You are on page 1of 126

SARI PUSTAKA

Oleh:
dr. Muhammad Nur Agung Mappatanga

Pembimbing:
dr. Junaedi Sirajuddin, Sp.M(K)
dr. Hasnah, Sp.M(K), M.Kes

Moderator:
dr. Ririn Nislawati, Sp.M, M.Kes
KERATITIS VIRUS HERPES SIMPLEKs
• HSV merupakan virus DNA sub famili Herpesviridae dengan genom DNA untai ganda yang linier
• Memiliki tipe-1 dan tipe-2
• Infeksi HSV dimediasi melalui perlekatan melalui berbagai reseptor ke sel

Definisi: Peradangan pada salah satu dari lapisan kornea yang diakibatkan oleh Virus Herpes Simpleks.
Peradangan dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea.

• Tidak jarang melibatkan stroma kornea atau endothelium, bilik mata


depan, dan juga iris
• Keterlibatan stroma dikaitkan dengan respons imunologis terhadap virus
• Dapat menyebakan kebutaan
• Prognosis baik pada pengobatan yang agresif

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Faria-e-Sousa SJ, Antunes-Foschini R. Herpes simplex keratitis revisited. Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021 Jul 14.
3. Madavaraju K, Koganti R, Volety I, Yadavalli T, Shukla D. Herpes simplex virus cell entry mechanisms: an update. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology. 2021 Jan 18;10:852.
Patofisiologi
HSV-1
Penyebaran :
•Kontak langsung (lesi
atau sekresi) Dari kulit yg Infeksi laten di
•Paling sering sbg akibat terinfeksi & ganglia saraf
paparan virus tanpa
gejala klinis epitel mukosa sensorik terkait
•Neonatus  jalan lahir • Paling sering simpul saraf
melalui akson saraf
HSV-1 HSV-2 sensorik trigeminal
>> di bawah pinggang
HSV-2 (infeksi genital)
• Dapat terjadi tanpa adanya
infeksi primer yang diketahui
• Reaktivasi  V1, V2, V3

±0.5% Infeksi
Okular Eksternal
• 1/5 dari populasi tsb 
Keratitis stroma (manifestasi
umum)

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.

Gejala keratitis HSV

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Schiffer J, Corey L. Herpes Simplex Virus. Mandell Gl, Bennett JE, Dolin R, eds. Principles and Practice of Infectious Diseases. 8th ed. Pennsylvania: Elsevier; 2015. Vol 2: 1713-30.

MANIFESTASI KLINIS

1. Infeksi Okular Primer Blefarokonjungtivitis 2. Infeksi Okular Berulang

reaktivasi (seluler
dan
• kekebalan
Dapat mempengaruhi hampir semuahumoral)
jaringan ocular (kelopak mata,
konjungtiva, kornea, iris, saluran uveal, meshwork trabecular,
retina, dan saraf optic)
• Biasanya unilateral,  3% pasien yang menunjukkan penyakit
bilateral.
• Penyakit bilateral  kemungkinan disfungsi kekebalan tubuh.

Neurotrophic
Blepharoconjunctivit Epithelial keratitis Stromal keratitis Endothelial
keratopathy
is  keratitis epitel  Nonnecrotizing keratitis
pungtata • interstitial
 keratitis epitel keratitis
Dendritic  Necrotizing
 keratitis epitel
1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 •Basic disciform
and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
Geografik
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.
3. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Currentkeratitis
opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
4. Lobo AM, Agelidis AM, Shukla D. Pathogenesis of herpes simplex keratitis: The host cell response and ocular surface sequelae to infection and inflammation. The ocular surface. 2019 Jan 1;17(1):40-9

Pemeriksaan penunjang

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Azher TN, Yin XT, Tajfirouz D, Huang AJ, Stuart PM. Herpes simplex keratitis: challenges in diagnosis and clinical management. Clinical Ophthalmology (Auckland, NZ). 2017;11:185.

Infeksi okular primer
>>Blepharoconjungtivit Eyelid margin
Keratitis Epitel
is ulcers
Respon inflamasi konjungtiva  folikel karakteristik infeksi HSV okular
& kelenjar getah bening preauricular primer setelah ruptur vesikel.
teraba.

Infeksi HSV primer dapat berupa unilateral (paling umum) atau bilateral.

Infeksi ocular Primer adalah self-limited condition. Terapi antivirus oral mempercepat resolusi tanda dan
gejala.
1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.
3. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
4. Lobo AM, Agelidis AM, Shukla D. Pathogenesis of herpes simplex keratitis: The host cell response and ocular surface sequelae to infection and inflammation. The ocular surface. 2019 Jan 1;17(1):40-9

Infeksi okular primer: laboratorium

Evaluasi Laboratorium Vesikel  dibuka dengan jarum, & cairan vesikular


pada infeksi epitel produktif
dikultur
Kerokan dari dasar vesikel dapat diuji dengan  sitologi atau adanya antigen
HSV

Metodologi deteksi Kerokan konjungtiva atau spesimen sitologi impresi


Kultur virus  dianalisis dengan cara yang sama dengan :
antigen atau DNA
karakteristik infeksi HSV okular Keratitis stroma dan uveitis jarang
•kultur,
primer setelah ruptur vesikel. terjadi •deteksi antigen,
•atau PCR

• Diindikasikan dalam kasus-kasus rumit ketika diagnosis klinis tidak pasti


• Dan dalam semua kasus dugaan infeksi herpes neonatal.

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Azher TN, Yin XT, Tajfirouz D, Huang AJ, Stuart PM. Herpes simplex keratitis: challenges in diagnosis and clinical management. Clinical Ophthalmology (Auckland, NZ). 2017;11:185.
Infeksi okular berulang

Faktor-faktor

bertindak sebagai pemicu


kekambuhan :
•stres psikologis,
•infeksi sistemik,
•paparan sinar matahari,
•siklus menstruasi,
•dan pemakaian lensa kontak
1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Faria-e-Sousa SJ, Antunes-Foschini R. Herpes simplex keratitis revisited. Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021 Jul 14.
3. Farooq AV, Shukla D. Herpes simplex epithelial and stromal keratitis: an epidemiologic update. Surv Ophthalmol. 2012;57:448-462.
BLEFAROKONJUNGTIVITIS

Blepharoconjunctivitis
• Keterlibatan kelopak mata dan/atau konjungtiva dapat terjadi pada pasien dengan infeksi HSV okular
berulang,
• Mungkin secara klinis tidak dapat dibedakan dari infeksi primer.
• Kondisi ini sembuh sendiri,
• Dapat diobati dengan agen antivirus :
• untuk mempersingkat perjalanan penyakit
• mengurangi paparan kornea terhadap virus menular

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.
3. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
4. Lobo AM, Agelidis AM, Shukla D. Pathogenesis of herpes simplex keratitis: The host cell response and ocular surface sequelae to infection and inflammation. The ocular surface. 2019 Jan 1;17(1):40-9
KERATITIS EPITEL
Keratitis • Salah satu manifestasi paling umum dari infeksi HSV okular berulang yang dapat
dikenali secara klinis
Epitel
Manifestasi Klinis

keratitis epitel pungtata keratitis epitel Dendritic keratitis epitel Geografik


dapat menyatu menjadi 1 atau lebih Epitel kornea udem sitopatik di tepi ulkus Dasar dari ulkus terwarnai oleh fluorescein
herpetik diwarnai dengan rose bengal karena kehilangan integritas sel dan
kehilagan intercellular tight junctions

 Area keratitis dendritik dapat menyatu lebih lanjut,  ulkus epitel geografis yang lebih luas,
 terutama ketika kortikosteroid topikal digunakan.

