Professional Documents
Culture Documents
12-30-2021
Jery Hasinanda
Faculty of Law Universitas Gadjah Mada, jeryhasinanda@gmail.com
Part of the Administrative Law Commons, and the Constitutional Law Commons
Recommended Citation
Madril, Oce and Hasinanda, Jery (2021) "PERKEMBANGAN KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
DALAM PENGUJIAN ADMINISTRATIF DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UJI MATERI DI
MAHKAMAH AGUNG," Jurnal Hukum & Pembangunan: Vol. 51: No. 4, Article 7.
DOI: 10.21143/jhp.vol51.no4.3296
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol51/iss4/7
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Jurnal Hukum & Pembangunan by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 4 (2021): 952-970
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
Legal standing is one of the most important aspect accordance citizen legal protection
from government act which is general or concrete . In implementation at Indonesia,
there are many changes in the legal standing rule. Nevertheless, this changes of rule is
considered not to clarify related legal standing aspect that has impact to citizen who
are having trouble for access to justice through Administratif Judicial at Administratif
Court and Judicial Review at Supreme Court. Plus, the emergence of many judge
decision from Administrative Court and Supreme Court Judge that sometimes
expanding the meaning of legal standing, but sometimes restricting the meaning of
legal standing.
Keywords: Legal Standing, Administratif Judicial, Judicial Review, and Citizen Legal
Protection.
Abstrak
Kedudukan hukum merupakan salah satu aspek yang penting berkaitan dengan
perlindungan hukum warga negara atas perbuatan baik yang bersifat kongkrit ataupun
umum yang dilakukan oleh Pemerintah. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, terdapat
banyak perubahan ketentuan yang mengatur terkait kedudukan hukum tersebut.
Namun, perubahan ketentuan a quo dianggap tidak memberikan ketentuan yang rigid
terkait aspek kedudukan hukum yang berdampak terhadap warga negara yang
mengalami kesulitan untuk access to justice melalui Pengujian Administratif di
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hak Uji Materi di Mahkamah Agung. Ditambah
lagi, munculnya putusan-putusan dari Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Agung yang kadang-kala memperluas pemaknaan kedudukan hukum, akan
tetapi di sisi lain juga tidak jarang mempersempit pemaknaan kedudukan hukum.
Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Pengujian Administratif, Hak Uji Materi, dan
Perlindungan Hukum Warga Negara.
I. PENDAHULUAN
1
Mahfud MD dan SF Marbun, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: PT
Liberty, 2009), hlm. 23.
2
Jimly Asshidiqqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2005), hlm. 15.
3
Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
1989), hlm. 24.
4
Moch Iqbal, Aspek Hukum Class Action dan Citizen Law Suit Serta Perkembangannya di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol 1 (1), 2012, hlm. 91
5
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: PT Liberty, 2006),
hlm. 21.
954 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021
bukanlah setiap kepentingan, akan tetapi kepentingan hukum secara langsung, yaitu
kepentingan yang dilandasi dengan adanya hubungan hukum yang timbul dan dampak
yang timbul atas hubungan hukum tersebut. 6 Hal ini bertujuan agar mempermudah
pengadilan dalam menentukan atau mengkualifikasi warga negara yang merasa hak
dan kepentingannya dilanggar.7
Adapun, pengaturan terkait kedudukan hukum untuk pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang atau Hak Uji Materiil di Mahkamah
Agung dan pengujian perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pengujian
Administratif di PTUN yang merupakan kamar dibawah Mahkamah Agung diatur
secara berbeda. Kedudukan hukum terkait Hak Uji Materiil diatur di dalam Undang-
Undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam Pasal 31 A
UU a quo, permohonan hak uji materiil hanya dapat dilakukan oleh perorangan,
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan Negara Kestuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang, badan hukum publik atau privat yang merasa haknya dirugikan oleh
keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.
