dalam ilmu hukum yang relevan
dengan isu penelitian ini. Pendekatan konseptual ini akan menjadi sandaran untuk
membangun suatu argumentasi dan analisis dalam memecahkan masalah yang diteliti.
Data dalam penelitian ini terdiri dari dua, yaitu data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif, yang artinya mempunyai otoritas. 12 Bahan-bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 setelah perubahan
2. Undang – undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Mahkamah Agung
6. Peraturan lainnya yang terkait dengan penelitian
7. Putusan Mahkamah Agung
8. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kemudian bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi yang bukan
merupakan dokumen otoritatif dan yang memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer. Bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, naskah akademis, risalah
pembahasan peraturan perundang-undangan, jurnal, kamus, makalah, artikel, berita
dan komentar-komentar yang berkaitan dengan topik penelitian.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara metode dokumentasi. Metode
dokumentasi dilakukan dengan cara merujuk pada bahan-bahan yang
didokumentasikan. 13 Cara ini digunakan untuk memperoleh bahan-bahan hukum
primer dan sekunder untuk mengetahui, menjelaskan dan menganalisis perkembangan
kedudukan hukum dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang di Mahkamah Agung dan pengujian administratif di PTUN. Setelah semua
data terkumpul, kemudian dikelompokkan menurut klasifikasi masalah yang akan
dijawab oleh penelitian ini. Data yang ada dihubungkan dan diolah sesuai dengan
masalah penelitian. Kemudian, semua data yang ada dianalisa secara deskriptif dan
preskriptif.

III. PEMBAHASAN

Kedudukan hukum merupakan suatu hal yang penting dalam negara hukum.
Sebab, kedudukan hukum menjadi dasar atau landasan bagi warga negara untuk
melindungi dan memperjuangkan hak-hak nya yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Hal ini dikarenakan tanpa adanya kedudukan hukum, warga negara tidak
memiliki dasar untuk memperjuangkan hak-haknya melalui institusi pengadilan yang
ada di Indonesia.

12
Ibid., hlm. 181.
13
Ranjit Kumar, 1999, Research Methodology: a Step-by-Step Guide for Beginners. (Melbourne:
Addison Wedley Longman Australia Pty. Limited, 1999), hlm. 104
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 957

Dalam konteks negara Indonesia, sarana untuk memperjuangkan hak-hak warga


negara dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: pengujian perbuatan pemerintah secara
umum yang berbentuk peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi dan pengujian perbuatan pemerintah secara kongkrit yang
berbentuk keputusan tata usaha negara di salah satu kamar di Mahkamah Agung yakni
dibagian Pengadilan Tata Usaha Negara. Sarana ini diberikan selain untuk
memperjuang hak-hak warga negara, namun juga untuk melakukan pengawasan dan
pengendalian dari warga negara terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah
baik secara umum maupun kongkrit. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh pemerintah akan menjadi bias dari tujuannya apabila tanpa
adanya pengawasan dari masyarakat.
Selain memberikan sarana untuk memperjuangkan hak-hak warga negara,
Indonesia juga mensyaratkan beberapa hal terhadap kedudukan hukum yang dimiliki
oleh warga negara, yaitu: Pertama, adanya objek hukum yang diajukan kepada
lembaga yang berwenang. Kedua, adanya kesesuaian antara objek hukum yang
diajukan permohonan ataupun gugatan dengan lembaga yang berwenang
menyelesaikannya. Ketiga, adanya kepentingan yang berkaitan dengan keberlakukan
objek hukum tersebut. Keempat, adanya pembatasan subjek hukum yang dapat
mengajukan. Kelima, adanya pembatasan jangka waktu dalam mengajukan
permohonan ataupun gugatan.
Adapun, penelitian ini akan mengkhususkan kepada kedudukan hukum dalam
pengujian perbuatan pemerintah secara umum yang berbentuk peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang di Mahkamah Agung dan secara kongkrit yang
berbentuk keputusan administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk
mempermudah pembaca memahami penelitian ini, maka penulis akan membahas
kedudukan hukum secara terpisah yakni kedudukan hukum di Pengadilan Tata Usaha
Negara dan selanjutnya di Mahkamah Agung. Selain itu, penulis akan membedah
secara berurutan yaitu berkaitan dengan kedudukan hukum pengujian di Mahkamah
Agung dan PTUN berupa subjek hukum, objek hukum yang diajukan, kesesuaian
antara objek dan kepentingan dan alasan-alasan dalam mengajukan
permohonan/gugatan. Ditambah lagi, penulis akan memperkaya penelitian ini dengan
putusan-putusan di Mahkamah Agung dan PTUN yang berkaitan dengan kedudukan
hukum dalam pengujian perbuatan pemerintah.
3.1. Kedudukan Hukum (legal standing) dalam Pengujian Administratif di
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam pengujian perbuatan pemerintah yang berbentuk keputusan tata usaha
negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, terdapat beberapa produk hukum yang
mengatur terkait kedudukan hukum warga negara. Berdasarkan Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya
disingkat menjadi UU 5/86), pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam
melakukan pengujian KTUN yakni seseorang atau badan hukum perdata. Adapun,
alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan pengujian KTUN tersebut adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan
958 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada


pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Dengan konstruksi yuridis yang dibangun oleh UU 5/86 tersebut, pihak-pihak
yang dapat memiliki kedudukan hukum hanya sebatas orang atau badan hukum
perdata saja. Ditambah lagi, kedua subjek hukum tersebut harus dapat membuktikan
bahwa KTUN tersebut bertentangan dengan salah satu point yang terdapat di alasan-
alasan sebagaimana diatas.
Kemudian, dilakukan perubahan terhadap UU 5/86. Menurut Indroharto,
perubahan ini timbul karena UU 8/86 dianggap belum mengakomodasi
perkembangan-perkembangan yang baru dalam Hukum Administrasi dan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. 14 Untuk mengatasi hal ini, maka
dibentuklah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya
disebut UU 9/04). Adapun, salah satu materi yang dirubah adalah berkaitan dengan
alasan-alasan yang dapat digunakan dalam pengujian KTUN. Dalam perubahan
tersebut, alasan-alasan yang dapat digunakan dalam pengujian KTUN adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik;
Dengan adanya perubahan tersebut, terdapat perluasan dalam alasan yang dapat
digunakan dalam pengujian KTUN. Sebab, kontruksi yuridis yang dibangun oleh UU
PTUN 09/04 tersebut yaitu memasukkan norma-norma hukum kebiasaan dalam
hukum acara PTUN. Tentunya, hal ini akan memperluas kedudukan hukum para pihak
dalam beracara di PTUN. Para pihak dapat mengajukan alasan-alasan tidak hanya
sebatas alasan normatif sebagaimana terdapat di huruf (a), namun juga dapat
menjadikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai salah satu alasan dalam
mengajukan pembatalan KTUN. Selain itu, apabila para pihak tidak berhasil
membuktikan KTUN tersebut bertentangan dengan salah satu alasan yang terdapat di
dalam Pasal 53 UU 9/04, maka para pihak dianggap tidak memiliki kepentingan dalam
pengujian KTUN tersebut. Menurut Indroharto, kepentingan disini dalam kaitannya
dengan hukum acara TUN mengandung dua arti, yaitu menunjuk pada nilai yang harus
dilindungi oleh hukum dan kepentingan proses (apa yang hendak dicapai dengan
melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan). 15 Terkait dengan arti
kepentingan yang menunjuk pada nilai yang harus dilindungi oleh hukum, dibagi lagi
kedalam dua faktor yaitu kepentingan dalam kaitannya dengan yang berhak
menggugat dan kepentingan dalam hubungannya dengan keputusan TUN yang
bersangkutan.16 Mengenai kepentingan dalam kaitannya yang berhak menggugat dapat
dilihat dari:17
a. Penggugat harus mempunyai kepentingan sendiri untuk mengajukan gugatan
tersebut, ia tidak dapat berbuat atas namanya kalua sesungguhnya hal itu adalah
mengenai kepentingan orang lain, sebab kalau ia hendak berproses guna
kepentinga orang lain dalam ia memerlukan suatu kuasa;

14
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT
Pustaka Sinar Harapan, 1993) Hlm. 37.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 959

b. Kepentingan itu harus bersifat pribadi, di mana Penggugat memiliki kepentingan


untuk menggugat yang jelas dapat dibedakan dengan kepentingan orang lain;
c. Kepentingan itu harus bersifat langsung;
d. Kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan baik mengenai luas maupun
intensitasnya.
Mengenai kepentingan dalam hubungannya dengan keputusan TUN yang
bersangkutan, Penggugat harus dapat menunjukkan bahwa keputusan TUN yang
digugatnya itu merugikan dirinya secara langsung. 18 Sementara terkait dengan
kepentingan proses (apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan
yang bersangkutan), tujuan yang hendak dicapai dengan berproses adalah terlepas dari
kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum.19 Hal ini bertujuan agar Pemerintah
jangan sampai terganggu kinerjanya untuk melayani proses yang tidak ada tujuannya,
artinya jika kepentingan tidak ada, gugatan itu akan dinyatakan tidak berdasarkan
Pasal 62 PTUN.
Dalam penjelasan Pasal 53 UU 09/04 tersebut, terdapat suatu penjelasan bahwa
subjek hukum yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN hanya orang atau badan
hukum perdata. Dijelaskan pula, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan
Tata Usaha Negara. Terhadap hal ini, ketentuan a quo akan membatasi subjek hukum
dalam mengajukan gugatan KTUN di PTUN. Tentunya, bagi Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang merasa kepentingannya dilanggar tidak dapat memiliki kedudukan
hukum dalam PTUN dengan adanya ketentuan ini.
Pada tahun 2014, lahirlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU 30/14). Kelahiran Undang-
Undang a quo membawa dampak terhadap kedudukan hukum dalam PTUN. Sebab,
ketentuan yang terdapat dalam UU 30/14 tersebut memperluas pemaknaan terhadap
KTUN. Sebelumnya, pemaknaan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara hanya
sebatas pada:
a. Ditinjau dari segi pembuatnya: dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan
pemerintahan);
b. Ditinjau dari segi wujud materiilnya: berisi tindakan hukum tata usaha negara
yaitu tindakan hukum administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah;
c. Ditinjau dari segi sifatnya: Kongkrit, Individual dan Final
d. Ditinjau dari segi akibatnya: menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.20
Dengan adanya perluasan tersebut, KTUN tidak hanya sebatas hal-hal yang diatas.
Berdasarkan Pasal 87 UU 30/14 tersebut, Keputusan Tata Usaha Negara
dimaknai dalam beberapa jenis, yaitu:
a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. Bersifat final dalam arti luas;