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.
3. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
4. Lobo AM, Agelidis AM, Shukla D. Pathogenesis of herpes simplex keratitis: The host cell response and ocular surface sequelae to infection and inflammation. The ocular surface. 2019 Jan 1;17(1):40-9
KERATITIS EPITEL
Keratitis • Terdapat flush silia dan injeksi konjungtiva ringan.
• Edema stroma ringan & infiltrasi sel darah putih subepitel  dapat terjadi di
Epitel bawah keratitis epitel

Setelah resolusi keratitis epitel


dendritik
infiltrasi subepitel nonsupuratif dan jaringan parut dapat
terlihat tepat di bawah area ulserasi epitel sebelumnya

Sensasi kornea reduksi


menghasilkan bayangan ghost dendritic
(fokal atau diffuse)
mencerminkan posisi dan bentuk epitel sebelumnya
terjadi setelah keratitis epitel HSV. Distribusi (keterlibatan)
hipoestesia kornea terkait dengan :
•tingkat,
•durasi,
•keparahan dan
•jumlah kekambuhan keratitis herpetic.

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.
3. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
4. Lobo AM, Agelidis AM, Shukla D. Pathogenesis of herpes simplex keratitis: The host cell response and ocular surface sequelae to infection and inflammation. The ocular surface. 2019 Jan 1;17(1):40-9
KERATITIS EPITEL
• Scraping kornea
Keratitis  Multinucleated giant cells (nonspecific) dan
 intranuclear inclusions (lebih spesifik dari
Evaluasi Laboratorium
Epitel herpesvirus)

• Kultur jaringan,
• teknik deteksi antigen (ELISA),
dan
• Dapat
 PCR membantu mendiagnosis dalam kasus
atipikal

• Besar, dikelilingi oleh clear halo


• Pink ke unguan dalam balloon cell
• Terdiri dari intact and disrupted
virions
• Owl’s eye cell (CMV internuclear Tzank Smear
inculsions)

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.
3. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
4. Lobo AM, Agelidis AM, Shukla D. Pathogenesis of herpes simplex keratitis: The host cell response and ocular surface sequelae to infection and inflammation. The ocular surface. 2019 Jan 1;17(1):40-9
KERATITIS EPITEL
• >> sembuh secara spontan

Keratitis • tidak ada bukti klinis  terapi antivirus mempengaruhi (keratitis stromal atau epitel) perkembangan berulang
berikutnya
• Namun, pengobatan dapat :
Epitel •

memperpendek arah klinis
mengurangi neuropati herpetic terkait, subepithelial scarring, atau
• potensi risiko penyakit immune-mediated dari kornea

Terapi
• Antivirus dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan debridement epitel
• Umumnya harus dihentikan dalam waktu 10-14 hari (hindari toksisitas di permukaan
ocular)

Acyclovir 3% salep Larutan Trifluridine 1%


•ophthalmic
5× / hari  10 hari 8 kali sehari
• seefektif & kurang beracun daripada
trifluridine dan vidarabine Gel Ganciclovir 0,15%
Debridement epitel • Seefektif dengan acyclovir topikal
• Gunakan aplikator kapas kering atau • tetapi kurang beracun bagi
spons selulosa permukaan okular daripada
• Terapi tambahan (membantu)  Trifluridine
keratitis HSV yang resistan terhadap
obat.
1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Herpetic Eye Disease Study Group. Psychological stress and other potential triggers for recurrences of herpes simplex virus eye infections. Arch Ophthalmol. 2000;118(12): 1617–1625.
3. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
4. Lobo AM, Agelidis AM, Shukla D. Pathogenesis of herpes simplex keratitis: The host cell response and ocular surface sequelae to infection and inflammation. The ocular surface. 2019 Jan 1;17(1):40-9
KERATITIS EPITEL
Keratitis Epitel
• Acyclovir oral telah dilaporkan seefektif dengan topikalnya untuk
pengobatan keratitis epitel dan tidak menyebabkan toksisitas
okular.
• terapi oral lebih disukai oleh kebanyakan dokter

Acyclovir Oral
400 mg 5×/day for 10 days  200, 400, 800 mg; 200 mg/ 5 mL
suspension 5%

Valacyclovir, prodrug acyclovir


• Seefektif acyclovir
• tetapi dapat menyebabkan thrombotic thrombocytopenic purpura /
sindrom uremik hemolitik  pasien yang sangat
immunocompromised seperti orang-orang dengan AIDS;
• Harus hati-hati jika fungsi hati pasien terganggu atau status
kekebalan tubuh tidak diketahui.

Kortikosteroid topikal kontraindikasi pada keratitis epitel herpetik aktif;


1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
KERATITIS STROMA
Keratitis •

penyebab paling umum dari kebutaan kornea menular di Amerika Serikat
bentuk penyakit eksternal herpetic berulang yang terkait dengan morbiditas visual terbesar.
• Keterlibatan stromal dihasilkan dari aktivitas imunologi oleh inang terhadap virus.
Stroma • Setiap episode stromal keratitis aktif meningkatkan risiko episode kedepannya

Manifestasi Klinis

nonnecrotizing necrotizing
Interstisial Disciform

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016
HERPETIC INTERSTITIAL KERATITIS
(NONNECROTIZING)
Herpetic interstitial keratitis (nonnecrotizing)
Keratitis
Stroma
• mungkin sulit untuk mengidentifikasi penyakit
aktif di daerah jaringan scar dan penipisan
sebelumnya.
• Keratitis interstisial HSV lama atau berulang 
dapat dikaitkan dengan vaskularisasi kornea.

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
HERPETIC INTERSTITIAL KERATITIS
(NONNECROTIZING)
Herpetic disciform keratitis (nonnecrotizing).
Keratitis
Stroma
edema stroma disc-shaped stromal edema dan
keratik presipitat muncul di luar proporsi dengan
derajat anterior chamber.

• Diskiform keratitis karena HSV dan karena VZV


secara klinis tidak dapat dibedakan.

