You are on page 1of 33

MAKALAH PENGANTAR HUKUM

INDONESIA HUKUM PIDANA

DISUSUN OLEH

ANGGOTA KELOMPOK

1 1.FADIL

2. GOLELVA MIRA DIDA

3. ABDUL AZIS R.B SARA

4. KRISTINA MATILDA

5. DARMAYANI GITA

6. CELINE CELILIA DITA DE RANGGA

UNIVERSITAS NUSA

CENDANA FAKULTAS HUKUM

TAHUN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt.Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah kami tentang “ Hukum Pidana”.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagaimana kami penyusun makalah ini, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,
baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami dengan rendah hati meminta saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Kupang, 20 november 2022

penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................iii

BAB 1.PENDAHULUAN...........................................................................................................1

1.2 RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................2

1.3 TUJUAN PENUTUPAN.......................................................................................................2

BAB 2. PEMBAHASAN.............................................................................................................3

2.1 PENGERTIAN HUKUM PIDANA.....................................................................................3

2.2 PEMBAGIAN HUKUM PIDANA......................................................................................7

2.3 SIFAT HUKUM PIDANA....................................................................................................10

2.4 FUNGSI/TUJUAN HUKUM PIDANA...............................................................................11

2.5 SUMBER HUKUM PIDANA..............................................................................................16

2.6 RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA...............................................21

2.7 SISTEM HUKUMAN HUKUM PIDANA.........................................................................21

2.8 HUKUM ACARA PIDANA................................................................................................22

2.9 TINDAK PIDANA UMUM DAN CONTOH KASUSNYA.............................................24

BAB 3. PENUTUP.......................................................................................................................29

3.1 KESIMPULAN......................................................................................................................29

3.2 SARAN...................................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang
mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan
untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat
dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya, dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari
dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi
dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan
lingkungan atau manusia lain. Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang
tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan
kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban
dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang
wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya
dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan
oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan
masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan
perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi
seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk
mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan
kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama.
Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan
kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat dirasakan
berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari
kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh
masyarakat.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
 Apakah pengertian hukum pidana ?
 Apa saja macam-macam hukum pidana ?
 Bagaimana sifat hukum pidana ?
 Apakah fungsi dari hukum pidana ?
 Apa saja sumber hukum pidana ?
 Apa saja ruang lingkup hukum pidana ?
 Bagaimana sistem hukuman pidana ?
 Apa yang dimaksud hukum acara pidana ?
 Apasaja yang termasuk dalam tindak pidana umum dan contoh kasusnya?

1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH


Pembuatan makalah ini bertujuan agar pembaca mengetahui tentang hukum
pidana. Selain itu agar pembaca dapat membedakan antara pelanggaran dan kejahatan,
sehingga dapat diterapkan di masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan sebuah
pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah
sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah
pengertian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana.
Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana
diantaranya adalah sebagai berikut:

 W.L.G. Lemaire
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan
dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan
suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan
demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-
norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu)
dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
 Simons
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti
objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau
strafrecht in subjectieve zin.

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga
disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Simons merumuskan hukum pidana
dalam arti objektif sebagai:

3
1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu
suatu pidana apabila tidak ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan
pidana.

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit,
yaitu sebagai berikut:

1. Dalam arti luas


Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam
pidana terhadap perbuatan tertentu;
2. Dalam arti sempit
Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana
terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-
badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam
arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan
alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman
terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam
hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh
hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus
berdasarkan kepada ius poenale.
 W.F.C. van Hattum
Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan
yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu
sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-
tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
 Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;

4
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
 Van Kan
Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbulkan
kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja
yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum
pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma
hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana
sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).
 Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap
perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.
 Hazewinkel-Suringa
Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan
perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi
hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.
 Adami Chazawi
Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-
ketentuan tentang:
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan
melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang
disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan
itu
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar
untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan
yang dilanggarnya;
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan
didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan,

5
menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan
upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar
hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari
tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi
Mereka berpendapat bahwa hukum pidana adat pun yang tidak dibuat oleh
negara atau political authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana.
Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat.
Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat
dipungkiri, dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum
positif yang berlaku di suatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian
penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan
larangan atau tindakan keharusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana.
Menentukan pula bila mana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut
dipertanggung jawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan,
penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang
bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini mencakup juga hukum (pidana) adat, serta
bertujuan mengadakan keseimbangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.