18
Ibid.
19
Ibid.
20
M. Ali Abdullah, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca
Amandemen, (Jakarta: PT Kencana, 2015), hlm. 38.
960 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau


f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Dengan adanya perluasan KTUN tersebut, tentunya berdampak pula terhadap
meluasnya kedudukan hukum para pihak dalam mengajukan gugatan di PTUN. Sebab,
para pihak dapat mengajukan gugatan terhadap adanya suatu KTUN tidak hanya
sebatas yang bersifat individual, kongkrit dan final, namun dapat pula terhadap suatu
KTUN sebagaimana terdapat dalam Pasal 87 UU 30/14 tersebut.
Tindakan factual juga dapat didugat di PTUN. Selama ini terhadap tindakan
faktual telah ada Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 144
K/TUN/1998 tanggal 29 September 1999 yang dalam kaidah hukumnya menyatakan
oleh karena pembongkaran dilakukan tanpa surat perintah/surat pemberitahuan
terlebih dahulu, maka pembongkaran tersebut merupakan tindakan faktual dan bukan
wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan menyelesaikannya
tetapi harus digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum oleh penguasa
(onrechmatige overheidsdaad) di peradilan umum.21
Dengan diberikannya kewenangan untuk menguji tindakan faktual badan atau
pejabat pemerintahan secara atributif dari Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, maka secara otomatis Yurisprudensi tersebut diatas tidak relevan lagi
untuk diikuti.22 Kemudian, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara haruslah pula dibekali
dengan pengetahuan yang cukup bagaimana cara untuk menguji dan menjatuhkan
putusan atas tindakan faktual badan atau pejabat pemerintahan.23
Selanjutnya, poin d adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat final
dalam arti lebih luas. Dengan adanya poin d tersebut, pemaknaan terhadap suatu
Keputusan yang bersifat final menjadi luas. Selama ini keputusan yang diakui sebagai
KTUN terbatas pada Keputusan yang tidak memerlukan persetujuan dari atasan atau
instansi lain, tidak mengenal konsep persetujuan bertingkat. Poin d tersebut
memperluas pemaknaan terhadap suatu keputusan yakni suatu keputusan yang diambil
alih oleh atasan yang berwenang. Akibat dari hal ini, suatu Keputusan yang
menggunakan konsep persetujuan bertingkat akan dapat dimaknai sebagai Keputusan
Tata Usaha Negara.
Kemudian menarik juga untuk mencermati poin bahwa keputusan yang
berpotensi menimbulkan akibat hukum sebagaimana terdapat di dalam poin e Pasal 87
tersebut. Frasa “berpotensi” disini memberikan dampak bahwa setiap keputusan yang
belum menimbulkan akibat hukum dapat dikualifikasikan sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara. Jika dikaitkan dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka frasa “berpotensi” ini akan
mengubah paradigma kerugian nyata (factual loss) sebagaimana terdapat di dalam
Pasal a quo menjadi kerugian potensial (potensial loss). Hal ini dapat memperluas
kedudukan hukum bagi setiap warga negara yang mengalami kerugian potensial atas
sebuah keputusan/tindakan pemerintah.
Terakhir, hal yang menarik untuk dikaji adalah keputusan yang berlaku bagi
warga masyarakat sebagaimana terdapat di dalam poin f. Jika dikaitkan dengan
karakteristik sifat suatu keputusan, maka akan merubah paradigma sifat suatu
keputusan yang bersifat individual menjadi bersifat umum. Hal ini tentunya akan
memperluas keputusan yang menjadi objek hukum di PTUN.

21
Ibid.
22
Tri Cahya Indra Permana, Peradilan TUN Pasca UU Administasi Pemerintahan Ditinjau Dari
Segi Access To Justice, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 (3), 2015, Hlm. 8.
23
Ibid.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 961

Menindaklanjuti perkembangan pasca terbitnya UU 30/14, Mahkamah Agung


mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan
Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechmatige
overheidsdaad). Dalam Perma a quo, Mahkamah Agung menyatakan setiap perkara
perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan merupakan
kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Perma a quo dapat memberikan
kepastian hukum kepada setiap warga negara dan PTUN dalam melakukan
penyelesaian terhadap perbuatan badan dan/atau pejabat pemerintahan yang melanggar
hukum. Jika dikaitkan dengan kedudukan hukum di PTUN, tentunya akan memperluas
kedudukan hukum bagi masyarakat yang merasa dirugikan atas setiap perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan, tidak
hanya sebatas Keputusan Tata Usaha Negara saja.
Untuk melihat penerapan aturan mengenai legal standing, maka berikut
diberikan penjelasan berdasarkan perkara riil yang telah diputus oleh PTUN.
a. Putusan No. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT
Putusan a quo merupakan salah satu putusan yang menarik untuk ditinjau dari
segi aspek kerugian bagi Organisasi dan kedudukan hukum bagi Organisasi. Dalam
kasus tersebut, para pihak yang bersengketa adalah Aliansi Jurnalis Independen dan
Pembela Kebebasan Bereskpresi Asia Tenggara (SAFEnet) yang selanjutnya disebut
sebagai (Para Penggugat) melawan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia dan Presiden Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai (Para
Tergugat). Pada kasus a quo yang menjadi objek gugatan adalah Tindakan
Pemerintahan throttling atau pelambatan akses/bandwidth, pemblokiran layanan data
dan/atau pemutusan akses internet dan memperpanjang pemblokiran layanan data
dan/atau pemutusan akses internet di wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
Dalam gugatannya, Para Penggugat menyatakan memiliki kedudukan hukum
dengan dasar sebagai Badan Hukum dan Hak Gugat Organisasi di Mahkamah
Konstitusi sebagaimana terdapat di dalam Putusan MK No. 02/PUU-VII/2009.
Selanjutnya, Para Penggugat mendalilkan dalam gugatannya bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Para Tergugat tersebut mengakibatkan terganggunya operasional
pekerjaan Para Penggugat yang mayoritas bekerja di dunia Pers serta terhambatnya
koneksi internet untuk Layanan Pengadaan Secara Elektronik pada Biro Layanan
Pengadaan Barang di Provinsi Papua, kerusakan fasilitas e-government seperti absensi
elektronik pegawai dan sebagian mesin ATM di Jayapura tidak dapat melakukan
transaksi penarikan uang. Tindakan a quo menurut Para Penggugat telah sesuai
sebagai objek gugatan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 53 UU PTUN dan Pasal 2
ayat (1) PERMA Nomor 2/2019.
Menanggapi gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat, Turut Tergugat
mengajukan jawaban untuk menangkis dalil-dalil yang diajukan oleh Para Penggugat.
Dalam jawabannya, Turut Tergugat menyatakan bahwa Para Penggugat tidak berhak
mengajukan gugatan karena tidak memiliki kedudukan hukum untuk beracara di
PTUN. Hal ini didasarkan pada Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang menyatakan bahwa
hanyalah orang atau badan hukum perdata. Ditambah lagi, Pasal 1 angka 6 Perma No.
2 Tahun 2019 yang membatasi definisi pihak yang dapat mengajukan di PTUN
hanyalah warga masyarakat. Terkait dalil hak gugat organisasi yang didalilkan oleh
Para Penggugat, Turut Tergugat menyatakan bahwa hak gugat organisasi tersebut
hanya dikenal dalam perkara lingkungan hidup dan perlindungan konsumen, perkara
962 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