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
NECROTIZING HERPETIC STROMAL KERATITIS.
Necrotizing herpetic stromal keratitis.
Keratitis
Stroma
• Umumnya terjadi ulserasi epitel yang berlebihan,
tetapi ulkus epitel dapat terjadi agak eksentrik
terhadap infiltrasi,
• dan tepi ulkus epitel terlihat dengan pewarnaan rose
bengal
• Umumnya ada Vaskularisasi stroma kornea

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
KERATITIS STROMA
Keratitis Management
HEDS

Stroma •kortikosteroid topikal + antivirus profilaksis  mengurangi persistensi atau perkembangan peradangan stroma &
memperpendek durasi keratitis stroma HSV
•Asiklovir oral supresif jangka Panjang  mengurangi tingkat keratitis HSV berulang & membantu mempertahankan
penglihatan
•Profilaksis antivirus seumur hidup direkomendasikan untuk pasien dengan beberapa kekambuhan keratitis stroma HSV

herpetic interstitial
keratitis
prednisolon 1%  diturunkan secara bertahap setiap 1-2 minggu tergantung pada derajat perbaikan klinis
1 tetes setiap 2 jam
Kortikosteroid harus diturunkan ke dosis serendah mungkin  mengontrol peradangan

• Mencegah keratitis epitel berat jika pasien melepaskan HSV saat menggunakan
tetes kortikosteroid, dan
disertai dengan obat antivirus • umumnya dilanjutkan sampai pasien benar-benar menghentikan kortikosteroid atau
profilaksis
• trifluridine topikal 4 kali sehari • menggunakan kurang dari 1 tetes prednisolon 1% per hari
• asiklovir 400 mg dua kali sehari
• valasiklovir 500 mg sekali sehari

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
KERATITIS STROMA
Keratitis Management

Stroma
disciform keratitis Subsequently
• Selanjutnya prednisolon 0,5% sekali sehari  dosis yang
aman untuk menghentikan penggunaan antivirus topikal.
• Upaya berkala harus dilakukan untuk menghentikan steroid
Initial treatment sama sekali.
• steroid topikal (prednisolon 1% atau deksametason 0,1%) + antivirus, keduanya 4 kali
sehari
• Saat terjadi perbaikan, frekuensi dikurangi secara paralel selama tidak kurang dari 4 active epithelial
minggu.
• TIO harus dipantau. ulceration
• intensitas steroid serendah mungkin
• Cycloplegia untuk meningkatkan kenyamanan jika perlu, dan • rejimen antivirus yang lebih sering
• Profilaksis antibakteri topikal • Siklosporin topikal 0,05%  terutama dengan adanya
Fine needle diathermy dan laser ulserasi epitel dan
• untuk memfasilitasi pengurangan steroid topikal
techniques seperti pada peningkatan TIO terkait steroid.

HEDS
•tidak menunjukkan manfaat tambahan ketika asiklovir ditambahkan ke trifluridine dan prednisolon
•Beberapa spesialis kornea secara rutin mengganti asiklovir oral dengan trifluridin topikal

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016.
NECROTIZING STROMAL KERATITIS
Keratitis Necrotizing stromal keratitis
• bentuk keratitis herpes yang paling tidak umum tetapi paling merusak
Stroma

Management

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016.
KERATITIS ENDOTEL
• Peradangan pada endotel kornea dengan presipitat keratik dan edema stroma
Keratitis • Diperkirakan merupakan reaksi imunologis terhadap zat agen penyerang 
respons sel T CD4 imunopatologis
Endothelial • Edema stroma sering disertai dengan presipitat keratik yang mendasari dan
reaksi inflamasi bilik mata depan. 

Manajemen
• Terapi medis  steroid topikal, obat antivirus oral
• Terapi bedah  Full-Thickness Penetrating keratoplasty (PK), atau deep anterior lamellar
keratoplasty (DALK)
1. Faria-e-Sousa SJ, Antunes-Foschini R. Herpes simplex keratitis revisited. Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021 Jul 14.
2. White M.L. Herpes Simplex Virus Keratitis: A Treatment Guideline – 2014 [Internet]. 2014. Available from: https://www.aao.org/clinical-statement/herpes-simplex-virus-keratitis-treatment-guideline
NEUROTROPHIC KERATOPATHY
Neurotrophic • disebabkan oleh kegagalan re-epitelisasi akibat corneal
keratopathy anaesthesia,
• sering diperburuk oleh faktor lain seperti toksisitas obat

Signs

Punctat epithelial erosions, dengan pola pewarnaan punctat


fluorescein :
•garis regenerasi epitel kronis, dan
•ulkus neurotropik yang jelas, merupakan ciri keratopati neurotropik

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016.
NEUROTROPHIC KERATOPATHY
Neurotrophic
• persistent epithelial defects;
keratopathy • steroid topikal  mengontrol komponen inflamasi harus
dijaga seminimal mungkin

terapi utama Ulkus neurotropik yang gagal merespon terapi


• Penggunaan tetes, konservatif
• gel,
• nonpreserved lubricating; serum autologus;
dan oklusi punctal

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016.
PENATALAKSANAAN
 Prinsip :
•Infeksi ocular Primer  self-limited condition. Terapi antivirus oral mempercepat resolusi tanda dan
gejala.
•Infeksi Okular Berulang;
• keratitis epitel  Antivirus dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan debridement
epitel
• Keratitis stroma  kortikosteroid (disesuaikan) + antivirus profilaksis. Profilaksis antivirus
seumur hidup direkomendasikan untuk pasien dengan beberapa kekambuhan keratitis stroma
HSV
• Cycloplegia  meningkatkan kenyamanan jika perlu

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
PENATALAKSANAAN

Komplikasi Management
•Terapi antivirus dapat dikombinasikan dengan debridement epitel
•Jaringan parut kornea yang menyebabkan kebutaan merupakan indikasi transplantasi kornea, Ulkus kornea dapat dilakukan
pembedahan
•Pembedahan dapat berupa: Penetrating keratoplasty (PK), deep anterior lamellar keratoplasty (DALK), Amniotic membrane
transplantation atau Conjungtival flap

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Roozbahani M, Hammersmith KM. Management of herpes simplex virus epithelial keratitis. Current opinion in ophthalmology. 2018 Jul 1;29(4):360-4.
PENATALAKSANAAN BEDAH

• Penetrating keratoplasty (PK)


• deep anterior lamellar keratoplasty (DALK)
• PK atau DALK Diindikasikan  scar stroma yang signifikan secara visual tidak dapat dikoreksi
dengan kacamata atau lensa kontak
• Amniotic membrane transplantation atau Conjungtival flap  untuk defek epitel persisten dengan dan
tanpa penipisan kornea

Terapi antivirus oral  meningkatkan kelangsungan hidup cangkok


mengurangi risiko kekambuhan HSV & memungkinkan penggunaan kortikosteroid topikal yang lebih bebas

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016.
KOMPLIKASI

• Baik scar dan astigmatisme dapat membaik seiring waktu pada beberapa pasien.
• gas-permeable contact lens biasanya meningkatkan visus di luar yang diperoleh dengan penggunaan
kacamata.
• Untuk vaskularisasi stroma  Kortikosteroid topikal dapat menekan pertumbuhan pembuluh darah baru
dan menghentikan deposisi lipid tambahan

1. The American Academy of Ophthalmology. Section 08: External Disease and Cornea. In 2020-2021 Basic and Clinical Science Course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2020.
2. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016.