Sejauh mana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan mempengaruhi hukum pidana
yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung kepada penghargaan nilai-
nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat (setempat), masih/tidaknya hukum
adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh mana hukum (pidana) adat
masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang
berlaku. Ketergantungan yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak
terhadap penerapan hukum (pidana) adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih
tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal
terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat dengan undang-undang yang berlaku,
maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian/perkara banyak
memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan
menemukan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, karena itu
hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan,
negara dan pribadi, tidak boleh menolak memberi keadilan.

6
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil gambaran tentang
hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang:

1. Untuk melakukan suatu perbuatan;


2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu
perbuatan yang dilarang (delik);
4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

2.2 PEMBAGIAN HUKUM PIDANA


Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut :
1. Hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil Menurut van Hattum:
a. Hukum pidana materil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang
dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang
bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan
secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum
acara pidana.
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan (niet gecodificeerd) :
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang
tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955

7
tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api
dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus
(bijzonder deel)
a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di
dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;
b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan
Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus bijzonder
strafrecht)
van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah
hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang
(umum), sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja
telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota
Angkatan Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana
tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.

6. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis

Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui ber-laku sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut
Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum
pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah
pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas
kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam
menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.

Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata
masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas.
Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor:
14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada

8
garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga
kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin
dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh
telah dinyatakan bersalah melakukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b
Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP.

Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana
tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak
mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat
dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum
adat.

7. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk
strafrecht)
Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana
nasional. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah
Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar
larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan hukum pidana
lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek
hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah
hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam
Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.

Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam peraturan
daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan,
pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat kekuasaannya terikat kepada
ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat dibedakan
antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (hukum pidana
supranasional). Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan
diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi
internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan
diberlakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

9
a. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetujuan London (8-8-1945) yang
menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili
penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
b. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka
dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.

2.3 SIFAT HUKUM PIDANA


Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi, dengan
fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup
bermasyarakat dan untuk menjamin ketertiban hukum, maka hubungan hukum yang ada
dititikberatkan kepada kepentingan umum.
Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam
pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan masyarakat.
Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula
dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah
dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah
terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan rakyat.
Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik.
Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah
tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ terjadi hubungan
antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya dipidana (strafbaarheid)
suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan orang
yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung kepada mereka yang
dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum
pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi
pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.
Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat diketahui berdasarkan:
1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari korbannya;
2. Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari orang
yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan
barang menjadi menjadi penghasilan negara.

1
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum
publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik
beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan
umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana
pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seorang individu, yang in concreto
langsung dirugikan, melainkan diserahkan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan
umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu
tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewenangan instansi
Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak
pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang
diganggu kepentingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.

Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat hukum
publik, seperti Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini
berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan kaidah-kaidah (norma) baru,
melain-kan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan
juga sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan tertentu, sanksi tersebut sudah tidak
seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut
sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat
pendapat mereka ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak
pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada "pengaduan" dari pihak yang dirugikan atau
yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum
publik.

2.4 FUNGSI/TUJUAN HUKUM PIDANA


Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi
masyarakat. Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat
agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami
pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau
mengganggu kepentingan orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu
kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum
memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa
berbuat sekehendak hatinya.

1
Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan
dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu:

1. Aliran klasik
Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum
pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak
dasarnya adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang "Dei delitte edelle pene"
(1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-
undang yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu, hukum
pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan Raja Absolute
dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan menetapkan hukum
menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang
dilarang dan beratnya pidana yang diancamkan karena hukumnya tidak tertulis. Proses
pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat
seperti di Perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh
anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di
rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap
dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine.
Masyarakat tidak puas, yang menganggap Jean Calas tidak bersalah membunuh anaknya,
sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk
memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyatakan
Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan
selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J. Rousseau dan Montesquieu turut
menuntut agar kekuasaan Raja dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum
tertulis atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk
melindungi individu guna kepentingan hukum perseorangan.
Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu peraturan tertulis supaya
setiap orang mengetahui tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman
hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan akan terjamin hak-hak
manusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi
pedoman bagi rakyat, akan melahirkan kepastian hukum serta dapat menghindarkan