PTUN tidak mengenal hak gugat organisasi. Penulis tidak setuju dengan argumentasi
yang dibangun oleh Para Tergugat. Sebab, hak gugat organisasi telah diakui dan
digunakan dalam kasus-kasus dalam ranah bidang TUN. Selain itu, perkara
lingkungan hidup juga merupakan kompetensi absolut dari PTUN sebagaimana diatur
di dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga asas-asas, teori dan praktik-praktik yang
berlaku dalam perkara tersebut juga berlaku dalam perkara lain dalam ranah
kompetensi absolut PTUN apabila berkaitan dan berkesesuaian secara hukum. Dengan
demikian, Penulis berpendapat bahwa hak gugat organisasi dapat diterapkan juga
dalam kasus selain lingkungan hidup dan perlindungan konsumen di PTUN.
Selain itu, Para Tergugat juga menanggapi dalil terkait kerugian Para Penggugat.
Dalam jawabannya, Para Tergugat menyatakan bahwa kerugian yang dialami oleh
Para Penggugat bukanlah kerugian yang bersifat langsung dialami oleh Para
Penggugat, melainkan kerugian yang dialami oleh Pihak Ketiga, sehingga dalil-dalil
kerugian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6
Perma Nomor 2/2019. Sehingga Para Tergugat menyatakan bahwa Para Penggugat
tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memiliki kerugian langsung.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menanggapi terkait dalil-dalil yang diajukan
oleh Para Penguggat dan Para Tergugat. Pertama, dalil terkait kedudukan hukum Hak
Gugat Organisasi. Majelis Hakim pada kasus tersebut menggunakan doktrin yang
dikemukakan oleh Profesor Christopher Stone yang memberikan hak kepada
organisasi dengan persyaratan tertentu untuk menjadi wali (guardian) bagi objek alam
yang bersifat inanimatif (tidak berbicara) untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
sebagaimana terdapat di dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
820/PDT.G/1998/PN.JKT.PST tanggal 7 Agustus 1989 yang kemudian diikuti putusan
pengadilan di lingkungan peradilan umum maupun di lingkungan peradilan tata usaha
negara. Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung melalui Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup juga menyatakan bahwa gugatan melalui
mekanisme hak gugat organisasi (legal standing) dapat diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Selanjutnya, Majelis Hakim pada kasus tersebut menarik kesimpulan terkait
keberlakuan hak gugat organisasi yang pada tuntutannya tidak mencantumkan adanya
tuntutan ganti rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil dan memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut dirikan
untuk kepentingan pengembangan bidang yang sesuai dengan maksud dan
tujuan pendiriannya; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya memuat
paling singkat dua tahun untuk bidang pelestarian lingkungan hidup, paling
singkat satu tahun untuk bidang pengelolaan sampah dan bidang perlindungan
konsumen tidak dibatasi jangka waktunya.
Jika dikaitkan dengan perkara tersebut, Majelis Hakim menyatakan bahwa Para
Penggugat memenuhi poin A dan B. Sedangkan untuk poin C, Majelis Hakim
melakukan penafsiran hukum dan elaborasi terhadap kasus yang ditanganinya di mana
menyimpulkan bahwa Para Penggugat memiliki kedudukan hukum karena gugatan
yang diajukan bertujuan untuk kepentingan perjuangan hak asasi manusia diantaranya
hak atas informasi termasuk hak-hak digital dan kebebasan pers.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 963