Pencegahan keratitis HSV

1. Jack J Kanski. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach 8th Edition. Chapter: Cornea. 6 Elsevier, Saunders Ltd. 2016.
2. Schmader KE, Levin MJ, Gnann JW Jr, et al. Efficacy, safety, and tolerability of herpes zoster vaccine in persons aged 50–59 years.
3. Sibley D, Larkin DF. Update on Herpes simplex keratitis management. Eye. 2020 Dec;34(12):2219-26

Differential diagnosis

keratitis epitel

ketika stroma belum terlibat dendritiform dan/atau ulserasi epitel geografis (Noninfeksi)
• khususnya keratitis Acanthamoeba,
• keratitis epitel virus varicella zoster,
• keratitis epitel virus Epstein-Barr,
• keratitis epitel adenovirus,
• keratitis epitel Chlamydia, dan
• keratitis epitel bakterial lainnya

• Keratopati neurotropik dan defek epitel persisten juga dapat menjadi konsekuensi dari keratitis HSV
berulang dan/atau Severe.
1. Faria-e-Sousa SJ, Antunes-Foschini R. Herpes simplex keratitis revisited. Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021 Jul 14.
2. White M.L. Herpes Simplex Virus Keratitis: A Treatment Guideline – 2014 [Internet]. 2014. Available from: https://www.aao.org/clinical-statement/herpes-simplex-virus-keratitis-treatment-guideline

Differential diagnosis

keratitis Stroma
HSV
keratitis stroma HSV tanpa ulserasi keratitis stroma HSV dengan ulserasi

keratitis endotel
meliputi segala bentuk keratouveitis,HSV
sindrom Posner Schlossman, keratitis endotel CMV, dan penolakan
cangkok kornea
1. Faria-e-Sousa SJ, Antunes-Foschini R. Herpes simplex keratitis revisited. Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021 Jul 14.
2. White M.L. Herpes Simplex Virus Keratitis: A Treatment Guideline – 2014 [Internet]. 2014. Available from: https://www.aao.org/clinical-statement/herpes-simplex-virus-keratitis-treatment-guideline
AAO READING 2020

TOXOPLASMOS
IS
Protozoal

DEFINITION

 Toksoplasmosis adalah penyebab paling


umum dari uveitis posterior menular pada
orang dewasa dan anak-anak. Hal ini
disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii,
parasit apikomplexan intraseluler obligat sel
tunggal dengan distribusi di seluruh dunia.
Siklus hidup T. gondii terbagi menjadi dua yaitu siklus hidup seksual yang terjadi
pada kucing dan hewan sebangsanya (feline) dan siklus hidup aseksual yang terjadi
 pada beragam organisme selain kucing

Siklus hidup seksual dimulai dari ookista maupun kista yang menginvasi sel mukosa
usus kecil kucing sehingga terbentuk schizont yang kemudian berkembang menjadi
gametosit. Setelah terjadi fusi antar gamet jantan dan betina maka terbentuklah
ookista yang kemudian keluar dari sel hospes menuju ke lumen usus kucing dan
dikeluarkan melalui feses kucing
Masing-masing ookista mengandung 2 sporokista dan setelah 48 jam akan terbentuk
4 sporozoit dari masing-masing sporokista. Ookista dengan 8 sporozoit didalamnya
jika tertelan kucing akan mengulangi siklus hidup seksual dalam tubuh kucing

Ookista atau kista jaringan jika tertelan hospes intermediate seperti: tikus, kambing,
babi, burung dan juga manusia dapat terjadi siklus hidup aseksual

Ookista terbuka dan mengeluarkan 8 sporozoitnya di dalam duodenum manusia atau


hewan, kemudian menembus dinding usus dan mengikuti sirkulasi darah dan
menginvasi berbagai sel terutama makrofag

Tertelannya ookista yang telah bersporulasi akan mengakibatkan terjadinya


ekskistasi yang menyebabkan keluarnya sporozoit. Sporozoit kemudian menginfeksi
sel epitel usus dari inang dan berubah menjadi takizoit untuk mengawali
perkembangan siklus seksual dan aseksual. Sporozoit yang menginfeksi sel-sel
berinti akan berkembang menjadi takizoit dalam kurun waktu 24 jam setelah infeksi.
Selanjutnya takizoit tersebut membelah diri secara endodiogoni (endodyogonyLIVE
CYCLE

 Infeksi manusia oleh T gondii bisa didapat atau bawaan. Modus utama penularan meliputi

 menelan daging yang kurang matang dan terinfeksi yang mengandung kista jaringan

 menelan air, buah, atau sayuran yang terkontaminasi dengan ookista

 kontak yang tidak disengaja dengan kotoran kucing, kotoran kucing, atau tanah yang mengandung
ookista

 transmisi transplasental dengan infeksi primer selama kehamilan transfusi darah atau transplantasi
organ

Histology

 Wanita hamil tanpa bukti serologis TERinfeksi T gondii harus disarankan untuk
melakukan tindakan pencegahan berikut:

 Hindari konsumsi daging mentah / setengah matang (pembekuan pada -20 ° C / −4 °


F semalam juga menghancurkan kista jaringan).

 Minumlah hanya air yang telah disaring atau direbus.

 Cuci sayur dan buah dengan hati-hati sebelum dikonsumsi.

 Gunakan sarung tangan dan cuci tangan serta peralatan dapur dengan baik setelah
menangani daging atau tanah.

 Hindari kontak dengan kucing dan kotorannya (termasuk di tanah atau kotak kotoran

CLINICAL MANIFESTATION

 Retinochoroiditis

 Hidrosefalus atau mikrosefali

 Kalsifikasi intrakranial dan gangguan kognitif (Sabin's tetrad)

 terjadi pada kurang dari 10% anak yang terinfeksi



Retinochoroidal
lesions (80%) case

 Lexi retinochoroidal, ditemukan hingga 80% kasus, adalah kelainan yang


paling umum pada pasien dengan toksoplasmosis kongenital

 Lesi bilateral pada sekitar 85% individu yang terkena dan membawa
predileksi pada kutub posterior dan makula,

 keterlibatan segmen posterior mungkin subklinis dan kronis.

 Sebanyak 85% anak yang terinfeksi mengembangkan retinochoroiditis


setelah rata-rata 3,7 tahun, dan 25% di antaranya menjadi buta pada 1 atau
kedua mata. Kebanyakan ahli merekomendasikan terapi antiparasit untuk
bayi baru lahir dengan toksoplasmosis kongenital selama tahun pertama
kehidupan untuk mengurangi beban penyakit, terlepas dari adanya tanda-
tanda mata dan / atau sistemik
Meskipun bergantung pada lokasi lesi,
gejalayang sering muncul meliputi
Gambar 11-27 Foto fundus adanya skar
pada makula toksoplasma kongenital
yang diam, berpigmen sebagian. Pasien
memiliki ketajaman visual 20/400. (Atas
kebaikan John D. Sheppard Jr, MD.)
penglihatan dan floaters kabur atau kabur
unilateral. Uveitis anterior granulomatosa
ringan sampai sedang sering diamati, dan
hingga 20% pasien mengalami
peningkatan TIO akut saat presentasi

gejala klinis yang terjadi penglihatan kabur dan


floaters unilateral. Sebuah uveitis anterior
granulomatosa ringan sampai sedang sering
diamati, dan hingga 20% dari pasien memiliki
TIO akut yang meningkat saat presentasi.
Secara klasik, toksoplasmosis okular muncul
sebagai retinokoroiditis putih fokal, dengan
peradangan vitreus sedang di atasnya ("lampu
dalam kabut"), sering berdekatan dengan bekas
luka retinochoroidal berpigmen (Gambar 11-28,
11-29).