Menindaklanjuti hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan suatu Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Dalam Perma a
quo, Mahkamah Agung mengatur pihak yang dapat mengajukan permohonan hak uji
materiil berupa perorangan atau kelompok masyarakat yang merasa keberatan atas
berlakunya suatu perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
Dalam praktiknya, timbul permasalahan dalam hak uji materiil berupa
ketidakjelasan dalam kedudukan hukum. Ketidakjelasan ini timbul karena Peraturan
Mahkamah Agung tersebut yang membatasi pihak yang dapat mengajukan
permohonan keberatan atau hak uji materiil di Mahkamah Agung. Dampaknya, Badan
Hukum Publik atau Privat yang merasa haknya dilanggar atas keberlakuan suatu
peraturan perundang-undangan ditolak permohonan nya oleh Mahkamah Agung
karena tidak memenuhi kedudukan hukum sebagai pemohon keberatan. Ditambah
lagi, tidak ada pengaturan yang jelas terkait kerugian apa yang dilanggar oleh
peraturan perundang-undangan tersebut. Akibatnya, para pihak yang merasa hak nya
dilanggar atas keberlakuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
dapat dikualifisir sebagai pemohon keberatan selama merupakan orang atau kelompok
masyarakat. Berbeda dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi mensyaratkan
adanya kerugian konstitusional. Hal ini diatur di dalam Pasal 51 UU Mahkamah
Konstitusi berupa adanya hak atau wewenang konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945, hak/wewenang konstitusional pemohon telah dirugikan oleh undang-undang
yang diajukan, kerugian tersebut harus bersifat khusus dan actual atau paling tidak
bersifat potensial yang menurut penalarannya wajar dapat dipastikan terjadi, harus ada
hubungan sebab akibat antara undang-undang dan kerugian dan terdapat kemungkinan
bahwa jika permohonan dikabulkan, kerugian yang menimpa pemohon tidak terjadi
lagi.8 Ketiadaan ketentuan terkait hal ini di Mahkamah Agung berdampak terhadap
ketidakjelasan ketentuan terkait kedudukan hukum dalam hak uji materiil. Akibatnya,
timbul kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam hal tersebut.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Laica Marzuki, Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 1 (3),
2004, hlm.4.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 955
9
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Era Baru Peradilan Modern Berbasis
Teknologi Informasi: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2018, (Jakarta: MARI, 2018), hlm. 78.
10
Azizah, Sepanjang MA RI Berdiri, Tahun 2019 adalah Rekor Terbaik Pencapaian
Penyelesaian Perkara, www.mahkamahagung.go.id/berita/3943/sepanjang-ma-ri-berdiri-tahun-2019-
adalah-rekor-pencapaian-penyelesaian-perkara, diakses pada 09 Mei 2020.
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Kencana, 2011), Hlm 25.
956 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021
III. PEMBAHASAN
Kedudukan hukum merupakan suatu hal yang penting dalam negara hukum.
Sebab, kedudukan hukum menjadi dasar atau landasan bagi warga negara untuk
melindungi dan memperjuangkan hak-hak nya yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Hal ini dikarenakan tanpa adanya kedudukan hukum, warga negara tidak
memiliki dasar untuk memperjuangkan hak-haknya melalui institusi pengadilan yang
ada di Indonesia.
12
Ibid., hlm. 181.
13
Ranjit Kumar, 1999, Research Methodology: a Step-by-Step Guide for Beginners. (Melbourne:
Addison Wedley Longman Australia Pty. Limited, 1999), hlm. 104
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 957
14
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT
Pustaka Sinar Harapan, 1993) Hlm. 37.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 959
18
Ibid.
19
Ibid.
20
M. Ali Abdullah, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca
Amandemen, (Jakarta: PT Kencana, 2015), hlm. 38.
960 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021
21
Ibid.
22
Tri Cahya Indra Permana, Peradilan TUN Pasca UU Administasi Pemerintahan Ditinjau Dari
Segi Access To Justice, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 (3), 2015, Hlm. 8.
23
Ibid.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 961
PTUN tidak mengenal hak gugat organisasi. Penulis tidak setuju dengan argumentasi
yang dibangun oleh Para Tergugat. Sebab, hak gugat organisasi telah diakui dan
digunakan dalam kasus-kasus dalam ranah bidang TUN. Selain itu, perkara
lingkungan hidup juga merupakan kompetensi absolut dari PTUN sebagaimana diatur
di dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga asas-asas, teori dan praktik-praktik yang
berlaku dalam perkara tersebut juga berlaku dalam perkara lain dalam ranah
kompetensi absolut PTUN apabila berkaitan dan berkesesuaian secara hukum. Dengan
demikian, Penulis berpendapat bahwa hak gugat organisasi dapat diterapkan juga
dalam kasus selain lingkungan hidup dan perlindungan konsumen di PTUN.