Kedua, dalil terkait kerugian yang dialami oleh Para Penggugat. Dalam
putusannya, Majelis Hakim mendasarkan pada doktrin terkait perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, yaitu:
a. Adanya perbuatan
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum
c. Adanya kesalahan
d. Adanya kerugian
e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan tersebut dengan kerugian yang
dialami.
Apabila dikaitkan dengan kasus tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa
berhubung kasus tersebut merupakan Hak Gugat Organisasi yang tidak
memperbolehkan adanya tuntutan ganti kerugian, dengan demikian terkait kerugian
tersebut harus dikesampingkan. Sehingga Majelis Hakim menyatakan bahwa kerugian
yang dialami oleh Para Pengugat tidak perlu dibuktikan karena Para Penggugat
menggunakan hak gugat organisasi.
b. Putusan No. 83/G/2010/PTUN-MDN
Putusan a quo merupakan salah satu putusan yang menarik untuk dianalisis
karena terdapat perluasan kedudukan hukum pihak yang mengajukan gugatan. Dalam
kasus tersebut, para pihak yang bersengketa adalah PT. Medco Geothermal Indonesia
selaku Penggugat melawan Bupati Mandailing Natal selaku Tergugat, Konsorsium PT.
Supraco Indonesia – The Tata Power Company LTD – Origin Energy LTD selaku
Tergugat II Intervensi-1 dan PT. Sorik Marapi Geothermal Power selaku Tergugat II
Intervensi-2 yang selanjutnya ketiganya disebut sebagai Turut Tergugat.
Pada kasus a quo yang menjadi objek gugatan adalah SK 540/1290/PU-
PE/2010, SK 600/516/K/2010, dan SK 540/525/K/2010 yang ketiganya berkaitan
dengan penetapan pemenang lelang Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi
Sorik Marapi –Roburan – Sampuraga Kabupaten Mandailing Natal dan Izin Usaha
Pertambangan Panas Bumi di Wilayah Kerja Sorik Merapi-Roburan-Sampuraga
Kabupaten Mandailing Natal.
Dalam gugatannya, Penggugat merupakan PT. Medco Geothermal Indonesia
yang berbentuk Konsorsium yang dirugikan atas Keputusan yang dikeluarkan oleh
Bupati Mandailing Natal. Kerugian tersebut timbul dikarenakan PT. Medco
Geothermal Indonesia selaku Peserta Lelang tidak ditetapkan sebagai Pemenang
Lelang, Padahal PT. Medco Geothermal Indonesia telah melakukan penawaran harga
yang paling rendah dan memenuhi seluruh persyaratan administrasi, teknis dan
keuangan.
Menanggapi hal tersebut, Turut Tergugat dalam jawabannya menyatakan bahwa
Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan tersebut. Hal
ini dikarenakan Penggugat yang merupakan sebuah Konsorsium yang terdiri dari
beberapa perusahaan, tidak hanya PT. Medco Geothermal Indonesia. Sehingga tidak
memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam Pasal 53 UU PTUN berkaitan dengan
subjek yang dapat mengajukan gugatan PTUN hanya sebatas orang atau badan hukum
perdata.
Ditambah lagi, Turut Tergugat menyatakan bahwa Konsorsium bukanlah
merupakan suatu penyandang hak dan kewajiban. Sebab, Konsorsium merupakan
perjanjian antara beberapa badan hukum untuk mengadakan usaha bersama, sehingga
yang memiliki hak dan kewajiban adalah badan hukum yang melakukan perjanjian,
bukan Konsorsium sebagai wadah untuk usaha bersama. Hukum Indonesia juga tidak
mengakui Konsorsium selaku badan hukum, di mana badan hukum di Indonesia hanya
964 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

sebatas Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi. Sehingga Konsorsium tidak


memiliki dasar kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan tersebut.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menanggapi terkait kedudukan hukum dari
sebuah Konsorsium. Menurut Majelis Hakim dalam perkara a quo, Konsorsium
tersebut memiliki kedudukan hukum yang berdampak terhadap diakuinya sebagai
Penggugat karena termasuk kategori badan usaha swasta, sehingga memenuhi unsur
sebagai Penggugat dalam perkara a quo. Dengan adanya Putusan ini, dapat
memperluas dan memperjelas terkait kedudukan hukum bagi Badan Hukum Perdata.
Namun, sayangnya tidak terdapat pertimbangan hukum yang cukup memadai
berkaitan dengan penjelasan mengenai kedudukan hukum konsorsium. Sehingga
putusan tersebut hanya menyatakan bahwa konsorsium diakui sebagai Badan Hukum
Perdata, tapi tidak diikuti dengan alasan, penjelasan dan pertimbangan konsorsium
tersebut diakui sebagai Badan Hukum Perdata.

3.2. Kedudukan Hukum (legal standing) dalam Hak Uji Materiil di Mahkamah
Agung
Hak uji materiil merupakan salah satu sarana warga negara untuk
memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia selain Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi dan Administrative Review di Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengaturan
tentang kedudukan hukum dalam hak uji materiil diatur di dalam Pasal 31A Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal a quo, suatu
permohonan hak uji materiil hanya dapat diajukan oleh:
1. Perorangan warga negara Indonesia;
Berdasarkan penjelasan Pasal 31A UU a quo, perorangan yang dimaksud adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama.
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang; atau
3. Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Jika melihat redaksi pasal diatas, maka terdapat empat pihak yang dapat
mengajukan permohonan hak uji materiil di Mahkamah Agung yaitu perorangan
warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik dan badan hukum
publik privat. Dengan ketentuan a quo, selain dari keempat pihak tersebut, tidak
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan hak uji materiil di
Mahkamah Agung.
Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang a quo juga mensyaratkan terkait ada nya
hak yang dirugikan dengan adanya keberlakuan peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang tersebut. Namun, tidak terdapat dalam penjelasan pasal a
quo terkait apa yang dimaksud terkait hak dirugikan tersebut. Sehingga terkait
penafsiran frasa “hak yang dirugikan” diserahkan kepada hakim yang menangani hak
uji materiil tersebut.
Adapun, peraturan perundang-undangan yang dapat diajukan dalam hak uji
materiil di Mahkamah Agung hanya dibatasi berupa peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang sebagaimana diatur di dalam Pasal
24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 31A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Menindaklanjuti ketentuan a quo, maka
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 965