Lesi ini lebih sering terjadi di pole posterior tetapi


kadang-kadang ditemukan berdekatan atau langsung
melibatkan saraf optik; mungkin disalahartikan sebagai
neuritis optik. Pembuluh retina di sekitar lesi aktif dapat
menunjukkan perivaskulitis dengan selubung vena
difus dan plak arteri segmental (Kyrieleis arteriolitis).
Oklusi vaskular juga mungkin ada. Komplikasi mata
tambahan termasuk katarak, kekeruhan vitreous
persisten, edema makula, ablasi retinal, membran
epiretinal, atrofi optik, dan CNV. Penyakit yang baru
didapat sering muncul sebagai retinochoroiditis fokal
tanpa adanya jaringan parut retinochoroidal.

 Retinochoroiditis berkembang pada pasien


immunocompromised dan pasien yang lebih tua
mungkin muncul dengan temuan atipikal, termasuk
lesi besar, multipel,atau bilateral, dengan atau tanpa
bekas luka retinochoroidal terkait. Gambaran klinis
yang lebih parah ini juga dapat terjadi pada pasien
yang menerima steroid tanpa terapi antiparasit
bersamaan (Gambar 11-31).

 Toksoplasmosis okuler dapat menstimulasi ARN(akut


retinal necrotic) herpes. Presentasi atipikal lainnya
termasuk neuroretinitis, toksoplasmosis pungktat retinal
outer retinal (PORT), unilateral retinopati pigmen yang
mensimulasikan retinitis pigmentosa, dan bentuk lain dari
peradangan intraokular tanpa adanya retinochoroiditis.
Karakteristik PORT meliputi lesi multifokal kecil di tingkat
retina luar, dengan eksudasi ke ruang subretinal dan
sedikit inflamasi vitreal di atasnya


Diagnosis
 Dalam kebanyakan kasus, retinochoroiditis toksoplasma secara klinis didiagnosis
berdasarkan lesi fundus yang khas. Tes serologi positif untuk anti-T gondii IgG atau
IgM mengkonfirmasi paparan parasit. Antibodi IgG muncul setelah 2 minggu pertama
infeksi, biasanya menetap dan terdeteksi seumur hidup pada berbagai tingkat, dan melintasi
plasenta. Antibodi IgM, bagaimanapun, meningkat jumlahnya lebih awal selama fase akut
infeksi, biasanya tetap terdeteksi kurang dari 1 tahun, dan tidak melewati plasenta.
Kehadiran antibodi IgG anti-T gondii mendukung diagnosis retinochoroiditis toksoplasma
dalam konteks klinis yang sesuai, sedangkan titer antibodi negatif pada dasarnya
mengesampingkan diagnosis.

 Adanya IgM pada bayi baru lahir mengkonfirmasi adanya infeksi kongenital dan
mengindikasikan penyakit yang didapat pada orang dewasa. Dalam kasus ketidakpastian
diagnostik, pengujian PCR dari aqueous humor dan cairan vitreous dapat dilakukan

Treatment

 Pada pasien imunokompeten, penyakit ini dapat sembuh sendiri.


Perbatasan lesi menjadi lebih tajam dan edema berkurang selama periode
6-8 minggu tanpa pengobatan, dan hiperplasia RPE terjadi secara bertahap
selama beberapa bulan. Pada

 pada pasien imunocompreasied

 penyakit ini seringkali lebih parah dan progresif. Pengobatan dapat


mempersingkat durasi replikasi parasit, yang mengarah ke sikatriisasi lebih
cepat dan pada akhirnya menimbulkan bekas luka retinochoroidal yang
lebih kecil. Perawatan juga dapat mengurangi frekuensi kekambuhan
inflamasi dan meminimalkan komplikasi struktural yang terkait dengan
peradangan intraokular.

 Indikasi pengobatan relatif termasuk pada infeksi Toxo ini meliputi

 lesi yang mengancam saraf optik atau fovea

 penurunan ketajaman visual

 lesi yang berhubungan dengan peradangan vitreous sedang sampai berat

 lesi berukuran lebih dari 1 diameter cakram

 persistensi penyakit selama lebih dari 1 bulan

 adanya beberapa lesi aktif


 Pengobatan diindikasikan pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan (orang dengan

HIV / AIDS, dengan penyakit neoplastik, atau penurunan berat badan IMT), pasien dengan
toksoplasmosis kongenital, dan wanita hamil dengan penyakit yang baru didapat.

 Regimen klasik untuk pengobatan toksoplasmosis mata terdiri dari 4–8 minggu pirimetamin
(loding dose , 50–100 mg; dosis pengobatan, 25–50 mg / hari) dan sulfadiazin (dosis
pengobatan, 1 g, 4 kali / hari) . Pirimetamin akhir-akhir ini menjadi sangat mahal. Asam
folinat (5-10 mg / hari) ditambahkan untuk mencegah mielosupresi (leukopenia dan / atau
trombositopenia), yang mungkin terjadi akibat terapi pirimetamin.

 Tambahan : Potensi efek samping senyawa sulfa termasuk ruam kulit, intoleransi
gastrointestinal, kristaluria, batu ginjal, dan sindrom Stevens-Johnson

A complete blood count may be checked approximately


every 2 weeks during therapy.

 Klindamisin (300 mg, 4 kali / hari) dapat ditambahkan ke rejimen di atas


atau diganti dengan sulfadiazin dalam kasus alergi sulfa.

 Klindamisin, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan obat lain, telah
efektif dalam menangani lesi akut, tetapi kolitis pseudomembran
merupakan komplikasi yang potensial.

 Klindamisin (1 mg / 0,1 mL) juga dapat disuntikkan secara intravitreally


dengan cara off-label, baik dalam kombinasi dengan terapi sistemik
atau sebagai monoterapi pada pasien yang tidak mentolerir terapi
sistemik.

 Azitromisin (500 mg setiap hari) atau atovaquone


(750 mg, 2-4 kali / hari) dapat menggantikan
sulfadiazin atau klindamisin

 Kortikosteroid sistemik (sekitar 0,25-0,75 mg / kg,


biasanya tidak melebihi 60 mg / hari) dapat
dipertimbangkan setelah 48 jam terapi antimikroba
pada pasien imunokompeten. Penggunaan
kortikosteroid sistemik tanpa cakupan antimikroba
yang sesuai atau penggunaan formulasi kortikosteroid
periokular dan intraokular kerja panjang seperti
triamcinolone acetonide merupakan kontraindikasi
karena potensi panophthalmitis parah dan kehilangan
mata (lihat Gambar 11-31

 Kortikosteroid topikal, bagaimanapun, digunakan secara bebas dengan


adanya peradangan segmen anterior yang menonjol. Perawatan
kortikosteroid sistemik dapat digunakan selama 3-5 minggu, saat
peradangan mulai mereda dan lesi retinal menunjukkan tanda-tanda
kikatriisasi dini. Cakupan antimikroba harus dilanjutkan selama seluruh
periode penggunaan kortikosteroid sistemik.

 Bayi baru lahir dengan toksoplasmosis kongenital biasanya diobati


dengan pirimetamin dan sulfonamida (ditambah asam folinat) selama 1
tahun, setelah berkonsultasi dengan spesialis penyakit menular anak.
 .

