You are on page 1of 5

BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X

Volume 7, Nomor 1 Januari 2006


Halaman: 85-89 DOI: 10.13057/biodiv/d070121

Perkecambahan Spora dan Siklus Hidup Paku Kidang


(Dicksonia blumei Moore) pada Berbagai Media Tumbuh
Spore germination and life cycle of paku kidang (Dicksonia blumei Moore) on the
various growing media

SRI HARTINI ♥
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002.

Diterima: 17 Mei 2005. Disetujui: 23 Nopember 2005.

ABSTRACT

Dicksonia blumei Moore belongs to Dicksoniaceae (fern family). This plant has been used as ornamental plant, handy craft, traditional
medicine particularly for styptic and growing medium for orchids and aroids. To obtain the material, people tended to exploit it in its natural
habitat and neglected its sustainable. On the other hand current knowledge of its cultivation as well as conservation is very limited. As a
result, this species become rare in the wild and its population decreased gradually. An experiment in spore germination of this species had
been carried out at the Bogor Botanic Gardens nursery using five growing media viz. chopping root of tree fern (Cyathea contaminans),
Calliandra macrophylla compost, chopping root of bird’s nest fern (Asplenium nidus), bamboo (Dendrocalamus giganteus) leaf compost
and sandy mud. Parameters used were the best medium for spore germination and sporelings growth, life cycle of spore until young
sporophyte were obtained. The result showed that the best medium for spore germination of D. blumei was chopping of tree fern root and
bamboo leaf compost was worse. The life cycle consists of cell differentiated, young prothallus, mature prothallus, and young sporophyte
phases, which took 10-36 weeks.
© 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Key words: germination, media, spore, Dicksonia blumei Moore, Bogor Botanic Gardens.

PENDAHULUAN Leningrad dan para peneliti di Jerman dan Perancis pada


tahun 1890 (dalam Heyne, 1987), bahan ini hanya
Paku kidang (Dicksonia blumei Moore) merupakan memerlukan waktu 2 menit untuk membekukan darah segar
salah satu jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang yang baru keluar dari badan, sedangkan secara alami
termasuk dalam suku Cyatheaceae (Holttum, 1972) atau darah akan membeku dalam waktu 20-25 menit. Proses
Dicksoniaceae (Jones, 1987). Jenis ini merupakan kerjanya, bulu yang ditempelkan pada darah yang sedang
tumbuhan paku berbentuk pohon dengan batang cukup mengalir akan menggelembung, volumenya akan menjadi 5
besar. Tinggi tumbuhan ini dapat mencapai 10 m, kali lipat, sehingga air yang terkandung dalam darah akan
mempunyai perawakan ramping seperti halnya paku tihang terserap dan segera mengering.
(Cyathea contaminans). Batang bagian ujung diselimuti Menurut Chittenden (1951), Sastrapradja et al. (1978),
oleh bulu-bulu berwarna coklat kemerahan. Panjang daun dan Jones (1987) D. blumei mempunyai bentuk perawakan
mencapai 3 m, dengan tangkai diselimuti bulu-bulu yang bagus, sehingga banyak ditanam orang sebagai
berwarna coklat kemerahan, terutama di bagian tanaman hias, terutama di halaman pesanggrahan-
pangkalnya. Daun menyirip ganda dua, panjang anak daun pesanggrahan di daerah pegunungan. Batang paku kidang
mencapai 70 cm, bercangap. Daun yang masih kuncup ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan dan
juga diselimuti oleh bulu-bulu halus berwarna coklat media tanam. Populasi jenis ini di alam sudah sangat
kemerahan. Indusia terletak di tepi daun, berderet, dan menurun. Pengamatan oleh Dodo et al. (2002) di Gunung
berbentuk bulat (Holttum, 1972). Gede pada tahun 2002 menunjukkan bahwa populasi paku
Seperti halnya paku tihang, paku kidang juga memiliki kidang di lokasi tersebut sudah jarang, kemelimpahannya
nilai ekonomi cukup tinggi. Menurut Perry (1980) dan lebih rendah dari pada jenis paku pohon C. contaminans. D.
Heyne (1987) bulu-bulu yang terdapat pada batang dan blumei ditemukan pada ketinggian 2.170-2.700 m dpl
tangkai daunnya dapat digunakan sebagai obat penasak Menurut Heyne (1987) pada saat masalah bahan pembeku
darah (menghentikan pendarahan pada luka). Penggunaan darah banyak mendapat perhatian pada tahun 1850,
seperti ini terjadi pula pada jenis paku penawar jambe tumbuhan ini masih banyak ditemukan di sekitar Kandang
(Cibotium barometz), obat penasak dari bahan ini dianggap Badak, Gunung Gede pada ketinggian 2.400 m dpl.
lebih baik dari obat penasak kimiawi. Menurut Dr. Winke di Jenis D. blumei ini belum termasuk dalam daftar jenis
tumbuh-tumbuhan yang perlu dilindungi, seperti dalam
World Conservation Monitoring Centre (WCMC, 1996), The
2000 International Union for Conservation of Nature Red
♥ Alamat korespondensi:
Jl.Ir. H.Juanda 13, Bogor 16002
List of Threatened Species (IUCN, 2000), PP No.7/1999
Tel. & Fax.: +62-251-322187 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Noerdjito
e-mail: inetpc@indo.net.id
86 B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 85-89