Selain itu, Para Tergugat juga menanggapi dalil terkait kerugian Para Penggugat.
Dalam jawabannya, Para Tergugat menyatakan bahwa kerugian yang dialami oleh
Para Penggugat bukanlah kerugian yang bersifat langsung dialami oleh Para
Penggugat, melainkan kerugian yang dialami oleh Pihak Ketiga, sehingga dalil-dalil
kerugian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6
Perma Nomor 2/2019. Sehingga Para Tergugat menyatakan bahwa Para Penggugat
tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memiliki kerugian langsung.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menanggapi terkait dalil-dalil yang diajukan
oleh Para Penguggat dan Para Tergugat. Pertama, dalil terkait kedudukan hukum Hak
Gugat Organisasi. Majelis Hakim pada kasus tersebut menggunakan doktrin yang
dikemukakan oleh Profesor Christopher Stone yang memberikan hak kepada
organisasi dengan persyaratan tertentu untuk menjadi wali (guardian) bagi objek alam
yang bersifat inanimatif (tidak berbicara) untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
sebagaimana terdapat di dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
820/PDT.G/1998/PN.JKT.PST tanggal 7 Agustus 1989 yang kemudian diikuti putusan
pengadilan di lingkungan peradilan umum maupun di lingkungan peradilan tata usaha
negara. Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung melalui Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup juga menyatakan bahwa gugatan melalui
mekanisme hak gugat organisasi (legal standing) dapat diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Selanjutnya, Majelis Hakim pada kasus tersebut menarik kesimpulan terkait
keberlakuan hak gugat organisasi yang pada tuntutannya tidak mencantumkan adanya
tuntutan ganti rugi kecuali biaya atau pengeluaran riil dan memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut dirikan
untuk kepentingan pengembangan bidang yang sesuai dengan maksud dan
tujuan pendiriannya; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya memuat
paling singkat dua tahun untuk bidang pelestarian lingkungan hidup, paling
singkat satu tahun untuk bidang pengelolaan sampah dan bidang perlindungan
konsumen tidak dibatasi jangka waktunya.
Jika dikaitkan dengan perkara tersebut, Majelis Hakim menyatakan bahwa Para
Penggugat memenuhi poin A dan B. Sedangkan untuk poin C, Majelis Hakim
melakukan penafsiran hukum dan elaborasi terhadap kasus yang ditanganinya di mana
menyimpulkan bahwa Para Penggugat memiliki kedudukan hukum karena gugatan
yang diajukan bertujuan untuk kepentingan perjuangan hak asasi manusia diantaranya
hak atas informasi termasuk hak-hak digital dan kebebasan pers.
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 963
Kedua, dalil terkait kerugian yang dialami oleh Para Penggugat. Dalam
putusannya, Majelis Hakim mendasarkan pada doktrin terkait perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, yaitu:
a. Adanya perbuatan
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum
c. Adanya kesalahan
d. Adanya kerugian
e. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan tersebut dengan kerugian yang
dialami.
Apabila dikaitkan dengan kasus tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa
berhubung kasus tersebut merupakan Hak Gugat Organisasi yang tidak
memperbolehkan adanya tuntutan ganti kerugian, dengan demikian terkait kerugian
tersebut harus dikesampingkan. Sehingga Majelis Hakim menyatakan bahwa kerugian
yang dialami oleh Para Pengugat tidak perlu dibuktikan karena Para Penggugat
menggunakan hak gugat organisasi.
b. Putusan No. 83/G/2010/PTUN-MDN
Putusan a quo merupakan salah satu putusan yang menarik untuk dianalisis
karena terdapat perluasan kedudukan hukum pihak yang mengajukan gugatan. Dalam
kasus tersebut, para pihak yang bersengketa adalah PT. Medco Geothermal Indonesia
selaku Penggugat melawan Bupati Mandailing Natal selaku Tergugat, Konsorsium PT.
Supraco Indonesia – The Tata Power Company LTD – Origin Energy LTD selaku
Tergugat II Intervensi-1 dan PT. Sorik Marapi Geothermal Power selaku Tergugat II
Intervensi-2 yang selanjutnya ketiganya disebut sebagai Turut Tergugat.