 Dalam kasus toksoplasmosis yang baru didapat selama


kehamilan, pengobatan diberikan untuk mencegah infeksi pada
janin bisa di berikan

 Spiramisin (dosis pengobatan, 400 mg 3 kali / hari)


 pengobatan alternatif mungkin diperlukan; pilihan termasuk
azitromisin, klindamisin, dan atovaquone (dosis pengobatan,
750 mg setiap 6 jam). Sulfonamida dapat digunakan dengan
aman pada 2 trimester pertama kehamilan.
Sari Pustaka Pembimbing :

dr. Junaedi Sirajuddin, Sp.M(K)

dr. Sitti Soraya Taufik, Sp.M, M.Kes

dr. Hasnah, Sp.M(K), M.Kes

 Moderator :
dr. Andi Pratiwi, Sp.M, M.Kes

PENDAHULUAN
KLASIFIKASI - The SUN Working Group

Anatomic Classification of Uveitis Klasifikasi waktu berdasarkan aktifitas


inflamasi berdasarkan waktu

Patologi
•Supuratif Atau Purulent
Klasifikasi klinis : •Non-Supuratif (Klasifikasi Wood’s)
•Infeksius • Non-Infeksius • Masquerade • Granulomatosa
• Non-granulomatosa
 RESPON IMUN BILIK MATA DEPAN
 ETIOLOGI

• Idiopatik (40%)
• Berhubungan dengan kondisi reumatologik (45%) seperti seronegative arthropathies,
penyakit yang berhubungan dengan genotipe spesifik (yaitu, HLA-B275)
• Ankylosing spondylitis
• Reactive arthritis syndrome
• Inflammatory bowel disease
• Psoriatic arthritis
• reumatoid artritis juvenile
• trauma
• Infeksi
• Inflamasi phacogenic
 PATOFISIOLOGI

PATOLOGI UVEITIS

Wood selanjutnya mengklasifikasikan uveitis menjadi :


• Supuratif (purulen) dan nonsuppuratif
• Non-supuratif (non-purulen) Orientasi kedepan terhadap
• Tipe nongranulomatosa pokok persoalan uveitis, jenis
pemeriksaan dan terapi
• Granulomatosa

PATOLOGI UVEITIS
• Supuratif
Infeksi eksogen oleh
organisme piogenik
•Bagian dari
endophthalmitis atau
panophthalmitis

PATOLOGI UVEITIS
Uveitis nongranulomatosa
•Inflamasi
• eksudatif
• akut
• kronis
•Penyembuhan →
nekrosis atau atropi

PATOLOGI UVEITIS
Uveitis granulomatosa
•peradangan
• kronis
• proliferatif

PENYAKIT PENYEBAB UVEITIS
ANTERIOR
Ankylosing
– Non Infeksius
Acute Nongranulomatous Spondylitis

Reactive Arthritis /
Reiter’s Syndrome
HLA-B27–Related Diseases

Inflammatory Bowel
Disease

Psoriatic Arthritis

PENYAKIT PENYEBAB UVEITIS
ANTERIOR – Non Infeksius
Phacoantigenic
(trauma atau
bedah)

Phacolytic

PENYAKIT PENYEBAB UVEITIS
ANTERIOR – Non Infeksius
Rifabutin, Fluoroquinolon sistemik, Bifosfonat, Sulfonamide,
Dietilkarbamazin, anti-TNF, vaksin BCG dan vaksin influenza,
tes kulit tuberculin, antiglaukoma seperti : metipranolol,
anticholinesterase inhibitors, dan prostaglandin F2α
analogues,obat yang diinjeksikan langsung ke bola mata

PENYAKIT PENYEBAB UVEITIS
ANTERIOR – Non Infeksius
Chronic Anterior Uveitis
•Fuchs Heterochromic Uveitis
• Etiologi masih belum jelas
• tidak bergejala sampai kabur ringan dan tidak nyaman
• Heterokromia
• KPs kecil, putih, stellate yang tersebar secara difus

•Juvenile Idiopathic Arthritis


• Radang sendi < usia 16 tahun, berlangsung setidaknya 6 minggu
• uveitis dengan mata putih
• nyeri ringan - sedang, fotofobia, kabur

PENYAKIT PENYEBAB UVEITIS
ANTERIOR – Terkait Infeksi

PENYAKIT PENYEBAB UVEITIS
ANTERIOR
 Anamnesis
Lengkap
PENDEKATAN SISTEMATIS
• Onset ? >3
bulan ?
Akut Berulang
Kronik ?

• Nyeri
• Awalnya tersembunyi
• Mata merah
• Mata merah
• Tanda Dan Gejala Klinis ?• Fotofobia
• Rasa tidak nyaman
• Penurunan
• Fotofobia
Penglihatan
• Tsidak memiliki gejala
• Lakrimasi

• Riwayat Pengobatan
• Riwayat sosial
 Pemeriksaa
n Okular
PENDEKATAN SISTEMATIS
Palpebr Kornea
•aEdema ringan

Konjungtiva

Keratic precipitates (KPs)

Injeksi Siliaris
PENDEKATAN
 SISTEMATIS - Keratic precipitates (KPs)
• Non-granulomatosa Pemeriksaa
n Okular

Endothelial cellular ‘dusting’ KPs granular Old KPs

• KPs
granulomatous

KPs stellate pada sindrom Fuchs uveitis ‘mutton fat’ appereance


BMD 

• Sel (SUN) Working Group untuk grading sel


(cahaya slit 1 x 1 mm)

Grade Cell in Field


0 <1
0.5+ 1-5
1+ 6-15
2+ 16-25
3+ 26-50
4+ >50
BMD 

• Flare (SUN) Working Group untuk


grading Flare

Grade Description
0 None
1+ 1+ Faint, just detectable
2+ 2+ Moderate (iris and lens
details clear)
3+ 3+ Marked (iris and lens
details hazy)
Perbesaran tinggi sinar slit 3 x 1 mm 4+ 4+ Intense (fibrin or plastic
pada ruang gelap tampak adanya sel dan aqueous)
flare
BMD 

• Fibrinous Exudate
• AAU yang berat
• HLA-B27
BMD  Sudut BMD

• Hifema
• uveitis tipe hemoragik

Goniokopi menunjukkan deposit fibrillar


IRIS 

Koeppe nodules in Fuchs uveitis syndrome

Busacca and Koeppe nodules


• Sinekia Posterior
IRIS 

Segmental

Annular
Heterochromia Ddengan “moth-eaten
appearance” in Fuchs uveitis syndrome

• BMD dalam
• Jarang

Total
Iris stromal atrophy pada pasien varicella-zoster
LENSA  Tekanan
Intraocular
• Dispersi pigmen pada kapsul
lensa anterior

Hipopion dan anterior


capsular ring setelah
sinechiolisis

Perubahan
Segmen
Posterior
 Pemeriksaan
fisik
PENDEKATAN SISTEMATIS
Pemeriksa
• Pemeriksaan fisik
an
• Ahli penyakit dalam
tambahan
• Menyingkirkan penyakit sistemik
• Investigasi Okular
• B-scan ultrasonografi
• Fluorescein angiografi Tidak ada satupun rangkaian
• OCT pemeriksaan standar yang perlu
• Biomikroskopi ultrasonografi dilakukan untuk semua pasien
• Evaluasi laboratorium dan medis dengan uveitis
• Mengacu pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