dan Maryanto, 2001) dan Buku Tumbuhan Langka Pengambilan spora dilakukan pada bulan Juni 2002. Spora
Indonesia (Mogea, et al, 2001), namun menurut Suwelo yang diambil merupakan spora yang sudah masak, ditandai
(1999) jenis ini sudah termasuk dalam daftar flora langka dengan berubahnya warna indusia dari hijau menjadi
yang perlu dilindungi undang-undang secara mutlak. Hal ini coklat. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi dengan
didukung dengan telah dimasukkannya tumbuhan ini dalam spora dari jenis paku lain, anak daun tempat menempelnya
Appendix II CITES tentang tumbuhan yang boleh spora dicuci dalam air mengalir. Selanjutnya
diperdagangkan baik tumbuhan liar atau hasil perbanyakan dikeringanginkan di tempat yang hangat dan kering.
secara kuota. Pemanfaatan D. blumei yang terus-menerus Setelah itu dimasukkan ke dalam kertas amplop samson
akan menjadi masalah jika tidak diimbangi upaya budidaya sampai kering dan spora berjatuhan di amplop.
yang memadai. Pengambilan material dari alam yang Penyimpanan spora dalam kantung plastik tidak dianjurkan
dilakukan secara besar-besaran akan mengakibatkan karena kondisi di dalam plastik cenderung lembab dan
turunnya jumlah populasi. Kecepatan penurunan jumlah mendorong tumbuhnya jamur. Sebelum dikecambahkan,
populasi ini didukung oleh kenyataan bahwa pertumbuhan spora dipisahkan dari kotoran (bulu-bulu atau sisik-sisik
D. blumei sangat lambat serta tingkat keberhasilan daun) dengan cara amplop dimiringkan perlahan-lahan,
pertumbuhan spora menjadi tumbuhan dewasa di alam maka material berupa kotoran akan jatuh lebih dulu dan
tergolong rendah. spora yang lebih lembut sangat perlahan berjalan dan
Perbanyakan tumbuhan paku dengan spora merupakan cenderung tetap melekat di amplop. Untuk setiap
metode perbanyakan yang paling umum dilakukan untuk perlakukan ditimbang sebanyak 0,5 g spora, dengan jumlah
mendapatkan tanaman baru dalam jumlah besar. Meskipun berkisar antara 950-1.000 butir.
demikian, perbanyakan dengan spora hasilnya seringkali Dalam percobaan ini digunakan lima macam media
tidak sesuai harapan. Keberhasilan perkecambahan spora tumbuh yaitu cacahan batang paku pohon (pakis), kompos
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain media tumbuh, kaliandra, cacahan akar kadaka, lumpur, dan kompos
kemasakan spora, air, kelembaban, aerasi, dan derajat bambu. Sebelum digunakan untuk menyemai, media-media
keasaman (pH). Media tumbuh yang baik akan tersebut disterilkan terlebih dahulu dengan cara dikukus
menyediakan lingkungan yang baik pula bagi atau direbus selama 2-3 jam dan didiamkan sampai media
perkecambahan spora serta pertumbuhan bibit (Jones, dingin. Setelah media benar-benar dingin kemudian
1987; Toogood, 1999). dimasukkan ke dalam baskom plastik berlubang dan spora
Jenis-jenis paku pohon, seperti Dicksonia, Cibotium, seberat 0,5 g ditabur di atas media secara merata, dengan
Cnemidaria, Cyathea, Nephelea, dan Trichipteris dapat bantuan saringan teh. Setelah selesai menyebarkan spora,
tumbuh di berbagai tipe tanah, namun umumnya menyukai baskom secepatnya ditutup rapat dengan kantong plastik
tanah liat asam yang kaya bahan organik. Beberapa jenis berwarna putih untuk menghindari kontaminasi.