Pada kasus a quo yang menjadi objek gugatan adalah SK 540/1290/PU-
PE/2010, SK 600/516/K/2010, dan SK 540/525/K/2010 yang ketiganya berkaitan
dengan penetapan pemenang lelang Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi
Sorik Marapi –Roburan – Sampuraga Kabupaten Mandailing Natal dan Izin Usaha
Pertambangan Panas Bumi di Wilayah Kerja Sorik Merapi-Roburan-Sampuraga
Kabupaten Mandailing Natal.
Dalam gugatannya, Penggugat merupakan PT. Medco Geothermal Indonesia
yang berbentuk Konsorsium yang dirugikan atas Keputusan yang dikeluarkan oleh
Bupati Mandailing Natal. Kerugian tersebut timbul dikarenakan PT. Medco
Geothermal Indonesia selaku Peserta Lelang tidak ditetapkan sebagai Pemenang
Lelang, Padahal PT. Medco Geothermal Indonesia telah melakukan penawaran harga
yang paling rendah dan memenuhi seluruh persyaratan administrasi, teknis dan
keuangan.
Menanggapi hal tersebut, Turut Tergugat dalam jawabannya menyatakan bahwa
Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan tersebut. Hal
ini dikarenakan Penggugat yang merupakan sebuah Konsorsium yang terdiri dari
beberapa perusahaan, tidak hanya PT. Medco Geothermal Indonesia. Sehingga tidak
memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam Pasal 53 UU PTUN berkaitan dengan
subjek yang dapat mengajukan gugatan PTUN hanya sebatas orang atau badan hukum
perdata.
Ditambah lagi, Turut Tergugat menyatakan bahwa Konsorsium bukanlah
merupakan suatu penyandang hak dan kewajiban. Sebab, Konsorsium merupakan
perjanjian antara beberapa badan hukum untuk mengadakan usaha bersama, sehingga
yang memiliki hak dan kewajiban adalah badan hukum yang melakukan perjanjian,
bukan Konsorsium sebagai wadah untuk usaha bersama. Hukum Indonesia juga tidak
mengakui Konsorsium selaku badan hukum, di mana badan hukum di Indonesia hanya
964 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021
3.2. Kedudukan Hukum (legal standing) dalam Hak Uji Materiil di Mahkamah
Agung
Hak uji materiil merupakan salah satu sarana warga negara untuk
memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia selain Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi dan Administrative Review di Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengaturan
tentang kedudukan hukum dalam hak uji materiil diatur di dalam Pasal 31A Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal a quo, suatu
permohonan hak uji materiil hanya dapat diajukan oleh:
1. Perorangan warga negara Indonesia;
Berdasarkan penjelasan Pasal 31A UU a quo, perorangan yang dimaksud adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama.
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang; atau
3. Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Jika melihat redaksi pasal diatas, maka terdapat empat pihak yang dapat
mengajukan permohonan hak uji materiil di Mahkamah Agung yaitu perorangan
warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan hukum publik dan badan hukum
publik privat. Dengan ketentuan a quo, selain dari keempat pihak tersebut, tidak
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan hak uji materiil di
Mahkamah Agung.
Selain itu, Pasal 31 Undang-Undang a quo juga mensyaratkan terkait ada nya
hak yang dirugikan dengan adanya keberlakuan peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang tersebut. Namun, tidak terdapat dalam penjelasan pasal a
quo terkait apa yang dimaksud terkait hak dirugikan tersebut. Sehingga terkait
penafsiran frasa “hak yang dirugikan” diserahkan kepada hakim yang menangani hak
uji materiil tersebut.
Adapun, peraturan perundang-undangan yang dapat diajukan dalam hak uji
materiil di Mahkamah Agung hanya dibatasi berupa peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang sebagaimana diatur di dalam Pasal
24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 31A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Menindaklanjuti ketentuan a quo, maka
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 965
tentang Hak Uji Materiil. Menurut Pasal 1 ayat (2) Perma a quo, peraturan perundang-
undangan ditafsirkan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum dibawah
undang-undang. Jika dikaitkan dengan kedudukan hukum, tentunya ketentuan a quo
akan memperluas kedudukan hukum para pihak di mana dapat mengajukan setiap
kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang selama
memenuhi salah satu dari empat pihak dan hak yang dirugikan tersebut.