DIAGNOSIS
• Ditegakkan berdasarkan tinjauan
GAMBARAN GRANULOMATO NON-
yang luas dari :
KLINIK US GRANULOMATOU
• riwayat pasien
S
• riwayat keluarga
• tinjauan rinci sistem kesehatan Onset Tersembunyi Akut
• pemeriksaan sistematis dan okular Nyeri Minimal Menonjol
• pemeriksaan laboratorium Fotofobia Ringan Menonjol
• Pendekatan sistematis untuk KPs Mutton fat Kecil
menegakkan diagnosis terdiri dari : Injeksi Siliaris Minimal Menonjol
1.Menentukan klasifikasi uveitis Flare Ringan Menonjol
berdasarkan lokasi (SUN Working Group)
Iris Nodul Ada Tidak ada
2.Menentukan karakteristik clinicopathologic
dari inflamasi Sinekia Tebal dan luas Tipis dan halus
Posterior

DIAGNOSIS
 PENATALAKSANAAN

KORTIKOSTEROID
• Pilihan utama pengobatan
• Obat terbaik untuk mengendalikan peradangan
• Tujuan :
• menghilangkan peradangan
• mencegah sikatriks
• meminimalkan kerusakan pada pembuluh darah uvea

KORTIKOSTEROID -
Kortikosteroid Oftalmik Topikal Penggunaan
Difluprednate 0,05% Uveitis berat
Prednisolon asetat 0,125% dan 1% Uveitis berat
Betametason 1% Uveitis ringan
Deksametason natrium fosfat 0,1%
(juga tersedia dalam bentuk salep Uveitis ringan
0,05%)
Fluorometholone 0,1% dan 0,25%
Uveitis ringan –
(juga tersedia dalam bentuk salep
sedang
0,1%)
Uveitis ringan –

KORTIKOSTEROID -
Akut
• Sesuai dengan tingkat keparahan peradangan
• Aturan yang umum diadopsi dapat terdiri dari :
• 1 tetes setiap 1 jam selama 3 hari, lalu
• setiap 2 jam selama 3 hari, lalu
• 4 kali sehari selama 1 minggu, lalu
• 3 kali sehari selama 1 minggu, lalu
• 2 kali sehari selama 1 minggu, lalu
• 1 kali sehari selama 1 minggu dan berhenti

KORTIKOSTEROID -

KORTIKOSTEROID -

KORTIKOSTEROID -
• Indikasi
• Diperlukan konsentrasi maksimum
obat untuk waktu yang lebih lama
dengan efek samping minimal
• Kasus rumit, dengan Cystoid
macular edema (CME) Injeksi sub-Tenon posterior Injeksi transseptal inferior
• Tidak patuh dengan pemberian triamcinolone acetonide triamcinolone acetonide
topikal
• Triamcinolone acetonide (40 mg) dan methylprednisolone acetate (40-80 mg)
• Tidak boleh pada : uveitis infeksius dan skleritis nekrosis

KORTIKOSTEROID -
• Indikasi
• Uveitis anterior dengan CME yang tidak berespon terhadap terapi lain
• Dipertimbangkan pada saat operasi intraokular pada pasien uveitis anterior dengan
risiko tinggi
• Triamcinolone (4 mg; 0,1 mL) intravitreal pars plana tunggal

MIDRIATIKUM / SIKLOPLEGIK
• Tujuan dalam pengobatan uveitis anterior :
• Untuk menghilangkan rasa sakit dengan melumpuhkan iris
• untuk menghilangkan fotofobia sekunder akibat spasme siliaris
• Untuk mencegah sinekia posterior, yang dapat menyebabkan iris bombans dan peningkatan
TIO
• Untuk menstabilkan blood-aqueous barrier
• Membantu mencegah kebocoran protein lebih lanjut (flare)
• Agen sikloplegik yang berguna dalam mengobati uveitis anterior adalah :
• Atropin, 0,5%, 1%, 2%
• Homatropin, 2%, 5%
• Siklopentolat, 0,5%, 1%, 2%
• Phenylephrine 2,5%

NON-STEROIDAL ANTI-
INFLMMATORY DRUGS (NSAIDs)

IMUNOMODULATOR
(IMUNOSUPRESIF)
• Tidak digunakan pada uveitis anterior akut
• Memodifikasi atau mengatur satu atau lebih fungsi kekebalan tubuh
• Dipertimbangkan pada pasien :
• Kortikosteroid jangka panjang (> 3 bulan) , dosis > dari 5-10 mg / hari
• Kortikosteroid topikal jangka panjang
• Suntikan kortikosteroid berulang
• Imunosupresif yang biasa digunakan adalah metotreksat atau azatioprin

OPERATIF
• Diagnostik dan / atau terapi

• Terapi Panas
• Kacamata gelap

KOMPLIKASI
• Calcific Band Keratopathy • Choroiditis
• Katarak Komplikata • Cystoid macular oedema
• Cyclitic Membrane • Macular degeneration
• Glaukoma Sekunder • Exudative retinal detachment
• Secondary periphlebitis
• Hipotoni
• Papillitis (inflamasi disks optik)
• Ptisis bulbi
SARI PUSTAKA

Humairah Bachmid

DEFINISI

Konjungtivitis akibat reaksi hipersensitivitas (tipe I dan IV) yang


mengenai kedua mata dan bersifat rekuren.

Penyakitnya mungkin bertahan sepanjang tahun di daerah beriklim tropis.

Vernal Keratoconjungtivitis (VKC) bila gejala dan tanda klinis


melibatkan kornea.

KLASIFIKASI
103

ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI

Hipersensitivitas tipe I

Kondisi alergi yang dimediasi oleh


Riwayat keluarga yang kuat alergi

IgE Th2
Usia muda 3-25 tahun

ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI


105

Demografi Prevalensi Kondisi Co-Morbid


Laporan case-series (Italia) usia rata2 •Bervariasi wilayah geografis Penyakit atopik terlihat pada 48%
saat diagnosis antara 6,8 ± 5 tahun dan 11 ± •lazim  iklim hangat : bentuk pasien
5 tahun perennial (menetap) 15-64% juga menderita asma
Hanya 4% pasien yang baru didiagnosis •Daerah beriklim sering berubah 30-49% juga memiliki rhinitis
lebih tua dari 20 tahun pada saat diagnosis pola kambuh kekambuhan terjadi alergi
awal pada musim semi dan musim panas 16-24% juga memiliki Eksim
Beberapa case series  pria : wanita = •Eropa barat : 3.2 / 10 000 prick test positif pada 44-58%
3:1 •lebih tinggi di Italia (27,8 / 10 000) pasien dari Konjungtivitis vernal
Dewasa (>20 tahun)  pria : wanita = •lebih rendah di Norwegia (1.9 / 10
1:1 000)
PATOGENESIS

106

 Masih belum diketahui sepenuhnya

 Reaksi hipersensitifitas tipe I & tipe IV (?)


