You are on page 1of 52

BAB IV

Fluktuasi Muka Air Laut


Annisa Larasati
2015011105
4.1. Pendahuluan
Elevasi muka air merupakan parameter sangat penting di dalam perencanaan bangunan
pantai. Muka air laut berfluktuasi dengan periode yang lebih besar dari periode gelombang
angin. Seperti telah dijelaskan dalam bab II, bahwa gelombang terjadi pada permukaan laut
referensi yaitu muka air diam (still water level, SWL). Muka air diam tersebut adalah elevasi
muka air yang akan dibahas dalam bab ini.
Beberapa proses alam yang terjadi dalam waktu yang bersamaan membentuk variasi
muka air laut dengan periode panjang. Proses alam tersebut meliputi tsunami, gelombang
badai (storm surge), kenaikan muka air karena gelombang (wave set-up), kenaikan muka air
karena perubahan suhu global, dan pasang surut. Di antara beberapa proses tersebut fluktuasi
muka air karena badai dan tsunami (gempa) tidak dapat ditentukan (diprediksi) kapan
terjadinya. Sedangkan pasang surut mudah diprediksi dan diukur baik besar maupun waktu
terjadinya.
Fluktuasi muka air laut karena tsunami, pasang surut dan gelombang badai
adalah periodik dengan periode berbeda, mulai dari beberapa menit (tsunami),
setengah hari atau satu hari (pasang surut), dan beberapa hari (gelombang badai).
Sedangkan kenaikan muka air laut karena perubahan suhu global selalu
bertambah dengan pertambahan waktu. Apabila fluktuasi muka air tersebut terjadi
seeara bersamaan dengan gelombang angin yang mempunyai periode lebih kecil
(beberapa detik), maka muka air tersebut relatif konstan terhadap fluktuasi muka
air laut karena gelombang angin. Gambar 4.1. adalah contoh pasang surut yang
terjadi secara bersamaan dengan gelombang.
Apabila tinjauan difokuskan pada gelombang maka muka air pasang surut dapat
dianggap sebagai muka air diam. gelombang Pasang surut gelombang pasang
surut MSL pasang surut.
4.2. Tsunami
Tsunami adalah gelombang yang terjadi karcna gempa bumi atau letusan gunung api di laut.
Gelombang yang terjadi bervariasi dari 0,5 m sampai 30 m dan periode dari beberapa menit sampai
sekitar satu jam. Berbeda dengan gelombang (angin) yang hanya menggerakkan air laut bagian
atas, pada tsunami seluruh kolom air dari permukaan sampai dasar bergerak dalam segala arah.
Cepat rambat gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut. Semakin besar kedalaman
semakin besar kecepatan rambatnya. Pada kedalaman 5000 m cepat rambat tsunami mencapai 230
m/d (sekitar 830 km/jam), pada kedalaman 4000 m sebesar 200 m/d dan pada kedalaman 40 m
cepat rambatnya 20 m/d. Panjang gelombang tsunami, yaitu jarak antara dua puncak gelombang
yang berurutan bisa mencapai 200 km. Di lokasi pembentukan tsunami (daerah episentrum gempa)
tinggi gelombang tsunami diperkirakan antara 1,0 m dan 2,0 m. Selama penjalaran dari tengah laut
(pusat terbentuknya tsunami) menuju pantai, tinggi gelombang menjadi semakin besar karena
pengaruh perubahan kedalaman laut. Setelah sampai di pantai gelombang naik (run-up) ke daratan
dengan kecepatan tinggi yang bisa menghancurkan kehidupan di daerah pantai. Kembalinya air ke
laut setelah meneapai puncak gelombang (run-down) bisa menyeret segala sesuatu kembali ke laut.
Gelombang tsunami dapat menimbulkan bencana di daerah yang sangat jauh dari pusat
terbentuknya. Sebagai contoh, gelombang tsunami yang disebabkan oleh letusan Gunung Krakatau
di Selat Sunda pada tahun 1883, pengaruhnya menjalar sampai ke pantai timur Afrika. Bencana
yang ditimbulkan adalah 36.000 jiwa tewas, terutama di pantai Sumatra dan Jawa yang berbatasan
Pencatatan gelombang tsunami di Indonesia belum banyak dilakukan.
Jepang sebagai negara yang sering mengalami serangan tsunami telah banyak
melakukan penelitian dan pencatatan gelombang tsunami. Telah dikembangkan
suatu hubungan antara tinggi gelombang tsunami di daerah pantai dan besaran
tsunami m. Besaran tsunami bervariasi mulai dari m = -2,0 yang memberikan
tinggi gelombang kurang dari 0,3 m sampai m = 5 untuk gelombang lebih besar
dari 32 m seperti diberikan dalam Tabel 4.1.