tentang Hak Uji Materiil. Menurut Pasal 1 ayat (2) Perma a quo, peraturan perundang-
undangan ditafsirkan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum dibawah
undang-undang. Jika dikaitkan dengan kedudukan hukum, tentunya ketentuan a quo
akan memperluas kedudukan hukum para pihak di mana dapat mengajukan setiap
kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang selama
memenuhi salah satu dari empat pihak dan hak yang dirugikan tersebut.
Namun, terhadap Perma a quo timbul suatu permasalahan yaitu terkait
pembatasan terhadap pihak yang mengajukan hak uji materiil. Berdasarkan Pasal 1
ayat (4) Perma a quo, pemohon keberatan yang dapat mengajukan hak uji materiil
hanya sebatas kelompok masyarakat atau perorangan. Dengan ketentuan a quo,
terdapat suatu anomali hukum di mana di satu sisi terdapat perluasan kedudukan
hukum dalam hak uji materiil sementara di sisi lain terdapat pembatasan terhadap
pihak yang dapat diajukan hak uji materiil. Padahal, Pasal 31A Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung telah mengatur terkait pihak yang
dapat mengajukan hak uji materiil yaitu perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat,
badan hukum publik dan badan hukum privat. Tentunya, ketentuan Pasal 1 ayat (4)
Perma a quo telah membatasi terkait pihak yang dapat mengajukan permohonan hak
uji materiil tersebut.
Untuk melihat bagaimana pelaksanaan kedudukan hukum dalam hak uji materiil
di Mahkamah Agung, maka berikut analisis terhadap dua putusan sebagai bahan untuk
melihat perkembangan kedudukan hukum.
a. Putusan Nomor 62P/HUM/2013
Putusan a quo merupakan putusan yang monumental dalam hak uji materiil di
Mahkamah Agung karena menjadi acuan dalam menyelesaikan hak uji materiil di
Mahkamah Agung. Dalam kasus a quo, pertama kali terdapat suatu penafsiran hukum
tentang frasa “hak yang dirugikan dengan keberlakuan suatu peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang”. Sebab, sebelumnya tidak terdapat suatu
penafsiran terkait apa yang dimaksudkan dari hak yang dirugikan tersebut.
Dalam kasus tersebut, para pihak dalam permohonan hak uji materiil tersebut
adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon melawan Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut sebagai Termohon. Adapun, objek yang diajukan hak uji materiil
adalah Pasal 1 angka 5, Pasal 28, dan Pasal 29 Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.20/Menhut-II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, serta Pasal
37 dan Pasal 38 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang
Izin Pemanfaatan Kayu.
Pada permohonannya, Pemohon merupakan suatu Badan Hukum Privat yang
bergerak di bidang Industri Kelapa Sawit di Indonesia yang dirugikan hak
konstitutionalitasnya atas keberlakuan dari beberapa pasal yang ada di Peraturan
Menteri Kehutanan tersebut. Kerugian ini timbul dikarenakan adanya kewajiban
pembayaran nilai tegakan yang wajib dibayar oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU)
dan pelepasan kawasan hutan. Kewajiban pembayaran nilai tegakan tersebut dianggap
sebagai salah satu jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang wajib dibayar
oleh Pemohon di mana ketentuan tersebut terlalu prematur menurut Pemohon karena
undang-undang maupun peraturan pemerintah yang mengatur PNBP belum mengatur
tentang kewajiban pembayaran nilai tegakan sebagai salah satu jenis PNBP.
Menanggapi hal tersebut, Termohon dalam jawabannya mengatakan bahwa dalil
Pemohon terkait hak konstitutionalitasnya telah dilanggar merupakan suatu dalil yang
966 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

tidak berdasarkan hukum, karena pengertian hak konstitusional adanya dalam


pelanggaran norma undang-undang terhadap norma UUD NRI Tahun 1945.
Sedangkan, permohonan hak uji materiil a quo, quad non terdapat kerugian pada diri
Pemohon tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian sehingga tidak memiliki
kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan hak uji materiil tersebut.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pemohon memiliki
kedudukan dalam mengajukan permohonan hak uji materiil. Hal ini didasarkan dengan
beberapa alasan. Pertama, GAPKI merupakan badan atau organisasi yang berisi
sekumpulan orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama, dan dengan
tujuan untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan yang sama, melalui hak dan
kewajibannya mereka sebagai pribadi untuk hal-hal tertentu yang diserahkan
sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban badan hukum yang bersangkutan. Badan
hukum mana baik organisasi maupun strukturnya dikuasai oleh hukum privat,
sehingga Pemohon dapat dikatakan sebagai badan hukum privat. Kedua, dengan
adanya kewajiban berkaitan penggatian nilai tegakan tersebut, maka terdapat
hubungan sebab dan akibat antara kewajiban yang dibebankan kepada Pemohon dan
kerugian yang dialami oleh Pemohon (causal verband). Apabila permohonan yang
bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang bersangkutan memang dapat
dipulihkan kembali dengan dibatalkannya objek permohonan hak uji materiil
dimaksud.
Ketiga, kewajiban pembayaran PNBP berupa pungutan nilai tegakan tersebut
sebagaimana terdapat di Peraturan Menteri Kehutanan telah bertentangan dengan Pasal
23A UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 tahun 1997 karena suatu kewajiban dan pungutan yang bersifat memaksa
harus ditetapkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah, tidak
diperbolehkan selain dari kedua produk hukum tersebut. Ditambah lagi, pungutan nilai
tegakan tersebut tidak tercantuk sebagai kewajiban yang harus dibayar dalam undang-
undang maupun peraturan pemerintah yang telah ditetapkan dalam Lampiran II A
angka 9 jenis-jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kehutanan Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998
tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Lampiran
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan khususnya tidak
mencantumkan hal tersebut.
Dari beberapa pertimbangan hukum yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim pada
kasus a quo, Penulis menyimpulkan bahwa harus terdapat lima unsur agar terpenuhi
kedudukan hukum yang berkaitan dengan adanya kerugian yang dilanggar. Pertama,
adanya suatu hak yang diberikan oleh suatu Undang-Undang. Kedua, hak tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang hendak
diuji. Ketiga, kerugian tersebut bersifat spesifik dan aktual. Keempat, adanya
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya suatu
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang hendak diuji. Kelima,
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi. Menurut Penulis, dengan adanya putusan
tersebut dapat mempermudah dalam menentukan suatu Pemohon apakah memiliki
kedudukan hukum dan kerugian yang dilanggar atau tidak. Sebab, selama ini belum
ada suatu penafsiran yang jelas berkaitan dengan kedudukan hukum beserta kerugian
yang dilanggar tersebut. Sehingga tidak ada aturan yang rigid yang mempersulit bagi
Pemohon dalam menyusun argumentasi dalam Permohonannya serta Hakim dalam
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 967