dari Dicksonia dan Cyathea dapat bertahan hidup di tanah Percobaan disusun dengan menggunakan Rancangan
basah, namun secara umum paku pohon sebaiknya Acak Lengkap, terdiri atas lima perlakukan berupa kelima
ditanam di tanah dengan drainase baik (Jones, 1987; media tumbuh di atas. Pengamatan dilakukan setiap dua
Hoshizaki dan Moran, 2001). Di Indonesia media tanam minggu. Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan
untuk spora yang sudah biasa digunakan oleh petani spora pada setiap media tumbuh dan siklus hidup mulai
tumbuhan paku hias adalah tanah lempung atau kompos dari spora sampai dengan terbentuk sporofit muda.
daun bambu. Pengamatan pertumbuhan spora dilakukan dengan mata
Informasi mengenai perkecambahan spora Dicksonia telanjang berdasarkan pada persentase penutupan
khususnya D. blumei masih sangat kurang. Penelitian ini permukaan media tumbuh. Sedangkan pengamatan siklus
bertujuan untuk mengetahui media yang baik untuk hidup dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan mata
perkecambahan spora D. blumei, serta mengetahui siklus telanjang.
hidupnya mulai dari spora yang dikecambahkan sampai
terbentuk sporofit muda. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai panduan dalam perbanyakan HASIL DAN PEMBAHASAN
bibit, serta sebagai bahan reintroduksi, pengembangan,
dan pelestariannya.
Pertumbuhan bibit
Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa jenis
media mempengaruhi perkecambahan spora dan
BAHAN DAN METODE pertumbuhan bibit (Gambar 1.). Perkecambahan spora dan
pertumbuhan bibit yang paling baik ditunjukkan oleh spora
Bahan dan alat yang disemai dalam media cacahan batang pakis,
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sedangkan yang paling jelek ditunjukkan oleh spora yang
spora D. blumei, cacahan batang pakis (C. contaminans), disemai dalam media kompos bambu.
kompos kaliandra (Calliandra macrophylla), cacahan akar Pengamatan pada minggu pertama menunjukkan
kadaka (Asplenium nidus), lumpur, dan kompos daun bahwa pada semua media tumbuh spora belum
bambu (Dendrocalamus giganteus), sedangkan alat yang perkecambahan. Pada pengamatan minggu ke-2 spora
digunakan adalah kertas amplop samson, kertas koran, sudah mulai berkecambah. Spora yang ditanam pada
golok, baskom plastik berlubang, kantong plastik berwarna media cacahan batang pakis tumbuh lebih cepat
putih, timbangan analitik, pH meter, pinset, saringan teh, dibandingkan pada media tumbuh lainnya, dimana sekitar
mikroskop, kompor, dandang, dan pengaduk kayu. 30% permukaan media sudah tertutupi bibit (prothalus).
Pertumbuhan yang cepat ini diduga karena media cacahan
Cara kerja batang pakis memiliki lingkungan tumbuh yang lebih baik
Percobaan dilakukan di Kebun Raya Bogor pada bulan dibandingkan media tumbuh lain. Di antara cacahan-
Mei s.d. Desember 2002. Spora yang digunakan berasal cacahan batang ini memungkinkan terbentuknya kapiler-
dari paku kidang yang tumbuh secara alami di kawasan kapiler yang terisi oleh lebih banyak air, sehingga terjadi
hutan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. keseimbangan sirkulasi air dan udara. Keseimbangan
HARTINI – Perkecambahan spora dan siklus hidup Dicksonia blumei Moore 87