Namun, terhadap Perma a quo timbul suatu permasalahan yaitu terkait
pembatasan terhadap pihak yang mengajukan hak uji materiil. Berdasarkan Pasal 1
ayat (4) Perma a quo, pemohon keberatan yang dapat mengajukan hak uji materiil
hanya sebatas kelompok masyarakat atau perorangan. Dengan ketentuan a quo,
terdapat suatu anomali hukum di mana di satu sisi terdapat perluasan kedudukan
hukum dalam hak uji materiil sementara di sisi lain terdapat pembatasan terhadap
pihak yang dapat diajukan hak uji materiil. Padahal, Pasal 31A Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung telah mengatur terkait pihak yang
dapat mengajukan hak uji materiil yaitu perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat,
badan hukum publik dan badan hukum privat. Tentunya, ketentuan Pasal 1 ayat (4)
Perma a quo telah membatasi terkait pihak yang dapat mengajukan permohonan hak
uji materiil tersebut.
Untuk melihat bagaimana pelaksanaan kedudukan hukum dalam hak uji materiil
di Mahkamah Agung, maka berikut analisis terhadap dua putusan sebagai bahan untuk
melihat perkembangan kedudukan hukum.
a. Putusan Nomor 62P/HUM/2013
Putusan a quo merupakan putusan yang monumental dalam hak uji materiil di
Mahkamah Agung karena menjadi acuan dalam menyelesaikan hak uji materiil di
Mahkamah Agung. Dalam kasus a quo, pertama kali terdapat suatu penafsiran hukum
tentang frasa “hak yang dirugikan dengan keberlakuan suatu peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang”. Sebab, sebelumnya tidak terdapat suatu
penafsiran terkait apa yang dimaksudkan dari hak yang dirugikan tersebut.
Dalam kasus tersebut, para pihak dalam permohonan hak uji materiil tersebut
adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon melawan Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut sebagai Termohon. Adapun, objek yang diajukan hak uji materiil
adalah Pasal 1 angka 5, Pasal 28, dan Pasal 29 Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.20/Menhut-II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, serta Pasal
37 dan Pasal 38 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang
Izin Pemanfaatan Kayu.
Pada permohonannya, Pemohon merupakan suatu Badan Hukum Privat yang
bergerak di bidang Industri Kelapa Sawit di Indonesia yang dirugikan hak
konstitutionalitasnya atas keberlakuan dari beberapa pasal yang ada di Peraturan
Menteri Kehutanan tersebut. Kerugian ini timbul dikarenakan adanya kewajiban
pembayaran nilai tegakan yang wajib dibayar oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU)
dan pelepasan kawasan hutan. Kewajiban pembayaran nilai tegakan tersebut dianggap
sebagai salah satu jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang wajib dibayar
oleh Pemohon di mana ketentuan tersebut terlalu prematur menurut Pemohon karena
undang-undang maupun peraturan pemerintah yang mengatur PNBP belum mengatur
tentang kewajiban pembayaran nilai tegakan sebagai salah satu jenis PNBP.
Menanggapi hal tersebut, Termohon dalam jawabannya mengatakan bahwa dalil
Pemohon terkait hak konstitutionalitasnya telah dilanggar merupakan suatu dalil yang
966 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021
menentukan apakah suatu Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam suatu hak uji
materiil. Dengan adanya kelima unsur tersebut, maka terdapat suatu penafsiran yang
jelas dan pasti berkaitan dengan kerugian yang dilanggar. Tentunya, kelima unsur
tersebut masih bersifat abstrak sehingga harus disesuaikan dengan argumentasi
Pemohon oleh Majelis Hakim dalam menentukan apakah suatu Pemohon memiliki
kedudukan hukum atau tidak.
b. Putusan Nomor 84P/HUM/2019
Putusan a quo merupakan salah satu putusan yang menarik untuk dikaji
berkaitan dengan kedudukan hukum Badan Hukum Privat yang berbentuk Perseroan
Terbatas, Direksi atau Direktur untuk mewakili kepentingan hukum Perseroan
Terbatas dan memberikan dasar argumentasi hukum pada pengujian terhadap lampiran
yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah. Dalam kasus tersebut, para pihak dalam
permohonan hak uji materiil adalah PT. Prima Utama Mitra Anda yang selanjutnya
disebut sebagai Pemohon melawan Presiden Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut sebagai Termohon.