1
masyarakat dari kesewenang-wenangan. Pengikut-pengikut ajaran ini menganggap bahwa
tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin kepentingan hukum individu. Setiap
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (individu) yang oleh undang-undang hukum
pidana dilarang dan diancam dengan pidana harus dijatuhkan pidana. Menurut aliran
klasik, penjatuhan pidana dikenakan tanpa memperhatikan keadaan pribadi pembuat
pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang mendorong dilakukan kejahatan
(etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang melakukan
kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).
2. Aliran modern
Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) mengajarkan tujuan susunan
hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan
tujuan tersebut, perkembangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta
keadaan penjahat. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku
orang perseorangan dan atau masyarakat adalah salah satu ilmu yang memperkaya ilmu
pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari social science
menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah
untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan hukum masyarakat.

Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemukakan tentang fungsi/tujuan
hukum pidana:

Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Fungsi yang umum


Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum
pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup
kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;
2. Fungsi yang khusus
Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap
perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa
pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada
cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic (suatu yang
menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai “mengiris dagingnya sendiri‟
atau sebagai “pedang bermata dua”, yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan

1
untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda,
kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan
perintahnya justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si
pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk
menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social
control fungsi hukum pidana adalah subsidair, artinya hukum pidana hendaknya baru
diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.

Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum pidana
berfungsi:

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang


menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut Kepentingan hukum yang
wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu:
a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan hukum
terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan
hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan
hukum terhadap rasa susila, dan lain sebagainya;
b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke belangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu
lintas di jalan raya, dan lain sebagainya;
c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap
keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara
sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dan
sebagainya.
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi
perlindungan atas berbagai kepentingan hukum
Dalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara
dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru
melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan,
misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemeriksaan sampai kepada
penjatuhan sanksi pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu
kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana yang
menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara

1
dan diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam hukum acara pidana, agar
negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang
dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi
perlindungan atas kepentingan hukum.

Kekuasaan negara yang sangat besar dalam rangka menegakkan dan melindungi
kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan menjadi bumerang bagi warganya,
negara bisa bertindak sewenang-wenang jika tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa,
sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara mutlak diperlukan.

Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan


tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat
saling bergantung, kepentingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan dilindungi
oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada
paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul sanksi, kadang kala yang berbentuk
informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial.
Namun jika menyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum
negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada
pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan
pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang
dapat dikenakan kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum
pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan
ataupun fungsi sosial.

Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-
pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku
yang dapat dipidana. Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan
bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk
menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum
pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal
penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu
mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian

1
hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam
masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.

Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum
remidium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu
sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum
pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara
lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remidium.
Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana
akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu,
dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.

2.5 SUMBER HUKUM PIDANA


Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan untuk keperluan itu, para
ahli hukum pidana telah memikirkan agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil” sehingga
timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang dan atau
kitab undang-undang (kodifikasi). Namun hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di
setiap negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodifikasi. Negara-negara yang
menganut sistem hukum AngloSaxon hampir seluruhnya tidak mengenal hukum pidana
dalam bentuk kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang mempunyai
kodifikasi hukum pidana.
Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum.
Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil. Menurut
Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya adalah Wetboek
van Strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit)
tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP
atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek van Strafrecht Negeri
Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886 tidak seratus
persen sama, melainkan diadakan penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan
keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya
tetap sama.

1
KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-
18-1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-undang No.
1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi: “Dengan
menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2
menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-
peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.
Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda.

Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945 kembali lagi ke
Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pendudukan Jepang (1942-1945) juga
mengadakan perubahan-peru-bahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP), misalnya dengan
Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa
mengenai hukum pidana Pasal 570.

Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan yang saling
bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah
menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang berlakunya
sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam KUHP (peraturan hukum
pidana). Guna melenyapkan keadaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun
1958 (L.N. 1958 No. 127) yang antara lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1 Tahun
1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-
perubahan yang diadakan oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942
dianggap tidak ada.

KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan
penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada unifikasi.
Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan pidana yang
diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang
tersebar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya.

2. Pidana Adat
Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak
tertulis juga dapat menjadi sumber Hukum hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup
sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini
didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat

1
3 sub . Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah
tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun
harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama
sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal
1 KUHP.