Kejadian tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi di laut tergantung pada
beberapa faktor berikut ini.
1. Kedalaman pusat gempa (episentrum) di bawah dasar laut h (km).
2. Kekuatan gempa M yang dinyatakan dalam skala Richter.
3. Kedalaman air di atas episentrum d (m)
Gelombang tsunami mempunyai hubungan erat dengan kekuatan gempa
dan kedalaman pusat gempa. Gambar 4.2. menunjukkan hubungan antara
kekuatan gempa M dan kedalaman gempa terhadap kemungkinan terjadinya
tsunami. Pada daerah di sebelah kiri garis A gempa yang terjadi tidak
menimbulkan tsunami. Sedang daerah di sebelah kanan garis A dan B gempa
yang terjadi dapat menimbulkan tsunami.
Besaran tsunami (m) berkaitan erat dengan kekuatan gempa M seperti
diberikan dalam Gambar 4.3. Garis sebelah kanan adalah garis yang
dikembangkan di Jepang berdasarkan peneatatan tsunami yang cukup
banyak. Sedangkan garis sebelah kiri adalah perkiraan dari hubungan antara
kedua parameter untuk tsunami di Indonesia, berdasarkan data yang terbatas.
Kedua garis tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut ini.
Gambar 4.2. Hubungan antara kekuatan gempa dan kedalaman episentrum dengan terbentuknya gelombang tsunami.
Gambar 4.3. Hubungan antara kekuatan gempa dan bcsaran tsunami.
Jepang:
m = 2,8 M - 19,4 (4.1)
Indoncsia :
m = 2,26 M - 14,18 (4.2)
Nilai m yang diperoleh dari grafik atau persamaan tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan
tinggi gelombang tsunami berdasarkan Tabel 4.1. Terlihat bahwa pada kekuatan gempa yang sama
untuk nilai m berdasar kedua persamaan memberikan perbedaan tinggi gelombang yang besar.
Sebagai contoh untuk M=7, Persamaan (4.1) membcrikan tinggi gelombang tsunami H = 1,0 m
sampai H = 1,5 m; sedang Persamaan (4.2) menghasilkan H = 3,0 m sampai H = 4,0 m. Pemakaian
Persamaan (4.2) memberikan tinggi gelombang tsunami yang bisa lebih dari dua kali daripada
penggunaan Persamaan (4.1). Mengingat Persamaan (4.2) yang berlaku di Indonesia didasarkan
pada jumlah data yang sedikit, maka penggunaan persamaan tersebut perlu dipertimbangkan
kembali. Akan lebih bijaksana apabila untuk sementara ini, sambil menunggu penelitian dan
pencatatan data yang lebih banyak dan akurat, digunakan Persamaan (4.1).
Besaran tsunami m juga tergantung pada kedalaman laut (d) di lokasi terbentuknya gempa.
Terdapat hubungan empiris antara kedua parameter yang diberikan oleh persamaan berikut :
m = 1,7 log (d) - 1,7 (4.3)
Periode gelombang tsunami tergantung pada kekuatan gempa seperti diberikan dalam Gambar 4.4.
Najoan, T.F. (1995) membagi kepulauan Indonesia dalam empat daerah (zona) rawan
tsunami seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.5. Terlihat bahwa daerah pantai yang
rawan terhadap tsunami (zona 1, 2 dan 3) dengan daya hancur dari kecil sampai sangat
besar cukup luas. Dari pengalaman bencana tsunami di Indonesia, upaya
penanggulangan terutama diarahkan untuk menekan jumlah korban jiwa.
Beberapa langkah pcnanggulangan dapat dilakukan sebagai berikut ini.
1. Daerah sempadan pantai harus cukup lebar dan ditanami dengan lanaman keras.
2. Daerah pemukiman ditempatkan di lokasi yang aman, yang ditetapkan berdasar
tinggi gelombang tsunami dan topografi daerah.
3. Dibuat bangunan pelindung tsunami yang berupa tanggul di sepanjang pantai.
4. Fasilitas pelabuhan sebaiknya dipisahkan dari pemukiman, untuk mencegah benda-
benda terapung seperti perahu, drum dan benda lainnya dapat menjadi tenaga
penghantam yang merusak bila terjadi tsunami.
Contoh 1
Di laut dengan kedalaman 50 m terjadi gempa dengan kekuatan 7 skala Richter. Pusat
gempa berada pada 40 km di bawah dasar laut. Perkirakan besarnya tsunami yang terjadi.