Adapun, objek yang diajukan permohonan hak uji materiil adalah Lampiran
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 102, Angka Romawi I. Jasa
Transportasi Darat, Huruf C. Jasa Pengujian Kendaraan Bermotor, Angka 6. Pengujian
Tipe Rancang Bangun Kendaraan Bermotor, Huruf c. mobil barang atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Per Surat Pengesahan Rancang Bangun dan
Rekayasa Kendaraan Bermotor (SKRB), dan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor
15 Tahun 2016 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 102 Angka Romawi I. Jasa Transportasi Darat, Huruf C. Jasa
Pengujian Kendaraan Bermotor, Angka 6. Pengujian Tipe Rancang Bangun
Kendaraan Bermotor, Huruf C. mobil barang dan Angka Romawi I. Jasa Transportasi
Darat, Huruf c. Jasa Pengujian Kendaraan Bermotor Angka 7. Penerbitan Sertifikat
Registrasi Uji Tipe, Huruf a. Mobil bus, dan mobil barang, kendaraan khusus, kereta
tempelan dan kereta gandingan atas Tarif Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP).
Pada permohonannya, Pemohon merupakan suatu Perseroan Terbatas yang
bergerak di bidang Jasa Transportasi Darat telah dirugikan berlakunya objek
permohonan tersebut. Hal ini dikarenakan objek permohonan tersebut mengakibatkan
naiknya Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Per Surat Pengesahan Rancang
Bangun dan Rekayasa yang mana tidak hanya berdampak kepada Pemohon, namun
juga berdampak kepada Asosisasi Karoseri Indonesia Provinsi DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
Menanggapi hal tersebut, Termohon dalam jawabannya menyatakan bahwa
Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan hak uji
materiil dengan alasan sebagai berikut. Pertama, Pemohon tidak mampu membuktikan
kewenangan direktur untuk mewakili. Kedua, Pemohon tidak mampu membuktikan
kerugian yang diperolehnya. Ketiga, objek yang diajukan permohonan hak uji materiil
bukanlah merupakan objek yang dapat diajukan permohonan hak uji materiil
sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal
31A ayat (1) UU No 3 Tahun 2009 jo. Pasal 1 angka (1) Perma No 1 Tahun 2011.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pemohon memiliki
kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan hak uji materiil. Hal ini didasarkan
968 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021
pada beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, terkait kedudukan hukum sebagai
Perseroan Terbatas dan Direktur dalam kapasitasnya untuk mewakili Perseroan
Terbatas tersebut. Menurut Majelis Hakim, Perseroan Terbatas tersebut memiliki
kualifikasi sebagai Badan Hukum Privat dengan dibuktikan Akta Pendirian Perseroan
Terbatas tertanggal 28 Januari 2002 Nomor 38 yang dibuat oleh/dan dihadapan
Fulgensius Jimmy selaku Notaris dan telah disahkan oleh Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia RI Nomor: C-05576.HT.01.01.TH.2002. Berkaitan dengan
kedudukan hukum Direktur selaku mewakili kepentingan hukum Perseroan Terbatas
dapat dibuktikan di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang
menyatakan bahwa Direktur berhak mewakili kepentingan hukum Perseroan Terbatas.
Kedua, terkait kerugian yang dialami oleh Pemohon. Majelis Hakim menyatakan
bahwa terdapat kerugian yang dialami oleh Pemohon karena Pemohon merupakan
suatu perusahaan yang bergerak di bidang kegiatan usaha bidang Perindustrian
Karoseri untuk mobil angkutan barang, khususnya membuat Bak Muatan Tertutup
(Box) Mobil Barang, menggunakan bahan aluminium dan bahan besi, dalam
menjalankan kegiatan usaha Karoseri, serta menyatakan keberatan atas kenaikan Tarif
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 27.900% dari tarif sebelumnya.
Sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum
dalam mengajukan permohonan hak uji materiil tersebut. Ketiga, terkait objek
permohonan hak uji materiil yang diajukan. Majelis Hakim menyatakan bahwa objek
permohonan hak uji materiil tersebut merupakan kewenangannya sebagaimana telah
diatur di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 31A ayat (1) UU
No 3 Tahun 2009 jo. Pasal 1 angka (1) Perma No 1 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan
suatu lampiran yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan merupakan
suatu kesatuan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Ditambah lagi, tanpa
adanya suatu lampiran tersebut, maka peraturan perundang-undangan tersebut akan
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya karena lampiran tersebut menjadi
pengaturan teknis dalam suatu pengaturan yang terdapat di peraturan perundang-
undangan tersebut.