Ketiga media ini juga mempunyai


120
permukaan yang agak kasar. Menurut
Jones (1987) dan Harvey (2002) spora
Penutupan permukaan (%)

100
jenis-jenis Dicksoniaceae bagus
80 dikecambahkan pada media yang
mempunyai permukaan kasar.
60 Spora yang ditumbuhkan pada media
kompos bambu dan lumpur hasilnya
40 hampir sama. Kedua media ini kurang
cocok untuk mengecambahkan spora
20 paku kidang. Perkecambahan spora pada
kedua media ini sangat lambat, bahkan
0 sampai dengan akhir penelitian hanya
M2
M4
M6
M8
M10
M12
M14
M16
M18
M20
M22
M24
M26
M28
M30
M32
M34
M36
mencapai sekitar 30%. Derajat keasaman
media kompos bambu yang sangat asam,
Waktu (minggu ke-)
dengan pH 4-4,5 tampaknya kurang
cocok untuk perkecambahan spora.
Pakis Kaliandra Kadaka Bambu Lumpur Menurut Jones (1987) kebanyakan jenis
spora tumbuh baik pada kisaran pH 6-6,5.
Gambar 1. Perkecambahan spora dan pertumbuhan semai. Rendahnya derajat keasaman ini diduga
karena masih terjadinya proses
dekomposisi pada media ini. Masih
adanya sisa-sisa daun dan ranting bambu
tersebut akan menunjang kestabilan kelembaban udara, menjadi faktor pemicu berlangsungnya proses dekomposisi.
kelembaban tanah, dan suhu yang sangat dibutuhkan untuk Akibatnya terjadi pengurangan oksigen yang sangat
perkecambahan spora. dibutuhkan untuk proses perkecambahan. Di samping itu
Pada pengamatan minggu ke-4 perkecambahan spora terjadi pula kenaikan suhu dan penurunan kelembaban
dan pertumbuhan bibit berlangsung hampir dua kali lipat dalam media tumbuh. Kondisi lingkungan tumbuh tersebut
(50%). Pada pengamatan minggu ke-10 pertumbuhan bibit kurang menguntungkan bagi perkecambahan spora dan
sudah menutup seluruh permukaan media. Bibit dalam pertumbuhan semai. Dodo et al. (2002) menyebutkan
keadaan baik dan subur. Namun pada minggu-minggu bahwa di alam D. blumei kebanyakan ditemukan pada
berikutnya, pertumbuhan bibit terlihat sangat lambat. Hal ini habitat dengan derajat keasaman 6-7. Sedang media
kemungkinan karena telah terjadi kompetisi di daerah lumpur memiliki partikel-partikel yang sangat padat
perakaran maupun daerah daun. Kompetisi di daerah daun sehingga sirkulasi udara dalam media kurang baik. Media
disebabkan adanya pertumbuhan daun yang saling ini tidak memiliki kemampuan untuk menahan dan
menaungi, sehingga terjadi persaingan dalam meloloskan air dengan baik, sehingga kurang sesuai untuk
memperebutkan ruang, cahaya, dan udara. Sedangkan perkecambahan spora.
kompetisi di perakaran terjadi dalam memperebutkan
nutrien dan air. Semakin rapat populasinya, maka tingkat
Siklus hidup
persaingannya akan semakin tinggi, sehingga kecepatan
Hasil pengamatan siklus hidup mulai dari spora
pertumbuhan cenderung menurun.