Penyelesaian
Dengan menggunakan Gambar 4.2. untuk M = 7 dan h = 40 km, di- dapat titik data
berada antara garis A dan B; yang berarti gempa tersebut menimbulkan tsunami. Selanjutnya
dihitung besaran tsunami (m) dengan menggunakan Persamaan (4.2) dan (4.3) :
m = 1,7 log (50) - 1,7 = 1,19
dan
m = 2,26 (7) - 14,18 = 1,64
Dari kedua nilai tersebut diambil yang terkecil yaitu m = 1,19. Dengan menggunakan
Tabel 4.1. untuk nilai m = 1,19 didapat tinggi tsunami berkisar antara 2,4 m dan 3,4 m.
Apabila digunakan Persamaan (4.1) untuk tsunami yang berlaku di Jepang diperoleh
nilai m = 0,2; sehingga tinggi tsunami adalah antara 1,4 m dan 1,9 m.
4.3. Kenaikan Muka Air Karena Gelombang (Wave Set-up)
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi muka air
di daerah pantai terhadap muka air diam. Pada waktu gelombang pecah akan terjadi
penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air diam di sekitar lokasi
gelombang pecah.
Kemudian dari titik di mana gelombang pecah permukaan air rerata miring ke atas ke
arah pantai. Turunnya muka air tersebut dikenal dengan wave set-down, sedang
naiknya muka air disebut wave set-up; seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.6.
Kedalaman air minimum di lokasi gelombang pecah pada saat wave set-down
adalah db. Perbedaan elevasi muka air rerata dan muka air diam di titik tersebut
adalah Sb. Setelah itu muka air naik dan memotong garis pantai. Perbedaan elevasi
muka air antara kedua titik adalah wave set-up antara daerah gelombang pecah dan
pantai yang diberi notasi AS. Wave set-up terhadap muka air diam Sw adalah
pcrbedaan antara ΔS dan Sb.
Longuct-Higgins dan Stewart melakukan analisa data hasil percobaan yang dilakukan oleh Saville
(1961, dalam SPM, 1984) dan hasilnya adalah ΔS = 0,15 db. Dengan menganggap bahwa db = 1,28
Hb maka :
ΔS = 0,15 db (4.6)
Substitusi persamaan (4.4) dan (4.6) ke dalam persamaan (4.5) didapat :
Contoh 2
Gelombang yang terjadi di laut dengan kedalaman 6 m mempunyai tinggi 3 m dan periode 10 detik. Gelombang tersebut
datang dalam arah tegak lurus pantai yang mempunyai kontur dasar laut scjajar dan kemi- ringan dasar laut m = 0,05. Hitung set-
up gelombang terhadap muka air diam.

Penyelesaian
4.4. Kenaikan Muka Air Karena Angin (Wind Set-up)
Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut bisa
membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar di sepanjang pantai jika badai tersebut cukup
kuat dan daerah pantai dangkal dan luas. Penentuan elevasi muka air rencana selama terjadinya
badai adalah sangat kompleks yang melibatkan interaksi antara angin dan air, perbedaan tekanan
atmosfer dan beberapa parameter lainnya. Perbedaan tekanan atmosfer selalu berkaitan dengan
perubahan arah dan kecepatan angin; dan angin tersebut yang menyebabkan fluktuasi muka air
laut.
Besar perubahan elevasi muka air tergantung pada keeepatan angin, fetch, kedalaman air dan
kemiringan dasar. Fetch adalah panjang daerah di atas mana angin berhembus dengan kecepatan
dan arah konstan. Penjelasan tentang fetch akan diberikan dalam Bab V. Selain itu konfigurasi
pantai juga merupakan faktor penting. Kenaikan muka air di pantai yang berbentuk corong seperti
teluk, estuari (muara sungai) akan lebih besar dibanding dengan di pantai yang lurus, karena
massa air yang terdorong oleh angin akan bergerak terpusat pada ujung corong. Kenaikan muka
air ini dapat menyebabkan genagan yang luas di daratan. Penurunan muka air yang eepat setelah
badai dapat menyebabkan kerusakan (erosi) karena sapuan air dari genangan kembali ke laut.
Gelombang badai biasanya terjadi dalam waktu yang bersamaan dengan proses
alam lainnya seperti pasang surut. Besarnya kenaikan muka air karena badai dapat
diketahui dengan memisahkan hasil pengukuran muka air laut selama terjadi badai
dengan fluktuasi muka air laut karena pasang surut. Gambar 4.7. adalah contoh
pengukuran tersebut (ML. Schwarts, 1986).
Untuk memprediksi kenaikan elevasi muka air karena badai, dipandang Gambar
4.8. yang memberikan keseimbangan gaya-gaya yang bekerja pada air selama
badai. Angin yang bertiup menyebabkan terjadinya tegangan geser pada permukaan
air laut, sehingga mengakibatkan kenaikan atau penurunan muka air laut.