menentukan apakah suatu Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam suatu hak uji
materiil. Dengan adanya kelima unsur tersebut, maka terdapat suatu penafsiran yang
jelas dan pasti berkaitan dengan kerugian yang dilanggar. Tentunya, kelima unsur
tersebut masih bersifat abstrak sehingga harus disesuaikan dengan argumentasi
Pemohon oleh Majelis Hakim dalam menentukan apakah suatu Pemohon memiliki
kedudukan hukum atau tidak.
b. Putusan Nomor 84P/HUM/2019
Putusan a quo merupakan salah satu putusan yang menarik untuk dikaji
berkaitan dengan kedudukan hukum Badan Hukum Privat yang berbentuk Perseroan
Terbatas, Direksi atau Direktur untuk mewakili kepentingan hukum Perseroan
Terbatas dan memberikan dasar argumentasi hukum pada pengujian terhadap lampiran
yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah. Dalam kasus tersebut, para pihak dalam
permohonan hak uji materiil adalah PT. Prima Utama Mitra Anda yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon melawan Presiden Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut sebagai Termohon.
Adapun, objek yang diajukan permohonan hak uji materiil adalah Lampiran
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 102, Angka Romawi I. Jasa
Transportasi Darat, Huruf C. Jasa Pengujian Kendaraan Bermotor, Angka 6. Pengujian
Tipe Rancang Bangun Kendaraan Bermotor, Huruf c. mobil barang atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Per Surat Pengesahan Rancang Bangun dan
Rekayasa Kendaraan Bermotor (SKRB), dan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor
15 Tahun 2016 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 102 Angka Romawi I. Jasa Transportasi Darat, Huruf C. Jasa
Pengujian Kendaraan Bermotor, Angka 6. Pengujian Tipe Rancang Bangun
Kendaraan Bermotor, Huruf C. mobil barang dan Angka Romawi I. Jasa Transportasi
Darat, Huruf c. Jasa Pengujian Kendaraan Bermotor Angka 7. Penerbitan Sertifikat
Registrasi Uji Tipe, Huruf a. Mobil bus, dan mobil barang, kendaraan khusus, kereta
tempelan dan kereta gandingan atas Tarif Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP).
Pada permohonannya, Pemohon merupakan suatu Perseroan Terbatas yang
bergerak di bidang Jasa Transportasi Darat telah dirugikan berlakunya objek
permohonan tersebut. Hal ini dikarenakan objek permohonan tersebut mengakibatkan
naiknya Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Per Surat Pengesahan Rancang
Bangun dan Rekayasa yang mana tidak hanya berdampak kepada Pemohon, namun
juga berdampak kepada Asosisasi Karoseri Indonesia Provinsi DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
Menanggapi hal tersebut, Termohon dalam jawabannya menyatakan bahwa
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan hak uji
materiil dengan alasan sebagai berikut. Pertama, Pemohon tidak mampu membuktikan
kewenangan direktur untuk mewakili. Kedua, Pemohon tidak mampu membuktikan
kerugian yang diperolehnya. Ketiga, objek yang diajukan permohonan hak uji materiil
bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan permohonan hak uji materiil
sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal
31A ayat (1) UU No 3 Tahun 2009 jo. Pasal 1 angka (1) Perma No 1 Tahun 2011.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pemohon memiliki
kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan hak uji materiil. Hal ini didasarkan
968 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