3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)


M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan oleh
Menteri Kehakiman Belanda bersamadengan Rencana Undang-undang itu kepada
Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada tanggal 1
September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP
karena KUHP ini adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia
Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy dari
W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat
digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang tersebut di dalam
KUHP yang sekarang berlaku.

Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan,
Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah
undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang
formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas
legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas
perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat
(1) itu tidak mengurangi berlakunya "hukum yang hidup" di dalam masyarakat. Dengan
demikian, di samping sumber hukum tertulis (UU) sebagai kriteria/patokan formal yang
utama, Konsep juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang
hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan.
Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang
tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam undang-undang.

Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang
sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa
keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa

1
daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang
hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa
pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi
yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh
pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai dan norma yang hidup dalam
masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan
tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa menurut Konsep KUHP Baru sumber
hukum pidana itu adalah sumber hukum tertulis (undang-undang) dan sumber hukum
tidak tertulis yang hidup di masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat (3) Konsep KUHP Baru
menyebutkan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya
hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas
bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak
pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat
tertentu.

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa embrio atau cikal-bakal dari pokok
pemikiran tetap diakuinya eksistensi/berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di
dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum pidana itu sebenarnya sudah cukup
lama dan tersebar di beberapa produk legislatif, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang No. 1 Drt. 1951


" ... bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum Bahwa,
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui
hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,maka…..... terdakwa dapat
dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa

1
hukuman adat yang…..... tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti
tersebut di atas."
2. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 16 ayat (1)
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;
Pasal 25 ayat (1)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan per-undang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili;
Pasal. 28 ayat (1)
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan bertolak dari kebijakan perundang-undangan nasional


seperti dikemukakan di atas (Undang-undang No. 1 /Drt/ 1951 dan Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman), dapat dikatakan bahwa perluasan asas legalitas secara materiil di
dalam konsep sebenarnya bukanlah hal baru, tetapi hanya melanjutkan dan
mengimplementasikan kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan kebijakan/ ide perumusan asas
legalitas secara material pernah pula dirumuskan sebagai "kebijakan konstitusional" di dalam
Pasal 14 ayat (2) UUDS'50 yang berbunyi: "Tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk
dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku
terhadapnya."

Dalam pasal tersebut digunakan istilah "aturan hukum" (RECHT) yang tentunya lebih luas
pengertiannya dari sekadar aturan "undang-undang" (WET), karena dapat berbentuk "hukum
tertulis" maupun "hukum tidak tertulis".

2
2.6 RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai
asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup
berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :
1. Asas Teritorialiteit (teritorialiteits beginsel)atau asas wilayah negara.
2. Asas Personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas
nationalitet akitif atau asas subjektif (subjektionsprinsip).
3. Asas Perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasionalitas pasif
(pasief nationaliteitsbeginsel).
4. Asas Universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan.

2.7 SISTEM HUKUMAN HUKUM PIDANA


Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa hukuman yang
dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen)
1. Hukuman Mati
Tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan
bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini
kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya
pro-kontra terhadap hukuman ini.
2. Hukuman Penjara
Hukuman penjara sendiri dibedakan ke dalam hukuman penjara seumur hidup dan
penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20
tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib
melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak
mempunyai Hak Vistol.
3. Hukuman Kurungan
hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena
kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih
antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan
hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan di
luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara

2
dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana
penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh
terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk
memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.
4. Hukuman Denda
Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan.
Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.
5. HukumanTutupan
Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang
telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.

b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)

Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan
pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
2.8 HUKUM ACARA PIDANA
Hukum acara Pidana yang disebut juga hukum Pidana formal mengatur cara
bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material.
Penyelenggaraannya berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang hukum acara
pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu ditulis secara sistematik dan teratur
dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti dikodifikasikan dalam kitab undang-
undang hukum acara Pidana (KUHAP), KUHAP itu diundangkan berlakunya sejak tanggal
31 Desember 1981 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, tambahan
lembaran Negara No. 3209.
Tujuan pengkodifikasian hukum acara pidana itu terutama sebagai pengganti
Regleemen Indonesia (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan kepada hak-hak asasi
manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan
umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal, menurut pasal 2-nya
menyatakan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam

2
lingkungan peradilan umum. Maksudnya, ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti
asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak-tindak pidana berdasarkan
KUHAP hanya peradilan Umum, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Untuk
melaksanakan KUHAP perlu diketahui beberapa hal penting antara lain ialah :
a. Asas praduga tidak Bersalah (presumption of innacence)
Dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “ setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang mengatakan
kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap” berdasarkan asas praduga
tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu
sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim
Pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara.
b. Koneksitas
Perkara Koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang atau
lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang hanya
dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak
Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan
umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan-peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan menteri
pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri Kehakiman perkara itu harus
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”. Berdasarkan
ketentuan pasal ini, maka kewenangan dalam mengadili perkara koneksitas ada pada
peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak mutlak tergantung kepada
kerugian yang ditimbulkan dari adanya tindak pidana itu.
c. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap dilakukan oleh jaksa dalam melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua
pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam pasal 277 ayat 1
KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas
khusus untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan pengadilan yang menjatuhkan Pidana perampasan kemerdekaan”.

2
2.9 TINDAK PIDANA UMUM DAN CONTOH KASUSNYA
Tindak Pidana Umum merupakan keseluruhan tindak pidana yang termasuk dan diatur dalam
KUHP dan belum diatur secara tersendiri dalam Undang-undang khusus, seperti :
1. Makar
2. Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden
3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya
4. Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum
6. Perkelahian tanding
7. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang
8. Kejahatan terhadap penguasa umum
9. Pemalsuan
10. Kejahatan terhadap pasal-pasal perkawinan
11. Kejahatan kesusilaan (Pemerkosaan, Pelecehan seksual dan pencabulan)
12. Meninggalkan orang yang perlu ditolong
13. Penghinaan
14. Membuka rahasia
15. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
16. Pembunuhan, dll.

Contoh Kasus 1 :

SIDOARJO, KOMPAS.com –

Masih ingat dengan dr Edward Armando, ‘Raja Aborsi’ yang praktik di Jalan Dukuh
Kupang Timur X/4, Surabaya? Pria yang pernah mendekam di Medaeng itu kembali ditangkap
polisi.

2
Dokter Edward Armando (66), diringkus jajaran Polres Sidoarjo, Selasa lalu dengan
sangkaan kembali melakukan praktik aborsi ilegal. Pasien dr Edward diperkirakan lebih dari
2.000 orang.
“Diperkirakan, sejak praktik mulai Januari 2008 lalu hingga jelang ditangkap, pasien yang
telah ditanganinya mencapai 2.000 orang lebih,” ujar Kepala Polres Sidoarjo AKBP M Iqbal
didampingi Kasat Reskrim AKP Ernesto Saiser, di Mapolres Sidoarjo, Kamis (3/2/2011)
kemarin.
Dalam pengakuannya kepada polisi, dr Edward menerima pasien di tempat praktiknya antara
20-25 orang setiap pekan. Dia tidak pernah mematok tarif tertentu. Tarif aborsi akan
dipungutnya setelah dirinya mengetahui kondisi ekonomi calon pasiennya. Jika si pasien
menyatakan dirinya orang tidak mampu, maka dr Edward memungutnya maksimal Rp 500.000.
“Karena mereka (para pasien) mengaku tidak kuat ke dokter spesialis, maka saya
menolongnya,” ucap Edward.
Meski begitu, polisi menyebut dr Edward memungut tarif antara Rp 1,5 juta - Rp 4 juta.
Diduga, tarif sebesar itu karena calon pasien tidak langsung berhubungan dengan dr Edward,
tetapi melalui anak buahnya yang berperan sebagai calo aborsi kandungan. “Saya hanya ingin
menolong orang kok, tidak korupsi,” kilah dr Edward soal praktik aborsi yang dijalankannya.
Sepak terjang dr Edward di dunia aborsi memang sudah dikenal cukup lama. Sejak
mendirikan tempat praktik pada 1995, ia menerima ribuan pasien. Ia pernah dua kali
diperingatkan Departemen Kesehatan, bahkan tiga kali diringkus polisi dan divonis penjara satu
tahun. Namun, semua itu tak membuatnya kapok.
Edward berdalih, dirinya kerap menolong karena disambangi pasien tidak mampu. Pasangan
suami istri yang ingin menggugurkan kandungan biasanya karena dihimpit ekonomi. “Mereka
datang dengan alasan sudah tidak ingin punya anak, dengan menjalani KB (keluarga berencana),
namun tetap hamil. Disambati (seperti itu ya saya tolong,” kilah dr Edward.
Saat diringkus jajaran Satreskrim Polres Sidoarjo, Edward diketahui baru saja mengaborsi
sekitar 10 pasien, lima pasien di pagi hari dan lima lainnya di siang hari. Salah satunya bernama
Heny Kusumawati, mahasiswi sebuah akademi kebidanan di Malang.
Warga Desa Sukosewu RT 3/RW 1, Kecamatan Gandusari Blitar itu menggugurkan
kandungannya yang berusia dua bulan, di tempat praktik dr Edward, Selasa pukul 15.45 WIB.
Selain menetapkan dr Edward sebagai tersangka, polisi akhirnya juga menetapkan Heny
Kusumawati, Rendy Saputra (pacar Heny dan mahasiswa PTS di Malang), serta Eddy