Kenaikan elevasi muka air karena badai dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Di dalam mempcrhitungkan wind set-up di daerah pantai dianggap bahwa laut dibatasi oleh sisi
(pantai) yang impermeabel, dan hitungan dilakukan untuk kondisi dalam arah tegak lurus pantai.
Apabila arah angin dan fetch membentuk sudut terhadap garis pantai, maka yang diperhitungkan
adalah komponen tegak lurus pantai.
Penyelesaian
4.5. Pemanasan Global
Efck rumah kaca menyebabkan bumi panas sehingga dapat dihuni kehidupan. Disebut efek rumah kaca
karena kemiripannya dengan apa yang terjádi dalam sebuah rumah kaca ketika matahari bersinar. Sinar
matahari yang masuk melalui atap dan dinding kaca menghangatkan ruangan di dalam schingga suhu menjadi
lebih tinggi daripada di luar. Hal ini disebabkan kaca menghambat sebagian panas untuk keluar. Dengan kata
lain rumah kaca berfungsi sebagai perangkap panas.
Di bumi, efek rumah kaca dihasilkan oleh gas-gas tertentu dalam jumlah kecil di atmosfer. Gas-gas
tersebut disebut gas rumah kaca. Titik air dan es dalam awan serta partikel-partikel keeil lain di atmosfer juga
menangkap panas, yang akan lepas jika mereka tidak ada. Jadi gas-gas dalam atmosfer bumi berlaku sama
dengan kaca dari sebuah rumah kaca.
Efek rumah kaca alami ini memberi bumi sebuah iklim di mana tumbuhan, hewan dan manusia dapat
hidup. Namun selama 200 tahun terakhir ini, jumlah gas rumah kaca dalam atmosfer meningkat secara
berangsur-angsur akibat dari kegiatan manusia.
Gas-gas rumah kaca yang paling penting, yang menangkap panas di dalam atmosfer, adalah uap air dan
karbon dioksida. Gas lain yang terdapat secara alami adalah metana, nitrat oksida dan ozon. Selain itu ada
beberapa gas buatan, di mana yang terpenting adalah klorofluorokarbon (CFC) yang mempunyai cfek rumah
kaca amat kuat.
Karbon dioksida (CO2) adalah gas rumah kaca yang terpenting. Konsentrasi alaminya
kecil, yaitu hanya 0,03 persen. Namun sejak awal industrialisasi besar-besaran pada tahun
1750 konsentrasinya terus me- ningkat, dan saat ini peningkatannya telah meneapai 15 %
lebih tinggi daripada masa pra-industri (Gerald Foley, 1993). Kontribusi utama manusia
terhadap jumlah karbon dioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran bahan fosil, yaitu
batu bara, minyak bumi dan gas alam. Peng- gundulan hutan dan perluasan pertanian juga
meningkatkan jumlah kar- bon dioksida dalam atmosfer; karena bila tumbuhan (dan hewan)
mati dan membusuk, kandungan karbon mereka terlepas dalam bentuk karbon dioksida.
Ketika hutan ditebang dan dibakar tidak hanya karbon dioksida yang dilepas ke dalam
atmosfer, tetapi alam juga kehilangan penyerap atau gudang penyimpan karbon. Hanya sekilar
setengah dari tambahan karbon tersebut yang tinggal dalam atmosfer, sisanya diserap oleh
lautan dan vegetasi daratan.
Mctana (CH4) adalah gas rumah kaca lain yang terdapat secara alami. Metana dihasilkan
oleh pembusukan bahan organik di rawa-rawa, di perut hewan yang dikeluarkan melalui
kentut, di sawah melalui tangkai padi yang bertindak sebagai saluran metana ke atmosfer, di
tempat pembuangan sampah. Selain itu metana merupakan komponen utama dari gas alam,
schingga terdapat dalam jumlah besar pada sumur minyak dan gas alam. Perkembangan
manusia dan kegiatannya saat ini telah meningkatkan konsentrasi metana di atmosfer.
Nitrat oksida (N2O) adalah juga gas rumah kaca yang terdapat secara alami. Nitrat oksida
dihasilkan oleh kerja jasad renik/mikroba dalam tanah, pemakaian pupuk nitrogen dan pembakaran
bahan bakar fosil. Saat ini konsentrasinya terus meningkat sesuai dengan kegiatan manusia.
Ozon (O3) adalah bentuk oksigen yang terdapat secara alami di stratosfer, yaitu lapisan dalam
atmosfer yang berada pada ketinggian antara 10 km dan 50 km di atas permukaan bumi. Ozon
merupakan gas rumah kaca yang efektip, yang dibentuk oleh interaksi antara radiasi ultra- violet dari
matahari dengan oksigen yang terdapat di stratosfer. Terdapat keseimbangan alami antara laju
pembentukan ozon dan laju penguraian- nya schingga jumlahnya dalam stratosfer kurang lebih tetap.