berkecambah sampai dengan terbentuknya sporofit muda
Spora yang ditumbuhkan pada media cacahan akar
disajikan pada Gambar 2. Siklus hidup dibedakan menjadi
kadaka perkecambahannya lebih lambat dari spora yang
empat fase yaitu fase pembelahan sel, fase prothalus
ditumbuhkan pada cacahan batang pakis. Pada minggu ke-
muda, fase prothalus dewasa, dan fase sporofit muda.
2 setelah spora disemai, baru 10% dari permukaan media
Setiap fase ditandai adanya perubahan bentuk atau
tertutup oleh prothalus. Namun pada pengamatan minggu
perubahan suatu organ. Adapun fase-fase siklus hidup
ke-4 sudah 50% permukaan media tertutup prothalus. Pada
tersebut adalah sebagai berikut.
minggu-minggu berikutnya pertumbuhan prothalus terus
bertambah. Kondisi prothalus bagus dan subur.
Spora yang ditumbuhkan pada kompos kaliandra Fase pembelahan sel
kondisi perkecambahannya hampir sama dengan spora Perkecambahan spora diawali dengan terjadinya
yang ditumbuhkan pada media cacahan akar kadaka. Pada pembelahan sel menjadi beberapa sel yang disertai
minggu ke-2 sampai minggu ke-6 perkecambahan spora munculnya rhizoid. Di dalam bak persemaian fase ini
masih sangat sedikit. Permukaan media tumbuh yang terlihat sebagai bentukan seperti benang-benang yang
tertutup prothalus baru 5-10%. Namun pada pengamatan sangat halus berwarna hijau transparan. Pengamatan di
minggu ke-8 permukaan media tumbuh yang tertutup bawah mikroskop menunjukkan bahwa sel-sel yang
prothalus sudah 5 kali lipat sehingga 50% permukaan membelah berbentuk seperti pita bersekat-sekat dan
media telah tertutupi oleh prothalus. Pada minggu-minggu berwarna hijau. Sedangkan rhizoid muncul dari pangkal sel
berikutnya pertumbuhan prothalus terus bertambah. Kondisi yang membelah, jumlahnya dapat lebih dari satu, tidak
prothalus bagus dan subur. bersekat-sekat, berwarna coklat. Warna hijau pada sel-sel
Media cacahan batang pakis, cacahan akar kadaka dan tersebut disebabkan adanya klorofil. Rhizoid cenderung
kompos kaliandra tampaknya merupakan media yang tumbuh ke arah bawah. Rhizoid merupakan akar semu
cocok untuk perkecambahan spora. Sifatnya yang remah yang berfungsi untuk menghisap air dan nutrisi dari dalam
memungkinkan adanya sirkulasi udara yang baik dalam media tumbuh. Pada fase ini spora yang berkecambah
media. Selain itu ketiga media tersebut memiliki diduga sudah mampu memenuhi kebutuhan makanan
kemampuan untuk menahan dan meloloskan air dengan tubuhnya sendiri melalui proses fotosintesis yang dilakukan
baik. Fluktuasi suhu dan kelembaban yang terjadi sangat sel-sel berklorofil tersebut.
rendah sehingga tidak mengganggu perkecambahan spora.
88 B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 85-89