pada beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, terkait kedudukan hukum sebagai
Perseroan Terbatas dan Direktur dalam kapasitasnya untuk mewakili Perseroan
Terbatas tersebut. Menurut Majelis Hakim, Perseroan Terbatas tersebut memiliki
kualifikasi sebagai Badan Hukum Privat dengan dibuktikan Akta Pendirian Perseroan
Terbatas tertanggal 28 Januari 2002 Nomor 38 yang dibuat oleh/dan dihadapan
Fulgensius Jimmy selaku Notaris dan telah disahkan oleh Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia RI Nomor: C-05576.HT.01.01.TH.2002. Berkaitan dengan
kedudukan hukum Direktur selaku mewakili kepentingan hukum Perseroan Terbatas
dapat dibuktikan di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang
menyatakan bahwa Direktur berhak mewakili kepentingan hukum Perseroan Terbatas.
Kedua, terkait kerugian yang dialami oleh Pemohon. Majelis Hakim menyatakan
bahwa terdapat kerugian yang dialami oleh Pemohon karena Pemohon merupakan
suatu perusahaan yang bergerak di bidang kegiatan usaha bidang Perindustrian
Karoseri untuk mobil angkutan barang, khususnya membuat Bak Muatan Tertutup
(Box) Mobil Barang, menggunakan bahan aluminium dan bahan besi, dalam
menjalankan kegiatan usaha Karoseri, serta menyatakan keberatan atas kenaikan Tarif
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 27.900% dari tarif sebelumnya.
Sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum
dalam mengajukan permohonan hak uji materiil tersebut. Ketiga, terkait objek
permohonan hak uji materiil yang diajukan. Majelis Hakim menyatakan bahwa objek
permohonan hak uji materiil tersebut merupakan kewenangannya sebagaimana telah
diatur di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 31A ayat (1) UU
No 3 Tahun 2009 jo. Pasal 1 angka (1) Perma No 1 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan
suatu lampiran yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan merupakan
suatu kesatuan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Ditambah lagi, tanpa
adanya suatu lampiran tersebut, maka peraturan perundang-undangan tersebut akan
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya karena lampiran tersebut menjadi
pengaturan teknis dalam suatu pengaturan yang terdapat di peraturan perundang-
undangan tersebut.

IV. KESIMPULAN

Dalam konteks negara hukum, kedudukan hukum merupakan salah satu aspek
yang harus dijamin karena berkaitan erat dengan sarana perlindungan hukum warga
negara terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah baik yang bersifat umum
maupun kongkrit. Indonesia sebagai negara yang menganut negara hukum telah
memberikan sarana perlindungan hukum salah satunya melalui Mahkamah Agung dan
Pengadilan Tata Usaha Negara beserta persyaratan terkait kedudukan hukum bagi
warga negaranya.
Pada pelaksanaannya, terdapat beberapa perubahan terhadap ketentuan yang
mengatur terkait kedudukan hukum bagi warga negara tersebut. Hal ini mengakibatkan
timbulnya suatu inkonsistensi dalam konteks kedudukan hukum disatu sisi
memberikan perluasan akses terhadap warga negara berdasarkan ketentuan kedudukan
hukum yang bersifat longgar untuk melindungi hak-hak nya sebagai warga negara
melalui Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara, namun di sisi lain
memberikan ketentuan yang membatasi kedudukan hukum warga negara untuk
mengajukan gugatan terhadap perbuatan hukum pemerintah melalui dua sarana
tersebut. Ditambah lagi, pada pelaksanaannya timbul kesulitan bagi hakim untuk
menentukan apakah warga negara tersebut memiliki kedudukan hukum atau tidak
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 969

karena inkonsistensi tersebut. Akibatnya, peran hakim disini menjadi penting sebagai
memberikan penafsiran hukum terhadap kedudukan hukum warga negara tersebut.
Beberapa putusan yang dianalisis dalam studi ini menunjukkan terdapat
perkembangan dari kedudukan hukum dalam pengujian administratif di Pengadilan
Tata Usaha Negara dan uji materi di Mahkamah Agung. Kedudukan hukum disini
tidak hanya ditafsirkan secara expresif verbiis sebagaimana yang diatur dalam hukum
positif di Indonesia, namun dapat dikontekstualisasikan oleh Hakim melalui
putusannya terhadap kedudukan hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Agung.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Jimly Asshidiqqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Jimly Ashidiqqie, 2010, Perihal Undang-Undang, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, 2018, Era Baru Peradilan
Modern Berbasis Teknologi Informasi: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI
2018, MARI, Jakarta.
Mahfud MD dan SF Marbun, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT
Liberty, Yogyakarta.
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, PT Kanisius, Yogyakarta.
M. Ali Abdullah, 2015, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Pasca Amandemen, PT Kencana, Jakarta.
Mukti Fajar dan Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, PT Kencana, Jakarta.
Philipus Hadjon, 1989, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu,
Surabaya.
Ranjit Kumar, 1999, Research Methodology: a Step-by-Step Guide for Beginners,
Addison Wedley Longman Australia Pty. Limited, Melbourne.
Soedikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Liberty,
Yogyakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta
Jurnal
Anna Triningsih, “Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam
Penyelenggaraan Negara”, Vol 13, No 1, Maret, 2016.
Laica Marzuki, “Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi
Indonesia”, Vol 1, No 3, November, 2004.
Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam Sistem Peraturan
Perundangan-Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol 7, No 5, Mei, 2010.
Moch Iqbal, “Aspek Hukum Class Action dan Citizen Law Suit Serta
Perkembangannya di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan”, Vol 1, No 1,
Maret, 2012.
970 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021

Tri Cahya Indra Permana, “Peradilan TUN Pasca UU Administasi Pemerintahan


Ditinjau dari Access To Justice”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 3,
November, 2015.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 292) (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 03) (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4958)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 35) (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4380)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986, Nomor 77) (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 84P/HUM/2019 Perihal Permohonan Hak Uji
Materi Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Jenis
dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada
Kementerian Perhubungan dan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2016 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan, 4 November 2019.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 62P/HUM/2013 Perihal Permohonan Hak Uji
Materi Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menhut-
II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu dan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, 18
November 2013.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT
Perihal Gugatan Perkara Aliansi Jurnalis Independen dan Pembela Kebebasan
Bereskpresi Asia Tenggara (SAFEnet), 21 November 2019.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor 83/G/2010/PTUN-MDN
Perihal Gugatan Perkara PT. Medco Geothermal Indonesia, 17 Mei 2010

You might also like