Lapisan ozon dapat menyerap radiasi ultraviolet, schingga sangat berguna untuk melin- dungi
permukaan bumi terhadap radiasi tersebut.
Klorofluorokarbon (CFC) adalah gas buatan manusia dan merupa- kan gas rumah kaca yang
sangat kuat. CFC digunakan dalam peralatan pendingin ruangan dan lemari es, dalam kaleng
semprotan dan peniupan busa. Laju pertumbuhannya saat ini adalah sekitar 4 % per tahun. Selain
peranannya sebagai gas rumah kaca, CFC dapat merusak lapisan ozon sehingga mengurangi
kemampuannya untuk menyerap radiasi ultraviolet.
Uap air merupakan penyumbang terbesar bagi efek rumah kaca. Jumlah uap air di atmosfer
dipengaruhi oleh suhu global. Kegiatan manu- sia dapat menaikkan suhu terscbut schingga jumlah
uap air meningkat. Jika bumi menjadi lebih panas, jumlah uap air di atmosfer akan meningkat
karena meningkatnya laju penguapan. Keadaan ini akan meningkatkan efek rumah kaca serta makin
mendorong pemanasan global yang sedang terjadi.
Kegiatan manusia yang meningkatkan jumlah gas rumah kaca di atmosfer dapat mengakibatkan
naiknya suhu bumi. Peningkatan suhu bumi tersebut dapat menimbulkan dampak bagi kehidupan.
Suhu yang lebih tinggi dan penguapan lebih besar mengakibatkan curah hujan eenderung meningkat
schingga dapat mengakibatkan banjir. Dampak lainnya adalah peningkatan tinggi permukaan laut
yang disebabkan oleh pemuaian air laut dan mencairnya gunung-gunung es di kutub.
Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan mundurnya garis pantai sehingga menggusur daerah
pemukiman dan mengancam daerah perkotaan yang rendah, membanjiri lahan produktip dan
mencemari persediaan air tawar. Untuk melindungi daerah-daerah tersebut perlu dibangun tanggul
laut, yang memerlukan biaya sangat besar.
Untuk menanggulangi akibat dari pemanasan global perlu dilakukan bebcrapa tindakan.
Idealnya, untuk menghilangkan ancaman pemanasan global secara menyeluruh adalah mengurangi
konsentrasi gas-gas rumah kaca sampai tingkat pada masa pra-industri. Tetapi hal ini tidak mungkin
dilaksanakan. Mick Kelly (dalam Gerald Folcy, 1993) mengusulkan beberapa tindakan sedemikian
schingga pada tahun 2030 konsentrasi gas rumah kaca berada sedikit di atas konsentrasi saat ini.
Tindakan tersebut adalah sebagai berikut ini.
1. Eliminasi produksi CFC pada tahun 1995 dan mungkin dari bahan- bahan pengganti yang
mempunyai efek rumah kaca.
2. Menghentikan penggundulan hutan pada tahun 2000, diikuti dengan reboisasi intensif.
3. Reduksi emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil sampai 30 persen dari kadar saat ini pada
tahun 2020.
4. Reduksi dalam peningkatan konsentrasi tahunan metana dan nitrat oksida sampai 25 persen dari
nilai saat ini.
Kembali pada permasalahan pokok yang dibahas dalam buku ini yaitu tentang pengaruh kenaikan
muka air laut karena pemanasan global terhadap fluktuasi muka air laut. Seperti telah dijelaskan di
atas bahwa peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan kenaikan suhu
bumi schingga mengakibatkan kenaikan muka air laut. Di dalam percncanaan bangunan pantai,
kenaikan muka air karena pemanasan global ini harus diperhitungkan. Gambar 4.9. memberikan
perkiraan besarnya kenaikan muka air laut dari tahun 1990 sampai 2100, yang disertai perkiraan batas
atas dan bawah. Gambar tersebut berdasarkan anggapan bahwa suhu bumi meningkat seperti yang
terjadi saat ini, tanpa adanya tindakan untuk mengatasinya.
4.6. Pasang Surut
Apabila sescorang berdiri di pantai dalam waktu cukup lama, maka orang tersebut akan merasakan bahwa
kedalaman air di mana ia berpijak selalu berubah sepanjang waktu. Pada mulanya muka air rendah, beberapa
waktu kemudian menjadi lebih tinggi dan akhirnya mencapai maksimum.
Setelah itu muka air turun kembali sampai elevasi terendah dan kemudian naik kembali.
Perubahan elevasi muka air laut sebagai fungsi waktu tersebut discbabkan oleh adanya pasang surut.

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit,
terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil
dari massa mata- hari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya
tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan yang
mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar daripada gaya tarik matahari.