Gambar 2. Siklus hidup D. blumei dari spora sampai sporofit muda. Keterangan: 1. Spora, 2. Fase pembelahan sel, 3. Fase prothalus muda,
4. Fase prothalus dewasa: a. Arkegonium, b. Anteridium, 5. Fase sporofit muda, 6. Rhizoid.

adanya zat-zat kimia yang dikeluarkan oleh sel-sel dinding


Fase prothalus muda arkegonium. Ukuran prothalus pada fase ini rata-rata
Pada fase ini sel-sel yang telah membelah akan terus berdiameter 1-1,2 cm.
membelah hingga menjadi bentukan seperti lembaran kecil,
yang disebut prothalus muda. Pengamatan dengan mata Fase sporofit muda
telanjang tampak jelas bentukan lembaran bundar kecil dan Sel telur yang telah dibuahi akan tumbuh menjadi
apabila dilihat dengan mikroskop tampak jelas berbentuk tumbuhan paku muda (sporofit) yang masih hidup pada
jantung, berwarna hijau, seperti melekat di permukaan prothalus. Sporofit ini pada umumnya tumbuh di sekitar
media. Sedangkan rhizoid tidak terlihat karena tertanam di lekukan bagian atas (‘cushion’). Sel-sel penyusun bagian ini
dalam media. Pada fase ini rhizoid yang terbentuk juga berukuran lebih kecil tetapi letaknya lebih rapat,
semakin banyak. dibandingkan dengan sel-sel di sekitarnya. Sporofit muda
terdiri atas akar (rhizoid) dan daun. Organ daun yang
Fase prothalus dewasa terbentuk merupakan daun sejati, artinya bagian-bagian
Prothalus muda terus
tumbuh dan berkembang
menjadi prothalus dewasa.
Fase ini ditandai dengan suatu
bentukan berupa sepasang
Tabel 1. Siklus hidup Diksonia blumei dari spora sampai sporofit muda pada setiap media tumbuh.
lembaran yang menyerupai
sayap kupu-kupu. Minggu ke-
Pertumbuhan selanjutnya Media
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
adalah terbentuknya Cacahan batang pakis
arkegonium dan anteridium
pada organ yang menyerupai
lembaran tersebut. Arkegonium
tumbuh di dekat lekukan Cacahan akar kadaka
bagian atas sedangkan
anteridium tumbuh di bagian
bawah di dekat rhizoid.
Arkegonium akan Kompos kaliandra
menghasilkan sel-sel kelamin
betina (ovum), sedangkan
anteridium akan menghasilkan
sel-sel kelamin jantan Kompos bambu
(spermatozoa). Spermatozoa
akan berenang ke arah ovum
untuk bertemu dan disusul
dengan terjadinya pembuahan. Lumpur
Pembuahan sangat
membutuhkan kondisi
kelembaban yang stabil
(Anonim, 2005). Menurut
Toogood (1999) sel-sel jantan
dapat mendekati arkegonium Keterangan:
Fase pembelahan sel Fase prothalus muda Fase prothalus dewasa Fase sporofit muda
karena adanya air pada
permukaan prothalus dan
HARTINI – Perkecambahan spora dan siklus hidup Dicksonia blumei Moore 89