2
Soemardiono, bapak Rendy Saputra yang turut menyuruh agar Heny menggugurkan
kandungannya, sebagai tersangka. “Serta Abdul Munip, pembantu dr Edward,” beber M Iqbal.

Gara-gara Pembantu
Praktik ilegal dr Edward kembali terbongkar setelah polisi menelusuri kematian Suparlina,
warga Pandugo II/7, Kelurahan Penjaringan Sari, Rungkut, Surabaya, sekitar awal Januari lalu.
Korban tewas dengan kondisi luka pendarahan begitu tiba dan hendak dirawat di RS DKT
Sidoarjo.
Dari sinilah polisi curiga. Sebab, korban ditinggal begitu saja, saat ditemukan dalam kondisi
tidak bernyawa. “Dari sini kami kemudian meringkus Nining Dwi Hariyanti, yang mengantar
korban ke RS DKT Sidoarjo,” jelas AKP Ernesto Saiser.
Nining, warga Perum Sidoarjo Indah Permai blok B/7, Sidoarjo lalu dibekuk polisi. Di
depan penyidik, Nining mengaku bahwa dirinya hanya diminta mengantar korban ke RS DKT
oleh adiknya, Nunung Saja Rahayu, warga Perum Taman Pinang Indah Blok D-4/18, Sidoarjo.
“Dan ternyata diketahui korban baru aborsi dengan bantuan Nunung alias Atik,” imbuh Ernesto.
Atik sendiri baru diringkus polisi pada Kamis, pukul 14.00 WIB, saat dalam pelariannya
bersama sang suami, Ahmad Suwadi alias Eko, di kawasan Dae Lamando, Kalimantan Tengah.
Pasutri itu diringkus saat hendak menjual mobil yang dibawanya dari Sidoarjo. “Informasinya,
mobil itu dijual untuk buka usaha selama pelarian mereka,” tandas Ernesto.
Lalu bagaimana praktik Atik bisa mengarah ke praktik dr Edward? Terungkap jika korban
Suparlina sempat mendatangi praktik dr Edward. Karena usia kandungan Suparlina lebih dari
tiga bulan, dr Edward menolak mengaborsi kandungannya. Saat itulah, keluarga korban
mendapatkan nama Atik dan nomer teleponnya dari anak buah dr Edward, yakni Abdul Munip,
usai ditolak oleh dr Edward.
Sumber Berita : Kompas.com, Jumat, 4 Februari 2011

Contoh Kasus 2 :

Guru Ngaji di Riau Berulang Kali Cabuli 4 MuridPerempuan

Liputan6.com, Riau - Empat bocah perempuan di Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Riau,
mengalami kenyataan pahit ketika ingin belajar membaca kitab suci Alquran.

2
Bukannya mendapat pelajaran, korban malah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan
berulang kali oleh guru ngaji mereka berinisial SK.

Kabid Humas Polda Riau Kombes Guntur Aryo Tejo membenarkan kejadian tersebut. Dia
menyebut kasus pencabulan itu sudah dilaporkan salah satu orangtua korban ke Mapolsek
setempat.

"(Kasus itu) Dalam penyidikan Mapolsek setempat. Pelaku yang guru ngaji itu akan diproses
sesuai aturan berlaku berdasarkan laporan salah satu orangtua korban," kata mantan Kapolres
Pelalawan ini, Selasa (17/1/2017) siang.