Pengetahuan tentang pasang surut adalah penting di dalam perencanaan bangunan pantai dan
pelabuhan. Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) sangat penting untuk
merencanakan bangunan- bangunan tersebut. Sebagai contoh, elevasi puncak bangunan pemecah
gelombang, dermaga, dsb. ditentukan oleh elevasi muka air pasang, sementara kedalaman alur
pelayaran/pelabuhan ditentukan oleh muka air surut.
4.6.1. Kurva pasang surut
Gambar 4.10. menunjukkan contoh hasil pencatatan muka air laut sebagai fungsi waktu (kurva pasang
surut).
Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (pun- cak air pasang) dan air
terendah (lembah air surut) yang berturutan. Periode pasang surut adalah waktu yang diperlukan dari
posisi muka air pada muka air rerata ke posisi yang sama berikutnya. Periode pasang surut bisa 12
jam 25 menit atau 24 jam 50 menit, yang tergantung pada tipe pasang surut. Periode pada mana
muka air naik disebut pasang, sedang pada saat air turun disebut surut. Variasi muka air
menimbulkan arus yang disebut dengan arus pasang surut, yang mengangkut massa air dalam
jumlah sangat besar. Arus pasang terjadi pada waktu periode pasang dan arus surut terjadi pada
periode air surut. Titik balik (slack) adalah saat di mana arus berbalik antara arus pasang dan arus
surut. Titik balik ini bisa terjadi pada saat muka air tertinggi dan muka air terendah. Pada saat
tersebut kecepatan arus adalah nol.
4.6.2. Pembangkitan pasang surut
Gaya-gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik antara bumi, bulan dan
matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-
bulan; sedang untuk sistem bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap
bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan, tertutup secara merata oleh laut
(bentuk permukaan air adalah bundar).
Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih tinggi daripada di garis
lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya yang seragam di sepanjang garis lintang yang
sama, schingga tidak bisa diamati sebagai suatu variasi pasang surut. oleh karena itu rotasi bumi tidak
menimbulkan pasang surut. Di dalam penjelasan pasang surut ini dianggap bahwa bumi tidak berotasi.
Gaya tarik menarik antara bumi dan bulan tersebut menyebabkan sistem bumi-bulan menjadi satu
sistem kesatuan yang beredar bersama-sama sekeliling sumbu perputaran bersama (common axis of
revolution). Sumbu perputaran bersama ini adalah pusat berat dari sistem bumi- bulan, yang berada di
bumi dengan jarak 1718 km di bawah permukaan bumi. Selama peredaran tersebut, setiap titik di bumi
beredar sekeliling pusatnya dalam orbit berbentuk lingkaran dengan jari-jari sama dengan jari-jari dari
revolusi pusat massa bumi sekeliling sumbu perputaran bersama.
Jari-jari tersebut adalah sama dengan jarak antara pusat massa bumi dan sumbu perputaran bersama.
Gambar 4.11. menunjukkan revolusi pusat massa bumi sekeliling sumbu perputaran bersama.
Dipandang titik P yang berada di permukaan bumi. Selama gerak revolusi pusat massa bumi C
sekeliling sumbu perputaran bersama G (tidak disertai dengan rotasi) titik P beredar sekeliling Cp
dengan orbit lintasan berbentuk lingkaran yang berjari-jari sama dengan jari-jari orbit pusat massa bumi
sekeliling sumbu perputaran bersama (CG). Dalam peredaran tersebut titik Ci bergerak ke C2 dan P1
juga bergerak ke P2. Demikian juga karena C2 bergerak ke C3, P2 juga bergerak ke P3, demikian
seterusnya. Orbit yang dilintasi adalah P1 P2 P3 dan seterusnya. Titik-titik yang lain, misalnya Q,
juga beredar sekeliling Cq dengan jari-jari sama dengan jari-jari orbit pusat massa bumi sekeliling sumbu
perputaran bersama (CG). Dengan demikian, jari-jari orbit peredaran setiap titik yang ditinjau di bumi
adalah sama, sehingga gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh percdaran tersebut adalah sama besar.
Dengan adanya perputaran tersebut maka pada setiap titik di bumi bekerja gaya sentrifugal (Fe)
yang sama besar dan arahnya. Arah gaya tersebut adalah berlawanan dengan posisi bulan. Selain itu
karena pengaruh gravitasi bulan, setiap titik di bumi mengalami gaya tarik (Fg) dengan arah menuju
pusat massa bulan, sedang besar gaya tergantung pada jarak antara titik yang ditinjau dan pusat massa
bulan. Gambar 4.12.a. menunjukkan setiap titik di bumi yang mengalami gaya sentrifugal dan gaya tarik
bulan. Gaya pembangkit pasang surut adalah resultan dari kedua gaya tersebut. Pada sumbu bumi gaya
gravitasi dan gaya sentrifugal adalah seimbang. Suatu elemen air yang berada pada sisi bumi yang
terjauh dari bulan, gaya sentrifugal lebih besar dari gaya gravitasi (Fc> Fg), sehingga resultannya keluar
dan akibatnya permukaan air tertarik keluar.