 IgE meningkat  serum & air mata
 Th2 meningkat  air mata

GAMBARAN KLINIS
107

Gejala :

Mata merah dan hiperlakrimasi

Gatal

Fotofobia  Blepharospasme

Tanda Klinis

Hipertrofi papil konjungtiva Horner-Trantas dots



Cameron Klasifikasi

Shield Ulcer

Grade 1 : Dasar Ulkus yg jelas, berespon dgn medikasi

Grade 2 : Debris inflamasi di dasar, rentan keratitis infeksi

Grade 3 : Dasar ulkus luas dan peningkatan plak


DIAGNOSIS

1. Gambaran klinis

2. Konjungtiva scraping – sitologi air mata:


>> Eosinofil & granul eosinofil (pewarnaan Giemsa)

3. IgE spesifik , serum & air mata, Tes Alergi Kulit 


AKC

DIAGNOSA BANDING

Usia dan Gambaran klinis Citologi sel Terapi


riwayat pasien konjungtiva
Keratokonjungtivit Dewasa, Riw. mikropapila pada konjungtiva Eosinofil sedikit Mast cell stabilizer,
is Atopik Atopi tarsal, konjungtiva yang hipertrofi Anti histamine
dengan mukus yang berlebihan

Konjungtivitis Seluruh usia Folikel, keratitis pungtata Limfosit dan Simptomatik


Viral superficial, pseudomembran Monosit
pada kasus berat

Trakoma Seluruh usia, Folikel, papil, corneal pannus Mix neurofil dan Tetes Tetrasiklin dan
khususnya anak- limfosit. Badan salep
anak yang terkait inklusi juga
dengan kotoran/ terlihat
lalat
Konjungtivitis Seluruh usia Hiperemis konjungtiva, kemosis, neutrofil Tetes antibiotik
bakteri udem kelopak

PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGIS

o Klimatoterapi
o Edukasi Pasien & orang tua
o Identifikasi alergen & penghindaran faktor lingkungan yang memperburuk
o Sering mencuci tangan, wajah, dan telinga
o Kompres dingin
o Tear substitutes membantu stabilisasi tear film
PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS

 Mast Cell Stabilizer

 First line
 Topikal aman  efek samping mata minimal
 Tolerabilitas, efek rasa terbakar
 Natrium kromoglikat 2% dan 4% (DSCG, cromolyn), nedocromil
sodium 2%, lodoxamide tromethamine 0,1%, dan asam spaglum
4%.
 Dosis direkomendasikan : 4-6 kali sehari
 ANTI HISTAMINE

Levocabastine 0,05%
4x1 tetes/hari (3 bulan), efektif, dan aman.

Emedastine 0,05%
Lebih kuat dan selektif daripada levocabastine.

Meta-analisis uji klinis metode random sampling :


Tujuan : evaluasi kemanjuran tetes mata anti-alergi umum (levokabastin,
lodoxamide, NAAGA, nedocromil sodium, Cromolin)
Hasil : Lodoxamide menjadi yang paling efektif
ANTI HISTAMINE + MAST CELL

STABILIZER

 Menggabungkan sifat stabilisasi sel mast dan


antagonisme reseptor histamin H1  Histamin
 Anti-inflamasi, mengurangi aktivasi eosinofil dan
pelepasan sitokin

Contoh : Olopatadine dan ketotifen



NSAID

 Menghambat siklooksigenase (COX) -1 dan COX-2

 Indometasin 1% , ketorolac 0,5%, dan diklofenak 0,1% telah menunjukkan keefektifan dalam
pengobatan VKC

 Toksik lokal : Rasa terbakar/tersengat, kerusakan epitel kornea



KORTIKOSTEROID
TOPIKAL

 Moderate – severe

 Dihindari sebagai first line terapi

 Steroid pilihan pertama : hidrokortison, klobetasone, desonida, fluorometholon, loteprednol,


difluprednate dan rimexolone

 Dosis sesuai keadaan inflamasi mata, dalam 3-5 hari

 Prednisolon, deksametason, atau betametason harus digunakan hanya ketika steroid pilihan
pertama terbukti tidak efektif.

 Efek samping : peningkatan IOP, induksi atau eksaserbasi glaukoma, pembentukan katarak,
penyembuhan luka yang tertunda, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi

Inhibitor Kalsitin dan Imunomodulator

Cyclosporine A (CsA)

 Menghalangi proliferasi limfosit Th2 dan produksi IL-2


 Menghambat pelepasan histamin dari sel mast dan basofil melalui pengurangan produksi IL-
5
 Mengurangi produksi eosinofil dan gejala pada konjungtiva dan kornea
 Formulasi 2% ,1%, 0,5%, dan 0,05%
 Emulsi 1% atau 2% dalam kastor atau minyak zaitun : 4x sehari VKC sedang - berat
 Penelitian lain, CsA 0,05% menurunkan tingkat keparahan gejala dan tanda klinis signifikan
setelah 6 bulan dan kebutuhan untuk steroid berkurang
 Sebuah studi crossover dua tahun yang dilakukan secara acak dan terkontrol. menunjukkan
keamanan dan kemanjuran CsA 0,05% untuk pencegahan kambuhan VKC jangka panjang

TACROLIMUS

 Mirip dengan CsA dalam mode tindakan, tetapi secara kimia berbeda.
 Tacrolimus 0,03% dan 0,1% efektif, ditoleransi dengan baik, dan aman dalam
pengobatan konjungtivitis alergi berat
 Pasien diobati dua kali sehari selama 4 minggu
 Giant papil cepat berkurang
 Efek samping : iritasi okular
 0,1% dianggap sebagai dosis optimal

Sebuah uji komparatif acak double-masked yang membandingkan efikasi salep tacrolimus
0,1% dengan CsA 2% menunjukkan bahwa keduanya sama-sama efektif dalam
pengobatan VKC.

Pengobatan Farmakologis Non-Okular

 Antihistamin oral atau antileukotrien

 Aspirin 0,5-1 g per hari

 Omalizumab, sebuah anti-IgE rekombinan, humanis, non-


anafilaktogenik antibodi
 Spesifik Imunoterapi

 Imunoterapi sublingual (SLIT) pada pasien muda

 Pengobatan SIT pada pasien IgE-positif dengan VKC lebih


efektif daripada pengobatan topikal untuk memperbaiki gejala
klinis dan mengurangi serum IgE total
 PEMBEDAHAN

 Supratarsal Injeksi dari kortikosteroid short-intermediate acting

 Debridement plak kornea  ⇩ gejala berat dan memungkinkan kornea re-epitelisasi

 Eksisi papila raksasa dengan mitomycin-C intraoperatif 0,02% diikuti dengan pengobatan
topologi CsA dapat ditunjukkan pada kasus pseudoptosis mekanis atau adanya papilla raksasa

 Transplantasi membran amnion (AMT) setelah keratektomi


 PENCEGAHAN

 Konjungtivitis alergi musiman dan tahunan


Hindari antigen penyebab

 Keratokonjungtivitis vernal
• Penghindaran alergen harus ditekankan sebagai pengobatan lini pertama.
• Pemeliharaan lingkungan ber-AC dan pengendalian partikel debu di rumah dan tempat
kerja mungkin juga bermanfaat.
• Tindakan lokal, seperti kompres dingin dan pemberian air mata buatan secara berkala,
juga terbukti memberikan kelegaan sementara.
 PROGNOSIS

Karena konjungtivitis alergi umumnya mudah sembuh,


prognosisnya baik. Komplikasi sangat jarang, dengan ulkus
kornea atau keratokonus jarang terjadi. Meskipun konjungtivitis
alergi mungkin sering terjadi kembali, jarang menyebabkan
kehilangan penglihatan.

You might also like