IV. KESIMPULAN
Dalam konteks negara hukum, kedudukan hukum merupakan salah satu aspek
yang harus dijamin karena berkaitan erat dengan sarana perlindungan hukum warga
negara terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah baik yang bersifat umum
maupun kongkrit. Indonesia sebagai negara yang menganut negara hukum telah
memberikan sarana perlindungan hukum salah satunya melalui Mahkamah Agung dan
Pengadilan Tata Usaha Negara beserta persyaratan terkait kedudukan hukum bagi
warga negaranya.
Pada pelaksanaannya, terdapat beberapa perubahan terhadap ketentuan yang
mengatur terkait kedudukan hukum bagi warga negara tersebut. Hal ini mengakibatkan
timbulnya suatu inkonsistensi dalam konteks kedudukan hukum disatu sisi
memberikan perluasan akses terhadap warga negara berdasarkan ketentuan kedudukan
hukum yang bersifat longgar untuk melindungi hak-hak nya sebagai warga negara
melalui Mahkamah Agung dan Pengadilan Tata Usaha Negara, namun di sisi lain
memberikan ketentuan yang membatasi kedudukan hukum warga negara untuk
mengajukan gugatan terhadap perbuatan hukum pemerintah melalui dua sarana
tersebut. Ditambah lagi, pada pelaksanaannya timbul kesulitan bagi hakim untuk
menentukan apakah warga negara tersebut memiliki kedudukan hukum atau tidak
Perkembangan Kedudukan Hukum (Legal Standing): Oce Madril, Jery Hasinanda 969
karena inkonsistensi tersebut. Akibatnya, peran hakim disini menjadi penting sebagai
memberikan penafsiran hukum terhadap kedudukan hukum warga negara tersebut.
Beberapa putusan yang dianalisis dalam studi ini menunjukkan terdapat
perkembangan dari kedudukan hukum dalam pengujian administratif di Pengadilan
Tata Usaha Negara dan uji materi di Mahkamah Agung. Kedudukan hukum disini
tidak hanya ditafsirkan secara expresif verbiis sebagaimana yang diatur dalam hukum
positif di Indonesia, namun dapat dikontekstualisasikan oleh Hakim melalui
putusannya terhadap kedudukan hukum dalam Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Mahkamah Agung.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Jimly Asshidiqqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Jimly Ashidiqqie, 2010, Perihal Undang-Undang, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, 2018, Era Baru Peradilan
Modern Berbasis Teknologi Informasi: Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI
2018, MARI, Jakarta.
Mahfud MD dan SF Marbun, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, PT
Liberty, Yogyakarta.
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, PT Kanisius, Yogyakarta.
M. Ali Abdullah, 2015, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Pasca Amandemen, PT Kencana, Jakarta.
Mukti Fajar dan Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, PT Kencana, Jakarta.
Philipus Hadjon, 1989, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu,
Surabaya.
Ranjit Kumar, 1999, Research Methodology: a Step-by-Step Guide for Beginners,
Addison Wedley Longman Australia Pty. Limited, Melbourne.
Soedikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Liberty,
Yogyakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta
Jurnal
Anna Triningsih, “Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam
Penyelenggaraan Negara”, Vol 13, No 1, Maret, 2016.
Laica Marzuki, “Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi
Indonesia”, Vol 1, No 3, November, 2004.
Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam Sistem Peraturan
Perundangan-Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol 7, No 5, Mei, 2010.
Moch Iqbal, “Aspek Hukum Class Action dan Citizen Law Suit Serta
Perkembangannya di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan”, Vol 1, No 1,
Maret, 2012.
970 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.4 Oktober-Nopember 2021
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Nomor 292) (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor 03) (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4958)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 35) (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4380)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986, Nomor 77) (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 84P/HUM/2019 Perihal Permohonan Hak Uji
Materi Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Jenis
dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada
Kementerian Perhubungan dan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 2016 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan, 4 November 2019.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 62P/HUM/2013 Perihal Permohonan Hak Uji
Materi Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menhut-
II/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu dan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu, 18
November 2013.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT
Perihal Gugatan Perkara Aliansi Jurnalis Independen dan Pembela Kebebasan
Bereskpresi Asia Tenggara (SAFEnet), 21 November 2019.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan Nomor 83/G/2010/PTUN-MDN
Perihal Gugatan Perkara PT. Medco Geothermal Indonesia, 17 Mei 2010