Sedangkan pada belahan bumi yang terdekat dengan bulan Fg>Fc. sehingga resultannya juga keluar
(ke arah bulan) dan permukaan air tertarik ke arah bulan. Gambar 4.12.b. menunjukkan gaya
pembangkit pasang surut yang bekerja di beberapa titik di permukaan bumi. Oleh karena itu
permukaan air berubah menjadi bentuk ellipsoida. Keadaan serupa juga terjadi apabila ditinjau sistem
bumi-matahari. Dengan demikian pasang surut yang terjadi adalah gabungan dari pengaruh gaya tarik
bulan dan matahari.
Penjelasan tentang pembangkitan pasang surut yang diberikan di depan adalah dengan anggapan
bahwa bumi dikelilingi oleh laut secara merata. Pada kenyataannya di permukaan bumi terdapat pulau-
pulau dan benua-benua. Selain itu dasar laut juga tidak rata, karena adanya palung yang dalam,
perairan dangkal, selat, teluk, gunung bawah laut, dan sebagainya. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya penyimpangan-penyim- pangan dari kondisi yang ideal, dan dapat menimbulkan ciri-ciri
pasang surut yang berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Selain itu kedudukan bulan dan matahari
juga selalu berubah terhadap bumi, sehingga tinggi pasang surut tidak konstan dalam satu periode
panjang (satu bulan).
4.6.3. Beberapa tipe pasang surut
Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi
satu kali atau dua kali pasang surut. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan
dalam
empat tipe, yaitu pasang surut harian tunggal (diumal tide), harian ganda (semidiumal tide) dan
dua jenis campuran. Gambar 4.13. menunjukkan keempat jenis pasang surut tersebut. Sedang
Gambar 4.14. adalah sebaran keempat jenis pasang surut tersebut di Indonesia dan sekitarnya.
1. Pasang surut harian ganda (semi diumal tide)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir
sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur (Gambar 4.13.a.). Periode pasang
surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Malaka sampai
laut Andaman.
2. Pasang surut harian tunggal (diumal tide)
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut (Gambar 4.13.d). Periode
pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan selat Karimata.
3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevuiling semidiumal)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan
periodenya berbeda (Gambar 4.13.b.). Pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan
Indoncsia Timur.
4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diumal) Pada
tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-
kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan
periode yang sangat berbeda (Gambar 4.13.c). Pasang surut jenis ini terdapat di selat
Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat.
4.6.4. Pasang surut purnama dan perbani
Proses terjadinya pasang surut purnama dan perbani ini dapat dijelaskan sebagai berikut
ini. Seperti telah dijelaskan di depan, dengan adanya gaya tarik bulan dan matahari maka
lapisan air yang semula berbentuk bola berubah menjadi ellips. Karena peredaran bumi dan
bulan pada orbitnya, maka posisi bumi-bulan-matahari selalu berubah seliap saat. Revolusi
bulan terhadap bumi ditempuh dalam waktu 29,5 hari (jumlah hari da-lam satu bulan menurut
kalender tahun kamariah, yaitu tahun yang dida- sarkan pada peredaran bulan). Pada setiap
sekitar tanggal 1 dan 15 (bulan muda dan bulan purnama) posisi bumi-bulan-matahari kira-kira
berada pada satu garis lurus (Gambar 4.15.a), sehingga gaya tarik bulan dan mata- hari
terhadap bumi saling memperkuat. Dalam keadaan ini terjadi pasang surut purnama (pasang
besar, spring tide), di mana tinggi pasang surut sangat besar dibanding pada hari-hari yang lain.
Sedang pada sekitar tanggal 7 dan 21 (seperempat dan tiga perempat revolusi bulan terhadap
bumi) di mana bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi (Gambar 4.15.b)
maka gaya tarik bulan terhadap bumi saling mengurangi. Dalam keadaan ini terjadi pasang
surut perbani
4.6.5. Beberapa definisi elevasi muka air
Mengingat elevasi muka air laut selalu berubah setiap saat, maka diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasar
data pasang surut, yang dapat digunakan sebagai pedoman di dalam pereneanaan suatu pelabuhan. Beberapa elevasi
tersebut adalah sebagai berikut ini.
1. Muka air tinggi (high water level), muka air tcrtinggi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang
surut.
2. Muka air rendah (low water level), kedudukan air terendah yang dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang
surut.
3. Muka air tinggi rerata (mean high water level, MHWL), adalah rerata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.
4. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLWL), adalah rerata dari muka air rendah selama periode 19 tahun.
5. Muka air laut rerata (mean sea level, MSL), adalah muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah
rerata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi untuk clevasi di daratan.
6. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL), adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau
bulan mati.
7. Air rendah tcrendah (Lowest low water level, LLWL), adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan
mati.
Beberapa definisi muka air tersebut banyak digunakan dalam pe- rencanaan bangunan pantai dan pelabuhan,
misalnya MHWL atau HHWL digunakan untuk menentukan elcvasi puncak pemecah gelombang, dermaga, panjang
rantai pelampung penambat, dan sebagainya. Sedang LLWL diperlukan untuk menentukan kedalaman alur pelayaran dan
kolam pelabuhan.
4.6.6. Elevasi muka air pasang surut rencana
Perencanaan bangunan pantai dibatasi oleh waktu, biasanya 6 bulan sampai satu tahun atau lebih, yang tergantung pada
volume pekerjaan dan permasalahannya. Dengan demikian untuk mendapatkan data pasang surut di lokasi pekerjaan
sepanjang 19 tahun tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini elevasi muka air laut (MHWL, MLWL, MSL) ditentukan
berdasarkan pengukuran pasang surut selama minimum 15 hari. Pengukuran dilakukan dengan sistem topografi lokal di
lokasi pekerjaan.
Dengan pengamatan selama 15 hari tersebut telah tercakup satu siklus pasang surut yang meliputi pasang purnama dan
perbani. Pengamatan lebih lama (30 hari atau lebih) akan memberikan data yang lebih lengkap. Pengamatan muka air dapat
dengan menggunakan alat otomatis (automatic water level recorder) atau sccara manual dengan menggunakan bak ukur
dengan interval pengamatan setiap jam, siang dan malam. Untuk dapat melakukan pembacaan dengan baik tanpa
terpengaruh gelombang, biasanya pengamatan dilakukan di tempat terlindung, seperti muara sungai atau teluk.
Gambar 4.17. adalah contoh hasil pengamatan pasang surut selama 30 hari di muara Sungai Donan, Cilacap. Dari kurva
pasang surut tersebut dapat ditentukan beberapa elevasi muka air, yaitu MHWL, MLWL, MSL, HHWL dan LLWL; seperti
terlihat dalam Gambar 4.17.
Dari data pengamatan selama 15 hari atau 30 hari dapat diramalkan pasang surut untuk periode berikutnya dengan
menggunakan metode Admiralty atau metode kuadrat terkecil (least square method). Metode peramalan tersebut tidak
diberikan dalam buku ini dan dapat dipelajari dari buku-buku tentang pasang surut atau teknik kelautan.
Jawatan Hidrooseanografi di Jakarta setiap tahun menerbitkan buku Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia yang
berisi data pasang surut di berbagai lokasi di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari hasil pe- ramalan dengan menggunakan
metode Admiralty. Buku ini penting untuk petugas pelabuhan, di bidang pelayaran, perencana dan kontraktor.
4.7. Elevasi Muka Air Laut Rencana
Elevasi muka air laut rencana merupakan parameter sangat penting di dalam perencanaan bangunan
pantai. Elevasi tersebut merupakan penjumlahan dari beberapa parameter yang telah dijelaskan di depan
yaitu pasang surut, tsunami, wave setup, wind setup, dan kenaikan muka air karena perubahan suhu
global. Gambar 4.18. menunjukkan contoh penentuan elevasi muka air rencana.
Dalam gambar tersebut semua parameter dianggap terjadi dalam waktu yang bersamaan.
Kemungkinan kejadian tersebut adalah sangat kecil. Sebagai contoh, kejadian tsunami belum tentu
bersamaan dengan gelombang badai, karena penyebab terjadinya kedua peristiwa alam tersebut berbeda.
Gempa yang menyebabkan terjadinya tsunami bisa terjadi pada saat cuaca cerah (tidak ada badai).
Schingga penggabungan tsunami, gelombang besar (wave setup, wind setup) dan air pasang adalah kecil
kemungkinan terjadinya. Gambar 4.19. adalah penentuan elevasi muka air rencana tanpa
memperhitungkan tsunami.
Sementara itu pasang surut mempunyai periode 12 atau 24 jam, yang berarti dalam satu hari bisa
terjadi satu atau dua kali air pasang. Kemungkinan kejadian air pasang dan gelombang besar (badai)
adalah sangat besar. Dengan demikian pasang surut merupakan faktor terpenting di dalam menentukan
elevasi muka air laut rencana. Penetapan berdasar MHWL atau HHWL tergantung pada kepentingan
bangunan yang direncanakan.
l
TERIMA KASIH

You might also like