Guntur menyebutkan, terungkapnya pelecehan seksual yang dilakukan pelaku ketika salah satu
anak berinisial FZ mengadu kepada orangtuanya usai pulang mengaji dari rumah pelaku.

Ketika itu, korban terlihat murung saat pulang mengaji. Orangtuanya kemudian bertanya tentang
kondisi sang anak. FZ kemudian mengaku telah mendapat perlakuan tak senonoh, mulai dari
dicium bibirnya hingga sampai ke alat vitalnya.

"Pengakuan korban, tiga temannya yang juga mengaji di rumah pelaku juga mendapatkan
perlakuan serupa," kata Guntur.

Tak terima, orangtua korban langsung melapor ke Mapolsek setempat atas tindakan cabul guru
ngaji yang dimaksud. Keterangan para korban diambil dan mereka divisum. Hasil visum
menunjukkan adanya hal yang tak wajar pada bagian vital tubuh korban.

"Pelaku kemudian dilakukan penyidikan dan akan dijerat dengan Undang-Undang tentang
Perlindungan Anak dan Perempuan," kata Guntur.

Contoh Kasus 3 :

Wanita Hamil ketagihan Mencuri di Minimarket Waralaba

Liputan6.com, Palembang - Kondisi berbadan dua tak membuat Dian Susilawati (31) berhenti
berbuat kriminal. Untuk kesekian kalinya, wanita yang sedang hamil 6 bulan itu mencuri barang

2
di minimarket waralaba di Jalan Angkatan 45 Kelurahan Lorok Pakjo Palembang, Sumatera
Selatan (Sumsel).

Warga Komplek Sako Pusri di Jalan Cengkeh, Kecamatan Sako, Palembang, itu tertangkap
setelah mencuri tujuh botol minyak kayu putih. Ia mendatangi minimarket waralaba seorang diri
pada Minggu sore, 9 April 2017.

Pelaku berpura-pura belanja dan mengambil tujuh botol minyak kayu putih berukuran 60 ml dan
120 ml. Barang curian itu langsung disimpan di dalam tas jinjingnya.

Untuk menghilangkan kecurigaan, ibu tiga anak itu juga mengambil beberapa bungkus mi instan
dan membayarnya ke kasir. Pelaku langsung keluar dan hendak pulang menaiki mobil angkutan
kota (angkot).

Melihat gelagat yang mencurigakan, kasir minimarket langsung mengejar dan menghentikan
langkah pelaku. Setelah tas pelaku diperiksa, kasir tersebut menemukan barang-barang yang
dicuri si ibu hamil itu.

Karyawan minimarket lalu meminta bantuan warga sekitar untuk mengamankan ibu hamil ini.
Mereka membawanya ke Polsek Ilir Barat 1 Palembang.

Dari pengakuan pelaku, ia terpaksa mencuri karena terdesak tidak punya uang. Rencananya,
barang curiannya tersebut akan dijual lagi seharga Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per botol.

"Uang bulanan dari suami tidak cukup, jadi saya terpaksa mencuri untuk kebutuhan hari-hari,"
kata dia saat diinterogasi di Polsek Ilir Barat 1 Palembang, Rabu, 12 April 2017.

Dian mengaku sudah sering mencuri barang jualan di minimarket waralaba. Karena mendapat
untung yang lumayan, pelaku ketagihan untuk mencuri.

Kapolsek Ilir Barat I Kompol Handoko Sanjaya menyayangkan pencurian yang dilakukan wanita
hamil itu. Namun, pihaknya tetap menjalankan hukum yang berlaku karena pelaku terbukti
mencuri.

"Walau sedang hamil, kita tetap akan menahan tersangka dan proses hukum akan terus
dilakukan," kata Handoko.

2
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam
masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan
terjaminnya kedamaian dan ketertiban. Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini,
dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu :
1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempunyai arti penting bagi penentuan saat
kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut
waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti
penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu
berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat
dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas
perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas
berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum
yang tidak tertulis. ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang
dibuat setelah kemerdekaan.
3.2 SARAN
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang
menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari
perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya
saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

2
DAFTAR PUSTAKA

J.M. van Bemmelen.1979. Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta

P.A.F. Lamintang. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar

Baru http://aslanilmukuliah.blogspot.com/2010/01/pendahuluan-hukum-pidana.html

http://akfiniaditias.blogspot.com/2013/05/tugas-makalah-hukum-pidana.html

You might also like