daun majemuk sudah dapat dibedakan dengan jelas antara KESIMPULAN


tangkai daun, rakhis, dan anak-anak daun. Sporofit muda
selanjutnya akan tumbuh menjadi sporofit dewasa, yang Spora dan bibit D. blumei berkecambah dan tumbuh
ditandai oleh menghilangnya prothalus dan kemudian akan paling baik pada media cacahan batang pakis, serta
menjadi tumbuhan paku dewasa yang dapat menghasilkan berkecambah dan tumbuh paling jelek pada media kompos
spora. bambu. Siklus hidup paku pohon D. blumei mulai dari spora
Dari Tabel 1. dapat diketahui bahwa fase pembelahan sampai dengan sporofit muda terdiri atas empat fase yaitu
sel dimulai pada minggu ke-2 setelah spora disemai untuk fase pembelahan sel, fase protalus muda, fase protalus
semua media tumbuh. Fase ini berlangsung rata-rata dewasa, dan fase sporofit muda. Waktu yang diperlukan
selama 2 minggu kecuali pada media cacahan akar kadaka mulai dari spora berkecambah sampai dengan
fase ini berlangsung sampai minggu ke-6. Fase prothalus terbentuknya sporofit muda berkisar antara 10-36 minggu.
muda juga dimulai pada waktu yang sama untuk semua
media semai, yaitu pada minggu ke-4. Fase tersebut ada
yang berlangsung sampai minggu ke-24 yaitu pada media
DAFTAR PUSTAKA
tumbuh kompos bambu. Pada media lumpur fase ini hanya
berlangsung sampai minggu ke-12, sedang pada kompos
Anonim, 2005. Propagating Ferns from Spores.
kaliandra dan cacahan batang pakis fase ini berlangsung www.users.bigpond.com/glenyakimoff/fern_propagation.html
sampai minggu ke-20. Sedang pada media cacahan akar Chittenden, F.J. 1951. Dictionary of Gardening. Vol.I. Oxford: The Clarendon
kadaka fase ini berlangsung sampai minggu ke-22. Fase Press.
Dodo, Hasanudin, Y. Setiana, dan Odang. 2002. Inventarisasi dan Study
prothalus dewasa paling cepat tampak pada minggu ke-12 Ekologi Paku Pohon Cyathea contaminans dan Dicksonia blumei di
setelah spora disemai yaitu pada media lumpur, sedang Hutan Gunung Gede, Jawa Barat. Bogor: Pusat Konservasi Tumbuhan-
yang paling lambat baru muncul pada minggu ke-14 yaitu Kebun Raya Bogor LIPI.
pada media kompos bambu dan kompos kaliandra. Fase ini Harvey, R. 2002. Growing Ferns from Spores. www.anbg.gov-
au/ferns/fern.spore.prop.html.5k
berlangsung selama 14-24 minggu. Fase sporofit muda Heyne,K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Penerjemah: Badan Litbang
baru muncul pada minggu ke-10 setelah spora disemai, Kehutanan Jakarta. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
namun ada juga yang baru muncul pada minggu ke-34 Holttum, R.E. 1972. Cyatheaceae in Flora Malesiana. Vol. 6 Serie II.
Groningen: Wolters-Noordhoff Publishing.
setelah spora disemai. Pada media lumpur, fase sporofit Hoshizaki, B.J. and R.C. Moran. 2001. Fern Grower’s Manual. Revised and
muda mulai muncul pada minggu ke-10, namun pada Expanded Edition. Portland, Or: Timber Press.
media kompos bambu fase ini muncul paling terlambat, IUCN. 2000. The 2000 IUCN Red List of Threatened Species. CD-ROM.
yaitu baru pada minggu ke-34. London: SSC Red List Programme.
Jones, D.L. 1987. Encyclopaedia of Ferns. London: British Museum (Natural
Pemunculan fase pembelahan sel dan fase prothalus History).
muda berlangsung hampir bersamaan, namun fase Mogea, J.P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, dan Irawati.
prothalus dewasa dan sporofit muda dimulai pada waktu 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor. Puslitbang Biologi-LIPI.
Noerdjito, M. dan I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi
yang berbeda. Pada media lumpur waktu dimulainya fase Perundang-undangan Indonesia. Bogor: Balitbang Zoologi (Museum
prothalus dewasa dan sporofit muda ini lebih cepat dari Zoologicum Bogoriense) Puslitbang Biologi-LIPI & The Nature
pada media lain. Perbedaan waktu pemunculan setiap fase Conservancy.
tersebut diduga karena perbedaan lingkungan dalam media Perry, L.M. 1980. Medicinal Plants of East & Southeast Asia: Attributed
Properties and Uses. Cambridge: The MIT Press.
tumbuh. Media lumpur diduga memiliki lingkungan tumbuh Sastrapradja, S., J.J. Afriastini, D. Darnaedi, dan E.A. Widjaja.1978. Jenis
yang lebih baik untuk pertumbuhan prothalus dewasa dan Paku Indonesia. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
sporofit muda dibandingkan media lain. Adanya butir-butir Suwelo, I.S. 1999. Tinjauan status hukum konservasi tumbuhan alam.
Prosiding Seminar Nasional Konservasi Flora Nusantara. Bogor: UPT.
pasir yang tercampur dalam media lumpur berpengaruh Kebun Raya Indonesia LIPI.
terhadap keseimbangan antara pori-pori mikro dan makro Toogood, A. (ed.). 1999. Horticultural Techniques. Cambridge: Royal
media, sehingga menjadikan penyerapan dan pelolosan air, Horticultural Society.
sirkulasi udara, fluktuasi suhu dan kelembaban menjadi WCMC. 1996. World Conservation Monitoring Centre; Globally & Nationally
Threatened Taxa of Indonesia Status Report (562 Records). London:
baik, sehingga menguntungkan bagi perkecambahan spora. World Conservation Monitoring Centre.

You might also like